ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA
INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN
T E S I S
Oleh
PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA
INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan
Oleh
PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA
INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN
NASKAH PUBLIKASI
Oleh
PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN PADA PT. BANK ARTHA GRAHA
INTERNASIONAL, TBK, CABANG MEDAN
NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan
Oleh
PATRICIA IMELDA HUTABARAT 067011064/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Bank dalam menjalankan usahanya harus memperhatikan prinsip kehati-hatian karena bank sebagai lembaga penyimpan dana dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab yang besar dalam pengembalian dana masyarakat tersebut. Pemberian kredit tanpa agunan yang tidak hati-hati dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perbankan dimasa mendatang, terutama dalam hal debitur wanprestasi. Oleh karenanya perlu ditelusuri dan diadakan penelitian mengenai: Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk? Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank? Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit?.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, jenis penelitian dengan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian pada studi kepustakaan terhadap peraturan-peraturan tertulis yang menitikberatkan pada pemberian kredit secara umum dan kredit tanpa agunan, good corporate governance, direktur kepatuhan dan peranan notaris dan analisa data yang dipergunakan adalah analisa kualitatif .
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian kredit pada umumnya dengan pemberian kredit tanpa agunan menggunakan prosedur pelaksanaan yang sama dan hal yang membedakan hanya ketiadaan agunan pada kredit wirausaha tanpa agunan. Kredit tanpa agunan dapat diberikan kepada masyarakat berdasarkan Pasal 8 jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur merupakan faktor yang penting dalam pemberian kredit. Agunan adalah unsur pendukung, bukan merupakan unsur utama dalam pemberian kredit. Kredit wirausaha tanpa agunan merupakan jenis kredit untuk pengembangan usaha debitur dengan tidak melibatkan barang jaminan dalam bentuk fisik. Pengelolaan bank penting menggunakan prinsip-prinsip good corporate governance, agar kualitas pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi utama bank tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Direktur kepatuhan dapat mencegah diambilnya kebijaksanaan dan keputusan yang didalamnya mengandung unsur penyimpangan/ pelanggaran terhadap ketentuan kehati-hatian. Kredit Wirausaha memberikan bantuan permodalan skala mikro yang sangat membantu masyarakat yang ingin melakukan kegiatan usaha tetapi tidak mempunyai agunan yang cukup. Kehati-hatian dalam pemberian kredit ini dapat dilaksanakan dengan melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian kredit yang sesuai dengan syarat hukum.
ABSTRACT
In running its business, bank should pay attention to the principle of caution because bank as an institution that holds community’s fund has a big responsibility in returning the community’s fund. A careless extension of credit without guarantee can affect the banking life continuity in the future, especially in terms of dishonest debtor. Therefore, it is necessary to tract and to do a study on how bank, in general, regulates the extension of credit and how PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk regulates the same issue; the role of executive director in obeying and applying good corporate government in the bank he/she supervises; and how PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk implements the extension of credit without guarantee to a businessman viewed from the principles of being cautious in providing the extension of credit.
This normative juridical study is intended to examine the existing written regulations focused on extension of credit in general, extension of credit without guarantee, good corporate governance, executive director and role of notary.
The result of this study shows that the extension of credit in general and the extension of credit without guarantee apply the same procedure of implementation and what make them different is only the absence of guarantee in the extension of credit to a businessman without guarantee. Credit without guarantee can be extended to the general public based on Article 8 in connection with Article 15 of Law No. 10/1998 on Banking. Both articles state that a trust in the capability of debtor is an important in the extension of credit. Guarantee is a supporting element not the main element in the extension of credit. Credit without guarantee for a businessman is a kind of credit to develop a debtor’s business without the involvement of the material goods guaranteed in its phsycal form. In bank management, it is important to use the principles of good corporate governance in order that the quality of the on going bank management can push the course of the main function of the bank as well as maintaining community trust. The executive director can veto the passing of the policy an decision containing the violation of the principle of caution. Credit for businessman provides a small-scale working capital which really helps the community who wants to run a business but does not have enough material goods as a guarantee. The caution in this extension of credit can be implemented through an accurate and deep analysis, accurate distribution, good control and monitoring, and credit agreement that meet the legal conditions.
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
1. Nama : Patricia Imelda Hutabarat, SH
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 27 Oktober 1976
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Kristen Protestan
5. Status Perkawinan : Menikah
6. Kewarganegaraan : Indonesia
7. Alamat : Jalan Sisingamanggaraja No. 76 Medan
II. Nama Orang Tua
1. Bapak : Drs. Jansen Sioloan Hutabarat
2. Ibu : Donna Tiolina Loretta Simatupang
III. Pendidikan
1. Tahun 1988 Tamat dari SDN 14 Jakarta Selatan
2. Tahun 1991 Tamat dari SMPN 19 Jakarta Selatan
3. Tahun 1994 Tamat dari SMAN 70 Jakarta Selatan
4. Tahun 2000 Tamat dari Universitas Indonesia Depok
IV. Pekerjaan
1. Staf Legal Jaminan pada PT. Bank Artha Graha Tahun 2000 – 2004
2. Staf Admin Kredit pada PT. Bank Artha Graha Tahun 2004 - 2008
DAFTAR ISI
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR………... iii
RIWAYAT HIDUP... v
DAFTAR ISI……… vi
BAB I. PENDAHULUAN……….. 1
A. Latar Belakang ………. 1
B. Permasalahan……… 3
C. Tujuan Penelitian……….. 3
D. Manfaat Penelitian ………... 3
E. Keaslian Penelitian ……….. 3
F. Kerangka Teori dan Konsepsi……….. 3
1. Kerangka Teori………... 3
a. Perjanjian Pada Umumnya……… 3
b. Pengertian Kredit dan Unsur-Unsur Kredit... 4
c. Jaminan Kredit... 5
d. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah... 6
e. Kredit Wirausaha Tanpa Agunan... 6
f. Perjanjian Kredit... 7
2. Kerangka Konsepsi………. 8
G. Metode Penelitian………. 9
1. Jenis dan sifat Penelitian... 9
2. Lokasi Penelitian... 9
3. Sumber Data Penelitian...9
4. Alat Pengumpulan Data... 9
5. Analisa Data ... 9
BAB II. PENGATURAN PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK... 9
A. Pengaturan Kebijaksanaan Perkreditan Bank Secara Umum... 9
1. Prinsip-Prinsip Dalam Pemberian Kredit...9
2. Tujuan dan Fungsi Kredit... 10
3. Jenis-Jenis Kredit... 11
B. Pemberian Kredit oleh PT. Bank Artha Graha Internasional,. 13 1. Jenis-Jenis Fasilitas Kredit di PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk………... 13
a. Fasilitas Kredit Langsung………. 13
b. Fasilitas Kredit Tidak Langsung………... 14
a. Proses Permohonan Kredit……… 14
b. Proses Analisa Kredit……….... 17
c. Proses Persetujuan……….... 18
3. Peran Notaris Dalam Pemberian Kredit………... 18
BAB III. PERANAN DIREKTUR KEPATUHAN DAN PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BANK... 20
A. Direktur Kepatuhan... 20
1. Direktur Kepatuhan Secara Umum... 20
2. Fungsi dan Tanggung Jawab Direktur Kepatuhan... 20
B. Good Corporate Governance ... 21
1. Good Corporate Governance Secara Umum... 21
2. Prinsip dan Manfaat Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank………... 22
BAB IV. PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT WIRAUSAHA TANPA AGUNAN DITINJAU DARI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT………... 23
A. Pelaksanaan Pemberian Kredit Wirausaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk... 23
1. Kriteria dan Prosedur Pemberian Kredit Wirausaha Tanpa Agunan……… 23
2. Perbedaan Kredit Wirausaha dengan Kredit Tanpa Agunan Pada Kartu Kredit... 26
3. Dasar Hukum Kredit Tanpa Agunan... 27
B. Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit Tanpa Agunan... 28
1. Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Dalam Pemberian Kredit... 28
2. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dalam Pemberian Kredit Tanpa Agunan... 29
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 30
A. Kesimpulan... 30
B. Saran... 31
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Untuk mendirikan suatu perusahaan memerlukan modal kerja dan untuk
mendapatkannya ada berbagai cara yang dapat ditempuh, salah satunya adalah dengan
meminjam kepada pihak lain. Hubungan pinjam-meminjam tersebut dapat dilakukan
dengan kesepakatan antara peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur) yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian lisan
atau dalam bentuk perjanjian tertulis yang juga dapat dibuat dengan akta di bawah
tangan atau dengan akta notaris.
Perjanjian utang piutang dalam KUHPerdata dapat diidentikkan dengan perjanjian
pinjam meminjam yaitu merupakan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang
dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama
seperti pada saat ia meminjam1.
Mengenai pinjam meminjam juga disebutkan dalam Pasal 1754 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yaitu:
“Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula”.
1
Hubungan hukum tersebut akan berjalan lancar jika masing-masing pihak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Namun apabila
salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian sesuai dengan yang telah disepakati maka
perjanjian tersebut akan mengalami berbagai hambatan.
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka peningkatan taraf hidup orang banyak2.
Aktivitas perbankan pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang
dikenal dengan istilah funding yaitu mengumpulkan atau mencari dana dengan cara
membeli dari masyarakat luas dan kedua memberi pinjaman ke masyarakat atau dikenal
dengan istilah kredit atau lending.
Semakin berkembangnya kegiatan usaha perbankan, bank dihadapkan kepada
berbagai risiko usaha seperti risiko kredit, risiko investasi, risiko likuiditas, risiko
operasional, risiko penyelewengan dan risiko fidusia.3 Pentingnya mengenal nasabah
2
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. 3
Risiko kredit adalah risiko akibat ketidakmampuan nasabah debitur mengembalikan pinjaman yang diterimanya dari Bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Risiko Investasi adalah risiko yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerugian akibat penurunan nilai pokok portfolio surat-surat berharga yang dimiliki bank atau surat berharga lainnya. Risiko Likuiditas adalah risiko yang mungkin dihadapi bank untuk memenuhi permohonan kredit dan semua penarikan dana oleh penyimpan pada suatu waktu. Risiko Operasional adalah risiko yang berkenaan dengan ketidakpastian mengenai kegiatan usaha Bank. Risiko Penyelewengan adalah risiko yang berkaitan dengan kerugian yang mungkin terjadi akibat ketidakjujuran, penipuan, moral bejat, atau perilaku tidak terpuji dari pejabat, karyawan dan nasabah bank. Risiko Fidusia adalah risiko yang mungkin timbul apabila bank yang memberikan jasa dengan bertindak sebagai wali amanat untuk pribadi maupun badan usaha.
dapat mengurangi atau bahkan menghindari dari risiko yang dihadapi Bank terutama
dalam kerugian keuangan yang signifikan bagi bank.
Salah satu karakter yuridis dari bisnis perbankan, yakni bidang bisnis yang sarat
dengan pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (heavily regulated business). Bidang
perbankan merupakan bidang yang sarat regulasi adalah karena:4
1. Bank adalah termasuk lembaga yang mengelola uang rakyat, karena itu,
kepentingan rakyat banyak ikut dipertaruhkan oleh suatu bank.
2. Kegiatan bank merupakan kegiatan yang sangat detail dan complicated. Karena itu,
perlu arahan-arahan dan petunjuk yang lengkap dan detail pula.
3. Bank memainkan peranan yang sangat besar dalam perkembangan moneter dan
perekonomian secara makro. Karena itu, ada pula suatu kebutuhan masyarakat agar
bank-bank tetap aman dan tidak terjadi gejolak. Sehingga perkembangan ekonomi
nasional tetap mantap.
Salah satu kegiatan usaha bank adalah menyalurkan kredit. Secara estimologis
Kredit berasal dari bahasa latin “credere” atau “credo” yang berarti kepercayaan5, yang
dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.6
4
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), Hal. 10
5
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2001) Hal. 36.
6
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang
Usaha Mikro Kecil Menengah terbukti bertahan dalam krisis moneter tahun 1998
lalu memiliki peran strategis dan penting ditinjau dari berbagai aspek. Pertama jumlah
industrinya yang tersebar di setiap sektor ekonomi. Kedua, potensinya yang besar dalam
penyerapan tenaga kerja dimana setiap unit investasi pada sektor ini dapat menciptakan
lebih banyak kesempatan kerja jika dibandingkan dengan investasi yang sama pada
usaha besar.7
Dari sudut perbankan, pemberian kredit pada sektor ini dapat mendorong
penyebaran risiko. Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit pada usaha ini dengan
nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah debitur,
sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada kelompok atau sektor tertentu.
Selain itu, suku bunga kredit pada tingkat suku bunga pasar bukan merupakan masalah
utama, sehingga memungkinkan bank-bank memperoleh pendapatan bunga yang
memadai.
Akhir-akhir ini bank-bank semakin gencar mengenjot penyaluran kreditnya ke
sektor ritel. Berbagai produk kredit konsumsipun mereka munculkan. Salah satunya
yang belakangan ini semakin popular adalah Kredit Tanpa Agunan (KTA).8 Selama ini
nasabah tidak dapat mengakses kredit bank karena mereka tidak mampu menyediakan
agunan. Lazimnya bank menjadikan agunan sebagai faktor yang menentukan besar nilai
pinjaman yang akan disetujui, dan berapa besar bunga yang mereka kutip dari debitur
alias nasabah kreditnya.
7
Fransiscus A Purba, Meraih Peluang Kredit di Sektor Usaha Mikro Melalui Penyaluran Kredit
Wirausaha dengan Pola Kemitraan, (Jakarta: Pusdiklat Bank Artha Graha Internasional, 2007), hal 1. 8
Pada tanggal 5 November 2007, Pemerintah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat
(KUR) tanpa agunan dengan enam bank pelaksana yang turut terlibat dalam program
penjaminan UMKM. Enam bank tersebut adalah BRI, BNI, BTN, Bank Mandiri,
Bukopin dan Bank Syariah Mandiri. Besaran kredit yang disalurkan maksimal Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan bunga maksimal 16 % pertahun (efektif).9
Kredit Usaha Rakyat merupakan kredit program yang disalurkan menggunakan pola
penjaminan kredit bank diperuntukkan bagi pengusaha mikro dan kecil yang tak
memiliki agunan tetapi memiliki usaha yang layak dibiayai bank.10 Dalam pelaksanaan
program Kredit usaha Rakyat atau KUR, perbankan yang telah menandatangani
kesepakatan menjalani program KUR tetap tidak diperbolehkan meminta jaminan atau
agunan kepada pelaku usaha.11
Kredit usaha rakyat diperuntukkan bagi usaha mikro, kecil dan menengah rakyat
yang layak (feasible) namun belum memenuhi persyaratan perbankan (bankable). Yang
dimaksud dengan layak adalah suatu usaha yang ditinjau dari ekonomis
menguntungkan, dari segi teknis bisa dilaksanakan, dan dari segi ekologis dapat
diterima masyarakat dan tidak merusak lingkungan. Namun karena ketidakadaan
agunan serta persyaratan lainnya sehingga selama ini tidak dibiayai oleh perbankan
secara komersial.12
Walaupun program kredit usaha rakyat ini merupakan kredit tanpa agunan
tetapi seringkali bank tetap meminta agunan dengan dalil guna meningkatkan kualitas
9
Gunanto, Kredit Usaha rakyat Diluncurkan, Tempo Interaktif, 5 November 2007
10
Anonim, Bunga KUR Bisa Berubah, Kompas, tanggal 26 Mei 2008.
11
Anonim, Perbankan Tidak Boleh Meminta Jaminan, Kompas, 7 Juni 2008
12
kredit dalam upaya mengurangi risiko kredit macet dalam pengembalian kredit tersebut,
karena apabila kredit yang disalurkan tersebut macet tentu akan merugikan masyarakat
penyimpan dana di bank.13
Program kredit tanpa agunan ini pernah dicanangkan pada tahun 2004 dan PT. Bank
Artha Graha Internasional, Tbk ditunjuk pemerintah pada waktu itu menjadi salah satu
bank penyelenggara Kredit Tanpa Agunan.
PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk mengeluarkan produk Kredit tanpa
agunan dengan nama Kredit Wirausaha. atau disingkat KWU atau disebut juga Kredit
Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan adalah fasilitas kredit/ pembiayaan untuk investasi
atau modal kerja yang diberikan dalam mata uang rupiah kepada usaha mikro dengan
plafon kredit maksimum Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) perdebitur untuk
membiayai usaha yang produktif.14
Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.15
Perbankan diragukan salurkan Kredit Tanpa Agunan dikarenakan minimnya
peraturan perbankan dalam penyaluran Kredit Tanpa Agunan (KTA) menyurutkan
kemauan perbankan untuk turut serta.16 Hal ini dikarenakan jika kredit yang disalurkan
13
Anonim, Semua Perbankan Di Sumut Minta Agunan KUR, Medan Bisnis, 9 Juli 2008
14
Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Petunjuk Pelaksanaan dan
Pengeluaran Dokumen Kredit Wirausaha tanggal 29 Oktober 2007 15
Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 21 Mei 2004
16
itu macet dan karena tidak adanya agunan maka akan menyulitkan bank untuk
pengembalian dana yang disalurkannya.
Bank memiliki risiko tinggi dikarenakan dana yang disalurkan untuk pemberian
kredit berasal dari simpanan nasabah, dimana Bank harus membayar sebesar suku
bunga simpanan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kredit kepada nasabah, Bank
harus mencadangkan dana dengan besaran nilai tertentu, tergantung dari pada
kolektibilitas kredit.
Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006
tanggal 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.
7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR
tertanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet
yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu
saja membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di bank dengan perincian
sebagai berikut:17
1. Kredit Lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan waktu yang telah disepakati disebut juga Kolektibilitas 1.
2. Kredit dalam perhatian Khusus (Special Mention), yaitu apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari, disebut juga Kolektibilitas 2.
3. Kredit kurang lancar (Substandar), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari, disebut juga Kolektibilitas 3.
17
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang perubahan atas PBI 7/2/PBI/2005
4. Kredit diragukan (doubtful), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari, disebut juga Kolektibilitas 4.
5. Kredit Macet (loss), apabila terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 180 hari disebut juga Kolektibilitas 5.
Dalam Pemberian fasilitas kredit mengandung risiko tinggi terhadap operasional
karena apabila kredit tak terbayar maka akan dapat mempengaruhi modal bank dan juga
likuiditas bank.
Munculnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari
2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum telah membawa kecemasan
terhadap pihak perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank disebabkan
pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus, yaitu sebagai berikut:
1. 5% dari aktiva dengan kwalitas dalam status perhatian khusus setelah dikurangi dengan agunan.
2. 15 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status kurang lancar setelah dikurangi dengan agunan.
3. 50 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status diragukan setelah dikurangi dengan agunan.
4.
100 % dari aktiva dengan kwalitas dalam status Macet setelah dikurangi dengan agunan. 18
Dalam pemberian kredit, bank selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit. Salah satu prinsip yang dipedomani adalah prinsip collateral
(agunan), yang merupakan bagian dari prinsip pemberian kredit yang dikenal dengan
istilah Prinsip 5 C yang terdiri dari Character (kepribadian), Capacity (kemampuan),
Capital (modal), Condition of Economy (kondisi ekonomi), Collateral (agunan).
Prinsip Collateral (agunan) menghendaki adanya pemberian agunan oleh debitur.
Pemberian agunan adalah salah satu upaya untuk menjamin adanya pengembalian kredit
atau pelunasan kredit dari debitur. Dalam hal debitur wanprestasi, maka pihak bank
dapat mengeksekusi agunan dari debitur sebagai konpensasi pelunasan
hutang-hutangnya.
Dalam Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum disebutkan dalam rangka
menghindari kegagalan usaha bank sebagai akibat konsentrasi penyediaan dana dan
meningkatkan independensi pengurus bank terhadap potensi intervensi dari pihak
terkait, bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana antara lain
dengan menerapkan penyebaran/ diversifikasi portofolio penyediaan dana yang
diberikan.
Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan prinsip
mengenal nasabah. Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank
untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk
pelaporan transaksi yang mencurigakan, hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know
Your Customer Principles).
Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah sesuai dengan ketentuan yang
pemberian kredit bank umum, prinsip pemberian kredit yang sehat dan
prinsip-prinsip penerapan manajemen risiko.19
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan. Jadi kepercayaan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur yang merupakan hal penting, sedangkan agunan hanya merupakan unsur
pendukung, bukan unsur utama dalam pemberian kredit.
Kredit Tanpa Agunan atau jaminan ini menurut Undang-Undang Perbankan tahun
1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 ini
bisa direalisasikan karena Undang-undang Perbankan ini tidak secara ketat menentukan
bahwa pemberian kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sebaliknya menurut Undang-undang Pokok Perbankan tahun 1967 yang digantikannya,
pemberian kredit tanpa jaminan ini dilarang sesuai dengan Pasal 24 ayat 1, bahwa bank
umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.
Dari berbagai keadaan seperti yang dikemukakan diatas, maka diperlukan
kehati-hatian dari bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit tanpa agunan kepada
nasabah sebagai debitur, untuk itu calon peneliti mengangkat judul tesis “ Analisis
19
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian
Yuridis terhadap Pemberian Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan Pada PT. Bank Artha
Graha Internasional, Tbk, Cabang Medan ”.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka calon peneliti
merumuskan beberapa masalah dalam tesis ini, terdiri dari:
1. Bagaimana pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan menurut
ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk ?
2. Bagaimana peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate governance
pada bank ?
3. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank
Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian
kredit?
C. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan
menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2. Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate
governance pada bank.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT.
Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah
1) Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit oleh bank secara umum dan
menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional Tbk.
2) Untuk mengetahui peran direktur kepatuhan dan penerapan good corporate
governance pada bank.
3) Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT.
Bank Artha Graha Internasional, Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit.
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan serta masukan bagi pihak akademisi
khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan pihak terkait lainnya,
terutama pihak debitur dalam mengetahui hak dan kewajibannya dan pihak kreditur
(bank) dalam mengantisipasi pemberian kredit kepada nasabahnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang Kredit Tanpa Agunan telah pernah dilakukan sebelumnya dalam
lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan oleh
Iliana dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Kreditur Dalam Perjanjian Kredit
Tanpa Agunan” pada tahun 2005. Penulisan tesis ini menitik beratkan pada kriteria
penilaian yang dipergunakan kreditur sebagai syarat pemberian kredit tanpa agunan,
penelitian terhadap tingkat keberhasilan dan kegagalan kreditur dalam memperoleh
pengembalian kredit serta perlindungan hukum terhadap kreditur dalam penyelesaian
Sedangkan penelitian penulis dengan judul ”Analisis Yuridis Terhadap Pemberian
Kredit Wira Usaha Tanpa Agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk
Cabang Medan” menitik beratkan pada pengaturan pemberian kredit oleh bank secara
umum dan menurut ketentuan PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, peran direktur
kepatuhan dan penerapan good corporate governance pada bank dan pelaksanaan
pemberian kredit wirausaha tanpa agunan pada PT. Bank Artha Graha Internasional,
Tbk ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Dengan demikian penelitian ini mempunyai bidang penelitian yang berbeda
sehingga penelitian ini adalah asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.20
Teori adalah ungkapan mengenai hubungan kausal yang logis diantara perubahan
(Variable) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (Frame of Thingking) dalam memahami serta menangani segala permasalahan yang
timbul dalam bidang tersebut.21
Kerangka Teori yakni kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis si
penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982) Hal. 6
21
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak
setujuinya.22
Menurut pendapat Sugiyono mengenai fungsi dari kerangka teori selaras dengan
apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk
menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk memberikan
jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan.23
Teori yang dipakai dalam tesis ini adalah Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)
yaitu Teori yang mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan
kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.24
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kepercayaan merupakan kemauan
untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan
bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang
bersumber pada moral. 25
Menurut Kasmir, Kepercayaan merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa
kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima
kembali dimasa tertentu dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana
sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank baik secara
22
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994) Hal. 80
23
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfa Beta,1983) Hal. 200
24
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987) Hal.59.
25
intern maupun dari ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan
sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.26
Kepercayaan juga dikenal dengan istilah Fiduciary Transfer of Ownership atau
Fiduciary Eigendom Overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan
kepercayaan. Fidusia adalah perjanjian pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap
berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia ingkar
janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan
benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai dengan hak
preferensi yang diberikan undang-undang kepada kreditur.27
a. Perjanjian Pada Umumnya
Mengenai perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek). Dalam pasal 1313 KUH Perdata, pengertian perjanjian yaitu suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang lain atau lebih.28
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan (Verbintenis), sebagaimana
diatur dalam Pasal 1234 BW yang berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Subekti dalam bukunya mengenai Hukum Perjanjian menyebutkan bahwa suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
26
Kasmir, Bank & Lembaga Keuangan lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hal. 94
27
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fiducia; Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006) Hal. 30-31.
28
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.29 Selanjutnya
disebutkan lagi bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak
itu setuju untuk melakukan sesuatu.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan pada umumnya perjanjian tidak terikat
kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara
tertulis maka ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.30
Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan mengenai harta benda kekayaan
antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.31
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, Perjanjian atau Verbintenis mengandung
pengertian, suatu hubungan hukum harta kekayaan/ harta benda antara dua orang atau
lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.32
Syarat-syarat membuat perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu
untuk sahnya perjanjian disyaratkan adanya:
1) Kesepakatan para pihak
2) Cakap membuat perjanjian
3) Mengenai suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang Halal33
29
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT. Intermasa, 1979) Hal. 1
30
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., Hal. 89.
31
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981) Hal. 10
32
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986) Hal. 6
33
Subekti menggolongkan keempat syarat itu ke dalam dua bagian yaitu:
1) Mengenai subjek perjanjian
2) Mengenai objek perjanjian34
Mengenai Subjek perjanjian adalah:
a) Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan
hukum tersebut.
b) Ada sepakat yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar kebebasan
menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilapan atau penipuan)35
Mengenai objek perjanjian ditentukan ditentukan bahwa:
a) Apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk
menetapkan kewajiban masing-masing.
b) Apa yang diperjanjikan oleh masing-masing tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.36
Mengenai kapan terjadinya kata sepakat dalam suatu perjanjian, terdapat beberapa
teori yaitu:37
1) Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut theori ini kata sepakat terjadi pada saat kehendak dinyatakan oleh pihak penerima (acceptant) untuk mengadakan suatu perjanjian.
2) Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Teori ini mengajarkan bahwa kata sepakat telah terjadi pada saat dikirimkan pernyataan kehendak (jawaban) oleh pihak penerima tawaran.
3) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Menurut teori ini kata sepakat telah terjadi pada saat pihak yang menawarkan
(offerte) seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.
34
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 16
35
Ibid.
36
Ibid. 37
4) Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)
Teori ini mengatakan bahwa kata sepakat ini terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman dalam Hukum Perjanjian terdapat
beberapa asas, yaitu: 38
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut Pasal 1338 (1) KUH Perdata disebutkan;
“ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Jadi jika semua syarat-syarat perjanjian telah dipenuhi, maka perjanjian itu sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
2) Asas Konsensualisme
Asas ini ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata, dalam butir pertama berbunyi “ sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah esensial dari hukum perjanjian. Asas ini juga dinamakan asas konsensualisme.
3) Asas Kepercayaan
Kemauan untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
4) Asas Kekuatan mengikat
Terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian yang dibuat bukan saja hanya menyangkut apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain, sepanjang dikehendaki oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata.
5) Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam kedudukan yang sama derajatnya, tidak ada perbedaan dari segi apapun. Masing-masing pihak menghargai satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
6) Asas Keseimbangan
Asas ini mengatur kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu berdasarkan nilai yang seimbang sesuai dengan apa yang menjadi haknya di satu pihak dan apa yang menjadi kewajibannya di lain pihak.
7) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini tercermin dari kekuatan mengikat perjanjian yang dibuat itu sebagai undang-undang.
38
8) Asas Moral
Asas ini terdapat dalam Pasal 1358 KUH Perdata, yang menyatakan:
“ Pihak-pihak yang telah mewakili urusan orang lain dengan tiada mendapat perintah, tidak berhak atas sesuatu upah.”
Faktor penyebab pihak yang mewakili urusan orang lain (perbuatan hukum) tanpa perintah adalah berdasarkan kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. 9) Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
10) Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 dan 1347 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut: “persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
b. Pengertian Kredit dan Unsur-unsur Kredit
Setelah menghimpun dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan giro,
tabungan dan deposito adalah menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat
yang membutuhkan, dikenal dengan pengalokasian dana. Pengalokasian dana dapat
diwujudkan dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan kredit atau dengan
membelikan berbagai aset yang dianggap menguntungkan bank.
Untuk mengenal apa sebetulnya kredit, maka kata kredit berasal dari bahasa Latin
yang berarti “Credere“, yang artinya percaya, to believe, atau to trust.
Menurut UU No. 10 tahun 1998 menyebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga. Jika seseorang menggunakan jasa kredit, maka ia akan dikenakan bunga tagihan
Maksud percaya bagi si penerima kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit
bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian, sedangkan
bagi si penerima kredit merupakan penerima kepercayaan sehingga mempunyai
kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.
Selain pengertian Kredit yang terdapat dalam Undang-undang Perbankan, ada ada
beberapa pendapat para pakar mengenai definisi kredit, antara lain:
1. H.M.A. Savelberg menyatakan bahwa kredit mempunyai arti:
a) Sebagai dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut
sesuatu dari orang lain
b) Sebagai jaminan dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain
dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu. 39
2. J.A. Levy merumuskan pengertian dari kredit sebagai berikut:
“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas
penerima kredit”. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk
keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu
dibelakangan hari.40
3. M. Jklie berpendapat kredit adalah:
“Suatu ukuran kemampuan dari seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai
ekonomis sebagai ganti rugi dan janjinya untuk membayar kembali utangnya pada
tanggal tertentu”.41
39
Mariam Darus Balrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, ( Medan: Citra Aditia Abadi, 1991) Hal. 24
40 Ibid. 41
4. Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian kredit sebagai berikut:
“Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya
prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa yang tertentu akan datang disertai
dengan suatu kontra prestasi berupa bunga”.42
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/7/PBI/2002
tentang prinsip kehati-hatian dalam rangka pemberian kredit oleh Bank dari Badan
Penyehatan Perbankan Nasional, pengertian kredit lebih diperluas sebagai berikut:
“ Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atas kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dalam pemberian bunga termasuk:
a. pembelian surat berharga nasabah yang dilengkapi dengan Note Purchase Agrement (NPA).
b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang.
Pemberi Kredit disebut dengan kreditur, sedangkan penerima kredit disebut dengan
Debitur. Dalam KUH Perdata tidak dipakai istilah Debitor dan Kreditor tetapi dipakai
istilah si berutang (schuldenaar) dan berpiutang (Schuldeischer). 43 Menurut Pasal 1235
KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata dan Pasal 1239
KUHPerdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik
perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang.
42
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Tehnik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1989) Hal. 3
43
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan; memahami faillissementsverordening juncto
Teori hukum tentang tanggung jawab kreditur antara lain sebagai berikut:44
1) Teori Instrumentalitas
Dalam hubungan dengan tanggung jawab pihak kreditur, maka teori instrumentalitas mengajarkan bahwa kreditur akan bertanggung jawab secara hukum jika terdapat hal-hal yang merugikan pihak debitur atau pihak lain seandainya pihak kreditur ikut campur kelewat banyak dalam bisnis debitur, sehingga ”total” dan ”aktual” terhadap perusahaan dan bisnis debitur.
2) Teori Keagenan
Teori ini mengajarkan bahwa pihak kreditur akan bertanggung jawab secara yuridis atas kerugian pihak debitur atau pihak lainnya, seandainya kreditur tersebut mempunyai kekuasaan pengontrolan yang substansial terhadap kegiatan-kegiatan debitur. Sehingga hukum memandang pihak debitur hanya sebagai ”agen” saja dari pihak kreditur.
3) Teori Kemitraan De Facto
Teori ini mengajarkan bahwa dalam hal-hal tertentu, maka antara kreditur dengan debitur mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga hubungan tersebut oleh sektor hukum dipandang sebagai hubungan kemitraan (partnership). Sungguhpun antara kreditur dan debitur secara resmi tidak membentuk suatu hubungan kemitraan, tetapi secara de facto menunjukkan bahwa hubungan tersebut sebenarnya ada. Menurut teori ini, jika oleh hukum kemudiaan dianggap ada hubungan kemitraan, maka setiap kerugian terhadap pihak lain yang dilakukan oleh pihak debitur harus ditanggung bersama oleh debitur dan kreditur secara sendiri-sendiri untuk seluruhnya dan secara bersama-sama (jointly).
4) Teori tentang Perbuatan Melawan Hukum
Penerapan teori perbuatan melawan hukum terhadap penentuan tanggung jawab dari kreditur akan memberi arti bahwa jika dalam menata bisnisnya debitur, pihak kreditur ikut campur dan bahkan ada unsur kesengajaan atau minimal kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian bagi debitur/ orang lain. Maka dalam hal yang demikian, kreditur sudah semestinya bertanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
5) Teori Itikad Baik
Dalam hal ini dimaksudkan adalah bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lihat Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Karena itu, jika ada pelanggaran hukum oleh pihak kreditur, misalnya karena membuat perjanjian atau melaksanakan perjanjian tidak dengan itikad baik, sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain, maka kreditur mesti mengganti kerugian tersebut. Berdasarkan teori itikad baik inilah, maka terhadap kreditur dapat diambil tindakan tegas jika dia telah ternyata melakukan kolusi dengan pihak debitur.
44
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah
sebagai berikut:45
1. kepercayaan
Yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu dimasa datang. Kepercayaan ini diberikan oleh bank, dimana sebelumnya sudah dilakukan penelitian penyelidikan tentang nasabah bank baik secara intern maupun dari ekstern. Penelitian dan penyelidikan tentang kondisi masa lalu dan sekarang terhadap nasabah pemohon kredit.
2. Kesepakatan
Disamping unsur percaya di dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa berbentuk jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang.
4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macet pemberian kredit. Semakin panjang sutu kredit, semakin besar risikonya. Demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai maupun oleh risiko yang tidak disengaja, misalnya terjadi bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya.
5. Balas Jasa
Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa tersebut yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi ini merupakan keuntungan bank.
Pada dasarnya tujuan pemberian kredit berdasarkan kelayakan usaha, agar usaha
yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan akhirnya dapat
menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat di sekitarnya
45
c. Jaminan Kredit
Jaminan mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya
tagihannya, juga merupakan pertanggungjawaban debitur terhadap barang-barangnya.
Istilah jaminan dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan terdapat dalam Pasal 1
angka 12 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, agunan adalah:
“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayan berdasarkan prinsip syariah”.
Jadi agunan merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan agunan adalah untuk
mendapatkan fasilitas kredit dari bank. Unsur-unsur agunan, yaitu:46
1) Jaminan tambahan
2) Diserahkan oleh debitur kepada bank
3) Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
Dalam Pasal 24 angka 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1967 tentang perbankan
disebutkan “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.”
Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan
mengenai jaminan yaitu: “Dalam memberikan kredit, Bank umum wajib mempunyai
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan.”
Mengingat agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur
46
H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
untuk mengembalikan hutangnya, agunan hanya dapat berupa barang proyek atau hak
tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.47
Dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa segala kebendaan si penghutang,
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru
akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.
Jaminan dibedakan menurut sifatnya yaitu yang bersifat kebendaan dan jaminan
perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas
sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda
tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti
bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan lain-lain).
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan lansung
pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,
terhadap harta kekayaan debitur umumnya ( contoh: borgtoght).
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang
lainnya, dengan bentuk, yaitu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak
yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh
debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan
kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah,
47
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan
tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain.
Menurut Pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 1996, hak atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah:
a) Hak Milik (Kecuali tanah yang diwakafkan) b) Hak Guna Bangunan
c) Hak Guna Usaha d) Hak Pakai
Khusus hak pakai tersebut diatas harus memenuhi syarat: a) Hak pakai atas tanah Negara
b) Hak pakai tersebut dapat dipindahtangankan dan dipunyai oleh orang/ badan hukum perdata
c) Hak Pakai atas Hak Milik yang ketentuannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah
3) Fidusia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan
hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian
dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak
memenuhinya.
2) Perjanjian Garansi/ indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUH Perdata, yang berbunyi
meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang
tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah
menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga
tersebut menguatkan sesuatu jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
d. Kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil
adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan
bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Usaha mikro, kecil dan menengah mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi
dan memiliki peran yang strategis dalam struktur perekonomian nasional sehingga perlu
didukung pengembangannya.
Usaha mikro, kecil dan menengah yang selanjutnya disebut UMKM adalah
usaha-usaha yang memenuhi kriteria sebagai berikut:48
1) Usaha Mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia, secara individu atau tergabung dalam koperasi dan memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta pertahun) 2) Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;atau
b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah);
c) Milik Warga Negara Indonesia;
d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
e) Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi;
48
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/39/PBI/2005 tentang Pemberian Bantuan Teknis Dalam
3) Usaha menengah adalah usaha dengan kriteraia sebagai berikut:
a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
b) Milik Warga Negara Indonesia;
c) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar;
d) Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang berbadan hukum.
e. Kredit Wirausaha Tanpa Agunan
Kredit tanpa agunan dapat digambarkan sebagai kredit yang bisa digunakan untuk
segala macam keperluan, tanpa perlu menyerahkan barang untuk diagunkan
(dijaminkan). Kredit tanpa agunan biasanya dibatasi sampai dengan jumlah Rp. 50
juta.49
Kredit tanpa agunan dapat diartikan juga dengan Pinjaman tanpa jaminan atau juga
dikenal dengan istilah unsecured loans, artinya adalah merupakan pinjaman tanpa
adanya suatu aset yang dijadikan pinjaman tersebut maka keputusan pemberian kredit
semata adalah berdasarkan riwayat kredit dari pemohon kredit secara pribadi, atau
dalam arti kata lain bahwa kemampuan melaksanakan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman adalah merupakan pengganti jaminan.50
Menurut pendapat Safir Senduk, tujuan penggunaan kredit tanpa agunan ini
bermacam-macam, dapat dibagi menjadi beberapa bentuk pinjaman yaitu:51
1) Kredit Usaha
Adalah kredit yang digunakan untuk membiayai peputaran usaha atau bisnis
49
Safir Senduk, Tanpa Agunan Tetap Bisa Kredit, Tabloid Nova No. 691/XIV, tahun 2000
50
Dikutip dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses pada tanggal 8 April 2008
51
sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang produktif, seperti usaha perdagangan,
usaha industri rumah tangga, usaha jasa konsultasi, dan lain-lain.
2) Kredit Konsumsi
Kredit yang digunakan untuk membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, seperti
membeli rumah atau kendaraan pribadi. Karena uang itu oleh nasabah akan
digunakan untuk tujuan konsumtif, maka risiko bagi bank bahwa nasabahnya tidak
mampu membayar pinjamannya akan lebih besar sehingga pada umumnya suku
bunga yang dibebankan kepada nasabah untuk kredit konsumsi akan lebih besar
ketimbang bunga kredit untuk tujuan usaha.
3) Kredit Serba Guna
Adalah kredit yang bisa digunakan untuk tujuan apa saja, bisa untuk konsumsi
maupun untuk usaha.
Wirausaha merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata entrepreneur. Dalam
Bahasa Indonesia, pada awalnya dikenal istilah wiraswasta yang mempunyai arti berdiri
atas kekuatan sendiri. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi wirausaha, dan
entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan, yang mempunyai arti seorang
yang mampu memulai dan atau menjalankan usaha. 52
Keputusan seseorang untuk terjun dan memilih profesi sebagai seorang wirausaha
didorong oleh beberapa kondisi. Kondisi-kondisi yang mendorong tersebut pertama,
orang tersebut lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang memiliki tradisi yang kuat
dibidang usaha (confidence modalities), kedua, orang tersebut berada dalam kondisi
52
yang menekan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi dirinya selain menjadi wirausaha
(tension modalities), dan ketiga, seseorang mempersiapkan diri untuk menjadi
wirausahawan (emotion modalities).53
Tujuan kredit Wirausaha yaitu untuk memperluas kesempatan kerja dan
menciptakan tenaga kerja mandiri. Kredit ini ditujukan bagi calon tenaga kerja
profesional dengan latar belakang pendidikan S1, tenaga terampil yang terkena PHK
serta pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk berkembang. Kredit ini
digolongkan kredit komersial dengan kategori modal kerja.54
f. Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang
mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. Perjanjian kredit dapat
dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). Praktek
yang berlaku ialah, untuk kredit-kredit yang berjumlah besar biasanya perjanjian
kreditnya dibuat dengan akta notaris, sedangkan untuk kredit-kredit yang berjumlah
kecil, antara lain Kredit Usaha Kecil (KUK), cukup dibuat dengan akta di bawah
tangan.55
Mengenai perjanjian Kredit ini disebutkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia Nomor: 02/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan
Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum yang menyatakan bahwa setiap kredit
53
Ibid.
54
Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, Perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 1 Juni 2004
55
Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan; Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang
yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit
(akad kredit) secara tertulis.
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak
nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit
merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti.
Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus
karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana pihak kreditur adalah pihak
bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.56
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai pinjam pengganti,
seperti diatur dalam Pasal 1754, 1759, 1763 dan1765 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan Pinjam meminjam adalah perjanjian
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula.
Dalam Pasal 1759 KUH Perdata disebutkan orang yang meminjamkan tidak dapat
meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang
ditentukan dalam perjanjian.
56
Dalam Pasal 1763 KUH Perdata disebutkan siapa yang menerima pinjaman sesuatu
diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu
tertentu pula.
Dalam Pasal 1765 disebutkan adalah diperbolehkan perjanjian bunga atas
meminjamkan uang atau barang lain yang menghabis karena pemakaian.
Dalam perjanjian kredit, jaminan hutang mempunyai fungsi yang sangat penting
terutama dalam rangka pengamanan apabila kredit mengalami kegagalan.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka Konsep, yakni ia mendapat stimulant dan dorongan konseptualisasi untuk
melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya
sendiri mengenai suatu permasalahan.57
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi penelitian
ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep
diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal
khusus yang disebut definisi operasional.58 Pentingnya definisi operasional adalah
untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai, selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada
proses penelitian ini.59
57
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju, 1994) Hal. 80
58
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian (Jakarta: Raja Grafinso Persada, 1998) Hal. 3
59
Dalam melakukan penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar
sebagai berikut:
a. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.60
b. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah.61
c. Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau
lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.62
d. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau undang-undang.63
e. Utang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk
mata uang rupiah atau mata uang lainnya sebagai akibat perjanjian kredit dengan
jaminan fidusia.64
f. Perjanjian Kredit adalah suatu perbuatan dimana dua pihak saling berjanji, dengan mana bank berkewajiban menyediakan sejumlah dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu kepada pihak lainnya, dan berhak untuk menagihnya kembali setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan bunga. Kewajiban bank
60
Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11
61
Ibid, Pasal 1 angka 12 62
Tan Kamelo, Loc. Cit, Hal. 32
63 Ibid 64
merupakan hak dari pihak peminjam, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak peminjam merupakan hak bagi bank.65
g. Kredit Wirausaha merupakan kredit tanpa agunan yang ditujukan untuk calon professional yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana strata-1 dari disiplin ilmu siap pakai antara lain bidang tehnik mesin/ arsitektur/ elektro, kedokteran, pertanian/ perikanan/ peternakan, notaris dan lainnya serta bagi tenaga terampil/ terlatih dan karyawan yang terkena PHK maupun pengusaha mikro yang hendak dan memiliki potensi untuk dikembangkan.66
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan,
maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data
yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk
menjelaskan seperangkat data yang lain.67
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai tujuannya adalah
pendekatan yuridis normatif yang juga didukung data sekunder.
Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat
peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan
terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang
berlaku.68
65
H.R. Daeng Naja, Legal Audit Operasional Bank, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006) Hal. 127-128
66
Dokumen PT. Bank Artha Graha Internasional, Tbk, perihal Prosedur Kredit Wirausaha, tanggal 21 Mei 2004
67
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raga Grafindo Persada, 1997) Hal. 38.
68
2. Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada kantor PT. Bank Artha Graha
Internasional, Tbk, Cabang Medan. Adapun alasan memilih kantor ini sebagai lokasi
penelitian karena kantor ini bergerak dalam bidang perbankan dan merupakan salah
satu bank swasta yang ternama, maka sangat sesuai untuk dilakukan penelitian pada
kantor ini.
3. Sumber data Penelitian
Sumber data Penelitian yaitu data sekunder merupakan data yang dikumpulkan
melalui studi perpustakaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku hukum
atau tulisan ilmiah, kamus, yurisprudensi, majalah, Koran, internet dan referensi lainnya
yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini.
4. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Library research (Penelitian Kepustakaan), yaitu dengan cara mempelajari
peraturan-peraturan, karya ilmiah dan artikel serta dokumen-dokumen lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.
b. Field research (penelitian Lapangan), yaitu dengan cara mempelajari dokumen dan
wawancara dengan pejabat yang bertugas memberikan kredit di PT. Bank Artha
Graha Inte