• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

#'#* #,#+$

Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan negara. Setiap negara membutuhkan negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya agar dapat hidup makmur dan sejahtera. Kerjasama dalam bentuk hubungan dagang antarnegara sangat dibutuhkan oleh setiap negara. Hal ini disebabkan setiap negara tidak

dapat menghasilkan semua barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Selain itu, disebabkan juga oleh adanya perbedaan sumberdaya yang dimiliki, iklim, letak geografis, jumlah penduduk, pengetahuan, dan teknologi. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan munculnya perdagangan internasional.

Sebagian besar negara di dunia ini menganut sistem perekonomian terbuka, mereka mengekspor barang dan jasa ke luar negeri, mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar keuangan dunia. Perdagangan merupakan sentral untuk menganalisis pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara.

Perkebunan selama ini memegang peranan yang penting sebagai sumber penerimaan devisa negara. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai US$ 20 miliar, yang berasal dari kelapa sawit US$ 15,5 miliar, karet US$ 7,8 miliar dan kopi US$ 1,7 miliar. Selain itu terdapat juga penerimaan negara dari bea keluar masuk minyak kelapa sawit sebesar Rp 20 triliun dan bea keluar kakao sebesar Rp 615 miliar. Peranan penting perkebunan yang lain adalah sebagai penyerap tenaga kerja, dari sekitar 114 juta tenaga kerja nasional pada tahun 2009, sebesar 19,7 juta orang (17,32 persen) diantaranya merupakan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Atau jika dikalkulasi di sektor pertanian yang dapat menyerap 43,03 juta orang, perkebunan dapat menyerap 45,78

persen tenaga kerja (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011).

(2)

kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao merupakan salah satu komoditi ekspor yang memiliki keunggulan komparatif yang menjadi modal utama yang harus ada pada suatu produk untuk memiliki kekuatan kompetitif. Permintaan ekspor kakao Indonesia oleh negara mitra dagang didominasi oleh biji kakao. Berdasarkan FAO 2009

( ) yang terdapat pada Tabel

1.1, Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Hal ini tentu saja membuat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai produk olahan kakao.

Rank Area Kuantitas Perkembangan ekspor kakao mengalami penurunan secara drastis sebesar 25,01 persen pada tahun 2006 dengan nilai 86,8 juta US$. Turunnya nilai ekspor kakao disinyalir oleh

para analis bahwa bukan akibat produksi kakao sedang menurun, namun dapat dimungkinkan sebenarnya konsumsi di dalam negeri yang sedang meningkat (Direktorat

(3)

Sumber: COMTRADE (2012)

#" *, -"#+$#+ ,&./* #,#/ , #2#&#+ +% */.# #!(+

Total produksi dan luas panen kakao di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun kecenderungannya terus meningkat dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,05 persen dan 0,12 persen per tahun. Tanaman kakao di Indonesia tersebar hampir di semua kepulauan, namun areal perkebunan kakao paling banyak berada di Pulau Sulawesi yakni 58 persen dari luasan pertamanan kakao nasional, yang menghasilkan 63 persen kakao nasional, sehingga dikenal sebagai sentra produksi kakao. Perkembangan produksi, luas panen, dan produktivitas kakao tahun 2002-2010 dapat dilihat pada tabel 1.2.

Tahun Total Produksi

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2012)

(4)

*(-(&#+ #&# #!

Indonesia sebagai negara tropis dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, khususnya di bidang pertanian, membuat pemerintah memberi perhatian terhadap komoditi pertanian guna terwujudnya peningkatan produktivitas dan ekspor yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dalam pembangunan.

Komoditas kakao merupakan komoditas agroindustri yang mempunyai peranan penting terhadap kinerja ekspor non-migas Indonesia. Dan seperti yang telah dikemukakan pada latar belakang di bagian sebelumnya, Indonesia merupakan produsen komoditas kakao terbesar ketiga di dunia. Cita-cita menjadi produsen utama kakao dunia seyogyanya bagi Indonesia bukanlah menjadi hal yang mustahil untuk dicapai jika berbagai masalah yang dihadapi oleh perkebunan kakao dapat diatasi, misalnya masalah hama hama penggerek buah kakao (PBK), rendahnya kualitas kakao Indonesia serta belum berkembangnya industri hilir kakao. Selain itu, dengan luas lahan yang mencapai 1,5 juta Ha, bila produktifitas bisa mencapai 1 Ton/Ha saja, maka produksi kakao

Indonesia mampu mencapai 1,5 Ton atau melebihi Pantai Gading yang mencapai 1,3 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010).

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan, diantaranya :

1. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa?

2. Bagaimana daya saing perdagangan komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa?

5 (0(#+ + %'%#+

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa.

(5)

#+8##' + %'%#+

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia.

2. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan perdagangan.

9 (#+$ %+$,(. + %'%#+

Penelitian ini menganalisis mengenai daya saing serta faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke sepuluh negara mitra dagang Uni Eropa. Negara mitra dagang tersebut adalah Belgium, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol, dan Inggris yang tergabung di dalam ICCO

( ) dan telah menjadi mitra dagang Indonesia selama

periode 2002 - 2010. Klasifikasi yang digunakan adalah (HS) 18

(6)

%+0#(#+ (&'#,#

/+& . *1#$#+$#+ +' *+#&%/+#

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dengan pemerintahan suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional didorong oleh adanya perbedaan harga antar negara (Nopirin, 1997). Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor

dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara.

Konsep perdagangan internasional pada hakikatnya telah terjadi selama ribuan tahun (seperti Jalur Sutera dan ( ' ), meskipun dampaknya terhadap kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan. Perdagangan internasional pun telah mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Perdagangan internasional juga merupakan cikal bakal bagi penemuan wilayah baru seperti Benua Australia dan penjajahan suatu negara atas negara lainnya seperti penjajahan oleh negara-negara di Eropa terhadap beberapa negara di Asia dan Afrika

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala

(7)

Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional adalah :

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun pengetahuan dan teknologi.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan setiap negara dapat menikmati lebih banyak barang yang dapat diproduksi di dalam negeri. 3. Memperluas pasar-pasar industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar,

kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.

4. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alat-alat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan

efisiensi.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditas (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.1). Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi " ## (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, di negara B kekurangan ## karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya ( " ) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.

(8)

internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi

" (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara

A akan terjadi " ## (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditas (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditas (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.

:; :

Negara A Perdagangan Negara B Sumber: Salvatore (1997)

#-"#* & %-"#+$#+ 1# #- *1#$#+$#+ +' *+#&%/+# Keterangan :

PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional. OQ* : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa

perdagangan internasional.

A : Kelebihan penawaran ( " ## ) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.

X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A.

PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional. X

(9)

OQB : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.

B : Kelebihan permintaan ( " ) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.

M : Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B.

P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan internasional. OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah

yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

/*% (+$$( #+ "&/ ('

Teori keunggulan absolut berdasarkan pada variable riil dan bukan variable moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (# ry) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variable riil seperti nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan

untuk menghasilkan barang. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan maka akan semakin tinggi nilai barang tersebut.

Teori keunggulan absolut Adam Smith yang sederhana dengan menggunakan teori nilai tenaga kerja, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara yaitu Amerika Serikat dan Indonesia. Kedua negara tersebut memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yaitu gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan satu unit gandum dan pakaian, Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Sedangkan Indonesia setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.

(10)

di Amerika Serikat dapat menghasilkan 4 meter kain, sedangkan di Indonesia hanya dapat menghasilkan 2 meter kain. Jika keduanya melakukan perdagangan, maka Indonesia akan berspesialisasi dalam memproduksi gandum dan menukarkan sebagian gandumnya dengan kain dari Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat akan berspesialisasi dalam memproduksi kain, dan menukarkan sebagian kainnya dengan gandum.

Keterangan : * adalah Dasar Tukar Dalam Negeri

#" #'# %./' &%& /*% (+$$( #+ "&/ (' 1#- -%'!

Keunggulan absolut masing-masing negara terjadi karena setiap negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain. Menurut teori keunggulan absolut, Adam Smith mengemukakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak (absolut), serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak ( ( ). Selain itu, menurut teori Adam Smith suatu negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional dan meningkatkan kemakmurannya apabila :

1. Kondisi perdagangan (tanpa campur tangan pemerintah).

2. Negara melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolut yang dimiliki. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori keunggulan absolut adalah :

1. Terdapat dua negara dan dua komoditas.

2. Faktor produksi yang digunakan adalah tenaga kerja.

3. Kualitas barang yang diproduksi oleh kedua negara adalah sama. 4. Pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang.

(11)

5 /*% (+$$( #+ /-.#*#'%8

Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith. Teori keunggulan komparatif ( ) *

# ) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan dengan tidak ada perdagangan.

Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan teori tenaga kerja ( (

) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Menurut teori keunggulan komparatif suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan

mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.

Perdagangan internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan komparatifnya ia kuasai. Dengan kata lain, perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.

(12)

/*% (+$$( #+ /-. '%'%8

Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, keunggulan ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Jadi, keunggulan kompetitif suatu komoditas atau sektor ekonomi terbentuk dengan kinerja yang dimilikinya sehingga dapat unggul dari komoditas atau sektor ekonomi lainnya. Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter (1990) dengan empat faktor utama yang menentukan daya saing yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta kondisi strategis, struktur perusahaan dan persaingan. Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya saing yang disebut $ & % (Tarigan, 2005).

9 /1 *#7%'#&% =

pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa. Menurut Feenstra (1998), dapat menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Selanjutnya menurut Alonso (1987) dalam Yuniarti (2007), ditemukan hubungan yang kuat dengan menggunakan fungsi dengan mengganti massa dengan populasi dan kekuatan gravitasi dengan beberapa ukuran interaksi antara dua lokasi.

Model gravitasi didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang menyatakan bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi secara proporsional oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara proporsional dipengaruhi oleh jarak kuadrat antara keduanya. Dalam konteks perdagangan, model ini menyatakan bahwa intensitas perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan pendapatan nasional masing-masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak diantara keduanya.

(13)

menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya seperti PDB dan nilai tukar. Alasan yang melatarbelakangi penggunaan adalah bahwa negara yang lebih besar dan kaya banyak melakukan perdagangan luar negeri dibandingkan dengan negara yang lebih kecil dan miskin di mana ada pengaruh dari jarak, namun bukan sebagai hambatan. Sesuai dengan perumusan Newton terhadap model gravitasi fisika yaitu “interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masing-masing”.

Mi x Mj Fij = G --- Dij2 dimana :

Fij = Volume aliran perdagangan

Mi,j = Ukuran ekonomi untuk kedua negara

Dij = Jarak antara kedua negara G = Konstanta

#*#,

Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam

untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak memberikan pengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik produksi ke titik konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel jarak tersebut dapat dimodifikasi menjadi atau jarak ekonomi. Variabel ini menghitung jarak geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau

yang disebut * + (Li ,, 2008). Adapun rumus

yang digunakan dalam menghitung jarak ekonomi yaitu:

Jarak Ekonomi = Jarak Geografis Antarnegara X (∑ GDPj)

(14)

Salvatore (1997) menjelaskan pengaruh biaya transportasi terhadap perdagangan internasional seperti dalam Gambar 2.2. Sebelum dilakukan perdagangan internasional, negara 1 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dengan harga $5, sementara negara 2 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dengan harga $11. Setelah dilakukan perdagangan internasional (tanpa biaya transportasi), harga komoditas Z di negara 1 akan meningkat sehingga negara 1 berproduksi lebih banyak kemudian kelebihan produksinya diekspor ke negara 2. Bertambahnya kuantitas komoditas Z menyebabkan harga komoditas Z di negara 2 menurun hingga harga yang berlaku di kedua negara adalah sama yaitu sebesar $8 dengan kuantitas Z yang diperdagangkan sebanyak 50 unit.

Sumber : Salvatore (1997)

#-"#* +# %&%& & %-"#+$#+ #*&%# '#& %#)# *#+&./*'#&%

(15)

*/1(, /- &'%, *('/

Produk Domestik Bruto ( % - $ /GDP) sebagai salah satu variabel utama dalam analisis aliran perdagangan menunjukkan besarnya kemampuan perekonomian suatu negara. Semakin besar GDP yang dihasilkan suatu negara, semakin besar pula kemampuan tersebut untuk melakukan perdagangan. Komponen GDP terdiri dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor. Menurut Mankiw (2003) GDP menyatakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa. GDP terdiri dari GDP nominal dan GDP riil. GDP nominal mengukur nilai uang yang berlaku dari output perekonomian. GDP riil mengukur output yang dinilai pada harga konstan.

3 % #% (,#*

Menurut Mankiw (2003) kurs atau " antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan

perdagangan. Para ekonom membedakan kurs menjadi dua, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal ( " ) adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil ( " ) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Tingkat harga dimana kita memperdagangkan barang domestik dengan barang luar negeri tergantung pada harga barang dalam mata uang lokal pada tingkat kurs yang terjadi. Maka kurs riil dapat dituliskan seperti berikut :

Є = e (P/P*) dimana :

Є = Kurs riil e = Kurs nominal

(P/P*) = Rasio tingkat harga di dalam dan luar negeri

(16)

/.( #&%

Populasi di suatu negara berpengaruh terhadap permintaan ekspor negara tersebut. Pertumbuhan penduduk di negara tujuan ekspor berimplikasi pada peningkatan permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga kurva permintaan bergeser ke kanan dan menyebabkan " pasar internasional dengan asumsi permintaan tetap,

. # ( ), begitu pula di negara pengekspor.

'(1% + %'%#+ *1#!( (

Penelitian oleh Yeboah (2007) dalam jurnal / 0

!"# ) ( 1 ## 2 menyimpulkan

bahwa perbedaan relatif faktor pendorong berbeda pengaruhnya bagi perdagangan. Perbedaan pendapatan di antara negara importir dan eksportir positif dan signifikan sedangkan nilai tukar tidak menjadi masalah. Tetapi harga produsen kakao pada saat liberalisasi perdagangan meningkat, produksi meningkat dan volume ekspor meningkat.

Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral Indonesia dengan pendekatan yang menyimpulkan bahwa PDB dari negara eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif, variabel jarak berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral, variabel kesamaan ukuran perekonomian berpengaruh positif, variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif, dan keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh.

(17)

Gumilar (2010) meneliti tentang daya saing sayuran utama Indonesia selama periode 2001-2008 di pasar Internasional melalui pengestimasian dengan menggunakan

!"# $ % (EPD). Diketahui bahwa beberapa komoditi sayuran Indonesia

yang diuji seperti kol, jamur, dan kentang berada di posisi ' , komoditi bawang merah Indonesia berada di posisi ' , komoditi cabai berada di posisi

, sedangkan komoditi tomat berada di posisi ) ## .

Yanti (2011) meneliti tentang analisis daya saing produk turunan susu Indonesia di pasar internasional selama periode 2000-2010. Berdasarkan hasil estimasi !"#

$ % (EPD), keenam produk turunan susu berada pada posisi daya saing

' yang menandakan bahwa keenam produk tersebut tumbuh dengan cepat ( + * # ) dan Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar dari keenam produk turunan susu tersebut.

Oktaviani (2011) meneliti tentang daya saing industri karet remah Indonesia selama periode 1993-2008. Berdasarkan hasil analisis keunggulan kompetitif dengan

$ & % , industri karet remah Indonesia dapat dikatakan memiliki

(18)

5 *#+$,# -%,%*#+

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi pertanian nasional, khususnya subsektor perkebunan, yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dalam pembangunan, sehingga membuat pemerintah memberi perhatian terhadap komoditi pertanian guna terwujudnya peningkatan produktivitas. Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang peranannya penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa negara. Namun, kualitas komoditas kakao masih termasuk rendah di pasar internasional, padahal berpotensi menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia

Dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia menuju kawasan Uni Eropa, yang melibatkan 10 negara mitra dagang pengimpor di kawasan Uni Eropa dalam kurun waktu tahun 2002-2010. Negara yang dimaksud antara lain Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol dan Inggris. Kesepuluh negara ini dipilih karena nilai ekspor

ke negara tujuan pengimpor tersebut termasuk tinggi dan tergabung di dalam ICCO

( ) seperti halnya Indonesia. Model pendekatan yang

digunakan adalah , !"# $ % (EPD), dan $ &

% .

Di dalam , variabel yang akan dianalisis adalah jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor, GDP riil negara Indonesia, GDP riil negara tujuan ekspor, serta nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$. Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan pendekatan panel data yang diolah dengan ! * 6, sehingga akan didapatkan kesimpulan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara mitra dagang pengimpor. Di dalam !"# $ % (EPD) dapat diidentifikasi posisi daya saing komoditas kakao Indonesia dan juga dapat diketahui apakah komoditi tersebut merupakan produk dengan performa yang memiliki pertumbuhan yang cepat atau tidak. Sedangkan dengan

$ & % dapat dianalisis kondisi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing

(19)

#-"#* 5 *#+$,# -%,%*#+

(20)

%./' &%&

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda koefisien variabel-variabel yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia adalah: 1. Jarak ekonomi diharapkan memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor

komoditas kakao Indonesia.

2. GDP negara tujuan ekspor diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.

3. GDP negara Indonesia diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.

4. Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.

(21)

5 +%& 1#+ (-" * #'#

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data sepuluh negara tujuan ekspor di kawasan Uni Eropa selama kurun waktu tahun 2002-2010. Sepuluh negara yang dimaksud adalah Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol dan Inggris yang tergabung di dalam ICCO (

). Komoditas yang menjadi objek penelitian adalah kakao dengan

kode 18.

Adapun data-data yang diperlukan dalam pemodelan yaitu nilai ekspor

komoditas kakao Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan ekspor, GDP negara Indonesia, GDP negara tujuan ekspor, nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$, serta populasi negara tujuan ekspor.

Data tersebut diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya COMTRADE

( % ( ) yang diakses melalui WITS (3

) untuk data nilai perdagangan ekspor kakao, CEPII ( 4!

$ # 4 ) untuk data jarak antara Indonesia dan

negara tujuan ekspor, World Bank untuk data GDP negara tujuan ekspor dan negara

Indonesia, IMF ( ) yang diakses melalui UNSD (

% ) untuk data nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$, serta $ # % yang diakses melalui UNSD untuk data populasi negara tujuan.

5 '/1 +# %&%&

Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa adalah analisis data panel dengan menggunakan . Untuk menganalisis posisi daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar Uni Eropa digunakan analisis !"# $

(22)

dengan performa yang memiliki pertumbuhan yang cepat atau tidak. Sedangkan untuk menganalisis kondisi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditas kakao Indonesia digunakan analisis $ & % .

5 #+ #'#

Dalam sebuah penelitian, terkadang akan ditemukan suatu persoalan mengenai ketersediaan data yang mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Terkadang ditemukan data dalam bentuk yang pendek dan data dalam bentuk yang terbatas juga. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan panel data (# ) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien). Manfaat menggunakan penggunaan data panel adalah sebagai berikut :

(1) Mampu mengukur heterogenitas individu.

(2) Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi kolinearitas

antar variabel. Meningkatkan dan lebih efisien.

(3) Lebih baik untuk 5 .

(4) Mampu mengidentifikasi dan menukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data murni maupun data murni.

(5) Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Kelebihan fundamental panel data dibandingkan maupun adalah bahwa data panel akan membuat peneliti lebih fleksibel dalam memodelkan perbedaan sifat tiap data pengamatan.

5 +%& +1 ,#'#+ #+ #'#

Dalam analisa data panel dikenal tiga macam pendekatan yaitu pendekatan kuadrat terkecil (# 6 ), pendekatan efek tetap ( " ), dan

pendekatan efek acak ( ).

/1

(23)

lalu melakukan pendugaan (# ). Di setiap observasi (setiap periode) terdapat regresi sehingga datanya berdimensi tunggal. Dari data panel akan diketahui N adalah jumlah unit dan T adalah jumlah periode waktu. Dengan melakukan

# seluruh observasi sebanyak N.T, maka dapat dituliskan fungsi dari model kuadrat terkecil, misalnya yaitu :

Yit = α + Xit βj + εit (3.1)

untuk i,j = 1,2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T Dimana :

Yit = Variabel endogen Xit = Variabel eksogen α = Intersep

β = Slope

i = Individu ke-i t = periode tahun ke-t

ε = /simpangan N = jumlah unit

T = jumlah periode waktu

Pendekatan yang paling sederhana untuk mengestimasi persamaan tersebut adalah mengabaikan dimensi dan dari data panel dan mengestimasi data dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) yang diterapkan dalam data yang berbentuk # .

(24)

/1 8 , '#. =

Model efek tetap adalah model yang didapatkan dengan mempertimbangkan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat mengakibatkan perubahan dalam intersep-intersep dan . Peubah dapat ditambahkan ke dalam model untuk memungkinkan perubahan-perubahan intersep ini, lalu model diduga

dengan ) 6 (OLS), yaitu :

Yit = αiDi + βXit + εit (3.2)

Dimana :

Yit = variabel endogen Xit = variabel eksogen α = intersep

D = variabel β = slope

i = individu ke-i

t = periode tahun ke-t ε = /simpangan

3 /1 8 , >#, =

Penambahan variabel dalam efek tetap akan dapat menimbulkan konsekuensi yaitu akan mengurangi banyaknya yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Maka untuk mengatasinya, dapat menggunakan model efek acak. Dalam model ini, parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam . Bentuk model efek acak dapat dijelaskan dengan persamaan berikut:

Yit = α + β Xit + εit (3.3)

εit = it + it + *it (3.4)

Dimana :

it ~ N(0, δ 2) = Komponen it ~ N(0, δ 2) = Komponen

(25)

i = individu ke-i, t = periode waktu ke-t

Dapat pula mengasumsikan bahwa secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan kombinasinya.

Penggunaan model efek acak dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi pada parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi efisien.

Dalam pengolahan data panel, terdapat pilihan untuk menggunakan kriteria pembobotan yang berbeda-beda, yakni :

1. * : Semua observasi diberi bobot yang sama,

2. 3 : ) 6 (GLS) dengan menggunakan

estimasi varians residual , digunakan apabila ada asumsi bahwa terdapat

- .

3. SUR : GLS yang menggunakan estimasi residual

" . Metode ini mengoreksi, baik

heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit .

5 -% %!#+ /1 1# #- +$/ #!#+ #'# #+

Pemilihan model yang akan digunakan dalam satu penelitian perlu dipertimbangkan secara statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Ada dua pengujian untuk menentukan model yang akan digunakan dalam pengolahan data panel yaitu * dan .

* adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan adalah $ ) 6 atau " ! . Sebagaimana diketahui, bahwa terkadang asumsi “setiap unit memiliki perilaku yang sama” cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan setiap unit memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai berikut :

(26)

H1 : Model " !

Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow :

CHOW = (ESS1 – ESS2)/(N-1) (3.5)

(ESS2)/(NT-N-K) Dimana :

ESS1 = ' 6 hasil pendugaan model PLS ESS2 = ' 6 hasil pendugaan model " ! N = Jumlah data

T = Jumlah data

K = Jumlah variabel penjelas

Statistik * mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas jika nilai CHOW statistik (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model

" dan begitu pula sebaliknya.

Uji Hausman digunakan untuk membandingkan metode " dengan . Model " mengandung suatu unsur yaitu hilangnya unsur derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy. Namun penggunaan model juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Hipotesa adalah sebagai berikut :

H0 : Model ' ! H1 : Model " !

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan + 6 . Statistik Hausman dirumuskan sebagai berikut :

= (β - b) ( - )-1 (β - b) ~72(K) (3.6)

Dimana :

(27)

b = Vektor statistik variabel

Mo = Matriks kovarians untuk dugaan

Jika nilai hasil pengujian lebih besar dari 72-tabel, maka cukup melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model " dan begitu pula sebaliknya.

3

) atau 0 + $ ) digunakan sebagai pertimbangan

statistik dalam memilih model ' ! atau $ ) 6 .

Pengujian hipotesisnya :

H0 : $ ) 6

H1 : ' !

Dasar penolakan H0 dengan menggunakan statistik LM yang mengikuti distribusi +

6 .

5 5 +$(0%#+ %./' &%& 0%

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel independen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan distribusi F dengan membandingkan antara nilai kritis F dengan nilai F-hitung yang terdapat pada hasil analisis.

Langkah-langkah analisis dalam pengujian hipotesis terhadap variasi nilai variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variasi nilai variabel independen adalah sebagai berikut :

1. Perumusan hipotesis. H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0

H1 : minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol. 2. Penentuan tarif nyata (α).

(28)

4. Penentuan penerimaan atau penolakan Ho.

F > Ftabel pada α atau prob (F- ) < α : tolak H0.

Artinya, variabel-variabel independen secara serentak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya.

0% '

Pengujian hipotesis dari koefisien pada masing-masing peubah bebas dilakukan dengan uji-t untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya atau tidak.

Langkah-langkah analisis dalam pengujian t- adalah : 1. Perumusan hipotesis.

H0 : β1 = 0 H1 : β1 ≠ 0

2. Penetuan tarif nyata (α)

3. Membandingkan t- dengan tabel pada α atau bandingkan probabilitas dengan α.

4. Penentuan penolakan atau penerimaan H0.

T > Ttabel pada α atau prob (t- ) < α : tolak H0.

Artinya, variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependennya.

3 / 8%&% + ' *-%+#&%

Kesesuaian model dihitung dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen.

R- 6 = RSS/TSS (3.7)

Dimana :

(29)

Selang R2 yang digunakan adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. R2 = 1 berarti 100 persen variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya. Sedangkan R2 = 0 berarti tidak satupun variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya.

5 +$(0%#+ &(-&% /1

Dalam analisis regresi, terdapat tiga asumsi yang harus diuji, yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Selain itu, ada uji normalitas untuk mengetahui apakah menyebar normal atau tidak.

( '%,/ %+ #*%'#&

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen di dalam persamaan regresi. Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2-nya besar. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R2 yang tinggi (0,7-1), tetapi hanya sedikit sekali atau bahkan tidak

terdapat koefisien dugaan yang berpengaruh nyata. Multikolinearitas dapat diatasi

dengan memberi perlakuan ) 6 /GLS ( * ), sehingga

parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan.

' */&, 1#&'%&%'#&

Salah satu asumsi penting dalam model ekonomi klasik adalah nilai varian dari variabel bebas yang konstan yang disebut dengan homoskedastisitas. Apabila asumsi ini tidak terpenuhi, maka nilai varian dari variabel bebas tidak lagi bersifat konstan yang disebut heteroskedastisitas. Pengujian masalah heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji 3 - . Sebelum dilakukan pengujian, dibuat hipotesisi sebagai berikut :

H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas

Pengujian dilakukan dengan melihat $ ( ( ( 8 '+ 6 . Apabila nilai

$ ( ( ( 8 '+ 6 lebih kecil dari taraf nyata berarti terdapat

(30)

'+ 6 lebih besar dari taraf nyata berarti tidak ada gejala heteroskedastisitas pada model atau menerima hipotesis H0. Diketahui taraf nyata (α) = 5 persen.

3 ('/,/* #&%

Autokorelasi adalah adanya korelasi serial antara sisaan (µt). Juanda (2009) menjelaskan akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi yaitu pendugaan parameter masih tetap tidak bias dan konsisten namun penduga ini memeiliki standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi ( ). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah

dengan menggunakan metode ) 6 dalam estimasi model

(Gujarati, 2004)

Nilai Durbin Watson Kesimpulan

DW < 1,10 Ada autokorelasi

1,10 < DW < 1,54 Tanpa kesimpulan 1,55 < DW < 2,46 Tidak ada autokorelasi 2,46 < DW < 2,90 Tanpa kesimpulan

DW > 2,91 Ada autokorelasi

Sumber: Firdaus (2004)

#" 5 #+$ % #% '#'%&'%, (*"%+ #'&/+ & *'# .('(&#++)#

Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin-Watson (DW). Dalam ! * 9 dijelaskan bahwa jika nilai DW tersebut sudah lebih dari 1,5 dan mendekati 2 maka dapat dikatakan tidak ada autokorelasi. Tabel 3.1. yang

memperlihatkan distribusi nilai DW dimana nilai tersebut telah disusun oleh Durbin-Watson untuk derajat keyakinan 95 persen dan 99 persen.

/*-# %'#&

Uji normalitas digunakan untuk memeriksa apakah menyebar normal atau tidak. Hipotesis yang diunakan adalah:

(31)

Uji normalitas diaplikasikan dengan melakukan tes : 6 0 , jika nilai probabilitas yang diperoleh lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka terima H0 yang berarti

dalam model sudah menyebar normal.

5 9 *(-(&#+ /1

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan model gravitasi ( ) adalah model yang baik untuk mengukur laju perdagangan antar daerah atau negara secara makroekonomik. Beberapa variabel yang digunakan di dalam model adalah variabel jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan ekspor, GDP riil negara Indonesia dan negara tujuan ekspor, serta nilai tukar tiap negara sebagai variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah aliran perdagangan bilateral ekspor komoditas kakao antara Indonesia dengan negara mitra dagang. Negara yang masuk dalam model dalam menganalisis laju ekspor komoditas kakao adalah Indonesia sebagai negara eksportir dan Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania,

Belanda, Polandia, Spanyol serta Inggris sebagai negara importir.

Formulasi model yang dibentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Xijt = αo GDPjtβ1ERijβ2 DISTijβ3 POPjtβ4 GDPItβ5 Uεt (3.8) Ln Xijt = β0 + β1 ln GDPjt + β2 ln ERij + β3 ln DISTij + β4 ln POPjt + β5 ln GDPIt + ε

(3.9) Dimana :

β0 = intersep,

β1, β2, ..., β4 = Parameter masing-masing variabel yang akan diuji secara statistik dan ekonometrik,

t = (1, ..., T) mulai tahun 2002-2010,

i,j = (1, ..., N) perdagangan bilateral negara i dan j,

Xijt = Nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor pada tahun t (1000 US$),

ln αo = β0

(32)

ERij = Nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$ (mata uang negara tujuan/US$),

DISTij = Jarak ekonomi dari Indonesia ke negara j (Kilometer), POPjt = Populasi negara tujuan ekspor (Jiwa),

GDPIt = GDP riil Indonesia pada waktu t (US$),

ε = Galat (pengaruh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model).

5 ? 8%+%&% . *#&%/+#

Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Nilai ekspor merupakan total ekspor dari komoditas kakao Indonesia ke negara mitra dagang selama jangka waktu 2002-2010 dengan satuan 1000 US$.

2. Nilai GDP negara mitra dagang dan negara Indonesia adalah produk domestik bruto riil negara mitra dagang, sebagai negara pengimpor, dan negara Indonesia, sebagai

negara pengekspor, yang dihasilkan perekonomian tersebut selama satu tahun selama periode 2002-2010, dinyatakan dalam US$.

3. Jarak ekonomi ( ) menjadi variabel utama dalam

aliran perdagangan. Jarak ekonomi merupakan pendekatan yang mewakili biaya transportasi, dinyatakan dalam satuan kilometer. Biaya transportasi meliputi ongkos pengapalan, biaya bongkar muat di pelabuhan, premi asuransi, serta pungutan lainnya saat komoditas yang diperdagangkan disimpan di suatu tempat sementara (Salvatore,1997)

Jarak Ekonomi = Jarak Geografis Antarnegara X (∑ GDPj)

GDPj

4. Nilai tukar, misalnya mata uang negara Indonesia terhadap US$, dinyatakan dalam Rp/US$. Hal ini karena dalam perdagangan internasional menggunakan mata uang

US$.

(33)

5 ! " =

Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat daya saing adalah !"# $ % (EPD). Pendekatan EPD dapat digunakan untuk mengidentifikasi daya saing suatu produk dan juga untuk mengetahui apakah suatu produk tersebut merupakan produk dengan performa yang memiliki pertumbuhan yang cepat atau tidak. Karena walaupun bukan sebagai komoditi ekspor suatu negara, jika pertumbuhan produk dan performanya diatas rata-rata secara terus-menerus maka bisa jadi komoditi ini diperhitungkan untuk menjadi sumber pendapatan yang penting bagi suatu negara tersebut.

Matriks EPD memiliki dua komponen yang berkaitan yaitu daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, sedangkan informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar ( - ) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis

ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah ' ; ; ) ## dan

' yang dapat dilihat pada Tabel 3.2.

!#* /8 3/(+'*)@& A./*' %+ /* 1 *#1

Sumber: Estherhuizen (2006) dalam Wijaya (2011)

#" 5 #'*%,& /&%&% #)# #%+$

(34)

Sumber : Estherhuizen (2006) dalam Wijaya (2011)

#-"#* 5 #)# #*%, #&#* 1#+ ,(#'#+ %&+%& 1#

#-Empat kuadran yang ada, salah satu kuadran akan ditempati sebuah komoditas yang akan diestimasi tingkat daya saingnya sesuai dengan daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnisnya. Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya pada ' atau bintang terang, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat ( + * # ). ) ## atau kesempatan yang hilang, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang kompetitif, adalah posisi yang paling tidak diinginkan. atau bintang jatuh juga tidak

disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan ) ## , karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, ' atau kemunduran biasanya yang paling tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu ‘mungkin’ diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik.

'

' ) ##

Rising

Falling Rising

(35)

Secara matematis yang dimaksud dengan pangsa pasar ekspor suatu negara (negara ) dan pangsa pasar produk (produk ) dalam perdagangan dunia adalah sebagai berikut :

7 5 = Nilai ekspor komoditi i dari Indonesia ke negara j

7 = Nilai ekspor total negara Indonesia ke negara importir utama

3 5 = Nilai ekspor komoditi i dunia ke negara j

(36)

5 5 #)# #%+$ & "

Daya saing usaha dapat didefinisikan sebagai kemampuan usaha suatu perusahaan dalam industri untuk menghadapi berbagai lingkungan yang dihadapi (Porter, 1995). Dalam ilmu ekonomi, daya saing identik dengan konsep efisiensi. Dengan menggunakan kriteria atau melihat indikator tertentu sebagai acuan, maka dapat diukur tingkat kuat lemahnya daya saing. Adapun elemen dari % tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Sumber : Porter (1990)

#-"#* 5 & "

Kondisi faktor dalam analisis Porter adalah sumberdaya yang sudah ada dan dimiliki oleh suatu industri. Menurut Porter, faktor sumberdaya diklasifikasikan menjadi

lima kelompok yaitu: sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, serta sumberdaya infrastruktur. Semakin tinggi kualitas faktor input, maka semakin besar peluang industri untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas.

Kondisi permintaan merupakan faktor penting yang memengaruhi posisi daya saing nasional. Semakin maju suatu masyarakat dan semakin pelanggan dalam negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi keinginan pelanggan lokal ( #

Peran Kesempatan

Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan

Kondisi

Faktor

Industri Pendukung dan Industri Terkait

Kondisi

Permintaan

(37)

). Namun dengan adanya perdagangan internasional, kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal tetapi juga bersumber dari luar negeri.

Industri terkait dan industri pendukung akan meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam suatu industri. Untuk itu perlu dijaga hubungan dan koordinasinya dengan para pemasok, khususnya untuk menjaga dan memelihara rantai nilai produksi dari industri hulu hingga industri hilir.

Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan merupakan hal yang penting karena akan memotivasi perusahaan atau industri untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Dengan adanya persaingan yang sehat, perusahaan akan selalu mencari strategi baru yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan efisiensi.

Peran pemerintah merupakan faktor yang menentukan daya saing, baik secara langsung dengan bertindak sebagai pembeli produk dan jasa, maupun tidak langsung memengaruhi permintaan melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Pemerintah

juga mampu memengaruhi ketersediaan sumberdaya, yakni berperan sebagai pembuat kebijakan yang menyangkut sumberdaya alam, pendidikan, ketenagakerjaan, pembentukan modal, dan standar produk.

(38)

B

/+1%&% (1%1#)# /-/1%'#& #,#/ # #- $ *%

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan sektor perkebunan yang peranannya penting bagi perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari sumbangsih nyata komoditas kakao dalam bentuk nilai devisa dari ekspor biji kakao serta produk olahan kakao, penyedia bahan baku untuk industri dalam negeri, dan tersedianya lapanan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia. Pada masa yang akan datang, komoditas kakao Indonesia diharapkan memperoleh posisi yang sejajar dengan komoditas perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit, karet, dan kopi, baik dalam hal luas areal

maupun tingkat produksinya.

Istilah “kakao” sebenarnya merujuk pada bahan tanam, tanaman, buah, dan biji kakao. Tanaman kakao akan menghasilkan buah kakao yang di dalamnya terdapat biji-biji kakao dan melalui proses pascapanen yang meliputi proses pengolahan dan pengeringan, akan dihasilkan biji-biji kakao kering yang siap dikirim ke pabrik pengolah/prosesor.

(39)

Sumber : Direktorat Jendera rakyat, perkebunan negara, dan perkebunan swas

idominasi oleh perkebunan rakyat yang dimiliki ol unan ini rata-rata per petani sangat kecil yakni 1 Ha p yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen d di Indonesia yang pada tahun 2010 mencapai 1.651 g diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jen duksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruh . Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia o

i Jawa Timur dan Jawa Tengah.

esar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kon kurang berkembangnya industri pengolahan kakao sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih m a kepada pihak eksportir karena pemberian pembaya

ang diekspor sebagian besar merupakan kakao yan

(40)

fermentasi. Hal ini mengakibatkan harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan, selisih harga antara keduanya sekitar Rp 2000 – Rp 2.900 per kg. Tujuan fermentasi biji kakao adalah untuk mematikan lembaga biji agar tidak tumbuh sehingga perubahan-perubahan di dalam biji akan mudah terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan konsistensi keping biji, untuk melepaskan selaput lendir, serta untuk menghasilkan biji kakao yang tahan terhadap hama dan jamur. Baru sekitar 10 persen saja jumlah produksi kakao yang melalui proses fermentasi.

Dari segi kualitas, komoditas kakao Indonesia seyogyanya tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi dapat mencapai cita rasa yang setara dengan kakao yang berasal dari Ghana. Kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia memiliki peluang yang cukup terbuka bagi ekspor maupun pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Namun, masih terdapat berbagai masalah kompleks yang

dihadapi oleh perkebunan kakao Indonesia, diantaranya mutu produk masih rendah, produktivitas kebun masih termasuk rendah akibat serangan hama penggerek buah kakao (PBK), serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao.

Salah satu akibat dari rendahnya mutu biji kakao Indonesia yakni pengenaan penahanan secara otomatis ( ) di negara Amerika Serikat yang berakibat pada terjadinya pemotongan harga dan biaya penanganan kembali ( ). Hal ini tidak dapat dihindari karena 80 persen lebih biji kakao kering yang dihasilkan hanya dijemur dengan sinar matahari tanpa melalui proses fermentasi terlebih dahulu. Bahkan, lembaga pengawas makanan dan obat Amerika (USFDA) mengkategorikan biji kakao Indonesia sebagai produk makanan yang mutu dan kesehatannya perlu diawasi secara ketat (Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005).

(41)

mengatur agar importir dan produsen kakao menerapkan SNI dan memiliki sertifikat penggunaan produk tanda (SPPT) SNI sesuai dengan ketentuan standar wajib komoditas tersebut, dan diberlakukan mulai 4 Mei 2010 (Badan Standardisasi Nasional, 2010). Selain itu terdapat pula ketentuan SNI untuk biji kakao, yang tercantum dalam peraturan Badan Standardisasi Nasional (BSN) No 86/KEP/BSN/9/2008 dengan persyaratan umum yang tertera pada SNI 2323-2008, sebagai berikut:

/ +%& 0% #'(#+ *&)#*#'#+

1 Serangga hidup - tidak ada

2 Kadar air % fraksi massa maks. 7,5

3 Biji berbau asap dan atau dan atau berbau asing

% tidak ada

4 Kadar benda asing - tidak ada

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (2010)

#" *&)#*#'#+ -(- ('( %0% #,#/

Sebelumnya, atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF) pada tahun 2001, pemerintah menetapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk setiap kakao yang dibeli pabrik dalam negeri. Sebaliknya, apabila petani mengekspor produknya ke luar negeri, PPN itu tidak dikenakan. Hal ini menyebabkan petani lebih suka melakukan ekspor. Kemudian pemerintah menetapkan kebijakan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari

pengenaan pajak pertambahan nilai, diakui mampu mendongkrak kinerja industri pengolahan kakao di dalam negeri.

(42)

dunia, Indonesia masih mengekspor biji kakao yang belum difermentasi sehingga bernilai tambah rendah. Sejak diberlakukannya bea keluar kakao sejak tahun 2010, minat investor asing akan komoditas kakao meningkat.

Hingga saat ini industri pengolahan kakao Indonesia masih mendapatkan proteksi dengan adanya instrumen tarif bea masuk bagi input (bahan baku) berupa biji kakao dan output (hasil olahan) berupa ( , # * , dan

(43)

/+1%&% #&#* ,&./* /-/1%'#& #,#/ +% */.#

Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (ICCO, 2009). Tiga besar negara penghasil kakao sebagai berikut: Pantai Gading (917.700 ton), Ghana (498.308 ton), dan Indonesia (439.305 ton). Hal ini tentu saja membuat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan berbagai produk olahan kakao. Tabel 4.2. menunjukkan jumlah konsumsi komoditas kakao dunia dan didapati bahwa kebutuhan konsumsi kakao tertinggi terdapat di Uni Eropa. Meskipun begitu, sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia, perdagangan ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa hanya menduduki posisi keenam, yaitu dengan pangsa 2,46 persen atau jauh di bawah kemampuan produksinya sekitar 16 persen dari total produksi dunia.

$#*# Ghana, Nigeria, dan Kamerun yang mendapat preferensi bea masuk karena tergabung dalam ; ( ; $ . $< . Sementara itu, pesaing lainnya, negara Swiss memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Komoditas kakao dan produk olahan kakao dari negara-negara tersebut menjadi sangat berdaya saing karena memiliki fasilitas bebas tarif bea masuk jika dibandingkan dengan komoditas kakao Indonesia.

(44)

global komoditas. Namun, hingga saat ini bursa komoditi Indonesia masih mengacu pada harga transaksi di bursa luar negeri dan harga komoditas kakao sendiri masih ditentukan oleh bursa komoditas New York. Hal tersebut membuat posisi Indonesia hanya sebatas sebagai penerima harga (# - ). Tabel 4.3 menunjukkan komoditas yang diperdagangkan di bursa komoditi berjangka Indonesia beserta tempat yang menjadi acuan dunia dalam pembentukan harga.

/-/1%'% +%& *1#$#+$#+ /,#&% #*$# #'(#+

Kakao Futures bln Des 2010 New York 2.817,00 US$/Ton

SPOT Makassar 20.803 Rp/Kg

Sumber: Departemen Perdagangan, Bappebti (2010)

#" 5 #*$# /-/1%'#& #,#/ 1#+ -.#' >(#++)# 1# #- (*&# /-/1%'% +1/+ &%#

Selain belum bisa menjadi pembentuk harga bagi perdagangan kakao dunia, harga biji kakao Indonesia pun terbilang relatif rendah dan dikenakan potongan harga yang berbeda dibandingkan dengan harga komoditas yang sama dari negara produsen lain. Rendahnya nilai mutu kakao menjadi penyebab utama dari terjadinya hal tersebut. Di pasar dunia, terutama Uni Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor , dan rendahnya kadar lemak. Sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapat potongan harga yang cukup tinggi, yaitu sekitar 15 persen dari rata-rata harga kakao dunia. Tabel 4.4. menunjukkan perkembangan harga kakao dunia pada tahun 2002-2007.

#!(+ D . * /+

2002 1778,0

2003 1754,9

2004 1548,4

2005 1538,1

2006 1590,7

2007 1934,6

Sumber: ICCO (2007) dalam Kementerian Perindustrian (2007)

#" #*$# #,#/ (+%# #!(+ C

(45)

utang negara Yunani terus meningkat hingga mencapai level 144,9 persen terhadap PDB. Anggaran dari negara tersebut mengalami defisit hingga 10,6 persen dari PDB dan pertumbuhan ekonomi mengalami minus 5,5 persen pada kuartal ketiga tahun 2009 dan kuartal pertama tahun 2010. Hal ini tentu menjadi bencana dan membawa dampak yang besar bagi negara Uni Eropa lainnya.

Kondisi ini ternyata sedikit memengaruhi kondisi perdagangan komoditas kakao negara anggota Uni Eropa lainnya dari Indonesia di tahun 2010 pasca krisis utang Uni Eropa, yang tergambar pada Tabel 4.5. Tabel tersebut menunjukkan perkembangan nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke sepuluh negara di kawasan Uni Eropa pada tahun 2002 sampai tahun 2010, dimana dari sepuluh negara Uni Eropa yang menjadi objek penelitian, empat negara diantaranya mengalami penurunan nilai ekspor di tahun 2010, yakni negara Belgia, Prancis, Lituania, dan Belanda. Sementara itu, enam negara lainnya memiliki perubahan nilai ekspor yang cenderung stabil bahkan meningkat di tahun 2010.

Tahun Nilai Ekspor Kakao (1000 US$)

Belgia Estonia Prancis Jerman Italia Lituania Belanda Polandia Spanyol Inggris

2002 11161 8496 24137 10041 157 438 15219 2356 19387 7422

(46)

sejak tahun 2009, mulai dari kuantitas hingga harga pembeliannya, yang mana saat itu belum terprediksi bahwa di akhir tahun 2009 akan terjadi krisis hutang di Yunani. Sehingga saat tahun 2010, meskipun dampak krisis mulai terasa, kesepakatan pembelian tetap akan berlangsung sebagaimana mestinya. Di tahun yang selanjutnya barangkali pihak pengimpor mulai merubah sistem pembeliannya, tidak melakukan

(47)

B

9 +# %&%& #,'/* #,'/* )#+$ - +$#*(!% %*#+ ,&./* /-/1%'#& #,#/ +1/+ &%# , #2#&#+ +% */.#

Di dalam subbab ini akan dibahas hasil dari estimasi faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa. Negara tujuan ekspor yang diteliti berjumlah 10 negara, diantaranya Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania, Belanda, Polandia, Spanyol dan Inggris yang tergabung di

dalam ICCO ( ), dengan periode analisis selama

2002-2010.

Variabel independen yang digunakan dalam analisis ini adalah GDP negara tujuan ekspor (GDPjt) , GDP negara Indonesia (GDPIjt), jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (DISTij), nilai tukar negara tujuan ekspor terhadap Dolar Amerika Serikat (ERij), serta populasi negara tujuan ekspor (POPjt). Sedangkan variabel dependennya adalah nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tujuan (Xijt). Melalui analisis ini dapat diketahui faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao yang dilihat dari variabel apa saja yang memberikan pengaruh besar bagi ekspor komoditas kakao Indonesia. Produk yang digunakan dalam estimasi model

ini adalah # # (kode 18). Pengolahan

data dilakukan dengan menggunakan metode efek tetap ( " ).

9 #&% &'%-#&% #,'/* #,'/* )#+$ - +$#*(!% %*#+ ,&./* /-/1%'#& #,#/ +1/+ &%# *%/1

(48)

#" 9 #&% 0% 3!/2

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 22.431409 (9,75) 0,0000

Sumber: Lampiran 3

Berdasarkan hasil analisis regresi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia, diperoleh persamaan :

Ln Xijt = 113,55 – 3,42 Ln GDPjt – 4,32 Ln ERjt + 2,88 Ln DISTijt – 4,61 POPjt + 1,12 Ln GDPIt + εit

dimana:

Xijt = Nilai ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor pada tahun t (1000 US$),

ln αo = βo,

GDPjt = GDP negara tujuan ekspor pada tahun t (US$),

ERij = Nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$ (mata uang negara tujuan/US$),

DISTij = Jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (Kilometer),

POPjt = Jumlah populasi negara tujuan ekspor (Jiwa), GDPIt = GDP Indonesia pada waktu t (US$),

ε = Galat (pengaruh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model). Tabel 5.2. merangkum hasil regresi model aliran ekspor komoditas kakao Indonesia, dimana dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien determinasi R2 sebesar

(49)

#" 9 #&% &'%-#&% /1 %*#+ ,&./* #,#/ +1/+ &%#

' ( ()

LN GDP -3.425119* 0.0004

LN ER -4.322859* 0.0005

LN DIST 2.885709** 0.0109

LN POP -4.614851 0.4137

LN GDPI 1.124380* 0.0001

C 113.5523 0.1521

Belgia -6.682778

Estonia -25.60490

Prancis 14.48606

Jerman 16.33314

Italia 7.086869

Lituania -26.13172

Belanda 0.241160

Polandia 1.510403

Spanyol 7.764050

Inggris 10.99773

* #

R-squared 0.836612 Sum squared resid 105.5996

F-statistic 27.43067 Durbin-Watson stat 1.844088

Prob(F-statistic) 0.000000

+ #

R-squared 0.765110 Mean dependent var 7.898943

Sum squared resid 127.4490 Durbin-Watson stat 1.604869 Sumber: Lampiran 2 dan 4

(50)

Nilai t-statistik menunjukkan bahwa dari lima variabel bebas yang digunakan dalam penelitian terdapat satu variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata lima persen (0,05) yaitu variabel jarak populasi negara tujuan ekspor. Nilai probabilitas t-statistik (0.4137) yang lebih besar dari taraf nyata lima persen menunjukkan bahwa variabel tersebut tidak berpengaruh nyata pada model.

9 #&% 0% &(-&% /1

Setelah menganalisis aliran ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa dengan model " , diharapkan mampu memenuhi asumsi multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan normalitas. Pendeteksian multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai R2. Nilai R2 yang diperoleh cukup tinggi yaitu sebesar 0.836612 dan empat dari lima variabel yang digunakan memiliki koefisien dugaan yang signifikan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen. Artinya model yang digunakan tidak memiliki masalah multikolinearitas. Hasil estimasi pada Tabel 5.2.

menunjukkan bahwa ' 6 pada 3 (105.59) lebih kecil

dari ' 6 pada * (127.44), maka dapat disimpulkan

terjadi heteroskedastisitas. Namun masalah data yang tidak homoskedastisistas ini telah dapat diatasi dengan menggunakan + * sebagai pembobot pada model.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Analisis Regresi Pengaruh Harga CPO Dunia, Harga Minyak Rapeseed Dunia, Harga Minyak Kedelai Dunia, PDB Uni Eropa, Konsumsi Uni Eropa dan Kebijakan Perdagangan CSPO

Di dalam Gravity Model, variabel yang akan dianalisis adalah jarak ekonomi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor (pengimpor), GDP negara Indonesia, GDP negara

Dengan analisis data panel statis diketahui bahwa faktor-faktor yang signifikan memengaruhi nilai ekspor kopi Indonesia pada taraf nyata lima persen ialah populasi negara

jika diasumsikan variabel GDP negara-negara Uni Eropa, GDP Indonesia, jarak ekonomi, nilai tukar riil, kualitas bandara Indonesia, stabilitas politik Indonesia dan

Faktor-faktor yang diduga dapat memengaruhi daya saing lada Indonesia adalah harga ekspor , Gross Domestic Product (GDP) per kapita negara pengimpor lada

Kebijakan ekspor sampah oleh Uni Eropa bisa dianggap sebagai suatu bentuk eco-imperialism dimana Uni Eropa menjadi bagian dari negara-negara maju dalam menggunakan agenda

Hasil Analisis Regresi Pengaruh Harga CPO Dunia, Harga Minyak Rapeseed Dunia, Harga Minyak Kedelai Dunia, PDB Uni Eropa, Konsumsi Uni Eropa dan Kebijakan Perdagangan CSPO

Dari penjelasan sebelumnya, kebijakan hambatan non tarif yang ditetapkan oleh Uni Eropa terhadap ekspor komoditas perikanan Indonesia dirasakan mulai memberatkan pemerintah