• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012)"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI DI

KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT, SEBELUM DAN

SETELAH OTONOMI DAERAH (PERIODE 1998

2012)

QIKI QILANG SYACHBUDY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity) dan korupsi merupakan dua masalah yang biasa terjadi di negara-negara berkembang. Baik aktivitas ekonomi perburuan rente maupun korupsi pada akhirnya akan berdampak terhadap berkurangnya anggaran belanja pemerintah yang diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Kabupaten Kuningan merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia yang memiliki status sebagai negara berkembang. Oleh karena itu menjadi hal yang menarik untuk meneliti fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi yang ada di Kabupaten Kuningan. Penelitian ini menggunakan rentang waktu antara tahun 1998 – 2012 yang membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data dan wawancara mendalam yang kemudian disajikan dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa banyak fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi yang ada di Kabupaten Kuningan. Sektor yang paling dominan terjadi aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa. Terdapat perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dari yang sebelum Otonomi Daerah menggunakan pendekatan kekerabatan, menjadi pendekatan balas budi setelah adanya otonomi daerah. Sedangkan dalam fenomena korupsi yang ada di Kabupaten Kuningan, terdapat tiga jenis korupsi yang biasa terjadi sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Oleh karena itu maka harus ada kerjasama antara pihak pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat di Kabupaten Kuningan dalam menghadapi masalah aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi tersebut.

Kata kunci: Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity), Korupsi, Otonomi Daerah.

ABSTRACT

Rent seeking economy activity and corruption are problems that usually occur in developing countries. Rent seeking economy activity and corruption will impact on national budget that is allocated for society prosperous. Kuningan regency is a part of area in Indonesia as a developing country. Because of that, it becomes interesting to examine about rent seeking economy activity and corruption that occur in Kuningan regency. This research uses time range between 1998-2012 that compare the condition before and after autonomy. The methodology that is used in this research is data analytical and indepth interview that is presented in the descriptive qualitative methodology. The result of this research present that there are many cases of rent seeking economy activity and corruption occur in Kuningan regency. Rent seeking activity and corruption are occurred in procurement sector. There is difference pattern in the rent seeking economy activity, that use family relationship pattern before autonomy and reciprocate pattern after autonomy. Base on Indonesia‟s law, there are three kinds of corruption that usually occur in Kuningan regency. Because of that, it has to be a cooperation between government, institution that has competent in law, and society in Kuningan regency to solve rent seeking economy activity and corruption problems.

(6)
(7)

FENOMENA PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI DI

KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT, SEBELUM DAN

SETELAH OTONOMI DAERAH (PERIODE 1998

2012)

QIKI QILANG SYACHBUDY

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi :Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012)

Nama : Qiki Qilang Syachbudy

NIM : H14090133

Disetujui,

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph. D. Ketua Departemen

(11)

PRAKATA

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas semua nikmat, cinta, dan kasih sayang yang Ia berikan sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan. Penulis sampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada ibunda tercinta Oom Siti Romlah dan kedua ayahanda

tercinta, Ade Syachbudy (Alm.) dan Salam. Terima kasih atas do‟a dan ketulusan

perjuangannya untuk menghantarkan penulis sampai saat ini. Ibu dan Bapak adalah inspirator penulis sepanjang hayat.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Oyon Sofyan dan Ibu Dra. Enna Tjintasih yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri. Terima kasih atas segala bantuan dan kasih sayang Ibu dan Bapak selama penulis kuliah di IPB. Ibu dan Bapak adalah inspirator dan peletak nilai-nilai dasar perjuangan pada jiwa penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada:

1. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, transfer ilmu, bimbingan dan arahan serta pendidikan yang sangat berharga bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. Bagi saya Prof. adalah seorang pendidik yang paripurna.

2. Dr. Alla Asmara, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam proses kuliah. 3. Bapak Dr. Findi Alexandi dan Ibu Widyastutik, M.Si sebagai dosen penguji

sidang, atas segala kritikan dan masukannya yang membangun sehingga penulis mendapat tambahan pengetahuan baru serta dapat mengetahui kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi.

4. Beasiswa BBM dan beasiswa BUMN yang banyak membantu penulis sehingga penulis bisa leluasa dalam beraktivitas selama berkegiatan sebagai mahasiswa.

5. Teman-teman IE 46 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala persahabatan, kenangan, perjuangan, dan asa untuk mencapai tujuan.

(12)

7. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, Kakanda/Yunda/Adinda yang telah berjasa membentuk pola pikir, menempa kekuatan jiwa, dan pembelajaran yang sangat luar biasa. Dari hati yang paling dalam, penulis bangga telah memiliki saudara dan sahabat seperti kalian.

Memang benar rasanya bahwa “Di HMI, kita berteman lebih dari saudara”.

8. Kawan-kawan dari organisasi Ikatan Santri Pondok Pesantren Al Inayah (Penulis pernah nyantri selama 1 tahun), DPMKM, Tarung Derajat, KAMMI (Penulis pernah nge-kos di asrama KAMMI), KMNU, dan IMM. Terima kasih atas kehangatan persaudaraannya.

9. Terkhusus kepada adik-adikku, yaitu: Yaya Hidayat, Elis Fauzi Nurhasanah, dan Alisya Fauzi Labibah, terima kasih sudah mendo‟akan A Qiki sehingga Aa bisa berjalan sejauh ini. Teruslah berjuang dan jangan lupa, ketika sukses nanti maka sukseskanlah juga orang lain. Jadilah manusia yang banyak bermanfaat bagi orang lain. Karena iman harus diikuti oleh ilmu, dan ilmu harus diamalkan.

(13)
(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

LatarBelakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 8

Pembangunan Ekonomi Wilayah 8

Otonomi Daerah 9

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)

dan Korupsi 13

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity) 13

Korupsi 15

Penelitian-Penelitian Terdahulu 18

Kerangka Pemikiran 19

METODOLOGI PENELITIAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Analisis Data 21

Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap fenomena Rent Seeking Economy Activity dan korupsi

di Kabupaten Kuningan 22

Keberadaan Aktor yang Melakukan Perilaku Rent Seeking Economy Activity dan korupsi pada Sebelum

dan Sesudah Otonomi Daerah di Kabupaten Kuningan 23 Jenis – Jenis Korupsi dan Perbedaan Rent Seeking Economy

Activity di Kabupaten Kuningan Sebelum dan Sesudah

Otonomi Daerah. 23

Sebab – Sebab Terjadinya Rent Seeking Economy

Activity dan Korupsi di Kabupaten Kuningan 24 Perkiraan Kebocoran APBD Akibat Adanya Fenomena

Rent Seeking Economy Activity dan Korupsi 24

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25

Perkembangan Wilayah Kabupaten Kuningan 25

Perkembangan Pembangunan di Kabupaten Kuningan 27

Pendidikan Masyarakat 27

Kesehatan Masyarakat 30

(15)

Investasi 33

Perkembangan Ekonomi di Kabupaten Kuningan 38

HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Fenomena Rent Seeking Economy Activity dan korupsi

di Kabupaten Kuningan 41

Keberadaan Aktor yang Melakukan Perilaku Rent Seeking Economy Activity dan korupsi pada Sebelum dan Sesudah

Otonomi Daerah di Kabupaten Kuningan 45

Uji Beda Pengaruh Korupsi Terhadap APBD di Kabupaten Kuningan 49 Jenis – Jenis Korupsi dan Perbedaan Rent Seeking Economy

Activity di Kabupaten Kuningan Sebelum dan Sesudah

Otonomi Daerah 52

Sebab – Sebab Terjadinya Rent Seeking Economy

Activity dan Korupsi di Kabupaten Kuningan 59 Perkiraan Kebocoran APBD Akibat Adanya Fenomena

Rent Seeking Economy Activity dan Korupsi 66

SIMPULAN 68

SARAN 68

DAFTAR PUSTAKA 70

LAMPIRAN 73

(16)

DAFTAR TABEL

1. Temuan korupsi berdasarkan aktor yang melakukan korupsi 2 2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dari

tahun ke tahun 4

3. Tahapan-tahapan menuju otonomi daerah 10

4. Daftar kecamatan, jumlah desa, luas wilayah, dan jumlah

penduduk di Kabupaten Kuningan. 26

5. Jumlah penduduk dan persentase pertumbuhan penduduk Kabupaten

Kuningan tahun 1998 - 2011. 27

6. Dana alokasi pendidikan di Kabupaten Kuningan

tahun 2007 - 2011. 28

7. Perkembangan jumlah sekolah di Kabupaten Kuningan

tahun 1998 - 2012. 28

8. Jumlah murid sekolah pada setiap jenjang pendidikan

di Kabupaten Kuningan tahun 1998 - 2012. 29

9. Jumlah guru pada setiap jenjang pendidikan di Kabupaten Kuningan

tahun 1998 – 2012. 29

10.Keberlanjutan siswa dalam melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi di Kabupaten Kuningan

tahun 2005 - 2012. 30

11.Besaran dana yang dialokasikan pemerintah Kabupaten

Kuningan untuk kesehatan tahun 2007 - 2013. 30 12.Perkembangan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur

pada sektor kesehatan di Kabupaten Kuningan tahun 1998 -2012. 31 13.Tingkat kesejahteraan di Kabupaten Kuningan

tahun 2004 - 2010. 33

14.Persentase pada setiap golongan kesejahteraan di Kabupaten Kuningan

tahun 2004 - 2010. 33

15.Perkembangan perizinan di Kabupaten Kuningan

tahun 2007 - 2012. 34

16.Daftar perusahaan menengah dan besar yang berinvestasi di Kabupaten

Kuningan tahun 2010 - 2012. 35

17.Data jumlah realisasi investasi di Kabupaten Kuningan

pada tahun 2012. 37

18.Jumlah investasi pada setiap kecamatan di Kabupaten

Kuningan tahun 2012. 37

19.Proporsi pendapatan dan pengeluaran keuangan di Kabupaten Kuningan

tahun 2007 - 2013. 39

20.Pengaruh Otonomi daerah Terhadap Fenomena Rent Seeking Economy

Activity di Kabupaten Kuningan 43

21.Indikator Kinerja Perekonomian Indonesia dari Era Orde Baru sampai

Era Reformasi 44

22.Pengaruh otonomi daerah terhadap fenomena korupsi di kabupaten

kuningan 45

(17)

linear sederhana 50 25.Daftar nama badan usaha yang ditenggarai terjadi aktivitas ekonomi

perburuan rente 51

26.Jenis-jenis fenomena rent seeking economy activity di Kabupaten

Kuningan sebelum dan sesudah otonomi daerah 54

27.Deskripsi dan modus korupsi yang terjadi di Kabupaten Kuningan 55 28.Sebab-sebab terjadinya aktivitas ekonomi perburuan rente

di Kabupaten Kuningan sebelum dan sesudah otonomi daerah 59 29.Sebab-sebab terjadinya korupsi di Kabupaten Kuningan sebelum dan

sesudah otonomi daerah 61

30.Data ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali 72

DAFTAR GAMBAR

1. Pola Komunikasi Antara Pusat dan Daerah 12

2. Pola Baru Hubungan Pemerintah dan Masyarakat 12

3. Kerangka Pemikiran Penulisan Skripsi 20

4. Peta Kabupaten Kuningan 25

5. Grafik proporsi distribusi PDRB dari berbagai sektor ekonomi 39 6. Grafik laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai sektor di Kabupaten

Kuningan tahun 1998 - 2011. 40

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data perusahaan pemenang tender di Kabupaten Kuningan tahun

anggaran 2012-2013 73

2. Laju Pertumbuhan Ekonomi dari Tahun 1998 Sampai Tahun

2011 Atas Dasar Harga Konstan 76

3. Distribusi Persentase Setiap Sektor Ekonomi dari Tahun 1998 Sampai

Tahun 2011 Atas Dasar Harga Konstan 78

4. Perhitungan uji coba model regresi sederhana korupsi dan aktivitas

perburuan rente di Kabupaten Kuningan 80

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peralihan kepemimpinan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru terjadi pada saat-saat sulit. Sebagai contoh, sampai saat berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno di tahun 1967, inflasi sudah mencapai 650%. Sektor pertanian tetap menjadi andalan utama, tanpa sesuatu terobosan produksi yang membawa rakyat keluar dari lingkaran kemiskinan. Pengangguran di kota-kota semakin meningkat dan investasi asing hampir tidak ada. Oleh karena itu, ketika pemerintahan Orde Baru dibentuk, Soeharto segera menghimpun para teknokrat ekonomi dalam pemerintahannya dan mendeklarasikan pembangunan sebagai misi utamanya.1

Dalam mengimplementasikan misi utamanya tersebut maka pemerintahan Orde Baru menerapkan sistim yang sentralistik guna menjamin pemerataan pembangunan di seluruh wilayah negara Indonesia. Tujuan utama dari sistim yang sentralistik tersebut adalah untuk memudahkan dalam pengukuran hasil pembangunan. Namun demikian, keadaan yang sentralistik tersebut akhirnya semakin memberatkan pemerintah pusat karena beban energi yang dikeluarkan untuk mengurus manajemen pembangunan nasional menjadi sangat besar. Sementara pemerintah daerah hanya sebatas menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Semakin beratnya beban yang dipikul oleh pemerintahan Orde Baru ini yang kemudian menjadi latar belakang dari munculnya butir pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 yang menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II.

Namun demikian, sampai pada awal 1990-an, amanah yang berada pada pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tersebut tidak terealisasi. Pemerintah daerah masih dalam kondisi bergantung kepada pemerintah pusat. Hal ini terlihat dari kegagalan pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis pada tahun 1997. Penyebab utamanya adalah karena pemerintah pusat masih sibuk dengan urusan dalam negeri sehingga kurang bisa fokus terhadap ancaman-ancaman ekonomi global.

Kurangnya ketahanan ekonomi dari pemerintahan derah inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran untuk membentuk Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan kedua undang-undang inilah maka pada bulan Januari tahun 2001 seluruh daerah yang sudah merasa siap sudah bisa untuk menjalankan otonomi daerah versi baru.

Namun demikian, dalam perjalanannya, kedua undang-undang ini dirasa banyak memiliki kelemahan, terutama yang berkaitan dengan peraturan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Sistem pemilihan kepala daerah inilah yang kemudian menjadi indikasi terhadap banyaknya kasus pidana korupsi di pemerintahan daerah.

1

Ryaas Rasyid, MA dalam Desentralisasi & Otonomi Daerah. (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm.

(19)

Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform (PGR) yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) menunjukkan hasil bahwa lingkungan sekitar Kantor Bupati/Walikota/Gubernur dan DPRD menempati lima besar urutan dengan intensitas korupsi tertinggi2. Dan jika dilihat dari aktor yang melakukan korupsi maka diperoleh data pada tabel 1. Tabel 1. Data temuan korupsi berdasarkan aktor yang melakukan korupsi

Aktor Jumlah Terdakwa

Anggota DPRD 162

Swasta 48

Staf BUMN 30

Staf Dinas 17

Kepala Dinas 15

Anggota KPUD 12

Bupati 11

Kepala Sekolah/Pejabat Kampus 9

Kepala/Staf Pertanahan 8

Staf Bea Cukai 7

Lurah/Camat 7

Staf Pemkab 7

Walikota/Wakil Walikota 6

Sekda Walikota 5

Staf Departemen 5

Ketua/Wakil KUD 3

Staf Ahli Walikota/Bupati 3

Kepala Kantor Departemen 2

Kepala Bagian Pemkab 2

Jaksa 2

Anggota Partai Politik 2

Gubernur 2

Militer 1

KP2LN 1

BPKD 1

Sekda Bupati 1

Kepala Rumah Sakit 1

Kabiro Provinsi 1

Kepala Bapeda 1

Pegawai Pos 1

Jumlah 373

Sumber: Independent Report: Corruption Assessment and Compliance United Nation Convention against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian Law By Indonesia Corruption Watch (ICW), hlm. 23.

Berdasarkan data yang ada di tabel 1 maka terlihat bahwa para aktor korupsi banyak yang terlibat pada level pemerintahan daerah mulai dari tingkat gubernur

2

Sumber: Dokumen PGR & PSKK UGM yang dimuat dalam Independent Report: Corruption

(20)

sampai pada tingkat Lurah/Kepala Desa. Melihat fakta dari keadaan seperti itulah maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 sebagai pengganti Undang Nomor 25 tahun 1999. Melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 inilah maka ditetapkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sehingga diharapkan bisa mengurangi peluang-peluang praktik-praktik korupsi di daerah dan diharapkan bisa mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat untuk ikut menentukan pemimpin daerahnya.

Munculnya Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 tidak serta merta menjamin kesejahteraan bagi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Jika dilihat secara makro, menurut data UNDP tahun 2011, Human Development Index (HDI) Indonesia masih termasuk ke dalam golongan Medium Human Development dengan angka rata-rata lama sekolah sekitar 5,8 tahun, angka harapan hidup sekitar 69,4 tahun, dan pendapatan per kapita per tahun sebesar $ 3.716. Meskipun seperti data yang diperlihatkan oleh BPS, secara umum angka HDI terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Trend kenaikan indeks HDI ini terus meningkat mulai dari tahun 1999 sebesar 64,3 sampai pada tahun 2010 sebesar 72,7 3.

Begitu pula halnya dengan kondisi kemiskinan dan ketenagakerjaan, data Indonesia secara makro menyebutkan bahwa ada trend membaik dari tahun ke tahun. Persentase kemiskinan mengalami perbaikan, dari data sekitar 16,58% pada tahun 2007 sampai pada sekitar 12,49% pada tahun 2011. Begitupun dengan kondisi ketenagakerjaan, jumlah penduduk yang menganggur dari dua tahun terakhir mengalami perbaikan, yaitu sebanyak 7.700.086 orang di tahun 2011 menjadi 7.614.241 di tahun 2012 4.

Namun demikian, data-data yang selalu mengalami kondisi trend secara keseluruhan di Indonesia tidak serta merta diikuti oleh masing-masing kondisi daerah di masing-masing provinsi dan kabupaten di seluruh wilayah. Menurut data pada bulan Oktober tahun 2012, wilayah Indonesia terdiri dari 33 provinsi, 399 kabupaten, dan 98 kota 5. Masing-masing wilayah tersebut memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda-beda. Hal ini tergantung kepada kondisi Sumberdaya alam, Sumberdaya sosial, dan faktor kepemimpinan di masing-masing wilayah tersebut.

Seperti di daerah Jawa Barat, beberapa kondisi seperti HDI, jumlah kemiskinan, infrastruktur, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, pengangguran terbuka mengalami penambahan dari tahun 2011 sebanyak 1.901.843 jiwa menjadi sebesar 1.969.006 jiwa pada tahun 2012. Wilayah Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota kemudian memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula keadaannya 6. Seperti di Kabupaten Kuningan, pertumbuhan ekonomi selalu mengalami trend naik, tetapi kondisi ketenagakerjaan terjadi pasang surut dari

3

BPS: Indeks Pembangunan Manusia Provinsi dan Nasional tahun 1996 - 2010. (sumber: www.bps.go.id)

4

BPS: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi tahun 2007-2011.

5

BPS: Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi bulan Oktober 2012, hal. 56

6

(21)

tahun ke tahun. Padahal trend Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, seperti yang diperlihatkan oleh data pada tabel 2.

Tabel 2. Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dari tahun ke tahun.

Tahun Bagian Pendapatan Asli Daerah (Rp) 1998-1999 30.038.671.760 1999-2000 6.543.224.749

2000 5.626.262.000

2001 12.095.000.000

2002 16.496.870.000

2003 20.511.180.000

2004 24.947.354.910

2005 31.148.900.000

2006 35.040.920.000

2007 37.415.404.000

2008 45.679.000.000

2009 52.748.000.000

2010 70.927.000.000

2011 79.210.000.000

2012 88.198.000.000

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) (diolah)

Berdasarkan data pada tabel 2 maka kenaikan PAD idealnya diikuti oleh peningkatan kualitas masyarakat Kabupaten Kuningan. Namun demikian, kualitas masyarakat Kabupaten Kuningan seperti halnya jalan di tempat. Hal inilah yang menjadi dasar dari penulisan skripsi ini, yaitu mencari permasalahan yang menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak ideal tersebut. Fakta lain dari kondisi kenaikan PAD yang tidak diimbangi oleh pembangunan yang signifikan adalah dengan masuknya Kabupaten Kuningan pada peringkat E dalam dalam hal faktor ekonomi daerah (peringkat 131) dan faktor tenaga kerja (peringkat 152) berdasarkan pemeringkatan 169 kabupaten yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD)7.

Fenomena korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity) merupakan dua hal yang digunakan sebagai dasar untuk memahami kondisi pembangunan di Kabupaten Kuningan. Secara luas, korupsi didefinisikan sebagai usaha untuk mencari keuntungan pribadi melalui jabatan yang dimiliki8. Berlainan dengan korupsi, aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking) dapat diartikan sebagai proses pelaku ekonomi, baik secara individu maupun kelompok, untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi

7

Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD), Daya Saing Investasi

Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005: Persepsi Dunia Usaha: Peringkat 169 Kabupaten dan 59 Kota di Indonesia, Metodologi dan Temuan Utama (Jakarta: KPPOD, 2005), hlm. 66 – 69.

8

Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan

(22)

pemerintah9. Namun demikian, baik korupsi maupun aktivitas ekonomi perburuan rente memiliki suatu persamaan dalam hal sama-sama melakukan aktivitas untuk mengalokasikan Sumberdaya hanya kepada individu atau kelompok tertentu saja sehingga akan mengabaikan keadilan di dalam sebuah masyarakat. Hanya saja ada perbedaan objek diantara keduanya dimana objek dari aktivitas korupsi adalah berupa ekonomi, sedangkan objek dari aktivitas ekonomi perburuan rente adalah kebijakan.

Aktivitas korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji karena pada kedua aktivitas ini sangat merugikan dalam proses pembangunan daerah, yakni mengabaikan kesejahteraan masyarakatnya. Secara luas, pembangunan mencakup masalah efisiensi alokasi Sumberdaya produktif yang langka serta berkesinambungan dalam pertumbuhan dari waktu ke waktu. Pembangunan juga memberi perhatian kepada mekanisme-mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan10. Pembangunan perekonomian di daerah Kabupaten Kuningan menjadi menarik karena terdapat dua kali periode kepemimpinan bupati Aang Hamid Sugandha pada tahun 2003-2008 dan 2003-2008-2013 setelah sebelumnya dipimpin oleh Bupati Arifin Setiamihardja pada periode 1998-2003 dan Bupati Yeng DS Partawinata pada periode 1993-1998. Perbandingan masing-masing kondisi pembangunan yang dilakukan pada setiap masa kepemimpinan tersebut, yang dilihat dari program kerja, kebijakan (peraturan daerah), dan output-nya, akan memberikan pemahaman tentang cara-cara dan orientasi aktor-aktor politik tersebut dalam mengusahakan pembangunan di Kabupaten Kuningan. Melalui pendekatan tersebut maka akan terlihat pula tentang adanya gejala korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente dalam wilayah birokrat pada masing-masing periode kepemimpinan.

Tentu saja perbandingan kondisi di setiap pembangunan tersebut akan berkaitan dengan masalah otonomi daerah. Mulai dari sebelum otonomi daerah, yaitu pada kepemimpinan Yeng DS Partawinata, kemudian berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 pada masa Arifin Setiamihardja, dan sampai pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pada masa pemerintahan Aang Hamid Sugandha. Dengan semakin baiknya iklim demokrasi di Indonesia, disertai kewenangan dan keuangan yang semakin bertambah kepada pemerintah daerah selayaknya memberikan keleluasaan kepada daerah untuk memajukan masyarakatnya.

Namun demikian, dalam setiap kepemimpinan (baik sebelum maupun setelah otonomi daerah), selalu ada faktor penghambat dalam perjalanan kepemimpinannya. Ada dua faktor penghambat, yakni korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk dibahas mengenai fenomena korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente yang terjadi di Kabupaten Kuningan pada era sebelum dan sesudah otonomi daerah.

9

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi (Malang:

Bayumedia Publishing, 2010), hlm. 140

10

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan (Jakarta:

(23)

Perumusan Masalah

Pada dasarnya setiap pemerintahan di dunia ini selalu bertujuan mengembangkan perekonomiannya sedemikian rupa sehingga taraf hidup bangsa yang bersangkutan meningkat. Taraf hidup yang lebih tinggi itu dicerminkan oleh adanya dua kata penting yaitu masyarakat yang adil dan makmur 11.

Namun demikian, adanya faktor manusia sebagai subjek yang menjalankan roda pemerintahan baik di ranah eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan roda pemerintahan terdapat berbagai penyimpangan. Aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi merupakan dua permasalahan yang sering terjadi di kalangan eksekutif dan legislatif di Indonesia12. Hal inilah yang kemudian membuat pembangunan di Indonesia tidak mengalami kemajuan yang signifikan.

Pelaksanaan pembangunan umumnya masih banyak penyimpangan dalam pemerintahan nasional di Indonesia, termasuk dalam pemerintahan tingkat kabupaten. Pasca pemerintahan Orde Baru pemerintahan daerah terus menerus mendapatkan kewenangan yang semakin besar dalam rangka kesejahteraan masyarakatnya masing-masing. Adanya peralihan dari sistem yang sentralistik kepada otonomi daerah itulah yang kemudian membawa konsekwensi besar terhadap tata kelola pemerintahan daerah.

Pasca berjalannya otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) di seluruh Indonesia mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kaitan pemerintahan di Kabupaten Kuningan, terdapat beberapa pertanyaan diantaranya:

1. Apakah ada indikasi aktivitas ekonomi perburuan rente dan perilaku korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah? 2. Apakah ada perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi

di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah?

3. Sektor-sektor mana sajakah yang terindikasi adanya perilaku aktivitas

ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum maupun setelah adanya Otonomi Daerah?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti:

1. Fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan perilaku korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah. 2. Perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten

Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.

3. Sektor-sektor yang terindikasi adanya perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum maupun setelah adanya Otonomi Daerah.

11

Suparmoko, Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah (Yogyakarta: Andi

Yogyakarta, 2002), hlm. 1. 12

(24)

Ruang Lingkup Penelitian

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente merupakan dua hal yang mengganggu dalam proses pembangunan di dalam suatu wilayah. Hal ini terjadi karena kedua aktivitas tersebut menyebabkan kebijakan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah menjadi salah sasaran atau bahkan menyebabkan kebijakan ekonomi yang dibuat tersebut sebagai kebijakan yang tidak pro terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Program Otonomi Daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah garis waktu pembeda yang sangat menarik untuk dikaji dalam berbagai sudut pandang permasalahan sehingga dapat dilihat efek manfaat dari adanya otonomi daerah terhadap kemajuan kesejahteraan masyarakat secara umum. Dalam proses pembangunan ekonomi dalam suatu wilayah, kebijakan ekonomi pemerintah berperan sangat penting. Namun demikian, kebijakan ekonomi pemerintah tersebut bisa menjadi sesuatu yang mengganggu masyarakat jika dalam proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya, dijalankan dengan tidak memperhatikan aspek keadilan dan kebutuhan masyarakat. Aktivitas ekonomi perburuan rente merupakan hal yang dapat mempengaruhi proses kebijakan pemerintah, sedangkan aktivitas korupsi adalah hal yang dapat mengganggu imlementasi kebijakan pemerintah sehingga manfaat pembangunan tidak sampai kepada masyarakat.

Oleh karena itu, dalam membahas topik permasalahan ini penulis akan menguraikan beberapa teori yang dianggap relevan dengan pokok pembahasan. Teori-terori tersebut seperti: teori otonomi daerah, teori pembangunan ekonomi wilayah, teori kebijakan ekonomi pemeritah, teori rent seeking economy activity, dan teori korupsi.

Pembangunan Ekonomi Wilayah

Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan di dalam masyarakat. Melalui pembangunan ekonomi inilah maka dibuat indikator-indikator kesejahteraan sehingga pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi hal yang paling dominan dalam menentukan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ekonomi memiliki arti yang jauh lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Pembangunan merupakan proses transformasi yang menurut perjalanan waktu ditandai oleh perubahan struktural, yaitu perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada dasarnya, inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya proses transformasi (sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier) sehingga akan menyebabkan perubahan struktural.13

13

Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi

(26)

Di negara sedang berkembang, isu pembangunan ekonomi menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak terlepas karena masih adanya ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok diantara individu di dalam masyarakat. Ketimpangan ekonomi itulah yang kemudian sering menjadi pemicu dalam ketidakstabilan kehidupan di dalam sebuah masyarakat.

Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan, antar golongan pendapatan, tetapi juga ketimpangan antardaerah, yakni antar daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Kemudian juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.14

Permasalahan ketimpangan pembangunan tersebut, diperlukan peran pemerintah dalam perubahan struktural yang ada di masyarakat. Ruang lingkup tindakan sangat luas dan menyeluruh. Menurut Prof. Lewis15 lingkup itu mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi uang, menjamin kesempatan kerja penuh dan menentukan laju investasi. Namun demikian, tugas terpenting dari pemerintah adalah mengatasi perbedaan sosial dan menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan bagi pembangunan ekonomi.16

Melihat peran pemerintah yang strategis dalam upaya pembangunan suatu wilayah maka diperlukan suatu birokrasi pemerintah yang baik karena birokrasi pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itulah diperlukan birokrasi pemerintah yang netral dari berbagai kepentingan selain kepentingan rakyat banyak.17

Bahasan mengenai birokrasi pemerintahan menjadi hal yang menarik di Kabupaten Kuningan karena, dalam dua periode kepemimpinan terakhir, terdapat komposisi keterwakilan anggota legislatif dari beberapa partai yang memiliki keterwakilan signifikan di DPRD18. Dengan demikian, menjadi hal yang menarik untuk diteliti mengenai perilaku aktor pemerintahan dalam proses pembangunan ekonomi wilayah, termasuk di Kabupaten Kuningan.

Otonomi Daerah

Otonomi daerah (Otda) merupakan sebuah jawaban atas beragamnya masyarakat yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah Indonesia mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik pada zaman

14

Dumairy, Perekonomian Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm. 62

15

ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2004), hlm. 432

Menurut sumber sekretariat DPRD Kab. Kuningan tercatat bahwa khususnya pada periode

kepemimpinan 2008 – 2013 terdapat tiga partai yang kalau dijumlahkan memiliki persentase

(27)

pemerintahan Orde Baru, kemudian muncullah sistem yang lebih demokratis dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan yang luas untuk memajukan daerahnya dengan cara melibatkan masyarakat secara maksimal untuk menggali segala potensi yang ada baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.

Secara sederhana, otonomi daerah dapat dipahami sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia, otonomi daerah diartikan sebagai proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.19

Sistem desentralisasi atau yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah di Indonesia pada saat ini pada dasarnya memuat aturan mengenai desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Dalam hal politik, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memutuskan sendiri apa yang menurutnya penting dan dibutuhkan masyarakatnya, termasuk contoh dalam hal ini adalah dengan adanya sistem pemilihan langsung dalam menentukan kepala daerah. Mengenai administrasi, undang-undang otonomi daerah mengatur bahwa secara administrasi, wilayah di Indonesia dibagi menjadi kawasan daerah dan kawasan pusat yang masing-masing wilayah itu meskipun memiliki fungsi yang berbeda namun memiliki fungsi koordinasi yang saling berkaitan. Melalui desentralisasi administrasi ini, bukan saja diatur mengenai mana kawasan pusat dan mana kawasan daerah tetapi juga diatur pula mengenai tata cara dalam berkoordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Selain desentralisasi di bidang politik dan bidang administrasi, desentralisasi di bidang fiskalpun dipandang penting karena menyangkut bagaimana cara pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Desentralisasi fiskal ini menyangkut pemberian kewenangan menggali sumber pendapatan, hak menerima transfer dari pemerintah pusat, dan menentukan belanja rutin dan investasi.

Berdasarkan sejarahnya, sistem otonomi daerah yang ada pada saat sekarang ini merupakan kelanjutan dari tahap-tahap sebelumnya. Berikut adalah tabel 3 yang memuat peraturan-peraturan sebagai tahap-tahap yang pada akhirnya melahirkan sistem otonomi daerah seperti sekarang ini.

Tabel 3. Tahapan-tahapan menuju otonomi daerah.

Period

Effective Law Basic Proportion

Dutch Occupation (1903-1942)

Decentralisation act 1903

Formation of local councils with little administrative autonomy

Decentralisation act 1922

More autonomy to locals government and application of De-concentration

Re-continuation or reapplication of Dutch administration system and pushing De-concentration system applied

Proclamation Law No. 1/1945 Formally ended and former

19

(28)

of

Emphasis on Decentralisation and the increasing role and assignment to the Head of Regions (District and

provinces)

Law No. 1/1957 Emphasis on Deconcentration President Edict 6/1959

Emphasis on Deconcentration. The head of Regions appointed by the Central Government.

Law No. 18/1965 Emphasis on Decentralisation. The formation of Local Government. New Order

Era (1965-1998)

Law No. 5/1974

The Central Domination over the Regions and application of pseudo Decentralisation with a tight control.

Reform Era (2001-now)

Law No.22&25/1999

Formally enhance a Devolution compare to the previous system and the larger role of local governments.

Law No.32&33/2004

The Central Government give a bigger power to people of Region to chose their leader.

Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 72.

Berdasarkan tabel 3 maka terlihat sebuah evolusi dimana sistem otonomi daerah yang baru itu diajukan sebagai kelanjutan dari agenda politik otonomi daerah yang lebih luas. Para perancang dari Undang-Undang yang baru itu menganggap bahwa otonomi daerah akan sangat mendukung kebebasan daerah untuk membangun pemerintahannya sendiri yang mandiri (self sustaining government) dengan memperhatikan dan dengan mengikuti prinsip konsultasi dengan sistem pemerintahan pusat dan hak-hak tradisional di daerah istimewa seperti yang dinyatakan oleh Undang-Undang Dasar 1945.20

Perubahan terhadap sistem otonomi daerah itulah yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pola komunikasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

20

(29)

Sebelum Desentralisasi Sesudah Desentralisasi

Gambar 1. Pola Komunikasi Antara Pusat dan Daerah

Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 128.

Selain adanya perubahan komunikasi seperti yang terlihat pada gambar 1, sistem otonomi daerah ini juga kemudian memberikan dampak terhadap adanya perubahan pola baru hubungan pemerintah dan masyarakat.

Sebelum Desentralisasi Sesudah Desentralisasi

Gambar 2. Pola Baru Hubungan Pemerintah dan Masyarakat

Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 134.

Central Gov.

Citizen/NG

Os

Gov.

Agency

Gov.

Agency Citizen/NG

Os Central

Gov.

Local

Government Central

Governm ent

Province

Regency/

City

Central Governm ent

Province

Regency/

City

Association

(30)

Sistem otonomi daerah ini pada dasarnya menghendaki adanya peningkatan partisipasi masyarakat karena dengan otonomi daerah, kebijakan yang diambil pemerintah daerah akan lebih dekat dengan masyarakatnya. Bukti-bukti mengenai meningkatnya partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh meningkatnya akses publik ke pemerintah daerah dalam bentuk berkembangnya ruang publik yang bersamaan dengan menurunnya keterlibatan militer dalam urusan pemerintah.21

Khususnya di Kabupaten Kuningan, keberadaan otonomi daerah telah banyak mempengaruhi berjalannya roda pemerintahan. Pola-pola perilaku antar komponen di masyarakatpun kemudian mengalami perubahan. Dengan adanya otonomi daerah ini kemudian masyarakat, melalui arahan pemerintah daerah, dituntut untuk berperan aktif dalam mengusahakan kebutuhannya sendiri dengan cara mengembangkan potensi-potensi daerahnya tersebut.

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity) dan Korupsi

Secara sederhana, korupsi telah dianggap sebagai salah satu bentuk perburuan rente (rent seeking). Ini dipandang sebagai sarana khusus oleh pihak swasta maupun pemerintah yang berusaha untuk mengejar kepentingan dalam kompetisi untuk perlakuan istimewa. Dalam kasus seperti ini, biasanya perilaku perburuan rente kemudian diikuti oleh perilaku korupsi berupa penyalahgunaan jabatan (abuse of power). Namun demikian, tidak semua korupsi itu adalah perilaku perburuan rente, dan tidak semua perilaku perburuan rente adalah korupsi.22 Dalam makna korupsi yang mencakup peburuan rente ekonomi maka dapat dipahami bahwa korupsi dapat terjadi karena perilaku perburuan rente dari badan pemerintah dan perusahaan yang berusaha membuat kebijakan/regulasi dari sebuah proses politik yang pada akhirnya menciptakan peluang untuk korupsi23. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah penjelasan mengenai aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi.

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)

Rente merupakan sebuah kegiatan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya rente adalah proses seseorang mendapatkan keuntungan setelah melakukan suatu aktivitas ekonomi baik berupa penyewaan (rent), menanamkan modal, maupun dengan menjual tenaga dan jasanya (upah). Hal ini sesuai dengan teori ekonomi klasik yang memandang bahwa rente sebagai sebuah aktivitas positif yang dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan24.

21

Ibid, hlm. 137. 22

Airin Nuraini, Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia: Studi

Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011, Tesis, Pasca Sarjana IPB, 2013, hlm. 47.

23

Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya,

Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, hlm. 14-15. 24

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi (Malang:

(31)

Namun demikian, makna aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity) dimaknai sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang negatif karena menurut asumsi awal yang dibangun dari teori ekonomi politik, menyebutkan bahwa setiap kelompok kepentingan (self interest) berupaya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya25. Melalui asumsi awal yang dibangun itulah maka bisa dianalisis mengenai perilaku para pelaku ekonomi, baik pengusaha, politisi, dan kelompok kepentingan yang kemudian menggunakan proses lobi untuk menggapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Melalui lobi inilah maka akan berdampak pada proses pengambilan keputusan khususnya di dalam pemerintahan. Proses para pelaku ekonomi, baik secara individu maupun kelompok, untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah itulah yang kemudian di dalam ilmu ekonomi politik disebut sebagai kegiatan mencari rente (rent seeking)26. Namun demikian, perilaku perburuan rente juga bukan hanya dimiliki oleh pihak pengusaha, tapi juga pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif)27.

Hal yang kemudian menarik untuk dianalisis adalah mengenai penyebab adanya rent seeking economy activity yaitu mengenai adanya halangan masuk (barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dalam meningkatkan persaingan (competition). Adanya halangan masuk inilah yang akan mengakibatkan setiap pelaku bisnis untuk berupaya sekuat tenaga memengaruhi pemerintah atau pihak lain yang dianggap bisa membantunya untuk memasuki pasar28. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya pemburu rente, salah satunya adalah dengan membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan sempurna, yakni melalui peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan29. Namun demikian, perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente juga dilakukan oleh pihak pemerintah. Hal ini disebabkan karena mahalnya biaya politik yang dikeluarkan untuk keperluan kampanye partai politik. Sumber-sumber pendanaan yang berasal dari subsidi negara ataupun sumbangan korporasi adalah sesuatu yang patut untuk dicurigai karena membuka peluang bagi praktik-praktik yang merupakan daerah abu-abu/koruptif. Secara implisit, asumsi dari pendapat ini adalah bahwa politisi-politisi dari partai politik adalah berkarakter sebagai rent seeker yang selalu bertujuan memperkaya diri sendiri.30

Kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya dalam pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent seeking tersebut bisa ditelusuri dari persekutuan bisnis besar dengan birokrasi pemerintah sehingga menimbulkan keuntungan seperti monopoli maupun lisensi impor. Hal lain yang terjadi kemudian adalah penguasaan terhadap perusahaan perusahaan swasta yang sebagaian besar dikuasai oleh mereka yang memiliki hubungan pribadi khususnya dengan elit pemerintah31. Munculnya penyimpangan dalam proses perekonomian di Indonesia terutama pada masa Orde

Buchanan dalam Ahmad Erani Yustika, hlm. 144

30

Nuraini, op. cit., hlm. 42-43.

31

Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta:

(32)

Baru diakui karena tidak adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. Dalam kata lain, peran civil society pada saat itu masih lemah32.

Namun demikian, setelah berakhirnya masa Orde Baru dan semakin terbukanya arus informasi kepada masyarakat, semakin memudahkan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Keadaan seperti ini pada akhirnya semakin menguatkan keberadaan civil society di masyarakat yang kemudian secara langsung atau tidak langsung berdialog dengan pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya sehingga kegiatan pencarian rente ini akan bisa dikurangi.

Penguatan dari civil society (selain penghapusan barrier to entry dan meningkatkan persaingan) inilah yang kemudian harus diusahakan di setiap wilayah pemerintahan daerah sehingga akan tercipta good governance yang kemudian berimplikasi kepada semakin baiknya pelayanan yang dihasilkan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi

Korupsi merupakan sebuah permasalahan serius di dalam sebuah masyarakat. Dengan adanya permasalahan korupsi maka akan timbul ketidakadilan ekonomi karena hal ini akan menyebabkan terakumulasinya sumberdaya hanya pada segelintir orang saja. Dengan demikian, distribusi sumberdaya ekonomi tidak sampai kepada seluruh masyarakat. Fenomena hal seperti inilah kemudian pada akhirnya bukan saja akan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Pada akhirnya, kegiatan korupsi ini akan menyebabkan sumberdaya yang tidak produktif sehingga akan berimplikasi kepada kondisi perekonomian di masyarakat yang kurang produktif.

Secara luas korupsi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mencari keuntungan pribadi melalui jabatan yang dimiliki. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Seseorang dapat dikatakan korupsi jika tidak melaksanakan tugas karena lalai atau tidak disengaja33. Hal ini senada dengan definisi korupsi menurut Transparency International, yaitu perilaku pejabat publik, baik politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka34.

32

Munawar Sholeh, Kuasa Rakyat: Meniti Jalan Demokrasi untuk Keadilan dan Kesejahteraan

Rakyat (Jakarta: Institute for Public Education [IPE], 2004), hlm. 3

33

Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan

Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 3 34

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahami Dulu, Baru Lawan!: Buku Panduan Kamu Buat

(33)

Secara teori, penjelasan korupsi dengan sederhana dapat dijelaskan melalui rumus sebagai berikut35:

Keterangan:

C : Corruption (Korupsi)

M : Monopoly power (kekuatan monopoli) D : Discretion by officials (wewenang pejabat) A : Accountability (akuntabilitas)

Melalui rumus diatas dapat dijelaskan bahwa timbulnya korupsi diakibatkan oleh tidak adanya akuntabilitas terhadap kekuatan monopoli atas barang atau jasa yang bisa dengan leluasa memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyaknya. Situasi tidak adanya akuntabilitas terhadap kekuatan monopoli itulah yang biasanya akan menimbulkan kasus korupsi.

Dewasa ini korupsi sudah menjadi masalah global yang terjadi di sektor pemerintah terutama paling banyak dijumpai di tingkat lokal, dalam pemerintah daerah36. Hal ini terjadi karena pemerintahan daerah dianggap sebagai sasaran empuk bagi koruptor dan elit-elit lokal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi daerah. Banyaknya kasus korupsi di tingkat pemerintah daerah juga disebabkan oleh sistem administrasi pemerintah daerah yang biasanya lebih lemah, gaji pegawai lebih rendah, dan jumlah pegawai yang lebih banyak daripada pemerintah pusat37.

Secara umum korupsi memiliki banyak jenisnya, dari jenis korupsi yang tradisional (seperti sogok, upeti, perkoncoan, premanisme, nepotisme, dst) sampai jenis korupsi bentuk baru (seperti kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopoli-oligopoli serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dst).38 Namun demikian, menurut perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, definisi korupsi secara jelas telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelompok sebagai berikut:39

35

Ibid, hlm. 29.

36

Ibid, hlm. 1.

37

Teten Masduki dalam kata pengantar di buku Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam

Pemerintahan Daerah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. xxiii 38

Damanhuri, op. cit., hlm.128.

39

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk

(34)

1. Kerugian Keuangan Negara: - Pasal 2

- Pasal 3 2. Suap menyuap

- Pasal 5 ayat (1) huruf a - Pasal 5 ayat (1) huruf b - Pasal 13

- Pasal 5 ayat (2) - Pasal 12 huruf a - Pasal 12 huruf b - Pasal 11

- Pasal 6 ayat (1) huruf a - Pasal 6 ayat (1) huruf b - Pasal 6 ayat (2)

- Pasal 12 huruf c - Pasal 12 huruf d

3. Penggelapan dalam jabatan: - Pasal 8

- Pasal 9

- Pasal 10 huruf a - Pasal 10 huruf b - Pasal 10 huruf c 4. Pemerasan:

- Pasal 12 huruf e - Pasal 12 huruf f - Pasal 12 huruf g 5. Perbuatan curang:

- Pasal 7 ayat (1) huruf a - Pasal 7 ayat (1) huruf b - Pasal 7 ayat (1) huruf c - Pasal 7 ayat (1) huruf d - Pasal 7 ayat (2)

- Pasal 12 huruf h

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan: - Pasal 12 huruf i

7. Gratifikasi:

- Pasal 12 B jo. Pasal 12 C

(35)

Penelitian-Penelitian Terdahulu

Fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji karena kedua aktivitas tersebut dapat menyebabkan kerugikan bagi masyarakat. Oleh karena itu, sampai saat ini, sudah banyak kajian yang dilakukan oleh para akademisi dalam hal memahami masalah yang terjadi sehingga pada akhirnya akan ditemukan sebab-sebab yang memengaruhi adanya perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi disertai dengan solusi untuk mengatasi masalah aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi tersebut.

Khusus mengenai permasalahan korupsi, menurut Seto40, melalui penelitiannya tentang fenomena korupsi di delapan negara kawasan ASEAN, memaparkan mengenai faktor penyebab dan cara mengurangi kejahatan korupsi tersebut. Hasil dari penelitiannya itu menyebutkan bahwa ada beberapa faktor penyebab sehingga fenomena korupsi semakin meningkat di kawasan negara-negara ASEAN. Beberapa faktor penyebabnya tersebut diantaranya adalah kebebasan politik (demokrasi), kebebasan fiskal, kebebasan berpolitik, hak sipil, hak bersuara, dan akuntabilitas. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejahatan korupsi tersebut maka diperlukan adanya perbaikan dari sisi ekonomi dan dari sisi kualitas pemerintahan. Beberapa faktor yang dapat mengurangi kejahatan korupsi dari sisi ekonomi seperti kebebasan berbisnis, pembelanjaan pemerintah untuk barang publik, kebebasan moneter, dan terjaminnya hak kepemilikan individu dan GDP per kapita. Sedangkan dari sisi kualitas pemerintahan, beberapa hal yang dapat mengurangi kejahatan korupsi diantaranya adalah stabilitas politik, kualitas regulasi, penegakan aturan hukum, dan kontrol pemerintah terhadap korupsi.

Selain korupsi, fenomena yang terjadi dalam sebuah negara demokrasi adalah adanya aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity). Salah satu kasus aktivitas ekonomi perburuan rente yang terjadi adalah kasus pada lahan parkir Pasar Slipi Jakarta Barat.Melihat kasus tersebut, Amelia41 menyebutkan bahwa aktivitas ekonomi perburuan rente merupakan aktivitas yang hanya akan merugikan banyak pihak secara tidak langsung. Adanyaaktivitas ekonomi perburuan rente ini pada akhirnya merugikan Pemerintah Daerah dan masyarakat DKI Jakarta karena dana yang seharusnya masuk ke kas daerah, hanya dapat dinikmati oleh beberapa kalangan saja. Pada kasus ini, supernormal profit yang diterima oleh Forkabi selaku pengelola lahan parkir merupakan salah satu indikasi adanya aktivitas ekonomi perburuan rente karena keuntungan di atas normal itu tidak masuk ke dalam kas daerah melainkan hanya dinikmati oleh Forkabi dan para anggotanya.

Kasus lain dari adanya aktivitas ekonomi perburuan rente ini terjadi pada kasus pembebasan lahan di kawasan Segitiga Emas Jakarta42. Berbeda dengan kasus aktivitas ekonomi perburuan rente di lahan parkir Pasar Slipi yang ditandai

40

Ario Seto, Korupsi, Kesejahteraan Sosial dan investasi: Studi Empiris di Delapan Negara

Kawasan ASEAN Tahun 2000-2009, Skripsi, Sarjana IPB, 2012, hlm. 81.

41

Rizki Amelia, Fenomena Aktivitas Ekonomi Aktivitas ekonomi perburuan rente dalam Kegiatan

perparkiran di DKI Jakarta: Studi Kasus Lahan Parkir Pasar Slipi Jakarta Barat, Skripsi, Sarjana IPB, 2010, hlm. 85.

42

(36)

dengan adanya supernormal profit, adanya kasus aktivitas ekonomi perburuan rente di kawasan Segitiga Emas Jakarta ini ditandai dengan adanya biaya transaksi yang dikeluarkan pengembang (developer) untuk proses perizinan melalui kekuasaan pemerintah. Menurut Rachmi43, aktivitas ekonomi perburuan rente ini selalu menjadi bagian dalam proses pembebasan lahan dan penguasaan lahan di daerah Segitiga Emas Jakarta tersebut.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini berusaha untuk mengkaji fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi secara bersama-sama. Hal ini karena pada hakikatnya, baik korupsi maupun aktivitas ekonomi perburuan rente merupakan aktivitas yang menyebabkan terganggunya pembangunan di suatu wilayah. Pada intinya, kedua aktivitas tersebut berusaha untuk mengalihkan sumberdaya publik agar teralokasi kepada sebagian golongan saja tanpa memperhatikan keadilan dan kepentingan masyarakat secara umum. Menilai bahwa fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi sudah menjadi permasalahan hampir di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dari itu penelitian ini memilih fokus pada salah satu wilayah, dalam hal ini penulis memilih Kabupaten Kuningan, sebagai objek penelitian. Sehingga lebih jauhnya melalui penelitian ini, pada akhirnya bisa untuk menelaah dan memahami permasalahan serupa di seluruh wilayah Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Pembangunan ekonomi wilayah merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional. Melalui kemajuan pembangunan ekonomi di setiap wilayah pada akhirnya akan mewujudkan kemajuan secara nasional. Khususnya di Negara Indonesia, salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah adalah melalui kebijakan otonomi daerah yang pada intinya memberikan tambahan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola potensi daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar.

Namun demikian, otonomi daerah bukanlah satu-satunya variabel yang bisa memengaruhi pembangunan di suatu wilayah. Faktor Sumberdaya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting sebagai aktor yang menjalankan kebijakan tersebut. Kurang baiknya kualitas Sumberdaya manusia pada akhirnya akan menimbulkan sebuah moral hazard di dalam sebuah proses pembangunan ekonomi wilayah. Aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi merupakan dua bentuk moral hazard yang sering terjadi hampir di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk salah satunya adalah Kabupaten Kuningan. Adanya aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi di suatu wilayah pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu diperlukan sebuah antisipasi kebijakan dari pemerintah untuk mencegah terjadinya aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi. Hal ini dapat dijelaskan melalui bagan kerangka penulisan skripsi pada gambar 3.

43

Andromeda, Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti Terhadap Masalah Sosial

(37)

Gambar 3. Kerangka penulisan skripsi.

Pembangunan Ekonomi di Kabupaten Kuningan

Terdapat masalah Aktivitas Ekonomi Perburuan Rente

(rent seeking economy activity) dan korupsi

Rekomendasi kebijakan

Sebelum Otonomi Daerah Setelah Otonomi Daerah

Sistem pemerintahan yang sentralistik

Pendapatan dan belanja daerah ditentukan oleh pusat

Adanya desentralisasi fiskal

Daerah menentukan pendapatan dan belanja daerah

APBD

(38)

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian adalah bagian yang penting dalam sebuah karya ilmiah karena berisi uraian tahapan penelitian atau rancangan penelitian (research design) untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam sebuah penelitian44. Dalam penelitian ini, penulis melaksanakannya di Kabupaten Kuningan Jawa Barat dalam rentang waktu antara bulan Februari sampai Juli 2013. Jenis dan sumber data yang akan digunakan berupa data primer dan sekunder. Data primer akan dihasilkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) sedangkan data sekunder akan didapat melalui instansi-instansi yang berkaitan baik dengan cara mencari melalui internet atau langsung mendatangi kantor dari instansi-instansi tersebut. Setelah data-data terkumpul maka dilakukan proses pengolahan dan analisis data melalui analisis deskriptif dengan menggunakan grafik atau tabel Berikut adalah uraian secara detail mengenai rancangan penelitian yang akan penulis gunakan dalam proses menjawab permasalahan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kuningan yang berada pada wilayah Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan wilayah Kabupaten Kuningan merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang terkena dampak dari kebijakan sistem otonomi daerah. Penelitian di lapangan dilaksanakan bulan Februari – Juli 2013.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara mendalam (indepth interview) dengan para tokoh-tokoh terkait di Kabupaten yang terlibat langsung maupun tidak langsung pada periode waktu pemerintahan antara tahun 1998 sampai dengan tahun 2012. Para informan dipilih berdasarkan representative keterwakilan dari berbagai unsur di dalam struktur masyarakat yang ada di Kabupaten Kuningan.

Data sekunder didapat berdasarkan kebutuhan penelitian yang meliputi data-data yang tersedia di instansi-instansi terkait baik yang level daerah, nasional, maupun internasional.

Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data-data yang relevan dengan

44

(39)

keberadaan kasus korupsi yang sudah diproses di pengadilan dan keberadaan fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente yang terjadi di Kabupaten Kuningan. Aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi merupakan dua hal yang sering terjadi di negara-negara sedang berkembang. Seperti halnya di Kabupaten Kuningan, jumlah APBD yang selalu bertambah pada setiap tahunnya tidak membawa kemajuan pembangunan yang signifikan, sehingga hal ini menimbulkan sebuah indikasi akan keberadaan adanya fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi. Indikasi adanya perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi ini menjadi penting untuk diteliti karena akan berdampak kepada pembangunan yang tidak sejalan dengan rencana pemerintah. Dengan demikian, aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi tersebut akan merugikan masyarakat.

Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Fenomena Rent Seeking Economy Activity dan Korupsi di Kabupaten Kuningan.

Fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity) dan korupsi merupakan dua aktivitas yang biasanya melibatkan pihak pemerintah. Untuk membuktikan keberadaan aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten Kuningan maka selain menelusuri data-data yang ada (yang mencakup data-data sebelum dan sesudah otonomi daerah) juga dibutuhkan informan yang akurat. Oleh karena itu, dilakukan wawancara mendalam kepada informan-informan yang bukan saja mengetahui masalah aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi tetapi juga mewakili masing-masing komponen yang ada di Kabupaten Kuningan. Informan-informan itu seperti berasal dari akademisi, pejabat birokrasi, politisi, pelaku usaha, dan tokoh masyarakat yang menunjang. Sebagai perwakilan dari berbagai latar belakang informan yang sudah diwawancara tersebut maka diambil satu orang informan dengan sengaja mengutip kalimat hasil wawancaranya. Untuk menguatkan statement informan tersebut maka dikuatkan oleh sumber dari data sekunder yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Pengambilan informan dilakukan dengan menggunakan purposive sampling. Purposive sampling merupakan suatu teknik yang dilakukan dengan mengambill orang-orang yang dipilih dengan cermat oleh peneliti sehingga relevan dengan rancangan riset45. Teknik ini dilakukan karena peneliti ingin mengambil informasi persepsi masyarakat secara menyeluruh melalui metode keterwakilan pada setiap komponen yang ada di masyarakat. Selain menggunakan purposive sampling, di dalam penelitian ini juga akan menggunakan teknik snowball sampling. Snowball sampling merupakan suatu cara pengambilan sampel secara berantai. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan orang tersebut dirasa kurang lengkap informasinya maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh orang sebelumnya. Pada tingkat operasionalnya melalui teknik sampling ini, informan yang relevan di interview, diminta untuk menyebutkan informan

45

HM. Sonny Sumarsono, Metode Riset Sumberdaya Manusia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004),

Gambar

Tabel 1. Data temuan korupsi  berdasarkan aktor  yang melakukan korupsi
Tabel 3. Tahapan-tahapan menuju otonomi daerah.
Gambar 2. Pola Baru Hubungan Pemerintah dan Masyarakat
Gambar 3. Kerangka penulisan skripsi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas yang paling mulia dalam hidup manusia adalah semata- mata untuk beribadah kepada Allah. Jika tugas manusia dalam kehidupan ini demikian penting, pendidikan harus

Robot ini berbasis Arduino Uno, menggunakan Magnetic compass sebagai penunjuk arah robot, sensor ultrasonik sebagai pendeteksi halangan berdasarkan pantulan gelombang,

Skripsi yang berjudul “Uji Kepekaan (Sensitivity Test) Bakteri Penyebab Mastitis pada Kambing Peranakan Etawa (PE) di Beberapa Kecamatan Kabupaten Banyuwangi

Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor yang digunakan dalam model penelitian kualitas layanan yaitu produk,

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siswa kelas XI di SMAN 5 Kota Serang, berikut beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi: (1) Guru

Para calon imam yang memiliki perbedaan latar belakang justru menjadi unsur penting terjadinya persahabatan di antara mereka karena persahabatan justru terjadi di antara mereka

• Konduktor listrik ialah bahan yang dapat menghantarkan listrik, sedangkan isolator listrik adalah bahan yang tidak dapat menghantarkan listrik.. Seri dan

Hiu Paus di Pantai Botubarani, Gorontalo | 32 Jika dihubungan atara meningkatnya jumlah pengunjung dimana mempengaruhi bertambahnya jumlah makanan yang diberikan kepada Hiu