ABSTRAK
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)
(STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)
Oleh
NOVA SELINA SIMBOLON
Anak adalah generasi muda penerus bangsa serta berperan dalam menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa dan negara itu sendiri diatur dalam Undang-Undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berkaitan dengan adanya tindak pidana pencabulan dalam keluarga atau incest yang sebagian besar korbannya adalah anak seperti yang dilakukan oleh paman kandung sendiri di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, hal itu dapat dilihat dalam Putusan Perkara Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 11/PID/2014/PT.TK. Dalam kasus tersebut, terdakwa Abun bin Nyono dinyatakan dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain yakni Nadia Nurjanah binti Kusnadi yang masih berumur 15 tahun. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pencabulan dalam keluarga
(incest) (studi putusan 11/Pid/2014/PT.TK) dan apakah dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi Putusan 11/Pid/2014/PT.TK).
Nova Selina Simbolon
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam Putusan Nomor 11/PID/2014/PT.TK adalah terdakwa Abun bin Nyono terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak. Hakim menjatuhkan putusan yang setimpal atau adil bukan memberikan pidana seberat-beratnya pada si pelaku, tetapi putusan tersebut harus dapat mencerminkan rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) menggunakan teori absolut (teori pembalasan), teori utilitarian (teori tujuan), dan teori gabungan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dalam Putusan 11/PID/2014/PT.TK adalah berdasarkan teori keseimbangan, pendekatan seni dan intuisi,dan ratio decendi. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut mendasarkan pada pada terpenuhi atau tidak terpenuhi seluruh unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, dengan harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana pencabulan dalam keluarga serta akibat yang ditimbulkan.
Adapun saran yang diberikan penulis yaitu perlu dikaji lebih mendalam lagi terhadap pola pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga, sehingga anak yang menjadi korban mampu untuk bangkit kembali terhadap keterpurukan yang pernah dialaminya. Kerahasiaan identitas korban merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi mentalitas korban sebagai anak terhadap masyarakat luas. Dan perlu meningkatkan gerakan perlindungan anak dengan cara memberikan arahan dan sosialisasi mengenai hak-hak anak dan bagaimanakah tata cara melaporkan apabila anak mengalai ancaman baik fisik maupun psikis.
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)
(Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)
Oleh
NOVA SELINA SIMBOLON
Skripsi
Sebagaisalahsatusyaratuntukmencapaigelar
SARJANA HUKUM
pada
BagianHukumPidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi
:
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) ( STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)Nama Mahasiswa
:
Nova Selina Simbolon
No Pokok Mahasiswa
:
1112011271
Bagian
:
Hukum Pidana
Fakultas
:
Hukum
MENYETUJUI:
1.
Komisi Pembimbing
Tri Andrisman, S.H., M.H.
Dona Raisa Monica, S.H.,M.H
NIP 19611231 198903 1 023
NIP 19860702 2201012 2 003
2.
Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
MENGESAHKAN
1.
Tim Penguji
Ketua
:
Tri Andrisman, S.H., M.H.
...
Sekretaris/Anggota :
Dona Raisa Monica, S.H., M.H
...
Penguji Utama
:
DiahGustiniati, S.H., M.H.
...
2.
Dekan Fakultas Hukum,
Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP 19621109 198703 1 003
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST)
(Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)
Oleh
NOVA SELINA SIMBOLON
Skripsi
Sebagaisalahsatusyaratuntukmencapaigelar
SARJANA HUKUM
pada
BagianHukumPidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
Judul Skripsi
:
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN DALAM KELUARGA (INCEST) ( STUDI PUTUSAN 11/PID/2014/PT.TK)Nama Mahasiswa
:
Nova Selina Simbolon
No Pokok Mahasiswa
:
1112011271
Bagian
:
Hukum Pidana
Fakultas
:
Hukum
MENYETUJUI:
1.
Komisi Pembimbing
Tri Andrisman, S.H., M.H.
Dona Raisa Monica, S.H.,M.H
NIP 19611231 198903 1 023
NIP 19860702 2201012 2 003
2.
Ketua Bagian Hukum Pidana
Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.
MENGESAHKAN
1.
Tim Penguji
Ketua
:
Tri Andrisman, S.H., M.H.
...
Sekretaris/Anggota :
Dona Raisa Monica, S.H., M.H
...
Penguji Utama
:
DiahGustiniati, S.H., M.H.
...
2.
Dekan Fakultas Hukum,
Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.
NIP 19621109 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sumatera Utara, pada tanggal 11
November 1993 dan merupakan anak keempat dari lima
bersaudara dari pasangan bapak Ramles Simbolon dan Ibu
Dame Samosir. Penulis menempuh pendidikan pada Taman
Kanak-kanak di TK Katolik Sidikalang diselesaikan pada
tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Inpres 034781
Sidikalang diselesaikan pada tahun 2005, kemudian penulis penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Sidikalang dan diselesaikan
pada tahun 2008, setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang pada tahun 2011.
Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis
juga aktif dalam persekutuan kampus pada Forum Mahasiswa Hukum Kristen
(FORMAHKRIS) dan aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan pada
Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana (HIMA PIDANA). Pada bulan Januari
2014, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Madaraya,
SANWACANA
Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, yang senantiasa melimpahkan
berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang
berjudul “Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Dalam Keluarga (Incest) (Studi Putusan 11/PID/2014/PT.TK)”. Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung. Melalui skripsi ini peneliti banyak belajar
sekaligus memperoleh ilmu dan pengalaman yang belum pernah diperoleh
sebelumnya dan diharapkan ilmu dan pegalaman tersebut kelak dapat bermanfaat
dimasa yang akan datang.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam penulisan skripsi ini jauh
dari sempurna mengingat keterbatasan kemampuan Penulis. Pada kesempatan ini,
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum., Ketua Bagian Hukum Pidana dan selaku
Dosen Pembahas I yang senantiasa memberikan kritikan, koreksi dan
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., Sekretaris Jurusan Hukum Pidana
4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa
dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.
5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., Dosen Pembimbing II yang telah banyak
memberikan pengarahan dan sumbangan pemikiran yang sungguh luar biasa
serta kesabarannya dalam membimbing Penulis selama penulisan skripsi ini.
6. Bapak Budi Rizki, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah memberikan
waktu, masukan, dan saran selama penulisan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., Pembimbing Akademik yang telah
memberikan nasehat dan bantuannya selama proses pendidikan Penulis di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Seluruh dosen, staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung,
terima kasih atas bimbingan dan pengajarannyadan untuk semua bantuannya.
9. Terkhusus dan teristimewa untuk kedua orang tuaku, Bapak Ramles
Simbolon dan Dame Samosir yang senantiasa mendoakanku, memberiku
dukungan semangat dan motivasi, nasehat serta pengarahan dalam
keberhasilanku dalam menyelesaikan studi maupun kedepannya.
10. Abang dan kakakku, Franky Ridwan Simbolon, Melva Citra Yanti Simbolon,
Agustinus Simbolon, dan Hengrina Simbolon yang senantiasa menemani,
mendukung dan mendoakanku. Semoga kelak kita menjadi anak yang
11. Untuk keponakan-keponakanku. Michael Immanuel Simbolon, Michelle
Chyntia Simbolon, Ryan Samuel Risky Manullang, dan William Jabes
Manullang yang memotivasi aku melalui tingkah kecil kalian.
12. Untuk opung, tante, uda, tulang, nantulang, kakak, abang, adek dan keluarga
besarku, terima kasih untuk dukungan dan semuanya.
13. Untuk Yeremia Luhur Wiyoto , seseorang yang telah sabar dan setia dalam
suka dan duka, yang selalu mendoakan, menyemangati,dan memotivasi.
Terima kasih banyak atas semuanya.
14. Untuk teman-teman seperjuangan calon sarjana hukum yang terbadai, David
Simanjuntak, Daniel Sitanggang, Ferry Damanik, Jonathan Hutagalung, Bram
Samosir, Dopdon Sinaga, Nur Saadah Sinambela, Meggy Manurung dan
Grace Simanjuntak kalian luar biasa untuk kebersamaannya sampai saat ini.
15. Untuk teman-teman Fakultas Hukum 2011, Marlina, Merry, Mona, Lia Janah,
Lia Aprilia, Natalia, Nur, Deswandi, Riki, dan semua yang belum disebutkan
terima kasih atas kebersamaannya dalam berjuang.
16. Untuk teman seperjuangan mulai dari awal skripsi sampai akhir Aisyah
Muda, terima kasih untuk setiap momen yang kita lewati bersama
kegokilannya.
17. Untuk teman-teman semasa KKN: Agatha, Filla, Ka Pras, Mba Alfi, Nunik,
Nita, Nanda, Namira, Nia, terimakasih untuk kebersamaan dan kekompakan
yang terjalin selama ini dan kegilaannya. Hidup Madaraya.
18. Untuk teman-teman kostanku yang gokil dan sangat ribut, Delima, Olin,
Lusy, Astri, Febri, Yohana, Devi, Sella, dan semua yang namnya belum
19. Untuk teman-teman dan adek-adek Formahkris 2011, 2012, 2013, dan 2014
tetap semangat untuk pelayanannya, Torang, Kurniawan, Galang, Gilbert,
Juna, Grace, Nico, Gohi, Rifan, Salamat, Erna, Marlina, Merry, Mona, Yessy,
Stefanus, Lasmaida, Rio, Reymond, Anes, Katherine, Ines, Cristin, Ryan,
Nova, Hellena,Febri, Benny, Refan, Landoria, Fauyani, Agustina, Nando,
Kristu, Yosef, Vera, Lova, Cindy T, Ruth, Fabiyola, Alicia, Daniel, Firdaus,
Rico, Biaton, Wafer, Darwin, Elsaday, Dewi, Bangkit, Christoffer, Korin,
Cindy M dan yang lainnya.
20. Almamaterku tercinta dan Keluarga Besar HIMA PIDANA beserta seluruh
Mahasiswa Fakultas Hukum Unila Angkatan 2011 “VIVA JUSTICIA”
21. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan semangat dalam
penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berdoa semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua dan di bidang hukum demi kemajuan dan
kesejahteraan bangsa ini. Amin.
Bandar Lampung, 11 Februari 2015
Penulis
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi penegakan hukum dan Hak
Asasi Manusia, hal ini dikarenakan hukum dan Hak Asasi Manusia saling
berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal
mengenai perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. 1 Sehubungan dengan hal
tersebut maka sudah seyogyanya masyarakat Indonesia mendapatkan
perlindungan terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam aspek
kehidupan.2
Saat ini bangsa Indonesia sedang giat membenahi permasalahan yang sangat
penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan,
khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya
perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun
waktu tahun 1990-an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap
anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan.3
Tindak pidana pencabulan merupakan salah satu dari tindak pidana terhadap
kesusilaan. Dalam Bab XIV dalam Buku II KUHP memuat kejahatan terhadap
1 Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945,
Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 28.
2Ibid., hlm. 114.
3
2
kesusilaan yang tersebar pada pasal 281 hingga 303 KUHP. Di dalamnya yang
dimaksud dengan kesusilaan sebagian besar berkaitan dengan seksualitas.4
Salah satu jenis kelainan seksual adalah hubungan seks yang dilakukan bersama
seseorang yang masih ada hubungan darah atau yang dikenal dengan istilah incest.
Sebagian besar korbannya adalah anak di bawah umur, maka perlu adanya
perlindungan terhadap anak.5 Hal ini berkaitan dengan kondisi psikologis anak
yang sangat peka terhadap pengaruh lingkungan di sekitarnya. Sebagai bentuk
perlindungan terhadap kepentingan kepentingan anak yang mengalami masalah
sosial. Perlindungan dapat diberikan dengan bentuk pemberian hak dan
perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dalam berbagai cara, salah satunya
dengan memformulasikan dan mengaplikasikan Undang-undang No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Tindak pidana incest merupakan perbuatan yang tidak bermoral dimana seorang
ayah terhadap puteri kandungnya sendiri mencerminkan kelainan pada aktivitas
seksual si pelaku yang dikenal dengan dengan istilah incest yaitu hubungan
seksual antara ayah dengan anak kandungnya, ibu dengan anak kandungnya,
kakak dengan adiknya atau paman terhadap keponakan. Incest dapat diartikan
hubungan seks keluarga sedarah (yang tidak boleh dinikahi).
Tindak pidana incest terhadap anak sebagai korbannya merupakan salah satu
masalah sosial yang sangat meresahkan masyarakat sehingga perlu dicegah dan
4
Tri Andrisman, Delik Tertentu dalam KUHP, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm.23.
5 Alfano Arif, Pemeriksanaan Tindak Pidana Incest, http://ojs.unud.ac.id/index.php/.../6188/4682,
3
ditanggulangi. Oleh karena itu masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius
dari semua kalangan terutama kalangan kriminolog dan penegak hukum.6
Salah satu contoh tindak pidana incest yaitu terjadinya pencabulan yang dilakukan
seorang paman terhadap keponakannya sendiri yang masih berumur 15 tahun.
Terdakwa dituntut oleh jaksa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur
dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor: 11/PID/2014.PT.TK, terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya”. Jaksa
penuntut umum menuntut terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun dan 6 bulan
dan berdasarkan tuntutan di persidangan hakim menjatuhkan pidana penjara
selama 9 tahun terhadap terdakwa.
Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu korban yang merupakan
keponakan terdakwa bernama Nadia berumur 15 tahun sekitar bulan Desember
2012 datang ke rumah terdakwa yang bernama Abun yang merupakan pamannya
untuk berlibur. Di rumahnya Abun menyuruh Nadia masuk ke dalam kamar Abun
untuk mengobati Nadia dengan alasan Nadia sudah tidak perawan lagi. Di dalam
kamar Abun mulai melakukan perbuatan yang tidak sopan kepada Nadia. Pada
tanggal 31 Desember 2012, Februari 2013, April 2013 dan 12 Mei 2013 Nadia
dibawa ke Padang Cermin dengan alasan mengobati Nadia kemudian melakukan
tindak pidana pencabulan tersebut kepada Nadia secara berulang-ulang kali.
6 Mayos, Tindak Pidana Incest Masih Menonjol, http://m.hukumonline.com/berita/bacahol9428,
4
Kasus tersebut terbongkar oleh orangtua Nadia pada tanggal 15 Mei 2013 dan
mulai dilakukan penyidikan tanggal 28 Mei 2013.
Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana. Pertimbangan
penjatuhan hukuman pidana oleh hakim terdakwa dirasa kurang tepat karena
perbuatan yang dilakukan terdakwa kepada hubungan sedarahnya yaitu
keponakannya yang menyangkut masa depan dan terdakwa telah melakukan
perbuatan pencabulan itu secara berulang-ulang kepada anak di bawah umur
sehingga mengakibatkan kondisi psikologis anak terganggu dan ditemukan
robeknya selaput dara arah jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh dan jam dua.
Menurut Pasal 429 RUU KUHP Tahun 2008 ayat 2 menyebutkan bahwa tindak
pidana persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke
samping sampai derajat ketiga. Ancaman pidananya antara 3 hingga 12 tahun.
Jika yang menjadi korban adalah anak-anak dibawah 18 tahun, hukuman
maksimalnya ditambah menjadi tiga tahun lagi. Walaupun belum berlaku tetapi
dasar hukum tersebut dapat menjadi acuan dalam penjatuhan pidana kepada
terdakwa.7
Adapun Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengatur mengenai tindak pidana pencabulan terhadap anak dimana ancaman
pidananya lebih berat dari pada pasal-pasal tersebut diatas yaitu paling lama 15
tahun. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 82 yang menyebutkan bahwa:
7
5
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbutan cabul di
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)".8
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dalam bentuk skripsi berjudul “Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Pencabulan Dalam Keluarga (Incest) (Studi Putusan
11/PID/2014/PT.TK ).”
B.Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam
keluarga (incest) (Studi Putusan 11//PID/2014/PT.TK) ?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (Studi
Putusan 11/PID/2014/PT.TK) ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
8 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakarta: Sinar Grafika, 2011,
6
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada
umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan terhadap pelaku tindak
pidana pencabulan dalam keluarga (incest) (studi putusan 11/PID/2014/PN.TK).
Penelitian ini akan dilakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung
Karang pada tahun 2014.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui:
a. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest)
pada Putusan Nomor: 11/PID/2014/PT.TK.
b. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap
pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) pada Putusan Nomor:
11/PID/2014/PT.TK.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest).
b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan dan informasi kepada
pihak-pihak yang membutuhkan seperti aparat penegak hukum mengenai
penyelesaian tindak pidana pencabulan dalam keluarga (incest) dan bermanfaat
7
untuk menambah wawasan dalam berpikir dan masukan dalam pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.9
1. Teori Tujuan Pemidanaan
Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka
konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam
mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua)
sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan
individu pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 (dua) jenis pidana yaitu:
a. jenis pidana pokok meliputi: 1. pidana mati
2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda
b. jenis pidana tambahan meliputi: 1. pencabutan hak-hak tertentu 2. perampasan barang-barang tertentu 3. pengumuman putusan hakim
Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu:10
9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali, 1984, hlm.116. 10 Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar
8
1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)
Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak
pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah
memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah
dilakukan.
2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)
Menurut pandangan teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi
manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai
pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di
masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke
depan, yaknipada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.
3. Teori Gabungan
Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban
masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk
mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan
yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar
itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan
digunakan.
2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
9
Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula
pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto,11 hakim
memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditujukan padanya;
b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;
c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim
dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP
yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
11 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan
10
Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu:12
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang
berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim
akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara
pidana.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapidengan ilmu pengetahuan
dan wawasan keilmuan dalam menghadapi perkara yang harus diputus.
12 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
11
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang ada setiap hari. Dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang
dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban
atau masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin tahu akan diteliti.13 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalah
pahaman dalam melakukan penelitian, maka akan dijelaskan terlebih dahulu
tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep penelitian, sehingga akan
memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah.
12
Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu tersendiri serta hubungan antar bagian untuk
memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.14
a. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu
ditegakkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi pidana.15
b. Pelaku menurut Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah mereka yang menyuruh
melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, mereka yang memberi atau
menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
c. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan
merupakan perbuatan anti sosial.16
d. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin
14 Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997,hlm.32.
13
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,
selaras, dan seimbang.17
e. Pencabulan menurut Pasal 289 KUHP adalah segala perbuatan yang yang
melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin.
f. Incest adalah hubungan seksual dalam keluarga atau yang terjadi di antara
anggota kerabat dekat, biasanya adalah kerabat inti seperti ayah, atau paman.18
E. Sistematika Penulisan
Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran
yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antar
satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan
untuk mengetahui serta untuk lebuh memudahkan memahami materi yang ada
dalam skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan skripsi ini
sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
penulisan, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.
17
Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak, Bandar Lampung, 2013, hlm.1.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar pemahaman ke dalam pengertian-pengertian umum
serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya
digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan
kenyataannya yang berlaku dalam praktek.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang digunakan
dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data,
penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data
serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian yang terdiri dari
karakteristik responden, pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan
dalam keluarga dan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan
pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana pencabulan dalam keluarga pada
wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara singkat
hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan
15
berhubungan dengan penulisan dan permasalahan yang dibahas bagi aparat
II
. TINJAUAN PUSTAKAA. Pengertian dan Unsur- Unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana atau yang sering disebut delik berasal dari istilah Belanda yaitu
strafbaar feit atau juga sering disebut delict. Istilah tersebut merupakan istilah
yang banyak dipergunakan dalam doktrin atau ilmu pengetahuan. Diantara para
ahli ternyata banyak mempergunakan istilah yang berlainan sesuai dengan dasar
pemikirannya masing-masing. Hal ini menimbulkan pendapat yang beraneka
ragam istilah ataupun pengertian delik, seperti: “ perbuatan pidana”, “ peristiwa
pidana”, “tindak pidana”, “ perbuatan yang dapat dihukum”.1 Moeljatno
mempergunakan istilah “perbuatan pidana” untuk menggantikan istilah strafbaar
feit atau delict.
Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana,
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, atau dapat juga dikatakan
bahwa perbuatan pidana setelah perbuatan yang oleh suatu hukum dilarang dan
17
diancam pidana, kemudian larangan tersebut ditujukan pada perbuatan, sedangkan
ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.2
Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.3
Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke
gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Jika melihat
pengertian-pengertian ini, maka dalam pokoknya ternyata:
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku.
2. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang
mengadakan kelakuan tadi. 4
Jonker dan Utrecht memandang rumusan Simons merupakan rumusan lengkap,
yang meliputi :
1. Diancam dengan pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah
4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2
golongan yaitu Monistis dan Dualistis.
Masing- masing golongan yang mempunyai pendapat sendiri- sendiri yaitu
2Ibid., hlm. 34.
3Ibid.,
18
a. Simons, unsur- unsur tindak pidana adalah: 1. Perbuatan manusia (positif atau negatif) 2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan 5. Oleh yang bertanggung jawab
Selanjutnya Simons yang dikutip Sudarto, membedakan unsur- unsur Strafbaar
feit antara unsur subjektif dan unsur objektif.
a. Simons, unsur- unsur tindak pidana adalah: 1. Unsur subjektif yaitu :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab
b. Kesalahan (dolus atau culfa) artinya perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
2. Unsur objektif yaitu : a. Perbuatan orang b. Akibat yang kelihatan
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. b. Merger , menyebutkan unsur- unsur tindak pidana yaitu :
1 Perbuatan dalam arti luas oleh manusia 2 Bersifat melawan hukum
3 Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang 4 Diancam dengan pidana
c. Van Hamel, unsur- unsur tindak pidana adalah : 1 Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam UU 2 Bersifat melawan hukum
3 Dilakukan dengan kesalahan
d. Van Baumen, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1 Perbuatan oleh manusia
2 Bersifat melawan hukum 3 Dilakukan dengan kesalahan5
Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman tanpa ada kesalahan” (anact
does not make a person gulity unless the mind is guilty or actus non facit reum
nisi mens sit area). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang
diakibatkan oleh kesengajaan (dolus) atau kelapaan.
Sementara unsur objektif adalah unsur dari luar diri si pelaku yaitu:
19
1. Perbuatan manusia berupa:
a. act, yaitu perbuatan aktif
b. ommission, yaitu perbuatan pasif (perbuatan yang membiarkan atau
mendiamkan)
2. Akibat (result) perbuatan manusia.
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.6
B. Tindak Pidana Pencabulan
1. Pengertian Pencabulan
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan
orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata
dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun,
tidak susila, melanggar kesusilaan.
Menurut Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang melanggar susila
atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya. Definisi
yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya, dimana langsung atau
tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.
6
20
R. Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu segala
perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,
semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
Hoge Raad memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul yaitu seorang
laki-laki merabai badan seseorang anak laki-laki-laki-laki dan kemudian membuka kancing baju
anak tersebut untuk dapat mengelus teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan
hal tersebut untuk memuaskan nafsu birahinya.7
Pasal 82 UU N0. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menetapkan
bahwa: setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun
dan denda paling banyak 300 juta rupiah dan paling sedikit 60 juta rupiah.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencabulan
Untuk dapat menyatakan seseorang bersalah telah melakukan perbuatan cabul
terdapat pada Pasal 289 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa dengan
kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan
perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya
Sembilan tahun. Adapun unsur-unsur dalam tindak pidana pencabulan yaitu:8
a. Barangsiapa
7 Tri Andrisman, Op.cit,. hlm.9.
8
21
Sebagian pakar berpendapat bahwa “barangsiapa” bukan merupakan unsur, hanya
memperlihatkan si pelaku (dader) adalah manusia, tetapi perlu diuraikan lagi
manusia siapa dan beberapa orang, jadi indentitas “barangsiapa” tersebut harus
jelas.
b.Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
Dengan kekerasan dimaksudkan yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan
kekuatan badan yang berlebihan. Pasal 89 KUHP memperluas pengertian
kekerasan sehingga memingsangkan atau melemahkan orang, disamakkan dengan
melakukan kekerasan. Ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap wanita itu
sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan
baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi.
c. Memaksa
Perbuatan memaksa ini harus di tafsirkan sebagai ssuatu perbuatan sedemikian
rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.
d.Seseorang
Merupakan individu yang mempunyai hak asasi yang sama dengan yang lainnya
dan berhak untuk hidup secara bebas dan mendapatkan perlindungan hukum.
e. Melakukan perbuatan cabul
Suatu perbuatan yang dilakukan terhadap orang lain akibat dorongan seksual yang
ada pada diri untuk melakukan perbuatan cabul untuk memuaskan nafsu
22
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis menarik kesimpulan mengenai perbuatan
cabul yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang didorong oleh
keinginan seksual yang melanggar kesusilaan untuk melakukan hal-hal yang dapat
membangkitkan hawa nafsu birahi kelamin sehingga menimbulkan kepuasan pada
dirinya. Dasar hukum yang mengatur mengenai perbuatan cabul dalam KUHP
terdapat dalam Pasal 289, 290, 292, 293, 294, 295 dan 296.9
C. Tindak Pidana Incest
Belakangan ini, banyak sekali ditemukan baik di media maupun kehidupan nyata,
seorang anak menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan anggota keluarga
sendiri yang lazim disebut incest. Incest atau inses dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah hubungan seksual antara orang-orang yang bersaudara dekat
yang dianggap melanggar adat, hukum dan agama.10
Secara umum ada dua kategori incest. Pertama parental incest, yaitu hubungan
antara orang tua dan anak. Kedua sibling incest, yaitu hubungan antara saudara
kandung. Kategori incest dapat diperluas lagi dengan memasukkan orang-orang
lain yang memiliki kekuasaan atas anak tersebut, misalnya paman, bibi, kakek,
nenek, dan sepupu.11
Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, incest adalah hubungan seksual yang
dilakukan oleh pasangan yamg memiliki ikatan keluarga yang kuat, seperti
9Ibid., hlm.66. 10 Mayos, Op.cit.,
11 Sudadi, Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Kandung, hhtp://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx/tab.
23
misalnya ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau
antar sesama keluarga kandung.12
Sedangkan menurut Kartini Kartono, incest adalah hubungan seks diantara pria
dan wanita di dalam atau diluar ikatan perkawinan, dimana mereka terkait dalam
hubungan kekerabatan atau keturunan yang yang dekat sekali.13
Selanjutnya pendapat incest yang dikemukakan oleh Supratik mengatakan bahwa:
taraf koitus antara anggota keluarga, misalnya antara kakak lelaki dengan adik
perempuannya yang dimaksud adalah hubungan seksual.Atau antara ayah dengan
anak perempuannya, yang dilarang oleh adat dan kebudayaan.14
Menurut pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa incest adalah
hubungan seksual yang terjadi di antara anggota kerabat dekat, biasanya adalah
kerabat inti seperti ayah, atau paman. Incest dapat terjadi suka sama suka yang
kemudian bisa terjalin dalam perkawinan dan ada yang terjadi secara paksa yang
lebih tepat disebut dengan perkosaan.
Incest digambarkan sebagai kejadian relasi seksual; diantara individu yang
berkaitan darah, akan tetapi istilah tersebut akhirnya dipergunakan secara lebih
luas, yaitu untuk menerangkan hubungan seksual ayah dengan anak, antar
saudara. Incest merupakan perbuatan terlarang bagi hampir setiap lingkungan
budaya.
Freud berkesimpulan bahwa dasar tabu incest adalah apabila incest dibenarkan
maka akan terjadi persaingan perebutan pasangan dalam lingkungan, antara
12
I Wayan Artika, Incest, Jakarta: Iterprebook, 2008, hlm. 10
13 Ibid.,
14
24
ibu-saudara-saudara. Jelas bahwa persaingan atau perbuatan semacam itu akan
membawa kehancuran keluarga dan suku bangsa sendiri.15
Kemudian Freud menambahkan bahwa disposisi psikis yang dibawa sejak lahir
akan tetap efektif apabila mendapat persaingan tertentu daripada proses
percampuran darah antara individu yang tidak ada kaitan darahnya. Selain itu,
tidak ada satu generasi pun yang akan mampu mempertahankan disposisi psikis
yang positif dalam garis keturunan yang sama.16
Fakta biologis juga memperkuat tabu incest karena kematian, retardasi mental,
dan kelalaian congenital sangat banyak terjadi sebagai akibat incest. Walaupun
banyak faktor yang memungkinkan terjadi incest. Lustig menyatakan terdapat
lima kondisi gangguan keluarga yang memungkinkan terjadinya incest, yaitu:
1. Keadaan terjepit, dimana anak perempuan menjadi figure perempuan utama
yang mengurus keluarga dan rumah tangga sebagai pengganti ibu.
2. Kesulitan seksual pada orang tua, ayah tidak mampu mengatasi dorongan
seksualnya.
3. Ketidakmampuan ayah untuk mencari pasangan seksual di luar rumah karena
kebutuhan untuk mempertahankan kestabilan sifat patriachat-nya.
4. Ketakutan akan perpecahan keluarga yang memungkinkan beberapa anggota
keluarga untuk lebih memilih desintegrasi struktur daripada pecah sama sekali.
5. Sanksi yang terselubung terhadap ibu yang tidak berpartisipasi dalam tuntutan
peranan seksual sebagai istri.
15
Alfano Arief, Op.cit. hlm. 3
16
25
Faktor kondisi sosial yang sering memungkinkan pelanggaran incest adalah
rumah yang sempit dengan penghuni yang berdesakan, alkoholisme, isolasi
geografis, sehingga sulit mencari hubungan dengan anggota keluarga yang lain.17
Menurut Kartini Kartono penyebab incest adalah antara lain ruangan rumah yang
tidak memungkinkan orang tua, anak, dan saudara pisah kamar. Sedangkan
hubungan incest antara ayah dengan anak perempuannya dapat terjadi sehubungan
dengan keberadaan penyakit mental yang serius pada pihak ayah. Kartini kartono
menambahkan bahwa incest banyak terjadi dikalangan rakyat dari tingkat
kalangan sosial-ekonomi yang rendah.18
Jenis-jenis incest berdasarkan penyebabnya adalah:
1. Incest yang terjadi secara tidak sengaja, misalnya kakak-adik lelaki perempuan
remaja yang tidur sekamar, bisa tergoda melakukan eksperimentasi seksual
sampai terjadi incest.
2. Incest akibat psikopatologi berat. Jenis ini biasa terjadi antara ayah yang
alkoholik atau psikopatik dengan anak perempuannya. Penyebabnya adalah
kondornya control diri akibat alkohol atau psikopati sang ayah.
3. Incest akibat pedofilia, misalnya seorang lelaki yang haus menggauli anak-anak
perempuan dibawah umur, termasuk anaknya sendiri.
4. Incest akibat contoh buruk dari ayah. Seorang lelaki menjadi senang melakukan
incest karena meniru ayahnya melakukan perbuatan yang sama dengan kakak
atau adik perempuannya.
17Alfano Arif, Op.cit., hlm. 20
26
5. Incest akibat patologi keluarga dan hubungan perkawinan yang tidak harmonis.
Seorang suami-ayah yang tertekan akibat sikap memusuhi serba mendominasi
dari istrinya bisa terpojok melakukan incest dengan anak perempuannya.
Bentuk-bentuk incest tidak terbatas hanya dalam bentuk kekerasan seksual secara
fisik, namun juga psikis dan mental yang mencakup rayuan dan iming-iming.
Berikut beberapa bentuk kekerasan seksual yang termasuk incest:
1. Ajakan atau rayuan berhubungan seks.
2. Sentuhan atau rabaan seksual.
3. Penunjukan alat kelamin.
4. Penunjukan hubungan seksual.
5. Memaksa melakukan mastrubasi.
6. Meletakkan atau memasukkan benda-benda atau jari tangan ke anus atau
vagina.
7. Berhubungan seksual (termasuk sodomi).
8. Mengambil atau menunjukkan foto anak kepada orang lain tanpa busana atau
ketika berhubungan seksual.
Semakin maraknya kasus incest memperlihatkan betapa rentannya posisi seorang
anak untuk menjadi korban kekerasan seksual. Terlebih lagi pelakunya adalah
orang yang seharusnya menjadi pelindungnya. Tindak pidana incest itu terjadi
bukan hanya karena ada niat pelaku tetapi ada juga adanya kesempatan.19
19 Lutfi, Hubungan Seksual Sedarah,
27
D. Tinjauan Mengenai Anak
1. Pengertian Anak
Secara umum terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang anak, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak, Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Perlindungan Anak dan Berbagai peraturan lain yang berkaitan dengan masalah
anak.20
1. Menurut Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 adalah
"Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.21
2. Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa : “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”
Penjelasan UU tersebut menyatakan bahwa : Batas umur 21 (dua puluh satu)
tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha
kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan
kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.
3. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya dizinkan jika pihak
20
Tri Andrisman, Op.cit, hlm.38.
21
28
pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
4. Anak menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
5. Menurut Stbl. 1931 No. 54. ialah :
a) Mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah
kawin.
b) Mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian
bercerai, tidak kembali lagi menjadi di bawah umur.
c) Yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak.
Dengan demikian barang siapa yang memenuhi syarat tersebut (1) di atas,
disebut anak-anak dibawah umur atau secara mudahnya disebut anak- anak.
6. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia adalah sebagai berikut: Anak adalah setiap manusia yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.
Dengan demikan apabila ditinjau dari berbagai pengertian di atas, anak diartikan
sebagai orang yang belum dewasa, orang yang belum berusia 18 tahun dan belum
menikah termasuk dalam kandungan.22
22
29
2. Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dijelaskan mengenai perlindungan anak yaitu segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.23
Pengertian perlindungan anak juga diatur di dalam Pasal 2 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa upaya perlindungan anak
berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak yang
meliputi:
1) non diskriminasi
2) kepentingan yang terbaik bagi anak
3) hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan dan penghargaan
terhadap pendapat anak.
Setiap anak yang diasuh sebagai anak angkat juga berhak dalam memperoleh
perlindungan yang kewajibannya dibebankan kepada orang tua angkatnya.
Berdasarkan Pasal 13 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak
angkat berhak memperoleh perlakuan yang baik dan memperoleh perlindungan
dari deskriminasi, eksplorasi sosial dan seksual, penelantaran, kekejaman
kekerasan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Hal ini juga
diatur dalam Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang
23
30
menyatakan bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas
terwujudnya kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial.24
Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial
anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan hak
asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian
program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan kerohanian, permainan dan
dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan Advokasi dan
Hukum Perlindungan Anak.
Berkaitan dengan korban dari serangkaian tindak pidana yang diderita oleh anak
maka negara melalui komisi perlindungan anak secara langsung memonitor
tentang kondisi tersebut. Hal ini terlihat dalam peran aktif komisi perlindungan
anak dalam bentuk advokasi terhadap anak apabila terdapat sebuah kasus yang
menyangkut anak. Sedangkan dalam kasus tindak pidana kesusilaan yang
korbannya anak-anak di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 17
ayat (2) menjelaskan bahwa ”setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan
identitasnya agar tidak diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini menyangkut
perlindungan terhadap keadaan psikis anak terhadap publisitas media yang
dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai opini masyarakat tentang korban anak
24
31
tersebut dan hal ini tentunya dapat mempengaruhi perkembangan psikis anak yang
menjadi korban tindak pidana tersebut.”25
E. Tinjauan Mengenai Pemidanaan
L.H.C Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the
sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and
punishment).26 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan
diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup
keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum
pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan
mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum
Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.
Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila
aturan- aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum
pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa
keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan
khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu
kesatuan sistem pemidanaan.
25
Ibid., hlm.35
26
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.23.
32
Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum
pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan
khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP Buku I dan aturan
khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam
Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat
perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang
menyimpang dari aturan umum.27
Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu:
1. Teori Retributive atau Teori Pembalasan
Teori retributive atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan
bertujuan untuk:
a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pelecehan murni dan tujuannya
tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si
pelanggar.28
2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan
Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:
a. Pencegahan (prevention);
27
Ibid., hlm.135.
28
33
b. Pencegahan bukan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada
pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat
untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdarakan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung
unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan
tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat.29
3. Teori Gabungan
Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidanaitu
hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan
perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan
tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.
Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori
pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan jahat, keinginan masyarakat
untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara
terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti,
yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari
penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.30
29
Ibid.
30
34
Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas
yang sanagat penting untuk diketahui karena dengan asas-asas yang ada itu dapat
membuat suatu hubungan dam susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat
dipergunakan secara sistematis, kritis dan harmonis. Adapun asas-asas yang
dimaksud yaitu:
a.Asas Legalitas
Asas legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas yang
tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin
yaitu: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya secara
harafiah adalah: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan
terlebih dahulu dalam undang-undang”.31 Asas legalitas dalam KUHP
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitutida suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia membawa konsekuensi dalam
penerapan hukum pidana, baik dalam praktek peradilan maupun masyarakat.
Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) konsekuensi utama dianut asas legalitas ini,
yaitu:32
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam
undang-undang pidana.
2. Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan undang-undang
pidana.
3. Undang-undang pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif).
31
Ibid., hlm. 37.
35
b. Asas Kesalahan
Dalam hukum pidana dikenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa
kesalahan (geenstraf zonder schuld). Walaupun asas ini tidak tercantum secara
tegas dalam KUHP maupun peraturan lainnya, berlakunya asas ini tidak
diragukan lagi. Berdasarkan asas ini ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk
seseorang dapat dipidana yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus
reus) dana ada sikap batin yang jahat/tercela (mens rea). Actus reus tidak
hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act) dalam arti biasa, tetaoi
mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
a. Perbuatan dari si terdakwa.
b. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu.
c. Keadaan-keadaan yang tercantum atau terkandung dalam perumusan tindak
pidana.33
33 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013,
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan
menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut
asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum
dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.
Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman
tentang pokok bahasan yang jelass mengenai gejala dan objek yang sedang
diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataan dan berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di
1
37
lapangan baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang
didasarkan pada identifikasi hukm dan efektifitas hukum.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
lapangan dengan menggunakan metode wawancara atau interview kepada para
para pelaku tindak pidana incest (terpidana), serta lainnya yang relevan dengan
pokok permasalahan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh penulis
melalui penelusuran literatur atau kepustakaan, peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dokumen-dokumen, arsip-arsip yang berhubungan dengan pokok
materi pembahasan yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
3