WATAK TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN
KACAMATA TANPA BINGKAI KARYA SORI SIREGAR:
ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA
Skripsi
OLEH
SUFFRIADY SIMANULLANG
090701037
DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen
Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis Psikologi Sastra
Skripsi
Oleh,
Suffriady Simanullang
090701037
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah
disetujui oleh:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Irwansyah, M.S. Drs. Gustaf Sitepu, M.Hum.
NIP, 19530425 198303 1 002 NIP, 19560403 198601 1 001
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Watak Tokoh Utama
dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis
Psikologi Sastra” adalah benar hasil karya penulis. Judul yang dimaksud belum pernah
dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahsiswa lain demi memperoleh gelar kesarjanaan.
Semua sumber data yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar sesuai dengan
aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
Medan, April 2014
Penulis,
Suffriady Simanullang
Abstrak
Fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan manusia atau tokoh dalam cerita tidak lepas dari watak dan tingkah laku yang dimilikinya. Watak merupakan sifat bawaan dan tingkah laku yang muncul dari diri tokoh merupakan perpaduan dari unsur-unsur id, ego dan super ego yang menjadi penentu pemikiran seorang individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana watak dan perilaku tokoh berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Kacamata Tanpa Bingkai karya Sori Siregar. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dengan mendeskripsikan atau melukiskan kembali data-data yang telah dikumpulkan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Melalui analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah-masalah yang dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama dalam memiliki watak dan perilaku yang didominasi oleh id, ego dan super ego yang mempengaruhi watak dan tingkah laku tokoh.
Kata-kata kunci:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi
yang berjudul “ Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa
Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis psikologi Sastra” disusun untuk memenuhi salah
satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan,
baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M.
Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku
Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu
Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs.
Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu
penulis.
3. Bapak Drs. Irwansyah, M.S. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Gustaf
Sitepu, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan
ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Gustaf Sitepu, M.Hum. selaku dosen penasehat akademik dan seluruh
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan
bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
5. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda M. Simanullang dan
Ibunda T. Silaban yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup
bagi penulis dan turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik
moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
6. Saudara-saudaraku yang terkasih, Abang-abang, Kakak, dan Adik, yang selalu
mendukung, mendoakan dan menjadi inspirasi bagi penulis dalam keadaan apapun
untuk tetap bersemangat, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi
perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.
Medan, Mei 2014
Penulis,
Suffriady Simanullang
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN………i
PERNYATAAN……….ii
ABSTRAK……….iii
KATA PENGANTAR………..iv
DAFTAR ISI……….vi
BAB I PENDAHULUAN……….………..…..………..………1
1.1. Latar Belakang………1
1.2. Masalah………...3
1.3. Batasan Masalah……….……4
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………4
1.3.1 Tujuan Penelitian………….……….4
1.3.2 Manfaat Penelitian………...5
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA………6
2.1 Konsep………6
2.1.1 Cerpen………6
2.1.2 Watak……….7
2.1.3 Tokoh Utama....……….7
2.1.4 Perilaku………..9
2.2 Landasan Teori………...9
2.3 Tinjauan Pustaka………12
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN………..…….…..…..15
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………15
3.2 Metode Analisis Data………16
3.4 Bahan Analisis………...……….17
BAB IV WATAK TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN KACAMATA TANPA BINGKAI………18
4.1 Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen KTB……...………...…..18
4.1.1 Kacamata Tanpa Bingkai………19
4.1.2 Nasihat………23
4.1.3 Status………..28
4.1.4 Sebuah Berita………..32
4.1.5 Bisu……….37
4.2 Perilaku Tokoh Utama Menyikapi Masalah yang dihadapinya dalam Kumpulan Cerpen KTB………42
4.2.1 Kacamata Tanpa Bingkai………43
4.2.2 Nasihat……….…...46
4.2.3 Status………..48
4.2.4 Sebuah Berita……….49
4.2.5 Bisu……….…52
BAB V SIMPULAN DAN SARAN……….…54
5.1 Simpulan………54
5.2 Saran………..55
DAFTAR PUSTAKA……..……….56
Abstrak
Fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan manusia atau tokoh dalam cerita tidak lepas dari watak dan tingkah laku yang dimilikinya. Watak merupakan sifat bawaan dan tingkah laku yang muncul dari diri tokoh merupakan perpaduan dari unsur-unsur id, ego dan super ego yang menjadi penentu pemikiran seorang individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana watak dan perilaku tokoh berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Kacamata Tanpa Bingkai karya Sori Siregar. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dengan mendeskripsikan atau melukiskan kembali data-data yang telah dikumpulkan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Melalui analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah-masalah yang dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama dalam memiliki watak dan perilaku yang didominasi oleh id, ego dan super ego yang mempengaruhi watak dan tingkah laku tokoh.
Kata-kata kunci:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sastra selalu identik dengan ungkapan perasaan dan pikiran pengarang
tentang hidup. Karya sastra yang diciptakan seorang pengarang adalah gambaran
dan kepekaan terhadap apa yang dialaminya dalam kehidupan. Sebuah karya
sastra dapat memberikan penjelasan tentang keadaan dan kehidupan sosial suatu
masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, dan gagasan, serta nilai-nilai yang
diamanatkan pengarang lewat tokoh-tokoh dalam cerita. Kehidupan dalam karya
sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap pengarang, latar
belakang pendidikan, keyakinan, dan sebagainya (Pradopo, 1997:36).
Sebuah karya sastra tercipta akibat adanya hubungan antartokoh dalam
cerita dan situasi sosial pada zaman karya sastra itu diciptakan. Karya sastra
berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan, serta zamannya. Sastra
menghasilkan karya seni dan beraneka ragam, antara lain novel, roman, cerpen,
puisi, dan naskah drama. Karya sastra sebagai objek penelitian, metode, dan teori
sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang
saling melengkapi (Ratna, 2004:15).
Penelitian psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni adanya
anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran
jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (concious). Hal tersebut selalu
mewarnai proses imajinatif pengarang. Di samping itu, watak tokoh secara
psikologis juga termasuk dalam pemikiran dan perasaan pengarang dalam
menciptakan suatu karya sastra. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada
umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.
Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia
untuk mengungkapkan eksistensi dirinya (Sarjidu, 2004:2).
Penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra,
harus dilandasi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan
manusia. Gambaran tingkah laku pola kehidupan manusia dapat ditunjukkan
dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dilihat melalui karya sastra yang berisi
tentang ungkapan pengalaman, perasaan, atau kejadian-kejadian yang dialami
dalam kehidupan sehari-hari.
Psychology yang merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti
jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafi
baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya.
Pergolakan jiwa dalam diri manusia ketika menghadapi keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan dalam menjalani hidup selalu terjadi. Dalam hal ini, watak
tokoh sangat berperan penting dalam memberikan suatu hal yang sangat
diperlukan dalam membangun cerita sehingga dapat dipahami. Seringkali
tokoh yang mempunyai watak yang sangat beragam. Bahkan penggunaanya dapat
bersifat abstrak dan mengandung makna implisit.
Kumpulan cerpen karya Sori Siregar berjudul Kacamata Tanpa Bingkai
(KTB) diterbitkan pada tahun 2004. Kumpulan cerpen tersebut dipersembahkan
untuk istri dan anak-anaknya. Keseluruhan gagasan dan ide pengarang tertuang
dalam empat belas cerpen tersebut. Jadi, pengkajian selanjutnya penulis
menggunakan bentuk pengkajian terhadap kumpulan cerpen, tentunya dengan
teori tertentu agar sesuai. Penulis tertarik menganalisis watak tokoh utama dalam
kumpulan cerpen KTB dikarenakan penulis ingin meneliti dan mengetahui lebih
mendalam cerpen ini dari tinjauan psikologi sastra. Kumpulan cerpen KTB sejauh
ini belum pernah dianalisis secara psikologi sastra, sehingga dalam penelitian ini
akan membahas tentang watak, dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen
KTB karya Sori Siregar.
1.2Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian ini, masalah pokok yang dibicarakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah watak tokoh utama dalam kumpulan cerpen KTB?
2. Bagaimanakah perilaku tokoh utama menyikapi masalah yang dihadapinya
1.3Batasan Masalah
Batasan perlu dilakukan agar ruang lingkup penelitian masalah terarah dan
jelas sesuai dengan tujuan. Populasi dalam kumpulan cerpen KTB terdiri dari
empat belas cerpen dan sampel yang dianalisis oleh penulis adalah lima cerpen,
yaitu “Kacamata Tanpa Bingkai”, “Nasihat”, “Status”, “Sebuah Berita”, dan
“Bisu”.
Batasan masalah dalam penelitian ini menekankan pada pengungkapan
watak dan perilaku tokoh utama menyikapi masalah yang dihadapinya dengan
menerapkan teori psikologi sastra dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Cerita
yang terdapat dalam kumpulan cerpen KTB tersebut, sangat menarik untuk
dianalisis karena banyak mengandung aspek kehidupan dan pergolakan jiwa
tokoh-tokohnya.
1.4 Tujuan dan Metode Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan harus diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran
(Pradopo, 2001:28). Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan watak tokoh utama dalam kumpulan cerpen KTB.
2. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama dalam menyikapi masalah yang
1.4.2 Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini memberi manfaat:
1. Menjadi sarana penambah wawasan pembaca dalam memahami watak dan
perilaku tokoh dalam suatu cerita.
2. Memperluas bidang kajian sastra yakni tentang watak tokoh melalui
pendekatan psikologi sastra.
3. Menjadi bahan acuan atau bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003:588), konsep adalah
gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa,
yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain. Pradopo, (2001:38)
mengemukakan bahwa konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan
menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel.
Konsep digunakan sebagai dasar penelitian yang menentukan arah suatu topik
pembahasan. Konsep yang dimaksud adalah gambaran dari objek yang akan
dianalisis berupa kumpulan cerpen KTB karya Sori Siregar dalam tulisan ilmiah
yang berjudul Watak Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa
Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis Psikologi Sastra. Berdasarkan penjelasan
tersebut, penelitian ini menggunakan beberapa konsep yang digunakan dalam
pembahasan bab-bab selanjutnya, yakni:
2.1.1 Cerpen
Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Cerpen merupakan
kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang
dominan, memusatkan diri pada satu tokoh disatu situasi. Cerpen hanya
menonjol yang menjadi pokok cerita. Oleh karena itu, kepaduan merupakan syarat
utama sebuah cerita pendek.
2.1.2 Watak
Watak adalah pribadi atau tokoh dalam suatu karya yang menggerakkan
cerita dengan cara berinteraksi sesama tokoh dan alam. Wataklah yang memiliki
peran penting untuk menghidupkan cerita yang hendak disampaikan oleh
pengarang. Daripada peranannya itulah menimbulkan berbagai peristiwa, kisah
dan sebagainya yang akhirnya terjalinlah sebuah cerita yang menarik. Menurut
Allport (dalam Suryabrata, 1983:2), istilah watak dan kepribadian sering
digunakan secara bertukar-tukar, namun biasanya kata watak menunjukkan arti
normatif, serta menyatakan bahwa watak adalah kepribadian dinilai, dan
kepribadian adalah watak tidak dinilai. Jadi, watak tokoh adalah karakter atau
sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku tokoh dalam
cerita.
2.1.3 Tokoh Utama
Tokoh adalah pelaku yang mengemban atau menjalankan peristiwa dalam
cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1984:85).
Tokoh utama merupakan pemeran dalam suatu cerita yang memegang peran
penting atau utama. Tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan
yang dimaksud dapat berupa novel dan cerpen. Tokoh dalam karya sastra selalu
mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu.
Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh
protagonis dan tokoh antagonis (Aminuddin, 1984:85).
Tokoh protagonis adalah tokoh yang wataknya disukai pembacanya.
Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak yang baik dan positif, seperti
dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai, mandiri, dan setia kawan.
Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang mempunyai watak yang
seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai kelemahan. Oleh karena itu,
ada juga watak protagonis yang menggambarkan dua sisi kepribadian yang
berbeda. Sebagai contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia
memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak dan istrinya sehingga anak dan
istrinya juga begitu sayang kepadanya.
Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh
ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negatif, seperti
pendendam, culas, pembohong, menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka
pamer, dan ambisius. Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang
bercampur dengan sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang jujur, tetapi
2.1.4 Perilaku
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Manusia dilahirkan dengan berbagai watak
atau karakteristik yang membedakannya dengan hewan dan sesamanya. Tidak
dapat disangkal bahwa watak dapat menentukan perilaku akan tetapi perilakulah
yang menentukan pengembangan diri seseorang. Dalam tingkat yang paling
sederhana karakteristik ini membatasi kemungkinan perilaku manusia dan
rangsangan yang muncul. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,
baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar
(Notoatmodjo, 2007:38).
Menurut Sigmund Freud (dalam Suryabrata, 1983:183) dasar perilaku
adalah insting (inborn motives) yang bertempat dalam alam ketidaksadaran.
Ketidaksadaran adalah ciri utama psikoanalisis, khususnya yang diajarkan Freud,
yang membedakan dengan teori-teori lainnya. Ada dua jenis insting atau naluri,
yaitu “eros” (naluri kehidupan untuk mempertahankan kelangsungan individu
atau spesies) dan “tanatos” (naluri kematian, dorongan menghancurkan yang ada
pada diri setiap manusia dan dinyatakan dalam perkelahian, pembunuhan, perang,
sadisme dan sebagainya).
2.2 Landasan Teori
Landasan teori yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah psikologi
dalam bentuk tulisan. Pendekatan psikologi memiliki tiga pendekatan yaitu: 1.
pendekatan ekspresif yang menekankan pengekspresian ide-ide ke dalam karya
sastra, 2. pendekatan tekstual yang menekankan pada psikologi tokoh, 3.
Pendekatan reseptif yang mengkaji psikologi pembaca (Endraswara, 2008:99).
Objek dalam penelitian ini menekankan pada pendekatan tekstual yaitu
melalui jiwa atau aspek psikologis tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya
sastra itu. Kejiwaan para tokoh dalam karya itu sekaligus merupakan
implementasi kehidupan nyata manusia dan sekaligus merupakan gejala
psikologis sosial dari masyarakatnya. Pendekatan tekstual pada awalnya memang
tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip Freud tentang psikoanalisis, sebab
pendekatan tekstual yang paling awal digunakan dalam memahami psikologis
ataupun kejiwaan tokoh. Buku Freud tentang interpretasi jiwa telah banyak
mengilhami para peneliti psikologi. Dalam penelitian psikologi sastra, para
peneliti harus mampu menggali sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita
hidup yang ekspresif.
Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada,
semenjak usia ilmu itu sendiri. Akan tetapi penggunaan psikologi sebagai sebuah
pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan. Menurut Robert
Downs (dalam Abdulrahman, 2003:1) bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada
suatu wilayah yang gelap, mistik dan paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah.
Wilayah yang gelap itu memang ada pada manusia, dari wilayah yang gelap itulah
kemudian muncul perilaku serta aktivitas yang beragam, termasuk perilaku baik,
Kehidupan manusia tidak pernah jauh dari tindakan-tindakan yang dapat
mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Proses perjalanan
kehidupan manusia merupakan gambaran jiwa yang ada pada diri manusia itu
sendiri.
Menurut Hardjana (1991:60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan
sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari
asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan
manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan.
Di sini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam batin
jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan
untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya
terhadap tindakan lainnya.
Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa.
Menurut Sigmund Freud, (dalam Suryabrata, 1983:145) ada tiga komponen
kepribadian, yaitu Id yang selalu berprinsip mau memenuhi kesenangannya
sendiri (pleasure principle), termasuk di dalamnya naluri seks dan agresivitas, ego
yang selalu berorientasi pada kenyataan (reality principle), dan super ego yang
selalu berpatokan pada norma-norma yang baku (moral standard). Ketiga
komponen tersebut menjadi dasar manusia untuk bergerak
menyalurkan energi naluri ke dalam energi gerak untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya terjadi dalam kehidupan nyata dan pastinya juga terjadi dalam
kehidupan dunia fiksi. Ketiganya juga saling berkaitan dalam membentuk totalitas
Meski pertarungan id, ego dan super ego dalam diri setiap tokoh atau
antara tokoh satu dengan tokoh yang lain melalui proses rumit, tetapi sebuah teori
yang dikembangkan oleh Freud yaitu psikoanalisis, dapat dijadikan sebagai
rujukan untuk menganalisisnya dan mencoba menjabarkan watak yang dimiliki
tokoh.
Penganalisisan karya sastra dengan pendekatan psikoanalisis Sigmund
Freud dilakukan untuk mengkaji pergolakan jiwa dalam tokoh karya sastra yang
juga memiliki keinginan dan kebutuhan layaknya manusia dalam kehidupan
nyata. Pendekatan psikoanalisis digunakan karena tokoh-tokoh dalam karya sastra
merupakan sebuah cerminan dari kehidupan nyata sehingga mampu mewakili
watak manusia yang diaplikasikan dalam bentuk cerita. Kegiatan mengkaji
pergolakan jiwa tokoh karya sastra perlu pengamatan yang jeli dan teliti. Hal
tersebut dilakukan karena objek dalam pengkajian psikoanalisis adalah ilmu jiwa.
2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan mengkaji kumpulan cerpen KTB Karya Sori Siregar
belum pernah dikaji sebelumnya. Namun analisis dengan teori Psikologi Sastra
sudah pernah dilakukan dalam penelitian objek lainnya. Tinjauan pustaka
bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu
penelitian berasal dari acuan yang mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian
penelitian ini, dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam
Ahmad Yazir (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Mekanisme
Pertahanan dan Konflik dalam Cerpen Bunga Tabur Terakhir Karya G.M.
Sudarta: Tinjauan Psikologi Sastra”. Membahas tentang kesabaran dan keteguhan
yang terilis dari cerpen Bunga Tabur Terakhir Karya G.M. Sudarta, serta
kegigihan dalam meraih kembali sebuah cinta bermakna. Mekanisme pertahanan
dan konflik dalam cerpen ini banyak mengambil dari pemain utama dan musuh
pemain utama tersebut (Pak Lurah), yaitu bagaimana sesuatu hal dapat
memberikan motivasi kepada tokoh utama untuk dapat melanjutkan hidup yang
lebih baik dan harmonis. Rasa benci dalam diri setiap tokoh cerita dapat kita
sadari kalau sebenarnya mereka juga termasuk mahluk sosial. Di samping itu,
mekanisme pertahanan dan konflik kehidupan ini menuntut tokoh utama untuk
saling pengertian dan saling menghormati setiap masukan yang diberikan, rasa
keputusasan tokoh utama dalam cerita yang sebenarnya lebih bisa diperjuangkan
lagi untuk mendapatkan kebahagiaan/tujuan yang baik tanpa harus terus berpasrah
pada nasib.
Penelitian tentang tokoh sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh
Priyatmi (2002) dalam penelitian yang berjudul ”karakteristik tokoh utama wanita
novel Berkisar Merah karya Ahmad Tohari: tinjauan Psikologi Sastra”.
Kesimpulan penelitian ini adalah gambaran tokoh utama Lasiyah yang awal
mulanya pasrah pada keadaan berubah menjadi pribadi yang berontak karena
keadaan dan pengaruh kehidupan kota. Kepribadian Lasiyah yang mulanya lugu
karena kehidupanya di desa sangat miskin sehingga membuat Lasiyah ingin
mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.
Lissa Ernawati, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara melakukan penelitian dengan menggunakan teori psikologi sastra.
Dengan objek kajian Novel Rojak karya Fira Basuki. Pada penelitiannya, Lissa
Ernawati menelaah psikologis tokoh-tokoh dalam novel Rojak tersebut. Ia
menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dan
memaparkan keadaan psikologis setiap tokoh-tokoh yang terdapat dalam Novel
Rojak tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lissa mengambil kesimpulan
bahwa karakter manusia suatu saat dapat berubah apabila berada dalam keadaan
emosi yang tidak stabil. Perubahan karakter itu dapat membuat kita menjadi lebih
baik atau buruk, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian
dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra sudah pernah dilakukan
sebelumnya. Dalam penelitian yang akan diteliti adalah tentang watak dan
perilaku tokoh utamanya, dan yang membedakan penelitian ini terhadap penelitian
terdahulu adalah judul penelitiannya dan judul buku yang dijadikan sebagai objek
penelitian. Dengan demikian, keaslian atau kebenaran penelitian ini dapat
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam sebuah penelitian tentu diperlukan metode. Metode dilakukan
dengan langkah-langkah kerja yang diatur sebagaimana yang berlaku bagi
penelitian-penelitian pada umumnya (Pradopo, 2001:13). Metode menyangkut
cara sebuah penelitian untuk mewujudkan tujuan. Metode pengumpulan data
dalam penelitian ini yaitu metode membaca heuristik dan hermeneutik. Menurut
Pradopo (dalam Rambe, 2003:6) “pembacaan heuristik adalah pembacaan
berdasarkan struktur kebahasaannya atau pembacaan tingkat pertama. Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan cerpen berdasarkan konvensi sastranya yaitu
pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran
berdasarkan konvensi sastra.”
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan menyimak, dan
mencatat. Menyimak dan catat yakni teknik yang dilakukan secara cermat,
terarah, dan teliti. Sumber data primer yang merupakan karya sastra berupa teks
kumpulan cerpen yaitu KTB. Hasil penyimakan terhadap sumber data tersebut,
kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam laporan penelitian sesuai
3.2 Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan metode deskriptif, yaitu
melukiskan kembali data yang telah dikumpulkan. Metode analisis deskriptif
dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang sudah diidentifikasi
lewat pembacaan berulang-ulang. Pendeskripsian dilakukan berdasarkan data dari
kartu data. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih
berdasarkan masalah yang dibahas. Analisis tersebut didasari oleh teori-teori
pendukung yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu teori psikologi sastra
dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan mendeskripsikan analisis secara
benar dan terperinci maka dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil
penelitian.
3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian populasi yang diselidiki secara menyeluruh.
Sampel yang baik adalah sampel yang memiliki populasi atau representatif artinya
yang menggambarkan keadaan populasi atau mencerminkan populasi secara
maksimal, tetapi sampel bukan merupakan duplikat dari populasi. Populasi dalam
kumpulan cerpen KTB adalah empat belas cerita yang terdapat di dalamnya,
sedangkan sampelnya adalah kelima cerita yang dipilh untuk mewakili populasi
dari kumpulan cerpen tersebut.
Objek penelitian sebagai sasaran untuk mendapatkan dan mengumpulkan
data disebut populasi. Agar hasil penelitian yang telah dilakukan masih dapat
dilakukan secara jelas. Untuk memperoleh tujuan penelitian, maka dipergunakan
teknik sampling yaitu prosedur untuk mendapatkan dan mengumpulkan
karakteristik yang berada di dalam populasi meskipun data itu tidak diambil
secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja. Bagian dari populasi tersebut
disebut sampel yang dianggap mewakili populasinya.
3.4 Bahan Analisis
Sumber data yang di analisis diambil dari buku Sori Siregar, yaitu:
Judul : Kacamata Tanpa Bingkai
Tahun terbit : 2004
Penerbit : Kreasi Media Utama dan Nusa Agung, Jakarta
Jenis : Kumpulan Cerpen
Ukuran : Tiga belas kali sembilanbelas sentimeter
Tebal : 130 halaman
Warna Buku : Biru
Sumber data yang dipaparkan merupakan data sebernarnya yang
dianalisis sebagai data utama. Dalam penelitian ini juga diperlukan data sekunder
BAB IV
WATAK TOKOH UTAMA
4.1 Watak
Dalam teori psikologi sastra, watak dipandang sebagai sesuatu objek atau
pelaku yang mengembangkan tema dan persoalan serta plot melalui aksi,
tindakan, dialog dan konflik (Hashim Awang, 1984:55). Meskipun demikian,
kehidupan tokoh dalam suatu karya tidak pernah lepas dari kejiwaan yang
mempengaruhi kehidupan tokoh tersebut. Tingkah laku tokoh dalam cerita tidak
lain merupakan produk interaksi antara id, ego, dan super ego. Perkembangan
ketiga sistem tersebut sangat bervariasi terhadap individu yang berbeda sehingga
melahirkan watak yang berlainan. Freud menyatakan bahwa ketiga sistem tersebut
tidak dapat dipisahkan karena merupakan dasar dari pembentukan tingkah laku.
Tingkah laku adalah bagian dari watak yang dimiliki tokoh. Hubungan ketiga
sistem itu menurut Freud (dalam Taniputera, 2005:44).
dalam masyarakat yang diajarkan orangtua terhadap anaknya. Super ego adalah untuk menghambat dorongan-dorongan pemuasan yang berasal dari id.
Berdasarkan penjelasan ketiga sistem tersebut maka watak dan perilaku
tokoh utama dalam menyikapi masalah yang dihadapinya dalam kumpulan cepen
KTB karya Sori Siregar dapat diuraikan.
4.1.1 “Kacamata Tanpa Bingkai”
Cerpen “KTB” menceritakan tentang tokoh Aku yang memiliki watak
protagonis yaitu sifat positif dan pekerja keras. Tokoh Aku dan Paman Cortinez
sangat suka dengan ide-ide pembaharuan serta orang-orang yang berada di sekitar
mereka tidak luput dari bahan pembicaraan mereka. Dalam hal ini, tokoh Aku
adalah seorang atau individu yang mempunyai sifat pendiam. Hal itu dapat dilihat
pada kutipan berikut.
Merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada kacamatanya, ia lalu membuka kacamata itu dan menggosokkannya dengan kain kecil yang selalu tersedia dikantongnya.
Ini juga suatu pembaharuan. Kacamata tanpa bingkai. Kita akan kelihatan lebih muda dengan kacamata seperti ini. Dengan kacamata berbingkai aku akan kelihatan sepuluh tahun lebih tua.
Sebaliknya, jawabku, aku akan sepuluh tahu lebih muda dengan kacamata berbingkai. Aku tidak melihat adanya ide pembaharuan di sini.
Kau benar.
Nah, aku selalu benar bukan?
Ya, kau selalu benar aku senang bahwa kau suka dengan ide-ide pembaharuan.
Tentu, dari sikapmu yang kurang senang bicara dan lebih suka bekerja aku bisa mengetahui itu. Terlalu banyak bicara dan berdiplomasi membuat kita menjadi politikus dan diplomat bukan?
Tidak selamanya. Terkadang kita malah menjadi pembual besar. (KTB: 110).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku dan Paman Cortinez
adalah individu-individu yang memiliki pemikiran yang jauh ke depan, tidak suka
banyak bicara namun lebih suka bekerja. Pandangan tokoh Aku terhadap
kehidupan di sekitarnya sangat baik sehingga tokoh Aku tidak terbawa oleh
keinginan buta unsur id. Dorongan-dorongan id yang begitu kuat dalam diri
tokoh Aku dapat ditekan oleh ego sehingga dapat merumuskan dan mencari cara
untuk memenuhi kebutuhan dari id yang selalu ingin mencari kepuasan akan
hasrat-hasrat dasarnya. Hal ini dapat diekspresikan oleh ego yang merupakan
bagian dari pengambilan keputusan yang menggantikan prinsip kesenangan milik
id. Id beroperasi menurut prinsip kesenangan, ego beroperasi menurut prinsip
kenyataan, dan super ego beroperasi menurut prinsip moral dan idealis atau
prinsip kesempurnaan. Jika salah satu dari ketiga sistem tersebut memiliki peran
yang lebih banyak dari sistem lainnya maka sistem itulah yang mendominasi
tingkah laku tokoh.
Lalu kita dikagumi dan dianggap seperti orang besar, maksudmu?
Tidak, tidak selamanya begitu. Terkadang orang mencemooh kita. Lalu kita dijauhi.
Seperti Miller?
Contoh yang tepat.
Lalu Duncan.
Pantas aku lihat kau kurang begitu senang pada mereka
Mestinya mereka jadi senator.
Namun kalaupun mereka menjadi senator, mereka segera akan bangkrut. Omongan mereka juga penuh dengan perulangan bukan? Seorang senator memerlukan pemikiran segar dan baru (KTB :110).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku didominasi oleh unsur
ego sebab tokoh Aku membicarakan hal-hal nyata yang ada di sekitarnya yaitu
ketika tokoh Aku berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan ide
pembaharuan dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tokoh Aku tidak
menyukai hal-hal yang tidak bermanfaat atau yang berbau perulangan. Watak
yang dimiliki tokoh Aku adalah watak antagonis yang menimbulkan konflik
dalam cerita. Tokoh aku mengatakan bahwa yang dilakukan oleh orang-orang di
sekitarnya merupakan perulangan. Tokoh Aku tidak suka menjadi diplomat
ataupun politikus yang sering dianggap masyarakat sebagai pembual besar dan
terkadang dicemooh dan dibenci. Dalam hal ini tuntutan id tidak dapat dipenuhi,
sebab ego dapat menekan id yang bersifat naluriah sehingga dapat diubah menjadi
hal-hal yang baik dan benar. Ego terus-menerus berupaya mengendalikan tuntutan
buta dari id. Tokoh Aku membicarakan tentang hal-hal yang berbau ide
pembaharuan dan tidak menyukai hal-hal yang berbau perulangan. Watak yang
dimiliki tokoh Aku merupakan hasil dari unsur super ego yang dapat memberikan
kebaikan moral dalam diri tokoh Aku.
Ya, tidak seperti kita, orang-orang yang kurang mau bicara dan lebih suka bekerja.
Aku terdiam. Pertanyaan yang dimajukan oleh paman Cortinez, orang Chili teman sekamar apartemen besar ini mengejutkanku. Pertama dulu ketika aku memanggil namanya Cortinez. Dia keberatan. Dia mengatakan bahwa panggilan paman Cortinez sudah melekat padanya, karena kemenakan-kemenakannya memanggil begitu setiap hari. Karena itu ia memintaku agar memanggil seperti itu pula. Sejak itulah aku memanggil namanya paman Cortinez.
Tapi apa yang telah kita kerjakan, tanyanya sekali lagi.
Aku tidak tahu. Tapi yang jelas ada.
Ada, tapi kita tidak tahu apa. Namun itu masih tetap lebih baik, daripada mereka yang sama sekali tidak berbuat apa-apa.
Kita lebih baik bukan?
Ya, kita lebih baik. (KTB:113).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku mempunyai watak
Protagonis yaitu sifat yang tidak merugikan orang lain dan memenuhi saran baik
dari orang, hal tersebut dapat dilihat ketika tokoh Aku menuruti permintaan
Cortinez untuk dipanggilnya sebagai paman. Karena panggilan tersebut sudah
lama melekat dalam diri Cortinez sehingga ia merasa janggal bila tidak dipanggil
dengan sebutan paman. Unsur id dan ego dalam diri tokoh Aku dapat ditahan oleh
super ego sehingga tokoh aku mau memanggil Cortinez dengan panggilan Paman.
Tokoh Aku dalam hal ini hanya dapat menceritakan tentang hal-hal dan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Padahal orang-orang yang ada di sekitarnya
masih lebih baik dari tokoh Aku yang tidak tahu apa yang telah dikerjakaannya.
Namun tokoh Aku tetap merasa lebih baik dari orang-orang di sekitarnya karena
dia merasa masih banyak orang yang tidak melakukan kegiatan apa-apa.
Ya? Tanyanya.
Kacamata tanpa bingkai, jawabku.
O, ya, katanya sambil memakai kembali kacamata tanpa bingkai itu. Kita terlalu asyik, katanya lagi melanjutkan.
Ya, kita terlalu asyik, sambungku lagi (KTB:114).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku mempunyai niat baik
untuk mengingatkan pamannya agar tidak lupa memakai kacamata tanpa bingkai.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh Aku mempunyai watak baik. Dalam hal
ini watak tokoh akan berubah ketika berada pada lingkungan yang berbeda dari
lingkungan sebelumnya.
4.1.2 “Nasihat”
Cerpen “Nasihat” menceritakan tentang seorang tokoh yaitu tokoh Aku
yang menerima nasihat baik dan berharga dari pamannya sendiri, tokoh Aku di
dalam cerita ini mempunyai watak antagonis yaitu penakut dan menerima. Tokoh
Aku di sini merasa tertekan oleh nasihat yang diberikan pamannya, karena dia
merasa tidak pernah meminta nasihatnya. Namun di sisi lain tokoh Aku merasa
senang karena diingatkan oleh pamannya untuk melakukan kebaikan terhadap
sesama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.
Aku tidak berani melihat wajahnya. Nasihat beruntun yang diberikannya tidak pernah kuminta.
“jangan takut mengoreksi diri sendiri. Introspeksi itu perlu. Kalau kita hanya berani mengemukakan kelemahan orang lain, tapi tidak melakukan introspeksi, sama artinya menganggap diri kita sempurna”.
Kalau jam kerjamu delapan jam bekerjalah penuh delapan jam. Dalam bekerja jangan tiru orang kita, tirulah orang barat. Di negeri kita jam kerja memang delapan jam, bahkan mungkin kurang dari itu. Satu jam digunakan untuk makan siang dan satu jam lagi, bahkan mungkin lebih, habis terbuang hanya untuk membaca Koran atau mengobrol. Ini namanya korupsi”.
Aku mengangguk lagi.
“Dalam menjalani kehidupan tetapkan skala prioritas yang benar. Jangan melompat-lompat atau jungkir balik. Kalau kemampuan keuanganmu baru memungkinkan pembuatan kandang ayam, jangan memaksa diri membeli rumah. Jika untuk membeli sepeda motor saja uangmu tidak cukup, jangan coba-coba membeli mobil. Jangan kencangkan ikat pinggangmu hanya karena tidak mau kalah dari orang lain (Nasihat:9-10).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa rasa takut yang dialami oleh tokoh
Aku muncul karena nasihat yang diberikan pamannya. Dalam hal ini unsur ego
dapat menekan keinginan dari id. Sehingga tokoh Aku yang sebenarnya tidak
meminta nasihat pamannya merasa malas dan bosan mendengar nasihat tersebut.
Menurut Freud, super ego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau
aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau berarti
bagi individu tersebut (dalam Koswara, 1991:35). Akan tetapi tokoh Aku dapat
menerima nasihat tersebut karena tujuannya sangat baik dan nilai-nilai moral yang
diberikan pamannya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Nasihat terakhir ini menyentakku. Diluar sadarku aku kembali menatap wajahnya.
“Karena itu jangan dulu membuat pesawat terbang kalau dana pendidikan yang membuat semua anak dapat bersekolah dengan jumlah sebenggol. Sistem pendidikan dan dana yang cukup untuk melahirkan sumber daya manusia yang potensial jauh lebih penting daripada pesawat terbang.”
Keh, keh, keh, ia tertawa sinis. Aku masih menatap wajahnya. Begitu ia kembali serius aku kehilangan keberanian untuk melanjutkan tatapanku. (Nasihat:9-10).
Kutipan tersebut menjelaskan tokoh Aku akan selalu mengingat dan
menjalankan nasihat yang telah diberikan pamannya. Tokoh Aku mulai berani
menatap wajah pamannya, akan tetapi kembali tokoh Aku kehilangan keberanian
ketika pamannya menatap tokoh Aku lagi. Unsur id dan ego dalam kutipan
tersebut dapat diarahkan oleh super ego pada tujuan yang sesuai moral yang
dapat diterima oleh masyarakat, serta menyatakan diri dalam emosi-emosi
tertentu, seperti menjalankan nasihat yang telah diberikan pamannya untuk ikut
membantu sesamanya.
Berdasarkan ingatan semua nasihat yang diberikan pamanku itu kucatat dalam buku harianku. Sebagai orang yang baru memasuki kota besar ini aku akan membutuhkan nasihat seperti itu, walaupun mulanya aku bosan mendengarnya. Buku harian itu kubawa dalam tas yang kusandang kemana saja aku pergi.
Paman yang baik hati itu pula yang membantu mencarikan kerja untukku disebuah perusahaan tanah dan bangunan milik temannya.
Tidak jarang aku tersenyum membaca nasihat-nasihat itu. Ketika itulah aku mulai menyadari bahwa ajaran-ajaran untuk berbuat kebaikan selalu mengundang senyum. Mengapa? Karena ajaran-ajaran itu terlalu ideal untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Nasihat:9-12).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku melakukan semua yang
hariannya. Sifat tokoh Aku pada saat mendengarkan adalah menerima. Tokoh
Aku selalu mengingat dan melakukan hal-hal yang telah dinasihatkan pamannya
tersebut ke arah yang baik. Terlihat bahwa dorongan id dalam diri tokoh Aku
telah diredam oleh ego yang dapat melakukan segala sesuatu yang baik yang
dinasihatkan oleh pamannya di kehidupan nyata.
Belakangan baru kusadari bahwa perbuatanku menggunakan waktu luangku dengan membaca surat kabar, majalah atau nasihat-nasihat paman itu adalah salah. Aku harus bekerja delapan jam penuh di luar jam makan siang. Begitu sadar aku langsung memperbaikinya. Tidak ada lagi waktu luang bagiku. Jika tidak ada calon pembeli rumah atau tanah yang berurusan denganku, aku segera melangkah ke meja temanku yang sedang melayani calon pembeli dan menawarkan jasaku, pergi ke pintu masuk atau menghubungi calon pembeli yang pernah berurusan denganku tetapi kemudian tidak ada kabar kelanjutannya. Dengan begitu tidak ada lagi waktuku yang luang. (Nasihat:9-13).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku mulai sadar akan waktunya
yang terbuang sia selama ini. Merasa telah membuang waktunya dengan
sia-sia, tokoh Aku kemudian melakukan nasihat yang telah ia catat dalam buku
hariannya dan dia jadikan sebagai pedoman dalam melakukan aktifitasnya,
sehingga tokoh Aku tidak lagi melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan
nasihat yang telah diterima dari pamannya.
Dalam kunjunganku kemarin aku berterus terang mengatakan tidak tahu harus berbuat apa dengan tabunganku. Pamanku tersenyum lalu dengan lembut mengajukan pertanyaan: “sudah kau bayar zakatmu? Dan berapa banyak dari uangmu yang kau sisihkan lalu kau berikan kepada saudara-saudaramu yang kau sisihkan lalu kau berikan kepada saudara-saudaramu yang membutuhkannya?.”
Tiba-tiba aku merasa berbahagia. Dengan sebagian uang tabunganku aku dapat mengulurkan bantuanku kepada orang yang kuanggap membutuhkannya. Sebenarnya aku tidak mengulurkan bantuan tetapi menyampaikan hak mereka, seperti kata almarhumah ibuku. Alangkah nikmatnya hidup ini, pikirku, karena kita masih dapat memperhatikan dan peduli terhadap sesama. (Nasihat:14-15).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku tidak tahu harus berbuat
apa terhadap uang tabungannya. Tokoh Aku menanyakan kepada pamannya mau
dikemanakan uang tabungannya tersebut. Sehingga pamannya memberikan arahan
supaya tokoh Aku membagikan hasil pencariannya itu kepada orang-orang yang
membutuhkannya. Kemudian tokoh Aku teringat akan nasihat yang diberikan oleh
almarhum ibunya yang mengatakan bahwa rezekinya sudah ada bagian orang lain
disana sehingga tokoh aku akan mengulurkan sebagian penghasilannya terhadap
sesaamanya.
Dalam hal ini tokoh Aku memiliki suatu pandangan yang sangat baik akan
hal-hal di sekitarnya, sifat yang dimiliki tokoh Aku yaitu baik. Tokoh Aku ikhlas
memberikan sebagian dari penghasilannya terhadap sesamanya yang
membutuhkan. Hal yang menunjukkan bahwa tokoh aku berwatak baik adalah
“Dengan sebagian uang tabunganku aku dapat mengulurkan bantuanku kepada
orang yang kuanggap membutuhkannya. Sebenarnya aku tidak mengulurkan
bantuan tetapi menyampaikan hak mereka, seperti kata almarhumah ibuku.” Dari
hal tersebut dapat menggambarkan bahwa tokoh aku memilki watak yang baik.
“Terima kasih, kris,” ujarku. “Tenang sajalah, tidak aka nada apa-apa. Percayalah.”
Ketika ia akan membuka mulut lagi aku memberikan isyarat agar ia tidak usah melanjutkan nasihatnya, karena aku merasa telah cukup memperoleh nasihat berharga dari pamanku. (Nasihat:15).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku merasa bingung dengan
kabar yang beredar tentang dirinya. Tokoh Aku tidak tahu tentang hal-hal yang
dituduhkan kepadanya. Namun, tokoh Aku tidak menerima nasihat dari
sahabatnya, karena dia telah merasa cukup memperoleh nasihat yang berharga
dari pamannya.
Watak yang dimiliki tokoh aku pada kutipan ini adalah watak Antagonis
karena sahabatnya sendiri mengira bahwa tokoh Aku seorang penjudi dan
peminum alkohol, namun tokoh Aku memiliki sifat lapang dada. Tokoh Aku tidak
mempermasalahkan tentang hal yang dituduhkan padanya dan selalu melakukan
nasihat yang telah diberikan pamannya. Unsur id dan ego dalam diri tokoh Aku
tidak dapat muncul karena unsur super ego dapat menahan keinginan dari kedua
unsur tersebut dan memberikan gambaran tentang hal yang baik sehingga tokoh
Aku tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma dalam
kehidupan bermasyarakat.
4.1.3 “Status”
Cerpen “Status” menceritakan suatu hal yang sangat diinginkan semua
orang yakni tentang kesetaraan derajat atau status sosial. Tokoh Aku dalam cerita
dihadapinya. Tokoh Aku telah melepaskan segala sesuatu yang pernah
dimilikinya yaitu status sosialnya.
Status sosialku telah kulemparkan ke dalam kolam. Aku bebas dari kungkungan attribut resmi. Ternyata banyak pihak-pihak yang tidak atau kurang setuju.
“Kau rugi,” kata suara pertama.
“Kau berlagak puritas,” sambung suara kedua.
“Kau pasti menyesal,” cetus suara ketiga.
“Mungkin, mungkin saja,” teriakku menjawab laungan suara yang tak diundang itu. Diikat dengan ketentuan-ketentuan resmi memang menyakitkan. Hari ini menggunting pita disana, besok pidato resmi disini, lusa menyematkan tanda jasa diantara sini dan sana. Lensa kamera foto, tv dan film ternyata bukan pula sahabat-sahabat yang baik, tetapi lebih merupakan mata yang senantiasa mengintip kita kemana-mana. Tapi kini aku telah meninggalkan semua itu.
“Menyenangkan,” kata mereka yang setuju.
“Sangat menggembirakan,” jawabku. (Status:99).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa unsur id dalam diri tokoh Aku sangat
lemah, id tidak dapat berkembang karena dapat ditahan oleh ego. Tokoh Aku
lebih memilih untuk melepas atau melemparkan segala yang telah dia capai. Ego
dalam diri tokoh aku sangat besar sekali dimana hasrat-hasrat dasar dalam diri
tokoh Aku sudah tercapai. Kemudian tokoh Aku mengikuti kemauan ego dalam
dirinya yakni dia rela melepas segala yang dimilikinya. Tokoh Aku merasa
gembira dengan semua yang telah dia lakukan karena telah lepas dari semua
atribut yang mengikatnya. watak tokoh Aku dalam hal ini dipengaruhi oleh suatu
hal dalam dirinya yakni tidak mau terikat dengan pekerjaan yang membuat hidup
Unsur super ego tidak berfungsi dengan baik, tokoh Aku sudah
menemukan kesempurnaan dalam hidup akan tetapi ego tokoh Aku yang ingin
lepas dari atribut resmi membuat super ego tidak berdaya menahan tindakan yang
dilakukan oleh ego tersebut.
Aku mulai khawatir, jangan-jangan kuman yang kubuat seekstrim lalat-lalat itu. Bagaimana ganjilnya dalam tubuhku ini tidak ada lagi kuman-kuman walaupun kehadiran mereka mungkin akan lebih banyak bersifat merugikan. Kontemplasi tidak banyak menolong, meditasi juga demikian dan mantera telah kujadikan ratusan puisi yang kuharapkan dapat membantuku kalau kesulitan dalam memberondong. Karena aku telah mempersiapkan diri, apa yang mula hanya muncul dalam imajinasi, ternyata mengambil bentuknya yang kongkret. Status resmi yang kutanggalkan membuatku terpencil dari segala mahluk termasuk mahluk yang paling kecil di dunia ini, kuman.
Nilai suatu yang kumiliki, baru sekarang ini kurasakan kehebatannya. Sudah terlambat untuk merebutnya kembali. (Status :100).
Dalam hal ini tokoh Aku mulai sadar bahwa dia telah salah melepaskan
semua yang pernah tokoh Aku miliki. Unsur super ego dalam diri tokoh aku
muncul kembali, dikarenakan tokoh aku telah sadar dengan semua yang telah
diperbuatnya dan mulai menuntut kesempurnaan seperti yang dimilikinya dulu.
Watak yang dimiliki tokoh Aku dalam kutipan tersebut yakni khawatir. Tokoh
Aku tidak dapat lagi membuat dirinya seperti dulu, karena egonya telah
membuatnya jatuh dan tidak bisa seperti dulu lagi.
“Ternyata kau menyesal,” kata yang tidak setuju.
ini aku masih enggan berkata benar. Memang terlalu sukar untuk berkata benar dan puisi-puisi mantera tidak juga mau memberikan bantuan apa-apa. Mungkin saja karena aku sangat sekuler, sangat duniawi. Mungkin. Mungkin saja. (Statust:101).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ego dalam diri tokoh Aku sangat
mendominasi watak yang dimilikinya. Tokoh Aku sebenarnya menyesal telah
melepaskan statusnya. Akan tetapi tokoh Aku berbohong ketika orang-orang
menanyakan tentang status yang dilepaskannya itu kepadanya dan mengatakan
kalau tokoh Aku tidak menyesal telah melakukan hal itu. Namun, dalam diri
tokoh Aku sebaliknya. Tokoh Aku sebenarnya sangat menyesal telah melakukan
hal tersebut dan tidak mudah untuk mengembalikan yang telah dimilikinya dulu.
Watak yang dimiliki tokoh Aku dalam kutipan di atas adalah keras kepala
dan pembohong. Hal itu dapat dilihat ketika orang bertanya kepadanya. Apakah
tokoh Aku menyesal?. Tokoh Aku berbohong kalau dia tidak menyesal telah
melepaskannya, namun dalam hati tokoh Aku sebaliknya. Tokoh Aku sangat
menyesal dan keras kepala untuk mengakui bahwa tokoh Aku sangat menyesal
telah menyia-nyiakan status yang dimilikinya dulu.
Dan dunia semakin aneh, karena semakin banyak atribut baru yang dikukuhkan. Semuanya menjadi resmi semuanya menjadi kaku dan nilai sesuatu yang santai telah dideviluir begitu rupa.
Semua ini tentu tidak akan menjadi masalah kalau aku tidak menanggalkan dan kemudian melemparkan statusku ke dalam kolam. Pengurangan sebuah status toh tidak aka nada artinya kalau yang lain-lain masih bertahan kokoh di tempatnya. Tiba-tiba aku menjadi relihius dan mendekati Tuhan. Tuhan ternyata tumpuan pengaduan. Mata-mata yang mengintip bukanlah mata-mata yang buta dan semua diarahkan padaku.
Kebohongan ini menggema ke mana-mana dan terdengar di segala penjuru dunia. (Status:102).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa penyesalan tokoh Aku menanggalkan
status sosialnya begitu besar. Baginya pengurangan sebuah status tidak akan
berpengaruh bila yang lain masih kokoh di tempatnya. Namun, kehidupan tokoh
Aku menjadi berubah, dimana tokoh Aku menjadi pembohong dan tidak mudah
untuk berkata yang benar. Tokoh Aku mengalami sederetan masalah yang datang
menghampirinya setelah menanggalkan status sosialnya. Ego dalam diri tokoh
Aku sangat besar sehingga super ego tidak dapat bekembang yaitu keinginan
untuk mencapai kesempurnaan dengan mengembalikan statusnya seperti dulu
lagi.
4.1.4 “Sebuah Berita”
Cerpen “Sebuah Berita” menceritakan tentang seorang penyiar radio yang
pasrah dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak diingikannya melainkan atas
pemberian abangnya dan seorang anak yang ingin memberitahukan kepada
ayahnya melalui siaran radio bahwa ibunya sedang sakit keras. Namun usahanya
sia-sia dikarenakan terbentur oleh prosedur yang kaku pada stasiun radio tersebut.
Dalam hal ini watak yang dimiliki tokoh Aku yakni penyiar radio adalah
watak Protagonis yaitu menerima saran atau anjuran karena yang memberikan
pekerjaan kepada tokoh Aku adalah abangnya.
abangku yang kebetulan menjadi kepala bagian siaran disana. Aku langsung menghadap kepala studio dan menyatakan keinginanku untuk menjadi orang radio dan aku kemudian diterima tanpa melalui prosedur yang memuakkan seperti biasanya, kalau hendak melamar ke kantor-kantor pemerintah (Sebuah Berita:93).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Aku menjadi orang radio
bukan atas keinginannya sendiri tetapi merupakan permintaan dari abangnya yang
bekerja sebagai kepala bagian siaran di stasiun radio tersebut. Watak tokoh yang
penurut dapat ditemukan pada kutipan berikut, “dan kalau kemudian, aku memang
menjadi orang radio dengan pengertian bekerja di sana, hal itu semata-mata
karena permintaan abangku yang kebetulan menjadi kepala bagian siaran di sana.”
(Sebuah Berita:93).
Unsur id dalam diri tokoh aku sangat lemah, tokoh Aku hanya pasrah dan
menuruti apa yang diberikan abangnya. Pekerjaan yang diberikan abangnya
sebenarnya tidak disukai oleh tokoh Aku. Akan tetapi unsur super ego dalam diri
tokoh Aku bisa memberikan pertimbangan atas pekerjaan yang diberikan
abangnya sehingga ego yang ada dalam diri tokoh Aku tidak dapat muncul
kepermukaan yang membuat super ego dapat mengendalikan keduanya.
Beruntung sekali aku pernah bekerja di suratkabar, sehingga membuat berita-berita untuk siaran tidak banyak menemui kesulitan.
-Membuat berita untuk radio, berbeda dengan membuat berita untuk suratkabar, kata kepala bagian perkabaran, pada hari pertama ditempatkan disana. Segalanya harus serba singkat, tetapi padat dan tidak bertele-tele seperti berita-berita suratkabar, katanya.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku telah mengerti tentang
pekerjaan yang akan dijalaninya, karena tokoh Aku sebelumnya sudah pernah
bekerja di persuratkabaran dan sering mendengarkan warta radio sehingga tokoh
Aku tidak kesulitan lagi beradaptasi dalam pekerjaan barunya.
Tokoh Aku mendengarkan semua penjelasan yang diberikan oleh kepala
bagian perkabaran tentang pekerjaan yang akan dijalaninya. Watak tokoh Aku
dapat berubah ketika berada pada suatu tempat atau lingkungan baru yang
mempunyai aturan tentang perkerjaan maupun tentang lingkungan tempatnya
berada. Tokoh Aku memberikan reaksi mengerti dengan penjelasan kepala bagian
di tempat kerjanya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menuruti arahan dari
atasannya.
Kalau bekerja di redaksi akan menemui atasan yang terlalu memberi kebebasan bekerja pada kami, sebaliknya bekerja sebagai penyiar ini kau kau menemui atasan yang terlalu birokratis cara bekerjanya, sehingga terkadang aku harus menjadi pengikut-pengikut disiplin yang mati. Tapi masa bodoh, pikirku, aku toh bukan bekerja untuk dia. Dan sikap masa bodoh ini, ternyata membawa hasil yang baik, karena ternyata dengan sikap ini yang menyebabkan aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik. (Sebuah Berita :94).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku mengambil suatu cara atau
sikap dalam menghadapi peraturan yang diberikan atasannya yakni sikap masa
bodoh yang membuat pekerjaannya berjalan dengan baik. Pekerjaan barunya
sebagai penyiar radio membuat watak yang ada dalam diri tokoh Aku dapat
Peraturan yang diberikan oleh atasan tokoh Aku membuat wataknya
menjadi keras kepala. Tokoh Aku mengambil sikap masa bodoh terhadap
peraturan atasannya yang membuat pekerjaannya menjadi berjalan dengan baik.
Unsur ego dalam diri tokoh Aku sangat mendominasi wataknya sehingga unsur id
dalam diri tokoh Aku dapat ditekan. Kemudian super ego menyeimbangkan
keduanya, yang membuat tokoh Aku dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Aku mengambil kertas yang dipegangnya, membacanya dan kemudian memandangnya wajah anak itu. Aku memegang suatu berita keluarga, yang ditujukan kepada ayahnya, mengabarkan ibunya sedang sakit keras.
Aku mengerut kening. Aku mesti menolong anak ini, pikirku. Berita ini harus sampai pada ayahnya, sebelum terjadi apa-apa dengan ibunya sedang sakit keras.
Aku mengerutkan kening. Aku mesti menolong anak ini, pikirku. Berita ini harus sampai pada ayahnya, sebelum terjadi apa-apa dengan ibunya yang sakit itu. (Sebuah Berita:95).
Kutipan di atas menjelaskan tokoh Aku terlihat khawatir setelah membaca
sebuah berita keluarga yang dibawa oleh seorang anak. Tokoh Aku terus berpikir
apa yang akan dilakukan untuk membantu anak tersebut. Tokoh Aku tetap
berpikir berita tersebut harus sampai kepada ayah anak itu. Tokoh Aku lalu
berjanji membantu anak tersebut dan menyuruhnya pulang. Watak yang dimiliki
oleh tokoh Aku adalah baik. Tokoh Aku berusaha membantu anak tersebut
dengan berusaha menjumpai produser studio agar mau memberikan izin
menyiarkan berita keluarga tersebut. Akan tetapi niat baik tokoh Aku tidak dapat
terealisasikan karena kendala prosedur yang ada dalam stasiun radio tersebut.
-saya tidak mau bertanggung jawab, kataku. Tidak, aku mengatakan itu, kau cuma mengatakan itu dalam hati. Anak ini harus ditolong, soalnya juga terlalu sederhana, ia ingin mengabarkan berita ibunya yang sakit keras, kepada ayahnya yang kebetulan berada agak jauh di luar kota. Cobalah mengerti ini. Tapi mengapa aku tidak mengatakan ini, aku cuma mengatakannya dalam hati.
-Berita ini boleh disiarkan kalau surat penghulu kampong sudah kita terima, balasnya tandas.
-Baik, kataku meninggalkannya. (Sebuah Berita:96).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku sangat berusaha keras
supaya mendapat izin dari produsernya agar dapat menyiarkan berita yang
diberikan anak tersebut. Setelah menemui produsernya, tokoh aku tidak mendapat
izin sehingga mereka harus menunggu surat penghulu dari kampung. Watak tokoh
pada kutipan di atas adalah baik. Hal tersebut terlihat ketika tokoh Aku ingin
membantu anak tersebut menyiarkan berita keluarganya.
Aku tertegun. Aku menatap matanya dan aku merasa berdosa. Anak yang tidak berdosa ini, sama sekali tidak mengetahui, bahwa berita yang telah diberikannya sama sekali tidak disiarkan. Sebuah berita sederhana yaitu berita keluarga yang tidak dapat disiarkan hanya karena peraturan yang kaku dikantor kami.
-Tolonglah kak, katanya. Ini surat penghulunya, saya usahakan juga untuk mengambilnya malam ini.
Sekali lagi aku membaca surat itu. Ibunya telah meninggal dunia, setelah tiga hari sakit keras. (Sebuah Berita:97).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku merasa sangat bersalah dan
berdosa dengan situasi yang dihadapinya karena berita keluarga yang tidak dapat
disiarkannya sama sekali. Meskipun ada niat tokoh Aku ingin membantu untuk
menyiarkan berita keluarga anak itu, tetapi hal tersebut tidak dapat dilakukannya
membantu anak itu mempunyai watak peduli. Hal tersebut dapat dilihat ketika
tokoh Aku ingin menyiarkan berita keluarga itu namun gagal karena terhalang
oleh prosedur yang kaku dalam kantor mereka.
4.1.5 “Bisu”
Cerpen “Bisu” menceritakan tentang tokoh Aku dan Gorga yang memilih
untuk bisu dari segala sesuatu yang mereka lihat dan dengar dilingkungan mereka.
Watak keduanya yakni watak antagonis. Kedua tokoh tersebut telah
mengkeramatkan kata bisu tersebut, karena dengan membisu mereka telah banyak
tertolong. Watak dari tokoh didominasi oleh id. Hal itu terlihat pada kutipan
berikut.
Ketika menyaksikan seorang pemuda dikerjakan beramai-ramai oleh sejumlah petugas keamanan di sebuah tempat yang sunyi, kami membisu saja. Tidak berusaha melarang, apalagi mencegah. Kami cuma menyaksikan dengan rasa heran, takut dan tidak dimengerti. Ketika seorang dari petugas keamanan itu menggertak kami agar menjauh, perintahnya kami turuti dengan patuh dan membisu.
Kami selamat karena membisu. Kalau peristiwa itu kami laporkan kepada polisi bisa berakibat sebaliknya. Kalau tidak dituduh memfitnah, mungkin kami dituduh mengadu domba. Dengan membisu semuanya akan menjadi lebih aman.
Dua orang penodong yang berhasil menggondol sejumlah uang dan kemudian sukses menyelamatkan diri, mengancam saya dan Gorga. Sebabnya, kami mengenal kedua penodong itu dan tahu dimana mereka bersembunyi karena ancaman itu kami berjanji tidak memberitahukan tempat persembunyian mereka ke pihak yang berwenang. Ancaman itu diucapkan oleh salah seorang penodong itu, sedangkan kami hanya mengangguk mengiyakan. Pokoknya membisu. (Bisu:103-104).
bahwa keduanya merupakan individu yang impulsif. Dorongan-dorongan id yang
begitu kuat dalam diri tokoh dapat ditekan oleh ego yang berhubungan langsung
dengan dunia luar dan mempunyai peran dalam pengambilan keputusan yang
merupakan sifat batin seseorang.
Setelah mengalami berbagai peristiwa bersama-sama. Tokoh Aku masih
merasa nikmat dengan kebisuannya sedangkan tokoh Gorga mulai berontak dan
mulai meragukan kesaktian dari kata bisu tersebut. Tekanan yang dialami kedua
tokoh bebeda. Hal teresebut terlihat pada kutipan berikut.
Dalam kebisuan ternyata saya merasa nikmat. Gorga sebaliknya. Belakangan ini ia meragukan kesaktian dan kekeramatan kata bisu. Membisu terus membuatnya merupakan siksaan.
“Buat apa kita punya mulut kalau tidak pernah dipakai?” tanyanya gusar.
Aku membisu. Bukan karena tidak ingin menjawab, tetapi semata-mata karena tidak mampu. Membisu berlama-lama kiranya membuat inderaku tumpul. Pertanyaan yang demikian terdengar oleh telinga. Otak juga malas bekerja, sedangkan perasaan seakan tidak berfungsi.
Karena tidak menjawab, Gorga kembali membisu. Kalau Aku merasa nikmat dalam kebisuan. Gorga merasakan sebaliknya. Ia penasaran, gusar, gelisah, panik dan tidak tenteram. (Bisu:104).
Tokoh Aku yang lebih memilih membisu mulai merasa nikmat dengan
kelakuannya menunjukkan bahwa tokoh Aku adalah individu yang impulsif.
Dorongan-dorongan yang ada dalam diri tokoh lebih didominasi oleh hal-hal yang
berbau pribadi sehingga tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Alat indera
yang mereka miliki tidak dapat digunakan dengan baik, mereka lebih memilh
untuk tidak mempergunakannya dan lebih memilih untuk membisu dari segala hal
Setelah kejadian tersebut tokoh Gorga mulai menunjukkan suatu hal
yang bertolakbelakang dengan tokoh Aku sehingga tokoh Gorga mulai berontak
dengan semua yang telah mereka lakukan. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang
tidak tenteram, takut, gelisah dan lain-lainnya.
Ia mengisyaratkan dengan gerakan kepalanya agar aku membaca sepotong kertas yang terletak di lantai tidak jauh dari tempatnya berbaring. Aku mengambil kertas itu dan membacanya.
Aku termenung lama sekali. Gorga tidak sabar menunggu, ia berontak lagi. Aku cuma menatapnya dan tidak berbuat apa-apa.
Akhirnya keputusan kuambil kalau kau merasa punya mulut bicaralah. Aku ingin mendengar apa yang kau rasakan, melalui mulutmu. Surat sepotong itu hanya berisi kesimpulan. Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri mengapa kesimpulan itu bisa begitu cepat sampai kesana. Bicaralah.
Tapi aku mengatakan itu dalam hati. Bukan hanya berkata, tetapi berteriak-teriak, keras-keras sampai tubuhku terasa tergoncang. Gorga jelas tidak dapat mendengarnya, betapapun kerasnya aku berteriak dalam hati (Bisu:104-105).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Gorga mulai merasa seperti
orang yang berada di alam mati sehingga dia menuliskan yang ada di pikirannya
ke dalam sebuah kertas yang kemudian tokoh Gorga menyuruh tokoh Aku
membaca isi kertas itu. Tokoh Aku merasa terkejut dengan yang dibacanya, dia
ingin mendengar hal itu langsung dari mulut sahabatnya tersebut, akan tetapi hal
tersebut tidak akan terjadi karena tokoh Aku hanya mengatakannya dalam hati
yang tak mungkin dapat didengar oleh Gorga.
Dorongan-dorongan id dan ego dalam diri tokoh Aku sangat
mendominasi watak yang dimilikinya sehingga dia hanya memperhatikan dirinya
super ego dalam dirinya tidak dapat menyeimbangkan hal tersebut yang membuat
watak tokoh menjadi buruk atau tidak peduli sekitar. Sedangkan unsur id dan ego
dalam diri tokoh Gorga dapat di tekan oleh super ego yang dapat membuat tokoh
Gorga sadar akan hal-hal yang mereka lakukan adalah salah. Keinginan kuat dari
tokoh Gorga untuk berubah merupakan dorongan dari unsur super ego yang
beroperasi menurut prinsip kesempurnaan atau moralitas.
Gorga lebih beruntung karena siksaan kebisuan lebih dulu membuatnya sadar. Ia merasa mulut telah kehilangan fungsi seluruhnya, sedangkan sebenarnya mulut hanya kehilangan fungsinya dalam berkata-kata.
Dengan hilangnya sebagian fungsi itu saja, Gorga telah merasa disiksa dengan kejam, sementara aku sendiri terlena dalam kenikmatan.
Gorga berontak lagi. Aku menatapnya memohon pengertian. Dengan mata tertutup tentu ia tidak dapat membaca apa yang tak mungkin ku jawab, teriakku dalam hati. (Bisu:105).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku melihat sahabatnya yaitu
tokoh Gorga sudah mulai sadar tentang hal yang sering mereka lakukan yaitu
membisu. Tokoh Gorga merasa sepeti hidup di alam mati yang membuatnya sadar
akan semua kejadian yang mereka lalui bersama selama ini. Sifat yang mereka
miliki yaitu tidak mempedulikan orang dengan cara membisu adalah salah.
Sedangkan tokoh Aku masih terbuai dengan kenikmatan yang dia rasakan ketika
melakukan hal tersebut. Watak tokoh Aku dalam kutipan ini sebenarnya ingin
tahu tentang hal yang membuat sahabatnya berubah dari hal yang telah mereka
lalui, tetapi hal tersebut tidak dijawab oleh tokoh Gorga karena dia telah
menuliskan yang ada dalam hatinya ke selembar kertas, kemudian menutup
Keraguan menyiksaku ketika Gorga bertanya, ‘buat apa kita punya mulut kalau tidak pernah dipakai’, aku tidak berani menjawabnya. Apakah aku akan berbuat seperti itu lagi, kalau kali ini ia juga menggunakan mulutnya?
Aku dipukul gelombang keraguan. Semua ini karena kesaktian dan kekeramatan kata bisu. Aku telah menjadi korban kesepakatan kami sendiri. Gorga lebih beruntung karena siksaan kebisuan lebih dulu membuatnya sadar. Ia merasa mulut telah kehilangan fungsi seluruhnya, sedangkan yang sebenarnya mulut hanya kehilangan fungsinya dalam berkata-kata.
Dengan tidak beraninya kau menjawab apa yang tertulis di kertas sepotong, aku sadar siapa kau sebenarnya. Aku tahu, kau bersikap seperti itu karena kau ingin hidup. Kau dan aku sama-sama mencintai hidup. Hanya dalam cara kita berbeda. Kau memilih jalan yang termudah dan paling aman katanya. (Bisu:106-107).
Kutipan tersebut menjelaskan tokoh Gorga sudah sadar akan kesalahan
yang dia perbuatnya. Tokoh Aku dan tokoh Gorga hanya mementingkan diri
sendiri daripada saling membantu satu sama lain. Namun, dari kejadian-kejadian
yang telah mereka lalui membuat tokoh Gorga merasa bersalah sehingga ingin
berubah dengan menuliskan yang ada di hatinya, dan menyuruh tokoh Aku untuk