HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGANPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh : Vina Witri Astuti
G0106095
Pembimbing:
1. Dra. Salmah Lilik, M. Si 2. Rin Widya Agustin, M. Psi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini
tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, Pebruari 2011
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan
Psychological Well Being pada Pasangan Muda
Nama Peneliti : Vina Witri Astuti
NIM/Semester : G0106095
Tahun : 2011
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:
Pada Hari : Rabu, 9 Pebruari 2011
Pembimbing I
Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP 19490415 198101 2 001
Pembimbing II
Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 19760817 200501 2 002
Koordinator Skripsi
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan judul:
Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being
pada Pasangan Muda
Vina Witri Astuti, G0106095, Tahun 2011
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari : Senin
Tanggal : 28 Pebruari 2011
1. Pembimbing I
Dra. Salmah Lilik, M.Si. ( )
2. Pembimbing II
Rin Widya Agustin, M.Psi. ( )
3. Penguji I
Dra. Makmuroch, M.S. ( )
4. Penguji II
Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. ( )
Surakarta, __________________
Ketua Program Studi Psikologi
Drs. Hardjono, M.Si. NIP 19590119 198903 1 002
Koordinator Skripsi
MOTTO
Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini
selalu mempunyai makna. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki
kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan makna
dan tujuan hidupnya
(Viktor E. Frankl)
Tidak ingin menyesali yang sudah terjadi kemarin, banyak bersyukur untuk hari
ini dan tidak perlu khawatir menghadapi hari esok
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk
Papah Mamahku tercinta dan kakak-kakakku tersayang
Berbagai rintangan dan keputusasaan memudar
karena limpahan perhatian dan dukungan mereka
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala karunia-Nya yang
dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai
syarat guna memperoleh gelar sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
“Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being pada
Pasangan Muda”.
Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberi bimbingan, bantuan, dorongan, dan doa dalam penyelesaian skripsi
ini. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,
kepercayaan, kesabaran, serta perhatiannya yang sangat besar.
4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II atas bimbingan,
kesabaran, perhatian serta saran-sarannya yang membangun selama ini.
5. Ibu Dra. Machmuroh, M.S. dan Bapak Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.
selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan pemikiran kritis serta
6. Seluruh staf Program Studi Psikologi yang telah membantu penulis dalam
mengurus administrasi dan memberikan semangat dan saran-sarannya.
7. Bapak Drs. Tamso, MM., selaku Kepala kelurahan Jebres Surakarta beserta
staf, Bapak Karjono selaku ketua RW XX (Kaplingan) dan seluruh ketua RT
serta responden di Kaplingan yang bersedia memberikan ijin serta membantu
penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.
8. Papah mamahku tercinta yang telah memberikan cinta kasihnya, bimbingan,
nasihat, kesabaran, pengertian dan perhatian serta tak henti mendo’akan
penulis selama mengikuti tugas belajar di Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menyelesaikan skripsi
ini.
9. Kakak-kakakku tersayang, Kak Eka, Kak Eska, Ko Joni, Mas Bondan yang
telah memberikan semangat dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Abang Faris yang selalu memberikan dukungan, perhatian, semangat serta
kasih sayang kepada penulis.
11. Sahabat-sahabatku tercinta (Yenie, Rengga, Febi, Lina, Nisa, Siti, Putri, Ayu,
Tanti, Nuzul, Ulva) dan semua teman-teman Psikologi UNS tercinta,
khususnya Psikologi ’06 yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan
mengajarkan penulis arti kekompakan dan kebersamaan.
Surakarta, Pebruari 2011
THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL STABILITY WITH achieved, needs hard effort. Marriage acquaints two different people, either in their needs, their wishes and their expectations that enable a more complicated conflict occurs among them. Young couple in this study were young adults who have been married for less than 10 years. Many things that are not expected to occure within marriage is caused by psychological factors. If someone has a good psychological condition, then they are able to control their emotions in various situations. Emotional stability will effect how individuals solve their problems that occure in their life. When the young couple have emotional stability, they will show appropriate emotional reactions, and it will lead to the achievement of psychological well being in them.
This research aims to determine the relationship between emotional stability with psychological well being in young couple. The subjects of the research were young couples in Kaplingan, Jebres, Surakarta. This research use purposive cluster random sampling technique. This research used an emotional stability scale and a psychological well being scale to collect data. Data analysis used product moment correlation analysis techniques by Pearson.
This research result correlation coefficient ( r ) = 0,406; p = 0,001 (p < 0,05), it means that there are a significant positive correlation between emotional stability with psychological well being in young couple. Emotional stability contribute 16,5% factor of young couple’s psychological well being. That result is low, this is because there are many other things that affect the psychological well being, especially young couples, in marital life, for example, related to the expectations of both partners, how to cooperate in marital life, how to balance the wants and needs between them and the problem of their communication. In addition, to see different levels of psychological well being of the subject, performed additional analysis by calculating the average score of psychological well being of highly educated subjects with subjects with low education. The results show that highly educated subjects had higher psychological well being, though with a small difference score, which is only 2.77.
HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN
Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan. Perkawinan menyatukan dua orang yang berbeda, baik dalam kebutuhan, keinginan dan pengharapan di antara keduanya yang dimungkinkan dapat menimbulkan permasalahan yang semakin rumit. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang mencapai dewasa muda dan usia perkawinan kurang dari 10 tahun. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainyapsychological well being pada pasangan muda tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda. Subjek penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami atau istri) yang ada di Kaplingan, kelurahan Jebres Surakarta. Teknik pengambilan sampel denganpurposive cluster random sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala kestabilan emosi dan skala psychological well being. Analisis data menggunakan teknik korelasiproduct moment Pearson.
Berdasarkan hasil analisis teknik korelasiproduct moment Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi ( r ) sebesar 0,406; p = 0,001 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan
psychological well being pada pasangan muda. Artinya, semakin tinggi kestabilan emosi subjek, maka akan semakin tinggipsychological well being pada pasangan muda. Peran kestabilan emosi terhadappsychological well being pada pasangan muda sebesar 16,5%. Hasil tersebut termasuk kecil, hal ini dikarenakan banyak hal lain yang mempengaruhipsychological well being pasangan muda khususnya dalam kehidupan perkawinan misalnya terkait dengan harapan-harapan di antara kedua pasangan, bagaimana kerjasama dalam kehidupan perkawinan, bagaimana menyeimbangkan keinginan dan kebutuhan di antara keduanya dan masalah komunikasi keduanya. Selain itu, untuk melihat perbedaan tingkatpsychological well being subjek, dilakukan analisis tambahan dengan menghitung rata-rata skor
psychological well being subjek yang berpendidikan tinggi dengan subjek yang berpendidikan rendah. Hasilnya menunjukkan subjek yang berpendidikan tinggi memilikipsychological well being lebih tinggi, walaupun dengan selisih skor yang tidak begitu jauh, yaitu hanya 2,77.
DAFTAR ISI
1. PengertianPsychological Well Being ... 8
2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being ... 10
3. Faktor-faktor yang mempengaruhiPsychological Well Being ... 15
B. Kestabilan Emosi ... 22
1. Pengertian Kestabilan Emosi ... 22
C. Pasangan Muda ... 26
D. Hubungan Antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Beingpada Pasangan Muda... 30
E. Kerangka Pemikiran ... 33
F. Hipotesis... 34
BAB III. METODE PENELITIAN ... 35
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 35
C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 36
D. Metode Pengumpulan Data ... 38
1. Sumber Data ... 38
2. Alat Pengumpul Data ... 39
E. Validitas dan Reliabilitas ... 42
1. Validitas ... 42
2. Reliabilitas ... 43
F. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
A. Persiapan Penelitian ... 45
1. Orientasi Kancah Penelitian ... 45
2. Persiapan Penelitian ... 46
3. Pelaksanaan Uji Coba (try out) ... 48
4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 48
5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 51
B. Pelaksanaan Penelitian ... 53
1. Penentuan Subjek Penelitian ... 53
2. Pengumpulan Data ... 53
3. Pelaksanaan Skoring ... 54
C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 55
2. Uji Hipotesis ... 57
3. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 59
4. Deskripsi Statistik ... 60
5. Deskripsi Data Sekunder Subjek Penelitian ... 63
D. Pembahasan ... 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran... ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penilaian PernyataanFavorable dan PernyataanUnfavorable ... 39
Tabel 2.Blue Print Skala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba) ... 41
Tabel 3.Blue Print SkalaPsychological Well Being (Sebelum Uji Coba) ... 42
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Coklit Kaplingan Tahun 2009 ... 45
Tabel 5. Hasil Pendataan Pasangan Muda di Kaplingan ... 46
Tabel 6. Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Kestabilan Emosi ... 50
Tabel 7. Distribusi Aitem Valid dan Gugur SkalaPsychological Well Being ... 51
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi Setelah Uji Coba ... 52
Tabel 9. Distribusi Aitem SkalaPsychological Well BeingSetelah Uji Coba ... 52
Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 56
Tabel 11. Hasil Uji Linieritas antara Variabel Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being ... 57
Tabel 12. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 58
Tabel 13. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 60
Tabel 14. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 60
Tabel 15. Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi ... 61
Tabel 16. Kriteria Kategori SkalaPsychological Well Being ... 63
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara kestabilan emosi dengan
DAFTAR LAMPIRAN
B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian ... 103
1. Data Hasil Uji Coba Skala Kestabila Emosi... 104
2. Data Hasil Uji Coba SkalaPsychological Well Being ... 107
3. Data Penelitian Skala Kestabilan Emosi ... 110
4. Data Penelitian SkalaPsychological Well Being ... 114
C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 118
1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ... 119
2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well Being……... ... 121
D. Hasil Analisis Data Penelitian ... 123
1. Hasil Uji Normalitas... 124
2. Hasil Uji Linierias ... 124
3. Hasil Deskripsi Statistik ... 125
4. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 125
5. Hasil Analisis Koefisien Determinan (R Square) ... 125
E. Data Sekunder Subjek Penelitian (Data Tingkat Pendidikan Subjek) ... 126
F. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian ... 129
1. Surat Permohonan Ijin Penelitian Prodi Psikologi FK UNS ... 130
2. Surat Pengantar Kepada RT 01, 04 dan 06 di Kaplingan (RW XX) ... 131
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.
Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera,
tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.
Menurut Susilowati (2008), perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah
berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan Hauck (1993) bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian
silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih
banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan
membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk
mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan
mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.
Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara
berkala.
Perkawinan menciptakan pasangan suami istri dalam kehidupan rumah
tangga. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah
dan dengan usia yang mencapai dewasa dini atau dewasa muda. Menurut Hurlock
(1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap
pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda
2
pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru
ini. Periode ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup
seseorang.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan
muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan. Fenomena perceraian suami istri dalam masyarakat kita terjadi
semakin meningkat dari waktu ke waktu (Barus, 2005). Tulisan yang dibuat oleh
Pengadilan Agama Surakarta pada 25 Mei 2010 (http://pa-surakarta.go.id)
menjelaskan bahwa, berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an
angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling
tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir
dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian
di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di
belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat
kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.
Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir
memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini sungguh menimbulkan
keprihatinan, karena ikatan perkawinan tidak lagi membawa kebahagiaan dalam
hidup pasangan suami istri, akan tetapi justru membawa ke dalam perselisihan
yang semakin rumit. Wahyuningsih (2005) menyebutkan bahwa perselisihan yang
sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan
kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami istri. Menurut Anjani
periode awal dalam perkawinan, dimana periode ini merupakan masa rawan di
dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada dua tahun
pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana
pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan
mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun
pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga
sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan
muda.
Kesulitan penyesuaian perkawinan hampir tidak terelakkan bila suami dan
istri berasal dari pola keluarga yang berbeda. Hal ini akan menjadi sulit ketika
pasangan muda mengahadapi tekanan ataupun kondisi yang negatif namun hal
tersebut tidak diungkapkan (Hurlock, 1994). Meskipun demikian, menurut
Wahyuningsih (2005), mengakhiri perkawinan karena ketidakbahagiaan tidak
selalu menjadi pilihan, banyak pasangan muda yang dapat mempertahankan
perkawinannya, berusaha berpikiran positif terhadap pasangannya dan tetap
menjalankan kehidupan rumah tangga sehingga dapat mencapai kondisi yang
diharapkan setiap pasangan. Hasil penelitian Wilson, dkk. (dalam Wahyuningsih,
2005) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesehatan emosi akan
merasakan hidup yang lebih optimis dan memuaskan dalam perkawinannya.
Sikap positif dari pasangan muda untuk tetap mempertahankan
perkawinannya, berpikiran positif terhadap pasangannya dan menjalankan
tanggung jawab terhadap pasangan meskipun dengan begitu banyak hal yang
4
positif (positive psychological functioning), yang membawa kepada terwujudnya
kesejahteraan psikologis (psychological well being) dalam diri seseorang.
Ryff (1989) seorang pelopor penelitian mengenaipsychological well being
menjelaskan bahwa,psychological well being merupakan istilah yang digunakan
untuk menggambarkan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dan
suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa
adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan
potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri,
mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup.
Psychological well being pada pasangan muda mengarah pada kondisi
dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan dalam perkawinannya, mampu melalui periode sulit dalam
perkawinan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan
menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya sehingga individu
tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap
hidupnya.
Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam
perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan
disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini menjadi penting, sebab akan
mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk bertahan menghadapi
tekanan akibat berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Seseorang yang
dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan
positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan
mampu mengembangkan dirinya. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis
yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.
Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu
menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.
Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami
istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara
baik dan objektif. Pasangan yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang
tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi.
Irma (2003) menjelaskan bahwa kestabilan emosi menunjukkan emosi
yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun
dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan
emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan, sehingga
emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Sementara
itu, individu dengan kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan
perubahan yang cepat dan tidak diduga dalam reaksi emosinya (Chaplin, 2000).
Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan
menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi
masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah
pada tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada
6
(2006), yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan
tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan
antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Untuk itu penulis
mengambil judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well
Beingpada Pasangan Muda”.
B. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Apakah ada Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well
Being pada Pasangan Muda?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui Hubungan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian:
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah
khususnya dalam bidang psikologi yang berkaitan dengan hubungan antara
kestabilan emosi denganpsychological well beingpada pasangan muda
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pasangan Muda
Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara kestabilan
emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, sehingga
dapat menggunakan informasi ini sebagai pertimbangan dalam
menghadapi masalah dalam kehidupan rumah tangganya
b. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well
being pada pasangan muda, sehingga dapat menggunakan informasi ini
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penanganan masalah
perkawinan bagi pasangan suami istri
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan dengan hubungan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Psychological Well Being
1. PengertianPsychological Well Being
Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff.
Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengatakan bahwa, penelitian
mengenai psychological well being mulai berkembang sejak para ahli
menyadari bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan
perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada
bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989),
psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning).
Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well being yang
kemudian disingkat PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis
seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan
yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang
ada di sekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan
mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki
tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam
Ryff dan Singer (1996) menyebutkan bahwa, tingkat kesejahteraan
psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang
baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik,
dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan
menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam
pekerjaannnya.
Menurut Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk., 2008),
kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan,
namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia,
memahami arti dan tujuan dalam hidup dan hubungan seseorang pada objek
ataupun orang lain.
Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera
(well being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang
timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley
(dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan
kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang
disertai tingkat kegembiraan.
Dari beberapa pengertianpsychological well being yang dikemukakan
oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan psychological well being
adalah mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai
hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui
periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada
10
dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan
kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.
2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being
Ryff (1989) menyebutkan bahwa, selama dua puluh tahun terakhir
penelitian mengenaipsychological well being terpaku pada perbedaan antara
efek positif dan negatif serta kepuasaan hidup (life satisfaction).
Penelitian-penelitian mengenai psychological well being tidak didasari oleh tinjauan
teori yang kuat, akibatnya pengukuran psychological well being melupakan
satu aspek penting yaitu fungsi positif (positive fungtioning) dari manusia.
Fungsi positif tersebut merupakan pemahaman bagaimana seseorang
mempunyai kemampuan dan potensi dan mampu mengembangkannya.
Ryff (1989) mengembangkan pendekatan multidimensional untuk
mengukur psychological well being. Pendekatan multidimensional tersebut
berdasarkan pada tinjauan berbagai sudut pandang ahli psikologi yang tertarik
dengan pertumbuhan dan perkembangan penuh potensi individual seperti teori
aktualisasi diri Abraham Maslow (1968),fully functioning person Carl Rogers
(1961), mature person Gordon Allport (1961) dan individuation Carl Jung
(1933) (dalam Ryff, Keyes dan Shmotkin, 2002).
Ryff (1989) telah menyusun pendekatan multidimensional untuk
menjelaskan mengenai psychological well being. Dimensi-dimensi tersebut
antara lain kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri,
kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan
pribadi yang berkelanjutan. Berikut penjelasan mengenai keenam dimensi
tersebut (Ryff, 1989):
a. Penerimaan diri (Self acceptance)
Dimensi penerimaan diri merupakan ciri utama kesehatan mental
dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi
secara optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai
dengan kemampuan menerima diri apa adanya, sehingga kemampuan
tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri
sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Seseorang yang memiliki tingkat
penerimaan diri yang tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,
mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik
positif ataupun negatif dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan
masa lalu. Sebaliknya, individu dengan tingkat penerimaan diri yang
rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan
pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi
dirinya seperti saat ini.
b. Hubungan positif dengan orang lain (Possitive relations with others)
Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal
yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan
untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental.
Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain atau tinggi
untuk dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,
12
mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang
rendah atau kurang baik untuk dimensi ini, sulit untuk bersikap hangat dan
enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain.
c. Kemandirian (Autonomy)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan
untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah
laku. Individu yang baik dalam dimensi ini, mampu menolak tekanan
sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat
mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sedangkan, individu
yang rendah atau kurang baik untuk dimensi ini akan memperhatikan
harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan
penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis.
d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)
Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk
memilih lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kematangan
pada dimensi ini terlihat pada kemampuan individu dalam menghadapi
kejadian di luar dirinya. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan
baik mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan
secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan
menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu
sendiri. Sebaliknya, apabila individu tersebut memiliki penguasaan
lingkungan yang rendah akan kesulitan untuk mengatur lingkungannya,
sebuah kesempatan dan kurang memiliki kontrol lingkungan di luar
dirinya.
e. Tujuan hidup (Purpose of life)
Kesehatan mental didefinisikan mencakup
kepercayaan-kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini
memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif
memiliki tujuan, misi dan arah yang membuatnya merasa hidup ini
memiliki makna. Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu
untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai arah
dalam hidup akan mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan
masa lalu mempunyai makna, memegang kepercayaan yang memberikan
tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam kehidupan.
Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan memiliki
perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak
melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupannya dan tidak
mempunyai kepercayaan yang membuat hidup lebih bermakna.
f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)
Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk
mengembangkan potensi dalam dirinya. Pertumbuhan pribadi yang baik
ditandai perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap perkembangan,
terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya,
melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu. Sebaliknya, seseorang
14
untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan
bahwa ia adalah pribadi yang stagnan dan tidak tertarik dengan kehidupan
yang dijalani.
Hurlock (1994) menjelaskan bahwa, ada beberapa esensi mengenai
kebahagiaan, atau keadaan sejahtera (well being), kenikmatan atau kepuasan,
yaitu antara lain sebagai berikut:
a. Sikap menerima (acceptance)
Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri
yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang
baik. Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1994) lebih lanjut
menjelaskan bahwa, kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima
dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.
b. Kasih sayang (affection)
Cinta atau kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap
diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin
banyak diharapkan cinta yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya
cinta atau kasih sayang memiliki pengaruh yang besar terhadap
kebahagiaan seseorang.
c. Prestasi (achievement)
Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang.
Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul
kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak
Dimensi-dimensi psychological well being yang digunakan dalam
penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yang
meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian,
penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.
3. Faktor-Faktor yang MempengaruhiPsychological Well Being
Menurut Ryff dan Singer (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan psikologis (psychological well being) antara lain:
a. Usia
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996),
penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukkan peningkatan
seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan
hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukkan penurunan
seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.
b. Jenis kelamin
Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang
dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis
kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan
positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari
keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita
16
psychological well being yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian,
penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan.
c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan
Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan
seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang,
ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan
tantangan (Ryff dan Singer, 1996). Hal ini dapat terkait dengan kesulitan
ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebakan sulitnya individu untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya
kesejahteraan psikologis (psychological well being).
d. Latar belakang budaya
Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga
memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada
diri (seperti dimensi penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol
dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada
orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol
pada budaya Timur.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997)
menyebutkan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
a. Kepribadian
Apabila individu memiliki kepribadian yang mengarah pada
sifat-sifat negatif seperti mudah marah, mudah stres, mudah terpengaruh dan
cenderung labil akan menyebabkan terbentuknya keadaan psychological
well being yang rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian
yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera karena mampu
melewati tantangan dalam kehidupannya.
b. Pekerjaan
Pekerjaan yang sifatnya rentan terhadap korupsi, iklim organisasi
yang tidak mendukung dan pekerjaan yang tidak disenangi akan
menyebabkan terbentuknya keadaan psychological well being yang
rendah, begitu pula sebaliknya.
c. Kesehatan dan fungsi fisik
Individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik
yang tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan rendahnya
psychological well being individu tersebut. Sebaliknya, apabila individu
memiliki kesehatan dan fungsi fisik yang baik, akan memiliki
psychological well being yang tinggi.
Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan (well being) seseorang, antara lain
18
a. Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun
melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan
bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga
menimbulkan rasa tidak bahagia dan sejahtera (well being)
b. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai
oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih
besar daripada apa yang mungkin dicapai individu jika kurang memiliki
daya tarik.
c. Tingkat otonomi
Semakin besar otonomi yang dapat dicapai, semakin besar
kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditentukan baik pada masa
kanak-kanak maupun masa dewasa.
d. Kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga dan kondisi kehidupan
Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka
di tingkat usia apapun, orang akan merasa bahagia apabila mereka
mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan
orang-orang di luar lingkungannya daripada apabila hubungan sosial
mereka terbatas pada anggota keluarga.
Apabila pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk
teman-temandan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian akan
memperbesar kepuasan hidup.
e. Jenis pekerjaan dan status kerja
Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan
untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini
dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan
pekerjaan orang-orang dewasa.
Baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin berhasil
seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan
prestise, maka semakin besar kepuasaan yang ditimbulkan.
f. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta pemilikan harta benda
Apabila harapan-harapan itu realistis, seseorang akan puas dan
bahagia apabila tujuannya tercapai. Pemilikan harta benda bukan dalam
arti memiliki benda itu akan mempengaruhi kebahagiaan seseorang,
melainkan cara seseorang merasakan pemilikan itu. Seperti yang
diungkapkan Clark (dalam Hurlock, 1994) yang menyebutkan bahwa,
kebahagian bukan datang dari pemilikan harta, tetapi dari perasaaan
seseorang terhadap pemilikan harta tersebut.
g. Penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode tertentu
Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan yang
bahagia, jarang dan tidak terlampau intensif mengungkapkan
perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati daripada mereka yang
20
Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian
ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain
selama masa kanak-kanak dan sebagian oleh stereotip budaya.
h. Realisme dari konsep diri dan konsep peran
Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari
yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak
tercapai. Ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu
dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti, diperlakukan kurang
adil.
Orang-orang cenderung mengangankan peran yang akan
dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai
dengan harapan mereka, mereka akan merasa tidak bahagia kecuali jika
mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu.
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhipsychological well being
antara lain sebagi berikut:
a. Religiusitas
Penelitian Ellison (dalam Taylor, 1995) menyebutkan bahwa
agama mampu meningkatkan psychological well being dalam diri
seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan bahwa individu yang
memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki
kepuasan hidup yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi,
serta mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika
agama yang kuat. Penilitian yang dilakukan Amawidyati dan Utami (2007)
mendukung penelitian Ellison, dimana hasil analisis menunjukkan adanya
hubungan positif dan signifikan antara religiusitas danpsychological well
being.
b. Dukungan sosial
Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella, 1990)
menyebutkan bahwa, dukungan sosial dapat berkaitan erat dengan
psychological well being. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang
yang berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang
memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber dukungan sosial.
Bagaimana sumber dukungan sosial ini penting, karena akan
mempengaruhipsychological well being seseorang.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi psychological well being meliputi usia, jenis kelamin,
kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan tingkat pendidikan),
latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik, tingkat
otonomi, daya tarik fisik, kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga
dan kondisi kehidupan, keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta
pemilikan harta benda, penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode
tertentu, realisme dari konsep diri dan konsep peran, religiusitas serta
22
B. Kestabilan Emosi
1. Pengertian Kestabilan Emosi
Menurut Chaplin (2000), kestabilan emosi (emotional stability) ialah
terbebas dari sejumlah besar variasi atau perselang-selingan dalam suasana
hati, sifat karakteristik orang yang memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol
emosi merupakan usaha di pihak individu untuk mengatur dan menguasai
emosi sendiri atau emosi orang lain. Sedangkan ketidakstabilan emosi
merupakan satu kecenderungan untuk menunjukkan perubahan yang cepat dan
tidak dapat diduga-duga atau diramalkan dalam emosionalitas.
Morgan (1986) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi merupakan suatu
keadaan emosi seseorang yang apabila mendapat rangsangan secara emosional
dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional seperti depresi dan
kecemasan. Sementara itu, Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan
emosi berarti kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau
terganggu, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi
segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama.
Kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami
perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi
masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu
mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan sehingga emosi yang
sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Kestabilan emosi
berlebihan atas rangsangan yang diterima, terutama dalam menghadapi
masalah-masalah. Hal ini dapat dilihat dari keseimbangan antara emosi
pleasant dengan emosi unpleasant. Seseorang akan mampu mengatasi dan
menerima gejolak naik turunnya emosi serta dapat mengarahkan emosi
unpleasant ke dalam suatu bentuk pemahaman yang lebih positif. Kestabilan
emosi ini merupakan suatu tahapan yang harus dicapai oleh seseorang untuk
lebih tenang dalam menghadapi segala permasalahan, mencakup kemampuan
untuk mengungkapkan emosi dengan melakukan kendali yang tidak
berlebihan terhadap gejala-gejala yang muncul baik dalam kondisi pleasant
maupununpleasant(Irma, 2003).
Dari beberapa pengertian kestabilan emosi yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan kestabilan emosi adalah suatu
kondisi emosi yang tetap, tidak mudah berubah, tidak labil, tidak mudah
mengalami gangguan emosional, memiliki kontrol emosi yang baik dan
mampu mengendalikan emosi secara tepat ketika menghadapi kondisi yang
menyenangkan ataupun ketika menghadapi masalah dalam hidup.
2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi
Kestabilan emosi yang dimiliki setiap orang akan berbeda satu sama
lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi emosi yang dapat dilihat
melalui aspek-aspek yang menyusun kestabilan emosi, antara lain sebagai
24
a. Kontrol Emosi
Aleem (2005) menjelaskan bahwa, kondisi emosi yang stabil akan
ditunjukkan dengan adanya kendali atau kontrol emosi pada saat situasi
yang ekstrim sekalipun. Lebih lanjut ia menjelaskan, individu memiliki
kapasitas untuk menahan keterlambatan kepuasan kebutuhan, kemampuan
untuk mentolerir frustrasi dalam jumlah yang wajar, kepercayaan dalam
perencanaan jangka panjang dan mampu menunda atau merevisi harapan
dalam hal tuntutan situasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan
Schneiders (1991) bahwa, kontrol emosi meliputi pengaturan emosi dan
perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam
diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita, serta prinsip.
Semiun (2006) menjelaskan bahwa kontrol emosi tidak berarti emosi
ditekan atau tidak boleh diungkapkan, akan tetapi melatih emosi dan
mengendalikan emosi tersebut sehingga tidak merugikan diri sendiri
maupun orang lain di sekitarnya.
b. Respon Emosi
Li dan Hui (2005) menyebutkan bahwa, respon emosi yang
ditunjukkan seseorang dapat menggambarkan stabilitas emosinya. Pada
penelitian Li dan Hui (2005), seseorang yang memiliki kestabilan emosi
cenderung memberikan respon emosi yang positif, walaupun individu
tersebut dalam pengalaman emosi yang negatif. Witherington (1978)
menjelaskan bahwa kestabilan emosi dapat dicapai oleh individu apabila
suatu cara untuk mengatasinya, sehingga emosi yang tidak menyenangkan
sebelumnya dapat menurun atau menjadi reda. Safaria dan Saputra (2009)
menjelaskan bahwa, seseorang akan berusaha menyeimbangkan antara
respon emosi positif dan respon emosi negatif. Seseorang yang gagal
menyeimbangkan respon emosinya, misalnya saat berada dalam situasi
yang tidak menyenangkan hanya akan dimunculkan respon emosi yang
negatif, maka individu tersebut gagal mencapai stabilitas emosi. Jadi,
bentuk respon emosi yang dipilih dan ditampilkan seseorang saat
menghadapi situasi tertentu dapat menunjukkan kestabilan emosi
seseorang.
c. Kematangan Emosi
Menurut Schneiders (1991), kematangan emosi adalah kemampuan
seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat
dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap stres, tidak mudah
khawatir, tidak mudah cemas dan tidak mudah marah. Gerungan (2004)
juga menyebutkan bahwa kestabilan emosi pada dasarnya harus ada
kematangan emosi yang berdasarkan kesadaran yang mendalam daripada
kebutuhan keinginan-keinginan, cita-cita dan alam perasaannya, serta
pengintergrasian semuanya itu ke dalam kepribadian yang bulat dan
26
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
yang menyusun kestabilan emosi adalah kontrol emosi, respon emosi dan
kematangan emosi.
C. Pasangan Muda
Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.
Soewondo (2001) menyebutkan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk
mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan dan keturunan. Untuk mencapai
kebahagiaan dan kepuasan di dalam perkawinan tidaklah mudah, sebab di dalam
perkawinan banyak hal yang dapat memicu berbagai permasalahan. Agar
pasangan suami istri dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik dalam
kehidupan perkawinannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain
sebagai berikut.
1. Harapan-harapan dari masing-masing individu
Setiap individu akan memberi pengharapan-pengharapan kepada
pasangannya. Terlebih ketika masa sebelum menikah, banyak karakter asli
yang belum dimunculkan. Sadarjoen (2005) menyebutkan bahwa,
konflik-konflik muncul pada bulan pertama perkawinan berasal dari harapan-harapan
kedua pasangan tentang perkawinan tersebut dan apa yang seharusnya tidak
terjadi pada perkawinan. Florence (dalam Bastaman, 2001) menambahkan
bahwa, ketika di antara pasangan suami istri memiliki harapan yang
berlebihan dan tidak realistis akan menyebabkan kekecewaan dan
tidak puas dengan kehidupannya, tentunya akan sulit mencapai psychological
well being dalam kehidupan perkawinannya.
2. Kerjasama di antara pasangan
Kerjasama merupakan hal yang penting di dalam perkawinan.
Kerjasama di antara suami istri diperlukan dari hal-hal yang sederhana sampai
dengan hal-hal yang kompleks. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa
kebersamaan adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan dan
merawat perkawinan. Lebih lanjut ia menjelaskan, bila kedua individu yang
terlibat dalam suatu perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama dalam
melaksanakan hal-hal kecil dalam kehidupan rumah tangganya, maka
merekapun akan mendapat kesulitan dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari. Mengingat
masalah-masalah dalam kehidupan perkawinan selalu ada, maka kerjasama
yang baik di antara pasangan suami istri menjadi sangat penting agar dapat
mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya.
3. Keinginan dan kebutuhan di antara pasangan
Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa, kebutuhan merupakan sesuatu
yang selalu ada pada seseorang yang sehat. Meskipun kebutuhan-kebutuhan
personal merupakan dasar yang sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan
fisik dan psikologis, akan tetapi saat individu telah menikah, keinginan dan
kebutuhan personal itu harus diseimbangkan dengan pasangan agar tidak ada
pihak yang merasa dirugikan. Apabila perbedaan keinginan masing-masing
28
masalah-masalah yang pada akhirnya dapat mempengaruhipsychological well
beingpasangan suami istri tersebut.
4. Komunikasi
Untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan diperlukan
komunikasi yang baik di antara pasangan (Sadarjoen, 2005). Lebih lanjut
Bastaman (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan
perkawinan, ada komunikasi di mana individu memiliki kesediaan dan
keberhasilan untuk memberi dan menerima pendapat, tanggapan, ungkapan,
saran, umpan balik dari satu pihak ke pihak lain secara baik yang dilakukan
tanpa menyakiti hati salah satu pihak. Apabila komunikasi yang demikian
digunakan dalam setiap menghadapi permasalahan, maka pasangan suami istri
akan menemukan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan setiap
permasalahan yang muncul dengan baik.
Perkawinan menciptakan pasangan dalam kehidupan rumah tangga, yaitu
pasangan suami dan istri. Pasangan muda merupakan pasangan orang-orang
muda. Hurlock (1994) menyebutkan orang dewasa muda sebagai orang muda.
Menurut Hurlock (1994) masa dewasa muda dimulai dari umur 18 tahun sampai
kira-kira umur 40 tahun. Sementara itu, Rahmawati (2003) dalam penelitiannya,
menyebutkan pasangan muda merupakan individu yang telah menikah dengan
batas usia maksimal 35 tahun.
Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap
peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah,
keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas baru ini (Hurlock, 1994).
Undang-undang perkawinan di negara kita menyebutkan bahwa, seseorang
diperbolehkan menikah apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU Perkawinan Pasal 7 dalam Walgito,
1984). Walgito (1984) sendiri menyebutkan bahwa, seorang wanita sebaiknya
menikah setelah usianya mencapai 23 tahun, sedangkan untuk pria setelah
mencapai 27 tahun, karena pada usia tersebut individu dianggap telah dewasa. Hal
ini berarti, seseorang sebaiknya menikah apabila ia telah dewasa, sehingga ia
mampu menjalankan kehidupan perkawinannya dengan baik, karena menurut
Maryati, dkk. (2007), dalam sebuah perkawinan pada umumnya banyak terjadi
kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi.
Keluarga dimulai dengan suatu perkawinan dan selanjutnya berkembang
pada tahun-tahun berikutnya. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa, perjuangan
di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah
perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hauck (1993) bahwa
kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan
damai. Anjani dan Suryanto (2006) menyebutkan masa perkawinan yang masih
muda atau awal sebagai periode awal dalam perkawinan, yaitu kurang dari
sepuluh tahun, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan.
Dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh
perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya
30
pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam
rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus
diwaspadai setiap pasangan muda tersebut (Susilowati, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, pasangan muda yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami dan istri), mencapai usia
dewasa muda, usia minimal untuk istri 23 tahun dan suami 27 tahun dan usia tidak
lebih dari 35 tahun serta usia perkawinan yang masih muda (periode awal) yaitu
kurang dari sepuluh tahun.
D. Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being
pada Pasangan Muda
Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah dambaan setiap orang, akan
tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.
Hauck (1993) menjelaskan bahwa, kebanyakan perkawinan merupakan pertalian
silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih
banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan
membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk
mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan
mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.
Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara
berkala.
Pasangan muda yang merupakan orang-orang dewasa muda dan dengan
dalam kehidupan perkawinannya. Hal ini dikarenakan masa dewasa muda
merupakan periode yang khusus dan sulit dalam kehidupan seseorang. Menurut
Hurlock (1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap
pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda
diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua,
pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru
ini.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan
muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu
permasalahan, seperti terjadinya perbedaan pendapat, pemikiran, tujuan atau
impian, ingin menguasai satu sama lain, kekecewaan, takut kehilangan dan
perbedaan kebiasaan yang dipengaruhi perbedaan latar belakang. Menurut Anjani
dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan
masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada
dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan,
dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus
menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia
tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah
tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap
pasangan muda.
Menurut Hurlock (1994), ketika pasangan suami istri menghadapai
tekanan ataupun kondisi negatif, namun hal tersebut tidak diungkapkan, maka
32
demikian, tidak berarti pasangan muda tidak dapat mencapai kesejahteraan
psikologis dalam kehidupannya. Kebahagiaan dapat diperoleh jika individu
mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik (Hawthorne dalam Manz,
2007). Jadi, individu akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan jika ia mampu
menjalankan fungsi psikologis positif sehingga dapat mencapai kondisi psikologis
yang baik.
Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam
perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan
disebabkan oleh faktor psikologis. Seseorang yang dapat menjalankan
fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis
yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi positif artinya manusia
dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan
dirinya. Menurut Safaria dan Saputra (2009), pemahaman akan suasana emosi,
mengetahui secara jelas makna dari perasaan, mampu mengungkapkan perasaan
secara konstruktif merupakan hal-hal yang mendorong tercapainya kesejahteraan
psikologis (psychological well being), kebahagiaan dan kesehatan jiwa individu.
Orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan
rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya, orang
yang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya,
menjadi rentan terpenjara oleh emosinya sendiri. Hal ini terkait dengan
kemampuan individu dalam menjalankan fungsi psikologisnya. Individu yang
psikologis yang baik pula. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang
baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.
Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu
menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.
Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami
istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara
baik dan objektif. Individu yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat
menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang
tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Apabila
pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan
reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang
muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya
kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada pasangan muda tersebut.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun (2006), yang menyebutkan
bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut
bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
E. Kerangka Pemikiran
Hubungan antara kestabilan emosi denganpsychological well being pada
pasangan muda dapat digambarkan dengan kerangka pikiran sebagai berikut:
34
F. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: ada
hubungan positif antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel Tergantung :Psychological well being
2. Variabel Bebas : Kestabilan Emosi
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kestabilan Emosi
Kestabilan emosi adalah suatu kondisi emosi yang tetap, tidak mudah
berubah, tidak labil, memiliki kontrol emosi yang baik dan tidak mudah
mengalami gangguan emosional dan mampu mengendalikan emosi secara
tepat ketika menghadapi kondisi yang menyenangkan ataupun ketika
menghadapi masalah dalam hidup. Tingkat kestabilan emosi akan diungkap
melalui skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan pendapat
beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li & Hui,
2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan, 2004), yaitu
kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi. Semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek berarti semakin tinggi kestabilan emosi, sebaliknya semakin
rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kestabilan emosi
36
2. Psychological Well Being
Psychological well being adalah kondisi dimana individu mampu
menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam
kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan
mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi
psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut
merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap
hidupnya. Untuk mengukur tingkat psychological well being pada subjek
yang akan diteliti, digunakan skala psychological well being yang dibuat
sendiri oleh peneliti yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang
dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti
semakin tinggi tingkat psychological well being, sebaliknya semakin rendah
skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat psychological well
being dari subjek tersebut.
C. Populasi, Sampel dan Sampling
Populasi penelitian ini adalah pasangan muda yang ada di Kaplingan,
kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Peneliti memilih daerah Kaplingan
sebagai populasi penelitian dikarenakan beberapa alasan. Berdasarkan survei yang
dilakukan peneliti dan data yang diperoleh dari kelurahan Jebres, daerah ini