• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan program fortifikasi pangan dan identifikasi pangan yang difortifikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan program fortifikasi pangan dan identifikasi pangan yang difortifikasi"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN DAN

IDENTIFIKASI PANGAN YANG DIFORTIFIKASI

ALDI EL GUSTIAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

1

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang difortifikasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Aldi El Gustian

NIM I14080088

(4)
(5)

ABSTRAK

ALDI EL GUSTIAN. Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.

Penelitian ini bertujuan mempelajari perkembangan fortifikasi pangan global dan Indonesia, serta identifikasi pangan yang telah difortifikasi sampai akhir tahun 2012. Sejak awal abad 20, program fortifikasi pangan telah digunakan sebagai strategi mengatasi kekurangan zat gizi mikro. Metode yang digunakan berupa kajian pustaka dan survei produk pangan yang difortifikasi diberbagai jenis pasar di Bogor. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan fortifikasi pangan di dunia telah dimulai sejak tahun 1920 dan terus mengalami perkembangan mengikuti masalah kekurangan zat gizi mikro. Sejalan dengan perkembangan teknologi pangan, ilmu pertanian dan teknologi juga menunjukkan kemajuan yang positif dalam mendukung penghapusan defisiensi zat gizi mikro melalui biofortifikasi. Dari hasil survey di pasar modern dan pasar tradisional Bogor ditemukan bahwa terdapat 227 produk yang telah difortifikasi, diantaranya garam dan tepung terigu termasuk dalam daftar produk fortifikasi wajib, dan selebihnya fortifikasi sukarela.

Kata kunci: fortifikasi pangan, kebijakan, biofortifikasi, produk

ABSTRACT

ALDI EL GUSTIAN: Food fortification program development and identification of fortified food. Supervised by DRAJAT MARTIANTO.

The study aimed to identify the food fortification program development in the world and Indonesia, and to identify various food that has been fortified until the end of 2012. Since early 20th century, food fortification program has been used as strategy to solve micronutrient deficiencies. The method used were literature review and survey of fortified food products in various type of market around Bogor. The results of this study were, the fortification policy began in 1920 and continues to develop following the problem of micronutrient deficiencies. In line with the food technology development, agricultural science and technology also show the positive progress in supporting the elimination of micronutrient deficiencies through biofortification. Results of fortified survey in various modern and traditional market in Bogor found that were 227 items of food have been fortified such as salt and flour which include in mandatory fortification, while the rest are voluntary fortification.

(6)
(7)

RINGKASAN

ALDI EL GUSTIAN.Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi

Pangan yang Difortifikasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO.

Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi prevalensinya saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber vitamin dan mineral dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang mampu menjamin pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan khususnya untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat (Soekirman 2008). Diversifikasi pangan merupakan solusi jangka panjang untuk menanggulangi masalah kurang zat gizi mikro. Dalam jangka pendek dan menengah para ilmuwan di bidang gizi dan teknologi pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil melakukan terobosan untuk membantu mereka yang menderita kurang gizi mikro melalui terobosan teknologi yang murah, memberikan dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan yaitu fortifikasi pangan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi jenis-jenis pangan yang telah difortifikasi sampai akhir tahun 2012. Tujuan khusus penelitian adalah 1) mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan termasuk biofortifikasi global dan di Indonesia, 2) melakukan inventarisasi produk-produk pangan yang difortifikasi di Indonesia sampai kondisi akhir tahun 2012.

Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dan survei lapang. Kajian pustaka dilakukan dengan mencari informasi dari berbagai referensi antara lain sejarah perkembangan fortifikasi pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan peraturan atau kebijakan yang terkait dengan fortifikasi mandatory atau voluntary. Survei lapang dilakukan secara langsung melalui pengamatan pada produk pangan fortifikasi di pasaran dan pengamatan pada label produk pangan yang dibagi kedalam dua belas jenis kategori pangan mengikuti pembagian kelompok pangan Badan Pengelolaan Obat dan Makanan (BPOM). Kategori pangan yang dilakukan inventarisasi adalah produk-produk susu, minyak goreng, margarin, kembang gula/permen dan coklat, tepung terigu, mi instan, biskuit, garam, makanan pendamping air susu ibu (MP ASI), minuman, makanan ringan siap santap serta produk yang tidak termasuk dalam 11 kategori pangan. Lokasi yang digunakan adalah Kota Bogor dan sekitarnya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September-Desember 2012.

(8)

gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). Pada tahun 1970-an diwacanakan untuk memberlakukan fortifikasi pada garam dan tepung terigu. Pada 1994 pemerintah memberlakukan fortifikasi pada garam dengan difortifikan iodium berdasarkan Surat Keputusan Bersaman (SKB) empat Menteri. Pada tahun 1994 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden no 69 tahun 1994 tentang wajib iodisasi garam dan pada tahun 2001 tepung terigu juga diwajibkan untuk difortifikasi berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 153 tahun 2001.

Dalam hal kebijakan fortifikasi, pemerintah Indonesia telah menerbitkan 26 peraturan yang bersifat umum dan khusus serta dasar pemberlakuannya untuk fortifikasi wajib. Peraturan untuk fortifikasi sukarela diatur dalam PP no 69 tahun 1999 tentang iklan dan label pangan yang merupakan awal dikembangkannya peraturan fortifikasi sukarela di Indonesia. Peraturan tersebut diperkuat dengan PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan BPOM Nomor HK.03.1.23.11.11.09605 tahun 2011 tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan dan Nomor HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label dan Iklan Pangan Olahan.

Biofortifikasi merupakan paradigma baru dalam menanggulagi masalah gizi dengan upaya meningkatkan kandungan gizi (vitamin dan mineral) produk pertanian melalui proses persilangan intra dan atau interspesies tanaman secara konvensional maupun inkonvensional. Tanaman biofortifikasi fokus pada penambahan vitamin A, seng (Zn) dan besi (Fe). Program biofortifikasi global dilakukan oleh HarvestPlus dan telah berhasil melepas tanaman biofortifikasi seperti kacang, singkong, jagung, jewawut, beras, ubi jalar dan gandum di negara Asia dan Afrika. Saat ini program biofortifikasi di Indonesia baru pada tahap penelitian pada beras dengan penambahan besi namun belum dilakukan secara massal.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang menguntip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

PERKEMBANGAN PROGRAM FORTIFIKASI PANGAN DAN

IDENTIFIKASI PANGAN YANG DIFORTIFIKASI

ALDI EL GUSTIAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(12)
(13)

Judul Skripsi :Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang Difortifikasi

Nama : Aldi El Gustian

NIM : I14080088

Disetujui oleh

Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang Difortifikasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto selaku pembimbing, serta Bapak Dr Rimbawan yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) yang telah mendukung pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih bagi Devi, Euis, Andra, Rayhanah, Siti, Riza, teman-teman BEM KM, ISPC, SABIL, AQSHO dan kepada semua pihak membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Tujuan Umum 2

Tujuan Khusus 2

Kegunaan Penelitian 3

Kelemahan Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Fortifikasi Pangan 3

Biofortifikasi 5

Makanan yang dapat Difortifikasi 5

KERANGKA PEMIKIRAN

7

METODE PENELITIAN

9

Desain, Tempat, dan Waktu 9

Jenis dan Cara Pengambilan Data 9

Definisi Operasional 12

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia 13

Perkembangan Program Fortifikasi Di Indonesia 20

Perkembangan Program Biofortifikasi 30

Inventarisasi Produk yang Difortifikasi 33

Produk-Produk Susu 34

Minyak Goreng 34

Kembang Gula/Permen dan Coklat 35

Tepung Terigu 35

Mi instan 35

Biskuit 36

Garam 36

(18)

Minuman 36

Makanan Ringan siap santap 37

Produk makanan jadi lainnya 37

SIMPULAN DAN SARAN

37

Simpulan 37

Saran 38

(19)

DAFTAR TABEL

1 Makanan yang difortifikasi dibeberapa negara Asia 6

2 Jenis kategori pangan produk inventarisasi 10

3 Program fortifikasi wajib dibeberapa negara berkembang 15

4 Asumsi efektifitas program dan biaya fortifikasi 20

5 Undang-undang dan peraturan pangan fortifikasi pangan di Indonesia 25

6 Tipe klaim produk pangan fortifikasi 28

7 Target tanaman dan negara program biofortifikasi 31

8 Inventarisasi produk pangan fortifikasi 33

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran mengindentifikasi program fortifikasi dan biofirtifikasi 8

2 Teknik pengambilan data sekunder 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produk susu ibu hamil dan menyusui yang difortifikasi 42

2 Produk susu bayi dan balita yang difortifikasi 52

3 Produk susu pertumbuhan yang difortifikasi 78

4 Prosuk susu lainnya yang difortifikasi 83

5 Produk minyak goreng yang difortifikasi 104

6 Produk margarin yang difortifikasi 105

7 Produk kembang gula/permen dan coklat yang difortifikasi 106

8 Produk tepung terogu yang difortifikasi 106

9 Produk mi instan yang difortifikasi 107

10 Produk biskuit yang difortifikasi 113

11 Produk garam yang difortifikasi 118

12 Produk MP ASI yang difortifikasi 119

13 Produk minuman yang difortifikasi 127

14 Produk makanan ringan siap santap 132

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar. Beberapa ahli bahkan menyatakan kebutuhan atas pangan merupakan suatu hak asasi manusia yang paling dasar.

Bentuk tidak terpenuhinya hak asasi atas pangan dan gizi yang paling umum adalah kekurangan pangan alias kelaparan. Namun demikian, harus disadari bahwa kelaparan mempunyai beberapa tingkatan, yang jika terjadi secara cukup lama dan terus-menerus, akan berkontribusi pada terjadinya kemunduran atau penurunan status kesehatan, produktivitas, dan akhirnya ikut pula mempengaruhi tingkat intelektualitas dan status sosial. Tingkat-tingkat kelaparan itu sendiri antara lain dipengaruhi oleh (i) jumlah konsumsi bahan pangan, (ii) jenis dan kualitas bahan pangan yang dikonsumsi, atau (iii) kombinasi antara kedua faktor tersebut.

Kekurangan akan tiga jenis zat gizi mikro (micronutrient) iodium, besi, dan vitamin A secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia. Konsekuensi serius dari kekurangan tersebut terhadap individu dan keluarga termasuk ketidakmampuan belajar secara baik, penurunan produktivitas kerja, kesakitan, dan bahkan kematian.

Masalah kekurangan zat gizi mikro yang masih cukup tinggi prevalensinya saat ini merupakan indikasi rendahnya asupan pangan sumber vitamin dan mineral dari menu sehari-hari. Untuk itu intervensi gizi yang mampu menjamin pemenuhan kecukupan zat gizi mikro perlu dikembangkan khususnya untuk daerah miskin dan sulit terjangkau dengan memberdayakan keanekaragaman makanan lokal untuk peningkatan status gizi mikro masyarakat (Soekirman 2008). Idealnya perbaikan gizi ditempuh dengan memperbaiki konsumsi makanan keluarga sehari-hari berdasarkan gizi seimbang. Namun, tidak semua anggota keluarga dapat memenuhi gizi seimbang karena ketidakmampuan ekonomi dan atau kurangnya pengetahuan.

Diversifikasi pangan merupakan solusi jangka panjang untuk

menanggulangi masalah kurang zat gizi mikro. Dalam jangka pendek dan menengah, para imuwan di bidang gizi dan teknologi pangan sejak awal abad ke-20 telah berhasil melakukan fortifikasi pangan sebagai terobosan teknologi baru yang lebih murah guna membantu mereka yang menderita kurang gizi mikro. Terobosan baru ini dapat memberikan dampak yang nyata dan diterima oleh masyarakat.

(22)

untuk proses penambahan vitamin, mineral dan asam-asam amino pada produk

pangan. Sekarang banyak sekali “senyawa” selain vitamin, mineral dan asam

-asam amino yang “ditambahkan” (difortifikasikan) pada produk pangan, dan tidak

terbatas pada zat-zat gizi, tetapi juga senyawa-senyawa non gizi seperti antosianin, polifenol, antioksidan dan lain-lain.

Fortifikasi terbagi menjadi dua, yakni fortifikasi sukarela dan fortifikasi wajib. Fortifikasi sukarela (voluntary) merupakan program fortifikasi yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai jual serta menarik konsumen lebih banyak dan bukan untuk memperbaiki gizi masyarakat. Fortifikasi wajib (mandatory) adalah fortifikasi yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan utama mengatasi masalah KGM (kekurangan zat gizi mikro). Sasaran utama program ini adalah masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini merupakan tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri pangan yang terkait dengan jenis pangan yang difortifikasi.

Ada beberapa produk pangan fortifikasi yang dilakukan hanya untuk alasan komersil. Dengan adanya fortifikasi diharapkan, harga jual produk pangan tersebut harus tetap terjangkau oleh masyarakat dan tidak menambah biaya produksi secara signifikan. Hal ini penting karena sasaran utama fortifikasi adalah masyarakat miskin. Hingga saat ini belum ada informasi mengenai produk apa saja yang sudah difortifikasi secara voluntary. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi perkembangan program fortifikasi secara global umumnya dan Indonesia khususnya baik secara wajib (mandatory) maupun seacara sukarela (voluntary). Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi jenis pangan apa saja yang difortifikasi dan manfaat ketika dikonsumsi.

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini antara lain mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan global dan di Indonesia serta mengidentifikasi jenis-jenis pangan yang telah difortifikasi sampai kondisi akhir tahun 2012.

Tujuan Khusus

1. Mempelajari perkembangan program fortifikasi pangan termasuk

biofortifikasi global dan di Indonesia.

(23)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk:

1. Bagi ilmu pengetahuan, menghasilkan informasi dapat memberikan data dan perkembangan kebijakan dan program fortifikasi serta informasi mengenai aneka pangan yang difortifikasi sampai akhir tahun 2012.

2. Bagi pemerintah dapat memberikan informasi tambahan dalam

mengembangkan peraturan dan pendidikan/penyuluhan produk fortifikasi yang beredar di pasaran.

3. Bagi masyarakat dapat memberikan informasi dalam menentukan produk pangan yang akan dikonsumsi terutama produk yang difortifikasi.

Kelemahan Penelitian

Kelemahan dari penelitian ini yaitu kajian pustaka terbatas dalam referensi yang digunakan karena begitu luasnya cakupan program fortifikasi global dan di Indonesia, dan hanya dilakukan inventarisasi di Kota Bogor dan sekitarnya serta tidak dilakukan inventarisasi pada produk pangan impor. Pada saat melakukan penelitian terbatas pada tanggal 17 dan 23 Desember 2012 dalam melakukan inventarisasi, memungkinkan produk pangan fortifikasi tidak terdata disebakan tidak tersedia dalam rak display produk. Selain itu terdapat kategori pangan lainnya yang tidak ditemukan dalam inventarisasi di Kota Bogor seperti pasta, mayonaise, saus dan kecap menurut literatur difortifikasi dan memungkinkan tersedia di wilayah lain. Berikutnya terdapat beberapa produk yang tidak memenuhi kriteria pencantuman label pangan seperti tidak terteranya informasi nilai gizi pada kemasan.

TINJAUAN PUSTAKA

Fortifikasi Pangan

Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan. Fortifikasi terhadap suatu bahan pangan bertujuan meningkatkan nilai gizi bahan pangan dan juga untuk meningkatkan konsumsi suatu zat gizi tertentu oleh masyarakat (Muchtadi et al. 1993).

Berikut ini pengertian beberapa istilah yang berhubungan dengan penambahan zat-zat gizi ke dalam bahan pangan menurut Codex Alimentarius (1983):

1. Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu.

2. Restorasi adalah penambahan zat-zat gizi yang hilang selama proses

(24)

Practice), atau selama penyimpanan normal dan pada tahap penanganan, jumlah yang ditambahkan akan menghasilkan komposisi zat gizi seperti sebelum bahan pangan mengalami proses pengolahan, penyimpanan, atau penanganan.

3. Standardisasi adalah penambahan sejumlah zat gizi ke dalam bahan pangan yang bertujuan untuk mengganti kehilangan zat gizi ke dalam variasi alaminya pada tingkatan zat gizi tertentu.

The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO) Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification

paling tepat menggambarkan proses di mana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Pangan

pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle', sementara zat gizi yang ditambahkan disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).

Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan, yaitu: 1) memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan); 2) mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan; 3) meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan, bergizi misal: susu formula bayi; 4) menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega (Siagian A 2003).

Langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain adalah (Siagian A 2003): 1) menentukan prevalensi defisiensi zat gizi mikro; 2) segmen populasi (menentukan segmen); 3) tentukan asupan zat gizi mikro dari survei makanan; 4) dapatkan data konsumsi untuk pangan pembawa (vehicle) yang potensial; 5) tentukan availabilitas zat gizi mikro dari jenis pangan; 6) mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan); 7) mencari dukungan industri pangan; 8) mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri pengolahan (termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk); 9) memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya; 10) kembangkan teknologi fortifikasi; 11) lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi; 12) tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi; 13) lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan; 14) kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifikasi; 15) defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan; 16) kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance; 17) promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

(25)

perlu diperhatikan saat melakukan fortifikasi vitamin, antara lain sebagai berikut: 1) bioavailabilitas; 2) reaktivitas; 3) harga; dan 4) toksisitas.

Titik penambahan ditentukan berdasarkan efeknya terhadap stabilitas fortifikan. Mineral dapat ditambahkan ke dalam adonan yang akan diekstrusi, sedangkan vitamin tidak dapat. Biasanya vitamin ditambahkan sebelum pengemasan untuk memaksimalkan retensinya.

Cara penanganan bahan pangan sebelum dikonsumsi dapat mempengaruhi kandungan zat gizi mikro yang secara alami ada atau yang ditambahkan di dalam bahan pangan. Bahkan dengan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan untuk menjamin stabilitas zat gizi mikro dalam bahan pangan, beberapa kehilangan zat-zat gizi tersebut masih terjadi selama proses pengolahan, distribusi, dan

penyimpanan. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian khusus

untukmengidentifikasi teknologi fortifikasi terbaik sebanding dengan overage

yang bersesuaian (OMNI 2005). Overage merupakan jumlah tambahan fortifikan yang ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mengkompensasikan kehilangan yang terjadi, yang akan memastikan bahwa pangan yang telah difortifikasi tersebut memiliki level gizi sesuai target yang diharapkan pada saat bahan pangan tersebut dikonsumsi (OMNI 2005).

Biofortifikasi

White dan Broadley (2005) dan Nestel et al. (2006) mendefinisikan biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan elemen esensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui teknik pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern. Biofortifikasi untuk peningkatan gizi mikro pada makanan pokok, dilakukan baik melalui persilangan tanaman secara tradisional maupun dengan teknik molekuler (Welch dan Grahara 2004).

Hasil penelitian dari The Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR-2002), menyatakan makanan pokok yang mempunyai potensi genetik untuk ditingkatkan kandungan Fe dan Zn di antaranya adalah beras (Oryza sativa), gandum (Triticum aesticum), jagung (Zea mays), buncis (Phaseolus vulgaris) dan singkong (Manihot esculenta).

Secara teori biofortifikasi dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah kandungan mikro gizi pada bagian tanaman yang dapat dimakan pada tanaman pokok. Di sisi lain, peningkatan konsentrasi kandungan dengan meningkatkan

penyerapan senyawa promoter (asam askorbat, β-karoten), mengurangi

konsentrasi penyerapan senyawa inhibitor (asam fitat, tannin, senyawa fenolik, dan logam berat) (White dan Broadley 2005).

Persyaratan Makanan yang dapat Difortifikasi

(26)

diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasi proses fortifikasinya. Ketiga, tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih. Keempat, makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi. Kelima, tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus. Dan keenam, harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi sasaran (Soekirman 2008).

Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi (wajib) terbatas pada jenis makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedele, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan kedalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah kekurangan gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam sistem pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap rasa, penampilan, dan keamanan makanan, dan harga (Soekirman 2008). Setiap negara menentukan jenis makanan yang akan difortifikasi, yang selanjutnya disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai dengan pola makan setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan jenis dan dosis fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa, peraturan pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah kekurangan gizi setempat (Soekirman 2008).

Tabel 1 Makanan yang difortifikasi dibeberapa negara Asia

Negara Makanan yang difortifikasi Fortifikan

(27)

KERANGKA PEMIKIRAN

Masalah kekurangan zat gizi mikro menjadi suatu fenomena di seluruh dunia baik di negara miskin sampai negara maju. Langkah strategis harus dilakukan oleh semua negara dengan memberlakukan kebijakan pangan. Hal ini dilakukan agar semua elemen dalam negara tersebut fokus dalam mengatasi kekurangan zat gizi mikro. Dari kebijakan pangan tersebut akan dilakukan program mengatasi kekurangan zat gizi mikro diantaranya fortifikasi, biofortifikasi, suplementasi dan diversifikasi pangan.

Pemberlakuan program perlu analisa mendalam dengan karakteristik negara yang bersangkutan supaya kebermanfaatan dan indikator keberhasilanya bisa tercapai. Berbagai negara yang terlibat dalam program fortifikasi pangan, belum memiliki data dan dokumentasi yang lengkap mengenai perkembangan program pangan fortifikasi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem informasi yang terpadu mengenai program fortifikasi pangan global dan Indonesia.

(28)

Gambar 1 Kerangka pemikiran mengindentifikasi program fortifikasi dan biofirtifikasi

Keterangan:

= =Variabel yang tidak diteliti

Kebijakan Pangan

Program

Fortifikasi Biofortifikasi

Informasi Bagi Konsumen Wajib

Sukarela

Suplementasi Diversifikasi Pangan

(29)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Desain penelitian ini adalah studi deskriptif. Metode yang digunakan adalah kajian pustaka dan survei lapang. Penelitian dilakukan dengan pengamatan langsung di beberapa pasar dan minimarket dan hypermart dan mencari informasi dari Badan Pengolahan Obat dan Makanan (BPOM). Pengumpulan data di lapang dilakukan pada bulan September-Oktober 2012.

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Data yang akan dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dilakukan dengan melakukan survei produk pangan fortifikasi di

pasaran dan melakukan pengamatan pada label produk. Menurut Abdullah (2003)

terdapat 4 skala bisnis eceran yang menjual produk industri pangan diantaranya kecil/minimarket, sedang/supermarket, besar/hypermarket dan pasar. Dari empat skala bisnis eceran tersebut maka Kota Bogor dijadikan lokasi penelitian yang terdiri dari; a) kecil/minimarket (Indomaret, Alfamart, Al-amin, Alfamidi), b)

besar/hypermarket (Giant), c) pasar (pasar merdeka). Skala bisnis

sedang/supermarket tidak dijadikan lokasi penelitian karena tidak terdapat di Kota Bogor. Pemilihan ketiga skala bisnis eceran tersebut sudah mewakili produk pangan industri yang dijual dan pasti akan sama di seluruh Indonesia. Data sekunder merupakan kajian pustaka dari berbagai referensi antara lain sejarah perkembangan fortifikasi pangan global dan Indonesia serta biofortifikasi dan peraturan atau kebijakan yang terkait fortifikasi wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary).

Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai data kajian pustaka yang dilakukan dalam penelitian:

- Searching: mencari informasi dengan memasukan kata kunci pada mesin pencari (google) dan membaca referensi ilmiah yang tersedia diperpustakaan tentang fortifikasi.

- Screening: membaca/mempelajari, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dari informasi dan referensi tentang fortifikasi.

- Removing: memilah-memilah hasil screening menjadi satuan informasi dan referensi yang dapat dikelola.

- Sintesis: berpikir, dengan jalan membuat agar informasi dan referensi mempunyai makna dan memiliki hubungan-hubungan tehadap apa yang diteliti.

(30)

Gambar 2 Teknik pengambilan data sekunder

Berikut adalah penjelasan terperinci mengenai data primer yang dikumpulkan dalam penelitian:

- Melakukan pengamatan terhadap produk yang berada di minimarket,

hypermat serta pasar, dengan rincian produk terdapat pada Tabel 1.

Tabel 2 Jenis kategori pangan produk inventarisasi

No Jenis Produk Karakteristik/Spesifikasi Produk Sumber

Data

1 Produk-produk

susu

Susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan hewan ternak penghasil susu lainnya baik segar maupun yang dipanaskan melalui proses pasteurisasi,

Ultra High Temperature (UHT) atau sterilisasi. Produk susu adalah produk olahan dengan bahan dasar susu dengan atau campuran bahan pangan lain

Survei

2 Minyak

Goreng

Minyak goreng (frying oil atau frying fat) adalah minyak dan lemak yang digunakan untuk menggoreng yang diperoleh dari proses

rafinasi/pemurnian (refining/purifying)

Survei

Searching

- Perpustakaan

- Informasi mesin pencari (google)

Screening

- Mempelajari informasi

- Menandai kata-kata kunci dan gagasan

Removing

- Memilah memilah informasi hasil

screening

Sintesis

- Membuat informasi dan referensi

mempunyai makna

Evaluating

- Melakukan pengecekan ulang hasil

(31)

No Jenis Produk Karakteristik/Spesifikasi Produk Sumber Data minyak nabati, dalam bentuk tunggal atau

campuran.

3 Margarin Margarin terbuat dari minyak

tumbuh-tumbuhan dimana di vegetablesoil

terkandung jumlah monounsaturated dan

polyunsaturated fats yang lebih banyak dibandingkan saturated fats-nya (13-15%

saturated dan 85-87% unsaturated fats).

Survei karet (chewing gum) dan dekorasi serta icing.

Survei

5 Tepung terigu Tepung terigu adalah tepung yang diperoleh dari hasil penggilingan atau penumbukan endosperma biji gandum Triticum aestivum (club wheat) dan atau Triticum compactum dikeringkan, dan matang setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih dalam waktu 4 menit.

Survei

7 Biskuit Biskuit adalah sejenis roti soda atau

shortened bread atau quickbread yang adonannya terbuat dari tepung terigu, mentega/margarin, telur, susu dan sedikit gula pasir.

Survei

8 Garam

beriodium

Garam yang telah diperkaya atau telah mengalami fortifikasi dengan KIO3 (Kalium Iodat) sebanyak 30 – 80 ppm

Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan bergizi yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan untuk mencapai kecukupan gizi. Produk ini terdapat dalam bentuk bubuk instan yang dapat direkonstitusi dengan air, susu atau cairan lain; siap santap; siap masak; serta biskuit.

Survei

10 Minuman kemasan

Minuman kemasan adalah minuman yang dikemas dengan berbagai kemasan (seperti botol plastik, botol kaca, dan kaleng), dapat diminum secara langsung atau harus melalui proses terlebih dahulu, misalnya serbuk

(32)

No Jenis Produk Karakteristik/Spesifikasi Produk Sumber Data minuman dan mempunyai label kandungan

zat gizi. 11 Makanan

ringan siap santap

semua jenis makanan ringan asin/gurih (savoury) atau rasa lainnya yang siap santap kategori diatas, merupakan produk yang dapat dikonsumsi dan terdapat dipasaran

Survei

- Mengamati label kemasan dengan kategori peningkatan (increased), lebih dari/ lebih (more than), ekstra (extra), diperkaya (enriched), plus, ditambahkan (added) dan difortifikasikan.

- Selanjutnya dilakukan inventarisasi berupa nama produk, produsen atau perusahaan, dan zat gizi yang ditambahkan (fortifikasi).

- Selanjutnya data inventarisasi dilakukan perhitungan perkiraan kandungan zat gizi mikro dengan rumus,

Perkiraan kandungan = Persentase (%) AKG X AKG

Keterangan:

AKG : Angka Kecukupan Gizi tahun 2004

Definisi Operasional

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.

Fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat tertentu.

Biofortifikasi sebagai proses untuk meningkatkan konsentrasi ketersediaan elemen essensial pada bagian tanaman yang dapat dikonsumsi melalui teknik pemuliaan konvensional maupun bioteknologi modern.

Label Pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan.

Efektivitas adalah dampak intervensi yang dibandingkan dengan uji khasiat. Efektivitas dari program fortifikasi dibatasi oleh faktor konsumsi makanan yang difortifikasi.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Program Fortifikasi Di Dunia

Fortifikasi pangan memiliki sejarah panjang yang digunakan di negara industri untuk mengendalikan kekurangan vitamin A dan D, beberapa vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin), iodium dan zat besi. Pada tahun 1917 dalam perekrutan tentara Angkatan Darat AS ditemukan beberapa tentara yang menderita penyakit gondok, hal ini mendasari penelitian lebih mendalam mengenai fortifikasi garam. Iodisasi garam diperkenalkan pada awal tahun 1920 di Swiss (Burgi H et al. 1990) dan Amerika Serikat (Marine D dan Kimball OP 1920) dan mulai sejak itu garam beriodium dikenal di seluruh negara dan digunakan di banyak negara. Upaya fortifikasi awal diikuti pada tahun 1933 pada fortifikasi susu dengan vitamin D. Penambahan vitamin D untuk susu pada awalnya dilakukan dengan penyinaran susu atau dengan memberi makan sapi dengan pakan yang dicampur dengan ragi. Teknik ini diganti pada tahun 1940 dengan metode sederhana dan lebih efektif yaitu dengan menambahkan vitamin D berkonsentrasi untuk susu, seperti yang dipraktekkan saat ini (Quick dan Murphy 1982).

Pada tahun 1930-an dan 1940-an sindrom defisiensi penyakit yang spesifik pertama kali diidentifikasi dan didokumentasikan di Amerika Serikat (Foltz et al.

1944). Hal ini menyebabkan, pada tahun 1940 Committee on Food and Nutrition

(sekarang Food and Nutrition Board (FNB) merekomendasikan penambahan

thiamin, niacin, riboflavin, dan besi untuk tepung (NRC 1974). Pada tahun 1940 juga lembaga Food and Drug Administration (FDA) pertama kali didirikan untuk menetapkan standar tepung fortifikasi dan diberi cap "enriched" dalam rangka meningkatkan status gizi penduduk (FNB 2004).

Dari tahun 1940 dan seterusnya, produk sereal difortifikasi dengan penambahan thiamin, riboflavin dan niasin menjadi ketentuan umum industri pangan. Pada tahun berikutnya fortifikasi dilakukan pada margarin yang diperkaya dengan vitamin A di Denmark dan susu dengan vitamin D di Amerika Serikat. Setelah beberapa tahun berlalu, fortifikasi asam folat gandum telah menyebar luas di Amerika. Hal serupa juga menjadi strategi yang diterapkan oleh Kanada dan Amerika Serikat dan sekitar 20 negara Amerika Latin (FNB 2004).

Pada tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mengadakan konferensi mengenai gizi di White House dan menyimpulkan fortifikasi pangan adalah cara terbaik untuk mencegah kekurangan zat gizi mikro. Hasil konferensi tersebut diimplementasikan di seluruh Amerika Serikat serta Inggris dan Canada. Pasca perang dunia, Inggris dan Kanada tidak memberlakukan fortifikasi dikarenakan dampak kekurangan zat gizi mikro dinilai telah hilang (Backstrand JR 2002).

Pada tahun 1960 FDA mengusulkan pendekatan regulasi yang lebih ketat dalam menanggapi peningkatan fortifikasi makanan yang ditakutkan mungkin

menyebabkan overfortification. Pada tahun 1962 FDA mengusulkan untuk

(34)

hingga delapan kelas dan menentukan gizi yang dapat digunakan pada masing masing kelas. Regulasi yang diusulkan dalam standar di antaranya: vitamin dan mineral untuk suplemen diet dan jumlah produk makanan yang difortifikasi. Peraturan yang diusulkan dan selanjutnya ditetapkan pada tahun 1974 oleh FDA mengenai peraturan gizi untuk makanan dan ketentuannya (FNB 2004).

Selama tahun 1970-an fortifikasi gula dengan vitamin A pertama kali diimplementasikan di Guatemala, diikuti oleh negara Amerika Tengah termasuk Kosta Rika, Honduras dan El Salvador. Rumah tangga yang mengkonsumsi gula yang difortifikasi dengan vitamin A di El Salvador dan Guatemala sekitar 95% dan lebih dari 80% di Honduras. Keberhasilan program fortifikasi gula memberikan dorongan untuk negara lain memberlakukan intervensi yang sama. Pada tahun 1998 di Zambia memberlakukan fortifikasi gula dengan vitamin A (Mora et al. 2000)

Pada tahun 1980 FDA menetapkan kebijakan 21 C.F.R.104.20 tentang pedoman penambahan gizi untuk makanan. Dalam peraturan tersebut ditetapkan produk pangan yang difortifkasi harus menyertakan label gizi pada kemasan. Pada tahun 1982 tinjauan dari U.S. Departement of Agriculture’s Food Safety and

Inspection Service (FSIS) menyimpulkan kebijakan penambahan gizi makanan akan terus mengikuti pedoman kebijakan FDA (Quick dan Murphy 1982). Beragamnya produk fortifikasi pangan yang berada di pasaran, FSIS menemukan produk tersebut tidak terdapat dalam pedoman 21 C.F.R.104.20. FSIS akhirnya membuat beberapa peraturan untuk produk-produk pangan tersebut dengan menyertakan label gizi yang difortifikasikan (FNB 2004). Fortifikasi pangan terus menjadi mekanisme yang banyak digunakan di negara maju. Dalam konteks ini, terjadi perubahan yang begitu cepat terutama dalam hal gaya hidup dan kebutuhan diet.

Pada tahun 1990-an, UK Medical Research Council melaporkan bahwa konsumsi asam folat ketika ibu hamil dapat mencegah neural tube defects (NTD-cacat bawaan pada syaraf tulang belakang). Pemberian suplemen asam folat pada ibu hamil mampu menurunkan sepertiga populasi berisiko NTD. Akibatnya FDA mewajibkan fortifikasi asam folat dan banyak negara lain yang mengikuti, hal ini sudah dilakukan oleh Negara Kanada sejak tahun 1979 (MRC 1991).

Pada tahun 1992 diadakan konferensi International Conference on

Nurtrition (ICN) di Roma, menekankan pentingnya kegiatan berbasis pangan dalam rangka untuk penanganan masalah gizi buruk terutama zat gizi mikro (FAO/WHO 1992). Pembahasan dalam konferensi tersebut lebih menekan pemberian solusi berupa fortifikasi pangan karena dianggap paling relevan. Hal ini dilandasi oleh beberapa penelitian bahwa fortifikasi merupakan program yang dapat mengatasi kekurangan zat gizi mikro terutama vitamin A, iodium dan zat besi dalam waktu singkat dan dapat diimplementasikan. (Austin et al. 1981; Arroyave 1987; INACG 1990).

Pada tahun 1994 UNICEF dan WHO merekomendasikan fortifikasi garam dengan iodium secara universal sebagai pendekatan utama dalam mengoreksi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Pada tahun 1992 diadakan 7th

World Salt Symposium di Kyoto (Jepang), tujuan dari simposium ini adalah pengendalian gangguan akibat kekurangan iodium. Akhirnya, pada 8th Session of

(35)

Pada tahun 2001, hampir 126 negara berkembang memberlakukan fortifikasi garam iodium (Mason et al. 2001).

Program fortifikasi pangan telah berhasil diterapkan di negara-negara berkembang (Darnton-Hill dan Nalubola R 2002). Pada tabel 2, negara-negara berkembang telah mempraktikan fortifikasi wajib pada produk pangan yang sering dikonsumsi.

Tabel 3 Program fortifikasi wajib dibeberapa negara berkembang

Negara Pangan Pembawa

Bolivia Tepung terigu Vitamin B1 4.0 mg/kg

Vitamin B2 2.4 mg/kg

Niacin 35.6 mg/kg

Asam folat 1.5 mg/kg

Besi 60 mg/kg

Brazil Susu Skim Vitamin A 15000-25000

IU/kg

Vitamin D 2000-2400/kg

Colombia Tepung terigu Vitamin B1 6.0 mg/kg

Vitamin B2 4.0 mg/kg

Niacin 55 mg/kg

Asam Folat 1.54 mg/kg

Besi 44 mg/kg

Margarin Vitamin A 30000 IU/kg

Vitamin D 3000 IU/kg

Costa Rica Tepung terigu Vitamin B1 6.0 mg/kg

Vitamin B2 4.0 mg/kg

Ekuador Tepung terigu Vitamin B1 4.0 mg/kg

Vitamin B2 7.0 mg/kg

Niacin 40 mg/kg

Asam folat 0.6 mg/kg

Besi 55 mg/kg

Margarin Vitamin A 20000-30000

IU/kg

Vitamin D 2000-4000

IU/kg

(36)

Negara Pangan Pembawa

Margarin Vitamin A 15000 IU/kg

Gula Vitamin A 50000 IU/kg

Guatemala Tepung terigu Vitamin B1 4.0-6.0 mg/kg

Vitamin B2 2.5-3.5 mg/kg

Susu Skim Vitamin A 2000-3000

IU/L

Vitamin D 400-600 IU/L

Magarin Vitamin A 15000-50000

IU/kg

Gula Vitamin A 50000 IU/kg

Honduras Tepung terigu Vitamin B1 4.4 mg/kg

Vitamin B2 2.6 mg/kg

Margarin Vitamin A 35000 IU/kg

Vitamin D 1500 IU/kg

Gula Vitamin A 50000 IU/kg

Mexico Susu Vitamin A 4000 IU/L

Vitamin D 400 IU/L

Margarin Vitamin A 20000 IU/kg

Vitamin D 2000 IU/kg

Nicaragua Tepung terigu Vitamin B1 6.0 mg/kg

Vitamin B2 3.5 mg/kg

Niacin 40 mg/kg

Asam folat 1.3 mg/kg

Besi 60 mg/kg

(37)

Negara Pangan Pembawa

Panama Tepung terigu Vitamin B1 6.0 mg/kg

Vitamin B2 4.0 mg/kg

Niacin 55 mg/kg

Asam folat 1.5 mg/kg

Besi 60 mg/kg

Gula Vitamin A 50000 IU/kg

Paraguay Tepung terigu Vitamin B1 4.5 mg/kg

Vitamin B2 2.5 mg/kg

Niacin 35 mg/kg

Asam folat 3.0 mg/kg

Besi 45 mg/kg

Peru Tepung terigu Besi 300 mg/kg

Margarin Vitamin A 30000 IU/kg

Vitamin D 3000 IU/kg

Venezuela Tepung terigu Vitamin B1 1.5 mg/kg

Vitamin B2 2.0 mg/kg

Niacin 20.0 mg/kg

Besi 20.0 mg/kg

Tepung Jagung Vitamin B1 3.1 mg/kg

Vitamin B2 2.5 mg/kg

Nigeria Tepung terigu Vitamin B1 4.5-5.5 mg/kg

Vitamin B2 2.7-3.3 mg/kg

Afrika Selatan Tepung Jagung Vitamin B2 2.5 mg/kg

Niacin 25 mg/kg

Margarin Vitamin A 20000-40000

IU/kg

Vitamin D 1000 IU/kg

Zambia Gula Vitamin A >33300 IU/kg

India Margarin Vitamin A ≥25000 IU/kg

Indonesia Tepung terigu Besi 60 ppm

Garam Iodium 30 mg/kg

Malaysia Susu Vitamin A ≥6700 IU/kg

Margarin Vitamin A 25000-35000

IU/kg

(38)

Negara Pangan Pembawa

Pakistan Produk minyak Vitamin A 33000 IU/kg

Philipina Susu Vitamin A ≥4866 IU/kg

Vitamin D ≥973 IU/kg

Margarin Vitamin B1 ≥88.0 mg/kg

Vitamin A ≥33000 IU/kg

Vitamin D ≥3300 IU/kg

Thailand Susu Vitamin A 11000 IU/kg

Turkey Margarin Vitamin A 22000 IU/kg

Vitamin D 1000 IU/kg

Sumber: Nutriview (2000)

Secara internasional, Codex Alimentarius, Food and Agriculture

Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) telah menetapkan prinsip umum untuk penambahan vitamin dan mineral pada makanan. Sebagai contoh, the guidelines on food fortification with micronutrients diterbitkan pada tahun 2006 (Allen L et al. 2006). Namun, masing-masing negara menentukan kebijakan atau peraturan sendiri dan pendekatan penerapan fortifikasi dapat bervariasi secara luas di seluruh dunia.

Pada tahun 2006 parlemen Eropa membentuk peraturan untuk mengontrol penambahan gizi pada makanan dan klaim gizi yang tertuang pada Regulation (EC) No 1924/2006 of the European Parliament and of the Council of 20 December 2006 on nutrition and health claims made on foods. Peraturan tersebut menjadi ketentuan di negara-negara Eropa untuk melakukan fortifikasi secara sukarela.

US Centers for Disease Control and Prevention melaporkan pada tahun 2008 sebanyak 33 negara telah melakukan fortifikasi pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 54 negara pada tahun 2007 dan dalam kurun waktu tiga tahun mampu melindungi 540 juta orang dari kekurangan zat gizi mikro. Sebagian besar negara melakukan fortifikasi terhadap zat besi, asam folat tetapi banyak juga dengan thiamin, riboflavin dan niacin. Cakupan program fortifikasi pangan mengalami penurunan menjadi 97% dari populasi Amerika, meningkat 5-44% di Timur Tengah, dari 26% menjadi 31% di wilayah Afrika, dari 16% menjadi 21 persen di wilayah Asia Tenggara. Pada tahun 2007 hanya 6% populasi di wilayah Eropa dan 4% di wilayah Asia Pasifik Barat yang melakukan fortifikasi.

Pembahasan fortifikasi pangan di Eropa sebagai solusi penting dalam mengatasi pemasalahan kesehatan masyarakat diatur masing-masing negara dan

(39)

Selama 6 bulan percobaan efikasi di Vietnam menetapkan bahwa fortifikasi saus ikan dengan besi secara signifikan dapat meningkatkan status zat besi dan mengurangi anemia dan defisiensi besi (Thuy PV et al. 2003). Subyek penelitian adalah perempuan pekerjaan yang mengalami anemia diintervensi dengan mengkonsumsi 10 ml per hari saus yang difortifikasi dengan 100mg besi (NaFeEDTA) per 100 ml.

Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk menilai efikasi, efektivitas dan kelayakan fortifikasi kecap dengan besi (NaFeEDTA). Konsumsi harian kecap yang difortifikasi zat besi sebesar 5mg atau 20mg dilaporkan sangat efektif dalam mengatasi defisensi anemia besi pada anak, efek positif terlihat dalam waktu 3 bulan dari awal intervensi. Uji efektivitas dilakukan dengan metode double blind placebo controlled pada kecap yang diperkaya zat besi, yang melibatkan sekitar 10000 anak-anak laki-laki dan wanita, penurunan prevalensi anemia diamati dalam waktu 6 bulan (Mannar V dan Boy GE 2002). Penelitian efikasi menunjukkan bahwa konsumsi harian dari 7,1 mg besi dari ferrous sulfate (setara dengan 7,1 mg besi sebagai ferrous fumarat, 4,6 mg zat besi sebagai natrium besi ethylenediaminetetraacetate [NaFeEDTA], atau 10 mg elektrolit besi) pada produk yang difortifikasi akan meningkatkan status zat besi pada wanita usia subur (Biebinger R et al. 2009).

Penelitian yang dilakukan di Filipina telah menunjukan fortifikasi monosodium glutamat (MSG) dengan vitamin A menurunkan angka kematian, meningkatkan pertumbuhan dan kadar hemoglobin pada anak-anak (Muhilal et al.

1988). Kemudian studi pada anak usia prasekolah yang mengkonsumsi margarin yang difortifikasi 27g vitamin A margarin per hari untuk jangka waktu 6 bulan, menunjukan penurunan prevalensi konsentrasi serum retinol serum 26% menjadi 10% (Solon FS et al. 1996). Efektivitas biologis fortifikasi vitamin A tergantung pada konsumsi target yang diintervensi. Negara-negara yang memiliki konsumsi tepung terigu 75 g atau kurang perkapita/hari menambahkan relatif lebih tinggi jumlah vitamin A (misalnya, 5,9 mg Retinol Activity Equivalents (RAE)/g) akan memberikan kontribusi asupan sekitar 24%, 21%, dan 22% dari kecukupan

Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk perempuan dewasa, anak usia sekolah, dan anak usia prasekolah dengan biaya fortifikasi sebesar US$ 8.62/MT (metric ton) tepung terigu.

(40)

Tabel 4 Asumsi efektifitas program dan biaya fortifikasi

Fortifikan Asumsi

Iodium Fortifikasi garam mampu

menghilangkan gondok

Besar biaya sekitar $ 0.10 orang/tahun

Besi Fortifikasi tepung terigu mampu

mengurangi prevalensi anemia 9% pada wanita pekerja

Besar biaya sekitar $ 0.12 orang/tahun

Vitamin A Fortifikasi pangan yang dikonsumsi

oleh bayi dan anak-anak usia 6-24 bulan dapat menghilangkan subklinis kekurangan vitamin A

Sumber: Horton S (2006)

Fortifikasi pangan dan suplemen multivitamin sering termasuk dalam diet sehari-hari masyarakat di negara-negara maju. Pengguna produk fortifikasi adalah perempuan, orang tua, pasien kronis dan terutama orang-orang yang berpendidikan atau dengan latar belakang sosial ekonomi tinggi (Shaikh et al.

2009). Publikasi dari US National Health dan Nutrition Examination Survey

(NHANES) melaporkan proporsi orang dewasa (Yang Q et al. 2010) dan juga anak-anak 1-13 tahun (Bailey RL et al. 2010) sering mengkonsumsi produk fortifikasi. Sebuah era baru dalam gizi telah jelas berevolusi dan diharapkan hasil yang signifikan pada tingkat populasi di masa depan.

Saat ini tampak jelas bahwa gizi yang optimal tetap menjadi target yang bergerak dibidang fortifikasi pangan. Selain itu, studi nutrigenomik telah mengidentifikasikan individu dengan kebutuhan gizi yang berbeda-beda, fortifikasi pangan dapat membantu mengoptimalkan kebutuhan gizi. Dasar bukti ilmiah terus berkembang dengan penemuan senyawa baru, dapat meningkatkan derajat kesehatan serta menentukan strategi baru yang melibatkan pengetahuan gizi dan fortifikasi pada masa depan yang lebih menguntungkan.

Perkembangan Program Fortifikasi Di Indonesia

Penerapan fortifikasi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai pada masa pemerintah Belanda pada tahun 1927. Pada waktu itu pemerintah Belanda menerbitkan peraturan yang mengharuskan fortifikasi garam dengan iodium yang dikonsumsi oleh rakyat, yang secara kesuluruhan garamnya diproduksi oleh Perusahaan Negara (PN) Garam di Madura. Semenjak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 mulai bermunculan perusahaan garam yang mengakibatkan peraturan itu tidak lagi dilaksanakan karena garam tidak menjadi produk monopoli P N Garam.

(41)

garam yang dikenal sebagai iodisasi garam. Koordinasi antara Bappenas dan Departemen Kesehatan menghasilkan gagasan untuk iodisasi garam secara nasional. Gagasan ini dibicarakan oleh Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan serta Departemen Dalam Negeri (Soekirman 2008).

Hasil survei awal tahun 1980-an menemukan 5 makanan yang berpotensi menjadi pembawa fortifikasi, yaitu : garam, bumbu penyedap MSG, minyak goreng, gula, dan tepung terigu. Beras tidak termasuk karena ada beberapa aspek yang tidak memenuhi kriteria fortifikasi wajib, yang akan diuraikan kemudian. Dari ke-5 komoditi pangan tersebut yang paling memenuhi syarat untuk dicoba difortifikasi pada awal tahun 1980an adalah garam, MSG, dan terigu. Karena itu program fortifikasi di Indonesia dimulai dengan 3 komoditi tersebut. Sebenarnya garam kurang memenuhi syarat untuk difortifikasi wajib karena produsen garam, petani garam dan pengusaha garam rakyat (besar dan kecil) jumlahnya sangat besar (puluhan ribu) dan tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian karena luas dan gawatnya masalah gangguan kesehatan karena kurang iodium (GAKI) di masyarakat, upaya pencegahan dan penanggulangannya harus segera dilaksanakan, sehingga tidak banyak pilihan kecuali melaksakanan iodisasi garam secara nasional (Soekirman 2008).

Bumbu penyedap MSG yang pada tahun 1980-an hanya diproduksi oleh 2 pabrik, sangat memenuhi persyaratan fortifikasi. Seperti halnya dengan garam, MSG dijumpai dihampir setiap rumah tangga, baik kaya maupun miskin. MSG memenuhi syarat untuk fortifikasi vitamin A yang juga merupakan salah satu masalah kekurangan gizi penting di Indonesia sampai sekarang. Pada tahun 1980-an dilakuk1980-an percoba1980-an fortifikasi vitamin A pada bumbu penyedap MSG. Hal serupa pernah dilakukan juga di Philipina. Hasil percobaan dari kedua negara tersebut positif. Fortifikasi MSG dengan vitamin A menurunkan prevalensi kurang vitamin A pada balita keluarga miskin. Meskipun demikian percobaan ini tidak berlanjut menjadi program, oleh karena masalah teknologi (terjadi perubahan warna MSG) dan adanya kelompok masyarakat yang menentang pemakaian MSG secara luas (Soekirman 2008).

Pada 1982 diadakan pertemuan antara Menteri Kesehatan, Perindustrian dan Perdagangan serta Dalam Negeri. Dalam pertemuan tersebut akhirnya terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang dimulainya upaya iodisasi garam rakyat. Tiga tahun berjalan SKB tersebut ditingkatkan menjadi SKB 4-Menteri dengan ditambah Menteri Pertanian. Menurut hukum di Indonesia pada tahun 1994 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden No 69 tahun 1994 tentang mewajibkan Iodisasi Garam yang merupakan penerapan fortifikasi wajib di Indonesia. Dikeluarkannya SKB antar menteri tentang iodisasi garam, dan lobi-lobi para pakar gizi dan UNICEF tentang pentingnya fortifikasi telah mendapat perhatian para pengambil kebijakan dan perencana pembangunan di Bappenas. Pada tahun 1998 kebijakan perlunya program fortifikasi dicantumkan dalam rencana pembangunan lima tahun (REPELITA) III dan seterusnya. Program iodisasi garam merupakan program fortifikasi nasional yang pertama dalam Repelita (Soekirman 2008).

(42)

tersebut berbunyi : “Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status

gizi masyarakat, pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan“. Kata pengayaan gizi yang dimaksud dalam UU Pangan ini adalah fortifikasi. Terjadi perubahan peraturan pangan menjadi UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan. Peraturan fortifikasi pada UU No 18 tahun 2012 diatur bagian ketiga perbaikan gizi pasal 63 ayat 1 dan ayat 2(a) tersebut berbunyi:

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang Gizi untuk perbaikan status Gizi masyarakat.

(2) Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan tertentu yang diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status Gizi masyarakat.

Menyikapi berlakunya UU Pangan tersebut Kementerian Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri tanggal 16 Juni 1996 tentang Fortifikasi Tepung Terigu. Undang-undang Pangan menyebabkan Kementerian Urusan Pangan membentuk Komisi Fortifikasi yang bersifat lintas sektor Kementerian. Diskusi teknis pelaksanaan fortifikasi tepung terigu dimulai di komisi ini dengan dukungan aktif UNICEF. Pembahasan secara nasional diadakan tahun 1998 di forum Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke VI (Soekirman 2008).

Sejak itu berbagai percobaan fortikasi tepung terigu dimulai dan pengoperasian fortifikasi tepung terigu dimulai tahun 1998 di salah satu pabrik tepung terigu di Jakarta. Akhirnya pada tanggal 14 Januari 1999, program fortifikasi tepung terigu dengan zat besi dicanangkan secara resmi oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Negara Urusan Pangan dan disaksikan oleh kepala perwakilan UNICEF di Indonesia. Dua tahun kemudian fortifikasi ini menjadi wajib setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu. Standar Nasional Indonesia (SNI) ini mewajibkan fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2 (Soekirman 2008).

Pada tahun 2003 diadakan evaluasi pelaksanaan wajib iodisasi garam. Hasilnya menunjukkan kemajuan yang nyata. Apabila di tahun 1980-an hanya 30% rumah tangga menggunakan garam beriodium, pada tahun 2003 meningkat menjadi 64%. Data terakhir tahun 2006 menjadi 78% dengan catatan masih ada 30% kabupaten dengan konsumsi garam beriodium dibawah 50%. Salah satu masalah yang masih dihadapi program iodisasi garam adalah masih banyak beredarnya garam dengan label beriodium, tetapi tanpa iodium alias palsu (Soekirman 2008).

(43)

ini dapat diperbaiki setelah pemerintah dan lembaga independen memberi penjelasan melalui surat dan media massa (Soekirman 2008). SNI Wajib fortifikasi tepung terigu diberlakukan lagi pada tahun 2009.

Pilihan pada minyak goreng sebagai pembawa vitamin A melalui perjalanan panjang. Minyak goreng yang mengandung provitamin A sehingga berwarna merah pernah disosialisasikan pada 1960-an, tetapi tak berhasil karena membuat warna makanan jadi merah. Beberapa tahun lalu, sebuah perusahaan swasta gagal memasarkan minyak goreng sawit dengan provitamin A tinggi. Selain warna makanan jadi merah, rasa makanan juga getir (Soekirman 2008). Pada 25 januari 2011 yang bertepatan dengan hari Gizi Nasional, Kementrian Kesehatan meluncurkan program rintisan fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng masih merupakan kegiatan sukarela dan akan segera menjadi fortifikasi wajib setelah Standar Nasional Indonesia diterbitkan. Pada tahun 2012 ditetapkan SNI 7709:2012 tentang minyak goreng sawit yang difortifikasi sukarela dengan vitamin A.

Diberlakukan peraturan pangan dan sistem pangan yang lebih luas dan terkontrol merupakan mekanisme umum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur ketentuan teknis fortifikasi pangan dan terutama yang berhubungan dengan label, komposisi dan klaim. Peraturan pangan juga dapat digunakan untuk memaksakan pengontrolan pada industri makanan dan sebagai sistem informasi kepada publik dalam mendukung fortifikasi pangan. Peraturan pangan biasanya memiliki beberapa tujuan. Tujuan yang paling penting adalah perlindungan kesehatan masyarakat. Adapun tujuan lain diantaranya: 1) penyediaan informasi yang memadai untuk memungkinkan pilihan yang tepat dalam memilih produk pangan; 2) pencegahan penipuan dan perilaku menyesatkan atau menipu; 3) perdagangan yang adil.

Dalam memenuhi tujuan tersebut, ketentuan fortifikasi pangan sebaiknya tidak hanya memastikan bahwa semua komposisi parameter berlaku, tetapi harus mampu menciptakan makanan yang aman dan berkhasiat bagi kesehatan masyarakat. Label, klaim dan iklan makanan yang difortifikasi harus faktual, tidak menyesatkan dan memberikan informasi yang cukup untuk memungkinkan setiap masyarakat mengetahui produk fortifikasi yang sesuai dengan kebutuhan asupan konsumsi.

Sebelum memutuskan pada format dan detail ketentuan fortifikasi, pengambil kebijakan seharusnya memahami faktor-faktor yang membentuk pola pasokan dan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Pertimbangan penting lainnya yaitu, keseimbangan antara produk domestik dan memperketat produk impor yang beredar, komposisi zat gizi mikro dari produk impor, kapasitas industri dalam negeri untuk memproduksi dan sistem industri yang terpusat. Pemahaman ini sangat relevan jika produk impor yang difortifikasi akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap asupan zat gizi mikro. Jika parameter komposisi dalam peraturan nasional tidak mengakomodasi produk fortifikasi misalnya jika tingkat zat besi minimal fortifikasi produk impor lebih tinggi dibandingkan produk dalam negeri maka industri pangan dalam negeri akan mengalami kebangkrutan.

(44)

dalam pelabelan dan iklan. Akhirnya, setiap perubahan dari undang-undang yang mengharuskan industri pangan untuk mengubah praktek produksi dan atau label produk harus memasukkan masa transisi. Hal ini pasti membutuhkan beberapa waktu sebelum semua produsen dalam negeri dan importir menjadi sadar persyaratan peraturan baru dan dapat memodifikasi produksi dan/atau operasi pelabelan yang sesuai.

Fortifikasi pangan sangat tergantung dengan kemitraan yang kuat antara sektor pemerintah, swasta dan sipil. Pemerintah memiliki peran dengan memberlakukan dan menegakkan undang-undang dan mengatur tarif bea impor pangan yang masuk ke Indonesia. Para ahli dan peneliti melakukan terobosan terbaik untuk menciptakan makanan yang bermanfaat dalam mengurangi defisiensi zat gizi mikro dan menguntungkan bagi pemerintah dan industri jika diproduksi secara massal. Industri berkontribusi dalam pemasaran bisnis dan teknis keahlian untuk mempromosikan makanan yang diperkaya kepada konsumen. Konsumen dan media menginfomasikan penyebaran berita dan membantu menstimulasi permintaan berkelanjutan untuk makanan yang difortifikasi.

Pemerintah memiliki peran penting untuk membuat peraturan dan memastikan bahwa fortifikasi pangan efektif untuk kelompok populasi paling berisiko dari malgizi zat gizi mikro, tetapi aman untuk populasi secara keseluruhan. Peraturan pangan dan langkah-langkah teknis pemberlakuan sistem pangan yang lebih luas merupakan alat utama yang dimiliki pemerintah untuk membangun dan mengontrol praktek fortifikasi agar tepat guna.

Pemerintah dan peneliti memiliki peran sentral dalam menafsirkan bukti pangan yang difortifikasi menguntungkan dan kemudian memberlakukan peraturan untuk mempromosikan fortifikasi pangan agar bisa diproduksi secara skala industri. Sektor swasta dalam hal ini produsen memainkan peran yang sangat penting untuk menindaklanjuti respon permintaan terhadap produk yang telah difortifikasi dan tetap dalam pengawasan. Pelaksanaan fortifikasi pangan merupakan kolaborasi keilmuan dari ahli gizi, kesehatan, asosiasi medis untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat fortifikasi. Para donatur dalam dan luar negeri dan mitra pembangunan pemerintah lainnya dapat menyumbangkan keahlian teknis dan dukungan lainnya untuk membantu memperluas program fortifikasi dengan cara menekan biaya.

(45)

Tabel 5 Undang-undang dan peraturan terkait fortifikasi pangan di Indonesia

No Undang-undang dan peraturan yang terkait dengan fortifikasi pangan

1 Undang-Undang Republik Indonesia No.7 tahun 1996 tentang Pangan

2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen

3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

4 Undang-Undang Republik Indonesa No.18 Tahun 2012 tentang Pangan

5 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan

6 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan

7 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor

HK.03.1.5.12.11.09955 tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan

8 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor

HK.03.1.5.12.11.09956 tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendaftaran Pangan Olahan

9 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor

HK.03.1.23.11.11.09605 tahun 2011 tentang Pedoman Pencantuman Informasi Nilai Gizi Pada Label Pangan

10 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor

Hk.03.1.23.11.11.09909 Tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim Dalam Label Dan Iklan Pangan Olahan

11 Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Kesehatan, Perindustrian dan Perdagangan, Dalam Negeri) tahun 1982 tentang Iodisasi Garam

12 SKB 3 Menteri ditingkatkan menjadi SKB 4 Menteri (ditambah Pertanian) tahun 1985 tentang Iodisasi Garam

13 Keputusan Presiden No. 69 tahun 1994 tentang Wajib Iodisasi Garam

14 Ketentuan “Standar Nasional Indonesia (SNI) No.01-3566-2000 tentang Garam konsumsi iodium

15 Peraturan Menteri Dalam Negeri no.63 tahun 2010 tentang penanggulangan

kekurangan iodium di daerah

16 SK. Menteri Kesehatan RI No. 632/Menkes/SK/VI/1998 tanggal 16 Juni

1998 tentang Fortifikasi Tepung Terigu

17 Ketentuan “Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3751-2000 tentang

Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan

18 SK. Menteri Perindustrian dan Perdangangan RI secara wajib SNI Tepung

Terigu sebagai Bahan Makanan (SNI. 01-3752-2000/Rev.1995 dan Revisinya)

19 SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.323/MPP/Kep./11/2001,

tanggal 20 november 2001, tentang penerapan wajib SNI Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan (SNI 01-3752-2000/Rev 1995 dan Revisinya) 20 Surat Keputusan Direktur Jendral Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan No.

03/DIRJEN-IKAH/SK./II/2002, tanggal 1 Februari 2002 tentang petunjuk pelaksanaan penerapan SNI Tepung Terigu sebagai Bahana Makanan (SNI 01-3751-2000/Rev.1995 dan Revisinya)

21 Surat Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.b Direktur teknis Kepabeanan No. S-672/BC.3/2002, tanggal 28 Maret 2002 tentang Importasi Tepung Terigu

22 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 753/MPP/Kep./11/2002,

Gambar

Tabel 1 Makanan yang difortifikasi dibeberapa negara Asia
Gambar 1 Kerangka pemikiran mengindentifikasi program fortifikasi dan
Gambar 2 Teknik pengambilan data sekunder
gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada
+5

Referensi

Dokumen terkait

Interaksi antara infeksi, status gizi mikro, dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum

Pengaruh Pemberian Pangan Fortifikasi Zat Multi Gizi Mikro pada Ibu Hamil Terhadap Status Gizi dan Morbiditas Bayi Dari Usia 0-6 Bulan.. Program Doktor

Kesimpulan: Pemberian pangan forti fi kasi zat multi gizi mikro pada ibu hamil berpengaruh terhadap perkembangan motorik bayi dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok tanpa forti

Kabupaten Toba yang memiliki pangan lokal dali dan ikan nila (Dalila) yang sangat tinggi zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak memiliki angka prevalensi

Klasifikasi pangan sangat berguna dalam perencanaan produksi, ketersediaan pangan, dan konsumsi pangan penduduk. Sementara, zat gizi diklasifikasikan ke dalam enam kelas utama

Interaksi antara infeksi, status gizi mikro, dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum

1.4.2 Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pelayanan di puskesmas maupun di masyarakat untuk mendeteksi zat gizi makro dan mikro, pertumbuhan anak serta

Beberapa teknik peningkatan kadar zat gizi antara lain: Fortifikasi pangan merupakan penambahan satu atau lebih zat gizi nutrien pada taraf yanglebih tinggi daripada yang ditemukan pada