• Tidak ada hasil yang ditemukan

Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis psikologi Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis psikologi Sastra"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

WATAK TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN

KACAMATA TANPA BINGKAI KARYA SORI SIREGAR:

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

Skripsi

OLEH

SUFFRIADY SIMANULLANG

090701037

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen

Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis Psikologi Sastra

Skripsi

Oleh,

Suffriady Simanullang

090701037

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah

disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Irwansyah, M.S. Drs. Gustaf Sitepu, M.Hum.

NIP, 19530425 198303 1 002 NIP, 19560403 198601 1 001

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si.

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Watak Tokoh Utama

dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis

Psikologi Sastra” adalah benar hasil karya penulis. Judul yang dimaksud belum pernah

dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahsiswa lain demi memperoleh gelar kesarjanaan.

Semua sumber data yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar sesuai dengan

aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, April 2014

Penulis,

Suffriady Simanullang

(4)

Abstrak

Fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan manusia atau tokoh dalam cerita tidak lepas dari watak dan tingkah laku yang dimilikinya. Watak merupakan sifat bawaan dan tingkah laku yang muncul dari diri tokoh merupakan perpaduan dari unsur-unsur id, ego dan super ego yang menjadi penentu pemikiran seorang individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana watak dan perilaku tokoh berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Kacamata Tanpa Bingkai karya Sori Siregar. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dengan mendeskripsikan atau melukiskan kembali data-data yang telah dikumpulkan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Melalui analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah-masalah yang dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama dalam memiliki watak dan perilaku yang didominasi oleh id, ego dan super ego yang mempengaruhi watak dan tingkah laku tokoh.

Kata-kata kunci:

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah

memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi

yang berjudul “ Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa

Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis psikologi Sastra” disusun untuk memenuhi salah

satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan,

baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. M.

Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku

Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu

Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra

Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs.

Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu

penulis.

3. Bapak Drs. Irwansyah, M.S. selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs. Gustaf

Sitepu, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan

ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Gustaf Sitepu, M.Hum. selaku dosen penasehat akademik dan seluruh

(6)

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan

bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

5. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda M. Simanullang dan

Ibunda T. Silaban yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup

bagi penulis dan turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik

moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

6. Saudara-saudaraku yang terkasih, Abang-abang, Kakak, dan Adik, yang selalu

mendukung, mendoakan dan menjadi inspirasi bagi penulis dalam keadaan apapun

untuk tetap bersemangat, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu

penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi

perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.

Medan, Mei 2014

Penulis,

Suffriady Simanullang

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………i

PERNYATAAN……….ii

ABSTRAK……….iii

KATA PENGANTAR………..iv

DAFTAR ISI……….vi

BAB I PENDAHULUAN……….………..…..………..………1

1.1. Latar Belakang………1

1.2. Masalah………...3

1.3. Batasan Masalah……….……4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………4

1.3.1 Tujuan Penelitian………….……….4

1.3.2 Manfaat Penelitian………...5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA………6

2.1 Konsep………6

2.1.1 Cerpen………6

2.1.2 Watak……….7

2.1.3 Tokoh Utama....……….7

2.1.4 Perilaku………..9

2.2 Landasan Teori………...9

2.3 Tinjauan Pustaka………12

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN………..…….…..…..15

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data………15

3.2 Metode Analisis Data………16

(8)

3.4 Bahan Analisis………...……….17

BAB IV WATAK TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN KACAMATA TANPA BINGKAI………18

4.1 Watak Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen KTB……...………...…..18

4.1.1 Kacamata Tanpa Bingkai………19

4.1.2 Nasihat………23

4.1.3 Status………..28

4.1.4 Sebuah Berita………..32

4.1.5 Bisu……….37

4.2 Perilaku Tokoh Utama Menyikapi Masalah yang dihadapinya dalam Kumpulan Cerpen KTB………42

4.2.1 Kacamata Tanpa Bingkai………43

4.2.2 Nasihat……….…...46

4.2.3 Status………..48

4.2.4 Sebuah Berita……….49

4.2.5 Bisu……….…52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN……….…54

5.1 Simpulan………54

5.2 Saran………..55

DAFTAR PUSTAKA……..……….56

(9)

Abstrak

Fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan manusia atau tokoh dalam cerita tidak lepas dari watak dan tingkah laku yang dimilikinya. Watak merupakan sifat bawaan dan tingkah laku yang muncul dari diri tokoh merupakan perpaduan dari unsur-unsur id, ego dan super ego yang menjadi penentu pemikiran seorang individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana watak dan perilaku tokoh berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Kacamata Tanpa Bingkai karya Sori Siregar. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dengan mendeskripsikan atau melukiskan kembali data-data yang telah dikumpulkan lewat proses pembacaan berulang-ulang. Melalui analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah-masalah yang dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan watak dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama dalam memiliki watak dan perilaku yang didominasi oleh id, ego dan super ego yang mempengaruhi watak dan tingkah laku tokoh.

Kata-kata kunci:

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra selalu identik dengan ungkapan perasaan dan pikiran pengarang

tentang hidup. Karya sastra yang diciptakan seorang pengarang adalah gambaran

dan kepekaan terhadap apa yang dialaminya dalam kehidupan. Sebuah karya

sastra dapat memberikan penjelasan tentang keadaan dan kehidupan sosial suatu

masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide, dan gagasan, serta nilai-nilai yang

diamanatkan pengarang lewat tokoh-tokoh dalam cerita. Kehidupan dalam karya

sastra adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap pengarang, latar

belakang pendidikan, keyakinan, dan sebagainya (Pradopo, 1997:36).

Sebuah karya sastra tercipta akibat adanya hubungan antartokoh dalam

cerita dan situasi sosial pada zaman karya sastra itu diciptakan. Karya sastra

berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan, serta zamannya. Sastra

menghasilkan karya seni dan beraneka ragam, antara lain novel, roman, cerpen,

puisi, dan naskah drama. Karya sastra sebagai objek penelitian, metode, dan teori

sebagai cara untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang

saling melengkapi (Ratna, 2004:15).

Penelitian psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni adanya

anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari kejiwaan dan pemikiran

(11)

jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (concious). Hal tersebut selalu

mewarnai proses imajinatif pengarang. Di samping itu, watak tokoh secara

psikologis juga termasuk dalam pemikiran dan perasaan pengarang dalam

menciptakan suatu karya sastra. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada

umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.

Kemunculan sastra lahir dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia

untuk mengungkapkan eksistensi dirinya (Sarjidu, 2004:2).

Penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra,

harus dilandasi bahwa karya sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan

manusia. Gambaran tingkah laku pola kehidupan manusia dapat ditunjukkan

dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat dilihat melalui karya sastra yang berisi

tentang ungkapan pengalaman, perasaan, atau kejadian-kejadian yang dialami

dalam kehidupan sehari-hari.

Psychology yang merupakan gabungan dan kata psyche dan logos. Psyche berarti

jiwa dan logos berarti ilmu. Secara harafi

baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya.

Pergolakan jiwa dalam diri manusia ketika menghadapi keinginan-keinginan dan

kebutuhan-kebutuhan dalam menjalani hidup selalu terjadi. Dalam hal ini, watak

tokoh sangat berperan penting dalam memberikan suatu hal yang sangat

diperlukan dalam membangun cerita sehingga dapat dipahami. Seringkali

(12)

tokoh yang mempunyai watak yang sangat beragam. Bahkan penggunaanya dapat

bersifat abstrak dan mengandung makna implisit.

Kumpulan cerpen karya Sori Siregar berjudul Kacamata Tanpa Bingkai

(KTB) diterbitkan pada tahun 2004. Kumpulan cerpen tersebut dipersembahkan

untuk istri dan anak-anaknya. Keseluruhan gagasan dan ide pengarang tertuang

dalam empat belas cerpen tersebut. Jadi, pengkajian selanjutnya penulis

menggunakan bentuk pengkajian terhadap kumpulan cerpen, tentunya dengan

teori tertentu agar sesuai. Penulis tertarik menganalisis watak tokoh utama dalam

kumpulan cerpen KTB dikarenakan penulis ingin meneliti dan mengetahui lebih

mendalam cerpen ini dari tinjauan psikologi sastra. Kumpulan cerpen KTB sejauh

ini belum pernah dianalisis secara psikologi sastra, sehingga dalam penelitian ini

akan membahas tentang watak, dan perilaku tokoh utama dalam kumpulan cerpen

KTB karya Sori Siregar.

1.2Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini, masalah pokok yang dibicarakan

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah watak tokoh utama dalam kumpulan cerpen KTB?

2. Bagaimanakah perilaku tokoh utama menyikapi masalah yang dihadapinya

(13)

1.3Batasan Masalah

Batasan perlu dilakukan agar ruang lingkup penelitian masalah terarah dan

jelas sesuai dengan tujuan. Populasi dalam kumpulan cerpen KTB terdiri dari

empat belas cerpen dan sampel yang dianalisis oleh penulis adalah lima cerpen,

yaitu “Kacamata Tanpa Bingkai”, “Nasihat”, “Status”, “Sebuah Berita”, dan

“Bisu”.

Batasan masalah dalam penelitian ini menekankan pada pengungkapan

watak dan perilaku tokoh utama menyikapi masalah yang dihadapinya dengan

menerapkan teori psikologi sastra dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Cerita

yang terdapat dalam kumpulan cerpen KTB tersebut, sangat menarik untuk

dianalisis karena banyak mengandung aspek kehidupan dan pergolakan jiwa

tokoh-tokohnya.

1.4 Tujuan dan Metode Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan harus diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran

(Pradopo, 2001:28). Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan watak tokoh utama dalam kumpulan cerpen KTB.

2. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama dalam menyikapi masalah yang

(14)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini memberi manfaat:

1. Menjadi sarana penambah wawasan pembaca dalam memahami watak dan

perilaku tokoh dalam suatu cerita.

2. Memperluas bidang kajian sastra yakni tentang watak tokoh melalui

pendekatan psikologi sastra.

3. Menjadi bahan acuan atau bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian

(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003:588), konsep adalah

gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa,

yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain. Pradopo, (2001:38)

mengemukakan bahwa konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan

menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel.

Konsep digunakan sebagai dasar penelitian yang menentukan arah suatu topik

pembahasan. Konsep yang dimaksud adalah gambaran dari objek yang akan

dianalisis berupa kumpulan cerpen KTB karya Sori Siregar dalam tulisan ilmiah

yang berjudul Watak Tokoh Utama Dalam Kumpulan Cerpen Kacamata Tanpa

Bingkai Karya Sori Siregar: Analisis Psikologi Sastra. Berdasarkan penjelasan

tersebut, penelitian ini menggunakan beberapa konsep yang digunakan dalam

pembahasan bab-bab selanjutnya, yakni:

2.1.1 Cerpen

Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Cerpen merupakan

kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang

dominan, memusatkan diri pada satu tokoh disatu situasi. Cerpen hanya

(16)

menonjol yang menjadi pokok cerita. Oleh karena itu, kepaduan merupakan syarat

utama sebuah cerita pendek.

2.1.2 Watak

Watak adalah pribadi atau tokoh dalam suatu karya yang menggerakkan

cerita dengan cara berinteraksi sesama tokoh dan alam. Wataklah yang memiliki

peran penting untuk menghidupkan cerita yang hendak disampaikan oleh

pengarang. Daripada peranannya itulah menimbulkan berbagai peristiwa, kisah

dan sebagainya yang akhirnya terjalinlah sebuah cerita yang menarik. Menurut

Allport (dalam Suryabrata, 1983:2), istilah watak dan kepribadian sering

digunakan secara bertukar-tukar, namun biasanya kata watak menunjukkan arti

normatif, serta menyatakan bahwa watak adalah kepribadian dinilai, dan

kepribadian adalah watak tidak dinilai. Jadi, watak tokoh adalah karakter atau

sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku tokoh dalam

cerita.

2.1.3 Tokoh Utama

Tokoh adalah pelaku yang mengemban atau menjalankan peristiwa dalam

cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1984:85).

Tokoh utama merupakan pemeran dalam suatu cerita yang memegang peran

penting atau utama. Tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan

(17)

yang dimaksud dapat berupa novel dan cerpen. Tokoh dalam karya sastra selalu

mempunyai sikap, sifat, tingkah laku, atau watak-watak tertentu.

Dilihat dari watak yang dimiliki oleh tokoh, dapat dibedakan atas tokoh

protagonis dan tokoh antagonis (Aminuddin, 1984:85).

Tokoh protagonis adalah tokoh yang wataknya disukai pembacanya.

Biasanya, watak tokoh semacam ini adalah watak yang baik dan positif, seperti

dermawan, jujur, rendah hati, pembela, cerdik, pandai, mandiri, dan setia kawan.

Dalam kehidupan sehari-hari, jarang ada orang yang mempunyai watak yang

seluruhnya baik. Selain kebaikan, orang mempunyai kelemahan. Oleh karena itu,

ada juga watak protagonis yang menggambarkan dua sisi kepribadian yang

berbeda. Sebagai contoh, ada tokoh yang mempunyai profesi sebagai pencuri. Ia

memang jahat, tetapi ia begitu sayang kepada anak dan istrinya sehingga anak dan

istrinya juga begitu sayang kepadanya.

Tokoh antagonis adalah tokoh yang wataknya dibenci pembacanya. Tokoh

ini biasanya digambarkan sebagai tokoh yang berwatak buruk dan negatif, seperti

pendendam, culas, pembohong, menghalalkan segala cara, sombong, iri, suka

pamer, dan ambisius. Meskipun demikian, ada juga tokoh-tokoh antagonis yang

bercampur dengan sifat-sifat yang baik. Contohnya, tokoh yang jujur, tetapi

(18)

2.1.4 Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme

(makhluk hidup) yang bersangkutan. Manusia dilahirkan dengan berbagai watak

atau karakteristik yang membedakannya dengan hewan dan sesamanya. Tidak

dapat disangkal bahwa watak dapat menentukan perilaku akan tetapi perilakulah

yang menentukan pengembangan diri seseorang. Dalam tingkat yang paling

sederhana karakteristik ini membatasi kemungkinan perilaku manusia dan

rangsangan yang muncul. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,

baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar

(Notoatmodjo, 2007:38).

Menurut Sigmund Freud (dalam Suryabrata, 1983:183) dasar perilaku

adalah insting (inborn motives) yang bertempat dalam alam ketidaksadaran.

Ketidaksadaran adalah ciri utama psikoanalisis, khususnya yang diajarkan Freud,

yang membedakan dengan teori-teori lainnya. Ada dua jenis insting atau naluri,

yaitu “eros” (naluri kehidupan untuk mempertahankan kelangsungan individu

atau spesies) dan “tanatos” (naluri kematian, dorongan menghancurkan yang ada

pada diri setiap manusia dan dinyatakan dalam perkelahian, pembunuhan, perang,

sadisme dan sebagainya).

2.2 Landasan Teori

Landasan teori yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah psikologi

(19)

dalam bentuk tulisan. Pendekatan psikologi memiliki tiga pendekatan yaitu: 1.

pendekatan ekspresif yang menekankan pengekspresian ide-ide ke dalam karya

sastra, 2. pendekatan tekstual yang menekankan pada psikologi tokoh, 3.

Pendekatan reseptif yang mengkaji psikologi pembaca (Endraswara, 2008:99).

Objek dalam penelitian ini menekankan pada pendekatan tekstual yaitu

melalui jiwa atau aspek psikologis tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam karya

sastra itu. Kejiwaan para tokoh dalam karya itu sekaligus merupakan

implementasi kehidupan nyata manusia dan sekaligus merupakan gejala

psikologis sosial dari masyarakatnya. Pendekatan tekstual pada awalnya memang

tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip Freud tentang psikoanalisis, sebab

pendekatan tekstual yang paling awal digunakan dalam memahami psikologis

ataupun kejiwaan tokoh. Buku Freud tentang interpretasi jiwa telah banyak

mengilhami para peneliti psikologi. Dalam penelitian psikologi sastra, para

peneliti harus mampu menggali sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita

hidup yang ekspresif.

Hubungan antara psikologi dengan sastra sebenarnya telah lama ada,

semenjak usia ilmu itu sendiri. Akan tetapi penggunaan psikologi sebagai sebuah

pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan. Menurut Robert

Downs (dalam Abdulrahman, 2003:1) bahwa psikologi itu sendiri bekerja pada

suatu wilayah yang gelap, mistik dan paling peka terhadap bukti-bukti ilmiah.

Wilayah yang gelap itu memang ada pada manusia, dari wilayah yang gelap itulah

kemudian muncul perilaku serta aktivitas yang beragam, termasuk perilaku baik,

(20)

Kehidupan manusia tidak pernah jauh dari tindakan-tindakan yang dapat

mempengaruhi perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Proses perjalanan

kehidupan manusia merupakan gambaran jiwa yang ada pada diri manusia itu

sendiri.

Menurut Hardjana (1991:60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan

sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari

asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan

manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan.

Di sini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam batin

jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan

untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya

terhadap tindakan lainnya.

Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa.

Menurut Sigmund Freud, (dalam Suryabrata, 1983:145) ada tiga komponen

kepribadian, yaitu Id yang selalu berprinsip mau memenuhi kesenangannya

sendiri (pleasure principle), termasuk di dalamnya naluri seks dan agresivitas, ego

yang selalu berorientasi pada kenyataan (reality principle), dan super ego yang

selalu berpatokan pada norma-norma yang baku (moral standard). Ketiga

komponen tersebut menjadi dasar manusia untuk bergerak

menyalurkan energi naluri ke dalam energi gerak untuk memenuhi kebutuhan dan

keinginannya terjadi dalam kehidupan nyata dan pastinya juga terjadi dalam

kehidupan dunia fiksi. Ketiganya juga saling berkaitan dalam membentuk totalitas

(21)

Meski pertarungan id, ego dan super ego dalam diri setiap tokoh atau

antara tokoh satu dengan tokoh yang lain melalui proses rumit, tetapi sebuah teori

yang dikembangkan oleh Freud yaitu psikoanalisis, dapat dijadikan sebagai

rujukan untuk menganalisisnya dan mencoba menjabarkan watak yang dimiliki

tokoh.

Penganalisisan karya sastra dengan pendekatan psikoanalisis Sigmund

Freud dilakukan untuk mengkaji pergolakan jiwa dalam tokoh karya sastra yang

juga memiliki keinginan dan kebutuhan layaknya manusia dalam kehidupan

nyata. Pendekatan psikoanalisis digunakan karena tokoh-tokoh dalam karya sastra

merupakan sebuah cerminan dari kehidupan nyata sehingga mampu mewakili

watak manusia yang diaplikasikan dalam bentuk cerita. Kegiatan mengkaji

pergolakan jiwa tokoh karya sastra perlu pengamatan yang jeli dan teliti. Hal

tersebut dilakukan karena objek dalam pengkajian psikoanalisis adalah ilmu jiwa.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan mengkaji kumpulan cerpen KTB Karya Sori Siregar

belum pernah dikaji sebelumnya. Namun analisis dengan teori Psikologi Sastra

sudah pernah dilakukan dalam penelitian objek lainnya. Tinjauan pustaka

bertujuan untuk mengetahui keaslian karya ilmiah, karena pada dasarnya suatu

penelitian berasal dari acuan yang mendasarinya. Untuk mengetahui keaslian

penelitian ini, dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam

(22)

Ahmad Yazir (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Mekanisme

Pertahanan dan Konflik dalam Cerpen Bunga Tabur Terakhir Karya G.M.

Sudarta: Tinjauan Psikologi Sastra”. Membahas tentang kesabaran dan keteguhan

yang terilis dari cerpen Bunga Tabur Terakhir Karya G.M. Sudarta, serta

kegigihan dalam meraih kembali sebuah cinta bermakna. Mekanisme pertahanan

dan konflik dalam cerpen ini banyak mengambil dari pemain utama dan musuh

pemain utama tersebut (Pak Lurah), yaitu bagaimana sesuatu hal dapat

memberikan motivasi kepada tokoh utama untuk dapat melanjutkan hidup yang

lebih baik dan harmonis. Rasa benci dalam diri setiap tokoh cerita dapat kita

sadari kalau sebenarnya mereka juga termasuk mahluk sosial. Di samping itu,

mekanisme pertahanan dan konflik kehidupan ini menuntut tokoh utama untuk

saling pengertian dan saling menghormati setiap masukan yang diberikan, rasa

keputusasan tokoh utama dalam cerita yang sebenarnya lebih bisa diperjuangkan

lagi untuk mendapatkan kebahagiaan/tujuan yang baik tanpa harus terus berpasrah

pada nasib.

Penelitian tentang tokoh sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh

Priyatmi (2002) dalam penelitian yang berjudul ”karakteristik tokoh utama wanita

novel Berkisar Merah karya Ahmad Tohari: tinjauan Psikologi Sastra”.

Kesimpulan penelitian ini adalah gambaran tokoh utama Lasiyah yang awal

mulanya pasrah pada keadaan berubah menjadi pribadi yang berontak karena

keadaan dan pengaruh kehidupan kota. Kepribadian Lasiyah yang mulanya lugu

(23)

karena kehidupanya di desa sangat miskin sehingga membuat Lasiyah ingin

mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.

Lissa Ernawati, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara melakukan penelitian dengan menggunakan teori psikologi sastra.

Dengan objek kajian Novel Rojak karya Fira Basuki. Pada penelitiannya, Lissa

Ernawati menelaah psikologis tokoh-tokoh dalam novel Rojak tersebut. Ia

menganalisis unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dan

memaparkan keadaan psikologis setiap tokoh-tokoh yang terdapat dalam Novel

Rojak tersebut. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lissa mengambil kesimpulan

bahwa karakter manusia suatu saat dapat berubah apabila berada dalam keadaan

emosi yang tidak stabil. Perubahan karakter itu dapat membuat kita menjadi lebih

baik atau buruk, tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian

dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra sudah pernah dilakukan

sebelumnya. Dalam penelitian yang akan diteliti adalah tentang watak dan

perilaku tokoh utamanya, dan yang membedakan penelitian ini terhadap penelitian

terdahulu adalah judul penelitiannya dan judul buku yang dijadikan sebagai objek

penelitian. Dengan demikian, keaslian atau kebenaran penelitian ini dapat

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penelitian tentu diperlukan metode. Metode dilakukan

dengan langkah-langkah kerja yang diatur sebagaimana yang berlaku bagi

penelitian-penelitian pada umumnya (Pradopo, 2001:13). Metode menyangkut

cara sebuah penelitian untuk mewujudkan tujuan. Metode pengumpulan data

dalam penelitian ini yaitu metode membaca heuristik dan hermeneutik. Menurut

Pradopo (dalam Rambe, 2003:6) “pembacaan heuristik adalah pembacaan

berdasarkan struktur kebahasaannya atau pembacaan tingkat pertama. Pembacaan

hermeneutik adalah pembacaan cerpen berdasarkan konvensi sastranya yaitu

pembacaan ulang sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran

berdasarkan konvensi sastra.”

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan menyimak, dan

mencatat. Menyimak dan catat yakni teknik yang dilakukan secara cermat,

terarah, dan teliti. Sumber data primer yang merupakan karya sastra berupa teks

kumpulan cerpen yaitu KTB. Hasil penyimakan terhadap sumber data tersebut,

kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam laporan penelitian sesuai

(25)

3.2 Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan metode deskriptif, yaitu

melukiskan kembali data yang telah dikumpulkan. Metode analisis deskriptif

dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang sudah diidentifikasi

lewat pembacaan berulang-ulang. Pendeskripsian dilakukan berdasarkan data dari

kartu data. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih

berdasarkan masalah yang dibahas. Analisis tersebut didasari oleh teori-teori

pendukung yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu teori psikologi sastra

dan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan mendeskripsikan analisis secara

benar dan terperinci maka dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil

penelitian.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang diselidiki secara menyeluruh.

Sampel yang baik adalah sampel yang memiliki populasi atau representatif artinya

yang menggambarkan keadaan populasi atau mencerminkan populasi secara

maksimal, tetapi sampel bukan merupakan duplikat dari populasi. Populasi dalam

kumpulan cerpen KTB adalah empat belas cerita yang terdapat di dalamnya,

sedangkan sampelnya adalah kelima cerita yang dipilh untuk mewakili populasi

dari kumpulan cerpen tersebut.

Objek penelitian sebagai sasaran untuk mendapatkan dan mengumpulkan

data disebut populasi. Agar hasil penelitian yang telah dilakukan masih dapat

(26)

dilakukan secara jelas. Untuk memperoleh tujuan penelitian, maka dipergunakan

teknik sampling yaitu prosedur untuk mendapatkan dan mengumpulkan

karakteristik yang berada di dalam populasi meskipun data itu tidak diambil

secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja. Bagian dari populasi tersebut

disebut sampel yang dianggap mewakili populasinya.

3.4 Bahan Analisis

Sumber data yang di analisis diambil dari buku Sori Siregar, yaitu:

Judul : Kacamata Tanpa Bingkai

Tahun terbit : 2004

Penerbit : Kreasi Media Utama dan Nusa Agung, Jakarta

Jenis : Kumpulan Cerpen

Ukuran : Tiga belas kali sembilanbelas sentimeter

Tebal : 130 halaman

Warna Buku : Biru

Sumber data yang dipaparkan merupakan data sebernarnya yang

dianalisis sebagai data utama. Dalam penelitian ini juga diperlukan data sekunder

(27)

BAB IV

WATAK TOKOH UTAMA

4.1 Watak

Dalam teori psikologi sastra, watak dipandang sebagai sesuatu objek atau

pelaku yang mengembangkan tema dan persoalan serta plot melalui aksi,

tindakan, dialog dan konflik (Hashim Awang, 1984:55). Meskipun demikian,

kehidupan tokoh dalam suatu karya tidak pernah lepas dari kejiwaan yang

mempengaruhi kehidupan tokoh tersebut. Tingkah laku tokoh dalam cerita tidak

lain merupakan produk interaksi antara id, ego, dan super ego. Perkembangan

ketiga sistem tersebut sangat bervariasi terhadap individu yang berbeda sehingga

melahirkan watak yang berlainan. Freud menyatakan bahwa ketiga sistem tersebut

tidak dapat dipisahkan karena merupakan dasar dari pembentukan tingkah laku.

Tingkah laku adalah bagian dari watak yang dimiliki tokoh. Hubungan ketiga

sistem itu menurut Freud (dalam Taniputera, 2005:44).

(28)

dalam masyarakat yang diajarkan orangtua terhadap anaknya. Super ego adalah untuk menghambat dorongan-dorongan pemuasan yang berasal dari id.

Berdasarkan penjelasan ketiga sistem tersebut maka watak dan perilaku

tokoh utama dalam menyikapi masalah yang dihadapinya dalam kumpulan cepen

KTB karya Sori Siregar dapat diuraikan.

4.1.1 “Kacamata Tanpa Bingkai”

Cerpen “KTB” menceritakan tentang tokoh Aku yang memiliki watak

protagonis yaitu sifat positif dan pekerja keras. Tokoh Aku dan Paman Cortinez

sangat suka dengan ide-ide pembaharuan serta orang-orang yang berada di sekitar

mereka tidak luput dari bahan pembicaraan mereka. Dalam hal ini, tokoh Aku

adalah seorang atau individu yang mempunyai sifat pendiam. Hal itu dapat dilihat

pada kutipan berikut.

Merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada kacamatanya, ia lalu membuka kacamata itu dan menggosokkannya dengan kain kecil yang selalu tersedia dikantongnya.

Ini juga suatu pembaharuan. Kacamata tanpa bingkai. Kita akan kelihatan lebih muda dengan kacamata seperti ini. Dengan kacamata berbingkai aku akan kelihatan sepuluh tahun lebih tua.

Sebaliknya, jawabku, aku akan sepuluh tahu lebih muda dengan kacamata berbingkai. Aku tidak melihat adanya ide pembaharuan di sini.

Kau benar.

Nah, aku selalu benar bukan?

Ya, kau selalu benar aku senang bahwa kau suka dengan ide-ide pembaharuan.

(29)

Tentu, dari sikapmu yang kurang senang bicara dan lebih suka bekerja aku bisa mengetahui itu. Terlalu banyak bicara dan berdiplomasi membuat kita menjadi politikus dan diplomat bukan?

Tidak selamanya. Terkadang kita malah menjadi pembual besar. (KTB: 110).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku dan Paman Cortinez

adalah individu-individu yang memiliki pemikiran yang jauh ke depan, tidak suka

banyak bicara namun lebih suka bekerja. Pandangan tokoh Aku terhadap

kehidupan di sekitarnya sangat baik sehingga tokoh Aku tidak terbawa oleh

keinginan buta unsur id. Dorongan-dorongan id yang begitu kuat dalam diri

tokoh Aku dapat ditekan oleh ego sehingga dapat merumuskan dan mencari cara

untuk memenuhi kebutuhan dari id yang selalu ingin mencari kepuasan akan

hasrat-hasrat dasarnya. Hal ini dapat diekspresikan oleh ego yang merupakan

bagian dari pengambilan keputusan yang menggantikan prinsip kesenangan milik

id. Id beroperasi menurut prinsip kesenangan, ego beroperasi menurut prinsip

kenyataan, dan super ego beroperasi menurut prinsip moral dan idealis atau

prinsip kesempurnaan. Jika salah satu dari ketiga sistem tersebut memiliki peran

yang lebih banyak dari sistem lainnya maka sistem itulah yang mendominasi

tingkah laku tokoh.

Lalu kita dikagumi dan dianggap seperti orang besar, maksudmu?

Tidak, tidak selamanya begitu. Terkadang orang mencemooh kita. Lalu kita dijauhi.

Seperti Miller?

Contoh yang tepat.

Lalu Duncan.

(30)

Pantas aku lihat kau kurang begitu senang pada mereka

Mestinya mereka jadi senator.

Namun kalaupun mereka menjadi senator, mereka segera akan bangkrut. Omongan mereka juga penuh dengan perulangan bukan? Seorang senator memerlukan pemikiran segar dan baru (KTB :110).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku didominasi oleh unsur

ego sebab tokoh Aku membicarakan hal-hal nyata yang ada di sekitarnya yaitu

ketika tokoh Aku berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan ide

pembaharuan dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Tokoh Aku tidak

menyukai hal-hal yang tidak bermanfaat atau yang berbau perulangan. Watak

yang dimiliki tokoh Aku adalah watak antagonis yang menimbulkan konflik

dalam cerita. Tokoh aku mengatakan bahwa yang dilakukan oleh orang-orang di

sekitarnya merupakan perulangan. Tokoh Aku tidak suka menjadi diplomat

ataupun politikus yang sering dianggap masyarakat sebagai pembual besar dan

terkadang dicemooh dan dibenci. Dalam hal ini tuntutan id tidak dapat dipenuhi,

sebab ego dapat menekan id yang bersifat naluriah sehingga dapat diubah menjadi

hal-hal yang baik dan benar. Ego terus-menerus berupaya mengendalikan tuntutan

buta dari id. Tokoh Aku membicarakan tentang hal-hal yang berbau ide

pembaharuan dan tidak menyukai hal-hal yang berbau perulangan. Watak yang

dimiliki tokoh Aku merupakan hasil dari unsur super ego yang dapat memberikan

kebaikan moral dalam diri tokoh Aku.

Ya, tidak seperti kita, orang-orang yang kurang mau bicara dan lebih suka bekerja.

(31)

Aku terdiam. Pertanyaan yang dimajukan oleh paman Cortinez, orang Chili teman sekamar apartemen besar ini mengejutkanku. Pertama dulu ketika aku memanggil namanya Cortinez. Dia keberatan. Dia mengatakan bahwa panggilan paman Cortinez sudah melekat padanya, karena kemenakan-kemenakannya memanggil begitu setiap hari. Karena itu ia memintaku agar memanggil seperti itu pula. Sejak itulah aku memanggil namanya paman Cortinez.

Tapi apa yang telah kita kerjakan, tanyanya sekali lagi.

Aku tidak tahu. Tapi yang jelas ada.

Ada, tapi kita tidak tahu apa. Namun itu masih tetap lebih baik, daripada mereka yang sama sekali tidak berbuat apa-apa.

Kita lebih baik bukan?

Ya, kita lebih baik. (KTB:113).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku mempunyai watak

Protagonis yaitu sifat yang tidak merugikan orang lain dan memenuhi saran baik

dari orang, hal tersebut dapat dilihat ketika tokoh Aku menuruti permintaan

Cortinez untuk dipanggilnya sebagai paman. Karena panggilan tersebut sudah

lama melekat dalam diri Cortinez sehingga ia merasa janggal bila tidak dipanggil

dengan sebutan paman. Unsur id dan ego dalam diri tokoh Aku dapat ditahan oleh

super ego sehingga tokoh aku mau memanggil Cortinez dengan panggilan Paman.

Tokoh Aku dalam hal ini hanya dapat menceritakan tentang hal-hal dan

orang-orang yang ada di sekitarnya. Padahal orang-orang yang ada di sekitarnya

masih lebih baik dari tokoh Aku yang tidak tahu apa yang telah dikerjakaannya.

Namun tokoh Aku tetap merasa lebih baik dari orang-orang di sekitarnya karena

dia merasa masih banyak orang yang tidak melakukan kegiatan apa-apa.

(32)

Ya? Tanyanya.

Kacamata tanpa bingkai, jawabku.

O, ya, katanya sambil memakai kembali kacamata tanpa bingkai itu. Kita terlalu asyik, katanya lagi melanjutkan.

Ya, kita terlalu asyik, sambungku lagi (KTB:114).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku mempunyai niat baik

untuk mengingatkan pamannya agar tidak lupa memakai kacamata tanpa bingkai.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh Aku mempunyai watak baik. Dalam hal

ini watak tokoh akan berubah ketika berada pada lingkungan yang berbeda dari

lingkungan sebelumnya.

4.1.2 “Nasihat”

Cerpen “Nasihat” menceritakan tentang seorang tokoh yaitu tokoh Aku

yang menerima nasihat baik dan berharga dari pamannya sendiri, tokoh Aku di

dalam cerita ini mempunyai watak antagonis yaitu penakut dan menerima. Tokoh

Aku di sini merasa tertekan oleh nasihat yang diberikan pamannya, karena dia

merasa tidak pernah meminta nasihatnya. Namun di sisi lain tokoh Aku merasa

senang karena diingatkan oleh pamannya untuk melakukan kebaikan terhadap

sesama. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Aku tidak berani melihat wajahnya. Nasihat beruntun yang diberikannya tidak pernah kuminta.

“jangan takut mengoreksi diri sendiri. Introspeksi itu perlu. Kalau kita hanya berani mengemukakan kelemahan orang lain, tapi tidak melakukan introspeksi, sama artinya menganggap diri kita sempurna”.

(33)

Kalau jam kerjamu delapan jam bekerjalah penuh delapan jam. Dalam bekerja jangan tiru orang kita, tirulah orang barat. Di negeri kita jam kerja memang delapan jam, bahkan mungkin kurang dari itu. Satu jam digunakan untuk makan siang dan satu jam lagi, bahkan mungkin lebih, habis terbuang hanya untuk membaca Koran atau mengobrol. Ini namanya korupsi”.

Aku mengangguk lagi.

“Dalam menjalani kehidupan tetapkan skala prioritas yang benar. Jangan melompat-lompat atau jungkir balik. Kalau kemampuan keuanganmu baru memungkinkan pembuatan kandang ayam, jangan memaksa diri membeli rumah. Jika untuk membeli sepeda motor saja uangmu tidak cukup, jangan coba-coba membeli mobil. Jangan kencangkan ikat pinggangmu hanya karena tidak mau kalah dari orang lain (Nasihat:9-10).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa rasa takut yang dialami oleh tokoh

Aku muncul karena nasihat yang diberikan pamannya. Dalam hal ini unsur ego

dapat menekan keinginan dari id. Sehingga tokoh Aku yang sebenarnya tidak

meminta nasihat pamannya merasa malas dan bosan mendengar nasihat tersebut.

Menurut Freud, super ego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau

aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau berarti

bagi individu tersebut (dalam Koswara, 1991:35). Akan tetapi tokoh Aku dapat

menerima nasihat tersebut karena tujuannya sangat baik dan nilai-nilai moral yang

diberikan pamannya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

(34)

Nasihat terakhir ini menyentakku. Diluar sadarku aku kembali menatap wajahnya.

“Karena itu jangan dulu membuat pesawat terbang kalau dana pendidikan yang membuat semua anak dapat bersekolah dengan jumlah sebenggol. Sistem pendidikan dan dana yang cukup untuk melahirkan sumber daya manusia yang potensial jauh lebih penting daripada pesawat terbang.”

Keh, keh, keh, ia tertawa sinis. Aku masih menatap wajahnya. Begitu ia kembali serius aku kehilangan keberanian untuk melanjutkan tatapanku. (Nasihat:9-10).

Kutipan tersebut menjelaskan tokoh Aku akan selalu mengingat dan

menjalankan nasihat yang telah diberikan pamannya. Tokoh Aku mulai berani

menatap wajah pamannya, akan tetapi kembali tokoh Aku kehilangan keberanian

ketika pamannya menatap tokoh Aku lagi. Unsur id dan ego dalam kutipan

tersebut dapat diarahkan oleh super ego pada tujuan yang sesuai moral yang

dapat diterima oleh masyarakat, serta menyatakan diri dalam emosi-emosi

tertentu, seperti menjalankan nasihat yang telah diberikan pamannya untuk ikut

membantu sesamanya.

Berdasarkan ingatan semua nasihat yang diberikan pamanku itu kucatat dalam buku harianku. Sebagai orang yang baru memasuki kota besar ini aku akan membutuhkan nasihat seperti itu, walaupun mulanya aku bosan mendengarnya. Buku harian itu kubawa dalam tas yang kusandang kemana saja aku pergi.

Paman yang baik hati itu pula yang membantu mencarikan kerja untukku disebuah perusahaan tanah dan bangunan milik temannya.

Tidak jarang aku tersenyum membaca nasihat-nasihat itu. Ketika itulah aku mulai menyadari bahwa ajaran-ajaran untuk berbuat kebaikan selalu mengundang senyum. Mengapa? Karena ajaran-ajaran itu terlalu ideal untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Nasihat:9-12).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku melakukan semua yang

(35)

hariannya. Sifat tokoh Aku pada saat mendengarkan adalah menerima. Tokoh

Aku selalu mengingat dan melakukan hal-hal yang telah dinasihatkan pamannya

tersebut ke arah yang baik. Terlihat bahwa dorongan id dalam diri tokoh Aku

telah diredam oleh ego yang dapat melakukan segala sesuatu yang baik yang

dinasihatkan oleh pamannya di kehidupan nyata.

Belakangan baru kusadari bahwa perbuatanku menggunakan waktu luangku dengan membaca surat kabar, majalah atau nasihat-nasihat paman itu adalah salah. Aku harus bekerja delapan jam penuh di luar jam makan siang. Begitu sadar aku langsung memperbaikinya. Tidak ada lagi waktu luang bagiku. Jika tidak ada calon pembeli rumah atau tanah yang berurusan denganku, aku segera melangkah ke meja temanku yang sedang melayani calon pembeli dan menawarkan jasaku, pergi ke pintu masuk atau menghubungi calon pembeli yang pernah berurusan denganku tetapi kemudian tidak ada kabar kelanjutannya. Dengan begitu tidak ada lagi waktuku yang luang. (Nasihat:9-13).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku mulai sadar akan waktunya

yang terbuang sia selama ini. Merasa telah membuang waktunya dengan

sia-sia, tokoh Aku kemudian melakukan nasihat yang telah ia catat dalam buku

hariannya dan dia jadikan sebagai pedoman dalam melakukan aktifitasnya,

sehingga tokoh Aku tidak lagi melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan

nasihat yang telah diterima dari pamannya.

Dalam kunjunganku kemarin aku berterus terang mengatakan tidak tahu harus berbuat apa dengan tabunganku. Pamanku tersenyum lalu dengan lembut mengajukan pertanyaan: “sudah kau bayar zakatmu? Dan berapa banyak dari uangmu yang kau sisihkan lalu kau berikan kepada saudara-saudaramu yang kau sisihkan lalu kau berikan kepada saudara-saudaramu yang membutuhkannya?.”

(36)

Tiba-tiba aku merasa berbahagia. Dengan sebagian uang tabunganku aku dapat mengulurkan bantuanku kepada orang yang kuanggap membutuhkannya. Sebenarnya aku tidak mengulurkan bantuan tetapi menyampaikan hak mereka, seperti kata almarhumah ibuku. Alangkah nikmatnya hidup ini, pikirku, karena kita masih dapat memperhatikan dan peduli terhadap sesama. (Nasihat:14-15).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku tidak tahu harus berbuat

apa terhadap uang tabungannya. Tokoh Aku menanyakan kepada pamannya mau

dikemanakan uang tabungannya tersebut. Sehingga pamannya memberikan arahan

supaya tokoh Aku membagikan hasil pencariannya itu kepada orang-orang yang

membutuhkannya. Kemudian tokoh Aku teringat akan nasihat yang diberikan oleh

almarhum ibunya yang mengatakan bahwa rezekinya sudah ada bagian orang lain

disana sehingga tokoh aku akan mengulurkan sebagian penghasilannya terhadap

sesaamanya.

Dalam hal ini tokoh Aku memiliki suatu pandangan yang sangat baik akan

hal-hal di sekitarnya, sifat yang dimiliki tokoh Aku yaitu baik. Tokoh Aku ikhlas

memberikan sebagian dari penghasilannya terhadap sesamanya yang

membutuhkan. Hal yang menunjukkan bahwa tokoh aku berwatak baik adalah

“Dengan sebagian uang tabunganku aku dapat mengulurkan bantuanku kepada

orang yang kuanggap membutuhkannya. Sebenarnya aku tidak mengulurkan

bantuan tetapi menyampaikan hak mereka, seperti kata almarhumah ibuku.” Dari

hal tersebut dapat menggambarkan bahwa tokoh aku memilki watak yang baik.

(37)

“Terima kasih, kris,” ujarku. “Tenang sajalah, tidak aka nada apa-apa. Percayalah.”

Ketika ia akan membuka mulut lagi aku memberikan isyarat agar ia tidak usah melanjutkan nasihatnya, karena aku merasa telah cukup memperoleh nasihat berharga dari pamanku. (Nasihat:15).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku merasa bingung dengan

kabar yang beredar tentang dirinya. Tokoh Aku tidak tahu tentang hal-hal yang

dituduhkan kepadanya. Namun, tokoh Aku tidak menerima nasihat dari

sahabatnya, karena dia telah merasa cukup memperoleh nasihat yang berharga

dari pamannya.

Watak yang dimiliki tokoh aku pada kutipan ini adalah watak Antagonis

karena sahabatnya sendiri mengira bahwa tokoh Aku seorang penjudi dan

peminum alkohol, namun tokoh Aku memiliki sifat lapang dada. Tokoh Aku tidak

mempermasalahkan tentang hal yang dituduhkan padanya dan selalu melakukan

nasihat yang telah diberikan pamannya. Unsur id dan ego dalam diri tokoh Aku

tidak dapat muncul karena unsur super ego dapat menahan keinginan dari kedua

unsur tersebut dan memberikan gambaran tentang hal yang baik sehingga tokoh

Aku tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma dalam

kehidupan bermasyarakat.

4.1.3 “Status”

Cerpen “Status” menceritakan suatu hal yang sangat diinginkan semua

orang yakni tentang kesetaraan derajat atau status sosial. Tokoh Aku dalam cerita

(38)

dihadapinya. Tokoh Aku telah melepaskan segala sesuatu yang pernah

dimilikinya yaitu status sosialnya.

Status sosialku telah kulemparkan ke dalam kolam. Aku bebas dari kungkungan attribut resmi. Ternyata banyak pihak-pihak yang tidak atau kurang setuju.

“Kau rugi,” kata suara pertama.

“Kau berlagak puritas,” sambung suara kedua.

“Kau pasti menyesal,” cetus suara ketiga.

“Mungkin, mungkin saja,” teriakku menjawab laungan suara yang tak diundang itu. Diikat dengan ketentuan-ketentuan resmi memang menyakitkan. Hari ini menggunting pita disana, besok pidato resmi disini, lusa menyematkan tanda jasa diantara sini dan sana. Lensa kamera foto, tv dan film ternyata bukan pula sahabat-sahabat yang baik, tetapi lebih merupakan mata yang senantiasa mengintip kita kemana-mana. Tapi kini aku telah meninggalkan semua itu.

“Menyenangkan,” kata mereka yang setuju.

“Sangat menggembirakan,” jawabku. (Status:99).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa unsur id dalam diri tokoh Aku sangat

lemah, id tidak dapat berkembang karena dapat ditahan oleh ego. Tokoh Aku

lebih memilih untuk melepas atau melemparkan segala yang telah dia capai. Ego

dalam diri tokoh aku sangat besar sekali dimana hasrat-hasrat dasar dalam diri

tokoh Aku sudah tercapai. Kemudian tokoh Aku mengikuti kemauan ego dalam

dirinya yakni dia rela melepas segala yang dimilikinya. Tokoh Aku merasa

gembira dengan semua yang telah dia lakukan karena telah lepas dari semua

atribut yang mengikatnya. watak tokoh Aku dalam hal ini dipengaruhi oleh suatu

hal dalam dirinya yakni tidak mau terikat dengan pekerjaan yang membuat hidup

(39)

Unsur super ego tidak berfungsi dengan baik, tokoh Aku sudah

menemukan kesempurnaan dalam hidup akan tetapi ego tokoh Aku yang ingin

lepas dari atribut resmi membuat super ego tidak berdaya menahan tindakan yang

dilakukan oleh ego tersebut.

Aku mulai khawatir, jangan-jangan kuman yang kubuat seekstrim lalat-lalat itu. Bagaimana ganjilnya dalam tubuhku ini tidak ada lagi kuman-kuman walaupun kehadiran mereka mungkin akan lebih banyak bersifat merugikan. Kontemplasi tidak banyak menolong, meditasi juga demikian dan mantera telah kujadikan ratusan puisi yang kuharapkan dapat membantuku kalau kesulitan dalam memberondong. Karena aku telah mempersiapkan diri, apa yang mula hanya muncul dalam imajinasi, ternyata mengambil bentuknya yang kongkret. Status resmi yang kutanggalkan membuatku terpencil dari segala mahluk termasuk mahluk yang paling kecil di dunia ini, kuman.

Nilai suatu yang kumiliki, baru sekarang ini kurasakan kehebatannya. Sudah terlambat untuk merebutnya kembali. (Status :100).

Dalam hal ini tokoh Aku mulai sadar bahwa dia telah salah melepaskan

semua yang pernah tokoh Aku miliki. Unsur super ego dalam diri tokoh aku

muncul kembali, dikarenakan tokoh aku telah sadar dengan semua yang telah

diperbuatnya dan mulai menuntut kesempurnaan seperti yang dimilikinya dulu.

Watak yang dimiliki tokoh Aku dalam kutipan tersebut yakni khawatir. Tokoh

Aku tidak dapat lagi membuat dirinya seperti dulu, karena egonya telah

membuatnya jatuh dan tidak bisa seperti dulu lagi.

“Ternyata kau menyesal,” kata yang tidak setuju.

(40)

ini aku masih enggan berkata benar. Memang terlalu sukar untuk berkata benar dan puisi-puisi mantera tidak juga mau memberikan bantuan apa-apa. Mungkin saja karena aku sangat sekuler, sangat duniawi. Mungkin. Mungkin saja. (Statust:101).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ego dalam diri tokoh Aku sangat

mendominasi watak yang dimilikinya. Tokoh Aku sebenarnya menyesal telah

melepaskan statusnya. Akan tetapi tokoh Aku berbohong ketika orang-orang

menanyakan tentang status yang dilepaskannya itu kepadanya dan mengatakan

kalau tokoh Aku tidak menyesal telah melakukan hal itu. Namun, dalam diri

tokoh Aku sebaliknya. Tokoh Aku sebenarnya sangat menyesal telah melakukan

hal tersebut dan tidak mudah untuk mengembalikan yang telah dimilikinya dulu.

Watak yang dimiliki tokoh Aku dalam kutipan di atas adalah keras kepala

dan pembohong. Hal itu dapat dilihat ketika orang bertanya kepadanya. Apakah

tokoh Aku menyesal?. Tokoh Aku berbohong kalau dia tidak menyesal telah

melepaskannya, namun dalam hati tokoh Aku sebaliknya. Tokoh Aku sangat

menyesal dan keras kepala untuk mengakui bahwa tokoh Aku sangat menyesal

telah menyia-nyiakan status yang dimilikinya dulu.

Dan dunia semakin aneh, karena semakin banyak atribut baru yang dikukuhkan. Semuanya menjadi resmi semuanya menjadi kaku dan nilai sesuatu yang santai telah dideviluir begitu rupa.

Semua ini tentu tidak akan menjadi masalah kalau aku tidak menanggalkan dan kemudian melemparkan statusku ke dalam kolam. Pengurangan sebuah status toh tidak aka nada artinya kalau yang lain-lain masih bertahan kokoh di tempatnya. Tiba-tiba aku menjadi relihius dan mendekati Tuhan. Tuhan ternyata tumpuan pengaduan. Mata-mata yang mengintip bukanlah mata-mata yang buta dan semua diarahkan padaku.

(41)

Kebohongan ini menggema ke mana-mana dan terdengar di segala penjuru dunia. (Status:102).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa penyesalan tokoh Aku menanggalkan

status sosialnya begitu besar. Baginya pengurangan sebuah status tidak akan

berpengaruh bila yang lain masih kokoh di tempatnya. Namun, kehidupan tokoh

Aku menjadi berubah, dimana tokoh Aku menjadi pembohong dan tidak mudah

untuk berkata yang benar. Tokoh Aku mengalami sederetan masalah yang datang

menghampirinya setelah menanggalkan status sosialnya. Ego dalam diri tokoh

Aku sangat besar sehingga super ego tidak dapat bekembang yaitu keinginan

untuk mencapai kesempurnaan dengan mengembalikan statusnya seperti dulu

lagi.

4.1.4 “Sebuah Berita”

Cerpen “Sebuah Berita” menceritakan tentang seorang penyiar radio yang

pasrah dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak diingikannya melainkan atas

pemberian abangnya dan seorang anak yang ingin memberitahukan kepada

ayahnya melalui siaran radio bahwa ibunya sedang sakit keras. Namun usahanya

sia-sia dikarenakan terbentur oleh prosedur yang kaku pada stasiun radio tersebut.

Dalam hal ini watak yang dimiliki tokoh Aku yakni penyiar radio adalah

watak Protagonis yaitu menerima saran atau anjuran karena yang memberikan

pekerjaan kepada tokoh Aku adalah abangnya.

(42)

abangku yang kebetulan menjadi kepala bagian siaran disana. Aku langsung menghadap kepala studio dan menyatakan keinginanku untuk menjadi orang radio dan aku kemudian diterima tanpa melalui prosedur yang memuakkan seperti biasanya, kalau hendak melamar ke kantor-kantor pemerintah (Sebuah Berita:93).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Aku menjadi orang radio

bukan atas keinginannya sendiri tetapi merupakan permintaan dari abangnya yang

bekerja sebagai kepala bagian siaran di stasiun radio tersebut. Watak tokoh yang

penurut dapat ditemukan pada kutipan berikut, “dan kalau kemudian, aku memang

menjadi orang radio dengan pengertian bekerja di sana, hal itu semata-mata

karena permintaan abangku yang kebetulan menjadi kepala bagian siaran di sana.”

(Sebuah Berita:93).

Unsur id dalam diri tokoh aku sangat lemah, tokoh Aku hanya pasrah dan

menuruti apa yang diberikan abangnya. Pekerjaan yang diberikan abangnya

sebenarnya tidak disukai oleh tokoh Aku. Akan tetapi unsur super ego dalam diri

tokoh Aku bisa memberikan pertimbangan atas pekerjaan yang diberikan

abangnya sehingga ego yang ada dalam diri tokoh Aku tidak dapat muncul

kepermukaan yang membuat super ego dapat mengendalikan keduanya.

Beruntung sekali aku pernah bekerja di suratkabar, sehingga membuat berita-berita untuk siaran tidak banyak menemui kesulitan.

-Membuat berita untuk radio, berbeda dengan membuat berita untuk suratkabar, kata kepala bagian perkabaran, pada hari pertama ditempatkan disana. Segalanya harus serba singkat, tetapi padat dan tidak bertele-tele seperti berita-berita suratkabar, katanya.

(43)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku telah mengerti tentang

pekerjaan yang akan dijalaninya, karena tokoh Aku sebelumnya sudah pernah

bekerja di persuratkabaran dan sering mendengarkan warta radio sehingga tokoh

Aku tidak kesulitan lagi beradaptasi dalam pekerjaan barunya.

Tokoh Aku mendengarkan semua penjelasan yang diberikan oleh kepala

bagian perkabaran tentang pekerjaan yang akan dijalaninya. Watak tokoh Aku

dapat berubah ketika berada pada suatu tempat atau lingkungan baru yang

mempunyai aturan tentang perkerjaan maupun tentang lingkungan tempatnya

berada. Tokoh Aku memberikan reaksi mengerti dengan penjelasan kepala bagian

di tempat kerjanya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menuruti arahan dari

atasannya.

Kalau bekerja di redaksi akan menemui atasan yang terlalu memberi kebebasan bekerja pada kami, sebaliknya bekerja sebagai penyiar ini kau kau menemui atasan yang terlalu birokratis cara bekerjanya, sehingga terkadang aku harus menjadi pengikut-pengikut disiplin yang mati. Tapi masa bodoh, pikirku, aku toh bukan bekerja untuk dia. Dan sikap masa bodoh ini, ternyata membawa hasil yang baik, karena ternyata dengan sikap ini yang menyebabkan aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik. (Sebuah Berita :94).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku mengambil suatu cara atau

sikap dalam menghadapi peraturan yang diberikan atasannya yakni sikap masa

bodoh yang membuat pekerjaannya berjalan dengan baik. Pekerjaan barunya

sebagai penyiar radio membuat watak yang ada dalam diri tokoh Aku dapat

(44)

Peraturan yang diberikan oleh atasan tokoh Aku membuat wataknya

menjadi keras kepala. Tokoh Aku mengambil sikap masa bodoh terhadap

peraturan atasannya yang membuat pekerjaannya menjadi berjalan dengan baik.

Unsur ego dalam diri tokoh Aku sangat mendominasi wataknya sehingga unsur id

dalam diri tokoh Aku dapat ditekan. Kemudian super ego menyeimbangkan

keduanya, yang membuat tokoh Aku dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Aku mengambil kertas yang dipegangnya, membacanya dan kemudian memandangnya wajah anak itu. Aku memegang suatu berita keluarga, yang ditujukan kepada ayahnya, mengabarkan ibunya sedang sakit keras.

Aku mengerut kening. Aku mesti menolong anak ini, pikirku. Berita ini harus sampai pada ayahnya, sebelum terjadi apa-apa dengan ibunya sedang sakit keras.

Aku mengerutkan kening. Aku mesti menolong anak ini, pikirku. Berita ini harus sampai pada ayahnya, sebelum terjadi apa-apa dengan ibunya yang sakit itu. (Sebuah Berita:95).

Kutipan di atas menjelaskan tokoh Aku terlihat khawatir setelah membaca

sebuah berita keluarga yang dibawa oleh seorang anak. Tokoh Aku terus berpikir

apa yang akan dilakukan untuk membantu anak tersebut. Tokoh Aku tetap

berpikir berita tersebut harus sampai kepada ayah anak itu. Tokoh Aku lalu

berjanji membantu anak tersebut dan menyuruhnya pulang. Watak yang dimiliki

oleh tokoh Aku adalah baik. Tokoh Aku berusaha membantu anak tersebut

dengan berusaha menjumpai produser studio agar mau memberikan izin

menyiarkan berita keluarga tersebut. Akan tetapi niat baik tokoh Aku tidak dapat

terealisasikan karena kendala prosedur yang ada dalam stasiun radio tersebut.

(45)

-saya tidak mau bertanggung jawab, kataku. Tidak, aku mengatakan itu, kau cuma mengatakan itu dalam hati. Anak ini harus ditolong, soalnya juga terlalu sederhana, ia ingin mengabarkan berita ibunya yang sakit keras, kepada ayahnya yang kebetulan berada agak jauh di luar kota. Cobalah mengerti ini. Tapi mengapa aku tidak mengatakan ini, aku cuma mengatakannya dalam hati.

-Berita ini boleh disiarkan kalau surat penghulu kampong sudah kita terima, balasnya tandas.

-Baik, kataku meninggalkannya. (Sebuah Berita:96).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa tokoh Aku sangat berusaha keras

supaya mendapat izin dari produsernya agar dapat menyiarkan berita yang

diberikan anak tersebut. Setelah menemui produsernya, tokoh aku tidak mendapat

izin sehingga mereka harus menunggu surat penghulu dari kampung. Watak tokoh

pada kutipan di atas adalah baik. Hal tersebut terlihat ketika tokoh Aku ingin

membantu anak tersebut menyiarkan berita keluarganya.

Aku tertegun. Aku menatap matanya dan aku merasa berdosa. Anak yang tidak berdosa ini, sama sekali tidak mengetahui, bahwa berita yang telah diberikannya sama sekali tidak disiarkan. Sebuah berita sederhana yaitu berita keluarga yang tidak dapat disiarkan hanya karena peraturan yang kaku dikantor kami.

-Tolonglah kak, katanya. Ini surat penghulunya, saya usahakan juga untuk mengambilnya malam ini.

Sekali lagi aku membaca surat itu. Ibunya telah meninggal dunia, setelah tiga hari sakit keras. (Sebuah Berita:97).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku merasa sangat bersalah dan

berdosa dengan situasi yang dihadapinya karena berita keluarga yang tidak dapat

disiarkannya sama sekali. Meskipun ada niat tokoh Aku ingin membantu untuk

menyiarkan berita keluarga anak itu, tetapi hal tersebut tidak dapat dilakukannya

(46)

membantu anak itu mempunyai watak peduli. Hal tersebut dapat dilihat ketika

tokoh Aku ingin menyiarkan berita keluarga itu namun gagal karena terhalang

oleh prosedur yang kaku dalam kantor mereka.

4.1.5 “Bisu”

Cerpen “Bisu” menceritakan tentang tokoh Aku dan Gorga yang memilih

untuk bisu dari segala sesuatu yang mereka lihat dan dengar dilingkungan mereka.

Watak keduanya yakni watak antagonis. Kedua tokoh tersebut telah

mengkeramatkan kata bisu tersebut, karena dengan membisu mereka telah banyak

tertolong. Watak dari tokoh didominasi oleh id. Hal itu terlihat pada kutipan

berikut.

Ketika menyaksikan seorang pemuda dikerjakan beramai-ramai oleh sejumlah petugas keamanan di sebuah tempat yang sunyi, kami membisu saja. Tidak berusaha melarang, apalagi mencegah. Kami cuma menyaksikan dengan rasa heran, takut dan tidak dimengerti. Ketika seorang dari petugas keamanan itu menggertak kami agar menjauh, perintahnya kami turuti dengan patuh dan membisu.

Kami selamat karena membisu. Kalau peristiwa itu kami laporkan kepada polisi bisa berakibat sebaliknya. Kalau tidak dituduh memfitnah, mungkin kami dituduh mengadu domba. Dengan membisu semuanya akan menjadi lebih aman.

Dua orang penodong yang berhasil menggondol sejumlah uang dan kemudian sukses menyelamatkan diri, mengancam saya dan Gorga. Sebabnya, kami mengenal kedua penodong itu dan tahu dimana mereka bersembunyi karena ancaman itu kami berjanji tidak memberitahukan tempat persembunyian mereka ke pihak yang berwenang. Ancaman itu diucapkan oleh salah seorang penodong itu, sedangkan kami hanya mengangguk mengiyakan. Pokoknya membisu. (Bisu:103-104).

(47)

bahwa keduanya merupakan individu yang impulsif. Dorongan-dorongan id yang

begitu kuat dalam diri tokoh dapat ditekan oleh ego yang berhubungan langsung

dengan dunia luar dan mempunyai peran dalam pengambilan keputusan yang

merupakan sifat batin seseorang.

Setelah mengalami berbagai peristiwa bersama-sama. Tokoh Aku masih

merasa nikmat dengan kebisuannya sedangkan tokoh Gorga mulai berontak dan

mulai meragukan kesaktian dari kata bisu tersebut. Tekanan yang dialami kedua

tokoh bebeda. Hal teresebut terlihat pada kutipan berikut.

Dalam kebisuan ternyata saya merasa nikmat. Gorga sebaliknya. Belakangan ini ia meragukan kesaktian dan kekeramatan kata bisu. Membisu terus membuatnya merupakan siksaan.

“Buat apa kita punya mulut kalau tidak pernah dipakai?” tanyanya gusar.

Aku membisu. Bukan karena tidak ingin menjawab, tetapi semata-mata karena tidak mampu. Membisu berlama-lama kiranya membuat inderaku tumpul. Pertanyaan yang demikian terdengar oleh telinga. Otak juga malas bekerja, sedangkan perasaan seakan tidak berfungsi.

Karena tidak menjawab, Gorga kembali membisu. Kalau Aku merasa nikmat dalam kebisuan. Gorga merasakan sebaliknya. Ia penasaran, gusar, gelisah, panik dan tidak tenteram. (Bisu:104).

Tokoh Aku yang lebih memilih membisu mulai merasa nikmat dengan

kelakuannya menunjukkan bahwa tokoh Aku adalah individu yang impulsif.

Dorongan-dorongan yang ada dalam diri tokoh lebih didominasi oleh hal-hal yang

berbau pribadi sehingga tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Alat indera

yang mereka miliki tidak dapat digunakan dengan baik, mereka lebih memilh

untuk tidak mempergunakannya dan lebih memilih untuk membisu dari segala hal

(48)

Setelah kejadian tersebut tokoh Gorga mulai menunjukkan suatu hal

yang bertolakbelakang dengan tokoh Aku sehingga tokoh Gorga mulai berontak

dengan semua yang telah mereka lakukan. Hal tersebut terlihat dari sikapnya yang

tidak tenteram, takut, gelisah dan lain-lainnya.

Ia mengisyaratkan dengan gerakan kepalanya agar aku membaca sepotong kertas yang terletak di lantai tidak jauh dari tempatnya berbaring. Aku mengambil kertas itu dan membacanya.

Aku termenung lama sekali. Gorga tidak sabar menunggu, ia berontak lagi. Aku cuma menatapnya dan tidak berbuat apa-apa.

Akhirnya keputusan kuambil kalau kau merasa punya mulut bicaralah. Aku ingin mendengar apa yang kau rasakan, melalui mulutmu. Surat sepotong itu hanya berisi kesimpulan. Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri mengapa kesimpulan itu bisa begitu cepat sampai kesana. Bicaralah.

Tapi aku mengatakan itu dalam hati. Bukan hanya berkata, tetapi berteriak-teriak, keras-keras sampai tubuhku terasa tergoncang. Gorga jelas tidak dapat mendengarnya, betapapun kerasnya aku berteriak dalam hati (Bisu:104-105).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Gorga mulai merasa seperti

orang yang berada di alam mati sehingga dia menuliskan yang ada di pikirannya

ke dalam sebuah kertas yang kemudian tokoh Gorga menyuruh tokoh Aku

membaca isi kertas itu. Tokoh Aku merasa terkejut dengan yang dibacanya, dia

ingin mendengar hal itu langsung dari mulut sahabatnya tersebut, akan tetapi hal

tersebut tidak akan terjadi karena tokoh Aku hanya mengatakannya dalam hati

yang tak mungkin dapat didengar oleh Gorga.

Dorongan-dorongan id dan ego dalam diri tokoh Aku sangat

mendominasi watak yang dimilikinya sehingga dia hanya memperhatikan dirinya

(49)

super ego dalam dirinya tidak dapat menyeimbangkan hal tersebut yang membuat

watak tokoh menjadi buruk atau tidak peduli sekitar. Sedangkan unsur id dan ego

dalam diri tokoh Gorga dapat di tekan oleh super ego yang dapat membuat tokoh

Gorga sadar akan hal-hal yang mereka lakukan adalah salah. Keinginan kuat dari

tokoh Gorga untuk berubah merupakan dorongan dari unsur super ego yang

beroperasi menurut prinsip kesempurnaan atau moralitas.

Gorga lebih beruntung karena siksaan kebisuan lebih dulu membuatnya sadar. Ia merasa mulut telah kehilangan fungsi seluruhnya, sedangkan sebenarnya mulut hanya kehilangan fungsinya dalam berkata-kata.

Dengan hilangnya sebagian fungsi itu saja, Gorga telah merasa disiksa dengan kejam, sementara aku sendiri terlena dalam kenikmatan.

Gorga berontak lagi. Aku menatapnya memohon pengertian. Dengan mata tertutup tentu ia tidak dapat membaca apa yang tak mungkin ku jawab, teriakku dalam hati. (Bisu:105).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Aku melihat sahabatnya yaitu

tokoh Gorga sudah mulai sadar tentang hal yang sering mereka lakukan yaitu

membisu. Tokoh Gorga merasa sepeti hidup di alam mati yang membuatnya sadar

akan semua kejadian yang mereka lalui bersama selama ini. Sifat yang mereka

miliki yaitu tidak mempedulikan orang dengan cara membisu adalah salah.

Sedangkan tokoh Aku masih terbuai dengan kenikmatan yang dia rasakan ketika

melakukan hal tersebut. Watak tokoh Aku dalam kutipan ini sebenarnya ingin

tahu tentang hal yang membuat sahabatnya berubah dari hal yang telah mereka

lalui, tetapi hal tersebut tidak dijawab oleh tokoh Gorga karena dia telah

menuliskan yang ada dalam hatinya ke selembar kertas, kemudian menutup

(50)

Keraguan menyiksaku ketika Gorga bertanya, ‘buat apa kita punya mulut kalau tidak pernah dipakai’, aku tidak berani menjawabnya. Apakah aku akan berbuat seperti itu lagi, kalau kali ini ia juga menggunakan mulutnya?

Aku dipukul gelombang keraguan. Semua ini karena kesaktian dan kekeramatan kata bisu. Aku telah menjadi korban kesepakatan kami sendiri. Gorga lebih beruntung karena siksaan kebisuan lebih dulu membuatnya sadar. Ia merasa mulut telah kehilangan fungsi seluruhnya, sedangkan yang sebenarnya mulut hanya kehilangan fungsinya dalam berkata-kata.

Dengan tidak beraninya kau menjawab apa yang tertulis di kertas sepotong, aku sadar siapa kau sebenarnya. Aku tahu, kau bersikap seperti itu karena kau ingin hidup. Kau dan aku sama-sama mencintai hidup. Hanya dalam cara kita berbeda. Kau memilih jalan yang termudah dan paling aman katanya. (Bisu:106-107).

Kutipan tersebut menjelaskan tokoh Gorga sudah sadar akan kesalahan

yang dia perbuatnya. Tokoh Aku dan tokoh Gorga hanya mementingkan diri

sendiri daripada saling membantu satu sama lain. Namun, dari kejadian-kejadian

yang telah mereka lalui membuat tokoh Gorga merasa bersalah sehingga ingin

berubah dengan menuliskan yang ada di hatinya, dan menyuruh tokoh Aku untuk

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen

Hasil penelitian ini meliputi: (1) wujud perwatakan tokoh utama: (a) lebih didominasi watak pemarah yang dipengaruhi oleh sistem kepribadian id, (b) sistem id Sri

Dari hasil penelitian penulis menemukan data-data penelitan yang mencakup id, ego dan super ego serta fakor-faktor yang melatarbelakangi psikologi tokoh utama

Novel merupakan salah satu bentuk karangan prosa yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seorang tokoh dengan tokoh-tokoh di sekelilingnya dengan menampilkan

id, ego, dan super ego yang terdapat pada tokoh utama dalam novel Catatan Ichiyo. karya

Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan terhadap karakter tokoh utama kumpulan cerpen Gadis Pakarena karya Khrisna Pabichara dengan

Teori yang dipaparkan oleh Sigmund Freud membahas tentang struktur psikologi kepribadian (id, ego dan superego) kedua tokoh utama yang tidak memiliki keseimbangan yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk medeskripsikan aspek kepribadian tokoh utama dan pengaruh aspek kepribadian terhadap bentuk kecemasan yang dialami tokoh utama dalam kumpulan cerpen