• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS

ANALISIS

ANALISIS

ANALISIS KERAWANAN

KERAWANAN

KERAWANAN

KERAWANAN PANGAN

PANGAN

PANGAN

PANGAN MENURUT

MENURUT

MENURUT

MENURUT KECAMATAN

KECAMATAN

KECAMATAN

KECAMATAN

DI

DI

DI

DI KABUPATEN

KABUPATEN

KABUPATEN

KABUPATEN BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR TAHUN

TAHUN

TAHUN

TAHUN 2011

2011

2011

2011

SARTIKA

SARTIKA

SARTIKA

SARTIKA FITRIANA

FITRIANA

FITRIANA

FITRIANA THEODORA

THEODORA

THEODORA

THEODORA PANGGABEAN

PANGGABEAN

PANGGABEAN

PANGGABEAN

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN GIZI

GIZI

GIZI

GIZI MASYARAKAT

MASYARAKAT

MASYARAKAT

MASYARAKAT

FAKULTAS

FAKULTAS

FAKULTAS

FAKULTAS EKOLOGI

EKOLOGI

EKOLOGI

EKOLOGI MANUSIA

MANUSIA

MANUSIA

MANUSIA

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRACT

ABSTRACT

ABSTRACT

ABSTRACT

SARTIKA SARTIKA

SARTIKASARTIKA FITRIANAFITRIANAFITRIANAFITRIANA THEODORATHEODORATHEODORATHEODORA PANGGABEAN.PANGGABEAN.PANGGABEAN.PANGGABEAN. Food vulnerability analysis by municipality in Bogor regency in 2011. Under the guidance of YAYUKYAYUKYAYUKYAYUK FARIDA

FARIDA

FARIDAFARIDA BALIWATIBALIWATIBALIWATIBALIWATIandYAYATYAYATYAYATYAYAT HERYATNO.HERYATNO.HERYATNO.HERYATNO.

This study was aimed to analyze food vulnerability problem in Bogor regency based on municipality. This study designed using retrospective by secondary data of three aspects of food security and vulnerability atlas (FSVA) such as aspect of food avaibility, aspect of food access, and aspect of food utility include policy of food vulnerability from Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) of Bogor regency. The data processing began by calculating the three aspects of food vulnerability by WFP (World Food Programme) and DKP (Dewan Ketahanan Pangan) in 2009. The three aspects consits of nine indicators namely food production, poor household, households without access to electricity, length of damaged road, life expectancy, nutritional status, illiteracy, access of clean water and health workforce. Policy of food vulnerability was analyzed using content analysis. Bogor regency consisting of 40 municipalities and the result showed that mostly municipalities (85%) in Bogor were in secure food situation but there are six municipalities (15%) were in food vulnerability situation (composite score more than 0,8). The food vulnerability policy are support the Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 but some institutions don’t have complete programs related to the issue of food vulnerability. Key

Key

(3)

RINGKASAN

RINGKASAN

RINGKASAN

RINGKASAN

SARTIKA SARTIKA

SARTIKASARTIKA FITRIANAFITRIANAFITRIANAFITRIANA THEODORATHEODORATHEODORATHEODORA PANGGABEAN.PANGGABEAN.PANGGABEAN.PANGGABEAN.Analisis Kerawanan Pangan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Dibawah bimbingan YAYUK

YAYUK

YAYUKYAYUK FARIDAFARIDAFARIDAFARIDA BALIWATIBALIWATIBALIWATIBALIWATIdanYAYATYAYATYAYATYAYAT HERYATNO.HERYATNO.HERYATNO.HERYATNO.

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia agar dapat hidup dan beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan akan pangan dikenal dengan istilah ketahanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu resiko yang timbul akibat kerentanan terhadap kerawanan pangan yang ditandai dengan indikator ketersediaan pangan, angka kemiskinan, akses jalan, akses listrik, angka harapan hidup, akses listrik, balitaunderweight, akses kesehatan, dan penduduk buta huruf yang dikembangkan oleh DKP (Dewan Ketahanan Pangan) bekerjasama dengan WFP (World Food Programe) tahun 2009. Saat ini belum terdapat informasi yang jelas mengenai tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Bogor dalam rangka antisipasi kejadian rawan pangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor menurut kecamatan. Tujuan khususnya adalah menganalisis situasi kerawanan pangan di Kabupaten Bogor menurut kecamatan, menganalisis kebijakan mengenai penanggulangan masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor, serta merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor.

Penelitian ini merupakan bagian dari Penyusunan Kaji Tindak Pengembangan Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif yang dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2012 hingga Januari 2013. Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor, Renstra dinas di Kabupaten Bogor yaitu Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Kesehatan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,, indikator kerawanan pangan kronis yaitu produksi pangan sumber karbohidrat, jumlah rumah tangga miskin, jumlah RT tanpa akses listrik, panjang jalan rusak, angka harapan hidup, jumlah balita underweight, jumlah penduduk buta huruf, jumlah RT tanpa akses air bersih, jumlah tenaga kesehatan serta rekapitulasi bencana alam yang terjadi dan luas daerah kekeringan. Data tersebut diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Bogor, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statisik Kabupaten Bogor dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis antara lain sembilan indikator kerawanan pangan dan diolah menggunakan metode FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) yang dicetuskan oleh DKP (Dewan Ketahanan Pangan) bekerjasama dengan WFP (World Food Programme) tahun 2009. Kesembilan indikator tersebut kemudian diranking sehingga diperoleh enam kategori kerawanan pangan. Kategori kerawanan pangan diterjemahkan dalam bentuk prioritas yaitu prioritas 1 hingga prioritas 6. Prioritas 1 hingga prioritas 3 menunjukkan daerah yang rawan pangan, sedangkan prioritas 4 hingga 6 menunjukkan daerah yang tahan pangan. Analisis kebijakan terkait penanganan masalah kerawanan pangan menggunakan pendekatan content analysis.

(4)

persentase rumah tangga miskin, Kecamatan Sukajaya dan Sukamakmur termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 2). Indikator panjang jalan pada aspek akses pangan menggunakan data panjang jalan yang rusak ringan dan rusak berat. Kriteria yang digunakan adalah apabila persentase jalan rusak lebih dari 30% maka kecamatan tersebut tidak mempunyai akses dan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan perekonomian dan pelayanan jasa yang memadai. Berdasarkan indikator tersebut, terdapat 11 kecamatan yaitu Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Sukamakmur, Klapanunggal, Ciseeng, Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parung Panjang yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Berdasarkan indikator akses rumah tangga terhadap listrik, terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Klapanunggal yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Rata-rata angka harapan hidup di Kabupaten Bogor memiliki nilai diatas 65. Angka harapan hidup tertinggi pada tahun 2011 terdapat di Kecamatan Cariu (71,78) dan terendah terdapat di Kecamatan Tenjolaya (67,95). Apabila dibandingkan dengan rata-rata angka harapan hidup nasional (63 tahun), maka AHH di setiap kecamatan di kabupaten Bogor sudah diatas angka rata-rata nasional. Berdasarkan indikator penduduk buta huruf diperoleh hasil bahwa seluruh kecamatan yang terdapat di Kabupaten Bogor bebas dari buta huruf. Persentase penduduk buta huruf di Kabupaten Boogr tergolong rendah dan tergolong dalam prioritas 6. Berdasarkan indikator rumah tangga tanpa akses air bersih, masih terdapat 6 kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua, Kemang, Ciampea, Cibinong, Nanggung dan Rancabungur yang termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Hasil dari indikator balita underweightmenunjukkan bahwa tidak terdapat kecamatan yang tergolong dalam prioritas 1 dan 2, sebanyak 60% balita di Kabupaten Bogor memiliki berat badan yang normal. Menurut rasio penduduk per tenaga kesehatan, masih terdapat 5 kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Tajurhalang, Sukaraja, Citeureup dan Kemang dalam kategori agak rawan pangan (prioritas 3). Situasi kerawanan pangan diperoleh dengan membuat suatu indeks komposit yang merupakan gabungan dari sembilan indikator kerawanan pangan kronis yang telah dihitung sebelumnya. Berdasarkan skor komposit kerawanan pangan diperoleh hasil bahwa terdapat 6 kecamatan yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 2-3) yaitu kecamatan Klapanunggal, Sukamakmur, Nanggung, Rumpin, Gunung Putri dan Tanjungsari. Sedangkan 34 kecamatan tergolong dalam kategori tahan pangan (prioritas 3-6) yaitu kecamatan Tenjo, Parung Panjang, Jasinga, Cigudeg, Sukajaya, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cibungbulang, Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya, Gn.Sindur, Parung, Ciseeng, Bojong Gede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Dramaga, Ciomas, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Sukaraja, Citeureup, Babakan Madang, Cibinong, Cileungsi, Jonggol dan Cariu.

(5)

pelayanan listrik pedesaan dan penerapan energi alternatif lainnya. Program yang terdapat dalam RPJMD kemudian dituangkan dalam bentuk Renstra (rencana strategis) pada setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang terdapat di Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan hanya mencantumkan 3 program dari 4 program yang terdapat dalam KUKP tentang penanganan kerawanan pangan. Program yang terdapat dalam Renstra Dinas Pertanian dan Kehutanan antara lain pemantauan perkembangan pola pangan, pemanfaatan lahan pekarangan dan pemanfaatan cadangan pangan. Dinas Kesehatan hanya mencantumkan 2 program penanganan kerawanan pangan yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan pemantauan perkembangan pola pangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya mencantumkan 1 program yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan gizi.

(6)

ANALISIS

ANALISIS

ANALISIS

ANALISIS KERAWANAN

KERAWANAN

KERAWANAN

KERAWANAN PANGAN

PANGAN

PANGAN

PANGAN MENURUT

MENURUT

MENURUT

MENURUT KECAMATAN

KECAMATAN

KECAMATAN

KECAMATAN

DI

DI

DI

DI KABUPATEN

KABUPATEN

KABUPATEN

KABUPATEN BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR TAHUN

TAHUN

TAHUN

TAHUN 2011

2011

2011

2011

SARTIKA

SARTIKA

SARTIKA

SARTIKA FITRIANA

FITRIANA

FITRIANA

FITRIANA THEODORA

THEODORA

THEODORA

THEODORA PANGGABEAN

PANGGABEAN

PANGGABEAN

PANGGABEAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN

DEPARTEMEN GIZI

GIZI

GIZI

GIZI MASYARAKAT

MASYARAKAT

MASYARAKAT

MASYARAKAT

FAKULTAS

FAKULTAS

FAKULTAS

FAKULTAS EKOLOGI

EKOLOGI

EKOLOGI

EKOLOGI MANUSIA

MANUSIA

MANUSIA

MANUSIA

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT

INSTITUT PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN

PERTANIAN BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

BOGOR

(7)

PRAKATA

PRAKATA

PRAKATA

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian yang berjudul “Analisis Kerawanan Pangan di Kabupaten Bogor”. Penyusunan proposal penelitian ini merupakan syarat bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan proposal penelitian.

2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai dosen pemandu seminar dan penguji sidang skripsi yang banyak memberikan masukan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Ibu Dr.Ir. Lilik Kustiyah, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi untuk belajar dan mengerjakan segala hal.

4. Orang tua yang telah membesarkan dan mendidik dengan ketulusan, kesabaran serta dukungan dan doa yang tiada henti diberikan untuk penulis. 5. Dewi Panggabean S.Pi, Robby Panggabean SP, Dame Panggabean dan

Ruben Panggabean sebagai saudara yang selalu mendoakan penulis.

6. Dwi Nuraini, Dwiyani, Dian Dwi, Rista, Stacey, Andra, Vilia, Wilda, Yudhi, Aryo, Rahmat, Anggrisya, Sondang, Amrina, Babe Ferry Irawan dan Efri selaku sahabat-sahabat terbaik yang selalu mendukung penulis.

7. Suci, Asep, Nur Indah Fitri dan Yulimiaris selaku mahasiswa satu bimbingan skripsi yang menemani dan membantu proses penyusunan.

8. Teman-teman pembahas dalam seminar (Arizki, Mbak Yulis dan Faqih) yang telah memberikan saran dan kritikan untuk perbaikan skripsi ini.

9. Teman-teman kost Bangka 15 (Egie dan Doddy) yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis.

10. Temen-teman seperjuangan di MIJMG 44 dan alih jenis Gizi Masyarakat (GM) angkatan ke-4 atas semangat dan dukungannya.

(8)

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya.

Bogor, Maret 2013

(9)

RIWAYAT

RIWAYAT

RIWAYAT

RIWAYAT HIDUP

HIDUP

HIDUP

HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1989 di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Parmian Panggabean dan Ibu Nurmala Sianipar. Penulis menyelesaikan pendidikan TK di TK Polisi Bhayangkara Sidikalang pada tahun 1995. Selanjutnya tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SD St.Yosef Sidikalang dan pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Sidikalang. Saat duduk dibangku SMA, penulis aktif dalam keanggotaan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), menjabat sebagai sekretaris PASKIBRA (Pasukan Pengibar Bendera) dan kegiatan PMR (Palang Merah Remaja).

(10)

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR ISI

ISI

ISI

ISI

Halaman

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR TABEL...ix

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

PENDAHULUAN...1

Latar Belakang...1

Tujuan...3

Kegunaan Penelitian...3

TINJAUAN PUSTAKA...4

Definisi dan Ruang Lingkup Pangan...4

Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan...5

Definisi dan Ruang Lingkup...5

Indikator Kerawanan Pangan...6

Kebijakan...11

Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan...11

Kebijakan Ketahanan Pangan...11

KERANGKA PEMIKIRAN...13

METODE PENELITIAN...15

Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian...15

Jenis dan Cara Pengambilan Data...15

Pengolahan dan Analisis Data...16

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis...16

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien...20

Analisis dan Pemetaan Situasi Kerawanan Pangan...22

Analisis Kebijakan Penanganan Kerawanan Pangan...23

Definisi Operasional...23

HASIL DAN PEMBAHASAN...24

Gambaran Umum Kabupaten Bogor...24

Keadaan Geografis dan Administratif...24

Penduduk...25

Kondisi Perekonomian...26

Situasi Kerawanan Pangan...28

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis...28

Situasi Kerawanan Pangan Komposit...28

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien...53

Kebijakan terkait Kerawanan Pangan...56

Rekomendasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan Pangan...60

KESIMPULAN DAN SARAN...62

Kesimpulan...62

Saran...62

(11)

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR TABEL

TABEL

TABEL

TABEL

Halaman 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA...7 2 Jenis dan cara pengambilan data...15 3 Faktor konversi penggunaan komoditas pangan untuk benih, pakan,

ternak dan tercecer...16 4 Rangeindikator kerawanan pangan kronis dan sementara...21 5 Scorekriteria gradasi warna prioritas...22 6 Rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di

Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan...29 7 Luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011...30 8 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas ketersediaan pangan

pokok...32 9 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator kemiskinan

di Kabupaten Bogor...33 10 Persentase kecamatan berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten

Bogor...34 11 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses

penghubung yang kurang memadai di Kabupaten Bogor...35 12 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses

penghubung yang kurang memadai...37 13 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator persentase

rumah tangga tanpa akses listrik di Kabupaten Bogor...37 14 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator persentase

rumah tangga tanpa akses listrik...39 15 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka

harapan hidup di Kabupaten Bogor...40 16 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator angka harapan

hidup...41 17 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka

penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor...42 18 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator rumah

tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor...43 19 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator rumah tangga

tanpa akses air bersih...45 20 Kecamatan dan golongan proritasnya berdasarkan indikator akses

terhadap fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor...45 21 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses terhadap

fasilitas kesehatan...47 22 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator balita

(12)

23 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah

gizi...49 24 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator balita

underweight...49 25 Situasi kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Bogor...50 26 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator komposit

kerawanan pangan...51 27Jumlah kecamatan pada setiap prioritas beserta indikator kerawanan

pangan...53 28 Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bogor tahun 2011...54 29 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor tahun 2011...56 30 Perbandingan antara program KUKP dan RPJMD mengenai masalah

(13)

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR

GAMBAR

GAMBAR

Halaman 1 Kerangka analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di kabupaten

(14)

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

LAMPIRAN

LAMPIRAN

Halaman 1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

ketersediaan pangan...67 2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase RT miskin...68 3 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase RT tanpa akses listrik...69 4 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase jalan rusak...70 5 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase angka harapan hidup...71 6 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase balitaundeweight...72 7 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase penduduk buta huruf...73 8 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase RT tanpa akses air bersih...74 9 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator

persentase jumlah tenaga kesehatan...75 10 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor...76 11 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor...77 12 Prioritas permasalahan kerawanan pangan pada tiap kecamatan di

(15)

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Latar Latar Latar

Latar BelakangBelakangBelakangBelakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Hak asasi atas pangan tersebut telah menjadi komitmen pemerintah, yang dinyatakan dalam UU No 7 Tahun 1996. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan telah menjadi prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh daerah otonom. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 yang menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib pemerintah (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota).

Masalah pangan dan gizi merupakan masalah ekologi (Gibson 2005). Masalah pangan yang semakin kompleks lambat laun dapat menciptakan masalah kerawanan pangan. Kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien).

Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas 35.377,76 km2 didiami penduduk

(16)

tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (2010), kasus gizi buruk di Kabupaten Bogor masih tinggi dengan jumlah 252 kasus. Diantara 252 kasus tersebut tercatat 9 balita meninggal dunia akibat gizi buruk. Penyebab dominan kasus tersebut adalah masalah ekonomi dan minimnya pengetahuan mengenai gizi. Penyebab lainnya adalah masalah pemahaman hidup sehat, layak dan bersih yang masih kurang ditengah masyarakat.

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha dengan lahan sawah seluas 1.006 Ha dan 309.624 Ha lahan perkebunan. Lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian di Kabupaten Bogor sangat minim seiring dengan meningkatnya perkembangan luas lahan pemukiman penduduk khususnya di daerah timur Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk lahan berupa situ dan kolam, memiliki luas sekitar 11.470 Ha. Kabupaten Bogor memiliki potensi besar pada sektor pertanian dengan komoditi pertanian yang dihasilkan antara lain lain gabah sawah, gabah gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe. Akan tetapi pada kenyataannya, Kabupaten Bogor masih memiliki ketergantungan terhadap pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini didasarkan karena hasil produksi pertanian lokal saja tidak bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Bogor. Tidak terpenuhinya kebutuhan pangan akibat rawannnya kemampuan penduduk untuk mendapatkan akses pangan merupakan indikator input yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah seperti kondisi buruknya status kesehatan dan gizi yang akan menurunkan kualitas sumber daya manusia.

(17)

Tujuan Tujuan Tujuan Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis masalah kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor. Sedangkan tujuan khususnya yaitu:

1. Menganalisis situasi kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis kebijakan mengenai penanggulangan masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor.

3. Merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan pangan di Kabupaten Bogor.

Kegunaan Kegunaan Kegunaan

Kegunaan PenelitianPenelitianPenelitianPenelitian

(18)

TINJAUAN

TINJAUAN

TINJAUAN

TINJAUAN PUSTAKA

PUSTAKA

PUSTAKA

PUSTAKA

Definisi Definisi

DefinisiDefinisi dandandandan RuangRuangRuangRuang LingkupLingkupLingkupLingkup PanganPanganPanganPangan

Menurut Undang-undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang pangan, definisi pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Definisi tersebut dipertegas dalam UU Pangan yang baru yaitu UU no 18 tahun 2012, pada pasal 1 Bab I, bahwa pangan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Berdasarkan konsep pola pangan harapan (PPH) yang dirumuskan oleh FAO-RAPA (1989) dikenal sembilan kelompok pangan yaitu gabah-gabahan, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Kesembilan kelompok pangan ini menjadi dasar pertimbangan dan penentuan dalam perhitungan nilai PPH. PPH atau desirable dietary pattern didefinisikan sebagai susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi pangan (Hardinsyah et al 2001). Melalui pendekatan PPH, mutu konsumsi dan ketersediaan pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) atau dikenal dengan skor PPH. Skor PPH adalah suatu penilaian konsumsi pangan dalam jumlah, mutu, keragaman, dan keseimbangannya antar kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, maka konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang (Baliwati 2011).

(19)

aspek lapangan pekerjaan, jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan serta preservasi dan stabilisasi sosial politik.

Ketahanan Ketahanan Ketahanan

Ketahanan PanganPanganPanganPangan dandandandan KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan Definisi

Definisi

DefinisiDefinisi dandandandan RuangRuangRuangRuang LingkupLingkupLingkupLingkup

Hasil pertemuan World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi “when all people, at all time, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life.” Ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi suatu daerah atau rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Kementan 2010). Konsep dasar ketahanan pangan dimaknai sebagai situasi dimana terdapat ketersediaan pangan yang cukup dan dengan harga yang stabil sepanjang waktu. Ketersediaan pangan yang cukup diartikan sebagai situasi dimana jumlah bahan pangan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk tersedia cukup baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Rawan pangan adalah suatu kondisi suatu daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakatnya (Badan Ketahanan Pangan 2006). Suatu daerah dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumla rumah tangga prasejahtera yang relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi balitanya, ketersediaan pangan daerah dan kerentanan pangan (Subagyo 2012).

(20)

berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Sedangkan Amin dkk (1998) mendefinisikan rawan pangan adalah suatu kondisi yang mengandung unsur berhubungan dengan state of poverty seperti masalah kelangkaan sumberdaya alam, kekurangan modal, miskin motivasi dan sifat malas yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mencukupi konsumsi pangan.

Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena : (a) tidak adanya akses secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk memperolah pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan yang produktif bagi individu/rumah tangga dan, (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup dalam jumlah mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga. Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80% dari kebutuhan oangan dan gizi hariannya. Pada dasarnya kerawanan pangan dan kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan antara lain akibat: (1) rendahnya ketersediaan pangan, (2) gangguan distribusi karena kerusakan sarana dan prasarana serta keamanan distribusi, (3) terjadinya bencana alam menyebabkan suatu wilayah terisolasi, (4) kegagalan produksi pangan, serta (5) gangguan kondisi sosial (DKP 2005).

Tingkat kerawanan pangan dipengaruhi oleh (1) kemampuan penyediaan pangan kepada individu atau rumah tangga, (2) kemampuan individu atau rumah tangga untuk mendapatkan pangan, (3) proses distribusi dan pertukaran pangan yang tersedia dengan sumberdaya yang dimiliki individu atau rumah tangga (Amin dkk 1998). Ketiga hal tersebut pada kondisi rawan pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan relatif permanen. Sedangkan pada kondisi rawan pangan yang bersifat sementara, faktor yang berpengaruh kemungkinan hanya salah satu faktor atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen.

Indikator Indikator

IndikatorIndikator KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan

(21)

berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.

Indikator yang digunakan dalam FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) berdasarkan DKP 2009 berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Selain itu, pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kabupaten atau kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA

No Indikator Definisi dan Perhitungan Ketersediaan Pangan

1 Ratio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih gabah + jagung + ubi kayu + ubi jalar

1. Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2005-207) gabah, jagung, ubi kayu, talas dan ubi jalar pada tingkat kabupaten dihitung menggunakan faktor konversi standar.

2. Ketersediaan bersih pokok per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan pokok kabupaten dengan jumlah populasinya.

3. Data bersih pokok dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan.

4. Konsumsi normatif pokok/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari.

5. Rasio konsumsi normatif perkapita dihitung terhadap ketersediaan bersih pokok perkapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi pokok.

Akses Pangan dan Penghidupan

2 Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan

Nilai pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan konsumsi pangan.

3 Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

Lalu lintas antar desa yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat.

4 Persentase rumah tangga

(22)

Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor (lanjutan)

No Indikator Definisi dan Perhitungan Pemanfaatan Pangan

5 Angka harapan hidup saat lahir Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. 6 Berat badan balitaunderweight Anak dibawah lima tahun yang berat

badannya kurang dari -2 SD dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu.

7 Perempuan buta huruf Persentase penduduk diatas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau menulis. 8 Persentase rumah tangga tanpa

akses air bersih Persentase rumah tangga yang tidakmemiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung.

9 Persentase rumah tangga terhadap

akses fasilitas kesehatan Rasio jumlah tenaga kesehatan yangterdapat di setiap kecamatan dengan jumlah penduduk.

Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Transien

10 Bencana alam Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama periode 200-2007.

11 Penyimpangan curah hujan Data rata-rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun dihitung.

12 Persentase daerah puso Persentase daerah yang ditanami padi yang rusak akibat kekeringan dan banjir. 13 Deforestasi hutan Perubahan kondisi penutupan lahan dari

hutan menjadi non hutan

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan 2009

Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik dari produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah serta bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Ketersediaan pangan disuatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia atau telah ditanam di daerah tersebut untuk waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan pangan harus dipertahankan atau memiliki jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan penduduk terhadap pangan.

(23)

bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Produksi meliputi produk pokok, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah, gula dan produk hewani. Porsi utama kebutuhan kalori sehari penduduk Indonesia berasal dari sumber pangan karbohidrat yaitu sekitar setengah dari kebutuhan energi per orang per hari. Oleh karena itu, yang digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang berasal dari produksi pangan pokok pokok yaitu gabah, jagung, umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten.

Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari tiga pilar ketahanan pangan. Indikator ini merupakan salah satu indikator utama yang digunakan untuk analisis peta ketahanan dan kerentanan pangan (food security and vulnerability atlas). Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, baik dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, pinjaman dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, namun tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Rumah tangga atau daerah yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah dapat menyebabkan kemiskinan dan rentan terhadap kerawanan pangan.

Menurut Bank Dunia, secara global, penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity/PPP) per hari dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar US$ 1,55 PPP per hari (Rp 166.697 orang/bulan pada tahun 2007). Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu daerah maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka kerawanan pangan akan semakin tinggi. Kurangnya akses terhadap infrastruktur dan fasilitas umum dapat menyebabkan “kemiskinan lokal” dimana masyarakat yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai.

(24)

(pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: a) fasilitas penyimpanan dan pengolahan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga, b) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga yang sedang sakit atau sudah tua (ada juga pengaruh adat/kepercayaan dan hal tabu), c) distribusi makanan dalam keluarga, d) kondisi kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit, higiene, air dan sanitasi yang butuk dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan.

Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu yang panjang. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara (transient food insecurity). Bencana alam, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan.

(25)

karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, longsor dan kekeringan) dan penularan hama oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Produksi dan produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca.

Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kebijakan Definisi

Definisi

DefinisiDefinisi dandandandan RuangRuangRuangRuang LingkupLingkupLingkupLingkup KebijakanKebijakanKebijakanKebijakan

Menurut Pratiwi (2008), kebijakan adalah suatu suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, misalnya pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya pada masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral dalam masyarakat termasuk didalamnya kebijakan pada sektor pertanian.

Menurut Simatupang (2003), kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan private (individu atau lembaga swasta). Bentuk-bentuk kebijakan publik yaitu: 1) kebijakan publik yang bersifat makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan antara lain UUD 1945, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah (RPJMD / Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah); 2) kebijakan publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati serta Peraturan Walikota; 3) kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan diatasnya seperti renstra (rencana strategis) setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Bentuk kebijakan publik mikro adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota (Dwidjowijoto 2006).

Kebijakan Kebijakan

KebijakanKebijakan KetahananKetahananKetahananKetahanan PanganPanganPanganPangan

(26)

lingkup kebijakan ketahanan pangan mencakup tiga pilar utama yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Kebijakan umum ketahanan pangan terdiri dari 14 elemen penting yang diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, tingkat wilayah dan tingkat nasional. Adapun elemen-elemen penting dalam kebijakan umum ketahanan pangan adalah menjamin ketersediaan pangan, menata pertanahan dan tata ruang wilayah, pengembangan cadangan makanan, mengembangkan sistem distribusi pangan yang efisien, menjaga stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan, melaksanakan diversifikasi pangan, meningkatkan mutu dan keamanan pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi, memfasilitasi penelitian dan pengembangan, meningkatkan peran serta masyarakat, melaksanakan kerjasama internasional, mengembangakan sumberdaya manusia serta kebijakan makro dan perdagangan yang kondusif (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

(27)

KERANGKA

KERANGKA

KERANGKA

KERANGKA PEMIKIRAN

PEMIKIRAN

PEMIKIRAN

PEMIKIRAN

Kerawanan pangan merupakan isu multi dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter yang tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu. Kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien).

Kerawanan pangan yang dianalisis dalam penelitian ini merupakan kerwanan pangan dalam tingkat kecamatan. Kerawanan pangan kronis meliputi empat aspek yaitu aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan, aspek pemanfaatan pangan dan aspek komposit pangan. Sedangkan pada tingkat kerawanan transien dapat dianalisis berdasarkan deforestasi hutan, bencana alam yang terjadi, persentase daerah puso dan data curah hujan daerah. Akan tetapi pada tingkat kerawanan pangan transien ada dua data yang tidak dianalisis yaitu deforestasi hutan dan curah hujan daerah. Aspek ketersediaan pangan dihitung berdasarkan rata-rata produksi bersih produk pertanian daerah selama 3 tahun berturut-turut. Aspek pangan dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga miskin, persentase rumah tangga tanpa akses listrik dan persentase akses jalan yang rusak. Aspek pemanfaatan pangan dihitung berdasarkan nilai angka harapan hidup daerah per kecamatan, persentase balita underweight, persentase penduduk buta huruf, persentase rumah tangga tanpa akses air bersih dan persentase akses kesehatan per kecamatan.

(28)

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Hubungan yang diteliti

Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011

Aspek Ketersediaan Pangan

Aspek Pemanfaatan Pangan Aspek Akses

Pangan Kerawanan PanganKronis

Kerawanan Pangan Transien Daerah

Kekeringan Bencana

Alam

Rekomendasi Program Kebijakan/

(29)

METODE

METODE

METODE

METODE PENELITIAN

PENELITIAN

PENELITIAN

PENELITIAN

Desain, Desain,

Desain,Desain, LokasiLokasiLokasiLokasi dandandandan WaktuWaktuWaktuWaktu PenelitianPenelitianPenelitianPenelitian

Penelitian ini menggunakan desain retrospektif dengan data sekunder yang berkaitan dengan masalah kerawanan pangan pada tahun 2011. Penelitian ini berlokasi di daerah Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 bulan yaitu Oktober 2012-Januari 2013, yang meliputi pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan interpretasi data.

Jenis Jenis Jenis

Jenis dandandandan CaraCaraCaraCara PengambilanPengambilanPengambilanPengambilan DataDataDataData

Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder berdasarkan pendekatan FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) yang dicetuskan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programmetahun 2009. Seluruh data yang digunakan dalam penelitian ini berada dalam tingkat kecamatan. Data yang dikumpulkan merupakan data indikator penentuan kerawanan pangan dan beberapa kebijakan terkait ketahanan pangan yang terdapat di Kabupaten Bogor. Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data

No Jenis Data Sumber Data

1. Gambaran umum daerah Kabupaten Bogor dalam Angka 2011

2. RPJMD Kabupaten Bogor dan SKPD terkait BAPPEDA Kabupaten Bogor Aspek ketersediaan pangan

3. Produksi pangan sumber karbohidrat (gabah,

jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas) Dinas Pertanian dan KehutananKabupaten Bogor Aspek akses pangan

4. Jumlah rumah tangga miskin BPS Kabupaten Bogor 5. Jumlah rumah tangga tanpa akses litrik BPS Kabupaten Bogor 6. Panjang jalan yang rusak ringan dan rusak

berat Dinas Bina Marga danPengairan Kabupaten Bogor Aspek pemanfaatan pangan

7. Angka harapan hidup (AHH) Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

8. Jumlah balitaunderweight Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

9. Jumlah penduduk buta huruf BPS Kabupaten Bogor 10. Jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih Dinas Kesehatan Kabupaten

Bogor

11. Jumlah tenaga kesehatan di Kabupaten Bogor Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor

12. Bencana alam yang terjadi selama periode

tahun 2011 Dinas Kehutanan danPerkebunan 2011

13. Luas daerah kekeringan Dinas Pertanian dan Kehutanan

(30)

(panjang jalan yang rusak ringan dan rusak berat) yang terdapat di Kabupaten Bogor, data kesehatan dan gizi meliputi data angka harapan hidup (AHH), data jumlah balita underweight, jumlah tenaga kesehatan, jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih, jumlah perempuan yang buta huruf, serta data kawasan hutan yang meliputi data curah hujan, bencana yang terjadi, dan persentase daerah puso.

Pengolahan

PengolahanPengolahanPengolahan dandandandan AnalisisAnalisisAnalisisAnalisis DataDataDataData

Seluruh data diolah menggunakan pendekatan FSVA tahun 2009. Data pada setiap indikator mengalami proses entry kemudian diolah berdasarkan rumus yang berbeda pada setiap indikator. Proses pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer yaitu Microsoft Excel 2007. Proses pengolahan data memiliki tahapan sebagai berikut:

Kerentanan Kerentanan

KerentananKerentanan terhadapterhadapterhadapterhadap KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan KronisKronisKronisKronis

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excel2007 dengan langkah sebagai berikut:

1. Penghitungan Indeks Ketersediaan Pangan

Pertama, dihitung produksinettopangan pokok sumber karbohidrat yaitu gabah, jagung, ubi kayu serta ubi jalar. Penghitungan produksi netto pangan tersebut dengan menggunakan rumus berikut:

Sedangkan untuk penggunaan benih, pakan, ternak, tercecer dihitung dengan rumus berikut:

Adapun faktor konversi gabah, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar terdapat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Faktor konversi penggunaan komoditas pangan untuk benih, pakan ternak, dan tercecer

Jenis Pangan Angka Konversi Penggunaan (%)

Benih Pakan Ternak Tercecer

Gabah 0.9 0.44 5.4

Jagung 0.9 6 5

Ubi Kayu - 2 2.13

Ubi Jalar - 2 10

Sumber: DKP 2009

Produksi netto beras adalah data netto gabah dikalikan dengan faktor konversi. Faktor konversi gabah menjadi beras menggunakan faktor konversi

ProduksiNetto= Produksi - (Penggunaan untuk benih+pakan ternak+tercecer)

Benih (s)= P x Faktor Konversi Pakan ternak (f)= P x Faktor Konversi

Tercecer (w)= P x Faktor Konversi

(31)

Indeks Xij =

nasional yaitu 0,632 (atau 63,2%). Maka, produksi netto beras dihitung sebagai berikut:

Produksinettopangan pokok dihitung dengan rumus berikut:

Kedua,,,,ketersediaan pangan pokok per kapita dihitung dengan rumus:

Keterangan:

F : ketersediaan pangan pokok per kapita (gram) Tpop : Jumlah populasi penduduk (jiwa)

Ketiga, penghitungan rasio ketersediaan pangan; dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

IAV : Rasio Ketersediaan Pangan

Cnorm : Konsumsi Normatif (300 gram setara dengan beras); dan

F : Ketersediaan Pangan Pokok

Jika nilai rasio ketersediaan pangan lebih dari 1, maka daerah tersebut defisit pangan pokok atau kebutuhan konsumsi normatif tidak bisa dipenuhi dari produksi bersih pokok (beras dan jagung) serta umbi-umbian yang tersedia di daerah tersebut. Jika nilai rasio ketersediaan pangan kurang dari 1, maka hal ini menunjukkan kondisi surplus pangan pokok di daerah tersebut. Keempat, rumus untuk penghitungan indeks adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Xij : Nilai ke-j dari indikator ketersediaan pangan min : nilai minimum dari indikator ketersediaan pangan max : nilai maksimum dari indikator ketersediaan pangan

Data produksi yang digunakan adalah data rata-rata 3 tahun produksi. Tahun produksi yang digunakan pada penelitian ini adalah data tahun 2009 hingga tahun 2011. Dengan demikian dimungkinkan untuk mencakup adanya fluktuasi produksi tahunan.

2. Penghitungan Indeks Akses terhadap Pangan

ProduksiNettoPangan Pokok =

Produksinetto(Gabah+Jagung+Ubi Kayu+ Ubi Jalar)

F = P Tpop*365

IAV= Cnorm

(32)

Indeks Xij =

Ada tiga indikator yang digunakan pada dimensi akses terhadap pangan yaitu (1) persentase penduduk miskin, (2) panjang jalan rusak ringan dan berat, dan (3) persentase RT tanpa akses terhadap listrik. Perhitungan persentase penduduk miskin menggunakan data rumah tangga miskin pada masing-masing kecamatan dibandingkan dengan total rumah tangga yang terdapat pada kecamatan tersebut. Perhitungan persentase panjang jalan yang rusak menggunakan panjang jalan rusak ringan dan rusak berat dibandingkan dengan panjang jalan berdasarkan data Dinas Bina Marga dan Pengairan pada masing-masing kecamatan. Perhitungan persentase RT (rumah tangga) tanpa akses listrik menggunakan data pengurangan 100% dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses listrik pada masing-masing kecamatan. Rumus untuk penghitungan indeks akses terhadap pangan adalah sebagai berikut:

Indeks Xij =

Keterangan:

Xij : Nilai ke-j dari indikator ke-i

min : nilai minimum dari indikator tersebut max : nilai maksimum dari indikator tersebut

Contoh: a. Indikator persentase RT miskin

Rumus yang digunakan dalam perhitungan indeks indikator persentase RT miskin adalah:

Keterangan:

Indeks Xij : Nilai ke-1 dari indikator persentase RT miskin min : Nilai minimum indeks indikator persentase RT miskin max : Nilai maksimum indeks indikator persentase RT miskin

Rumus yang sama digunakan untuk menghitung indeks pada indikator persentase jalan rusak dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

3. Penghitungan Indeks Pemanfaatan Pangan

(33)

Indeks Akses Kesehatan = 1 - Rasio tenaga kesehatan

Indeks Xij =

balita gizi buruk dan gizi kurang terhadap total balita di masing-masing kecamatan. Indikator penduduk buta huruf menggunakan data persentase penduduk buta huruf. Data penduduk buta huruf diperoleh dari informasi BPS tentang data penuntasan buta aksara.

Indikator RT tanpa akses air bersih menggunakan data pengurangan 100% dengan persentase rumah tangga yang memiliki sumber air (berasal dari sumur, sumur pompa tangan dan pompa listrik, mata air terlindung dan ledeng) pada masing-masing kecamatan. Indikator rasio jumlah tenaga kesehatan (dokter, bidan, mantri, dan dukun bayi) dihitung terhadap jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Rumus untuk menghitung rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk adalah:

Rasio = Jumlah tenaga kesehatan x 1000 Jumlah penduduk

Indeks komposit dari akses kesehatan dapat dihitung dengan cara:

Rumus untuk penghitungan indeks pemanfaatan pangan adalah sama dengan cara penghitungan indeks ketersediaan pangan maupun akses terhadap pangan dan penghidupan sebagai berikut:

Indeks Xij =

Keterangan:

Xij : Nilai ke-j dari indikator ke-i

min : nilai minimum dari indikator tersebut max : nilai maksimum dari indikator tersebut

Contoh: a. Indikator persentase RT tanpa akses air bersih Rumus yang digunakan adalah

Keterangan:

Indeks Xij : Nilai ke-1 dari indikator persentase RT tanpa akses air bersih min : Nilai minimum indeks indikator persentase RT tanpa akses air bersih max : Nilai maksimum indeks indikator persentase RT tanpa akses air bersih Rumus yang sama digunakan untuk menghitung indeks pada indikator angka harapan hidup, balitaunderweightdan persentase penduduk buta huruf.

4. Penghitungan Indeks Kerawanan Pangan Komposit

(34)

ketahanan pangan komposit berkisar antara 0-1. Jika indeks komposit yang diperoleh bernilai 0 maka kecamatan tersebut termasuk tahan pangan, namun jika indeks yang diperoleh bernilai 1 maka kecamatan tersebut termasuk rawan pangan. Indeks kerawanan pangan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Range indikator yang digunakan untuk indeks kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut:

a. Prioritas 1: >= 0,80 b. Prioritas 2: 0,64 – <0,80 c. Prioritas 3: 0,48 – < 0,64 d. Prioritas 4: 0,32 – < 0,48 e. Prioritas 5: 0,16 – < 0,32 f. Prioritas 6: < 0,16 Kerentanan

Kerentanan Kerentanan

Kerentanan terhadapterhadapterhadapterhadap KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan TransienTransienTransienTransien

Kerentanan terhadap kerawanan pangan adalah suatu kondisi dimana suatu masyarakat berada pada resiko menjadi rawan pangan. Kerentanan terhadap kerawanan pangan transien memiliki empat indikator yaitu deforestasi hutan, penyimpangan curah hujan, bencana alam dan persentase daerah puso, namun pada penelitian ini indikator kerawanan pangan transien yang diteliti hanya indikator bencana alam dan persentase daerah puso diganti dengan indikator persentase daerah kekeringan. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya data yang memadai di Kabupaten Bogor.

1. Bencana alam

Data berupa data sekunder yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Data yang didapatkan diolah dengan menghitung frekuensi kejadian bencana. Data tersebut kemudian dianalisis terhadap dampak yang ditimbulkan berdasarkan jumlah korban (jiwa) dari bencana tersebut.

2. Persentase daerah kekeringan

Data berupa data sekunder yang berasal dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Data diolah dengan menghitung persentase lahan yang terkena puso dengan membandingkan luas pertanaman sawah yang terkena puso terhadap total lahan pertanaman sawah. Berikut disajikan

Indeks Komposit =1/9 * ( Indeks Ketersediaan Pangan + Indeks RT Miskin + Indeks Panjang Jalan Rusak + Indeks RT Tanpa Akses Listrik + Indeks Penduduk Buta Huruf

(35)
[image:35.595.108.516.147.739.2]

pemetaan indikator individu untuk kedua kelompok indikator kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara berdasarkanrange pada peta indikator individu.Rangeindividu yang digunakan pada peta ditunjukkan oleh Tabel 4. Tabel 4Rangeindikator kerawanan pangan kronis dan sementara

No. Indikator Range Tingkat Prioritas 1 Rasio konsumsi normatif per

kapita terhadap ketersediaan bersih gabah+jagung+ubi kayu=ubi jalar

>= 1,5 1,25 -1,5 1,00 – 1,25 0,75 – 1,00 0,50 – 0,75 <0,50

Defisit tinggi (1) Defisit sedang (2) Defisit rendah (3) Surplus rendah (4) Surplus sedang (5) Surplus tinggi (6) 2 Persentase penduduk hidup di

bawah garis kemiskinan >= 3525 - <35 20 - <25 15 - <20 10 - <15 0 - <10

Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 3 Persentase desa yang tidak

memiliki akses penghubung yang memadai

>= 30 25 - <30 20 - <25 15 - <20 10 - <15 0 - <10

Prioritas 6 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 2 Prioritas 1 4 Persentase rumah tangga tanpa

akses listrik >= 5040 - <50 30 - <40 20 - <30 10 - <20 < 10 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 5 Angka harapan hidup pada saat

lahir < 5858 - <61 61 - <64 64 - <67 67 - <70 >=70 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 6 Balitaunderweight >=30

20 - <30 10 - <20 <10

Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 7 Persentase perempuan buta

huruf >=4030 - <40 20 - <30 10 - <20 5 - <10 <5 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6 8 Persentase rumah tangga tanpa

akses air bersih >=7060 – 70 50 – 60 40 – 50 30 – 40 <30 Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6

Tabel 4Rangeindikator kerawanan pangan kronis dan sementara (lanjutan)

(36)

9 Rasio jumlah tenaga kesehatan >=0,23 0,19-0,23 0,15 – 0,19 0,11 – 0,15 0,08 – 0,11 <0,08

Priotitas 6 Prioritas 5 Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 2 Prioritas 1

10 Bencana alam Tidak ada range,hanya menyoroti daerah dengan kejadian bencana alam dan kerusakannya dalam periode tertentu (menunjukkan daerah tersebut rawan)

11 Persentase daerah yang

mengalami kekeringan >=1510 – 15 5 – 10 3 – 5 1 – 3 <1

Analisis Analisis

AnalisisAnalisis dandandandan PemetaanPemetaanPemetaanPemetaan SituasiSituasiSituasiSituasi KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan

[image:36.595.115.516.621.705.2]

Setelah dilakukan perhitungan terhadap indikator komposit, maka analisis situasi kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor dapat dilakukan untuk menentukan wilayah yang tahan pangan maupun rentan terhadap kerawanan pangan. Situasi kerawanan dan kerentanan pangan tersebut dipetakan dengan software Arc View atau Map-Info untuk mempermudah dalam pembacaan analisis. Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan dari ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Adapun perhitungan untuk pemetaan, digunakan sejumlah indeks dari ketiga kelompok indikator tersebut. Range indeks dari kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut: score dibuat dengan menghitung indeks komposit ketahanan pangan dengan dengan total score factor bernilai dari 0 sampai dengan 1, dimana nilai score semakin mendekati nilai 1 dianggap semakin rawan sebagai berikut:

Tabel 5Scorekriteria gradasi warna prioritas

Prioritas GradasiWarna Ranges Kriteria 1 Merah Tua > = 0.80 Sangat rawan 2 Merah 0.64 -< 0.80 Rawan pangan 3 Merah Muda 0.48 -< 0.64 Agak rawan pangan 4 Hijau Muda 0.32 -< 0.48 Cukup tahan pangan 5 Hijau 0.16 -< 0,32 Tahan pangan 6 Hijau Tua < 0,16 Sangat tahan pangan

Sumber : WFP 2009

(37)

Analisis Analisis

AnalisisAnalisis KebijakanKebijakanKebijakanKebijakan PenangananPenangananPenangananPenanganan KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan

Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen kebijakan terkait ketahanan pangan selama tahun 2011 dan Renstra (Rencana Strategis) setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang bertanggung jawab dan memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan pangan di Kabupaten Bogor. Informasi tersebut diidentifikasi dan dianalisis dengan metode content analysis dan menggunakan KUKP (Kebijakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014 sebagai bahan acuan.

Definisi

DefinisiDefinisiDefinisi OperasionalOperasionalOperasionalOperasional Pangan

Pangan

PanganPangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Rawan Rawan

RawanRawan panganpanganpanganpangan adalah suatu resiko yang timbul akibat kerentanan terhadap kerawanan pangan yang ditandai dengan indikator ketersediaan pangan, angka kemiskinan, akses jalan, akses listrik, angka harapan hidup, akses listrik, balita underweight, akses kesehatan, dan penduduk buta huruf yang dikembangkan oleh Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programmetahun 2009.

Ketersediaan Ketersediaan

KetersediaanKetersediaan panganpanganpanganpangan adalah ketersediaan pangan pokok (gabah, jagung, ubi kayu, ibi jalar dan talas) di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor dari segala sumber, baik dari produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan.

Produksi Produksi

ProduksiProduksi panganpanganpanganpangan adalah jumlah keseluruhan masing-masing jenis pangan dalam satu tahun dari sektor pertanian (gabah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas) yang belum mengalami proses pengolahan dan diasumsikan disediakan seluruhnya untuk dikonsumsi penduduk dalam bentuk energi (kkal/kap/hari).

Buta Buta

(38)

Konsumsi Konsumsi

KonsumsiKonsumsi normatifnormatifnormatifnormatifadalah rasio kebutuhan pangan pokok penduduk per tahun dibandingkan dengan produksi tanaman pangan setara beras per tahun di tiap kecamatan di Kabupaten Bogor.

Akses Akses

AksesAkses panganpanganpanganpangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, yang dilihat dari akses jalan (akses penghubung), angka kemiskinan pada setiap kecamatan dan akses listrik.

Jumlah Jumlah

JumlahJumlah pendudukpendudukpendudukpendudukadalah banyaknya penduduk suatu wilayah pada suatu waktu tertentu dan laju pertumbuhan peningkatannya.

Tingkat Tingkat

(39)

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL DAN

DAN

DAN

DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

PEMBAHASAN

Gambaran Gambaran Gambaran

Gambaran UmumUmumUmumUmum KabupatenKabupatenKabupatenKabupaten BogorBogorBogorBogor Keadaan

Keadaan

KeadaanKeadaan GeografisGeografisGeografisGeografis dandandandan AdministratifAdministratifAdministratifAdministratif

Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha, secara geografis terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan 106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur, dengan batas-batas wilayahnya :

-Sebelah Utara, berbatasan dengan Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi;

-Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Lebak;

-Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta;

-Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur;

-Bagian Tengah berbatasan dengan Kota Bogor.

Kabupaten Bogor memiliki tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, yaitu sekitar 29,28% berada pada ketinggian 15-100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian 100-500 meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian 500–1.000 meter dpl, 8,43% berada pada ketinggian 1.000–2.000 meter dpl dan 0,22% berada pada ketinggian 2.000– 2.500 meter dpl. Selain itu, kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Selanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Oleh karena itu, beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor.

(40)

Suhu rata-rata di wilayah Kabupaten Bogor adalah 20°- 30°C, dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C. Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah, dengan rata–rata 1,2 m/detik dengan evaporasi di daerah terbuka rata– rata sebesar 146,2 mm/bulan.

Secara hidrologis, wilayah Kabupaten Bogor terbagi ke dalam 7 buah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: (1) DAS Cidurian; (2) DAS Cimanceuri; (3) DAS Cisadane; (4) DAS Ciliwung; (5) Sub DAS Kali Bekasi; (6) Sub DAS Cipamingkis; dan (7) DAS Cibeet. Selain itu juga terdapat 32 jaringan irigasi pemerintah, 794 jaringan irigasi pedesaan, 93 situ dan 96 mata air. Secara administratif, Kabupaten Bogor terdiri dari 417 desa dan 17 kelurahan (434 desa/kelurahan), 3.768 RW dan 14.951 RT yang tercakup dalam 40 kecamatan. Jumlah kecamatan sebanyak 40 tersebut merupakan jumlah kumulatif setelah adanya hasil pemekaran 5 (lima) kecamatan di tahun 2011, yaitu Kecamatan Leuwisadeng (pemekaran dari Kecamatan Leuwiliang), Kecamatan Tanjungsari (pemekaran dari Kecamatan Cariu), Kecamatan Cigombong (pemekaran dari Kecamatan Cijeruk), Kecamatan Tajurhalang (pemekaran dari Kecamatan Bojonggede) dan Kecamatan Tenjolaya (pemekaran dari Kecamatan Ciampea). Selain itu, pada akhir tahun 2006 telah dibentuk pula sebuah desa baru, yaitu Desa Wirajaya, sebagai hasil pemekaran dari Desa Curug Kecamatan Jasinga dan pada awal tahun 2011 telah dibentuk 2 ( dua) desa baru yaitu Desa Gunung Mulya hasil pemekaran dari Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya dan Desa Batu Tulis hasil pemekaran dari Desa Parakan Muncang Kecamatan Nanggung.

Luas wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah dikelompokkan menjadi kebun campuran seluas 85.202,5 Ha (28,48%), kawasan terbangun/pemukiman 47.831,2 Ha (15,99%), semak belukar 44.956,1 Ha (15,03%), hutan vegetasi lebat/ perkebunan 57.827,3 Ha (19,33%), sawah irigasi/tadah hujan 23.794 Ha (7,95%), tanah kosong 36.351,9 Ha (12,15%). Penduduk

Penduduk PendudukPenduduk

(41)

pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 sebesar 3,15 %. Laju pertumbuhan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Gunung Putri sebesar 6,27%, Kecamatan Bojonggede sebesar 5,86%, Kecamatan Cileungsi sebesar 5,72% dan Kecamatan Cibinong sebesar 4,62 %, Parung sebesar 4,22% ,Gunung Sindur sebesar 4,31% dan Tajur halang sebesar 4,16%. Pertambahan penduduk di tujuh kecamatan tersebut dapat dikatakan pesat karena merupakan pusat pengembangan usaha industri dan permukiman.

Data sex ratio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 106, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 106 orang laki-laki. Hampir di semua kecamatan di Kabupaten Bogor memiliki sex ratio diatas 1, yang berarti berlaku umum bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan di daerah tersebut. Jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2011 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari 205.032 orang, menjadi 181.880 orang, turun sebanyak 23.152 orang (atau sekitar 11,29 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah Kabupaten Bogor dalam menurunkan jumlah pengangguran telah menunjukan hasil yang memadai, baik yang dilakukan dengan cara mengundang investor, membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan para pekerja maupun upaya lainnya melalui kemudahan untuk membuka usaha baru dan wirausaha mandiri di sektor formalaupun informal. Tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami peningkatan pada tahun 2011 bila dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu sebesar 3,12 %. Kondisi ini disebabkan implikasi dari bertambahnya angkatan kerja dari luar kabupaten yang mendapatkan kesempatan kerja atau peluang kerja sehingga berpengaruh terhadap proporsi dari tingkat partisipasi angkatan kerja lokal. Kondisi

Kondisi

KondisiKondisi PerekonomianPerekonomianPerekonomianPerekonomian

(42)

harga konstan maupun berdasarkan harga berlaku mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi makro, kondisi ekonomi Kabupaten Bogor relatif meningkat, yang ditunjukkan oleh angka laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 berdasarkan harga konstan sebesar 5,70 %. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh tingkat inflasi tahun 2011 yang cukup rendah. Sebagaimana terlihat dari inflasi nasional sebesar 3,79 %, inflasi Jawa Barat sebesar 3,10 %, sedangkan tingkat inflasi di Bogor mencapai 2,85 %, jauh lebih rendah dibandingkan inflasi pada tahun 2010, yaitu sebesar 6,79 %.

Selanjutnya, untuk melihat prosentase kontribusi laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bogor berdasarkan lapangan usaha, maka komposisi laju pertumbuhan ekonominya sebagai berikut :

1. Sektor primer yang meliputi lapangan usaha : pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar -0,04%, pertambangan dan penggalian sebesar 0,07%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor primer sebesar 0,03%;

2. Sektor sekunder yang meliputi lapangan usaha : industri pengolahan sebesar 3,18%, listrik, gas dan air bersih sebesar 0,21% dan bangunan sebesar 0,30%. Total kontribusinya terhadap LPE sektor sekunder sebesar 3,69%;

3. Sektor tersier yang meliputi lapangan usaha : perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,37%, pengangkutan dan komunikasi sebesar 0,27%, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 0,13% serta jasa-jasa lainnya sebesar 0,21%. Total kontribusinya terhadap sektor tersier sebesar 1,98%.

(43)

Situasi Situasi Situasi

Situasi KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan

Analisis situasi kerawanan Kabupaten Bogor menggunakan dua komponen indikator yaitu: (a) kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis, yang dicerminkan melalui indikator ketersediaan pangan, indikator akses terhadap pangan serta pemanfaatan pangan (9 indikator) dan (b) kerentanan terhadap kerawanan pangan transien, dicerminkan melalui indikator kerentanan terhadap bencana alam dan bencana lainnya (4 indikator). Analisis situasi tersebut diperoleh dari dukungan data yang tersedia dari berbagai instansi terkait dalam unit kecamatan.

Kerentanan Kerentanan

KerentananKerentanan terhadapterhadapterhadapterhadap KerawananKerawananKerawananKerawanan PanganPanganPanganPangan KronisKronisKronisKronis

Kerentanan terhadap kerawanan pangan kronis dilihat dari indikator ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penghidupan serta pemanfaatan pangan.

a. Ketersediaan pangan

Ketersediaan pangan yang mencukupi kebutuhan wilayah merupakan hal dasar yang harus dipenuhi agar suatu wilayah tahan pangan.Pangan yang harus disediakan meliputi kelompok pokok, umbi-umbian, kacang-kacangan, pangan hewani, minyak dan lemak, sayur dan buah-buahan. Sebanyak 23% hasil pertanian di Indonesia adalah beras, yang merupakan makanan pokok penduduk. Jagung dan ubi kayu adalah 2 komoditi sumber pangan pokok yang cukup diperhitungkan untuk masa mendatang dan merupakan 13% dari total hasil pertanian. Oleh karena itu, sumber karbohidrat yang berasal dari pokok (gabah, jagung) dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) digunakan dalam analisa ketersediaan pangan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi maupun kabupaten.

Ketersediaan pangan yang memenuhi kebutuhan dapat dilihat dengan menggunakan indikator rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan sumber karbohidrat perkapita perhari. Ketersediaan pangan dinyatakan defisit apabila rasio ketersediaan pangan pokok terhadap penduduk lebih atau sama dengan 1 dan surplus apabila rasio bernilai kurang dari 1. Perhitungan rasio ketersediaan pangan Kabupaten Bogor didapatkan dari perbandingan konsumsi normatif dengan produksinettopangan pokok.

(44)
[image:44.595.108.512.177.724.2]

dengan total produksi 72.187 ton, dan produksi pangan pokok terendah terdapat di Kecamatan Tanjungsari yaitu sebesar 1.667 ton. Tabel 6 di bawah ini menyajikan rincian rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan.

Tabel 6 Rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan

No Kecamatan Rasio Ketersediaan Prioritas Keterangan

1 Tenjo 0,71 5 Surplus sedang

2 Parung Panjang 1,05 3 Defisit rendah

3 Jasinga 0,64 5 Surplus sedang

4 Cigudeg 0,64 5 Surplus sedang

5 Sukajaya 0,43 6 Surplus tinggi

6 Nanggung 0,90 4 Surplus rendah

7 Rumpin 0,93 4 Surplus rendah

8 Leuwiliang 0,86 4 Surplus rendah

9 Leuwisadeng 0,98 4 Surplus rendah

10 Cibungbulang 0,80 4 Surpl

Gambar

Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA
Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor(lanjutan)
Gambar 1. Kerangka pemikiran analisis kerawanan pangan menurut kecamatan
Tabel 4 Range indikator kerawanan pangan kronis dan sementara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah menyelesaikan studi, diharapakan ilmu yang telah dipelajari di program studi Master of Science in Transport Planning dapat diaplikasikan dan menjadi suatu bentuk

Pemberitahuan untuk Ujian Ulang 1 akan diumumkan pada

a) Variabel Harga Properti di Indonesia selama kuartalan pertama tahun 2010 sampai kuartalan keempat 2016 terus mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan sektor

Umumnya, nilai IV yang digunakan berbeda untuk setiap pesan yang dikirimkan, dan karena IV juga ikut dikirimkan bersama dengan pesan, maka proses dekripsi dapat dilakukan

Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan outstanding reverse repo yang signifikan selama minggu lalu yaitu sebesar Rp27,1 triliun dan meningkatnya kepemilikan domestik bank

Islam merupakan agama yang disampaikan menggunakan simbol- simbol yang bersifat permanen doktrinal. Secara doktriner, Islam bersifat elitis dalam arti bahwa secara normatif

pelepasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bahkan pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) atau yang lebih kenal dengan

Pada studi ini, metodologi yang digunakan untuk melihat pengaruh pemasangan SVC pada sistem transmisi tenaga listrik 150 kV Sumbagut adalah dengan simulasi