• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGANPSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PASANGAN MUDA

SKRIPSI

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh : Vina Witri Astuti

G0106095

Pembimbing:

1. Dra. Salmah Lilik, M. Si 2. Rin Widya Agustin, M. Psi

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesunggguhnya bahwa dalam skripsi ini

tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan

di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali

yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya

bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.

Surakarta, Pebruari 2011

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan

Psychological Well Being pada Pasangan Muda

Nama Peneliti : Vina Witri Astuti

NIM/Semester : G0106095

Tahun : 2011

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

Pada Hari : Rabu, 9 Pebruari 2011

Pembimbing I

Dra. Salmah Lilik, M.Si. NIP 19490415 198101 2 001

Pembimbing II

Rin Widya Agustin, M.Psi. NIP 19760817 200501 2 002

Koordinator Skripsi

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being

pada Pasangan Muda

Vina Witri Astuti, G0106095, Tahun 2011

Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari : Senin

Tanggal : 28 Pebruari 2011

1. Pembimbing I

Dra. Salmah Lilik, M.Si. ( )

2. Pembimbing II

Rin Widya Agustin, M.Psi. ( )

3. Penguji I

Dra. Makmuroch, M.S. ( )

4. Penguji II

Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si. ( )

Surakarta, __________________

Ketua Program Studi Psikologi

Drs. Hardjono, M.Si. NIP 19590119 198903 1 002

Koordinator Skripsi

(5)

MOTTO

Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini

selalu mempunyai makna. Dalam batas-batas tertentu, manusia memiliki

kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih dan menentukan makna

dan tujuan hidupnya

(Viktor E. Frankl)

Tidak ingin menyesali yang sudah terjadi kemarin, banyak bersyukur untuk hari

ini dan tidak perlu khawatir menghadapi hari esok

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk

Papah Mamahku tercinta dan kakak-kakakku tersayang

Berbagai rintangan dan keputusasaan memudar

karena limpahan perhatian dan dukungan mereka

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas segala karunia-Nya yang

dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai

syarat guna memperoleh gelar sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul

“Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being pada

Pasangan Muda”.

Tidak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberi bimbingan, bantuan, dorongan, dan doa dalam penyelesaian skripsi

ini. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, penulis

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. AA. Subiyanto, M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I atas bimbingan,

kepercayaan, kesabaran, serta perhatiannya yang sangat besar.

4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II atas bimbingan,

kesabaran, perhatian serta saran-sarannya yang membangun selama ini.

5. Ibu Dra. Machmuroh, M.S. dan Bapak Aditya Nanda Priyatama, S. Psi., M. Si.

selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan pemikiran kritis serta

(8)

6. Seluruh staf Program Studi Psikologi yang telah membantu penulis dalam

mengurus administrasi dan memberikan semangat dan saran-sarannya.

7. Bapak Drs. Tamso, MM., selaku Kepala kelurahan Jebres Surakarta beserta

staf, Bapak Karjono selaku ketua RW XX (Kaplingan) dan seluruh ketua RT

serta responden di Kaplingan yang bersedia memberikan ijin serta membantu

penulis dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data.

8. Papah mamahku tercinta yang telah memberikan cinta kasihnya, bimbingan,

nasihat, kesabaran, pengertian dan perhatian serta tak henti mendo’akan

penulis selama mengikuti tugas belajar di Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan menyelesaikan skripsi

ini.

9. Kakak-kakakku tersayang, Kak Eka, Kak Eska, Ko Joni, Mas Bondan yang

telah memberikan semangat dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Abang Faris yang selalu memberikan dukungan, perhatian, semangat serta

kasih sayang kepada penulis.

11. Sahabat-sahabatku tercinta (Yenie, Rengga, Febi, Lina, Nisa, Siti, Putri, Ayu,

Tanti, Nuzul, Ulva) dan semua teman-teman Psikologi UNS tercinta,

khususnya Psikologi ’06 yang telah memberikan bantuan, motivasi, dan

mengajarkan penulis arti kekompakan dan kebersamaan.

Surakarta, Pebruari 2011

(9)

THE RELATIONSHIP BETWEEN EMOTIONAL STABILITY WITH achieved, needs hard effort. Marriage acquaints two different people, either in their needs, their wishes and their expectations that enable a more complicated conflict occurs among them. Young couple in this study were young adults who have been married for less than 10 years. Many things that are not expected to occure within marriage is caused by psychological factors. If someone has a good psychological condition, then they are able to control their emotions in various situations. Emotional stability will effect how individuals solve their problems that occure in their life. When the young couple have emotional stability, they will show appropriate emotional reactions, and it will lead to the achievement of psychological well being in them.

This research aims to determine the relationship between emotional stability with psychological well being in young couple. The subjects of the research were young couples in Kaplingan, Jebres, Surakarta. This research use purposive cluster random sampling technique. This research used an emotional stability scale and a psychological well being scale to collect data. Data analysis used product moment correlation analysis techniques by Pearson.

This research result correlation coefficient ( r ) = 0,406; p = 0,001 (p < 0,05), it means that there are a significant positive correlation between emotional stability with psychological well being in young couple. Emotional stability contribute 16,5% factor of young couple’s psychological well being. That result is low, this is because there are many other things that affect the psychological well being, especially young couples, in marital life, for example, related to the expectations of both partners, how to cooperate in marital life, how to balance the wants and needs between them and the problem of their communication. In addition, to see different levels of psychological well being of the subject, performed additional analysis by calculating the average score of psychological well being of highly educated subjects with subjects with low education. The results show that highly educated subjects had higher psychological well being, though with a small difference score, which is only 2.77.

(10)

HUBUNGAN ANTARA KESTABILAN EMOSI DENGAN

Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera, tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan. Perkawinan menyatukan dua orang yang berbeda, baik dalam kebutuhan, keinginan dan pengharapan di antara keduanya yang dimungkinkan dapat menimbulkan permasalahan yang semakin rumit. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang mencapai dewasa muda dan usia perkawinan kurang dari 10 tahun. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan disebabkan oleh faktor psikologis. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi. Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainyapsychological well being pada pasangan muda tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada pasangan muda. Subjek penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami atau istri) yang ada di Kaplingan, kelurahan Jebres Surakarta. Teknik pengambilan sampel denganpurposive cluster random sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala kestabilan emosi dan skala psychological well being. Analisis data menggunakan teknik korelasiproduct moment Pearson.

Berdasarkan hasil analisis teknik korelasiproduct moment Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi ( r ) sebesar 0,406; p = 0,001 (p < 0,05) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kestabilan emosi dengan

psychological well being pada pasangan muda. Artinya, semakin tinggi kestabilan emosi subjek, maka akan semakin tinggipsychological well being pada pasangan muda. Peran kestabilan emosi terhadappsychological well being pada pasangan muda sebesar 16,5%. Hasil tersebut termasuk kecil, hal ini dikarenakan banyak hal lain yang mempengaruhipsychological well being pasangan muda khususnya dalam kehidupan perkawinan misalnya terkait dengan harapan-harapan di antara kedua pasangan, bagaimana kerjasama dalam kehidupan perkawinan, bagaimana menyeimbangkan keinginan dan kebutuhan di antara keduanya dan masalah komunikasi keduanya. Selain itu, untuk melihat perbedaan tingkatpsychological well being subjek, dilakukan analisis tambahan dengan menghitung rata-rata skor

psychological well being subjek yang berpendidikan tinggi dengan subjek yang berpendidikan rendah. Hasilnya menunjukkan subjek yang berpendidikan tinggi memilikipsychological well being lebih tinggi, walaupun dengan selisih skor yang tidak begitu jauh, yaitu hanya 2,77.

(11)

DAFTAR ISI

1. PengertianPsychological Well Being ... 8

2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being ... 10

3. Faktor-faktor yang mempengaruhiPsychological Well Being ... 15

B. Kestabilan Emosi ... 22

1. Pengertian Kestabilan Emosi ... 22

(12)

C. Pasangan Muda ... 26

D. Hubungan Antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Beingpada Pasangan Muda... 30

E. Kerangka Pemikiran ... 33

F. Hipotesis... 34

BAB III. METODE PENELITIAN ... 35

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 35

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 35

C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 36

D. Metode Pengumpulan Data ... 38

1. Sumber Data ... 38

2. Alat Pengumpul Data ... 39

E. Validitas dan Reliabilitas ... 42

1. Validitas ... 42

2. Reliabilitas ... 43

F. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan Penelitian ... 45

1. Orientasi Kancah Penelitian ... 45

2. Persiapan Penelitian ... 46

3. Pelaksanaan Uji Coba (try out) ... 48

4. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 48

5. Penyusunan Alat Ukur Penelitian ... 51

B. Pelaksanaan Penelitian ... 53

1. Penentuan Subjek Penelitian ... 53

2. Pengumpulan Data ... 53

3. Pelaksanaan Skoring ... 54

C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 55

(13)

2. Uji Hipotesis ... 57

3. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 59

4. Deskripsi Statistik ... 60

5. Deskripsi Data Sekunder Subjek Penelitian ... 63

D. Pembahasan ... 65

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran... ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penilaian PernyataanFavorable dan PernyataanUnfavorable ... 39

Tabel 2.Blue Print Skala Kestabilan Emosi (Sebelum Uji Coba) ... 41

Tabel 3.Blue Print SkalaPsychological Well Being (Sebelum Uji Coba) ... 42

Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Coklit Kaplingan Tahun 2009 ... 45

Tabel 5. Hasil Pendataan Pasangan Muda di Kaplingan ... 46

Tabel 6. Distribusi Aitem Valid dan Gugur Skala Kestabilan Emosi ... 50

Tabel 7. Distribusi Aitem Valid dan Gugur SkalaPsychological Well Being ... 51

Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Kestabilan Emosi Setelah Uji Coba ... 52

Tabel 9. Distribusi Aitem SkalaPsychological Well BeingSetelah Uji Coba ... 52

Tabel 10. Hasil Uji Normalitas ... 56

Tabel 11. Hasil Uji Linieritas antara Variabel Kestabilan Emosi dengan Psychological Well Being ... 57

Tabel 12. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 58

Tabel 13. Peran Kestabilan Emosi terhadapPsychological Well Being ... 60

Tabel 14. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 60

Tabel 15. Kriteria Kategori Skala Kestabilan Emosi ... 61

Tabel 16. Kriteria Kategori SkalaPsychological Well Being ... 63

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara kestabilan emosi dengan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

B. Data Uji Coba dan Penelitian Alat Ukur Penelitian ... 103

1. Data Hasil Uji Coba Skala Kestabila Emosi... 104

2. Data Hasil Uji Coba SkalaPsychological Well Being ... 107

3. Data Penelitian Skala Kestabilan Emosi ... 110

4. Data Penelitian SkalaPsychological Well Being ... 114

C. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ... 118

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Kestabilan Emosi ... 119

2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well Being……... ... 121

D. Hasil Analisis Data Penelitian ... 123

1. Hasil Uji Normalitas... 124

2. Hasil Uji Linierias ... 124

3. Hasil Deskripsi Statistik ... 125

4. Hasil Analisis KorelasiBivariate Pearson ... 125

5. Hasil Analisis Koefisien Determinan (R Square) ... 125

E. Data Sekunder Subjek Penelitian (Data Tingkat Pendidikan Subjek) ... 126

F. Surat Ijin dan Surat Keterangan Penelitian ... 129

1. Surat Permohonan Ijin Penelitian Prodi Psikologi FK UNS ... 130

2. Surat Pengantar Kepada RT 01, 04 dan 06 di Kaplingan (RW XX) ... 131

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.

Setiap orang mendambakan kehidupan perkawinannya bahagia dan sejahtera,

tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.

Menurut Susilowati (2008), perjuangan di dalam perkawinan tidak akan pernah

berhenti karena hidup ini adalah perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang

dikemukakan Hauck (1993) bahwa kebanyakan perkawinan merupakan pertalian

silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih

banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan

membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk

mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan

mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.

Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara

berkala.

Perkawinan menciptakan pasangan suami istri dalam kehidupan rumah

tangga. Pasangan muda dalam penelitian ini adalah individu yang telah menikah

dan dengan usia yang mencapai dewasa dini atau dewasa muda. Menurut Hurlock

(1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap

pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda

(18)

2

pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru

ini. Periode ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup

seseorang.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan

muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu

permasalahan. Fenomena perceraian suami istri dalam masyarakat kita terjadi

semakin meningkat dari waktu ke waktu (Barus, 2005). Tulisan yang dibuat oleh

Pengadilan Agama Surakarta pada 25 Mei 2010 (http://pa-surakarta.go.id)

menjelaskan bahwa, berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an

angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling

tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir

dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian

di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di

belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat

kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.

Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir

memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Hal ini sungguh menimbulkan

keprihatinan, karena ikatan perkawinan tidak lagi membawa kebahagiaan dalam

hidup pasangan suami istri, akan tetapi justru membawa ke dalam perselisihan

yang semakin rumit. Wahyuningsih (2005) menyebutkan bahwa perselisihan yang

sering muncul dalam rumah tangga dapat disebabkan karena ketidaksamaan

kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami istri. Menurut Anjani

(19)

periode awal dalam perkawinan, dimana periode ini merupakan masa rawan di

dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada dua tahun

pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan, dimana

pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus menyiapkan

mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia tujuh tahun

pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah tangga

sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap pasangan

muda.

Kesulitan penyesuaian perkawinan hampir tidak terelakkan bila suami dan

istri berasal dari pola keluarga yang berbeda. Hal ini akan menjadi sulit ketika

pasangan muda mengahadapi tekanan ataupun kondisi yang negatif namun hal

tersebut tidak diungkapkan (Hurlock, 1994). Meskipun demikian, menurut

Wahyuningsih (2005), mengakhiri perkawinan karena ketidakbahagiaan tidak

selalu menjadi pilihan, banyak pasangan muda yang dapat mempertahankan

perkawinannya, berusaha berpikiran positif terhadap pasangannya dan tetap

menjalankan kehidupan rumah tangga sehingga dapat mencapai kondisi yang

diharapkan setiap pasangan. Hasil penelitian Wilson, dkk. (dalam Wahyuningsih,

2005) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kesehatan emosi akan

merasakan hidup yang lebih optimis dan memuaskan dalam perkawinannya.

Sikap positif dari pasangan muda untuk tetap mempertahankan

perkawinannya, berpikiran positif terhadap pasangannya dan menjalankan

tanggung jawab terhadap pasangan meskipun dengan begitu banyak hal yang

(20)

4

positif (positive psychological functioning), yang membawa kepada terwujudnya

kesejahteraan psikologis (psychological well being) dalam diri seseorang.

Ryff (1989) seorang pelopor penelitian mengenaipsychological well being

menjelaskan bahwa,psychological well being merupakan istilah yang digunakan

untuk menggambarkan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dan

suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa

adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengembangkan

potensi diri secara berkelanjutan, mampu untuk mengarahkan tingkah laku sendiri,

mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan dalam hidup.

Psychological well being pada pasangan muda mengarah pada kondisi

dimana individu mampu menghadapi berbagai hal yang dapat memicu

permasalahan dalam perkawinannya, mampu melalui periode sulit dalam

perkawinan dengan mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan

menjalankan fungsi psikologi positif yang ada dalam dirinya sehingga individu

tersebut merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap

hidupnya.

Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam

perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan

disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini menjadi penting, sebab akan

mempengaruhi bagaimana kemampuan individu untuk bertahan menghadapi

tekanan akibat berbagai permasalahan dalam rumah tangganya. Seseorang yang

dapat menjalankan fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan

(21)

positif artinya manusia dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan

mampu mengembangkan dirinya. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis

yang baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.

Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu

menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.

Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami

istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara

baik dan objektif. Pasangan yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat

menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang

tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi.

Irma (2003) menjelaskan bahwa kestabilan emosi menunjukkan emosi

yang tetap, tidak mengalami perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun

dalam keadaan menghadapi masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan

emosi mampu mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan, sehingga

emosi yang sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Sementara

itu, individu dengan kondisi emosi yang tidak stabil memiliki kecenderungan

perubahan yang cepat dan tidak diduga dalam reaksi emosinya (Chaplin, 2000).

Apabila pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan

menghasilkan reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi

masalah yang muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah

pada tercapainya kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada

(22)

6

(2006), yang menyebutkan bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan

tepat maka emosi tersebut bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan

antara kestabilan emosi dengan psychological well being. Untuk itu penulis

mengambil judul “Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well

Beingpada Pasangan Muda”.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Apakah ada Hubungan antara Kestabilan Emosi dengan Psychological Well

Being pada Pasangan Muda?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui Hubungan

(23)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah

khususnya dalam bidang psikologi yang berkaitan dengan hubungan antara

kestabilan emosi denganpsychological well beingpada pasangan muda

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pasangan Muda

Memberikan informasi dan masukan mengenai hubungan antara kestabilan

emosi dengan psychological well being pada pasangan muda, sehingga

dapat menggunakan informasi ini sebagai pertimbangan dalam

menghadapi masalah dalam kehidupan rumah tangganya

b. Bagi Psikolog, Konselor Perkawinan dan Praktisi Terkait

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan

mengenai hubungan antara kestabilan emosi dengan psychological well

being pada pasangan muda, sehingga dapat menggunakan informasi ini

sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penanganan masalah

perkawinan bagi pasangan suami istri

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi peneliti untuk

melakukan penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan dengan hubungan

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well Being

1. PengertianPsychological Well Being

Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff.

Diener dan Jahoda (dalam Ryff, 1989) mengatakan bahwa, penelitian

mengenai psychological well being mulai berkembang sejak para ahli

menyadari bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan

perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada

bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif. Menurut Ryff (1989),

psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan

kriteria fungsi psikologi positif (positive psychological functioning).

Ryff (1989) menjelaskan bahwa psychological well being yang

kemudian disingkat PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis

seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan

yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang

ada di sekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan

mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki

tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui tahapan perkembangan dalam

(25)

Ryff dan Singer (1996) menyebutkan bahwa, tingkat kesejahteraan

psikologis yang tinggi menunjukkan bahwa individu memiliki hubungan yang

baik dengan lingkungan di sekitarnya, memiliki kepercayaan diri yang baik,

dapat membangun hubungan personal yang baik dengan orang lain dan

menunjukkan bahwa individu memiliki tujuan pribadi dan tujuan dalam

pekerjaannnya.

Menurut Snyder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk., 2008),

kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan,

namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia,

memahami arti dan tujuan dalam hidup dan hubungan seseorang pada objek

ataupun orang lain.

Hurlock (1994) menyebutkan kebahagiaan adalah keadaan sejahtera

(well being) dan kepuasan hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang

timbul bila kebutuhan dan harapan individu terpenuhi. Alston dan Dudley

(dalam Hurlock, 1994) menambahkan bahwa, kepuasan hidup merupakan

kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang

disertai tingkat kegembiraan.

Dari beberapa pengertianpsychological well being yang dikemukakan

oleh beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan psychological well being

adalah mengarah pada kondisi dimana individu mampu menghadapi berbagai

hal yang dapat memicu permasalahan dalam kehidupannya, mampu melalui

periode sulit dalam kehidupan dengan mengandalkan kemampuan yang ada

(26)

10

dirinya, sehingga individu tersebut merasakan adanya kepuasan dan

kesejahteraan batin dalam atau terhadap hidupnya.

2. Dimensi-dimensiPsychological Well Being

Ryff (1989) menyebutkan bahwa, selama dua puluh tahun terakhir

penelitian mengenaipsychological well being terpaku pada perbedaan antara

efek positif dan negatif serta kepuasaan hidup (life satisfaction).

Penelitian-penelitian mengenai psychological well being tidak didasari oleh tinjauan

teori yang kuat, akibatnya pengukuran psychological well being melupakan

satu aspek penting yaitu fungsi positif (positive fungtioning) dari manusia.

Fungsi positif tersebut merupakan pemahaman bagaimana seseorang

mempunyai kemampuan dan potensi dan mampu mengembangkannya.

Ryff (1989) mengembangkan pendekatan multidimensional untuk

mengukur psychological well being. Pendekatan multidimensional tersebut

berdasarkan pada tinjauan berbagai sudut pandang ahli psikologi yang tertarik

dengan pertumbuhan dan perkembangan penuh potensi individual seperti teori

aktualisasi diri Abraham Maslow (1968),fully functioning person Carl Rogers

(1961), mature person Gordon Allport (1961) dan individuation Carl Jung

(1933) (dalam Ryff, Keyes dan Shmotkin, 2002).

Ryff (1989) telah menyusun pendekatan multidimensional untuk

menjelaskan mengenai psychological well being. Dimensi-dimensi tersebut

antara lain kepemilikan akan rasa penghargaan terhadap diri sendiri,

kemandirian, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan

(27)

pribadi yang berkelanjutan. Berikut penjelasan mengenai keenam dimensi

tersebut (Ryff, 1989):

a. Penerimaan diri (Self acceptance)

Dimensi penerimaan diri merupakan ciri utama kesehatan mental

dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi

secara optimal dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai

dengan kemampuan menerima diri apa adanya, sehingga kemampuan

tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri

sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Seseorang yang memiliki tingkat

penerimaan diri yang tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri,

mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik

positif ataupun negatif dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan

masa lalu. Sebaliknya, individu dengan tingkat penerimaan diri yang

rendah akan merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan

pengalaman masa lalu dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi

dirinya seperti saat ini.

b. Hubungan positif dengan orang lain (Possitive relations with others)

Banyak teori yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal

yang hangat dan saling mempercayai dengan orang lain. Kemampuan

untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan mental.

Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain atau tinggi

untuk dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat,

(28)

12

mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang

rendah atau kurang baik untuk dimensi ini, sulit untuk bersikap hangat dan

enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain.

c. Kemandirian (Autonomy)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan

untuk menentukan diri sendiri dan kemampuan untuk mengatur tingkah

laku. Individu yang baik dalam dimensi ini, mampu menolak tekanan

sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara tertentu, serta dapat

mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal. Sedangkan, individu

yang rendah atau kurang baik untuk dimensi ini akan memperhatikan

harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan

penilaian orang lain dan cenderung bersikap konformis.

d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery)

Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk

memilih lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Kematangan

pada dimensi ini terlihat pada kemampuan individu dalam menghadapi

kejadian di luar dirinya. Individu yang memiliki penguasaan lingkungan

baik mampu dan berkompetensi mengatur lingkungan, menggunakan

secara efektif kesempatan dalam lingkungan, mampu memilih dan

menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai individu itu

sendiri. Sebaliknya, apabila individu tersebut memiliki penguasaan

lingkungan yang rendah akan kesulitan untuk mengatur lingkungannya,

(29)

sebuah kesempatan dan kurang memiliki kontrol lingkungan di luar

dirinya.

e. Tujuan hidup (Purpose of life)

Kesehatan mental didefinisikan mencakup

kepercayaan-kepercayaan yang memberikan individu suatu perasaan bahwa hidup ini

memiliki tujuan dan makna. Individu yang berfungsi secara positif

memiliki tujuan, misi dan arah yang membuatnya merasa hidup ini

memiliki makna. Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu

untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai arah

dalam hidup akan mempunyai perasaan bahwa kehidupan saat ini dan

masa lalu mempunyai makna, memegang kepercayaan yang memberikan

tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam kehidupan.

Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan memiliki

perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak

melihat adanya manfaat dari masa lalu kehidupannya dan tidak

mempunyai kepercayaan yang membuat hidup lebih bermakna.

f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth)

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk

mengembangkan potensi dalam dirinya. Pertumbuhan pribadi yang baik

ditandai perasaan mampu dalam melalui tahap-tahap perkembangan,

terbuka pada pengalaman baru, menyadari potensi yang ada dalam dirinya,

melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu. Sebaliknya, seseorang

(30)

14

untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan

bahwa ia adalah pribadi yang stagnan dan tidak tertarik dengan kehidupan

yang dijalani.

Hurlock (1994) menjelaskan bahwa, ada beberapa esensi mengenai

kebahagiaan, atau keadaan sejahtera (well being), kenikmatan atau kepuasan,

yaitu antara lain sebagai berikut:

a. Sikap menerima (acceptance)

Sikap menerima orang lain dipengaruhi oleh sikap menerima diri

yang timbul dari penyesuaian pribadi maupun penyesuaian sosial yang

baik. Shaver dan Freedman (dalam Hurlock, 1994) lebih lanjut

menjelaskan bahwa, kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima

dan menikmati keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya.

b. Kasih sayang (affection)

Cinta atau kasih sayang merupakan hasil normal dari sikap

diterima oleh orang lain. Semakin diterima baik oleh orang lain, semakin

banyak diharapkan cinta yang dapat diperoleh dari orang lain. Kurangnya

cinta atau kasih sayang memiliki pengaruh yang besar terhadap

kebahagiaan seseorang.

c. Prestasi (achievement)

Prestasi berhubungan dengan tercapainya tujuan seseorang.

Apabila tujuan ini secara tidak realistis tinggi, maka akan timbul

kegagalan dan yang bersangkutan akan merasa tidak puas dan tidak

(31)

Dimensi-dimensi psychological well being yang digunakan dalam

penelitian ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Ryff (1989), yang

meliputi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian,

penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

3. Faktor-Faktor yang MempengaruhiPsychological Well Being

Menurut Ryff dan Singer (1996), faktor-faktor yang mempengaruhi

kesejahteraan psikologis (psychological well being) antara lain:

a. Usia

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang

dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996),

penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukkan peningkatan

seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan

hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukkan penurunan

seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan

positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.

b. Jenis kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang

dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis

kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan

positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari

keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita

(32)

16

psychological well being yang lain yaitu penerimaan diri, kemandirian,

penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan.

c. Tingkat pendidikan dan pekerjaan

Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat pendidikan

seseorang menunjukkan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang,

ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan

tantangan (Ryff dan Singer, 1996). Hal ini dapat terkait dengan kesulitan

ekonomi, dimana kesulitan ekonomi menyebakan sulitnya individu untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya

kesejahteraan psikologis (psychological well being).

d. Latar belakang budaya

Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga

memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada

diri (seperti dimensi penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol

dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada

orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol

pada budaya Timur.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997)

menyebutkan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

(33)

a. Kepribadian

Apabila individu memiliki kepribadian yang mengarah pada

sifat-sifat negatif seperti mudah marah, mudah stres, mudah terpengaruh dan

cenderung labil akan menyebabkan terbentuknya keadaan psychological

well being yang rendah. Sebaliknya, apabila individu memiliki kepribadian

yang baik, maka individu akan lebih bahagia dan sejahtera karena mampu

melewati tantangan dalam kehidupannya.

b. Pekerjaan

Pekerjaan yang sifatnya rentan terhadap korupsi, iklim organisasi

yang tidak mendukung dan pekerjaan yang tidak disenangi akan

menyebabkan terbentuknya keadaan psychological well being yang

rendah, begitu pula sebaliknya.

c. Kesehatan dan fungsi fisik

Individu yang mengalami gangguan kesehatan dan fungsi fisik

yang tidak optimal atau terganggu dapat menyebabkan rendahnya

psychological well being individu tersebut. Sebaliknya, apabila individu

memiliki kesehatan dan fungsi fisik yang baik, akan memiliki

psychological well being yang tinggi.

Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi

kebahagiaan, kepuasan dan kesejahteraan (well being) seseorang, antara lain

(34)

18

a. Kesehatan

Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun

melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk

atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan

bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga

menimbulkan rasa tidak bahagia dan sejahtera (well being)

b. Daya tarik fisik

Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai

oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih

besar daripada apa yang mungkin dicapai individu jika kurang memiliki

daya tarik.

c. Tingkat otonomi

Semakin besar otonomi yang dapat dicapai, semakin besar

kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditentukan baik pada masa

kanak-kanak maupun masa dewasa.

d. Kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga dan kondisi kehidupan

Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka

di tingkat usia apapun, orang akan merasa bahagia apabila mereka

mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial dengan

orang-orang di luar lingkungannya daripada apabila hubungan sosial

mereka terbatas pada anggota keluarga.

Apabila pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk

(35)

teman-temandan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian akan

memperbesar kepuasan hidup.

e. Jenis pekerjaan dan status kerja

Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan

untuk otonomi dalam pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini

dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan

pekerjaan orang-orang dewasa.

Baik di bidang pendidikan maupun pekerjaan, semakin berhasil

seseorang melaksanakan tugas semakin hal itu dihubungkan dengan

prestise, maka semakin besar kepuasaan yang ditimbulkan.

f. Keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta pemilikan harta benda

Apabila harapan-harapan itu realistis, seseorang akan puas dan

bahagia apabila tujuannya tercapai. Pemilikan harta benda bukan dalam

arti memiliki benda itu akan mempengaruhi kebahagiaan seseorang,

melainkan cara seseorang merasakan pemilikan itu. Seperti yang

diungkapkan Clark (dalam Hurlock, 1994) yang menyebutkan bahwa,

kebahagian bukan datang dari pemilikan harta, tetapi dari perasaaan

seseorang terhadap pemilikan harta tersebut.

g. Penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode tertentu

Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik dan yang

bahagia, jarang dan tidak terlampau intensif mengungkapkan

perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah dan iri hati daripada mereka yang

(36)

20

Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian

ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain

selama masa kanak-kanak dan sebagian oleh stereotip budaya.

h. Realisme dari konsep diri dan konsep peran

Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari

yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak

tercapai. Ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu

dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti, diperlakukan kurang

adil.

Orang-orang cenderung mengangankan peran yang akan

dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai

dengan harapan mereka, mereka akan merasa tidak bahagia kecuali jika

mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhipsychological well being

antara lain sebagi berikut:

a. Religiusitas

Penelitian Ellison (dalam Taylor, 1995) menyebutkan bahwa

agama mampu meningkatkan psychological well being dalam diri

seseorang. Hasil penelitian Ellison menunjukkan bahwa individu yang

memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat, dilaporkan memiliki

kepuasan hidup yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi,

serta mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah jika

(37)

agama yang kuat. Penilitian yang dilakukan Amawidyati dan Utami (2007)

mendukung penelitian Ellison, dimana hasil analisis menunjukkan adanya

hubungan positif dan signifikan antara religiusitas danpsychological well

being.

b. Dukungan sosial

Cohen dan Syme (dalam Calhoun dan Accocella, 1990)

menyebutkan bahwa, dukungan sosial dapat berkaitan erat dengan

psychological well being. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang

yang berinteraksi dan dekat secara emosional dengan individu. Orang yang

memberikan dukungan sosial ini disebut sebagai sumber dukungan sosial.

Bagaimana sumber dukungan sosial ini penting, karena akan

mempengaruhipsychological well being seseorang.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi psychological well being meliputi usia, jenis kelamin,

kelas sosial (terkait pekerjaan, jenis kerja, status kerja dan tingkat pendidikan),

latar belakang budaya, kepribadian, kesehatan dan fungsi fisik, tingkat

otonomi, daya tarik fisik, kesempatan-kesempatan interaksi di luar keluarga

dan kondisi kehidupan, keseimbangan antara harapan dan pencapaian serta

pemilikan harta benda, penyesuaian emosional dan sikap terhadap periode

tertentu, realisme dari konsep diri dan konsep peran, religiusitas serta

(38)

22

B. Kestabilan Emosi

1. Pengertian Kestabilan Emosi

Menurut Chaplin (2000), kestabilan emosi (emotional stability) ialah

terbebas dari sejumlah besar variasi atau perselang-selingan dalam suasana

hati, sifat karakteristik orang yang memiliki kontrol emosi yang baik. Kontrol

emosi merupakan usaha di pihak individu untuk mengatur dan menguasai

emosi sendiri atau emosi orang lain. Sedangkan ketidakstabilan emosi

merupakan satu kecenderungan untuk menunjukkan perubahan yang cepat dan

tidak dapat diduga-duga atau diramalkan dalam emosionalitas.

Morgan (1986) menjelaskan bahwa, kestabilan emosi merupakan suatu

keadaan emosi seseorang yang apabila mendapat rangsangan secara emosional

dari luar tidak menunjukkan gangguan emosional seperti depresi dan

kecemasan. Sementara itu, Sharma (2006) menjelaskan bahwa, kestabilan

emosi berarti kondisi yang benar-benar kokoh, tidak mudah berbalik atau

terganggu, memiliki keseimbangan yang baik dan mampu untuk menghadapi

segala sesuatu dengan kondisi emosi yang tetap atau sama.

Kestabilan emosi menunjukkan emosi yang tetap, tidak mengalami

perubahan, atau tidak cepat terganggu meskipun dalam keadaan menghadapi

masalah. Seseorang yang mempunyai kestabilan emosi mampu

mengekspresikan emosi dengan tepat, tidak berlebihan sehingga emosi yang

sedang dialaminya tidak mengganggu aktivitas yang lain. Kestabilan emosi

(39)

berlebihan atas rangsangan yang diterima, terutama dalam menghadapi

masalah-masalah. Hal ini dapat dilihat dari keseimbangan antara emosi

pleasant dengan emosi unpleasant. Seseorang akan mampu mengatasi dan

menerima gejolak naik turunnya emosi serta dapat mengarahkan emosi

unpleasant ke dalam suatu bentuk pemahaman yang lebih positif. Kestabilan

emosi ini merupakan suatu tahapan yang harus dicapai oleh seseorang untuk

lebih tenang dalam menghadapi segala permasalahan, mencakup kemampuan

untuk mengungkapkan emosi dengan melakukan kendali yang tidak

berlebihan terhadap gejala-gejala yang muncul baik dalam kondisi pleasant

maupununpleasant(Irma, 2003).

Dari beberapa pengertian kestabilan emosi yang dikemukakan oleh

beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan kestabilan emosi adalah suatu

kondisi emosi yang tetap, tidak mudah berubah, tidak labil, tidak mudah

mengalami gangguan emosional, memiliki kontrol emosi yang baik dan

mampu mengendalikan emosi secara tepat ketika menghadapi kondisi yang

menyenangkan ataupun ketika menghadapi masalah dalam hidup.

2. Aspek-aspek Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi yang dimiliki setiap orang akan berbeda satu sama

lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi emosi yang dapat dilihat

melalui aspek-aspek yang menyusun kestabilan emosi, antara lain sebagai

(40)

24

a. Kontrol Emosi

Aleem (2005) menjelaskan bahwa, kondisi emosi yang stabil akan

ditunjukkan dengan adanya kendali atau kontrol emosi pada saat situasi

yang ekstrim sekalipun. Lebih lanjut ia menjelaskan, individu memiliki

kapasitas untuk menahan keterlambatan kepuasan kebutuhan, kemampuan

untuk mentolerir frustrasi dalam jumlah yang wajar, kepercayaan dalam

perencanaan jangka panjang dan mampu menunda atau merevisi harapan

dalam hal tuntutan situasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan

Schneiders (1991) bahwa, kontrol emosi meliputi pengaturan emosi dan

perasaan sesuai dengan tuntutan lingkungan atau situasi dan standar dalam

diri individu yang berhubungan dengan nilai-nilai, cita-cita, serta prinsip.

Semiun (2006) menjelaskan bahwa kontrol emosi tidak berarti emosi

ditekan atau tidak boleh diungkapkan, akan tetapi melatih emosi dan

mengendalikan emosi tersebut sehingga tidak merugikan diri sendiri

maupun orang lain di sekitarnya.

b. Respon Emosi

Li dan Hui (2005) menyebutkan bahwa, respon emosi yang

ditunjukkan seseorang dapat menggambarkan stabilitas emosinya. Pada

penelitian Li dan Hui (2005), seseorang yang memiliki kestabilan emosi

cenderung memberikan respon emosi yang positif, walaupun individu

tersebut dalam pengalaman emosi yang negatif. Witherington (1978)

menjelaskan bahwa kestabilan emosi dapat dicapai oleh individu apabila

(41)

suatu cara untuk mengatasinya, sehingga emosi yang tidak menyenangkan

sebelumnya dapat menurun atau menjadi reda. Safaria dan Saputra (2009)

menjelaskan bahwa, seseorang akan berusaha menyeimbangkan antara

respon emosi positif dan respon emosi negatif. Seseorang yang gagal

menyeimbangkan respon emosinya, misalnya saat berada dalam situasi

yang tidak menyenangkan hanya akan dimunculkan respon emosi yang

negatif, maka individu tersebut gagal mencapai stabilitas emosi. Jadi,

bentuk respon emosi yang dipilih dan ditampilkan seseorang saat

menghadapi situasi tertentu dapat menunjukkan kestabilan emosi

seseorang.

c. Kematangan Emosi

Menurut Schneiders (1991), kematangan emosi adalah kemampuan

seseorang untuk melakukan reaksi emosi sesuai dengan tingkat

perkembangannya. Indikator kematangan emosi seseorang dapat dilihat

dari kemampuannya untuk menyesuaikan diri terhadap stres, tidak mudah

khawatir, tidak mudah cemas dan tidak mudah marah. Gerungan (2004)

juga menyebutkan bahwa kestabilan emosi pada dasarnya harus ada

kematangan emosi yang berdasarkan kesadaran yang mendalam daripada

kebutuhan keinginan-keinginan, cita-cita dan alam perasaannya, serta

pengintergrasian semuanya itu ke dalam kepribadian yang bulat dan

(42)

26

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

yang menyusun kestabilan emosi adalah kontrol emosi, respon emosi dan

kematangan emosi.

C. Pasangan Muda

Perkawinan merupakan tahapan yang penting dalam hidup seseorang.

Soewondo (2001) menyebutkan bahwa perkawinan memiliki tujuan untuk

mendapatkan kebahagiaan, cinta kasih, kepuasan dan keturunan. Untuk mencapai

kebahagiaan dan kepuasan di dalam perkawinan tidaklah mudah, sebab di dalam

perkawinan banyak hal yang dapat memicu berbagai permasalahan. Agar

pasangan suami istri dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik dalam

kehidupan perkawinannya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain

sebagai berikut.

1. Harapan-harapan dari masing-masing individu

Setiap individu akan memberi pengharapan-pengharapan kepada

pasangannya. Terlebih ketika masa sebelum menikah, banyak karakter asli

yang belum dimunculkan. Sadarjoen (2005) menyebutkan bahwa,

konflik-konflik muncul pada bulan pertama perkawinan berasal dari harapan-harapan

kedua pasangan tentang perkawinan tersebut dan apa yang seharusnya tidak

terjadi pada perkawinan. Florence (dalam Bastaman, 2001) menambahkan

bahwa, ketika di antara pasangan suami istri memiliki harapan yang

berlebihan dan tidak realistis akan menyebabkan kekecewaan dan

(43)

tidak puas dengan kehidupannya, tentunya akan sulit mencapai psychological

well being dalam kehidupan perkawinannya.

2. Kerjasama di antara pasangan

Kerjasama merupakan hal yang penting di dalam perkawinan.

Kerjasama di antara suami istri diperlukan dari hal-hal yang sederhana sampai

dengan hal-hal yang kompleks. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa

kebersamaan adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan dan

merawat perkawinan. Lebih lanjut ia menjelaskan, bila kedua individu yang

terlibat dalam suatu perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama dalam

melaksanakan hal-hal kecil dalam kehidupan rumah tangganya, maka

merekapun akan mendapat kesulitan dalam mengatasi

permasalahan-permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari. Mengingat

masalah-masalah dalam kehidupan perkawinan selalu ada, maka kerjasama

yang baik di antara pasangan suami istri menjadi sangat penting agar dapat

mencapai kebahagiaan dalam kehidupan perkawinannya.

3. Keinginan dan kebutuhan di antara pasangan

Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa, kebutuhan merupakan sesuatu

yang selalu ada pada seseorang yang sehat. Meskipun kebutuhan-kebutuhan

personal merupakan dasar yang sangat penting bagi tercapainya kesejahteraan

fisik dan psikologis, akan tetapi saat individu telah menikah, keinginan dan

kebutuhan personal itu harus diseimbangkan dengan pasangan agar tidak ada

pihak yang merasa dirugikan. Apabila perbedaan keinginan masing-masing

(44)

28

masalah-masalah yang pada akhirnya dapat mempengaruhipsychological well

beingpasangan suami istri tersebut.

4. Komunikasi

Untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan diperlukan

komunikasi yang baik di antara pasangan (Sadarjoen, 2005). Lebih lanjut

Bastaman (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan kehidupan

perkawinan, ada komunikasi di mana individu memiliki kesediaan dan

keberhasilan untuk memberi dan menerima pendapat, tanggapan, ungkapan,

saran, umpan balik dari satu pihak ke pihak lain secara baik yang dilakukan

tanpa menyakiti hati salah satu pihak. Apabila komunikasi yang demikian

digunakan dalam setiap menghadapi permasalahan, maka pasangan suami istri

akan menemukan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan setiap

permasalahan yang muncul dengan baik.

Perkawinan menciptakan pasangan dalam kehidupan rumah tangga, yaitu

pasangan suami dan istri. Pasangan muda merupakan pasangan orang-orang

muda. Hurlock (1994) menyebutkan orang dewasa muda sebagai orang muda.

Menurut Hurlock (1994) masa dewasa muda dimulai dari umur 18 tahun sampai

kira-kira umur 40 tahun. Sementara itu, Rahmawati (2003) dalam penelitiannya,

menyebutkan pasangan muda merupakan individu yang telah menikah dengan

batas usia maksimal 35 tahun.

Masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap

(45)

peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua, pencari nafkah,

keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan tugas baru ini (Hurlock, 1994).

Undang-undang perkawinan di negara kita menyebutkan bahwa, seseorang

diperbolehkan menikah apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

wanita sudah mencapai umur 16 tahun (UU Perkawinan Pasal 7 dalam Walgito,

1984). Walgito (1984) sendiri menyebutkan bahwa, seorang wanita sebaiknya

menikah setelah usianya mencapai 23 tahun, sedangkan untuk pria setelah

mencapai 27 tahun, karena pada usia tersebut individu dianggap telah dewasa. Hal

ini berarti, seseorang sebaiknya menikah apabila ia telah dewasa, sehingga ia

mampu menjalankan kehidupan perkawinannya dengan baik, karena menurut

Maryati, dkk. (2007), dalam sebuah perkawinan pada umumnya banyak terjadi

kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi.

Keluarga dimulai dengan suatu perkawinan dan selanjutnya berkembang

pada tahun-tahun berikutnya. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa, perjuangan

di dalam perkawinan tidak akan pernah berhenti karena hidup ini adalah

perjuangan. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hauck (1993) bahwa

kebanyakan perkawinan merupakan pertalian silih berganti antara “perang” dan

damai. Anjani dan Suryanto (2006) menyebutkan masa perkawinan yang masih

muda atau awal sebagai periode awal dalam perkawinan, yaitu kurang dari

sepuluh tahun, dimana periode ini merupakan masa rawan di dalam perkawinan.

Dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh

perjuangan, dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya

(46)

30

pada usia tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam

rutinitas rumah tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus

diwaspadai setiap pasangan muda tersebut (Susilowati, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, pasangan muda yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah individu yang telah menikah (suami dan istri), mencapai usia

dewasa muda, usia minimal untuk istri 23 tahun dan suami 27 tahun dan usia tidak

lebih dari 35 tahun serta usia perkawinan yang masih muda (periode awal) yaitu

kurang dari sepuluh tahun.

D. Hubungan antara Kestabilan Emosi denganPsychological Well Being

pada Pasangan Muda

Kebahagiaan dalam sebuah perkawinan adalah dambaan setiap orang, akan

tetapi untuk mencapainya tidaklah mudah, dibutuhkan perjuangan yang besar.

Hauck (1993) menjelaskan bahwa, kebanyakan perkawinan merupakan pertalian

silih berganti antara “perang” dan damai. Perkawinan akan membawa lebih

banyak frustrasi daripada yang dibayangkan. Memang benar perkawinan akan

membuat seseorang lebih bahagia dari sebelumnya, akan tetapi untuk

mencapainya harus menempuh saat-saat yang sulit. Kadang seseorang tidak akan

mencapai keseimbangan yang baik setelah beberapa tahun menjalani perkawinan.

Setelah perkawinan akan terus muncul gejolak-gejolak yang datang secara

berkala.

Pasangan muda yang merupakan orang-orang dewasa muda dan dengan

(47)

dalam kehidupan perkawinannya. Hal ini dikarenakan masa dewasa muda

merupakan periode yang khusus dan sulit dalam kehidupan seseorang. Menurut

Hurlock (1994), masa dewasa muda merupakan periode penyesuaian diri terhadap

pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda

diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami atau istri, orang tua,

pencari nafkah, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru

ini.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan perkawinan pasangan

muda, sebab dalam perkawinan dapat terjadi berbagai hal yang dapat memicu

permasalahan, seperti terjadinya perbedaan pendapat, pemikiran, tujuan atau

impian, ingin menguasai satu sama lain, kekecewaan, takut kehilangan dan

perbedaan kebiasaan yang dipengaruhi perbedaan latar belakang. Menurut Anjani

dan Suryanto (2006), masa perkawinan kurang dari sepuluh tahun merupakan

masa rawan di dalam perkawinan. Susilowati (2008) menyebutkan bahwa pada

dua tahun pertama pernikahan merupakan masa-masa yang penuh perjuangan,

dimana pasangan suami istri mengetahui karakter asli pasangannya dan harus

menyiapkan mental untuk menghadapi kondisi tersebut. Selanjutnya, pada usia

tujuh tahun pernikahan pasangan suami istri akan terjebak dalam rutinitas rumah

tangga sehingga keintiman berkurang dan kondisi ini harus diwaspadai setiap

pasangan muda.

Menurut Hurlock (1994), ketika pasangan suami istri menghadapai

tekanan ataupun kondisi negatif, namun hal tersebut tidak diungkapkan, maka

(48)

32

demikian, tidak berarti pasangan muda tidak dapat mencapai kesejahteraan

psikologis dalam kehidupannya. Kebahagiaan dapat diperoleh jika individu

mampu menjalankan fungsi psikologisnya dengan baik (Hawthorne dalam Manz,

2007). Jadi, individu akan mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan jika ia mampu

menjalankan fungsi psikologis positif sehingga dapat mencapai kondisi psikologis

yang baik.

Kondisi psikologis seseorang memiliki peran penting dalam

perkawinannya. Banyak hal yang tidak diharapkan terjadi dalam perkawinan

disebabkan oleh faktor psikologis. Seseorang yang dapat menjalankan

fungsi-fungsi psikologis positif yang ada dalam dirinya akan memiliki kondisi psikologis

yang baik. Ryff (1989) menyebutkan bahwa fungsi positif artinya manusia

dipandang sebagai mahluk yang mempunyai potensi dan mampu mengembangkan

dirinya. Menurut Safaria dan Saputra (2009), pemahaman akan suasana emosi,

mengetahui secara jelas makna dari perasaan, mampu mengungkapkan perasaan

secara konstruktif merupakan hal-hal yang mendorong tercapainya kesejahteraan

psikologis (psychological well being), kebahagiaan dan kesehatan jiwa individu.

Orang yang mampu memahami emosi apa yang sedang mereka alami dan

rasakan, akan lebih mampu mengelola emosinya secara positif. Sebaliknya, orang

yang kesulitan memahami emosi apa yang sedang bergejolak dalam perasaannya,

menjadi rentan terpenjara oleh emosinya sendiri. Hal ini terkait dengan

kemampuan individu dalam menjalankan fungsi psikologisnya. Individu yang

(49)

psikologis yang baik pula. Apabila seseorang memiliki kondisi psikologis yang

baik, maka ia mampu mengendalikan emosinya dalam berbagai situasi.

Kondisi emosi yang stabil akan mempengaruhi bagaimana individu

menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya.

Menurut Walgito (1984) kondisi yang demikian diperlukan agar pasangan suami

istri dapat melihat permasalahan yang ada dalam kehidupan perkawinannya secara

baik dan objektif. Individu yang mampu mengendalikan kondisi emosinya saat

menghadapi situasi yang menyenangkan ataupun ketika berada dalam situasi yang

tidak menyenangkan adalah mereka yang memiliki kestabilan emosi. Apabila

pasangan muda memiliki kestabilan emosi, maka mereka akan menghasilkan

reaksi emosi yang tepat, tidak berlebihan dalam menghadapi masalah yang

muncul dalam kehidupan rumah tangganya dan akan mengarah pada tercapainya

kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada pasangan muda tersebut.

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Semiun (2006), yang menyebutkan

bahwa, apabila emosi itu dapat dikendalikan dengan tepat maka emosi tersebut

bekerja untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

E. Kerangka Pemikiran

Hubungan antara kestabilan emosi denganpsychological well being pada

pasangan muda dapat digambarkan dengan kerangka pikiran sebagai berikut:

(50)

34

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis yang dapat diajukan adalah: ada

hubungan positif antara kestabilan emosi dengan psychological well being pada

(51)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Tergantung :Psychological well being

2. Variabel Bebas : Kestabilan Emosi

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kestabilan Emosi

Kestabilan emosi adalah suatu kondisi emosi yang tetap, tidak mudah

berubah, tidak labil, memiliki kontrol emosi yang baik dan tidak mudah

mengalami gangguan emosional dan mampu mengendalikan emosi secara

tepat ketika menghadapi kondisi yang menyenangkan ataupun ketika

menghadapi masalah dalam hidup. Tingkat kestabilan emosi akan diungkap

melalui skala kestabilan emosi yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan

aspek-aspek kestabilan emosi yang disimpulkan berdasarkan pendapat

beberapa ahli (Aleem, 2005; Schneiders, 1991; Semiun, 2006; Li & Hui,

2005; Witherington, 1978; Safaria & Saputra, 2009; Gerungan, 2004), yaitu

kontrol emosi, respon emosi dan kematangan emosi. Semakin tinggi skor yang

diperoleh subjek berarti semakin tinggi kestabilan emosi, sebaliknya semakin

rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah kestabilan emosi

(52)

36

2. Psychological Well Being

Psychological well being adalah kondisi dimana individu mampu

menghadapi berbagai hal yang dapat memicu permasalahan dalam

kehidupannya, mampu melalui periode sulit dalam kehidupan dengan

mengandalkan kemampuan yang ada dalam dirinya dan menjalankan fungsi

psikologi positif yang ada dalam dirinya, sehingga individu tersebut

merasakan adanya kepuasan dan kesejahteraan batin dalam atau terhadap

hidupnya. Untuk mengukur tingkat psychological well being pada subjek

yang akan diteliti, digunakan skala psychological well being yang dibuat

sendiri oleh peneliti yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi yang

dikemukakan oleh Ryff (1989), yaitu penerimaan diri, hubungan positif

dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan

pertumbuhan pribadi. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek berarti

semakin tinggi tingkat psychological well being, sebaliknya semakin rendah

skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah tingkat psychological well

being dari subjek tersebut.

C. Populasi, Sampel dan Sampling

Populasi penelitian ini adalah pasangan muda yang ada di Kaplingan,

kelurahan Jebres, kecamatan Jebres Surakarta. Peneliti memilih daerah Kaplingan

sebagai populasi penelitian dikarenakan beberapa alasan. Berdasarkan survei yang

dilakukan peneliti dan data yang diperoleh dari kelurahan Jebres, daerah ini

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran hubungan antara kestabilan emosi dengan
Penilaian PernyataanTabel 1 Favorable dan Pernyataan Unfavorable
Tabel 2
BlueprintTabel 3 Skala Psychological Well Being (Sebelum Uji Coba)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kestabilan emosi dan kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional. Subyeknya adalah siswa kelas 3

Kecerdasan emosi yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan agresivitas dikarenakan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang matang akan belajar untuk

Wanita dan pria dewasa awal akan merasa sejahtera apabila mereka memiliki tubuh yang ideal namun, jika individu tidak memiliki tubuh yang ideal maka individu

Menurut Joshua (2015) regulasi emosi adalah kemampuan dalam meredam atau menjaga agar emosi tetap stabil dan tergantung bagaimana individu tersebut mengalami dan

Sedangkan, individu yang memiliki tingkat kematangan emosi tinggi kemungkinan tidak akan melakukan prokrastinasi akademik karena memiliki kendali diri yang kuat untuk mengelola

Kecerdasan emosi yang memiliki peranan penting dalam mengendalikan agresivitas dikarenakan individu yang memiliki kecerdasan emosi yang matang akan belajar untuk

Adanya standar perilaku yang dimiliki emerging adulthood akan lebih membuat individu mandiri dan merasa mampu untuk menguasai lingkungan sebagai bentuk psychological well being

Rasa takut akan ketinggalan dan melakukan perbandingan antara dirinya dengan yang lain akan membuat individu menggunakan media sosial secara kompulsif dan menjadi pemicu untuk kelelahan