• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Perawat Dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi

di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Ida Basa Nainggolan

Skripsi

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

(2)

Judul : Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Peneliti : Ida Basa Nainggolan Program : S1 Keperawatan Tahun akademik : 2008/2009

ABSTRAK

Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun. Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi. Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa. Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi dan dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Melalui teknik total sampling diperoleh sampel sebanyak 45 orang dengan kriteria perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan disajikan dalam analisa statistik deskriptif.

Hasil analisa data menunjukkan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik 51.1%, peran pemantauan cukup terlaksana sebanyak 46.7%, dan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari perawat adalah baik (60%). RSUP H Adam Malik perlu untuk mensosialisasikan kepada perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi agar perawat dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik mengingat pasien yang mengalami operasi dengan anestesi memerlukan pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat.

(3)

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji syukur, hormat, dan pujian penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyertai penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di RSUP Haji Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kep, Ns dan Ibu Farida L Siregar S.Kep, Ns selaku dosen penasehat akademik saya, Ibu Salbiah S.Kp, M.Kep selaku penguji II, dan kepada Ibu Liberta Lumbantoruan S.Kp M.Kep selaku dosen penguji III yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi secara administratif.

5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian.

6. Emilia Khairani Madjid, S.Kep, Ns sebagai Kapokja ICU yang telah membantu saya menyebarkan kuisioner kepada responden penelitian ini.

(4)

Terimakasih atas saran dan perbaikan yang sangat berguna dalam penyempurnaan kuisioner penelitian ini.

8. Para responden yang telah bersedia berpartisipasi dan meluangkan waktu untuk pengisian kuesioner.

9. Rekan-rekan mahasiswa S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 20005 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Teristimewa kepada kedua orangtuaku Bapak P Nainggolan, Ibu P Sembiring, terimakasih buat doa dan dukungan yang sangat berarti bagi saya. Kepada kakakku (kak Ani dan kak Shanty), bang Karto, adikku tersayang (Moan, dan Ria), terimakasih buat cinta, doa, dorongan yang telah diberikan. Dan juga kepada jagoanku (bang Agus) yang selalu berdoa dan menyayangiku, memberi dukungan dan semangat. Juga kepada teman-temanku (Dina, Polma, mb Yuli, Siska, Friska, Evi, dll) terimakasih buat dukungan dan doanya. 11. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat disebutkan namanya satu

persatu yang telah banyak membantu peneliti baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun dalam dalam menyelesaikan perkuliahan di PSIK FK USU

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa dan penuh kasih melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, September 2009

(5)

DAFTAR ISI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Anestesi ... 5

1.1 Defenisi ... 5

1.2 Sejarah ... 5

1.3 Klasifikasi ... 6

1.4 Obat-obat anestesi dan metode pemberiannya ... 10

1.5 Pemilihan teknik anestesi pada pasien ... 15

1.6 Komplikasi anestesi dan bahaya anestesi ... 15

2. Keperawatan ... 21

2.1 Pengertian ... 21

2.2 Peran dan fungsi keperawatan ... 22

2.3 Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi .. 26

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka konsep ... 38

2. Defenisi operasional ... 39

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain penelitian ... 40

6. Validitas dan reliabilitas instrumen ... 43

7. Pengumpulan data ... 44

8. Analisa data ... 45

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil penelitian ... 47

(6)

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan ... 58 2. Rekomendasi ... 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Kuesioner penelitian

3. Surat izin penelitian dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan 4. Tabel hasil penelitian

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi

Tabel2 . Distribusi frekuensi karakteristik perawat pelaksana yang menjadi responden di RSUP H Adam Malik Medan

Tabel 3. Kategori pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan

Tabel 4. Kategori pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan Tabel 5 Gambaran peran pemantauan oleh perawat dalam upaya

pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan Tabel 6 Kategori pelaksanaan peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi

oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan

Tabel 7 Peran penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan

(8)

DAFTAR SKEMA

(9)

Judul : Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

Peneliti : Ida Basa Nainggolan Program : S1 Keperawatan Tahun akademik : 2008/2009

ABSTRAK

Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun. Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi. Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa. Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi dan dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Melalui teknik total sampling diperoleh sampel sebanyak 45 orang dengan kriteria perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan disajikan dalam analisa statistik deskriptif.

Hasil analisa data menunjukkan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik 51.1%, peran pemantauan cukup terlaksana sebanyak 46.7%, dan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari perawat adalah baik (60%). RSUP H Adam Malik perlu untuk mensosialisasikan kepada perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi agar perawat dapat melaksanakan peran tersebut dengan baik mengingat pasien yang mengalami operasi dengan anestesi memerlukan pemantauan yang ketat serta penatalaksanaan yang tepat.

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pasien yang mengalami operasi dengan anestesi, jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya. Kondisi berbahaya ini disebabkan oleh jalan nafas yang masih tertekan walaupun pasien tampak sudah bangun (Admin, 2007). Depresi pernapasan dapat mengakibatkan kematian karena hipoksia. Dalam hal ini, hipoksia merupakan salah satu komplikasi anestesi pasca operasi (Siduhutomo, 2008).

Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien. Beberapa komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis, atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek sedatif premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).

(11)

bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%.

Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di PACU (Post Anesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Apabila pasien tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk dipindahkan ke ruang perawatan, dalam hal ini peran perawat di ruang pemulihan sangat dibutuhkan untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien pasca operasi dan yang mengalami operasi dengan anestesi (Torrance & Serginson, 1997).

Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi terdiri dari pemantauan/pengkajian pasca anestesi dan perawatan/penatalaksanaan pasien pasca anestesi. Kegiatan pemantauan anestesi antara lain memantau untuk mendapatkan informasi supaya anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan dapat segera dikembalikan ke keadaan yang normal (Latief, 2001). Penatalaksanaan pasien pasca anestesi yaitu memperhatikan hal-hal yang terkait dengan keadaan pasien pasca dilakukannya anestesi. Hal-hal yang perlu diperhatikan tersebut adalah keadaan pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal. Pemantauan yang optimal dan penanganan pasien pasca anestesi yang dilakukan dengan baik dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca anestesi pada pasien. Sehingga peran pemantauan dan penatalaksanaan pasien tersebut sangat penting dilakukan dengan baik oleh perawat (Iwantono, 2008).

(12)

kemungkinan terjadi. Perawat diharapkan mampu menjalankan peran penting tersebut sebaik-baiknya. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti peran perawat dapat terlaksana sesuai dengan harapan.

2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

3. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi data dasar dan bekal bagi perawat untuk mengaplikasikan peran perawat dalam praktek keperawatan, juga bermanfaat dalam memberikan gambaran bahwa pentingnya peranan Perawat dalam memberikan pelayanan yang dapat berdampak langsung bagi pasien pasca anestesi dan kualitas pelayanan yang diberikan.

4.2 Bagi pendidikan keperawatan

(13)

4.3 Bagi penelitian selanjutnya

(14)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi

1.1 Defenisi

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).

1.2 Sejarah

(15)

Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada tahun 1846.

Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.

Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin diperhitungkan (Ismunandar, 2006).

1.3 Klasifikasi

Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).

1.3.1 Anestesi Lokal

(16)

yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).

Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).

Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).

1.3.2 Anestesi Regional

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.

(17)

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).

1.3.3 Anestesi Umum

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008).

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).

(18)

febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

(19)

otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).

1.4 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya

1.4.1 Obat-obat Anestesi Lokal

Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya (Siahaan, 2000).

Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom, cabang–cabang neuromuskular dan semua jaringan otot (Siahaan, 2000).

(20)

menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan.

Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002). Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol, Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).

Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Joomla, 2008).

1.4.2 Obat-obat Anestesi Regional

Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).

(21)

Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).

a. Anestesi Spinal

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).

b. Anestesi Epidural

Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992). Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).

c. Anestesi Kaudal

(22)

ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).

2. Blok Perifer (Blok Saraf)

Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar, 1992).

1.4.3 Obat-obat Anestesi Umum

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).

(23)

mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.

Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien (Kumala, 2008).

1.5 Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).

(24)

menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.

1.6 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi

1.6.1 Komplikasi Anestesi

Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.

Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik (Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:

1. Kerusakan Fisik

Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.

a. Pembuluh Darah

(25)

Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.

b. Intubasi

Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha (Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.

c. Saraf Superfisialis

Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf, seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).

(26)

Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).

Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.

Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.

(27)

sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.

3. Kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.

Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.

4. Hati

Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,

yang diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu (Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran

(28)

5. Suhu tubuh

Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis & Campbell, 1986).

1.6.2 Bahaya Anestesi

Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab. Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:

1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”

Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak sepenting kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan

(29)

2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan

Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).Bahaya lain akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.

3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi

Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan sebagian atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak (Bulto & Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif (henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).

2 Keperawatan

(30)

Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap masalah kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2000). Dalam dunia keperawatan modern respon manusia yang didefinisikan sebagai pengalaman dan respon orang terhadap sehat dan sakit yang merupakan suatu fenomena perhatian perawat.

Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Harlley Cit ANA (2000) menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya (Depkes RI,2002).

Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis, membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan (Carpenito, 1998). Adapun tahap dalam malakukan asuhan keperawatan yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, dan evaluasi.

2.2 Peran dan Fungsi Perawat

(31)

dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu.

Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki. Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada Individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.

(32)

memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain (Sieglar cit Henderson, 2000).

Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh. Perawat dalam malakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.

Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi asuhan keperawatan, praktek keperawatan, pengelola institusi keperawatan, pendidikan pasien serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan. (Sieglar, 2000).

Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola, dan peran sebagai peneliti (Marullah, 2005).

2.2.1 Peran sebagai Pelaksana

(33)

perawat harus memperhatikan pasien berdasarkan kebutuhan signifikan dari pasien (Marullah, 2005).

Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai comforter, protector, advocate, communicator serta rehabilitator (Marullah,

2005). Sebagai comforter perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada pasien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada kemampuan perawat melindungi dan menjamin hak dan kewajiban pasien agar terlaksana dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai communicator, perawat bertindak sebagai penghubung antara pasien dengan

anggota kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan perawat mendampingi pasien sebagai pemberi asuhan keperawatan selama 24 jam. Sedangkan rehabilitator, berhubungan erat dengan tujuan pemberian asuhan keperawatan yakni mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh dan dapat berfungsi normal (Marullah, 2005).

2.2.2 Peran sebagai Pendidik

Sebagai pendidik perawat berperan dalam medidik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah tanggungjawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada pasien, maupun bentuk desimilasi ilmu kepada peserta didik keperawatan (Marullah, 2005).

2.2.3 Peran sebagai Pengelola

(34)

pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Karena pengetahuan dan pemahaman perawat yang kurang sehingga pelaksanaan peran perawat pengelola belum maksimal, mayoritas posisi, lingkup kewenangan dan tanggungjawab perawat hampir tidak berpengaruh dalam perencanaan dan pengambilan keputusan (Marullah, 2005).

2.2.4 Peran sebagai Peneliti

Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metoda penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan tehnologi di bidang kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan memajukan profesi keperawatan (Marullah, 2005).

2.3 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi

(35)

pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan ahli bedah, alat monitoring dan peralatan khusus penunjang lainnya.

Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997). Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen, laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan, defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase (Rondhianto, 2998)

Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail, tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan (Torrance & Serginson, 1997).

.

Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).

(36)

fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah, haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).

Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus terlihat sehingga bila ada perubahan dapat dipantau dengan segera (Abrorshodiq, 2009).

2.3.1 Peran perawat pada fase pasca anestesi

(37)

2.3.1 Pemantauan/pengkajian pasca anestesi

Periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk itu pasien harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil (Abrorshodiq, 2009). Pemantauan yang efektif mengurangi kemungkinan outcomes (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah anesthesia melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan yang serius atau tidak dapat diubah (Murphy & Vender, 2004). Pemantauan dilakukan segera setelah pasien masuk di ruang PACU atau di ruang mana pasien telah mendapatkan tindakan anestesi yang meliputi pengkajian sistem pernapasan, sistem kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persarafan, sistem perkemihan, dan sistem gastrointestinal .

1. Sistem pernapasan

Pengkajian sistem pernapasan dilakukan dengan cara memeriksa jalan nafas dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung. Perubahan pernafasan dikaji antara lain frekuensi pernapasan (Respiratory Rate/RR), pola pernapasan, kemampuan nafas dalam dan batuk, dan kedalaman pernapasan (Abrorshodiq, 2009). Pernapasan pendek dan cepat mungkin akibat nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi lambung, atau obesitas. Pernapasan yang

(38)

Selama 2 jam pertama, nadi dan pernafasan diperiksa setiap 15 menit, lalu setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya. Setelah itu bila keadaan tetap baik, pemeriksaan dapat diperlambat. Bila tidak ada petunjuk khusus, pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit. Bila ada tanda-tanda syok, perdarahan dan menggigil perawat segera melaporkan kepada dokter. RR dibawah 10 kali permenit diduga terjadinya gangguan kardiovaskuler atau metabolisme yang meningkat. Auskultasi paru dilakukan untuk mengkaji keadekwatan expansi paru, dan kesimetrisan paru. Pengkajian pernapasan juga dilakukan melalui inspeksi pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan (diafragma, retraksi sterna), efek anestesi yang berlebihan, dan adanya obstruksi (Wijaya,

2. Sistem kardiovaskuler 2008).

(39)

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit

Untuk mengkaji keseimbangan cairan dan elektrolit pasien pasca anestesi, perawat melakukan inspeksi membran mukosa meliputi warna dan kelembaban, turgor kulit, dan balutan, mengukur cairan NGT, menilai out put urine, drainage luka, mengkaji intake/output, memonitor cairan intravena, dan mengukur tekanan darah (Abrorshodiq, 2009).

4. Sistem Persarafan.

Pengkajian sistem persarafan antara lain pengkajian fungsi serebral dan tingkat kersadaran pasien. Pada pasien terutama dengan bedah kepala leher, dikaji respon pupil, kekuatan otot, koordinasi, dan depresi fungsi motor (Abrorshodiq, 2009).

5. Sistem perkemihan.

(40)

6. Sistem Gastrointestinal.

Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum, observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009). Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu

juga mengkaji paralitic ileus, suara usus, distensi abdomen, dan ada atau tidaknya flatus.

Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah, memonitor perdarahan, mencegah obstruksi usus, irigasi atau pemberian obat, serta mengkaji jumlah, warna, dan konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam (Wijaya,

Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat kesadaran yang baik.

2008).

(41)

– 160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg, Heart Rate (HR) kurang dari 60 x menit > 10 x/menit, suhu > 38,3 o C atau kurang < 35 o

Kriteria untuk mentukan tingkat pemulihan diberikan secara detail pada bagan ruang pemulihan pascaanestesi (Brunner & Suddarth, 2001) :

C, meningkatnya kegelisahan pasien,dan tidak BAK lebih dari 8 jam post operasi (Abrorshodiq, 2009).

Tabel 1.

Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi

RUANG PEMULIHAN PASCAANESTESI

Penilaian

Pasien: Nilai akhir:

Ruangan: Ahli bedah:

Tanggal: Perawat R.R:

Area pengkajian Poin nilai

Saat penerimaan

Setelah

1 jam 2 jam 3 jam

Kemampuan untuk bernapas dengan dalam dan batuk

Pernapasan:

Upaya bernapas terbatas (dispnea atau membebat) Tidak ada upaya spontan

2

1

0

>80% dari tingkat praanestetik Sirkulasi: tekanan arteri sistolik

50% sampai 80% dari tingkat praanestetik

<50% dari tingkat praanestetik

2

1

(42)

Respon secara verbal terhadap pertanyaan/terorientasi terhadap tempat

Tingkat kesadaran:

Terbangun ketika dipanggil namanya

Tidak memberikan respon terhadap perintah

2 1

0

Warna dan penampilan kulit normal Warna kulit:

Warna kulit berubah: pucat, agak kehitaman, keputihan, ikterik

Sianosis jelas

2

1

0

Bergerak secara spontan atau atas perintah

Aktivitas otot:

Kemampuan untuk menggerakkan semua ektremitas

Tidak mampu untuk mengontrol setiap ektremitas

Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai pengkajian post anestesi > 7-8.

2.3.2 Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi

(43)

mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anestesi tergantung kepada prosedur bedah yang dilakukan (Abrorshodiq, 2009). Hal-hal yang harus diperhatikan meliput i:

1. Mempertahankan ventilasi pulmonary.

Ventilasi pulmonary dipertahankan dengan memberikan posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan atau setengah telungkup dengan kepala tengadah ke belakang dan rahang didorong ke depan sampai reflek-reflek pelindung pulih (Abrorshodiq, 2009). Mempertahankan ventilasi pulmonary bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pernapasan seperti hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia, lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, pleurisi, dan superinfeksi, Saluran nafas buatan pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian anestesi umum untuk mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah ke depan sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan suction. Terapi oksigen sering diberikan pada pasien pasca operasi, karena obat anestesi dapat menyebabkan lyphokhemia. Selain pemberian O2

Pada pasien mual dan muntah, pasien benar-benar dibalikkan miring ke salah satu sisi untuk meningkatkan drainase mulut. Intervensi keperawatan yang paling penting dibutuhkan ketika terjadi untah adalah untuk mencegah aspirasi muntahan, yang dapat menyebabkan asfiksia dan kematian (Brunner & Suddarth, 2001).

(44)

2. Mempertahankan sirkulasi.

Hipotensi dan aritmia merupakan komplikasi kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anestesi. Untuk itu pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di ruang pemulihan (Abrorshodiq, 2009).

3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor(Abrorshodiq, 2009). Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah (www.Nurseview.com, 2008).

4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan.

(45)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konsep

Kerangka konseptual pada penelitian ini disusun berdasarkan peran Perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

Peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi meliputi tindakan pemantauan/pengkajian dan penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi. Pemantauan yang dilakukan yaitu pemantauan sistem pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009; Wijaya, 2008). Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi antara lain mempertahankan ventilasi pulmonary, mempertahankan sirkulasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan keamanan dan kenyamanan (Abrorshodiq, 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi post operasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Secara skematik, kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

2. Defenisi Operasional

Anestesi umum/total adalah anestesi yang digunakan pada hampir seluruh tindakan operasi untuk menghindari rasa nyeri akibat suatu tindakan bedah.

Komplikasi Anestesi Peran perawat

Pemantauan/pengkajian

(46)

Karena tindakan bedah mumnya adalah tindakan yang membuat suatu luka pada suatu bagian atau organ tubuh, maka tindakan bedah selalu akan menimbulkan rasa nyeri sehingga dibutuhkan aenstesi untuk menghilangkan nyeri tersebut.

(47)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran peran perawat dalam

upaya pencegahan komplikasi anestesi postoperasi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang terlibat dalam perawatan pasien pasca tindakan anestesi sebanyak 45 orang yang terdistribusi di beberapa ruangan antara lain, di ruang pasca bedah IGD sebanyak 24 orang, ICU pasca bedah 17 orang, dan ruang pulih sadar (recovery room) 4 orang.

2.2 Sampel

(48)

Kriteria sampel dalam penelitian ini antara lain perawat pelaksana yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi, mempunyai pengalaman kerja minimal 2 tahun, dan bersedia menjadi responden.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit Haji Adam Malik dipilih sebagai lokasi karena sebagai sebuah institusi yang mempunyai karakteristik sampel yang akan diukur yaitu perawat yang terlibat dalam penanganan pasien pasca anestesi, letak rumah sakit yang strategis dan juga merupakan salah satu rumah sakit rujukan tipe A dengan pelayanan, fasilitas dan jumlah perawat yang memadai untuk mendapatkan jumlah sampel penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama dua minggu yaitu dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus 2009.

4. Pertimbangan Etik

Sebelum melakukan penelitian, Peneliti menunjukkan surat permohonan kepada bagian pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan untuk mendapatkan persetujuan penelitian. Setelah memperoleh persetujuan, Peneliti meminta izin kepada direktur Rumah Sakit Umum Dr. Pringadi Medan dan Pimpinan ruangan Rumah Sakit tersebut.

(49)

Tetapi jika calon responden tidak bersedia, maka calon responden berhak untuk menolak dan mengundurkan diri selama pengumpulan data berlangsung.

Penelitian ini tidak menimbulkan resiko fisik maupun psikis. Kerahasiaan data responden dijaga dengan tidak menuliskan nama responden pada instrument penelitian. Data–data yang diperoleh dari responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

5. Instumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner. Kuesioner dibuat sendiri oleh perawat berdasarkan tinjauan pustaka. Kuesioner terdiri dari data demografi responden yang berisi identitas dari perawat yang menjadi sampel, dan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi, yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu tindakan pemantauan berupa pemantauan sistem pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal; dan tindakan penatalaksanaan pasien pasca anestesi antara lain mempertahankan ventilasi pulmonary, mempertahankan sirkulasi, mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan mempertahankan keamanan dan kenyamanan.

Pertanyaan 1-28 menyatakan peran perawat dalam melakukan pemantauan/pengkajian pasien pasca anestesi dan pertanyaan 29-37 menyatakan peran perawat dalam penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi.

(50)

yang disusun menggunakan skala Linkert dengan empat alternatif pilihan jawaban yaitu tidak pernah, kadang-kadang, sering, dan selalu. Untuk jawaban tidak pernah memperoleh nilai 1, kadang-kadang memperoleh nilai 2, sering memperoleh nilai 3 dan selalu memperoleh nilai 4.

6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Instrumen kuesioner dibuat oleh peneliti karena itu perlu dilakukan uji validitas dan reliabilitasnya untuk mengetahui seberapa besar derajat kemampuan alat ukur dalam mengukur secara konsisten sasaran yang akan diukur. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahian suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005). Uji validitas dilakukan dengan metode validitas isi, yaitu menetapkan bahwa insturmen dibuat mengacu pada isi yang dilakukan dengan meminta bantuan orang yang ahli sebanyak 3 orang antara lain perawat pendidik, dokter anestesi, dan perawat anestesi. Berdasarkan hasil uji validitas tersebut, kuisioner disusun kembali dengan bahasa yang lebih interaktif sehingga responden tertarik untuk membaca setiap item pertanyaan, dan ahli juga menawarkan beberapa item peran yang juga perlu dilakukan oleh perawat dalam melakukan pemantauan dan perawatan pasien pasca anestesi.

(51)

Menurut Polit & Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas 0,7. Uji reliabilitas kuisioner dilakukan di ruang ICU anak dengan jumlah responden sebanyak 10 orang. Hasil uji reliabilitas peran pemantauan/pengkajian dan penatalaksanaan/ perawatan pasien pasca anestesi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai uji reliabilitas kuisioner adalah 0.703. Maka diambil kesimpulan bahwa kuisioner tersebut reliabel dan dapat digunakan dalam penelitian ini.

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai setelah Peneliti menerima surat izin pelaksanaan penelitian dari instansi pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran USU, kemudian surat permohonan izin yang diperoleh diajukan kepada Direktur Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, lalu direktur Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan mengajukan surat inzin tersebut kepada kepala kapokja ICU dan akhirnya peneliti didisposisi oleh kapokja langsung ke ruangan untuk membagi kuisioner yaitu ruang ICU pasca bedah, dan recovery room. Sementara penyebaran kuisioner kepada responden di ruang IGD pasca bedah dilakukan setelah memperoleh izin dari kepala ruangan IGD pasca bedah.

(52)

kembali dan diperiksa kelengkapannya, apabila ada yang tidak lengkap maka dapat dilengkapi juga saat itu.

8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka analisa data dilakukan dengan memeriksa kembali semua kuesioner satu persatu yakni identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban harus diisi dengan petunjuk. Kemudian memberi kode terhadap setiap pernyataan yang telah diajukan guna mempermudah peneliti ketika akan melakukan tabulasi dan analisa data.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan rumus statistik Sudjana (2001) untuk menentukan panjang interval suatu kelas dengan rumus:

P = rentang/banyak kelas = (148-37)/3 = 37

(53)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian mengenai peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H Adam Malik Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 28 Juli sampai dengan 12 Agustus 2009 di RSUP H Adam Malik Medan dengan jumlah responden sebanyak 45 orang perawat pelaksana yang terlibat dalam tindakan penanganan pasien pasca anestesi.

Hasil penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu data demografi, dan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi.

1.1 Karakteristik Demografi Responden

Responden penelitian ini lebih kurang sepertiga (35.6%) adalah berusia 28-35 tahun (M=34.6, SD=7.9), dan kurang lebih dua per tiga dari responden adalah perempuan (73.3%). Mayoritas responden tingkat pendidikannya adalah Diploma III Keperawatan (82.2%), dan hampir seluruhnya memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun (91.1%). Karakteristik demografi responden dapat dilihat pada tabel 2.

Table 2

Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana yang menjadi responden di RSUP H Adam Malik Medan 2009 (N=45)

(54)

2. Jenis kelamin 3. Tingkat Pendidikan

Sarjana Keperawatan

1.2 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa lebih dari setengah responden dalam melakukan perannya dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi adalah baik (51.1%). Sisanya adalah sebanyak kurang lebih dua perlima dari responden (40%) dalam melakukan perannya termasuk dalam katergori cukup, dan sebanyak 8.9% adalah kurang melaksanakan peran ini. Gambaran pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi lebih lengkap dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3

Kategori pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (N=45)

Kategori pelaksanaan peran perawat dalam

upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase

Terlaksana dengan baik

(55)

1.2.1 Peran Pemantauan

Dari hasil penelititan diperoleh bahwa peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi cukup terlaksana sebanyak 46.7% dari responden. Peran yang terlaksana dengan baik adalah 42.2% dan sisanya yaitu sebanyak 11.1% perawat dalam melakukan perannya adalah kurang. Gambaran pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi secara lengkap dapat dilihat pada table 4.

Table 4

Kategori pelaksanaan peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan (N=45)

Kategori pelaksanaan peran pemantauan dalam

upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase

Terlaksana dengan baik

Cukup terlaksana

Terlaksana dengan baik

19

21

5

42.2

46.7

11.1

(56)

(M=2.4, SD=1.3), melakukan perkusi abdomen bawah (M=2.1, SD=1.0), dan peran mengkaji warna urine pasien (M=1.8, SD=0.9).

Gambaran peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi secara lengkap dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5

Gambaran peran pemantauan oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H. Adam Malik (N=45).

Peran Pemantauan Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi

Anestesi

Mean Standard

Deviasi Kategori

Mengukur suhu tubuh pasien

Mengukur tekanan darah pasien Mengkaji perubahan frekuensi pernapasan

Melakukan palpasi/meraba kulit Menghitung irama denyut nadi

Mengkaji kelembaban membran mukosa

Mengukur intake dan output cairan Menanyakan nyeri yang dirasakan pasien pada skala nyeri

Mengkaji turgor kulit (CRT)

Mengkaji kuat/lemahnya denyut nadi Mengkaji kekuatan otot pasien Mengkaji respon verbal pasien

Menanyakan apakah pasien merasakan mual

Mengkaji perubahan pola pernapasan Mengkaji bunyi napas

Mengkaji respon membuka mata Mengkaji jumlah urine pasien Mengkaji adanya muntahan pasien Mengauskultasi suara usus pasien Melakukan palpasi abdomen bawah Mengkaji kemampuan batuk pasien Mengkaji perubahan perubahan warna kulit

(57)

Mengkaji ada atau tidaknya flatus Mengkaji kemampuan bernapas dalam Melakukan perkusi abdomen bawah Mengkaji warna urine pasien

2.6

1.2.2 Peran Penatalaksanaan Pasien Pasca anestesi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari responden adalah baik (60%), sementara responden lainnya dalam melaksanakan perannya termasuk dalam kategori cukup sebanyak 31.1%, dan sisanya adalah kurang (8.9%). Untuk lebih jelasnya gambaran pelaksanaan peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6

Kategori pelaksanaan peran pelaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan (N=45)

Kategori pelaksanaan peran penatalaksanaan

dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi Frekuensi Persentase

Terlaksana dengan baik

Cukup terlaksana

Terlaksana dengan baik

27

Peran memberikan terapi oksigen (M=3.7, SD=0.8), berkolaborasi

(58)

dengan frekuensi paling tinggi dibanding peran yang lainnya. Sedangkan peran

memfasilitasi pasien dengan selimut untuk mencegah menggigil (M=3.0, SD=1.1), peran memberikan posisi kepala miring ke satu sisi (M=2.6, SD=1.1), dan peran mempertahankan status nutrisi pasien tetap normal (M=2.4, SD=1.4), merupakan peran dengan frekuensi paling rendah. Gambaran peran penatalaksanaan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi dapat dilihat pada tabel 7.

Table 7

Peran penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H. Adam Malik (N=45).

Peran Perawatan Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi

Anestesi

Mean Standard

deviasi Kategori

Memberikan terapi oksigen

Berkolaborasi dengan dokter untuk

pemberian obat untuk penanggulangan nyeri

Memberikan terapi cairan infus

Mengatur posisi pasien untuk membersihkan jalan napas pasien

Membantu pasien untuk perubahan posisi

Memberikan dukungan psikologis pada pasien

Memfasilitasi pasien dengan selimut untuk mencegah menggigil

Memberikan posisi kepala miring ke satu sisi

(59)

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian, peneliti membahas masalah penelitian mengenai gambaran peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi.

2.1 Karakteristik Demografi Responden

Berdasarkan usia responden dalam penelitian ini lebih dari sepertiga berada pada rentang usia 28-35 tahun (35.6%), lebih dari dua pertiga adalah perempuan (73.3%), mayoritas responden tingkat pendidikannya adalah Diploma III Keperawatan (82.2%), dan hampir seluruhnya memiliki pengalaman kerja lebih dari dua tahun (91.1%). Dari data ini diperoleh bahwa responden dalam penelitian ini termasuk kedalam usia produktif. Hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (1989) yang mengatakan bahwa pekerja yang berada pada usia produktif dapat diindikasikan bahwa mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan bila dilihat dari pengalaman kerja yang dimiliki sudah lebih dari 2 tahun (91%) maka hal ini menunjukkan tingkat produktivitas kinerja yang tentunya semakin baik.

2.2 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi

(60)

harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil (Abrorshodiq, 2009).

1.2.1 Peran Pemantauan

Peran pemantauan perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi dalam penelitian ini kurang dari setengah cukup terlaksana (46.7%). Peran yang terlaksana dengan baik hanya 42.2% dan sisanya yaitu sebanyak 11.1% perawat dalam melakukan perannya adalah kurang. Peran pemantauan ini seharusnya terlaksana dengan baik seperti yang dinyatakan oleh Murphy & Vender (2004) bahwa pemantauan (monitoring) merupakan aspek penting dari perawatan anestesi. Keselamatan pasien terjaga apabila pemantauan yang tepat berjalan lancar dan kesimpulan-kesimpulan klinis tepat. Pemantauan yang efektif mengurangi kemungkinan komplikasi (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah anestesi melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan yang serius atau tidak dapat diubah.

Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat bahwa peran mengukur suhu tubuh pasien (M=3.7, SD=0.8), mengukur tekanan darah

(M=5.6, SD=0.8), dan mengkaji perubahan frekuensi pernapasan (M=3.5, SD=0.9), mendapat frekuensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

(61)

dan tekanan darah memang sangat penting seperti yang dinyatakan oleh Murphy & Vender (2004) bahwa pengukuran tekanan darah dan pengukuran suhu tubuh merupakan indikator penting dari kecukupan sirkulasi. Pengukuran suhu pasien secara terus-menerus harus dilakukan. Apabila perubahan suhu tubuh diketahui atau terantisipasi, suhu harus terus-menerus diukur dan dicatat pada rekam anestesi.

(62)

mengakaji warna urine pasien pasca anestesi karena dengan mengkaji warna urine dapat dilihat kemungkinan terjadinya perdarahan yang merupakan salah satu komplikasi dari sistem perkemihan pasca anestesi. Wijaya juga mengatakan bahwa perkusi abdomen bawah juga perlu dilakukan untuk mengetahui adanya distensi buli-buli. Sementara itu Abrorsodiq (2009) menyatakan bahwa mengakaji kemampuan bernapas dalam juga merupakan bagian dari peran pemantauan yang bertujuan untuk mengetahui kembalinya fungsi pernapasan pasien pasca anestesi.

1.2.2 Peran Penatalaksanaan Pasien Pasca anestesi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan peran penatalaksanaan oleh tiga perlima dari responden adalah baik (60%), sementara responden lainnya dalam melaksanakan perannya termasuk dalam kategori cukup sebanyak 31.1%, dan sisanya adalah kurang (8.9%). Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa peran penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi tergolong baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Abrorsodiq (2009) yang mengatakan bahwa selain malakukan pengkajian, perawat juga penting untuk melaksanakan perannya dalam hal perawatan pasien pasca anestesi. Dalam hal ini pasien harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil.

(63)

kebutuhan oksigen dan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh kondisi (Torrance & Serginson, 1997). Hal ini sangat membantu perawat untuk melaksanakan perannya dalam memberikan terapi oksigen dan terapi cairan infus. Memberikan terapi oksigen memang penting untuk dilakukan mengingat bahwa pasien pasca anestesi membutuhkan bantuan asupan oksigen karena obat anestesi dapat menyebabkan lypokhemia (Brunner & Suddarth, 2001). Sementara menurut Rhondianto (2008) peran perawat dalam berkolaborasi dengan dokter untuk pemberan obat dalam penanganan nyeri merupakan intervensi yang tepat terkait denga agen pemblok nyeri yang dirasakan oleh pasien. Dan seiring dengan pernyataan Abrorsodiq (2009) yang menyatakan bahwa pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

(64)

Gambar

Tabel 1. Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi
Table 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Perawat Pelaksana yang menjadi responden di
Tabel 3 Kategori pelaksanaan peran perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi
Gambaran peran pemantauan oleh perawat dalam upaya pencegahan komplikasi anestesi di RSUP H
+5

Referensi

Dokumen terkait

tersebut terjadi suatu proses yang berurutan. Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif, mencakup 6 tingkatan, yaitu:.. Yulia Habni : Perilaku Perawat Dalam Pencegahan

Tingkah laku yang dimiliki oleh perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan untuk mencegah luka tekan pada pasien tirah baring di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan melakukan

Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) adalah tindakan yang harus dipatuhi oleh perawat untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi nosokomial yang bisa menyebar dari

Pengendalian dan Pencegahan Infeksi (PPI) adalah tindakan yang harus dipatuhi oleh perawat untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi nosokomial yang bisa menyebar dari

WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang dapat menembus barier, contohnya pemasangan infus,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian edukasi pencegahan dan pengendalian infeksi yang dilakukan perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Haji Adam

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tambahan kepada mahasiswa mengenai bagaimana edukasi pencegahan dan pengendalian infeksi yang dilakukan perawat di ruang rawat

EDUKASI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI YANG DILAKUKAN PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT1. UMUM HAJI ADAM