• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan NIlai Faal Paru VEP1 dan KVP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan NIlai Faal Paru VEP1 dan KVP"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

T E S I S

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DAN NILAI FAAL PARU VEP1 DAN KVP

CHERIE NURUL FARIED LUBIS 107103001/ IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN NILAI FAAL PARU VEP1 DAN KVP

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak)

Dalam Program Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi Kesehatan Anak

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

CHERIE NURUL FARIED LUBIS 107103001 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : Hubungan Berat Badan Lahir Rendah dengan NIlai Faal Paru VEP1 dan KVP Nama Mahasiswa : Cherie Nurul Faried Lubis

Nomor Induk Mahasiswa : 107103001

Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak

Program Magister Kedokteran Klinik Dekan

Sekretaris Program Studi

Dr. Murniati Manik, MSc, Sp KK, Sp GK NIP. 19530719 198003 2 001

Prof. Dr. Gontar A Siregar, Sp PD,KGEH NIP. 19540220 198011 1001

Tanggal Lulus: 07 Januari 2015

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. H. Ridwan M Daulay, Sp A(K)

Anggota

(4)

Telah Lulus Tanggal 07 Januari 2015 PERNYATAAN

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN NILAI FAAL PARU VEP1 DAN KVP

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Januari 2015

(5)

Telah diuji pada

Tanggal: 07 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

(7)

2. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. Prof. Dr. Rafita, SpA(K), Dr. Hakimi SpA(K), Dr. Amira Tarigan, Sp P (K), Dr. Wisman Dalimunthe, MKed(Ped), SpA(K), Dr. Rini Savitri Daulay, MKed(Ped), SpA yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

4. Ketua Yayasan Sekolah dan Kepala Sekolah dari sekolah Iskandar Muda, Al Azhar dan Sekolah Menengah Pertama Medan yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian disekolah sekaligus membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. 5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

(8)

7. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orangtua saya alm. M. Faried Wajdi Lubis dan Drg. Hj. Siti Nurmaini Hutabarat serta mertua saya Burhanuddin dan Endah atas do’a serta dukungan moril kepada saya. Terima kasih yang sangat besar juga saya sampaikan kepada suamiku tercinta Irfan Arafat, ST, yang dengan segala pengertian dan bantuannya baik moril maupun materil membuat saya mampu menyelesaikan tesis ini. Begitu juga buat adik dan kakak tersayang, Drg, Saida Amelia, Annisa Ilmi S.Sos, Dr. Taufik Akbar serta anak tersayang Muhammad Alfatih Abiyyu Arafat yang selalu menjadi sumber kebahagiaan, inspirasi dan semangat bagi saya.

Akhir kata ,penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Januari 2015

(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing i

Lembar Pernyataan ii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi v

1.2 Perumusan Masalah 4

1.3 Hipotesis 4

1.4 Tujuan Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelainan Respiratori 6

2.2 Patogenesis Perkembangan Paru 7

2.3 Klasifikasi dan Gejala Kelainan Respiratori 10

2.4 Diagnosis Kelainan Respiratori 13

2.5 Faktor Risiko yang Mendasari Perjalanan Kelainan Respiratori

16

2.6 Uji Fungsi Paru 19

2.7 Faktor Risiko Penurunan Fungsi Paru 27

2.8 Kerangka Konseptual 31

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain

3.2. Tempat dan Waktu 3.3. Populasi dan Sampel 3.4. Perkiraan Besar Sampel 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi 3.5.2. Kriteria Eksklusi

(10)

3.10. Identifikasi Variabel 3.11. Definisi Operasional

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

38 5. Persetujuan Setelah Penjelasan

6. Lembaran Pengisian Data 7. Daftar Riwayat Hidup 8. Persetujuan Komite Etik

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Karakteristik dasar 41 Tabel 4.2 Hubungan berat badan lahir dengan nilai faal paru VEP,

KVP dan rasio VEP/KVP 45

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.2.1 Tingkat Perkembangan Paru 8

Gambar 2.6.1 Pernafasan normal diikuti manuver vital capacity

yang menunjukkan subdivisi dari volume paru 23 Gambar 2.8. Kerangka konseptual 31

(13)

DAFTAR SINGKATAN

ASI : Air susu ibu

ATS – ERS : American Thoracic Society – European BB : Berat badan

BBLASR : Berat badan lahir amat sangat rendah BBLR : Berat Badan Lahir Rendah

BPS : Badan Pusat Statistik cm : Centimeter

ERV : Expiratory Reserve Volume

FEV1 : Forced Expiratory Volume in one second FRC : Functional Residual Capacity

FVC : Forced Vital Capacity

HFOV : High frequency oscillatory ventilation IC : Inspiratory Capacity

IK : interval kepercayaan IMT : Indeks masa tubuh

IRV : Inspiratory Reserve Volume IUGR : Intrauterine growth retardation kg : kilogram

KI : Kapasitas Inspirasi

KRF : Kapasitas Residual Fungsional KTP : Kapasitas total paru

KV : Kapasitas vital

(14)

n : Jumlah Sampel

NHLBI : National Heart Lung and Blood Institute NLHEP : National Heart Lung and Blood

P : Tingkat Kemaknaan PEF : Peak epiratory flow

Rp Rupiah

RV : Residual volume SB : Standar Baku

SMP : Sekolah Menengah Pertama SUSENAS : Survei Sosial Ekonomi Nasional TLC : Total Lung Capacity

TV : Tidal volume

UMK : Upah Minimum Kota

VC : Vital Capacity

VCE : Volume Cadangan Ekspirasi VCI : Volume Cadangan Inspirasi VEP1 : Volume Ekspirasi Detik Pertama VR : Volume residual

VT : Volume tidal

(15)

DAFTAR LAMBANG

α : kesalahan tipe I β : kesalahan tipe II

Zα : deviat baku normal untuk α Zβ : deviat baku normal untuk β ≥ : lebih besar atau sama dengan ≤ : lebih kecil atau sama dengan

(16)

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN NILAI FAAL PARU VEP1 DAN KVP

Cherie Nurul F Lubis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Ridwan M Daulay, Selvi Nafianti, Wisman Dalimunthe, Rini S Daulay,

Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Indonesia

Abstrak

Latar belakang Berat badan lahir rendah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan kelanjutan dari saluran pernafasan dan merupakan faktor risiko penurunan fungsi paru saat dewasa muda. Satu studi mengidentifikasi bahwa terdapat penurunan fungsi paru yang dimulai saat usia 13 sampai 14 tahun.

Tujuan Untun mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru volume ekspirasi detik pertama dan kapasitas vital paksa

Metode Studi cross sectional dilakukan di tiga sekolah menengah pertama di kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Juli sampai 7 Agustus 2014. Subjek penelitian pada anak usia 13 sampai 14 tahun berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih berdasarkan jawaban kuesioner dari orangtua. Pada subjek dilakukan pemeriksaan Spirometri dan yang memenuhi kriteria American Thoracic Society (ATS) diambil sebagai sampel. Analisis yang digunakan adalah Chi Square

test dan Independent T test.

Hasil Studi terdiri dari 58 anak dengan riwayat berat badan lahir rendah dan 59 anak dengan riwayat berat badan lahir normal. Tidak ada perbedaan nilai faal paru VEP1 rata – rata yang signifikan antara berat badan rendah 2.3 l (SB 0.41) dibandingkan dengan berat badan lahir normal 2.2 l (SB 0.48)

Kesimpulan

(95% KI -0.252-0.073 P:0.28). Tidak ada perbedaan nilai faal paru KVP rata – rata yang signifikan antara berat badan lahir rendah 2.5 l (SB 0.48) dibandingkan dengan berat badan lahir normal 2.4 l (SB 0.52) (95% KI -0.291-0.076 P: 0.25).

Tidak ada perbedaan signifikan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa.

(17)

THE RELATIONSHIP BETWEEN LOW BIRTH WEIGHT AND FORCED EXPIRATORY VOLUME (FEV1) AND FORCED VITAL CAPACITY (FVC)

Cherie Nurul F Lubis, Ridwan M Daulay, Selvi Nafianti, Wisman Dalimunthe, Rini S Daulay,

Department of Child Health, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik General Hospital, Medan, Indonesia

Abstract

Background Low birth weight has its greatest effect on the subsequent development of airway function and suggested to be risk factors of decreasing lung function in adulthood. A study identified a significant decline in lung function start at 13 to 14 years.

Objective To know the relationship low birth weight and forced expiratory volume and forced vital capacity

Methods A cross sectional study was conducted in three junior high school, Medan, North Sumatera Province on July 7th until August 7th 2014. Children with 13 to 14 years old matched inclusion and exclusion criteria were selected through questionnaire answered by parents and lung function measurement by Spirometry with fulfilled the American Thoracic Society (ATS) criteria. Analysis used Chi Square

test and Independent T test.

Results The study subjects consisted of 58 students with a history low birth weight and 59 students with a history of normal birth weight. There were no significant differences between low birth weight and obstructive and restrictive lung disorders (P 0.18). No significant differences between low birth weight and the mean of FEV1

Conclusion

2.3 l (SD 0.41) compared with normal birth weight 2.2 l (SD 0.48) (95%CI -0.252-0.073 P:0.28). No significant differences between low birth weight and the mean of FVC 2.5 l (SD 0.48) compared with normal birth weight 2.4 l (SD 0.52) (95%CI -0.291-0.076 P: 0.25).

No significant relationship between low birth weight and forced expiratory volume and forced vital capacity.

(18)

HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DENGAN NILAI FAAL PARU VEP1 DAN KVP

Cherie Nurul F Lubis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Ridwan M Daulay, Selvi Nafianti, Wisman Dalimunthe, Rini S Daulay,

Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, Indonesia

Abstrak

Latar belakang Berat badan lahir rendah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan kelanjutan dari saluran pernafasan dan merupakan faktor risiko penurunan fungsi paru saat dewasa muda. Satu studi mengidentifikasi bahwa terdapat penurunan fungsi paru yang dimulai saat usia 13 sampai 14 tahun.

Tujuan Untun mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru volume ekspirasi detik pertama dan kapasitas vital paksa

Metode Studi cross sectional dilakukan di tiga sekolah menengah pertama di kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Juli sampai 7 Agustus 2014. Subjek penelitian pada anak usia 13 sampai 14 tahun berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih berdasarkan jawaban kuesioner dari orangtua. Pada subjek dilakukan pemeriksaan Spirometri dan yang memenuhi kriteria American Thoracic Society (ATS) diambil sebagai sampel. Analisis yang digunakan adalah Chi Square

test dan Independent T test.

Hasil Studi terdiri dari 58 anak dengan riwayat berat badan lahir rendah dan 59 anak dengan riwayat berat badan lahir normal. Tidak ada perbedaan nilai faal paru VEP1 rata – rata yang signifikan antara berat badan rendah 2.3 l (SB 0.41) dibandingkan dengan berat badan lahir normal 2.2 l (SB 0.48)

Kesimpulan

(95% KI -0.252-0.073 P:0.28). Tidak ada perbedaan nilai faal paru KVP rata – rata yang signifikan antara berat badan lahir rendah 2.5 l (SB 0.48) dibandingkan dengan berat badan lahir normal 2.4 l (SB 0.52) (95% KI -0.291-0.076 P: 0.25).

Tidak ada perbedaan signifikan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru volume ekspirasi paksa detik pertama dan kapasitas vital paksa.

(19)

THE RELATIONSHIP BETWEEN LOW BIRTH WEIGHT AND FORCED EXPIRATORY VOLUME (FEV1) AND FORCED VITAL CAPACITY (FVC)

Cherie Nurul F Lubis, Ridwan M Daulay, Selvi Nafianti, Wisman Dalimunthe, Rini S Daulay,

Department of Child Health, Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara, Haji Adam Malik General Hospital, Medan, Indonesia

Abstract

Background Low birth weight has its greatest effect on the subsequent development of airway function and suggested to be risk factors of decreasing lung function in adulthood. A study identified a significant decline in lung function start at 13 to 14 years.

Objective To know the relationship low birth weight and forced expiratory volume and forced vital capacity

Methods A cross sectional study was conducted in three junior high school, Medan, North Sumatera Province on July 7th until August 7th 2014. Children with 13 to 14 years old matched inclusion and exclusion criteria were selected through questionnaire answered by parents and lung function measurement by Spirometry with fulfilled the American Thoracic Society (ATS) criteria. Analysis used Chi Square

test and Independent T test.

Results The study subjects consisted of 58 students with a history low birth weight and 59 students with a history of normal birth weight. There were no significant differences between low birth weight and obstructive and restrictive lung disorders (P 0.18). No significant differences between low birth weight and the mean of FEV1

Conclusion

2.3 l (SD 0.41) compared with normal birth weight 2.2 l (SD 0.48) (95%CI -0.252-0.073 P:0.28). No significant differences between low birth weight and the mean of FVC 2.5 l (SD 0.48) compared with normal birth weight 2.4 l (SD 0.52) (95%CI -0.291-0.076 P: 0.25).

No significant relationship between low birth weight and forced expiratory volume and forced vital capacity.

(20)

BAB 1. Pendahuluan

1.1 Latar belakang:

Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa anak – anak karena masa perkembangan dan maturasi fungsi paru dimulai sebelum lahir. Berat badan lahir menjadi salah satu faktor perinatal atau indikator perkembangan fetal dan maturasi.1,2 Faktor perinatal berhubungan dengan gejala respiratorik dan nilai fungsi paru dalam kehidupan selanjutnya. Pada studi kasus kontrol di Belanda menunjukan meningkatnya prevalensi gejala respiratorik dan penurunan nilai fungsi paru pada anak usia sekolah dan remaja dengan riwayat berat badan lahir rendah (BBLR).

Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi berat badan lahir rendah di Indonesia tahun 1986 sampai 1999 adalah sekitar 7 sampai 16%. Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi BBLR secara global hingga saat ini masih tetap berada di kisaran 20% dari seluruh bayi yang lahir hidup setiap tahunnya.

3

4

Studi di Inggris mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dan nilai Volume Ekspirasi Detik Pertama (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in one second (FEV1) pada usia 7 tahun.

Penurunan fungsi paru pada bayi baru lahir dapat menjadi prediksi

(21)

kehidupannya.6 Pengaruh gangguan respiratorik masa anak – anak dan remaja seperti asma, infeksi saluran nafas dan berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi kesehatan paru di masa perkembangan selanjutnya telah diteliti sebelumnya.7,8 Studi di Amerika menunjukkan bahwa berat badan lahir rendah mempengaruhi perkembangan fungsi paru pada usia 14 tahun dan 49 sampai 51 tahun. Studi lain menyatakan faktor risiko seperti bronkitis, asma dan pneumonia mempengaruhi fungsi paru usia 12 sampai lebih dari 13 tahun. Masih belum ada studi yang jelas mengenai kapan terjadi penurunan fungsi paru ini apakah di usia awal, usia menengah atau usia selanjutnya. Fungsi paru sendiri akan mencapai maksimal pada usia 18 sampai 25 tahun.

Studi kohort di Inggris menunjukan berat badan lahir rendah serta riwayat bronkitis kronis, pneumonia atau bronkiolitis pada saat bayi akan menyebabkan penurunan fungsi paru dibandingkan kelompok berat badan lahir normal. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan riwayat pneumonia sebelum usia 2 tahun dengan penurunan fungsi paru dimana jenis kelamin laki – laki mengalami penurunan fungsi paru yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan.

7

Studi lain di Inggris menunjukkan riwayat pneumonia dan bronkitis sebelum usia 2 tahun berhubungan dengan penurunan nilai VEP1 dan Kapasitas Vital Paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC).

9

9

(22)
(23)

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru VEP1 dan KVP

1.3 Hipotesis:

Terdapat hubungan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru VEP1 dan KVP

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.2 Tujuan umum : Untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru VEP1 dan KVP

1.4.3 Tujuan Khusus:

1.4.3.1 Mengetahui hubungan berat badan lahir dengan terjadinya kelainan paru respiratorik obstruktif dan restriktif

(24)

1.5 Manfaaat penelitian

1. Di bidang akademik/ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang respirologi anak, khususnya dalam hal hubungan berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru VEP1 dan KVP

2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan pelayanan kesehatan anak dan remaja, khususnya pelayanan di bidang respirologi anak.

(25)

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.1 Kelainan respiratorik

Sesuai dengan mekanisme kerja antara volume dan aliran udara paru (flow - volume) maka kelainan respiratorik terdiri obstruktif dan restriktif.10 Pada kedua kelainan ini terjadi penurunan peak epiratory flow (PEF) namun dengan penyebab yang berbeda. Kelainan obstruktif (asma, bronkitis, emfisema) merupakan gangguan aliran udara dimana terjadi volume paru yang besar yang dapat meningkatkan tekanan rekoil elastisitas alveoli, sedangkan pada kelainan restriktif didapatkan gangguan volume paru yang terjadi dengan peningkatan rekoil elastisitas dinding paru (fibrosis pulmonal) atau peningkatan rekoil elastisitas alveoli (penyakit yang berhubungan dengan surfaktan paru yang berkurang).

Pada pemeriksaan fungsi paru, kelainan restriktif menunjukkan penurunan kapasitas total paru (KTP) atau Total Lung Capacity (TLC) dan kapasitas vital (KV) atau Vital Capacity (VC), sedangkan pada kelainan obstruktif, akibat penumpukan udara akan terjadi peningkatan volume residual (VR) atau residual volume (RV) dan Kapasitas Residual Fungsional (KRF) atau Functional Residual Capacity (FRC).

11

(26)

2.2 Patogenesis Perkembangan Paru

Sistem respiratorik terdiri dari mekanisme pemompaan (otot - otot respiratorik, dinding dada dan saluran nafas), pertukaran gas antar membran (antara ruangan udara dan sirkulasi pulmonal) dan susunan saraf pusat yang terhubung dengan suatu sistem sensorik kimiawi dan mekanis yang terdistribusi pada sistem sirkulasi tubuh. Pada dasarnya sistem ini memastikan tidak hanya efisiensi pertukaran gas tetapi juga kemampuan beradaptasi dalam pengambilan oksigen dan eliminasi karbondioksia untuk kebutuhan proses hidup yang bervariasi.

Perubahan komponen sistem respiratorik dan interaksinya dengan sistem sirkulasi memiliki peran pada beragam manifestasi klinis. Manifestasi yang paling berat adalah terjadinya ketidakseimbangan tekanan parsial karbondioksida dan oksigen pada arteri darah yang diketahui sebagai gagal nafas.

13

Perkembangan paru terdiri dari 5 tingkat antara lain: embrionik (26 sampai 52 hari, psedoglandular (52 hari sampai minggu 16), kanalikular (minggu 16 sampai 28), sakular (minggu 28 sampai 36) dan alveoli (minggu 36 sampai usia kehamilan cukup bulan). Tingkatan ini menunjukkan, perkembangan periode alveoli belum mulai sebelum 36 minggu. Gambar 2.2.1 menunjukkan tingkat perkembangan paru.

13

(27)

Gambar 2.2.1 Tingkat perkembangan paru.

Perkembangan alveoli dimulai dari pembentukan sakula pada saat saluran respiratorik membentuk sistem percabangan. Struktur ini besar, berdinding tebal dan lebih irregular dari alveoli, kemungkinan agar mampu mengatur pertukaran gas. Pada usia gestasi 28 sampai 32 minggu, beberapa sakula memiliki bentuk kerucut dan lapisan kapiler tunggal tetapi bayi yang lahir kurang dari 28 minggu hampir tidak memiliki alveoli. Pada bayi cukup bulan didapatkan sekitar 150 juta alveoli dengan jumlah yang sangat variatif.

10

Ukuran paru menunjukkan jumlah unit akhir yang tidak dapat dideteksi oleh ahli anak tetapi akan mempengaruhi fungsi respiratorik anak di kemudian hari. Menurut studi di Amerika didapatkan 300 juta alveoli pada paru dewasa yang dibentuk pada usia 2 tahun. Variabilitas jumlah alveoli yang ada saat usia 20 tahun tidak dapat diprediksi untuk pertambahan jumlah alveoli dan kapan berhenti pertambahan alveoli pada usia tersebut. Sistem

(28)

respiratorik akan terus berkembang dari lahir hingga dewasa muda. Awal perkembangan paru dan riwayat gambaran penyakit respiratorik memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi paru selama masa anak.

Struktur respiratorik berubah akan selama masa pertumbuhan. Struktur yang berubah adalah volume paru dan hubungan tekanan dan volume (compliance) yang menunjukkan perkembangan parenkim (alveoli), sedangkan hubungan aliran udara dan aliran tekanan (resisten dan konduktan) menunjukkan perkembangan saluran respiratorik.

13

Perkembangan paru setelah lahir akan terus terjadi sampai masa remaja dan kemungkinan akan terus berlanjut. Hal ini penting untuk diingat bahwa paru bayi baru lahir bukanlah miniature paru dewasa. Selama pertumbuhan, diameter trakea mendekati tiga kali lipat, dimensi alveoli meningkat empat kali lipat dan jumlah alveoli meningkat sekitar sepuluh kali lipat sementara massa tubuh meningkat 20 kali lipat. Hubungan anatomis lain dari paru bayi dan anak adalah mirip dengan paru dewasa. Area permukaan internal paru sesuai dengan massa tubuh (mendekati 1 m

14

2

(29)

2.3 Klasifikasi dan Gejala Kelainan Respiratorik

Kelainan respiratorik yang disebabkan infeksi terdiri dari akut dan kronis. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari.15 Secara umum kelainan respiratorik yang disebabkan infeksi diklasifikasikan dalam infeksi saluran nafas atas seperti common cold, rinitis, faringitis, otitis media dan konjungtivitis sedangkan infeksi saluran nafas bawah seperti croup, laryngitis, trakeobronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Pada infeksi respiratorik akut, sekitar 30 sampai 40% gejala yang terjadi adalah demam kurang dari 3 hari atau maksimal 5 sampai 6 hari. Virus menjadi penyebab yang terbanyak. Infeksi saluran respiratorik dapat melibatkan saluran respiratorik dari hidung sampai alveoli.

Kelainan respiratorik menurut mekanismenya terbagi dua yaitu obstruktif dan restriktif. Kelainan obstruktif terdiri dari asma, bronkiolitis, aspirasi benda asing dan croup. Sedangkan restriktif terdiri dari pneumonia, edema paru, edema insterstitial, pneumonitis, fibrosis paru dan tuberkulosis.

16

Manifestasi klinis respiratorik yang harus diwaspadai dan berhubungan manifestasi klinis yang kronis antara lain: demam persisten, aktivitas terbatas, gagal tumbuh, gagal mencapai berat badan sesuai proporsi, jari tabuh, takipnu persisten, sputum purulen kronis, hiperinflasi persisten, hipoksemia, infiltrat pada foto toraks, fungsi paru abnormal yang persisten, riwayat keluarga yang menderita penyakit paru yang parah serta terdapat

(30)

sianosis dan hiperkarbia. Jika tidak ada gejala demikian maka proses respiratorik yang kronis ini biasanya ringan. Namun gejala klinis yang ringan tetapi persisten biasanya berhubungan dengan masalah saluran respiratorik bawah yang perlu diobservasi lebih lanjut, sebaliknya beberapa anak (misalnya asma yang berhubungan dengan infeksi) memiliki episode penyakit yang dapat membahayakan hidupnya dapat muncul tanpa gejala dalam interval tertentu. Sehingga pemeriksaan berulang pada anak yang terlihat sehat dan ketika anak dengan gejala dapat membantu menentukan tingkat keparahan dan tingkat kronis penyakit respiratorik.

Gejala saluran respiratorik berupa batuk, wheezing dan stridor sering muncul atau ada dalam waktu yang lama, bahkan dapat ditemukan infiltrat paru yang persisten dengan atau tanpa gejala pada sejumlah anak.

17

2.3.1 . Batuk rekuren atau persisten

17

(31)

dimasukkan adalah kondisi atopi, variasi musim atau intensitas batuk, riwayat keluarga atopi, semua hal yang menunjukkan penyebab alergi, gejala malabsorpsi atau riwayat keluarga yang mengindikasikan kistik fibrosis, gejala yang berhubungan dengan makan, riwayat aspirasi seperti tersedak atau aspirasi benda asing, kepala pusing atau wajah sembab berhubungan dengan sinusitis dan riwayat merokok pada anak yang lebih tua dan remaja atau adanya perokok di rumah.

2.3.2 . Wheezing rekuren atau persisten

17

Wheezing rekuren hampir selalu merupakan manifestasi dari obstruksi pada saluran nafas bawah anak. Wheezing pada anak usia 2 sampai 3 tahun disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa dan akumulasi dari sekresi berlebihan memiliki yang efek obstruktif yang relatif besar pada saluran respiratorik yang lebih kecil. Wheezing rekuren dan persisten pada anak merupakan tanda dari gangguan paru yang reaktif. Faktor lingkungan yang tidak spesifik seperti asap rokok menjadi kontributor yang penting. 2.3.3 . Stridor rekuren atau persisten

17

(32)

posisi supine menunjukkan laringomalasia atau tracheomalasia. Riwayat suara serak atau afoni menunjukkan keterlibatan pita suara.

2.3.4 . Infiltrat persistan pada pemeriksaan foto toraks

17

Pada pneumonia akut, infiltrat paru secara radiologis akan hilang selama 1 sampai 3 minggu, tetapi pada sejumlah anak terutama bayi, sering mengalami kegagalan pembersihan infiltrat secara komplit selama 4 minggu. Kemungkinan anak akan mengalami demam atau tidak demam dengan bermacam gejala dan tanda respiratorik.17

2.4. Diagnosis Kelainan respiratorik

Langkah awal untuk menentukan diagnosis kelainan respiratorik adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis seperti pertanyaan tentang gejala, bersifat kronis atau tidak, gejala muncul malam hari atau sepanjang hari, atau berhubungan dengan aktivitas seperti saat makan atau olahraga. Sistem respiratorik juga berhubungan dengan sistem organ lain dan pertanyaan harus berhubungan dengan sistem jantung, pencernaan, sistem saraf pusat, hematologi dan sistem imunitas.

Pada kelainan respiratorik akut diperlukan isolasi virus dari hapusan nasofaring untuk menegakkan diagnosis. Kelainan respiratorik kronis sulit menentukan penyebab karena gejala dapat disebabkan oleh proses diluar infeksi saluran nafas akut.

12

(33)
(34)

Pada pemeriksaan auskultasi dapat menentukan adanya inspirasi atau ekspirasi yang memanjang dan memberikan informasi mengenai simetris dan kualitas gerakan udara. Pemeriksaan auskultasi yang tidak normal dapat mendeteksi suara tambahan berupa stridor (suara inspirasi yang lebih dominan), ronki (suara nada tinggi, suara terputus - putus yang ditemukan selama inspirasi dan lebih jarang selama awal ekspirasi yang menandakan pembukaan ruang udara yang baru saja tertutup, atau wheezing (suara musikal, suara yang tidak terputus - putus yang biasanya disebabkan oleh adanya aliran turbulensi pada saluran nafas yang sempit).

Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan menurut indikasi misalnya evaluasi sputum, pemeriksaan radiologis paru, bronkoskopi, pemeriksaan alveolar lavage fluid atau biopsi paru. Terapi optimal tergantung pada diagnostik spesifik, namun terapi simptomatis pada kelainan paru kronis dapat membantu menjaga fungsi paru yang adekuat sampai perbaikan muncul dengan sendiri. Terapi simptomatis seperti terapi inhalasi dan terapi fisik untuk sekresi respiratorik yang berlebihan, pemberian antibiotik untuk infeksi bakteri, pemberian oksigen tambahan untuk hipoksemia, dan pemeliharaan nutrisi yang cukup. Karena paru-paru anak memiliki potensi penyembuhan yang luar biasa, fungsi paru-paru normal pada akhirnya dapat dicapai dengan pengobatan meskipun keparahan sudah terbentuk selama masa bayi atau anak usia dini.

13

(35)

2.5. Faktor Risiko yang Mendasari Perjalanan Kelainan respiratorik

1. Usia

Kelainan respiratorik ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% berusia 5 sampai 12 tahun. Kasus terberat pada anak berusia di bawah 6 bulan.

2. Jenis kelamin

15

Tidak ada perbedaan insiden kelainan respiratorik akibat virus atau bakteri pada jenis kelamin laki – laki dan perempuan. Namun pada studi di Amerika insiden lebih tinggi pada anak laki – laki berusia di atas 6 tahun.

3. Status gizi

15,18

Status gizi anak merupakan faktor risiko penting terjadinya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya kelainan respiratorik pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun.

4. Pemberian air susu ibu (ASI)

15

(36)

5. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat kelainan respiratorik. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.15 Studi di Amerika menunjukkan bahwa risiko asma meningkat pada anak usia 3 tahun dengan riwayat berat badan lahir rendah.

6. Imunisasi

19

Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena kelainan respiratorik. Di India, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami kelainan respiratorik enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri dapat menyebabkan 15 sampai 25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan kelainan respiratorik.

7. Pendidikan orang tua

15

(37)

Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus kelainan respiratorik tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.

8. Status sosial ekonomi

15

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor – faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Risiko kelainan respiratorik 3.3 kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah dari hasil suatu studi.

9. Penggunaan fasilitas kesehatan

15

Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati diperkirakan 10 sampai 20 %. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat mencerminkan tingginya insidens kelainan respiratorik, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di Puskesmas dan 20 sampai 40% dari kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah.

10. Lingkungan

15

(38)

berventilasi baik memiliki angka insiden kelainan respiratorik yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang di rumah dengan ventilasi buruk.

Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia.

15

15

Tingkat keparahan kelainan respiratorik khususnya bronkiolitis dan wheezing berhubungan juga dengan paparan asap rokok.20,21 Ibu perokok ternyata dapat meningkatkan eksaserbasi asma anak dan meningkatnya kebutuhan rawat inap pada asma.22

2.6. Uji Fungsi Paru

Tujuan pemeriksaan uji fungsi paru antara lain menentukan disfungsi paru pada anak dengan gejala respiratorik, menentukan derajat disfungsi paru, menentukan jenis disfungsi paru obstruktif, restriktif atau gabungan keduanya, membantu menentukan letak obstruksi saluran respiratorik sentral atau perifer, deteksi hipereaktivitas saluran respiratorik, evaluasi risiko prosedur diagnostik dan terapi, monitor efek samping kemoterapi atau terapi radiasi pada paru, prediksi prognosis disfungsi paru, investigasi efek kelainan respiratorik kronis dan akut pada perkembangan paru.

Uji fungsi paru dapat menggunakan spirometri, teknik dilusi gas, dan pletyhsmography.

23

23 Spirometri merupakan alat yang relatif sederhana,

(39)

saat inspirasi maksimal dalam waktu yang ditentukan menggunakan manuver ekspirasi maksimal.24-26 Alat ini biasanya digunakan sebagai prosedur skrining dan merupakan uji baku emas untuk mendiagnosis kelainan paru obstruktif oleh National Heart Lung and Blood (NLHEP), National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI), dan World Health Organization (WHO).

Pada pemeriksaan spirometri, anak sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator kerja cepat selama 4 jam sebelum tes dilakukan. Istirahat selama lima atau sepuluh menit diperlukan sebelum tes dilakukan. Setelah menerima instruksi anak diminta untuk memulai tes. Inspirasi maksimal diperlukan diikuti dengan ekspirasi maksimal. Tes dilakukan dengan posisi berdiri menggunakan klip hidung.

27

Untuk mendapatkan hasil spirometri yang akurat diperlukan:

25

a. Alat harus dikalibrasi sesuai populasi subjek sebelum dipakai untuk pemeriksaan.

b. Persiapan subjek: anak tidak diperkenankan merokok pada hari pemeriksaan, tidak makan terlalu kenyang, berpakaian longgar, mengerti prosedur yang akan dilakukan, sebaiknya berdiri tegak saat pemeriksaan.

26,27

c. Penilaian: maksimal delapan kali manuver, minimal terdapat 3 spirogram yang memenuhi syarat dan 2 nilai terbesar VEP1 atau

(40)

FEV1 dan KVP atau FVC tidak berbeda lebih dari 5% atau 150 ml (atau 100 ml jika KVP bernilai 1 L atau kurang).

Prosedur tindakan spirometri:

26,27

- Pengisian identitas subjek, usia, dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan, ras dan jenis kelamin kemudian menentukan besar nilai prediksi berdasarkan nilai standar fungsi paru Pneumobile Project Indonesia

26,27

- Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri

Pemeriksaan yang dapat diterima (acceptability) adalah yang memenuhi ke empat ketentuan sebagai berikut :

a. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai

26,27

b. Waktu ekspirasi minimal 3 detik

c. Permulaan pemeriksaan harus cukup baik sesuai kriteria American Thoracic Society – European (ATS – ERS) yakni volume – time tracing harus dimulai setidaknya 0.25 detik sebelum ekshalasi dimulai d. Grafik flow volume mempunyai puncak grafik

Hal yang menunjukkan bahwa pemeriksaan tidak dilakukan dengan baik apabila di dapatkan :

a. Permulaan ekspirasi yang tidak baik di tandai dengan keragu-raguan dan permulaan yang lambat.

27

(41)

c. Manuver valsava ( penutupan glotis).

d. Akhir ekspirasi yang cepat. Pada orang normal biasanya ekspirasi ini berlangsung 6 detik.

e. Terdapat kebocoran.

f. Mouthpiece tersumbat oleh lidah atau gigi palsu dan lain-lainnya.

(42)

yang masih tetap tinggal di dalam paru-paru setelah ekspirasi maksimum. Terdapat empat kapasitas, masing-masing mengandung dua atau lebih volume primer yakni: Kapasital Total Paru (KTP) atau Total Lung Capacity (TLC) atau yaitu jumlah udara yang terdapat di dalam paru-paru pada saat inspirasi maksimum, Kapasitas Vital (KV) atau Vital Capacity (VC) yaitu volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan dari paru-paru secara paksa setelah inspirasi maksimum, tanpa memperhitungkan waktu, Kapasitas Residual Fungsional (KRF) atau Fuctional residual capacity (FRC) adalah volume gas yang terdapat di dalam paru-paru pada akhir ekspirasi normal, Kapasitas Inspirasi (KI) atau Inspiratory Capacity (IC) adalah volume udara maksimum yang dapat dihirup setelah ekspirasi normal.23

(43)

Volume statik yang dapat diperoleh dengan spirometri yang sederhana adalah TV, KV, KI, VCI dan VCE. Sedangkan volume statis yang tidak dapat diukur dengan spirometri sederhana adalah: VR, KRF dan KTP.

Pada spirometri beberapa variabel yang dapat diperiksa adalah VEP1 dan KVP. Kapasita Vital Paksa (KVP) adalah volume maksimal dari udara ekspirasi dengan manuver ekspirasi paksa maksimal yang diinisiasi setelah manuver inspirasi maksimal. Vital ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama. Volume ekspirasi paksa detik pertama dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus.

23,28-29

28

Nilai VEP1 merupakan volume maksimal dari udara eskprasi dalam detik pertama dari manuver KVP. Keduanya dalam satuan liter.30 Pada pemeriksaan KVP memiliki alur berikut dibawah ini:

- Subjek menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat kemudian udara segera dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan bibir pasien melingkup sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran.

28

- Pemeriksaan dilakukan paling banyak 8 kali dan didapatkan paling sedikit 3 nilai yang reproducible dan acceptable.

- Nilai yang dapat diterima adalah yang memenuhi 3 kriteria berikut yaitu: 1. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai

(44)

3. Awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu – ragu dan cepat mencapai puncak yang tajam.

Uji dapat dikatakan reproducible jika perbedaan antara 2 nilai terbesar VEP1 atau FEP1 dan KVP atau FVC tidak berbeda lebih dari 5% atau 150 ml (atau 100 ml jika KVP bernilai 1 L atau kurang).

Rasio VEP1 dan KVP dikenal berguna untuk mengukur fungsi paru. Kalkulasi keduanya merupakan hasil pengukuran dari pemeriksaan tunggal.23,25 Selain volume, flow juga diperhitungkan pada spirometri.

Interpretasi hasil uji fungsi paru secara kuantitatif, parameter yang diukur dapat dianalisis dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap suatu nilai baku atau prediktif dan menentukan suatu indeks atau rasio dengan jalan membandingkan suatu parameter dengan parameter lain dari orang yang sama.

23

26

Referensi penilaian spirometri untuk anak – anak memiliki data yang terbatas namun ada studi yang memeriksakan nilai spirometri pada usia 6 sampai 20 tahun. Pada studi ini tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin menjadi faktor yang mempengaruhi nilai fungsi paru.

Pengukuran fungsi paru pada balita dan anak usia lebih muda sulit karena tidak kooperatif. Beberapa usaha telah diciptakan untuk mengatasi keterbatasan dengan membuat uji standar yang tidak membutuhkan partisipasi aktif pasien.

30

17

(45)

macam kelainan ventilasi, yaitu kelainan obstruktif atau kelainan yang menyebabkan terhalangnya kelancaran arus udara (air flow) yang masuk atau keluar paru.

Kelainan restriktif, yang menyebabkan berkurangnya volume paru (lung volume), kelainan umumnya terletak di luar saluran respiratorik.

26

26

(46)

Pengukuran aliran udara lain membutuhkan anak untuk menarik nafas pada KTP (TLC) dan membuang nafas sepanjang mungkin untuk beberapa detik. Kerjasama dan kekuatan otot yang bagus diperlukan untuk pengukuran yang dapat dipercaya. Volume Ekspirasi Detik Pertama (VEP1 atau FEV1) berhubungan dengan keparahan kelainan obstruktif. Nilai mid expiratory flow maksimal, rata – rata aliran lebih besar dari pertengahan 50% forced vital capacity menjadi indikator obstruksi saluran nafas ringan. Sensitivitasnya pada perubahan volume residu dan kapasital vital namun penggunaannya terbatas pada anak dengan penyakit yang lebih parah.17

2.7 Faktor risiko penurunan fungsi paru

(47)

hubungan volume dan tekanan paru dan elastisitas paru berkurang bersama dengan bertambahnya usia sampai dewasa muda.

Berat badan lahir berhubungan dengan gejala respiratorik seperti wheezing, batuk dan infeksi saluran nafas bawah khususnya usia 2 sampai 5 tahun, paling banyak saat usia 4 tahun dan menurun pada usia 7 tahun.

12

18,31

Studi di Amerika menunjukkan bahwa berat badan lahir berhubungan dengan terjadinya wheezing, wheezing rekuren dan asma pada usia 2 tahun dengan peningkatan faktor risiko pada anak laki – laki, terpapar rokok secara pasif, riwayat orang tua asma, dan paparan dari saudara kandung yang lain. Namun terjadinya wheezing, wheezing rekuren dan asma pada usia 2 tahun tidak berhubungan dengan usia gestasi.19 Sebaliknya pada studi lain usia gestasi berhubungan dengan kelainan respiratorik pada masa anak – anak sedangkan berat badan lahir berhubungan dengan disfungsi paru. Hubungan usia gestasi dengan kelainan respiratorik yang paling banyak adalah terjadinya wheezing, sehingga setiap bertambahnya usia gestasi dapat mengurangi risiko kelainan respiratorik berupa wheezing sebanyak 10%.

Pada penelitian kohort di Norwegia menunjukkan bahwa bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah khususnya yang memiliki riwayat BPD neonatal berhubungan secara signifikan dengan penurunan nilai VEP1 pada usia 10 dan 18 tahun dibandingkan riwayat bayi cukup bulan. Hal ini juga meningkatkan terjadinya obstruksi nafas yang muncul saat usia anak

(48)

pertama kelahiran dan dewasa awal.32 Hal ini juga disimpulkan oleh studi kasus kontrol pada usia sekolah di Jerman.33 Pada studi di Prancis menjelaskan bahwa terapi surfaktan berhubungan dengan penurunan risiko abnormalitas paru pada anak usia sekolah.34 Namun pada studi di India, terdapat penurunan nilai VEP1 pada usia 7 tahun dengan atau tanpa riwayat BPD.35 Fungsi paru juga dipengaruhi oleh geografis dan lingkungan. Namun pada studi di Indonesia bahwa tidak ada perbedaan bermakna fungsi paru anak usia 10 sampai 12 tahun yang sekolah di area polusi udara tinggi dan rendah.

Pada studi di India menunjukkan bahwa selain antropometrik dan faktor sosial ekonomi, tingkat ketinggian tempat tinggal juga mempengaruhi fungsi paru.

36

37

Studi di Afrika pada 27.660 orang kulit hitam di Afrika menunjukkan bahwa riwayat tuberkulosis menyebabkan kerusakan kronis paru dan mempengaruhi nilai FEV1.38 Studi di Skotlandia pada pemeriksaan paru dewasa menunjukkan penurunan fungsi paru dengan riwayat asma dan wheezing bronkitis pada masa anak – anak.39 Pada studi di Utah terdapat penurunan FEV1 lebih dari 300 mL pada laki – laki dan > 200 mL pada wanita berhubungan dengan status ekonomi. Rokok berhubungan dengan efek lanjutan dari kerusakan sistem respiratorik.

Pada studi prospektif di Arizona, insiden pneumonia selama tiga tahun pertama kehidupan adalah sebanyak 7.4%. Anak dengan diagnosis

(49)
(50)

2.8 Kerangka konseptual

1.Kerusakan struktur paru: parenkim (alveoli dan jaringan interstitial) dan pembuluh darah 1

2.Kerusakan struktur saluran pernafasan paru:saluran pernafasan atas(mulut, hidung, laring, Saluran nafas bawah (trakea, brnkus utama, bronkiolus hingga alveoli

(51)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini merupakan studi Cross Sectional yang membandingkan Berat Badan Lahir Rendah dan Berat Badan Lahir Normal terhadap penurunan nilai VEP1 dan KVP

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Medan yaitu di SMP Negeri I Medan di Jalan Bunga Asoka No 6 Medan, SMP Swasta Al – Azhar Medan di Jalan Pintu Air no 214 Medan dan SMP Swasta Sultan Iskandar Muda Medan di Jalan Tengku Amir Hamzah Pekan I Sunggal. Penelitian dilaksanakan pada bulan 7 Juli sampai 7 Agustus 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

(52)

kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih secara random pada tiga sekolah tersebut.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus data numerik untuk dua populasi independen,yaitu:

2

42

( Z α + Z β)Sd n1 = n2

( X = 2

1 – X2 )

n1= n2 = besar sampel masing-masing kelompok

α= kesalahan tipe I = 0,05 Tingkat kepercayaan 95%

Zα = deviat baku normal untuk α= 1,96

β = kesalahan tipe II = 0,2 Power (kekuatan penelitian) 80%

Zβ = 0,842

Sd = simpangan baku kelompok BBLR dan bukan BBLR = 0.17

X1–X2 = perbedaan selisih score yang diharapkan = 0.09

5

Dengan menggunakan rumus di atas maka didapat jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sebanyak 56 orang, diambil secara konsekutif.

(53)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Anak usia 13 sampai 14 tahun 2. Indeks masa tubuh normal

3. Bersedia untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan mentaati prosedur penelitian serta menandatangani informed consent.

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Perokok aktif 2. Obesitas

3. Dengan penyakit penyerta seperti penyakit imunodefisiensi, malformasi kongenital, gagal jantung

4. Memiliki riwayat atopi dan keluarga dengan riwayat atopi

5. Memiliki penyakit paru seperti fibrosis paru, pneumonia, pneumotoraks, atelektasis, asma

6. Memiliki kelainan anatomi dada seperti kyposcoliosis 7. Memiliki kelainan neuromuskular seperti mystenia gravis 3.6. Persetujuan / Informed Consent

(54)

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja

1. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan ke dalam penelitian.

2. Keluarga dari sampel yaitu orangtua diberikan kuisioner mengenai riwayat berat badan lahir

3. Sampel dibagi 2 kelompok berdasarkan hasil kuisioner yang dijawab oleh keluarga, yaitu anak berat badan lahir rendah ( dibawah 2500 gram) dengan masuk dalam kelompok A, sedangkan anak riwayat berat badan lahir normal (di atas 2500 gram) menjadi kelompok B 4. Dilakukan pengukuran antropometri pada kedua kelompok yang terdiri

dari pengukuran berat badan dan tinggi / panjang badan anak. Berat badan diukur dalam satuan kg, menggunakan timbangan merk Camry buatan Cina, dengan skala pengukuran hingga 100 kg dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dalam satuan cm, menggunakan stadiometer dengan penambahan 0,5-1,5 cm dari hasil pengukuran. 5. Kedua kelompok dinilai faal paru VEP1 dan KVP dengan alat

(55)

semaksimal mungkin dengan cepat kemudian udara segera dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan bibir melingkupi sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran. Pemeriksaan dilakukan paling banyak 5 kali dan diapatkan paling sedikit 3 nilai yang dapat diterima.

(56)

3.9. Alur Penelitian

8. A. Kelompok kasus: anak riwayat

berat badan lahir rendah B. Kelompok Kontrol: anak riwayat berat badan normal

Pemeriksaan Nilai Faal Paru VEP1 dan KVP

Analisis data, penyusunan dan pelaporan

Pemeriksaan Nilai Faal Paru VEP1 dan KVP Pemeriksaan antropometri

Pemeriksaan fisik, anamnesa

Pemeriksaan antropometri Pemeriksaan fisik

(57)

3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Berat Badan Lahir Nominal Dikotom

Variabel tergantung Skala

VEP1 dan KVP Numerik

3.11. Definisi Operasional

1. Berat badan lahir rendah adalah berat badan dibawah 2500 gram. 2. Berat badan lahir normal adalah berat badan diatas atau sama dengan

2500 gram.

3. Usia subjek adalah usia penuh dalam tahun 4. Kebiasaan perokok:

a. Perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan sekitar

b. Perokok pasif adalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok

5. Riwayat usia gestasi:

(58)

6. Kelainan respiratorik saat masa kanak – kanak didefenisikan

a. Asma: didiagnosis oleh dokter umum atau dokter ahli anak atau mendapat obat – obatan asma

b. Bronkitis: Batuk dengan keluhan utama produksi sputum dengan batuk yang ringan dan produktif atau didiagnosis oleh dokter umum atau dokter ahli anak

c. Pneumonia: Batuk dengan keluhan utama sesak nafas, demam tinggi dan batuk atau didiagnosis oleh dokter umum atau dokter ahli anak

d. Tuberkulosis: Didiagnosis oleh dokter umum atau dokter ahli anak atau telah mendapatkan obat – obatan TBC

7. Risiko atopi keluarga: keluarga inti yang memiliki salah satu gejala penyakit seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi

8. Status gizi adalah status gizi subyek penelitian, diperoleh dari pengukuran indeks masa tubuh (IMT) yaitu IMT = BB/(TB2

9. Faal paru adalah keadaan faal paru yang dinilai menggunakan spirometer dengan hasil dapat normal, restriksi, obstruksi dan

(59)

campuran serta pemeriksaannya disebut pemeriksaan spirometri dengan nilai prediksi standar Pneumobile Project Indonesia

a. Normal: tidak ditemukan kelainan obstruksi dan restriksi.

b. Restriksi: KVP ≥ 80% dari nilai prediksi standar Pneumobile Project Indonesia, dikategorikan menjadi restriksi ringan (60 – 79%), sedang (50-59%) dan berat (<50%)

c. Obstruksi: rasio VEP1/KVP < 70% dari nilai prediksi standar Pneumobile Project Indonesia dan dikategorikan menjadi obstruksi ringan (60 – 79%), sedang (40 – 59%) dan berat (<40%)

d. Mixed obstruksi dan restriksi: Terdapat pengurangan besar pada Forced Expiratory Flow (FEF) yang besarnya muncul secara tidak proporsional dengan pengurangan rasio VEP1 dan KVP atau terdapat derajat scooping pada kurva maximal expiratory flow – volume.

10. Kapasitas Vital Paksa (KVP) adalah volume maksimal dari udara ekspirasi manuver ekspirasi paksa maksimal yang diinisiasi setelah manuver inspirasi maksimal.

(60)

12. Status ekonomi dinilai berdasarkan jumlah pengeluaran per orang per bulan dari Badan Pusat Statistik (BPS) di Kota Medan. Status ekonomi dibagi menjadi tidak miskin, hampir tidak miskin, miskin dan sangat miskin. Dinyatakan tidak miskin jika pengeluaran per orang perbulan lebih dari Rp. 350.610, hampir tidak miskin jika pengeluaran per orang per bulan antara Rp.280.488-Rp.350.610, hampir miskin jika pengeluaran per orang per bulan Antara Rp. 233.740 – Rp. 280.488, miskin jika pengeluaran per orang per bulan kurang dari Rp. 233.740 serta sangat miskin jika tidak ada kriteria berapa pengeluaran per orang per bulan dan tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah pastinya. Dalam penelitian ini status ekonomi dikatakan miskin jika masuk dalam kriteria hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Tidak miskin jika masuk dalam kriteria tidak miskin dan hampir tidak miskin.

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data

(61)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan terhadap anak-anak usia 13 sampai 14 tahun dengan riwayat berat badan lahir normal dan berat badan lahir rendah di Tiga Sekolah Mengenah Pertama di Kota Medan yaitu SMP Negeri I Medan, SMP Swasta Al – Azhar Medan dan SMP Swasta Sultan Iskandar Muda Medan. Penelitian dilakukan dari 7 Juli sampai 7 Agustus 2014.Terdapat 117 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

(62)
(63)

kelompok berat badan lahir rendah. Anak lebih banyak berasal dari status ekonomi tidak miskin dari pada miskin pada kedua kelompok dengan jumlah sebesar 46 orang (78%) dan 13 orang (22%) pada kelompok berat badan lahir normal dan 51 orang (87.9%) dan 7 orang (12.1%) pada kelompok berat badan lahir rendah. (Tabel 4.1)

Tabel. 4. 1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik Berat badan lahir

normal (n = 59)

Berat badan lahir rendah (n = 58) Berat badan saat (kg) ini Rerata

(SB)

48.64 (3.85) 49.88 (6.97) Tinggi badan (cm) Rerata (SB) 154.59(4.18) 153.91(4.17) Indeks masa tubuh (kg/m2) Rerata 20.36 (1.57)

(SB)

20.91 (2.59) Berat badan lahir (g) Rerata (SB) 3360 (364.8) 2248.3 (183.3) Jenis kelamin n

Laki – laki 29 32

Perempuan 30 26

Jenis persalinan n (%)

Spontan per vaginaam 47 (79.7) 50 (86.2)

Sectio cesaria 12 (20.3) 8 (13.8)

Tingkat Pendidikan Ayah n (%)

Rendah 30 (50.8) 21 (36.2)

Tinggi 29 (49.2) 37 (63.8)

Tingkat pendidikan Ibu n (%)

Rendah 32 (54.2) 33 (56.9)

Tinggi 27 (45.8) 25 (43.1)

Status ekonomi n (%)

Miskin 13 (22.0) 7 (12.1)

(64)

Dari hasil uji t independent terhadap hubungan rata – rata nilai faal paru VEP1 dan KVP dengan riwayat berat badan lahir didapatkan nilai rata – rata VEP1 dan KVP sedikit lebih tinggi pada kelompok berat badan lahir rendah tetapi tidak ada perbedaan bermakna (P 0.276 dan P 0.246) dengan nilai IK 95% -0.252 sampai 0.073 pada nilai rata – rata VEP1 dan -0.291 sampai 0.076 pada nilai rata – rata KVP (tabel 4.2).

Tabel 4.2. Hubungan berat badan lahir dengan nilai faal paru VEP, KVP dan rasio VEP/KVP

Berat badan lahir normal

(n=59)

Berat badan lahir rendah

(n=58)

P IK 95%

VEP1(l) Rerata (SB) 2.3(0.48) 2.3(0.41) 0.276 -0.252 – 0.073 KVP (l) Rerata (SB) 2.4 (0.52) 2.5 (0.48) 0.246 -0.291 – 0.076 VEP1/KVP Rerata (SB) 93.5 (5.99) 93.0 (6.09) 0.661 -1.720 – 2.704

(65)

Tabel 4.3 Hubungan berat badan lahir dengan kelainan respiratorik obstruktif dan restriktif

Gangguan Paru P

Normal Restriktif Obstruksi Mixed

Ringan Sedang Parah Ringan Sedang Parah

(66)

Tabel 4.4 Hubungan beberapa faktor risiko dengan rasio VEP1/KVP

VEP1/KVP P

Karakteristik ≥ 80% < 80%

Berat badan lahir 0.99

Normal n(%) 58(50.4) 1(50) Rendah n(%) 57(49.6) 1(50)

Jenis kelamin 0.168

Laki – laki n(%) 59(51.30) 2(100) Perempuan n(%) 56(48.69) 0(0)

Jenis persalinan 0.517

Normal n(%) 95(82.6) 2(100) Operasi n(%) 20(17.4) 0(0)

Lama pemberian ASI 0.304

ASI ≥ 6 bulan n(%) 75 (65.2) 2(100) ASI < 6 bulan n(%) 40(34.8) 0(0)

Imunisasi 0.511

Lengkap n(%) 82(71.3) 1(50) Tidak lengkap n(%) 33(28.7) 1(50)

Tingkat Pendidikan Ayah 0.854

Rendah n(%) 50(43.5) 1(50) Tinggi n(%) 65(56.5) 1(50)

Tingkat pendidikan Ibu 0.111

Rendah n(%) 65(56.5) 0(0) Tinggi n(%) 50(43.5) 2(100)

Status ekonomi 0.517

(67)

BAB 5. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini rerata nilai VEP1 dan KVP hampir sama antara riwayat berat badan lahir rendah dan berat badan lahir normal. Hal ini berbeda dengan studi kohort di Inggris pada 130 anak usia 7 tahun dengan riwayat berat badan lahir rendah bahwa terdapat perbedaan fungsi paru pada anak dengan riwayat berat badan lahir rendah dan normal dengan tanpa melihat penggunaan terapi oksigen sesaat setelah lahir.5

Pada studi di Amerika menjelaskan bahwa bayi berat lahir rendah dan bayi berat lahir sangat rendah memiliki risiko peningkatan rawat inap karena gangguan pernafasan.

8 Bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah lebih

sering memiliki riwayat usia gestasi kurang bulan dan diketahui memiliki risiko tinggi kerusakan paru dan Bronkopulmonar dysplasia (BPD).8

Kelahiran prematur sering berhubungan dengan inflamasi dan keterbatasan aliran udara paru untuk jangka panjang di kehidupan anak selanjutnya.

Berbeda dengan penelitian ini dimana tidak didapatkan riwayat BPD pada anak dengan riwayat berat badan lahir rendah.

43

(68)

sintesis surfaktan.44 Kelahiran berat badan lahir amat sangat rendah (BBLASR) akan diikuti oleh masalah pernafasan dan nutrisi yang signifikan sehingga menyebabkan gangguan kesehatan pernafasan dan perkembangan selama masa anak awal.45

Studi di Amerika menunjukkan terjadinya penurunan nilai VEP

Pada penelitian ini tidak dijumpai anak dengan riwayat berat badan lahir amat sangat rendah dimana rerata berat badan lahir rendah pada sampel adalah 2248,3 gram (SB 183.3 gram) dan rerata berat badan lahir normal adalah 3360 gram (SB 364.8 gram). Pada penelitian ini tidak dilaporkan usia gestasi sesuai periode menstruasi ibu yang terakhir.

1 antara

usia remaja dan dewasa muda (14 tahun dan 49 sampai 51 tahun) tergantung dari beberapa faktor selama kehidupan seperti berat badan lahir rendah dan gangguan pernafasan yang berat pada masa anak.7

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan pada anak usia 13 sampai 14 tahun dengan hipotesis penurunan fungsi paru dimulai pada usia tersebut. Hal ini berbeda dengan studi di Korea menunjukkan terjadinya peningkatan gangguan respiratorik pada anak usia 3 tahun dengan riwayat berat lahir rendah dengan nilai odd ratio 3.97.

Pada penelitian ini telah dieksklusikan subjek penelitian yang mengalami gangguan pernafasan yang berat pada masa anak namun hal ini tidak berdasarkan rekam medis dari subyek penelitian.

1 Sedangkan studi lain di Amerika

(69)

menggunakan bronkodilator sebelum pemeriksaan berhubungan dengan kondisi fungsi paru bayi baru lahir.46 Studi di Italia dengan besar sampel 25 anak menunjukkan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun pada anak dengan riwayat berat lahir amat sangat rendah dengan hasil tidak ada perbedaan signifikan antara anak dengan riwayat penggunaan ventilator biasa dan high frequency oscillatory ventilation (HFOV).

Studi di Cina menunjukkan berat lahir rendah meningkatkan prevalensi risiko penurunan fungsi paru di masa dewasa muda pada populasi di Cina. Hal ini disebabkan perkembangan fungsi paru dapat dipengaruhi oleh hipogenesis pada masa uteri.

35

47 Hubungan antara Intrauterine growth

retardation (IUGR) dan fungsi paru pada masa anak kurang luas. Interpretasi sering keliru antara kombinasi berat badan lahir rendah dan prematur yang mempengaruhi fungsi paru yang abnormal dengan mekanisme yang berbeda. Pada literatur terjadi perbedaan definisi IUGR, tetapi kebanyakan menggunakan definisi dari berat badan sendiri seperti yang dinyatakan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO).48

Perbedaan rerata nilai VEP1 dan KVP yang tidak begitu berbeda pada kedua kelompok pada penelitian ini mungkin disebabkan tidak didapatkan beberapa informasi mengenai tumbuh kejar pada riwayat berat badan lahir rendah. Dimana pada studi dikatakan bahwa tumbuh kejar pada anak berhubungan dengan perbaikan saluran pernafasan pada saat dewasa.

(70)

Pencapaian berat badan pada minggu pertama kehidupan berhubungan dengan perkembangan paru yang suboptimal pada bayi cukup bulan usia lima sampai 14 minggu. Pada studi di Inggris menunjukkan penurunan fungsi paru saat usia 8 sampai 9 tahun pada riwayat IUGR cukup bulan dibandingkan bayi normal.48

Perbedaan rerata VEP1 dan KVP yang hampir sama pada kedua kelompok mungkin juga disebabkan tidak terdapat informasi paparan terhadap rokok dan polusi udara. Merokok dan terpapar asap rokok merupakan faktor risiko yang dapat dicegah pada gangguan respiratorik pada anak. Paparan asap rokok berhubungan dengan peningkatan risiko kerusakan fetus, IUGR, sindroma sudden death pada neonatus, gangguan pernafasan akut, otitis akut dan kronis, atopi dan asma. Studi di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perokok aktif dan perokok coba – coba, dan perokok pasif dengan terjadinya wheezing pada anak.

21

Pada studi di Swedia menunjukkan bahwa paparan selama delapan tahun kehidupan terhadap polusi udara di daerah jalan macet dapat menurunkan fungsi paru anak usia 8 tahun ke atas.

Pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan bermakna antara faktor risiko seperti lama pemberian ASI dengan nilai rasio VEP1 dan KVP (P = 0.234). Hal ini berbeda dengan Studi di Belanda menunjukkan ada hubungan antara pemberian ASI selama dua minggu atau pun 3 bulan dan kesehatan

(71)

paru pada usia dewasa muda. Ibu hamil yang merokok, berat badan lahir rendah dan infeksi saluran pernafasan yang berat pada saat usia satu tahun pertama merupakan prediktor signifikan terjadinya gejala pernafasan dan penurunan fungsi paru saat usia dewasa muda.3

Beberapa studi telah meneliti kemungkinan efek pemberian ASI pada fungsi paru dengan hasil yang bervariasi. Kebanyakan studi menemukan nilai KVP atau VEP1 lebih tinggi pada anak sekolah dengan riwayat pemberian ASI lebih dari 4 bulan.

Namun pada penelitian ini tidak didapatkan informasi mengenai riwayat ibu merokok saat kehamilan.

Pada studi ini ditemukan terdapat 14 orang (23.7%) anak dengan gangguan paru restriktif ringan, 2 orang (3.4%) restriktif sedang, 1 orang (1.7%) restriktif parah dan obstruktif ringan pada berat badan lahir normal, sedangkan pada berat badan lahir rendah dijumpai 14 orang (24.1%) restriksi ringan, dan 1 orang (1.7%) obstruktif ringan dengan tanpa ada gejala pada pemeriksaan klinis. Adapun dari penelitian ini tidak ditemukan perbedaan bermakna antara berat badan lahir dengan gangguan paru restriktif dan obstruktif (P 0.18). Hal ini berbeda dengan studi retrospektif di Amerika menunjukkan bahwa anak lahir dengan berat badan lahir ≥ 4000 gram memiliki risiko yang rendah untuk mengalami wheezing (OR 0.91: 95%CI 0.62 – 1.34) atau mendapatkan diagnosis asma oleh dokter (OR,

(72)

0.80;95% CI 049 – 1.31) dibandingkan anak lahir dengan riwayat berat badan lahir 3500 – 3999 gram.

Pada studi ini faktor risiko seperti tingkat pendidikan orang tua ibu (P 0.854) dan ayah (P 0.111) serta status sosioekonomi (P 0.517) tidak memiliki hubungan bermakna dengan penurunan rasio nilai VEP1 dan KVP. Hal ini disebabkan penilaian sosioekonomi pada penelitian ini berdasarkan pendapatan keluarga sesuai dengan UMK Medan dimana dilakukan penelitian. Berbeda dengan temuan beberapa studi pediatrik menunjukkan hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dan pendapatan dan pengurangan nilai VEP1 dan KVP. Walaupan satu studi lain menunjukkan tidak ada trend penurunan yang signifikan atas pengurangan VEP1 dan KVP dengan status sosial ekonomi.

19

Keterbatasan studi ini adalah tidak dilakukan penilaian paru dengan foto toraks dan pemeriksaan klinis lainnnya untuk menyingkirkan kelainan paru yang dialami subjek penelitian. Subjek penelitian ini adalah anak dengan riwayat berat badan lahir normal dan rendah dengan mengetahui riwayat penyakit paru masa dulu dengan pertanyaan melalui kuesioner tanpa mengetauhi ada tidaknya rekam medis subjek penelitian.

(73)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Pada penelitian ini dilakukan penilaian hubungan riwayat berat badan lahir dengan nilai VEP1 dan KVP didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan nilai VEP1 dan KVP yang signifikan terhadap berat lahir rendah pada anak usia 13 sampai 14 tahun. Pada penelitian ini ditemukan bahwa penurunan fungsi paru pada anak usia 13 sampai 14 tahun adalah asimtomatik. Hasil analisis ini mungkin dipengaruhi oleh penelitian tidak secara khusus dirancang untuk mempelajari pengaruh variabel lain yang mungkin berpengaruh pada fungsi paru misalnya faktor perinatal ibu, paparan asap rokok dan paparan polusi udara tempat tinggal atau sekolah.

6.2. SARAN

(74)

RINGKASAN

Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa anak – anak karena masa perkembangan dan maturasi fungsi paru dimulai sebelum lahir. Berat badan lahir menjadi salah satu faktor perinatal atau indikator perkembangan fetal dan maturasi.

Tujuan penelitian ini untuk Untuk mengetahui hubungan antara berat badan lahir rendah dengan nilai faal paru VEP1 dan KVP

Faktor perinatal berhubungan dengan gejala respiratorik dan nilai fungsi paru dalam kehidupan selanjutnya.

(75)
(76)

SUMMARY

Perinatal factors have been suggested to be risk factors of chronic respiratory illness in childhood as the development and maturation of lung function starts well before birth. Birth weight is recognized as an indicator reflecting fetal growth and maturation. Perinatal factors associated with respiratory symptoms and lung function in the future life. The aims of this study was to determine the relationship between low birth weight with lung function FEV1 and FVC and also to determine the relationship of birth weight with obstructive and restrictive pulmonary disorders.

(77)
(78)

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeong Y, Jung choi K, Lee JH, Lee HY, dan Park EU. Body weight at birth and at three and respiratory illness in preschool children. J of preventive medicine and public health. 2010;43:369-76

2. Schmalisch G, Willitzki S, Roehr CC, Proquitte H, Buhrer C. Development of lung function in very low birth weight infants with or without

bronchopulmonary dysplasia: longitudinal assessment during the first 15 months of corrected age. BMC pediatr. 2012;12:37-6

3. Boezen HM, Vonk JM, Aalderen WMC, Brand PLP, Gerritsenz J,

Schouten JP dkk. Perinatal predictors of respiratory symptoms and lung function at a young adult age. Eur respir J.2002;20:383-90

4. BAPPENAS [homepage on the Internet]. Depkes, FL: BAPPENASONLINE, Inc.; c2011-2012 [updated 2002 May 23; cited 2014 Agt 2]. Available from:

5. Chan KN, Jamieson CMN, Elliman A, Bryan EM, Silverman M. Lung function in children of low birth weight. Archives of disease in childhood.1989;64:1284-93

6. Pike KC, Zerill MJR, Osvald EC, Inskip HM, Godfrey KM, Crozier SR, Roberts GC dkk. The relationship between infant lung function and the risk of wheeze in the preschool years. Pediatr pulmonol.2011;46:75-82 7. Tennant PWG, Gibson JG, Parker L, Pearce MS, dkk. Childhood

respiratory illness and lung function at age 14 and 50 years.CHEST 2010; 137:146-56

8. Walter EC, Ehlenbach WJ, Hotchkin DL, Chien JW, Koepsell TD. Low birth weight and respiratory disease in adulthood. Am J Respir Crit Care Med.2009;180:176-80

9. Shaheen SO, Sterne JAC, Tucker JS, Florey CDV. Birth Weight, childhood lower respiratory tract infection, and adult lung function.Thorax. 1998;53:549-53

10. Chernick V, West JB. The functional basis of respiratory disease. Dalam: Chernick V, Edwin K, penyunting. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children. Edisi 7. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.h.29-63 11. Levitzky MG. Mechanics of breathing. Dalam: Levitzky MG, penyunting.

Pulmonary Physiology. Edisi 7. Philadelphia: The McGraw-Hill Companies. 2007.h.567-98

Gambar

Gambar 2.2.1 Tingkat perkembangan paru.10
Gambar 2.6.1 Pernafasan normal diikuti manuver vital capacity yang menunjukkan
Tabel. 4. 1. Karakteristik sampel penelitian
Tabel 4.2. Hubungan berat badan lahir dengan  nilai faal paru VEP, KVP dan rasio VEP/KVP
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari mekanisme rancangan bangun prototipe kincir angin sebagai penggerak pompa air sangat cocok digunakan di Provinsi kepulauan Bangka Belitung dikarenakan pompa

SAPROTAN BENIH UTAMA 027.1/21/E-Cat.PdInbrd- SPR/III/Pml/2020 07-Apr-20 06-Jun-20 15 APBN Pengadaan Benih Padi untuk Pengembangan Budidaya Padi Kaya Gizi.. (Biofortifikasi)

Terdapat perbedaan hasil belajar kognitif IPA Biologi siswa yang signifikan dengan menggunakan model pembelajaran Structured Dyadic Methods (SDM) dan model pembelajaran

Dan dapat memberikan asuhan kebidanan komprehensif pada kehamilan persalinan nifas bayi baru lahir dan keluarga berencana sesuai dengan standar dalam melaksanakan

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan bahwa Setiap orang yang

Edem paru akut dan kerusakan paru bisa muncul dalam hitungan jam dikarenakan paparan yang berat, kerusakan paru kemudian berkembang menjadi fibrosis paru,

Dalam hal pelayanan perpanjangan SIM Satuan Lalu Lintas Polresta Kota Samarinda terus berusaha meningkatkan pelaksanaan pelayanan perpanjangan SIM agar masyarakat

Pejabat Gerakan Perla-wanan Islam Palestina (Hamas) menyatakan, gencatan senjata sepihak yang diumumkan Rezim Zionis Israel menunjukkan keka-lahan rezim ini dalam mengha-dapi