• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konflik Sosial Tokoh Utama “Botchan” dalam Novel Botchan karya Natsume Soseki.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Konflik Sosial Tokoh Utama “Botchan” dalam Novel Botchan karya Natsume Soseki."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ANALIS NATSUM OKE Skrips Fak Meleng SIS KONFL NOVEL ME SOSEK ERU “BOT

i ini diajuk kultas Ilmu gkapi Salah

U

LIK SOSIA L “BOTCHA

KI NO SAK TCHAN” T TAIR

kan kepada u Budaya U h Satu Syar

JESSI M DEPARTE FAKU UNIVERSI AL TOKO AN” KARY KUHIN NO TO IU SHU RITSU NO

SKRIP a Panitia Uj Universitas rat Ujian S Jepan Oleh MEGA SIM NIM. 0607 EMEN SA ULTAS ILM ITAS SUM MEDA 2011 H UTAMA YA NATSU O “BOTCH UJINKO N BUNSEKI PSI jian Progra Sumatera Sarjana dal ng : MANJUNT 708038 STRA JEP MU BUDAY MATERA U AN 1 A “BOTCH UME SOSE HAN” NO S

NO SAKAI I

am Studi S Utara Med lam Bidang AK PANG YA UTARA HAN” DAL EKI SHOSETSU ITEKI NA Sastra Jepa dan untuk g Ilmu Sast

AM

U NI

ng

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.6 Metode Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA DAN KONFLIK SOSIAL 2.1 Defenisi Novel ... 16

2.1.1 Unsur Intrinsik ... 18

a. Tema ... 18

b. Penokohan ... 19

c. Alur atau Plot ... 21

d. Setting atau Latar ... 24

1. Setting Tempat ... 25

2. Setting Waktu ... 25

3. Setting Sosial ... 25

2.1.2 Unsur Ekstrinsik ... 30

2.1.3 Biografi Pengarang ... 30

(3)

2.3 Interaksi Sosial ... .38

2.4 Konflik Sosial ... 40

BAB III ANALISIS KONFLIK SOSIAL TOKOH UTAMA “BOTCHAN” DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI 3.1 Sinopsis Cerita ... 45

3.2 Konflik Sosial yang dialami Botchan ... 50

3.2.1 Konflik Sosial dengan Murid ... 50

3.2.2 Konflik Sosial dengan Sesama Guru ... 59

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ... 76

4.2. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Wellek dan Warren dalam Melani Budianto, (1995:109) sastra adalah instutusi sosial yang memakai medium bahasa yang “menyajikan kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Menurut Teeuw dalam Nyoman Kutha Ratna, (2005:4), sastra berasal dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.

Karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam sifat yaitu, karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non imajinasi (non fiksi). Menurut Aminudin (2000:66), sastra fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi kehidupan manusia terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusian, hidup dan kehidupan.

(5)

lebih lajut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, maupun cerita pendek.

Salah satu bentuk karya fiksi adalah novel. Menurut H. B. Jassin dalam Suroto, (1989:19) novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan kejadian secara luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh-tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.

Ada dua unsur pokok yang membangun sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut serta membangun karya sastra tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengarang dalam penulisan karyanya. Novel sebagai salah satu karya sastra fiksi memiliki kedua unsur tersebut. Salah satu unsur instrinsik yang akan ditelaah adalah tokoh cerita.

(6)

mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Tentunya dalam novel tersebut terdapat beberapa peristiwa kehidupan sang tokoh sehingga ia mengalami perubahan jalan hidup.

Pada penelitian ini, penulis akan membahas sebuah novel yang berjudul “Botchan” karya Natsume Soseki. Natsume Soseki merupakan seorang tokoh terbesar dalam kesusastraaan modern Jepang yang lahir di Tokyo pada tahun 1867. Soseki tidak diragukan lagi sebagai salah seorang pengarang Jepang yang terbesar. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya Soseki sampai sekarangpun tetap menarik dan tetap popular bagi orang Jepang, sedangkan orang-orang asing pun berlomba-lomba menerjemahkanya ke dalam bahasanya masing-masing. Karya Soseki adalah buah tangan pengarang Jepang yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, beberapa diantaranya, seperti Botchan dan Aku Seekor kucing, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris saja.

(7)

tersebutlah banyak masalah dan konflik yang dialami Botchan dengan orang di sekitarnya.

Di awal cerita, novel ini menceritakan kehidupan Botchan kecil yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya karena dianggap sebagai anak yang nakal. Hanya Kiyo sang pelayan tua yang sangat menyayangi Botchan, ia selalu bisa melihat sisi positif dan kejujuran dari seorang Botchan. Hubungan Botchan dengan ibu, ayah dan kakaknya tidak pernah baik hingga ayah dan ibunya pun meninggal dunia.

Lulus dari Sekolah Ilmu Alam Tokyo, Botchan menerima tawaran menjadi guru matematika di sekolah menengah pedesaan di Shikoku. Di sinilah cerita seperti benar-benar dimulai di mana sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan tidak suka kepura-puraan dan blak-blakan dipertemukan dengan dunia nyata di mana banyak sekali ketidakadilan, kemunafikan, dan kepura-puraan berada.

Semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, ia terlibat dalam berbagai konflik dengan rekannya sesama guru dan murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya.

(8)

dikerjai murid-muridnya yang nakal yang memasukkan belalang ke dalam futonnya ketika ia tugas malam di sekolah. Tentu saja Botchan marah besar dan menimbulkan keributan di sekolah karena muridnya tidak mau jujur mengakui kesalahan. Dan menurutnya kepala sekolah tidak dapat bersikap tegas. Karena Sifat Botchan yang selalu terus terang dan pemberani sering kali membuat ia mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam perjalananya sebagai seorang guru inilah Botchan banyak merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan sesama guru, masyarakat dan para muridnya. Ternyata tidak mudah menjadi seorang guru baru di desa terpencil. Botchan dianggap remeh dan tidak sopan oleh orang-orang disekitarnya karena memiliki sifat jujur, adil dan blak-blakan.

(9)

rekannya tersebut. Padahal sebelumnya si kepala guru berkata pergi ke tempat-tempat hiburan merusak disiplin sebagai seorang guru.

Bagi pembaca di dunia Barat alur cerita novel ini mungkin terasa tipis, dan mungkin bertanya-tanya mengapa buku ini begitu menarik bagi pembaca Jepang. Buku ini memiliki daya tarik yang besar bagi masyarakat Jepang. Sebagian dari daya tarik buku ini dapat ditemui pada sifat ksatria yang diembuskan Botchan dari suatu kemelut ke kemelut lain. Botchan tumbuh menjadi sosok yang idealis, jujur dan terkadang bersikap sinis terhadap orang lain. Botchan tidak tunduk pada seseorang atau suatu norma, ini yang membuatnya dicintai pembaca modern Jepang sampai sekarang, karena bahkan saat inipun orang Jepang terkungkung ketatnya tatakrama sosial.

Dari uraian di atas terlihat konflik sosial yang dialami sang tokoh utama Botchan dalam lingkungan pekerjaanya. Berdasarkan uraian di atas dan setelah membaca novel tersebut, maka penulis tertarik menulis skripsi yang berjudul “Analisis Konflik Sosial Tokoh Utama “Botchan” dalam Novel Botchan karya Natsume Soseki”.

1.2 Perumusan Masalah

(10)

Dalam novel ini diceritakan bahwa setelah lulus dari Sekolah Ilmu Alam Tokyo, Botchan menerima tawaran menjadi guru matematika di sekolah menengah pedesaan di Shikoku. Di sinilah konflik seperti benar-benar di mulai di mana sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan tidak suka kepura-puraan dipertemukan dengan dunia nyata dimana banyak sekali ketidakadilan, kemunafikan orang-orang yang bermuka dua dan penjilat berada. Dan semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, Botchan terlibat dalam berbagai konflik dengan rekannya sesama guru dan murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Kejujuran serta kepolosan dan sifatnya yang blak-blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru dan para murid. Dia mendapat masalah dengan adanya penipuan, pencemaran nama baik, hingga perkelahian, semua hal yang menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di sekelilingnya

Dalam perjalanannya sebagai seorang guru, Botchan banyak merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan sesama guru, masyarakat dan para muridnya. Ketidaksesuain hati terhadap kondisi yang dihadapinya sehari-hari inilah yang menjadi pembangunan alur cerita dan konflik dalam novel Botchan. Kejujuran dan keteguhan hati Botchan serta pesan moral yang ingin di sampaikan penulis dalam cerita inilah yang membuat novel ini menarik. Botchan betul-betul menampilkan karakter dirinya sendiri.

(11)

1. Bagaimanakah kondisi sosial dalam novel Botchan karya Natsume Soseki?

2. Bagaimanakah konflik sosial yang dialami oleh tokoh utama “Botchan” dalam novel Botchan karya Natsume Soseki?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalun luas, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah konflik sosial yang dihadapi tokoh utama “Botchan” dalam novel Botchan. Tokoh Botchan merupakan seorang pemuda Tokyo yang pergi ke sebuah sekolah desa untuk mengajar Matematika. Ia mempunyai sifat jujur, adil, idealis, blak-blakan, dan terkadang bersifat sinis terhadap orang lain yang menimbulkan banyak masalah dan konflik dengan orang di sekitarnya, khususnya di lingkungan pekerjaanya di sebuah sekolah desa. Kejujuran dan sifatnya yang blak-blakan sering bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya.

(12)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1) Tinjauan Pustaka

Menurut Aminudin (2000:66), sastra fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi kehidupan manusia terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.

Menurut Selo Soemarjan dan Soemardi dalam Soekanto, (2000:21) Sosiologi adalah ilmu yang memepelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Interaksi sosial menurut Soekanto (2003:61) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).

(13)

adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan dan perilaku.

(http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan-integrasi-sosial.html).

Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

- Perbedaan antar individu; merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang. Sebagai contoh anda ingin suasana belajar tenang tetapi teman anda ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut teman anda itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam diri anda. Sehingga terjadi konflik.

- Perbedaan kebudayaan; kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya.

- Perbedaan kepentingan; setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

- Perubahan sosial; perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.

(14)

studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakatnya.

Menurut Swingewood dalam Tarihoran, (2009:8), sosiologi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif, yaitu:

a. Perspektif Teks Sastra

Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya.

b. Persefektif Biografis

Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Persfektif ini akan berhubungan dengan life story seorang pengarang dan latar belakang sosialnya.

c. Persfektif Reseptif

Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. 2) Kerangka Teori

(15)

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang menjadi acuan bagi penulis dalaam menganalisis karya sastra tersebut. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotika di dalam menganalisis karya sastra ini. Pendekatan semiotika adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda. Hal ini sesuai dengan pengertian semiotik sebagai ilmu tanda, yang memandang fenomena sosial dan budaya sebagai sistem tanda, Preminger dalam Wiyatmi, (2009:92). Dengan menggunakan pendekatan semiotika dalam menganalisis penulis dapat mengetahui konflik sosial yang dialami tokoh “Botchan” melaui interaksi-interaksi tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain dalam lingkungan masyarakatnya, khususnya lingkungan pekerjaan dalam novel ini melalui dialog atau komunikasi antar tokoh, dan adanya kontak sosial.

Konflik dalam sebuah karya fiksi sangatlah penting dalam pembentukan alur cerita. Ada dua elemen yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman atau individualistis dan kemauan beradaptasi, Stanton (2007:13).

(16)

tokoh lain dalam novel ini. Menurut Soemarjan dan Soemardi dalam Soekanto, (2000:21) sosiologi adalah ilmu yang memepelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Menurut Gillin and Gillin, konflik adalah bagian dari sebuah proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan dan perilaku. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto konflik adalah suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan /atau kekerasan dalam (http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan-integrasi-sosial.html .

Menurut Susan Novri (2009:4), manusia adalah makluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah fihak yang bersebrangan.

(17)

lifelikeness (kesepertihidupan). Tokoh cerita menempati sebagai posisi yang strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1) Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial novel ”Botchan” karya Natsume Soseki.

2. Untuk mendeskripsikan konflik sosial yang dihadapi tokoh utama Botchan melalui interaksi sosial tokoh utama Botchan dengan tokoh-tokoh lain di dalam novel Botchan.

2) Manfaat penelitan Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi, khususnya dalam novel “Botchan” karya Natsume Soseki.

2. Menambah wawasan tentang Natsume Soseki sebagai salah seorang penulis terbesar dalam sejarah kesusastraan Jepang.

(18)

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah Penelitian, tentulah dibutuhkan sebuah metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian sastra ini adalash metode deskriftif. Metode deskriftif digunakan karena penelitian ini terbatas untuk mengungkapkan pada suatu masalah sebagaimana adanya sehinnga sekedar mengungkapkan fakta. Koentjaraningrat (1976:30) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, atau kelompok tertentu.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan karya sastra, kritik sastra, dan buku-buku panduan analisis sosiologis dalam karya sastra serta tambahan literatur tambahan lainnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, DAN KONFLIK SOSIAL

2.1 Defenisi Novel

Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita. Karya fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novellet, maupun cerpen, Aminudin (2000:66.)

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Bentuk karya fiksi yang terkenal saat ini adalah novel. Sebagai genre sastra termudah, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan minat banyak kalangan. Novel adalah karya fiksi yang mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan. Nilai-nilai keindahan yang terdapat di dalamnya memberikan kenikmatan bagi pembacanya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memberikan manfaat.

(20)

semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan.

Sesuai dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiantoro (1995:4), yaitu dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Novel berasal dari bahasa Italia novella. Secara harafiah, novella berarti sebuah “barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”, Abrams dalam Nurgiyantoro, (1994:9). Dewasa ini novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek.

Menurut Jacob Sumardjo (1999:11), novel adalah cerita, dan cerita digemari manusia sejak kecil. Dan tiap hari manusia senang pada cerita, entah faktual, untuk gurauan, atau sekedar ilustrasi dalam percakapan. Bahasa novel juga bahasa denotatif, tingkat kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi novel mudah dibaca dan dicernakan. Juga novel kebanyakan mengandung suspense dalam alur ceritanya, yang gampang menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

(21)

menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan perubahan nasib.

2.1.1. Unsur Intrinsik Novel a. Tema

Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiantoro (1995:67), tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana dapat dinyatakan sebagai tema itu. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan isi cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan sacara eksplisit.

(22)

Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.

Tema yang ingin diangkat oleh pengarang dalam cerita novel Botchan adalah moralitas. Menceritakan kehidupan tokoh utama yang bernama Botchan yang pergi dari Tokyo ke pedalaman Shikoku untuk menjadi seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama. Karena sifat jujur, blak-blakan, dan anti ketidakadilan yang dimilikinya, Botchan banyak mengalami pertentangan dan konflik dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, khususnya di lingkungan sekolah tempat Botchan mengajar. Botchan terlibat konflik dengan rekan sesama guru yang dinilai Botchan munafik dan pura-pura baik dan juga murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar.

b. Penokohan

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

(23)

1. Paling terlibat dengan makna atau tema. 2. Paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. 3. Paling banyak memerlukan waktu penceritaan,

Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya (Aminuddin, 2000:80).

(24)

c. Alur atau Plot

Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam, Aminuddin (2000:83).

Dalam cerita fiksi urutan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminudin (2000:84), menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

- Exposition : Tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.

- Inciting Force: Tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku.

- Rising Action: Situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik.

- Crisis : Situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh para pengarangnya.

- Climax: Situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri. - Falling Action : Kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan

(25)

Dalam novel “Botchan”, tahapan peristiwa dalam alur suatu cerita juga tersusun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage dan Henshaw, yaitu dalam tahapan:

- Exposition: Di dalam novel Botchan, pada awal cerita dijelaskan kehidupan tokoh Botchan di dalam keluarga, kemudian lulusnya tokoh Utama Botchan dari Sekolah tinggi ilmu alam Tokyo. Ia menerima pekerjaan sebagai seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku. Kemudian menjelaskan pelaku lain yang mendukung cerita seperti kepala sekolah yang dijuluki Tanuki oleh Botchan, kepala guru yang dijuluki Botchan si Kemeja Merah, Hotta seorang guru Matematika senior, guru seni yang dijuluki Botchan si Badut, Koga guru bahasa inggris, dan murid-murid di sekolah tempat Botchan mengajar.

- Inciting Force: Dalam tahap ini di dalam novel Botchan digambarkan keadaan hari pertama Botchan mulai mengajar dimana salah satu muridnya memberikan soal matematika yang mustahil untuk dipecahkan. Kemudian Botchan berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali. Hal itu langsung menimbulkan cemooh dari murid-muridnya. - Rising action: Dalam tahapan ini digambarkan di mana ketika tokoh

(26)

yang diperbuat. Kepala sekolah juga tidak dapat bersikap tegas terhadap kenakalan para murid. Botchan berkata “pendisiplinan macam apa ini?”.

- Crisis: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan tokoh Botchan menolak kenaikan gaji yang ditawarkan oleh kepala guru (Kemeja Merah). Kemeja Merah dengan licik memanfaatkan jabatannya untuk mentransfer Koga seorang guru bahasa inggris dengan maksud merebut tunangannya Koga. Kemeja merah berkata bahwa sekolah punya uang lebih karena kepindahan Koga dan menawarkan kenaikan gaji kepada Botchan. Hal ini tentu saja di tentang Botchan. Botchan berkata “aku bukanlah manusia berhati kejam yang tanpa malu mengambil gaji orang yang ditransfer di luar kemauanya”.

- Climax: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan dimana tokoh Botchan dan tokoh Hotta memergoki Kepala guru dan rekannya yang penjilat guru seni yang dijuluki Botchan si Badut berkunjung ke Kadoya (rumah bordil). Padahal sebelumya kepala guru berkata seorang guru akan merusak disiplin bila pergi ke tokoh mi dan dango. Hotta dan Botchan pun melayangkan tinju kepada kepala guru dan si guru seni, yang mereka anggap sebagai keadilan.

(27)

hidup bersama pengasuhnya Kiyo. Botchan berkata akupun begitu bahagia, ”aku takkan pernah ke pedesaan lagi”. Botchan mendapat pekerjaan sebagai asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company.

c. Setting

Lattar atau setting yang disebut juga sebagi landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana pada dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh ada terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah dalam menggunakan daya imajinasinya. Disamping itu juga berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuan tentang latar. Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang digambarkan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkanya.

(28)

1. Latar Tempat.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Diskripsi tempat secara mendetail, spesifik dan realistis penting untuk memberI kesan kepada pembaca seolah-olah situasi yang dilukiskan sungguh-sungguh terjadi di tempat yang di ceritakan itu. Latar atau setting tempat dalam Novel Botchan adalah di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku.

2. Latar Waktu.

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang dicerikan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu dalam cerita Botchan digambarkan sekitar tahun 1895 yaitu pada zaman Meiji.

3. Latar Sosial.

(29)

Dalam Masyrakat Jepang dalam hal bersikap, terutama dalam berinteraksi dan berkomunik dikenal istilah “honne” dan “tatamae”. Honne adalah sikap yang berhubungan dengan isi hati atau perasaan yang sebenarnya, sedangkan tatamae adalah sikap atau tindakan yang tampak dari luar. Honne dan Tatamae telah menjadi kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dan bagi masyarakat Jepang dua hal ini sangat penting dalam menjaga wa (harmoni, kedamaian dan keselarasan) dan hubungan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Untuk menjaga wa tetap hidup, masyarakat Jepang berusaha untuk tidak terlalu terbuka dalam mengekspresikan keinginan dan pendapat pribadinya. Mengorbankan kepentingan dan pendapat pribadi untuk menciptakan wa. Selain itu mengungkapakan perasaan dan keinginan secara langsung bisa menyakiti perasan orang lain, yang dapat berakhir pada pertengkaran (www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126761-RB08P38b...Analisis.pdf).

(30)

Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Menurut masyarakat jepang, konflik dan konfrotasi secara serius dapat dapat memutuskan hubungan yang harmonis. (http://rainhardkun.blogspot.com/2008/09/giri-ninjo-honne-tatemae-dan-wa

dalam.html.

Pada umumnya satu pembicaraan merupakan Khotbah sepihak, gaya komunikasi “saya setuju sepenuhnya”, yang tidak memungkinkan timbulnya pandangan yang bertentangan. Contohnya, secara khusus pihak yang muda setiapa kali akan mengambil langkah menghindarkan konfrontasi terbuka dengan atasannya. Usaha seperti itu menyebabkan bentuk-bentuk sangkalan jarang dipergunakan dalam pembicaraan: orang akan lebih suka diam daripada mengucapkan kata-kata seperti “tidak” atau “saya tidak setuju”. Akar dari usaha menghindarkan terungkapanya penyangkalan terbuka dan sungguh-sungguh itu akan merusak keselarasan sehingga menyakitkan perasaan orang yang lebih tinggi statusnya dan dalam lingkungan ekstrem hal itu dapat menimbulkan risiko terbuang dari kelompok sebagai anggota yang tidak dikehendaki, Nakane (44:1981).

(31)

bertindak sesuai dengaan pola itu, bukan kalau ia berusaha mengubah atau melawan pola itu, Benedict (1982:77).

Keberadaan Honne dan Tatamae ini juga terungkap melalui tokoh Botchan dalam novel Botchan karya Natsume Soseki. Karena tokoh Botchan yang selalu bersifat terbuka, terus-terang dan blak-blakan dalam mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi/Honne-nya terhadap orang-orang di lingkungan sekitarnya khususnya di lingkungan tempat Botchan mengajar menimbulkan ketidaksukaan dari orang-orang di sekitarnya yang berujung pada terjadinya konflik.

(32)

Sifat Botchan yang selalu terus terang seringkali membuat dia mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Kejujuran, anti ketidakadilan dan sifatnya yang blak-blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya. Botchan tidak saja menerima pertentangan dari rekannya sesama guru tapi juga murid-muridnya. Dia tidak sungkan menegur dan bicara blak-blakan kepada murid-muridnya yang nakal dan juga kepada rekan-rekan sesama guru. Botchan tidak peduli bagaimana pandangan sosial masyarakat sekitarnya pada dirinya dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya.

Dalam perjalananya sebagai seorang guru, Botchan merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan masyarakat di tempat Botchan mengajar, khususunya rekan sesama guru, dan murid-muridnya yang nakal yang suka mengerjai Botchan. Ketidaksesuaian hati terhadap kondisi yang dihadapinya sehari-hari inilah yang menjadi pembangunan alur cerita dan konflik di dalam novel Botchan.

(33)

2.1.2. Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsur intrinsik. Perhatian terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra.

Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana terjadinya interaksi sosial, proses-proses sosial dan masalah-masalah sosial antar individu dengan individu, individu dengan kelompok bahkan sebaliknya, yang mengadakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Berbicara tentang konflik sosial tokoh utama dalam suatu karya sastra, berarti kita berbicara unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Manusia dalam berinteraksi dan berhubungan dengan individu lain pasti tidak terlepas dari konflik, karena manusia adalah makluk konfliktis yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa.

2.1.3 Biografi Natsume Soseki

(34)

Demikianlah dia pun mempelajari bahasa dan sastra Cina klasik, sebagai salah satu pelajaran utama dalam pendidikan zaman Edo. Selama setahun mempelajari Sastra Cina di sekolahnya menimbulkan kecintaan Soseki pada sastra Cina dalam dirinya sepanjang hidup. Pada tahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karir, meskipun tidak menjelaskan apakah sebagai penulis atau peneliti akademis. Soseki masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.

Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dari dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah pengecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Baratlah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris. Soseki adalah sarjana kedua yang lulus dari Universitas Kerajaan (yang kemudian menjadi Universitas Tokyo atau Tokyo Daigaku) di Tokyo jurusan bahasa Inggris (yang dibuka 1888) dan kemudian ia pun beberapa lama mengajarkan sastra Inggirs di universitas tersebut di samping beberapa sekolah lain. Ia tamat dari Universitas Kerajaan pada tahun 1893. Ia pun menerima pengangkatan sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Guru di Tokyo.

(35)

dan dan hidup berbahagia, sampai tahun 1900 ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai orang yang mendapat beasiswa pemerintah ke Inggris. Dua tahun lebih tinggal di London membuat Soseki frustasi. Ia mengurung diri dalam kamar dan membaca terus-menerus, mula-mula tentang sastra, tetapi kemudian juga tentang berbagai ilmu yang lain, terutama psikologi dan filsafat. Ia sendiri mengganggap pengalamanya di London sebagai yang paling tidak meyenangkan dalam hidupnya. Keadaan sedemikian rupa sehingga ia mengalami guncangan saraf yang sejak itu terus merundungnya sepanjang hidup.

Awal tahun 1903 ia tiba kembali ke tanah airnya, dan mengajar di Akedemi Nasional Pertama di Tokyo. Ia pun kemudian mengajarkan sastra Inggris di Universitas Kerajaan. Cara Soseki mengajar dianggap kering dan membosankan, sehingga dia tidak disukai oleh para mahasiswa. Tetapi pada waktu itu pulahlah dia memberikan serangkaian kuliah yang mengemukakan pandangan-pandanganya tentang sastra pada umumnya, dan sastra Inggris serta sastra Jepang pada khususnya, seperti “Konsep umum tentang sastra”, ”Tentang sastra”, Sastra Inggris abad ke-18.

(36)

hidup pada masa yang sangat menentukan dalam sejarah Jepang. Dalam dunia sastra zaman Meiji paruh yang pertama merupakan zaman pemindahan karya-karya barat ke dalam bahasa Jepang dan hal itu menyebabkan pengaruh Barat merajalela dalam karya sastra bahasa Jepang yang ditulis pada paruh kedua zaman tersebut. Sebagai orang yang mendalami sastra Barat, terutama sastra Inggris, Soseki melihat bahwa sastra Jepang tidak boleh menyangkal fitrahnya.

Walaupun begitu Soseki bukan pula seorang yang terbakar oleh semangat nasionalisme yang sempit. Kalau dia melihat kekurangan-kekurangan pada modernisasi ataupun pada kebudayaan Barat, bukan berarti dia menolak secara apriori terhadapnya. Para peneliti tentang Soseki pun sama-sama melihat bahwa pada karya-karya Soseki tampak pengaruh para pengarang Inggris. Tetapi para peneliti itu pun sepakat, bahwa pengaruh dari para pengarang Barat itu diimbanginya dengan keeratannya pada akar budaya Jepang sendiri, sehingga karya-karyanya merupakan sesuatu yang orisinil. Karyanya yang paling terkenal, Botchan misalnya memperlihatkan pengaruh dari bahasa roman-roman lucu masa itu. Sebagai seseorang yang lahir di Edo (Tokyo), Soseki memang akrab sekali dengan kebudayaan Edo, hal mana tampak bukan saja pada gaya bahasa yang dipakainya menulis Botchan, melainkan dengan caranya menyebut tokoh-tokohnya dengan nama ejekan. Dengan begitu karyanya diakui memang berbeda sekali dengan karya sastra jepang pada masa itu, baik dalam bentuk, gaya bahasa, maupun karakteristiknya.

(37)

mereka mengadakan pertemuan sekali seminggu. Di antara pesertanya ada Komiya Toyotaka yang kemudian menulis biografi Natsume Soseki yang lengkap dengan Akutagawa Ryuunosuke (1892-1927) yang kemudian juga jadi terkenal sebagai salah seorang sastrawan Jepang modern yang penting. Pada waktu itu terbit Tiga Cerita (Uzurakugo, 1906) yang terdiri atas Botchan, Bantalan Rumput (Kusamakura) dan Hari Angin ribut (Nihyakutooka). Botchan (1906) sangat popular dan bersama Aku Seekor Kucing (1904) merupakan karya Sooseki yang paling terkenal. .

Pada bulan Februari 1907 dia menerima tawaran dari Asahi, surat kabar terbesar di Jepang pada waktu itu untuk bekerja sebagai penulis cerita. Soseki meninggalakan pekerjaannya sebagai pengajar di universitas karena ia melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadi penulis kreatif secara penuh. Keputusan itu menggegerkan kalangan universitas dan kawan-kawanya. Tidak pernah terjadi sebelumnya ada orang yang mau melepaskan kedudukan terhormat dan terjamin sebagai pengajar di universitas pemerintah untuk masuk ke sebuah perusahaan swasta yang tidak jelas masa depannya. Tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan Soseki tidaklah keliru. Bukan saja untuk dirinya pribadi, melainkan juga bagi dunia kesusastraan Jepang. Dengan meninggalakan universitas, Soseki telah memperkaya khazanah sastra Jepang.

(38)

sastra yang hendak diberikan oleh pemerintah. Soseki merasa tersinggung karena menganggap hak asasinya sebagai individu dilanggar karena dia tidak ditanya suka atau tidak menerima gelar kehormatan itu. Dia ingin hidup sebagai manusia biasa. Memang Soseki dikenal eksentrik, tetapi hanya dalam hal-hal yang menyangkut prisip dasar yang dianutnya saja.

Dalam uraiannya yang berjudul “Dasar filsafat sastra dan seni” Soseki menyebut tentang empat macam akibat yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra terhadap pembacanya, yaitu yang disebutnya sebagai sesutau keindahan, kebenaran, kebaikan dan kepahlawanan.

Nuansa satir ringan dalam karya-karya awalnya kemudian digantikan dengan Koofu (1908), Sanshiroo (1908), dan Sorekara (1909) yang bernada serius. Meski berjuang melawan sakit parah, termasuk dalam karya sastra Soseki pada dekade terakhir hidupnya antara lain Mon, Kojin (1913), dan Kokoro (1914), kemudian memuncak pada novelnya yang tidak selesai, Meian (1916) yang merupakan sebuah studi pengasingan dan kesepian. Ia meninggal di tahun 1916.

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra

(39)

menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu, Swingewood dalam Faruk (1994:11).

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyrakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra (Endraswara, 2008:77).

Sosiologi sastra dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harafiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yakni teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Dalam sosiologi sastra yang jelas mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer, Ratna (2005: 18). Teori- teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek ekstrinsik.

(40)

lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama.

Adapun wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren dalam Damono (1984:3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra yaitu:

1. Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sabagai penghasil sastra. 2. Sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, yang

menjadi pokok penelaan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

(41)

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggapa sebgai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati dengan demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.

Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya

2.3 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilakan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian (konflik) dan sebagianya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.

(42)

berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan saling berkelahi. Aktivitas-aktivitas samacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Adanya kontak sosial (social contact) 2. Adanya komunikasi.

Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya meyentuh), jadi artinya secara harafiah adalah bersama-sama meyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa meyentuhnya, seperti misalnya, dengan cara berbicara dengan pihak lain tersebut.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: 1. Antara orang perorangan.

2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya.

3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainya. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau pertikaian (konflik).

(43)

tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.

Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadi kerja sama. Akan tetapi tidak selalu komunikasi menghasilkan kerja sama bahkan suatu pertikaian/konflik mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing- masing tidak mau mengalah. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Konflik terjadi sesudah timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak lain.

2.4 Konflik Sosial

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik).

(44)

yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian (conflict). Perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga masing-masing berusaha untuk saling menghancurkan. Perasaan mana biasanya berwujud amarah dan rasa saling benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan menghancurkan individu atau kelompok yang menjadi lawan. Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuanya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan/atau kekerasan.

Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata–kata yang mengandung amarah ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik).

Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

(45)

anda itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam diri anda. Sehingga terjadi konflik.

- Perbedaan kebudayaan; kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial anta rindividu atau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga berakibat konflik.

- Perbedaan kepentingan; setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

- Perubahan sosial; perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.Sebagai contoh kaum muda ingin merombak pola perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya. Maka akan timbulah konflik diantara mereka.

Pertentangan atau konflik mempunyai beberapa bentuk khusus:

(46)

2. Pertentangan rasial. Misalanya, pertentangan antara orang-orang Negro dengan orang-orang kulit putih di Amerika Serikat

3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya ia disebabkan oleh perbedaan kepentingan.

4. Peretentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat.

5. Pertentangan yang bersifat internasional.

Berdasarkan Sifatnya konflik dapat di bagi menjadi dua, yaitu:

- Konflik destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok orang. Pada titik tertentu konflik ini dapat merusak atau menghancurkan sebuah hubungan.

- Konflik konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan.

(47)
(48)

BAB III

ANALISIS KONFLIK SOSIAL TOKOH BOTCHAN DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI.

3.1 Sinopsis Cerita

Natsume Soseki merupakan seorang tokoh terbesar dalam kesusastraaan modern Jepang yang lahir di Tokyo pada tahun 1867. Salah satu novel yang telah dihasilkan oleh Natsume Soseki adalah novel yang berjudul “Botchan”, yang dibuat tahun 1906. Di awal cerita, novel ini menceritakan kehidupan Botchan kecil yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya karena dianggap sebagai anak yang nakal. Kedua orang tuanya bersikap tidak adil kepada Botchan karena hanya menyayangi kakak laki-lakinya. Hanya Kiyo sang pelayan tua yang sangat menyayangi Botchan, ia selalu bisa melihat sisi positif dan kejujuran dari seorang Botchan. Hubungan Botchan dengan ibu, ayah dan kakaknya tidak pernah baik hingga ayah dan ibunya pun meninggal dunia.

Ketika warisan itu dimiliki sang kakak, ia pun lantas menjualnya dan membuat Botchan harus keluar dari rumah dan tinggal di losmen sementara Kiyo harus tinggal di rumah keponakannya dan dengan sangat menyesal tidak bisa lagi mengabdi kepada keluarga itu. Namun, kakaknya hanya memberikan Botchan uang sebesar 600 yen yang digunakan untuk melanjutkan kuliah ataupun membuka usaha. Botchanpun pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Ilmu Alam Tokyo.

(49)

menyenangkan, dimana salah satu muridnya memberikan soal matematika yang mustahil untuk dipecahkan. Kemudian Botchan berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali. Hal itu langsung menimbulkan cemooh dan kericuhan dari murid-muridnya. Botchan berkata di mana salahnya mengaku bila kau tidak mampu?

Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya dengan menemukan tulisan ‘SENSEI TEMPURA’ tertulis di papan tulis.

(50)

kepala sekolah, karena Botchan menganggap kepala sekolah telah bersikap lembek terhadap kenakalan siswa.

Botchan terlibat perseteruan/konflik terselubung dengan Kepala Guru yang di beri julukan si Kemeja Merah oleh Botchan, yang dinilai Botchan munafik, licik dan pura-pura baik, sok intelek dan merasa superior. Ia memanfaatkan jabatannya untuk merebut tunangan orang lain seorang guru bahasa Inggris yang lebih rendah jabatannya yang bernama Koga, dan akhirnya guru tersebut dipindah tugaskan ke daerah yang sangat terpencil. Kemeja menawarkan kenaikan gaji kepada Botchan, karena sekolah mempunyai uang lebih akibat kepindahan Koga. Hal ini tentu saja langsung ditolak oleh Botchan karena ia tahu kepindahan Koga adalah siasat yang dilakukan oleh Kemaja Merah dan bukan atas kemauan Koga sendiri.

(51)

Sekolah libur untuk merayakan kemenangan tentara Jepang atas Cina. Semua staf guru dan murid-murid harus hadir dalam upacara di lapangan parade kota. Malamnya diadakan pertunjukan dan acara hiburan perayaan kemenangan. Adik Kemeja merah yang juga merupakan murid di sekolah tempat Botchan dan Hotta mengajar datang ke rumah Botchan untuk menanyakan apakah Hotta dan Botchan akan menghadiri pertunjukan malam itu. Botchan dan Hotta pun datang dalam pertunjukan perayaan kemenangan. Ketika menikmati pertunjukan tari dari Tokyo, tiba-tiba adik Kemeja Merah datang mengadu kepada Botchan dan Hotta dan berkata bahwa murid-murid dari sekolah tempat Botchan dan Hotta mengajar terlibat perkelahian dengan murid-murid dari sekolah kejuruan. Botchan dan Hotta berteriak dan berusaha untuk menghentikan perkelahian yang sedang terjadi tetapi malah Botchan dan Hotta yang dipukul dan dilempari batu oleh murid-murid. Botchan dan Hotta tidak terima karena perlakuan murid-murid dan membalas pukulan yang mereka terima dari murid-murid. Ketika polisi tiba di lokasi kejadian, murid-murid kabur. Hotta dan Botchan menceritakan semua kejadian kepada polisi, setelah itu mereka pun pulang ke rumah.

(52)

yang mengatur supaya mereka terlibat dalam perkelahian itu karena adik Kemeja Merah yang memanggil Botchan dan Hotta untuk menghadiri perayaan kemenangan dan memberitahukan perkelahiaan yang terjadi. Kemudian Kemeja Merah langsung pergi ke kantor surat kabar dan menyuruh menulis artikel tentang itu. Hotta kemudian diberhentikan dari sekolah karena insiden perkelahian dan artikel surat kabar tersebut tetapi Botchan tidak diberhentikan oleh kepala sekolah. Botchan protes kepada kepala sekolah kenapa Hotta dipecat sedangkan ia tidak, karena ia dan Hotta sama-sama terlibat dalam perkelahian dengan murid-murid. Menurut Botchan kepala sekolah telah bertindak tidak adil. Botchan dan Hotta berencana membalas perbuatan Kemeja merah dan rekannya dengan cara memergoki kepala guru dan si badut berkunjung ke Kadoya (rumah bordil).

Botchan dan Hotta memergoki kepala guru dan rekannya yang penjilat seorang guru seni yang diberi julukan si Badut oleh Botchan berkunjung ke Kadoya (rumah bordil) dan bermain-main bersama dengan seorang geisha. Kemudian Hotta dan Botchanpun melayangkan tinju kepada kepala guru dan si Badut. Padahal sebelumnya si kepala guru berkata pergi ke tempat-tempat hiburan merusak disiplin sebagai seorang guru.

(53)

3.2 Analisis Konflik Sosial yang Dialami Tokoh Botchan Dalam Novel Botchan

3.2.1 Konflik dengan murid Cuplikan 1

Lalu tepat saat aku meninggalakan kelas, salah satu murid datang menghampiriku dan sambil menunjukan soal-soal yang mustahil dipecahkan, dia memintaku, lagi-lagi dengan dialek menyebalkan itu, menjelaskan jawabannya. Aku cuma bisa berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali… Ini tentu saja langsung menimbulkan cemooh, dan diantara kericuhan itu aku bisa mendengar samar-samar teriakan, “tak bisa jawab! tak bisa jawab!”. Aku kembali ke ruang guru dengan penuh emosi. Anak-anak sialan! Memangnya ada guru yang bisa menjawab soal-soal tadi? Di mana salahnya mengaku bila kau memang tidak mampu ?.. (Halaman 45)

Analisis

(54)

suatu bentuk ketidakhormatan murid terhadap guru. Menurut Botchan di mana salahnya mengaku bila kau tidak mampu, tetapi murid-muridnya mengangap itu sebagai sebuah lelucon dan menertawakan Botchan atas kejujurannya. Emosi Botchanpun muncul karena telah diejek dan ditertawakan oleh murid-muridnya, sampai-sampai ia mengatai murid-muridnya “anak-anak sialan”. Konflik yang terjadi antara Botchan dan muridnya di sebabkan oleh ejekan dan cemooh yang dilontarkan oleh murid-murid kepada Botchan yang seorang guru sehingga menimbulkan emosi/kemarahan Botchan.

Cuplikan 2

(55)

lelucon seperti ini lucu? Benar-benar lelucon pengecut! Pemikiran seluruh sekolah bersatu untuk menentangku sungguh menyedihkan, Para murid tidak mengatakan apa-apa padaku secara langsung, tapi aku mulai bertanya-tanya kenapa aku datang ke kota kecil yang suka ikut campur ini. (Halaman 53, 57)

Analisis

(56)

Cuplikan 3

“kenapa kalian memasukkan belalang ke-futonku?”. “ngng, belalang apa?”. Tanya anak yang terdekat dariku. Ketenanganya hanya berbeda tipis dengan kekurangajaranya. Belalang tidak akan masuk sendiri ke dalam futon. Dan kalau kalian pikir aku akan membiarkan orang yang menyelinapkannya kalian salah besar. Mengakulah.” “Percuma saja menyuruh kami mengaku karena bukan kami pelakunya”. Kalau tidak punya nyali mengakui tindakan yang telah mereka lakukan, seharusnya sajak awal mereka urung melakukan. Kenakalan dan hukuman tidak bisa dipisahkan. Menurutku tidak ada masyarakat yang rela mentoleransi orang-orang yang memuakkan yang berpikir bisa bersenang-senang tanpa membayar akibatnya. Jelas sekali selulusnya dari sekolah, anak-anak ini akan menjadi sejenis orang yang meminjam uang namun tidak mau melunasi utangnya. Mereka datang ke sekolah, berbohong, melakukan kecurangan, dan mengendap-endap di balik kegelapan, melakukan tipu muslihat pada orang, lalu ketika lulus, mereka akan berjalan penuh kebangggaan, terjebak dalam pemikiran keliru bahwa mereka telah memperoleh pendidikan. Dasar sampah masyarakat!. (Halaman 56-57).

Analisis

(57)

murid-murid melakukan penentangan kepada Botchan, dengan pura-pura tidak tau akan hal tersebut. Murid-murid tidak mau jujur dan mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah mereka lakukan tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan Botchan karena menurutnya murid-murid penghuni asrama telah melakukan kenakalan sekaligus kebohongan. Botchan marah besar sampai-sampai ia mengatai muridnya “sampah masyarakat”. Apa yang dilakukan oleh murid-murid adalah perbuatan yang tidak bermoral karena telah mempermainkan seorang guru dan melakukan kebohongan. Dalam masyarakat Jepang seorang guru disebut “sensei”. Sensei merupakan istilah kehormatan yang tinggi, yang dipergunakan untuk menyebutkan seorang guru, Nakane (1981:32). Masyarakat Jepang sangat menghormati guru. Seharusnya murid menghormati Botchan sebagi seorang guru dan tidak mempermainkannya. Hal ini memperlihatkan terdegradasinya etiket moral murid-murid di sekolah tempat Botchan mengajar. Konflik yang terjadi antara Botchan dan murid-murid disebabkan karena kenakalan yang dilakukan murid-murid yang berani mengerjai Botchan yang seorang guru dan berbohong tidak melakukanya sehingga menimbulkan emosi dan kemarahan Botchan.

Cuplikan 4

(58)

semua akan merasakan hukumanku!…Seruan dan entakan kaki kembali terdengar, namun kali ini dari bagian asrama di timur sisi. Oh, jadi ini konspirasi ya? Pikirku anak-anak di sisi barat dan timur bekerjasama untuk mempermaikanku. Kini aku memutuskan tidak akan pergi sampai bisa menyeret keluar mereka dari tempat persembunyian dan memaksa mereka minta maaf. Tidak akan mampu aku hidup tenang bila sampai diketahui orang aku pernah diperbodoh anak-anak berandal, lalu cuma bisa pergi menangis tanpa perlawanan. (Halaman 69-72)

Analisis

(59)

Cuplikan 5

Karena para murid tidak hanya kekanak-kanakkan tapi juga susah diatur, meskipun nama mereka sendiri juga yang akan terselamatkan bila mereka mematuhi peraturan, kehadiran para guru sama sekali tidak ada artinya, berapapun jumlah mereka. Berapa kali diperingati anak-anak itu tetap tidak bisa menutup mulut. Kalau sekedar berbincang mungkin tak terlalu buruk, tapi gerombolan berandal ini mengatakan hal-hal yang menghina guru...Ku kira aku telah memberi mereka pelajaran saat menyuruh mereka minta maaf setelah kejadian tugas malam itu, tapi ternyata aku salah besar. Aku tahu bila aku tinggal di sana selama setahun, aku akan terus dipermainkan murid-murid. Jadi aku harus kembali ke Tokyo dan Kiyo secepat mungkin. (halaman 176-179)

Analisis

(60)

seorang guru, seharusnya ini tidak boleh terjadi. Botchan tau bahwa kalau ia tetap lebih lama tinggal ia akan tetap dipermainkan oleh murid-muridnya yang nakal, Botchan tidak tahan dan akan berniat meninggalkan sekolah tempatnya mengajar dan kembali ke Tokyo. Akibat terjadinya konflik Botchan dan murid-murid yang nakal adalah tidak betahnya Botchan untuk tinggal dan mengajar lebih lama lagi di sekolah. Konflik yang terjadi antara Botchan dan murid-murid disebabkan oleh penentangan yang dilakukan oleh murid-murid terhadap perintah Botchan dan penghinaan yang dilontarkan oleh murid-murid terhadap guru.

Cuplikan 6

(61)

Analisis

Dari cuplikan di atas terlihat adanya interaksi sosial antara Botchan dengan murid-murid yang mengarah pada bentuk suatu pertikaian/konflik. Botchan menyuruh para murid untuk menghentikan perkelahian dengan murid-murid sekolah kejuruan. Tetapi murid-murid-murid-murid melakukan penentangan terhadap Botchan dengan tetap melanjutkan perkelahian dengan murid-murid sekolah kejuruan. Ketika murid- murid mengetahui Hotta dan Botchan adalah guru dan ikut campur untuk menghentikan perkelahian, Murid-murid kemudian malah memukul dan melempari batu Botchan dan Hotta hingga mereka terluka. Seharusnya sebagai murid harus taat terhadap perintah guru, bukannya melakukan penentangan bahkan sampai melakukan kekerasan fisik terhadap guru. Hal ini merupakan perbuatan yang tidak bermoral. Botchan tidak terima dan marah besar sehingga ia balas memukul murid-murid. Akibatnya Botchan dan Hotta juga terlibat perkelahian dengan murid-murid. Konflik yang terjadi antara Botchan disebabkan oleh penentangan yang dilakukan murid-murid terhadap perintah Botchan dan juga kekerasan fisik yang dilakukan murid-murid terhadap Botchan sehingga menimbulkan emosi dan kemarahan Botchan.

(62)

kegaduhan di sekolah untuk membalas perkataan Botchan, penentangan terhadap perintah Botchan sebagai seorang guru, dan perkelahian/kekerasan fisik yang terjadi antara murid-murid dan Botchan. Akibat konflik antara Botchan dan murid-muridnya adalah tidak betahnya Botchan untuk tinggal dan mengajar di sekolah akibat kenakalan yang terus-terusan dilakukan murid-murid yang menghina/mencemooh dan mengerjai Botchan yang adalah seorang guru. Jadi menurut penulis hubungan yang terjadi antara Botchan sebagai seorang guru dengan murid-muridnya berjalan tidak harmonis disebabkan oleh konflik yang kerap terjadi antara Botchan dengan murid-muridnya yang nakal dan bersikap tidak jujur, serta tidak menghormati Botchan sebagai seorang guru.

3.2.2 Konflik dengan Rekan Sesama Guru Cuplikan 7

(63)

soal ini, namun Hotta bilang satu individu tidak akan mampu mencapai apapun, sekalipun keluhannya sangat beralasan. (hal 58)

Analisis

Pada cuplikan di atas bisa kita lihat konflik yang dialami tokoh Botchan. Botchan secara langsung dan blak-blakan menentang apa yang selama ini menjadi peraturan yang berlaku di sekolah tempatnya mengajar. Btchan mengkritik Peraturan yang menetapkan setiap orang dalam staf guru harus bergantian mengambil tugas malam kecuali si kepala sekolah dan si Kemeja Merah yang merupakan kepala guru. Menurut Botchan hal tersebut adalah bentuk dari ketidakadilan. Bagaimana bisa si kepala sekolah dan kepala guru telah dengan licik memanfaatkan jabatannya membuat peraturan yang hanya menguntungkan diri mereka sendiri, agar bisa terbebas dari tugas malam. Menurut Botchan semua orang adalah sama tidak ada yang harus mendapatkan hak khusus karena jabatannya. Konflik yang terjadi antara Botchan dan kepala sekolah serta kepala guru disebabkan oleh ketidakadilan yang terjadi di sekolah.

Cuplikan 8

(64)

betul.”Dengan nada sedikit menentang aku, aku memberitahunya aku tidak merasa bersalah telah keluar dan berpikir justru tindakan tetap di sekolahlah yang tidak bisa diterima. Ini di luar kebiasaan Hotta mengeluhkan kelalaianku dan memperingatkan akan menjadi masalah bila aku bertemu kepala sekolah atau si Kemeja Merah. (Halaman 61-62)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat kita lihat adanya interaksi sosial antara tokoh Botchan dengan kepala sekolah dan Hotta yang mengarah pada suatu bentuk pertentangan/konflik. Ketika Botchan mendapat giliran tugas malam untuk menginap di sekolah, Botchan telah melakukan penentangan terhadap kepala sekolah dan Hotta dengan cara melanggar peraturan yang ada di sekolah. Seorang guru yang mendapat tugas malam tidak boleh pergi meninggalkan sekolah, tetapi Botchan meninggalkan sekolah untuk pergi ke tempat pemandian air panas. Dalam perjalanan Botchan bertemu dengan kepala sekolah dan Hotta. Kepala sekolah dan Hotta menegur dan memperingatkan Botchan bahwa ia sedang tugas malam. Hotta menganggap hal tersebut tidak bisa diterima dan akan menimbulkan masalah. Hal tersebut menimbulkan rasa marah pada diri Botchan,dan berkata secara blak-blakan ia tidak bersalah karena telah meninggalkan sekolah sebentar karena ia pun akan kembali lagi ke sekolah untuk menjalankan tugasnya. Konflik yang terjadi antara Botchan dan kepala sekolah serta Hotta disebabkan oleh penentangan yang dilakukan oleh Botchan terhadap peraturan sekolah.

Cuplikan 9

(65)

kepala sekolah mendengarkan kisah dari pihakku maupun alasan beberapa murid. Dia berkata dia akan berurusan dengan mereka nanti, tapi sekarang mereka harus masuk sekolah seperti biasa. Dia juga menambahkan kalau tidak buru-buru mencuci muka dan makan pagi, mereka akan terlambat. Pendisiplinan macam apa ini? Kalau aku yang menjadi kepala sekolah, aku akan langsung mengeluarkan semua penghuni detik itu juga. Sikap lemah inilah yang membuat para murid mempermainkan guru tugas malam. (Halaman 74)

Analisis

(66)

Cuplikan 10

Ada berbagai kondisi dan motif pribadi yang harus diperhatikan ketika bekerja di suatu sekolah, kita tak bisa bersikap seterbuka dan sejujur ketika masih menjadi murid.” “Tapi kalau aku tidak bisa jujur, apa lagi yang bisa dilakukan?”. “Ketika berbicara blak-blakan seperti itu tampaklah betapa kau kurang pengalaman.” Itulah sebabnya orang-orang yang tidak kau duga bisa mengambil keuntungan darimu. “Selama saya jujur, saya tidak takut orang mengambil keuntungan dari saya”. Aku hanya mengucapkan hal-hal yang selama ini kupegang teguh. Kalau dipikir-pikir sebagian masyarakat malah mendorongmu bertindak jahat. Pada kesempatan-kesempatan yang langkah, ketika mereka melihat seorang yang berbicara terus terang dan jujur, mereka meremehkannya dan menyebutnya hijau, tidak lebih daripada anak-anak. Ketika mereka mengajarimu etika di sekolah dasar dan menengah, mereka memberitahumu untuk tidak berbohong dan bersikap selalu jujur. Bakal lebih berguna bagi dunia secara keseluruhan dan terutama si individu itu sendiri, kalau sejak awal mereka tidak melakukan itu dan blak-blakan mengajarimu metode berbohong, seni tidak mempercayai orang, dan siasat mengambil keuntungan dari orang lain. Si Kemeja merah telah menertawaiku karena bersikap polos. Apa yang bisa kulakukan di dunia di mana kepolosan dan kejujuran ditertawakan?. (Halaman 90- 91)

Analisis

(67)

mengekspresikn keinginan atau pendapat pribadinya/honnenya karena bisa menyakiti perasan orang lain yang dapat berakhir pada pertengkaran. Orang yang terlalu terbuka dianggap tidak sopan.Tapi Botchan secara langsung dan blak-blakan menentang dan tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Kemeja Merah/kepala guru. Tokoh Botchan bersifat jujur dan terbuka. Bagi Botchan kejujuran adalah yang utama. Ini bisa di lihat dari perkataan Botchan yang mengatakan “ kalau aku tidak bisa jujur, apa yang bisa dilakukan?” Botchan marah karena Kemeja Merah telah menertawai kepolosan dan kejujuran yang di lakukan Botchan selama ini. Hal ini menimbulkan rasa ketidaksukaaan Botchan terhadap Kemeja Merah. Konflik yang terjadi antara Botchan dan Kemeja Merah di sebabkan oleh adanya perbedaan/pertentangan peinsip hidup/sifat antara tokoh Botchan dan Kemeja Merah.

Cuplikan 11

(68)

Analisis

Dari cuplikan di atas bisa kita lihat adanya interaksi sosial antara tokoh Botchan dan Hotta yang mengarah pada sebuah pertikaian atau konflik. Kemeja merah dan rekannya si Badut telah mengadu domba Botchan dengan Hotta dengan berbohong dan mengatakan bahwa Hotta lah yang menghasut murid-murid untuk mengerjai Botchan sehingga pertengkaran antara Botchan dan Hotta pun terjadi. Botchan pun menganggap Hotta sebagai pribadi yang licik dan jahat sehingga menimbulkan kebencian Botchan terhadap Hotta. Sebelumnya Hotta dan Botchan berteman, akibat kata-kata Kemeja Merah dan si Badut membuat Botchan dan Hotta pun bermusuhan. Penyebab terjadinya sebuah konflik adalah kesalahpahaman. Konflik yang terjadi antara Botchan dan Hotta disebabkan kesalahpahaman yang terjadi di antara Botchan dan Hotta karena kebohongan yang dilakukan Kemeja Merah dan si Badut.

Cuplikan 12

(69)

kekeliruan kami. Jadi rupanya kalau seorang gila memukul kepala orang lain, kejadian itu merupakan kesalahan si korban bukan si orang gila. Kalau si Kemeja Merah berpikir aku akan diam setelah futon-ku dimasukkan belalang ”secara setengah sadar”, dia keliru. Anak-anak itu bisa saja membunuh orang dalam tidur secara setengah sadar dan si Kemeja Merah bakal memberi maaf karena anak-anak itu “tidak sepenuhnya sadar”. “Saya sepenuhnya, mutla

Referensi

Dokumen terkait

Konflik internal yang ia alami lebih sering disebabkan karena adanya harapan yang tidak terpenuhi, sedangkan konflik eksternal disebabkan oleh konflik sosial yang

Dalam cuplikan diatas konflik yang terjadi termasuk dalam bentuk pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara Masakado dengan pamannya.Dan dalam cuplikan tersebut konflik

Berikut adalah kehidupan tokoh Aomame dan hubungannya dengan orang lain di dalam masyarakat yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut..

Adapun faktor yang paling berpengaruh sebagai pemicu munculnya konflik batin adalah faktor eksternal, (3) Bentuk penyelesaian konflik batin pada tokoh utama dalam novel DT

konflik psikologi yang dialami oleh tokoh utama wanita pada novel.. Fengru Fei Tun (1996) Karya

Hasil dari penelitian ini adalah bentuk konflik batin tokoh utama dalam novel Rindu karya Tere Liye adalah konflik mendekat-mendekat (approach-approach

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) bentuk konflik psikologis yang dialami oleh tokoh utama dalam novel Lutte karya Gitlicious yaitu berupa kecemasan, kebimbangan,

Pertama, bentuk konflik batin yang dialami tokoh utama pada novel Bukan Semillah karya Nadine T, tokoh utama mengalami tiga tipe konflik batin yang ditinjau dari teori Kurt Lewin yakni