• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Embriogenesis Somatik Organ Bunga Kakao (Theobroma cacao L.) Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi Embriogenesis Somatik Organ Bunga Kakao (Theobroma cacao L.) Secara In Vitro"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK ORGAN BUNGA

KAKAO (

Theobroma cacao

L.) SECARA

IN VITRO

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI

A24070031

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI. (Embryogenesis Somatic Induction of

Flower Organ Cocoa (

Theobroma cacao

L.) by

In Vitro

).

(3)

RINGKASAN

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI. Induksi Embriogenesis

Somatik Organ Bunga Kakao (

Theobroma cacao

L.) Secara

In

Vitro

.

(Dibimbing oleh DINY DINARTI dan SUDARSONO).

Percobaan ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas auksin picloram

dan 2,4-D untuk menginduksi embrio somatik dari eksplan organ bunga kakao

(Theobroma cacao L.) Uper Amazon Hybrid (UAH) secara in vitro yang

dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan April sampai

Oktober 2011.

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama bertujuan

untuk mendapatkan media terbaik yang akan dilanjutkan pada tahap berikutnya.

Percobaan kedua merupakan ulangan dari percobaan pertama untuk mendapatkan

media terbaik dengan mengunakan media kombinasi seperti tahap kedua pada

percobaan pertama. Kedua percobaan menggunakan bagian bunga petal dan

staminoidia.

Pada percobaan pertama tahap pertama, media kombinasi yang digunakan

adalah 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.1 mg/l; 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l;

picloram 1.1 mg/l + adenine 0.1 mg/l; picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l;

picloram 2.2 mg/l + adenine 0.1 mg/l; picloram 2.2 mg/l + adenine 0.25 mg/l;

picloram 3.3 mg/l + adenine 0.1 mg/l, dan picloram 3.3 mg/l + adenine 0.25 mg/l

dengan media dasar MS. Sedangkan pada percobaan pertama tahap kedua terdiri

dari media terbaik pada tahap pertama (MS + 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l

dan MS + picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l) dan media kombinasi baru (MS

+ 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l dan MS + picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25

mg/l).

Hasil pada percobaan petama tahap pertama, media MS + picloram 1.1

mg/l + adenin 0.25 mg/l dan MS + 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l merupakan

media terbaik yang dipilih. Media tersebut menghasilkan persentase kalus yang

berpotensi embriogenik terbesar secara keseluruhan, yaitu masing-masing sebesar

(4)

merupakan media yang masih menghasilkan kalus berpotensi embriogenik. Pada

percobaan pertama tidak satupun kalus menghasilkan embrio somatik.

Percobaan kedua terdiri dari 3 sub percobaan. Pada sub percobaan 2.1,

media yang digunakan dibuat dalam botol kecil (volume 100 ml) dengan

komposisi media MS dan penambahan media zat pengatur tumbuh sama seperti

media percobaan pertama tahap kedua. Bahan pemadat yang digunakan adalah

agar-agar 6 g/l dan 30 g/l sukrosa dengan merk dagang “gulaku”. Sub percobaan

2.2 sama seperti percobaan 2.1 tetapi botol yang digunakan adalah botol besar

(volume 200 ml) dengan bahan pemadat phytagel 2 g/l dan sukrosa p.a. sebanyak

30 g/l. Pada percobaan 2.3 botol yang digunakan adalah botol kecil (volume 100

ml) dengan bahan pemadat phytagel 2 g/l dan sukrosa p.a 30 g/l.

Hasil percobaan kedua menunjukan bahwa embrio dapat diinduksi pada

sub percobaan 2.2 dengan persentase eksplan terinisiasi embrio somatik adalah

1.1% atau 4.8% dari jumlah kalus berpotensi embriogenik pada bagian

staminoidia. Jumlah embrio somatik yang terinisiasi sebanyak 4 embrio somatik

pada eksplan yang sama. Embrio somatik terinisiasi pada media kombinasi

picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l selama 8 minggu setelah perlakuan (MSP).

Pada sub percobaan 2.1 dan 2.3 tidak dihasilkan embrio somatik. Namun

persentase kalus berpotensi embriogenik terbesar pada sub percobaan 2.1

mencapai 100% pada staminoidia dan 95% pada petal pada media kombinasi MS

+ 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l. Pada sub percobaan 2.3 media ini juga

menghasilkan kalus potensi embriogenik terbesar sebesar 75% baik pada petal

maupun staminoidia.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah embrio kakao Uper Amazon Hybrid

(UAH) terinduksi pada organ bunga staminoidia. Embrio somatik terinduksi pada

media kombinasi MS + picloram 1.1 mg/l dan kinetin 0.25 mg/l selama 8 minggu

dengan selang waktu subkultur 4 minggu sekali. Botol yang digunakan

merupakan botol kultur volume 200 ml dengan menggunakan bahan pemadat

(5)

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK ORGAN BUNGA

KAKAO (

Theobroma cacao

L.) SECARA

IN VITRO

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI A24070031

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul :

INDUKSI EMBRIOGENESIS SOMATIK ORGAN

BUNGA KAKAO (

Theobroma cacao

L.) SECARA

IN

VITRO

Nama :

RARA PUSPITA DEWI LIMA WATI

NIM

: A24070031

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Diny Dinarti, MSi. Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. NIP. 19660408 199203 2 003 NIP. 19610613 198503 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 18

Juni 1989. Penulis merupakan anak terakhir dari Bapak Gutomo dan Ibu Boky

Halimah.

Tahun 2001 penulis menyelesaikan sekolah dasar dari SDN Telaga Biru 7

Banjarmasin. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan studi sekolah menengah

pertama di SMPN 1 Banjarmasin. Setelah menyelesaikan sekolah menengah

pertamanya Penulis melanjutkan studi di SMA Negeri 1 Banjarmasin hingga

tahun 2007 dan pada tahun tersebut penulis diterima di sekolah perguruan tinggi

Institut Pertanian Bogor dengan jalur USMI.

Selama di IPB, penulis ikut berpartisipasi pada beberapa organisasi,

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), dan kepanitiaan. Organisasi yang diikuti

antara lain FORCES (Forum for Scientific Studies) pada tahun 2008 sebagai

anggota dan Himpunan Mahasiswa Agronomi tahun 2009 sebagai Bendahara II,

serta sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Kalimantan Selatan. Penulis pernah

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

kekuatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul “Induksi Embriogenesis Somatik Organ Bunga Kakao (Theobroma Cacao L.) Secara In Vitro

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Diny Dinarti, MSi. dan Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc selaku

pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan saran untuk

pelaksanaan penelitian.

2. Dr. Ir Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku pembimbing akademik yang

telah membimbing penulis selama menjalani studi.

3. Dr. Sintho W. Ardie, SP, MSi selaku penguji yang telah memberikan

masukan dan saran untuk penulisan skipsi.

4. Ayah dan Ibu beserta seluruh keluarga besar yang selalu mendukung

dalam segala aktivitas penulis.

5. Abang Ricki Susilo yang telah memberikan semangat dan dukungan serta

bantuan selama penulis menjalani penelitian hingga penyelesaian skipsi.

6. Teman-teman “AGH 44”, Andra, Meyga, Galuh, Lilis, Meli, Feni,

Neneng, Mba Fitri Yulianti dan teman-teman laboratorium yang telah

memberikan motivasi dan masukan.

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian usulan penelitian

ini.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pedoman civitas

akademika dalam kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2012

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Kultur Jaringan Tanaman ... 3

Eksplan ... 3

Media Kultur ... 4

Zat Pengatur Tumbuh ... 4

Embrio Somatik ... 6

Embrio Somatik Kakao ... 7

BAHAN DAN METODE ... 8

Tempat dan Waktu ... 8

Bahan dan Alat ... 8

Metode Penelitian ... 8

Pelaksanaan Percobaan ... 11

Pengamatan ... 12

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Percobaan 1 ... 14

Tahap 1 ... 14

Waktu Pembentukan Kalus ... 14

Persentase Eksplan Berkalus ... 15

Kalus yang Berpotensi Menjadi Kalus Embriogenik ... 17

Tahap 2 ... 18

Kalus Berpotensi Embriogenik ... 18

Percobaan 2 ... 20

Persentase Eksplan Berkalus ... 20

Warna Kalus ... 22

Persentase Kalus Berpotensi Embriogenik... 24

Embrio Somatik ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

Kesimpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pengaruh Berbagai Kombinasi Media Terhadap Waktu Inisiasi

Kalus... 14

2. Persentase Eksplan Berkalus Berbagai Komposisi Media pada

Bagian Bunga Petal dan Staminoidia pada 4 MSP ... 16

3. Pengaruh Komposisi Media Terhadap Persentase Eksplan yang

Berpotensi Menjadi Kalus Embriogenik pada 8 MSP ... 18

4. Media Kombinasi yang Menghasilkan Kalus Berpotensi

Embriogenik pada Bagian Bunga Staminoidia pada 16 MSP. ... 19

5. Persentase Eksplan Berkalus Percobaan Kedua pada 4 MSP dan

8 MSP ... 21

6. Persentase Embrio Somatik Kakao pada Bagian Bunga Staminoidia pada Sub Percobaan 2.2 saat 8 Minggu Setelah

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Metode Penelitian ... 10

2. Pembentukan Kalus Kakao ... 16

3. Kalus yang Tidak Berpeluang Embriogenik dan yang

Berpeluang Embriogenik pada 8 Minggu Setelah Perlakuan ... 17

4. Tipe Kalus Kakao Pada 16 MSP. Kalus Berpotensi

Embriogenik dan Kalus Tidak Berpotensi Embriogenik ... 19

5. Warna Kalus. Warna Kalus Putih Kekuningan dan Kalus

Browning pada 8 MSP ... 23

6. Kalus Embriogenik pada Staminoidia saat 8 MSP dengan

Perbesaran 40x. ... 25

7. Perkembangan Pembentukan Embrio Somatik pada

Staminoidia. ... 27

8. Embrio yang terinisiasi dalam satu eksplan. Tanpa perbesaran

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Komposisi Media Murashige dan Skoog ... 33

2. Data Tahapan Perubahan Kalus yang Berpotensi Embriogenik

Setelah Dipindah pada Tahap Kedua pada Staminoidia. ... 34

3. Data Tahapan Perubahan Kalus yang Berpotensi Embriogenik

Setelah Dipindah pada Tahap Kedua pada Petal ... 35

4. Data Persentase Warna Kalus Putih Kekuningan pada Tiga Sub

Percobaan saat 4 dan 8 MSP ... 36

5. Data Persentase Warna Kalus Browning pada Tiga Sub

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao L.) termasuk family Sterculiaceae. Tanaman ini

berasal dari hutan-hutan di daerah Amerika Selatan, yang kemudian tanaman ini

diusahakan penanamannya oleh orang-orang Indian Aztec (Puslitkoka, 2004). Biji

kakao merupakan produk yang diolah menjadi berbagai produk makanan dan

minuman. Produk olahannya banyak digemari, sehingga permintaan akan kakao

terus meningkat tiap tahunnya.

Luas perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 1 425 216

ha, sebagian besar dimiliki oleh rakyat yaitu sebesar 92.6%. Perkebunan kakao

yang diusahakan pemerintah dan swasta sebesar 3.9% dan 3.5% (Ditjenbun,

2012). Luas areal perkebunan kakao tiap tahun mengalami peningkatan namun

tidak sejalan dengan produktivitasnya.

Produktivitas kakao di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami

penurunan. Pada tahun 2005 produktivitas kakao mencapai 921 kg/ha, dan terus

mengalami penurunan pada tahun berikutnya hingga pada tahun 2009 mencapai

822.43 kg/ha (Deptan, 2011). Ada banyak hal yang menjadi faktor penurunan

produktivitas kakao, salah satunya adalah umur tanaman kakao yang sudah terlalu

tua.

Pada tahun 2008, perkebunan kakao yang rusak berat dan sedang

mencapai 70 ribu hingga 235 ribu ha, bahkan masih terdapat 145 ribu ha

perkebunan kakao yang kurang terpelihara. Sehingga pada tahun tersebut

pemerintah melakukan peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi (Forum

Kemitraan Kakao, 2008). Program ini tentunya memerlukan ketersediaan bibit

kakao dalam jumlah yang besar.

Perbanyakan tanaman secara in vitro menjadi salah satu teknik yang dapat

diandalkan dalam memenuhi kebutuhan bibit kakao secara cepat dan dalam

jumlah yang banyak. Teknologi perbanyakan bibit kakao secara in vitro melalui

embriogenesis somatik telah tersedia, tetapi prosedur perbanyakannya dilindungi

oleh paten sehingga tidak dapat digunakan secara bebas. Untuk itu perlu

(14)

2

yang ada di Indonesia. Evaluasi komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang

tepat untuk induksi embrio somatik kakao Indonesia perlu dilakukan.

Perbanyakan tanaman dengan cara embriogenesis somatik banyak

mendapat perhatian. Cara ini memberikan jumlah propagula yang dihasilkan tidak

terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Selain itu, embrio

somatik dianggap merupakan bahan tanaman yang ideal untuk disimpan karena

bila diregenerasikan dapat membentuk bibit somatik (Purnamaningsih, 2002).

Winarsih et al. (2003) menyatakan pada media induksi dan multiplikasi

yaitu MS yang diperkaya dengan 2,4-D 2 mg/l dan adenin 0,1 mg/l merupakan

media yang menghasilkan jumlah embrio somatik paling besar pada kakao klon

Sca 6. Pada penelitian Avivi et al. (2010) media inisiasi 2,4-D 2 mg/l dan adenin

0,25 mg/l menghasilkan persentase embrio somatik 52.5% pada klon yang sama.

Picloram merupakan salah satu auksin sintetik seperti 2,4-D. Picloram

dalam konsentrasi rendah mampu menstimulasi sintesis RNA, DNA, dan protein

untuk mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan yang tidak terkontrol (Tu et al.,

2001). Bakti (2005) menyatakan bahwa picloram pada 10 dan 20 mg/l mampu

menginduksi secara cepat kalus embriogenik pada tanaman jahe. Purba (2009)

mendapatkan konsentrasi picloram 0.5 µ M hingga 1.0 µM dapat membentuk

embrio sebesar 20% dan 6.25% pada tanaman manggis.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh auksin

picloram dan 2,4-D dalam menginduksi embriogenesis somatik dari eksplan organ

bunga kakao (Theobroma cacao L.) klon Upper Amazon Hybrid (UAH) secara in

vitro.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah kombinasi picloram atau 2,4-D dengan

adenin pada konsentrasi tertentu dapat menginduksi embrio somatik dari eksplan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Kultur Jaringan Tanaman

Kultur in vitro merupakan suatu budidaya dalam botol. Salah satu kegiatan

dalam kultur in vitro adalah kultur jaringan yaitu budidaya in vitro yang

menggunakan jaringan sebagai bahan tanamnya (Santoso dan Nursandi, 2003).

Menurut Zulkarnain (2009) kultur jaringan tanaman adalah suatu upaya

mengisolasi bagian-bagian tanaman, kemudian dikulturkan pada nutrient buatan

yang steril dibawah kondisi lingkungan yang terkendali, sehingga bagian-bagian

tersebut dapat beregenerasi menjadi tanaman lengkap.

Perbanyakan tanaman secara in vitro memberikan keefektifan dalam

perbanyakan perkecambahan dan prosedur reproduksi dalam melindungi tanaman

yang punah dan ketika terjadi hambatan secara genetik (Hartmann dan Kester,

1997). Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa manfaat utama dari aplikasi kultur

jaringan tanaman adalah perbanyakan klon atau perbanyakan massal dari tanaman

yang sifat genetiknya identik satu sama lain. Di samping itu, teknik kultur

jaringan bermanfaat dalam beberapa hal khusus seperti perbanyakan klon secara

cepat, keseragaman genetik, kondisi aseptik, seleksi tanaman, stok tanaman

mikro, lingkungan terkendali, pelestarian plasma nutfah, produksi tanaman

sepanjang tahun, dan memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara

vegetatif.

Eksplan

Eksplan merupakan bagian tanaman (propagul) yang digunakan untuk

menginisiasi pembiakan tanaman secara mikro atau proses kultur jaringan

(Hartmann dan Kester, 1997). Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan

faktor penting yang menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Sistem

kultur jaringan yang baru dengan spesies dan kultivar yang baru, seringkali

menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe

jaringan. Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu

(16)

4

Beberapa jenis eksplan yang digunakan dalam kultur jaringan antara lain

potongan daun, lapisan epidermis, tunas apikal yang terfragmentasi, kotiledon dan

hipokotil, pucuk, bunga muda, umbi dan bagian lainnya (Hartmann dan Kester,

1997). Bagian bunga pada kakao dapat digunakan sebagai eksplan (Figuera dan

Alemanno, 2005). Bagian ini memproduksi fenol dan lendir yang relatif sedikit.

Mahkota bunga (petal) memberikan respon jumlah embrio yang paling besar

diikuti oleh staminoidia dan antera (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).

Media Kultur

Media kultur merupakan salah satu komponen penting dalam penanaman

sel dan metode kultur jaringan. Aplikasi yang sukses dalam prosedur kultur

jaringan tanaman bergantung pada media kultur dengan komposisi yang tepat

(Evans et al., 2003). Medium hara untuk kultur jaringan tanaman mengandung

lima kelompok senyawa yaitu garam organik, sumber karbon, vitamin, pengatur

tumbuh, dan pelengkap organik (Gamborg, 1991). Wetherell (2000) juga

menyatakan bahwa media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang

mengandung nutrien makro mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu, serta

sumber energi (umumnya menggunakan sukrosa), serta mengandung satu atau dua

macam vitamin dan zat pengatur tumbuh.

Salah satu media yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah

media Murashige dan Skoog yang dikemukakan oleh Toshio Murashige pada

tahun 1962(Zulkarnain, 2009). Media Murashige dan Skoog yang dikenal dengan

nama MS mengandung 40 mM nitrogen dalam bentuk NO3 dan 29 mM dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19

kali lebih tinggi dari media white (Gunawan, 1988).

Zat Pengatur Tumbuh

Konsep zat pengatur tumbuh (ZPT) diawali dengan konsep hormon.

Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman yang dalam

konsentrasi yang rendah (< 1 mM) mempengaruhi proses-proses fisiologi (Wiendi

(17)

pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju arah

diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki karateristik yang sama

dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur

tumbuh (Zulkarnain, 2009).

Zat pengatur tumbuh diperlukan sebagai komponen media bagi

pertum-buhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam medium,

pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali.

Pembentukan organ-organ tanaman ditentukan oleh penggunaan zat pengatur

tumbuh yang tepat (Hendaryanto dan Wijayani, 1994).

Pada saat ini dikenal enam kelompok ZPT yaitu auksin, giberelin,

sitokinin, asam absisik (ABA), etilen, dan retardan (Wiendi et al., 1992). Untuk

inisiasi kalus umumnya digunakan auksin 2,4-D saja atau dikombinasikan dengan

sitokinin. Zat pengatur tumbuh 2,4-D efektif dalam menginduksi kalus, hal ini

telah dibuktikan dalam penelitian Sari et al. (2005) bahwa penggunaan 2,4-D

secara tunggal pada konsentrasi rendah mampu menginduksi kalus gambir.

Winarsih et al. (2003) juga menyebutkan bahwa persentase eksplan menghasilkan

embrio kakao akan lebih tinggi jika menggunakan auksin (2,4-D 2 mg/l) yang

lebih tinggi konsentrasinya dan konsentrasi sitokinin rendah (adenin 0,1 mg/l)

dibandingkan menggunakan konsentrasi auksin (2,4-D) rendah.

Picloram merupakan auksin sintetik. Zat ini dapat menyebabkan kematian

pada tanaman apabila digunakan dengan dosis yang tinggi. Namun, dalam

konsentrasi rendah picloram dapat menstimulasi sintesis RNA, DNA, dan protein

untuk mengatur pembelahan sel dan pertumbuhan yang tidak terkontrol (Tu et al.,

2001). Penelitian Sudarmonowati dan Henshaw (1996) melaporkan bahwa

picloram pada konsetrasi 3.0 mg/l menghasilkan total embrio somatik terbesar

yaitu sebanyak 70% pada daun muda ubi kayu CMC 76. Pada penelitian Priadi

danSudarmonowati(2006), penambahan picloram 6 mg/l pada media MS dan GD

selama 2 minggu mampu menginduksi kalus eksplan daun pucuk ubi kayu

menjadi kalus embrogenik. Belarmino dan Gonzales (2008) juga menambahkan

bahwa penggunaan media MS dengan penambahan 1.0 mg/l picloram efektif

(18)

6

Embrio Somatik

Kohlenbach mengklasifikasikan embrio ke dalam dua kategori. Embrio ini

dapat tumbuh normal secara in vivo atau di bawah kontrol lingkungan in vitro.

Kedua kategori tersebut adalah embrio zigotik dan non-embryo zigotik. Embrio

zigotik terbentuk dari sebuah zigot yang dihasilkan dari peleburan telur,

sedangkan non-embrio zigotik terbentuk dari sel selain zigot misalnya embrio

somatik yang terbentuk dari sel somatik baik in vivo atau in vitro (Vajrabhaya,

1988). Embrio somatik merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel vegetatif yang dihasilkan dari

berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada sistem kultur jaringan

(Hartmann dan Kester, 1997). Menurut Ammirato (1983), embrio somatik

merupakan proses perkembangan embrio dari sel tanpa melewati fusi gamet.

Wiendi et al. (1992) menambahkan, embrio terbentuk dari sel meristematik yang

pro-embrional ini dikenal dengan bermacam-macam nama seperti kalus

embrionik, nodul, dan lain-lain.

Pembentukan embrio somatik dapat terjadi secara langsung dan secara

tidak langsung. Menurut Wiendi et al. (1992) embriogenesis langsung dari

jaringan somatik secara in vitro umumnya terjadi pada eksplan yang masih muda

(juvenil). Embrio somatik yang dihasilkan dari kecambah kadang-kadang

terbentuk dari sel-sel epidermal, namun ada juga dari jaringan petiol, atau sel-sel

kortikal. Embrio somatik tidak langsung diperoleh dari kalus atau kultur suspensi.

Kalus yang diperoleh dari inisiasi awal akan memiliki kemampuan untuk

beregenerasi membentuk embrio somatik yang tinggi dibandingkan dengan kalus

hasil subkultur.

Embrio somatik dapat tumbuh secara langsung dari hipokotil maupun

daun kotil embrio zigotik eksplan. Embrio somatik yang tumbuh dari hipokotil

bentuknya normal sedangkan yang tumbuh dari daun kotil sering tidak normal

(Winarsih et al., 2002). Zulkarnain (2009) juga menambahkan bahwa embrio

somatik dapat muncul langsung dari permukaan eksplan (pada eksplan kotiledon

Cucumis sativus dan tunas Foeniculum vulgare) atau setelah fase penggandaan

(19)

Embrio somatik yang terbentuk dari kalus umumnya diawali dengan

adanya proembrio yang tumbuh dari pemukaan eksplan dengan suspensor yang

terhubung pada kalus dan biasanya terjadi dalam bentuk gerombol. Struktur ini

kemudian berkembang menjadi bentuk globular, hati, torpedo, dan kotiledon

(Winarsih et al., 2002). Zulkarnain (2009) menambahkan bahwa perkembangan

embrio somatik sama seperti embrio zigotik yang berkembang melewati

tahapan-tahapan yang sama. Tahapan-tahapan-tahapan tersebut adalah oktan, globular, awal hati,

hati, torpedo, dan embrio dewasa.

Salah satu keuntungan dari embrogenesis somatik adalah embrio yang

dihasilkan bersifat bipolar, yaitu memiliki ujung-ujung akar dan pucuk yang

diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap. Berbeda pada pembentukan tunas

adventif yang unipolar, perkembangan pucuk dan akar sering terjadi secara

terpisah dan sangat tergantung pada perubahan media (Purnamaningsih, 2002;

Zulkarnain, 2009).

Embrio Somatik Kakao

Pada tanaman kakao embrio somatik dapat terbentuk pada organ bunga

maupun embrio zigotik kakao. Pembentukan embrio sangat besar dipengaruhi

oleh zat pengatur tumbuh (Winarsih et al., 2002; 2003). Menurut Winarsih et al.

(2003) konsentrasi zat pengatur tumbuh 2,4-D dan adenin pada media inisiasi

sangat berpengaruh terhadap persentase eksplan menghasilkan embrio dan jumlah

per eksplan yang dihasilkan. Perlakuan 2,4-D konsentrasi tinggi (2 mg/l) dan

adenin konsentrasi rendah (0.10 mg/l) ternyata menghasilkan embrio dan jumlah

embrio per eksplan lebih tinggi pada eksplan organ bunga kakao.

Embrio somatik primer dapat terbentuk setelah minggu ke 9 sejak eksplan

di induksi. Perbedaan organ bunga kakao yang digunakan sebagai eksplan

menunjukan perbedaan presentase eksplan menghasilkan embrio (Avivi et al.,

2010). Eksplan yang menghasilkan embrio paling baik terutama dijumpai pada

organ petala diikuti oleh staminoid dan kemudian antera (Winarsih et al., 2003;

(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman,

Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai dengan Oktober 2011.

Bahan dan Alat

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ bunga kakao

klon Uper Amazon Hybrid (UAH) yang masih kuncup. Bahan lain yang

digunakan yaitu media MS (Murashige and Skoog), phytagel dan agar-agar

sebagai bahan pemadat, sukrosa, zat pengatur tumbuh (2,4-D, picloram, kinetin,

adenin) dan bahan sterilan seperti agrimycin, dhitane, sodium hypoklorit 5%,

alkohol, spritus dan aquades steril.

Peralatan untuk pembuatan media yaitu gelas ukur, gelas piala, pipet

volumetrik, magnetik stirer, spatula, kompor, botol kultur, timbangan analitik, pH

meter, autoclave, dan oven. Peralatan untuk menanam antara lain Laminar Air

Flow Cabinet, Petridis, lampu Bunsen, pinset, hand sprayer, pisau, dan gunting.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu : percobaan pertama di

lakukan untuk mendapatkan media terbaik yang akan dilanjutkan pada tahap

berikutnya. Percobaan kedua merupakan pengulangan dari percobaan pertama

untuk mendapatkan media terbaik dengan menggunakan media hasil percobaan

pertama.

Percobaan 1

Percobaan pertama dilakukan dengan dua tahap. Pada tahap pertama

bagian bunga yang digunakan adalah bagian staminoid dan petal dengan 8

kombinasi media dengan media dasar MS yang terdiri dari :

(21)

K2=2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l

P1= picloram 1.1 mg/l + adenine 0.1 mg/l

P2= picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l

P3= picloram 2.2 mg/l + adenine 0.1 mg/l

P4= picloram 2.2 mg/l + adenine 0.25 mg/l

P5= picloram 3.3 mg/l + adenine 0.1 mg/l

P6= picloram 3.3 mg/l + adenine 0.25 mg/l

Media terbaik ditambah dengan media kombinasi baru (MS + 2,4-D 2 mg/l +

kinetin 0.25 mg/l dan MS + picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l) yang

digunakan sebagai media lanjutan tahap kedua pada percobaan pertama dengan

bahan tanam berupa kalus terbaik hasil percobaan pada tahap pertama.

Percobaan 2

Percobaan kedua terdiri dari tiga sub percobaan. Pada percobaan kedua

bahan tanam yang digunakan adalah bagian bunga kakao berupa staminoid dan

petal. Media yang digunakan adalah media terbaik pada percobaan pertama tahap

pertama ditambah dengan media kombinasi baru. Masing–masing perlakuan

terdiri dari 100 eksplan staminoidia dan 100 eksplan petal dengan jumlah eksplan

per botol 5 eksplan. Setiap sub percobaan terdiri dari 160 botol kultur.

Sub Percobaan 2.1

Pada sub percobaan 2.1 media tanam menggunakan botol kultur kecil

(volume 100 ml), serta bahan pemadat agar-agar sebanyak 6 g/l dan sukrosa

dengan merk dagang “Gulaku” 30 g/l. Percobaan ini memiliki 8 satuan percobaan

dengan 4 media kombinasi dan 2 bagian bunga. Tiap satuan percobaan terdiri dari

20 botol kultur dengan 5 eksplan per botol. Sehingga penelitian ini terdiri dari 800

satuan pengamatan.

Sub Percobaan 2.2

Pada sub percobaan 2.2 media tanam menggunakan botol kultur besar

(volume 200 ml), serta bahan pemadat phytagel 2 g/l dan sukrosa p.a 30 g/l.

Percobaan ini memiliki 8 satuan percobaan dengan 4 media kombinasi dan 2

bagian bunga. Tiap satuan percobaan terdiri dari 20 botol kultur dengan 5 eksplan

(22)

10

Sub Percobaan 2.3

Pada sub percobaan 2.3 media tanam menggunakan botol kultur kecil

(volume 100 ml), serta bahan pemadat phytagel 2 g/l dan sukrosa p.a 30 gr/l.

Percobaan ini memiliki 8 satuan percobaan dengan 4 media kombinasi dan 2

bagian bunga. Tiap satuan percobaan terdiri dari 20 botol kultur dengan 5 eksplan

per botol. Sehingga penelitian ini terdiri dari 800 satuan pengamatan.

Gambar 1. Bagan Metode Penelitian Tahap 2

Kalus potensi embriogenik / kalus embriogeik / embrio Percobaan 1

Tahap 1

Media : K1, K2, P1, P2,

P3 P4, P5, dan P6

Ekaplan : Organ bunga

kakao

Hasil

Media terbaik Kalus potensi embriogenik / kalus embriogeik / embrio

Media terbaik + media kombinasi baru

METODE PENELITIAN

Percobaan 2

Media terbaik + media kombinasi baru

Ekaplan : Organ bunga kakao

(23)

Pelaksanaan Percobaan

Sterilisasi Alat

Peralatan yang digunakan, meliputi alat tanam, cawan petri dan botol

kultur, disterilkan untuk mencegah kontaminasi. Peralatan dicuci bersih terlebih

dahulu, lalu disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada temperature 121°C

bertekanan 17.5 psi selama 30 menit.

Pembuatan Media

Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi masing-masing media.

Larutan stok MS dibuat untuk memudahkan pembuatan media. Larutan stok zat

pengatur tumbuh 2,4-D, picloram (golongan auksin), kinetin dan adenin

(golongan sitokinin) dibuat dengan konsentrasi masing-masing 1000 ppm untuk

auksin, serta 100 ppm untuk sitokinin. Selanjutnya ditambahkan aquades sesuai

volume yang diinginkan dan disimpan dalam lemari es.

Media dibuat dari larutan stok yang ditambah gula 30 g/l media, kemudian

ditambah aquades hingga volume mencapai 1 liter. Kemasaman media diatur

dengan mengguanakan NaOH atau HCl hingga berkisar antara 5.5-5.8. Larutan

media kemudian ditambah agar-agar 6 g/l atau 2 g/l untuk phytagel, dipanaskan

sambil diaduk-aduk, lalu tuangkan ke botol kultur. Botol kemudian ditutup

dengan menggunakan plastik dan diikat dengan karet gelang. Botol-botol yang

berisi media perlakuan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu

121°C dan tekanan 17.5 psi selama 30 menit.

Sterilisasi Eksplan dan Penanaman

Kuncup bunga dicuci dengan tween lalu dibilas dengan air mengalir.

Setelah itu bunga direndam dalam larutan fungisida selama 30 menit dan dibilas

sebanyak tiga kali. Tahap selanjutnya direndam dengan Sodium hypochloride 5%

selama 5 menit sambil sesekali dikocok, kemudian dibilas tiga kali dengan

aquadestilata steril. Setelah itu bunga dipisahkan sesuai bagian-bagiannya yaitu

mahkota (petala), dan staminoid. Bagian bunga yang dipisahkan, ditanam pada

(24)

12

Penginduksian kalus

Eksplan yang steril ditumbuhkan ke dalam media MS dengan penambahan

ZPT sesuai perlakuan yang ditambah dengan sukrosa 30 g/l dan phytagel 2 g/l

atau agar-agar 6 g/l, sebanyak lima potong per botol. Kultur disimpan dalam

ruang gelap dengan suhu 26-28°C.

Pemeliharaan Kultur

Pemeliharaan dilakukan dengan mempertahankan suhu ruang kultur. Botol

kultur yang terkontaminasi dipindahkan dari ruang kultur untuk mencegah

penyebaran kontaminasi ke seluruh botol.

Pengamatan

Pengamatan pada percobaan pertama antara lain :

1. Pengamatan waktu berkalus, yaitu waktu terbentuknya kalus setelah

perlakuan yang dihitung berdasarkan hari setelah perlakuan.

2. Persentase eksplan berkalus merupakan perbandingan eksplan berkalus

pada tiap jumlah eksplan steril.

Per sentase eksplan ber kalus = ∑or gan bunga ber kalus

∑or gan bunga yang ster il × 100%

3. Persentase kalus berpotensi embriogenik,

Per sentase kalus potensi embriogenik

= ∑kal us potensi embr iogenik

∑or gan bunga steri l ber kalus × 100%

Pada percobaan kedua, pengamatan yang dilakukan antara lain :

1. Persentase eksplan berkalus,

Per sentase eksplan ber kalus = ∑or gan bunga ber kalus

∑or gan bunga yang ster il × 100%

2. Persentase warna kalus, yaitu persentase warna tampilan kalus dengan

kriteria warna kalus putih kekuningan dan browning.

Per sentase war na kalus putih kekuningan atau

= ∑war na kalus puti h kekuni ngan atau

(25)

3. Persentase kalus potensi embriogenik,

Per sentase kal us potensi embr iogenik

= ∑kalus potensi embr iogenik

∑or gan bunga ster il berkal us × 100%

4. Persentase embrio,

Per sentase embr io = ∑embri o

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1 Tahap 1

Waktu Pembentukan Kalus

Eksplan menunjukan pembengkakan pada 5 hari setelah tanam pada media

prekondisi yaitu yang terdiri dari MS tanpa penambahan ZPT. Eksplan yang steril

disubkultur pada media perlakuan dan diamati selama kurang lebih 8 MSP.

Tabel 1.Pengaruh Berbagai Kombinasi Media Terhadap Waktu Inisiasi Kalus

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa staminoidia berkalus antara 16

hingga 23 hari setelah perlakuan (HSP). Petal berkalus lebih cepat yaitu antara 11

hingga 22 hari. Menurut Avivi et al. (2010) eksplan klon kakao ICCRI 01, ICCRI

04, KW 514 dan RCC 72 sudah dapat berkalus pada hari ke-12 dengan kisaran

persentase 12.7-100%. Bahkan pada eksplan petala, staminoidia dan beberapa

antera sudah terbentuk pada hari ke-6.

Waktu pembentukan kalus lebih bervariatif dan lebih lama dari penelitian

sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan genotipe. Respon Kombinasi Media Waktu inisiasi kalus (HSP)

Staminoidia Petal

2,4-D 2 mg/l + adenine 0.1 mg/l 23 ± 3 16 ± 8

2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l 19 ± 3 11 ± 2

Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.1 mg/l 20 ± 3 16 ± 3

Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l 18 ± 3 17 ± 7

picloram 2.2 mg/l + adenine 0.1 mg/l 19 ± 3 21 ± 6

Picloram 2.2 mg/l + adenine 0.25 mg/l 20 ± 3 15 ± 8

Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.1 mg/l 19 ± 4 14 ± 3

Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.25 mg/l 16 ± 2 22 ± 6

(27)

masing-masing genotipe dapat berbeda meskipun dalam perlakuan yang sama

(Wiendi et al., 1992; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010).

Selain genotipe, cara sterilisasi tanaman diduga dapat meghambat

pembentukan kalus. Bahan sterilan yang digunakan untuk sterislisasi tanaman

umumnya bersifat toxic sehingga dapat mematikan sel tanaman (Gunawan, 1988).

Pada penelitian Winarsih et al. (2003), Maximova (2005), dan Avivi et al. (2010)

cara sterilisasi cukup sederhana hanya menggunakan sodium hypoclorit (clorox)

5-6%. Namun pada penelitian ini cara sterilisasi lebih kuat dengan menggunakan

bakterisida dan fungisida. Hal ini dilakukan karena kondisi tanaman sumber

eksplan kurang terawat sehingga memerlukan cara sterilisasi yang berbeda.

Media kombinasi picloram 3.3 mg/l dan adenin 0.25 mg/l merupakan

media yang menginisiasi kalus lebih cepat pada staminoidia. Pada petal, media

yang menginisiasi kalus paling cepat terdapat pada media MS + 2,4-D 2 mg/l dan

adenin 0.25 mg/l yaitu sekitar 11 hari. Hal ini menunjukan bahwa jenis eksplan

berpengaruh terhadap kemampuan eksplan berkalus. Menurut Wiendi et al. (1992)

bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan merupakan salah satu faktor

utama pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur in vitro.

Persentase Eksplan Berkalus

Kalus tumbuh pada bagian pangkal staminodia yang dipotong, sedangkan

pada petal dimulai dari eksplan menggulung dan mengeluarkan kalus pada bagian

pinggir petal (Gambar 2). Winarsih et al. (2003) juga menyatakan bahwa kalus

pada staminoidia mulai tumbuh pada bagian pangkal eksplan, sedangkan pada

bagian petal pertumbuhan kalus dimulai pada bagian yang membentuk cakram.

Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa persentase eksplan terbesar pada

bagian petal terdapat pada media MS ditambah 2,4-D 2 mg/l dan adenin 0.25 mg/l

yaitu sebesar 73.91%. Pada staminoidia media kombinasi yang memberikan

persentase kalus terbesar terdapat pada media MS + picloram 1.1 mg/l dan

adenine 0.25 mg/l yaitu sebesar 50%.

Bagian petal pada media MS dengan penambahan 2,4-D 2 mg/l dan adenin

0.25 mg/l memberikan persentase paling besar. Hal ini sesuai pada penelitian

(28)

16

adenin 0.25 mg/l merupakan media inisiasi terbaik yang diperoleh dari mahkota

bunga hingga 100% pada beberapa klon kakao.

Tabel 2. Persentase Eksplan Berkalus Berbagai Komposisi Media pada Bagian Bunga Petal dan Staminoidia pada 4 MSP

Keterangan : ( ) menunjukan jumlah kalus per jumlah eksplan yang steril

Gambar 2. Pembentukan Kalus Kakao A. Eksplan Bunga Kuncup, B. Bagian Bunga Staminoidia (panah putih) dan Petal (panah merah), C. Staminoidia, D. Kalus Staminoidia 4 Minggu Setelah Perlakuan (MSP), E. Kalus Staminoidia 8 MSP, F. Petal, G, Kalus Petal 4 MSP, H. Kalus Petal 8 MSP.

Hal ini menunjukan bahwa kombinasi auksin dan sitokinin memberikan

respon yang berbeda-beda pada tiap bagian bunga. Menurut Winarsih et al. (2003)

respon setiap jenis organ bunga terhadap media bervariasi. Pada penelitiannya

staminoidia memberikan respon yang paling besar diikuti oleh mahkota bunga dan

antera. Adanya perbedaan respon antar organ bunga diduga karena perbedaan

kandungan hormon pada masing-masing organ dan fase fisiologis pada saat

pengambilan bunga.

Perlakuan Petal (%) Staminoid (%) 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.1 mg/l, 68.25 (43/63) 40.74 (22/54) 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l, 73.91 (51/69) 48.00 (24/50) Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.1 mg/l 55.17 (32/58) 39.13 (27/69) Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l 40.38 (21/52) 50.00 (25/50) picloram 2.2 mg/l + adenine 0.1 mg/l 34.62 (18/52) 26.98 (17/63) Picloram 2.2 mg/l + adenine 0.25 mg/l 43.84 (32/73) 44.78 (30/67) Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.1 mg/l 45.76 (27/59) 48.00 (24/50) Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.25 mg/l 33.96 (18/53) 45.76 (27/59)

A

C D

B

E

(29)

Picloram dengan konsentrasi 1.1 mg/l setara dengan 4.6 µM, sedangkan

2 mg/l 2,4-D setara dengan 9.05 µM. Hal ini menunjukan bahwa picloram lebih

efektif dalam menginduksi kalus dibandingkan 2,4-D. Cukup dengan

menggunakan setengah konsentrasi 2,4-D, picloram mampu menginduksi kalus

hingga 50%. Sedangkan 2,4-D pada konsentrasi yang sama hanya menginduksi

sekitar ±35% pada bagian petal.

Kalus yang Berpotensi Menjadi Kalus Embriogenik

Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur yaitu langsung dan tidak

langsung. Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan

bersifat embriogenik (Purnamaningsih, 2002). Pengamatan kalus yang berpeluang

embriogenik dilakukan pada 8 minggu setelah perlakuan (MSP).

Gambar 3. Kalus yang tidak berpeluang embriogenik (kiri) dan yang berpeluang embriogenik pada 8 minggu setelah perlakuan (kanan) dengan mikroskop perbesaran 20x.

Pada Gambar 3 menunjukan bahwa kalus yang berpeluang embriogenik

memiliki struktur yang bernodul dan remah ketika disentuh. Pada kalus yang tidak

berpeluang embriogenik maka kalus bersifat lembek dan mengeluarkan cairan

ketika disentuh.

Persentase kalus yang berpeluang menjadi kalus embriogenik (Tabel 3)

terbesar terdapat pada media MS + picloram 1.1 mg/l dan adenin 0.25 mg/l yaitu

sebesar 20.41% pada bagian petal. Pada staminoidia persentase terbesar terdapat

(30)
[image:30.612.111.514.117.276.2]

18

Tabel 3. Pengaruh Komposisi Media Terhadap Persentase Eksplan Yang Berpotensi Menjadi Kalus Embriogenik pada 8 MSP

Perlakuan Petal (%) Staminoid (%)

2,4-D 2 mg/l + adenine 0.1 mg/l, 11.48 (7/61) 9.43 (5/53) 2,4-D 2 mg/l + adenine 0.25 mg/l, 14.58 (7/48) 4.44 (2/45) Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.1 mg/l 6.90 (4/58) 7.35 (5/68) Picloram 1.1 mg/l + adenine 0.25 mg/l 20.41 (10/49) 2.17 (1/46) picloram 2.2 mg/l + adenine 0.1 mg/l 7.84 (4/51) 6.67 (4/60) Picloram 2.2 mg/l + adenine 0.25 mg/l 8.22 (6/73) 7.69 (5/65) Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.1 mg/l 8.47 (5/59) 12.00 (6/50) Picloram 3.3 mg/l + adenine 0.25 mg/l 0.00 (0/51) 7.02 (4/57)

Keterangan : ( ) menunjukan jumlah kalus potensi embriogenik per jumlah eksplan berkalus.

Media MS + picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l dan media MS + 2,4-D

2 mg/l + adenin 0.25 mg/l merupakan media yang memiliki persentase kalus

berpotensi embriogenik terbesar yaitu 20.41% dan 14.58% pada eksplan petal.

Media tersebut merupakan media terpilih yang akan dilanjutkan pada tahap kedua

dengan bagian bunga utama petal. Menurut Winarsih et al. (2003) dan Avivi et al.

(2010) bagian bunga petal memberikan respon terbaik yang menghasilkan embrio

terbanyak yang dilanjutkan oleh bagian staminoidia dan antera pada tanaman

kakao. Namun, Figueira dan Alemanno (2004) menyatakan bahwa bagian

staminoidia merupakan eksplan yang lebih responsif. Sehingga pada tahapan

berikutnya bagian staminoidia tetap digunakan.

Tahap 2

Percobaan pertama pada tahap kedua bertujuan mendapatkan media

terbaik sebagai media SCG (secondary callus growth), sehingga kalus yang

berpotensi sebagai kalus embriogenik dipindah pada media terbaik yang dipilih.

Kalus Berpotensi Embriogenik

Kalus embriogenik ditandai dengan adanya struktur kalus yang berwarna

kekuningan dan remah (mudah dipisahkan) (Roostika et al., 2009). Kalus tersebut

diharapakan dapat berkembang membentuk nodul-nodul yang merupakan tahap

(31)

memiliki struktur yang remah dan bernodul, sedangkan pada kalus yang tidak

berpotensi embriogenik kalus bersifat lembek dan mengeluarkan cairan ketika

[image:31.612.147.484.140.266.2]

disentuh.

Gambar 4. Tipe Kalus Kakao Pada 16 MSP. Kalus berpotensi embriogenik (kiri) dan kalus tidak berpotensi embriogenik (kanan)

Tabel 4. Media Kombinasi yang Menghasilkan Kalus Berpotensi Embriogenik pada Bagian Bunga Staminoidia pada 16 MSP.

Perlakuan tahap 1 Perlakuan tahap 2 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l,

2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l

Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.1 mg/l Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l picloram 2.2 mg/l + adenin 0.1 mg/l Picloram 3.3 mg/l + adenin 0.1 mg/l Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.1 mg/l

Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l

Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l Picloram 3.3 mg/l + adenin 0.1 mg/l Picloram 3.3 mg/l + adenin 0.25 mg/l

Pada percobaan tahap kedua, tidak semua media kombinasi pada tahap

pertama dapat membentuk kalus berpotensi embriogenik, setelah disubkultur ke

media tahap kedua dalam kurun waktu 8 MSP. Hanya pada media MS + 2,4-D 2

mg/l + adenin 0.25 mg/l dan MS + picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l yang

dapat masih membentuk kalus berpotensi embriogenik. Tahapan media yang

dapat menghasikan kalus yang berpotensi embriogenik dapat dilihat pada Tabel 4.

Kalus berpotensi embriogenik pada tahap kedua tidak menunjukan adanya

pertumbuhan embrio.

Pada media kombinasi lain, kalus tidak berkembang dan menghitam atau

[image:31.612.123.503.345.497.2]
(32)

20

penggunaan media MS + picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l dan media MS +

2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l kurang tepat pada tahap kedua (Lampiran 2).

Kemungkinan hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian jenis zat pengatur

tumbuh dan lama selang waktu subkultur.

Menurut Fahkrina (2010), lama kalus disubkultur juga merupakan salah

satu faktor penentu terbentuknya kalus embriogenik. Pada padi varietas IR 64

hanya dapat bertahan selama 25-30 hari, sedangkan Situ Bagendit mampu

bertahan 30-40 hari. Jika lebih, maka kalus akan berkurang atau hilang daya

regenerasinya. Pada penelitian ini kakao yang di subkultur setiap 28 hari atau 4

minggu sekali sebaiknya dilakukan setiap 2 atau 3 minggu sekali seperti yang

dilakukan pada penelitian Winarsih et al. (2003) dan Avivi et al. (2010).

Percobaan 2

Pada percobaan kedua media yang digunakan sama dengan media tahap

lanjutan pada percobaan pertama tahap kedua yaitu 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25

mg/l; picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l; 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l; dan

picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l dengan media dasar MS. Eksplan yang

digunakan adalah bagian bunga petal dan staminoidia pada tanaman kakao.

Persentase Eksplan Berkalus

Eksplan menunjukan pembengkakan pada 5 hari setelah tanam pada media

prekondisi MS tanpa penambahan ZPT. Eksplan yang steril disubkultur pada

media perlakuan. Eksplan mulai berkalus pada minggu ke-2 hingga ke-3 setelah

perlakuan.

Pada Tabel 5 menunjukan bahwa sub percobaan 2.1 memiliki persentase

eksplan berkalus terdapat pada kisaran 45 - 100% pada berbagai media kombinasi

dan bagian bunga. Persentase kalus terbesar terdapat pada bagian petal yaitu

sebesar 68% pada 4 MSP dan meningkat 100% pada 8 MSP yang diinduksi

dengan media MS + picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l. Pada bagian

staminoidia, persentase kalus terbesar terdapat pada media MS + 2,4-D 2 mg/l +

(33)

Persentase eksplan berkalus pada sub percobaan 2.2 sebesar 38-100%.

Persentase mencapai 100% pada 8 MSP terdapat pada media MS + 2,4-D 2 mg/l +

adenin 0.25 mg/l dan media MS + 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l pada bagian

staminoidia. Pada eksplan petal media yang menginisiasi kalus 100% terdapat

pada media MS + 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l dan MS + 2,4-D 2 mg/l +

[image:33.612.106.494.221.657.2]

kinetin 0.25 mg/l.

Tabel 5. Persentase Eksplan Berkalus Percobaan Kedua pada 4 MSP dan 8 MSP

Sub

Percobaan Bagian Bunga Perlakuan

Persentase Eksplan Berkalus

4 MSP 8 MSP

Sub Percobaan

2.1

Staminoid

K2 67% (47/70) 74% (52/70) P2 76% (53/70) 89% (62/70) K3 93% (74/80) 94% (75/80) P7 76% (72/95) 89% (85/95)

Petal

K2 63% (44/70) 91% (64/70) P2 68% (44/65) 100% (65/65) K3 63% (50/80) 95% (57/60) P7 45% (36/80) 96% (77/80)

Sub Percobaan

2.2

Staminoid

K2 96% (77/80) 100% (79/79) P2 90% (54/60) 95% (57/60) K3 85% (47/55) 87% (48/55)

P7 93% (84/90) 100% (90/90)

Petal

K2 87% (39/45) 100% (45/45) P2 66% (46/70) 99% (69/70) K3 71% (32/45) 100% (43/43) P7 38% (23/60) 95% (57/60)

Sub Percobaan

2.3

Staminoid

K2 91% (73/80) 98% (78/80) P2 98% (88/90) 100% (89/89) K3 97% (68/70) 99% (68/69) P7 99% (89/90) 99% (87/88)

Petal

K2 92% (55/60) 100% (60/46) P2 40% (28/70) 100% (70/70) K3 66% (43/65) 100% (65/65) P7 48% (38/80) 99% (79/80)

(34)

22

Pada sub percobaan 2.3, media MS + picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25

mg/l pada percobaan ini dapat menghasilkan persentase berkalus 100% saat 8

MSP pada bagian staminoidia. Sedangkan pada bagian petal hampir seluruh media

menghasilkan kalus sebesar 100% pada 8 MSP.

Hal ini menunjukan bahwa hampir seluruh media kombinasi dapat

menginisiasi kalus dengan baik pada berbagai eksplan bunga, meskipun bahan

pemadat, jenis botol, dan sukrosa yang digunakan berbeda. Perbedaan respon

dapat disebabkan oleh perbedaan hormon pada masing-masing organ dan fase

fisiologis pada saat pengambilan eksplan (Winarsih et al., 2002).

Adanya perbedaan persentase ekplan berkalus pada percobaan pertama

dengan percobaan kedua diduga karena adanya perbedaan selang waktu subkultur.

Pada percobaan pertama, eksplan disubkultur setiap 2 minggu sekali saat awal

inisiasi kalus, sehingga banyak eksplan yang tidak tumbuh. Menurut Wiendi et al.

(1992) penurunan daya regenerasi dapat perjadi karena subkultur yang berulang.

Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan epigenetik dari sel yang

dikulturkan. Sehingga sel-sel yang tidak kompeten bisa kehilangan daya

totipotensinya. Pada dua percobaan tersebut dapat diperoleh bahwa saat inisiasi

kalus sebaiknya lama waktu subkultur 4 minggu sekali. Setelah kalusnya cukup

besar, intensitas subkulturnya ditingkatkan menjadi 2 minggu sekali.

Respon pertumbuhan kalus dapat juga disebabkan karena pengaruh zat

pengatur tumbuh yang diberikan media. Menurut Wiendi et al. (1992) auksin

(2,4-D dan picloram) merupakan zat pengatur tumbuh utama yang mempengaruhi

pertumbuhan kalus. Pada tanaman dikotil kisaran auksin yang diberikan berkisar

pada konsentrasi 4.0-14.0 M.

Warna Kalus

Kalus memiliki warna putih kekuningan saat pertama kali tumbuh. Secara

berangsur-angsur kalus yang berwarna putih kekuningan berubah menjadi

kecoklatan (browning) kemudian menghitam dan tidak berkembang. Pada 4

hingga 8 MSP persentase kalus yang browning semakin meningkat. Pada Gambar

5 menunjukan terdapat perbedaan warna kalus yang terjadi saat kalus tumbuh

(35)
[image:35.612.152.487.102.217.2]

Gambar 5. Warna Kalus. Warna Kalus Putih Kekuningan (kiri) dan Kalus Browning (kanan) pada 8 MSP

Kalus yang diharapkan adalah kalus yang berwarna putih kekuningan.

Menurut Handayani (2008) pada tanaman kedelai, embrio somatik muncul pada

media yang mengandung 2,4-D cenderung mempunyai struktur friabel/remah,

berwarna kuning-hijau transparan. Pada penelitian ini diperoleh bahwa persentase

kalus berwarna putih kekuningan (Lampiran 4) terbesar pada sub percobaan 2.1,

terdapat pada media MS + 2,4-D 2 mg/l dan kinetin 0.25 mg/l pada bagian bunga

petal dan staminoidia. Persentase kalus putih kekuningan terbesar terdapat pada

staminoidia sebesar 72% pada 4 MSP dan menurun menjadi 27% pada 8 MSP.

Respon bagian petal pada media yang sama menghasilkan persentase tertinggi

sebesar 98% pada 4 MSP dan menurun hingga 61% pada 8 MSP.

Pada sub percobaan 2.2 media MS + 2,4-D 2 mg/l dan kinetin 0.25 mg/l

tersebut menghasilkan persentase kalus berwarna putih kuning hingga 100% baik

pada bagian staminoidia maupun petal pada 4 MSP dan 8 MSP. Pada sub

percobaan 2.3 media tersebut memiliki persentase kalus berwarna putih kuning

serbesar 90% pada staminoidia dan 100% pada petal saat 8 MSP.

Warna kalus selain putih kekuningan juga terdapat warna kalus kecoklatan

atau browning (Lampiran 5). Pada sub percobaan 2.1 persentase kalus browning

2-77% pada 4 MSP dan 39-92% pada 8 MSP. Pada petal persentase kalus

browning terbesar terdapat pada media MS + picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25

mg/l yaitu sebesar 92%. Pada staminoidia sebesar 88% pada media MS + 2,4-D 2

mg/l + adenin 0.25 mg/l.

Pada sub percobaan 2.2 browning yang dihasilkan terdapat pada kisaran

(36)

24

+ adenin 0.25 mg/l merupakan media yang menghasilkan warna browning

terbesar sebesar 91% pada staminoidia dan 94% pada media MS + picloram

1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l bagian petal. Begitu pula pada sub percobaan 2.3

media tersebut menyebabkan browning sebesar 99% pada bagian petal. Pada

staminoidia sebesar 79% pada media kombinasi MS + picloram 1.1 mg/l + kinetin

0.25 mg/l. Persentase kalus browning yang dihasilkan pada media ini sekitar

13-71% pada 4 MSP dan 0-99% pada 8 MSP.

Handayani (2008) juga memaparkan tingginya konsentrasi 2,4-D (90.05

µM) pada kedelai menyebabkan terjadinya perubahan kalus menjadi coklat. Pada

percobaan ini, sub percobaan 2.2 menghasilkan persentase kalus browning paling

kecil yaitu 0% pada 4 MSP maupun 8 MSP dengan menggunakan media MS

ditambah dengan 2,4-D 2 mg/l (9.05 µM) dan kinetin 0.25 mg/l.

Wiendi et al. (1992) memaparkan bahwa auksin jenis 2,4-D dan picloram

merupakan herbisida untuk gulma berdaun lebar. Pemakaian auksin tersebut pada

tanaman dikotil harus dalam konsentrasi lebih rendah pada monokotil. Konsentrasi auksin pada tanaman dikotil antara 4.0-14.0 M. Pada penelitian ini

2,4-D 9.05 µ M ternyata menginduksi persentase browning lebih kecil 0-91%

dibandingkan picloram 4.56 µM pada kisaran 38-99% pada 8 MSP. Hal ini

menunjukan terdapat perbedaan respon browning pada jenis auksin yang berbeda.

Wiendi et al. (1992) juga mengatakan bahwa selain konsentrasi ZPT, jenis ZPT

yang digunakan juga memberikan respon yang berbeda pada tanaman.

Wiendi et al. (1992) menyatakan browning dapat dicegah dengan

meningkatkan intensitas subkultur baik pada media yang sama atau media pada

konsentrasi auksin yang lebih rendah. Tingginya persentase browning

menunjukan bahwa waktu subkultur sebaiknya dilakukan lebih sering yaitu dari

4 minggu sekali menjadi 2 minggu sekali.

Persentase Kalus Berpotensi Embriogenik

Embrio somatik akan diperoleh jika kalus atau sel yang digunakan bersifat

embriogenik. Kalus embriogenik dicirikan oleh sel yang berukuran kecil,

sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati

(37)

berpotensi embriogenik yang diperoleh pada bagian staminoidia. Kalus memiliki

warna putih kekuningan, remah dan bernodul. Pada penelitian Winarsih et al.

(2002) kalus yang embriogenik pada tanaman kakao adalah yang berwarna putih

kekuningan, halus, berbentuk nodul dan mengkilat.

Gambar 6. Kalus Embriogenik pada Staminoidia saat 8 MSP dengan Perbesaran 40x.

Data pada Tabel 6, menunjukan bahwa persentase kalus berpotensi

embriogenik pada sub percobaan 2.1 antara 0-31%. Persentase kalus terbesar

diperoleh dari staminoidia pada media MS + picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l

yaitu sebesar 31%. Pada bagian petal tidak terdapat kalus yang berpotensi

embriogenik.

Persentase kalus berpotensi embriogenik paling tinggi terdapat pada sub

percobaan 2.2 1-100%, pada percobaan 2.3 antara 1-75%. Media kombinasi yang

menghasilkan kalus potensi embriogenik paling besar terdapat pada media MS +

2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l. Pada sub percobaan 2.2 media tersebut mampu

menginisiasi kalus potensi embriogenik hingga 100% pada staminoidia dan 95%

pada petal. Pada sub percobaan 2.3 media ini menghasilkan kalus potensi

(38)
[image:38.612.112.517.105.289.2]

26

Tabel 6. Persentase Kalus Potensi Embriogenik pada Tiga Sub Percobaan

Bagian

Bunga Perlakuan

Persentase kalus potensi embriogenik

Sub Percobaan 2.1

Sub Percobaan 2.2

Sub Percobaan 2.3

Staminoid

K2 12% (6/52 ) 1% (1/79) 3% (2/78) P2 31% (19/62) 37% (21/57) 40% (36/89) K3 3% (2/75) 100% (48/48) 75% (51/68)

P7 12% (10/85) 23% (21/90) 21% (18/87)

Petal

K2 0% (0/64) 22% (10/45) 7% (4/60) P2 0% (0/65) 3% (2/70) 1% (1/70) K3 0% (0/57) 95% (41/41) 75% (49/65) P7 0% (0/77) 18% (11/60) 16% (13/79)

Keterangan : K2= 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l; P2= picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l; K3=2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l; P7= picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l. ( ) menunjukan jumlah kalus potensi embriogenik per jumlah eksplan berkalus.

Hal ini menunjukan bahwa pada bahan pemadat seperti phytagel dan

sukrosa p.a. mampu menghasilkan persentase kalus berpotensi embriogenik paling

besar. Selain itu penggunaan botol kultur yang besar memberikan pengaruh yang

lebih baik. Menurut Wiendi et al. (1992), volume botol kultur kadang-kadang

dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis pada jaringan di dalamnya.

Hal ini mungkin disebabkan karena CO2, etilen dan gas-gas lainnya di udara yang terdapat dalam botol.

Embrio Somatik

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel somatik (baik

haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahap

perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Purnamaningsih,

2002). Menurut Maximova et al. (2005) embrio somatik pada kakao muncul pada

tipe kalus yang terdiri dari sel yang bulat, berwarna kecoklatan dan friable. Pada

penelitian ini embrio terbentuk pada 8 minggu setelah perlakuan (MSP). Tahapan

embrio somatik pada penelitian ini terbantuk dan teramati dari fase globular

(39)

Gambar 7. Perkembangan Pembentukan Embrio Somatik pada Staminoidia. A. Bunga Kakao, B. Bagian Bunga Staminoidia, C. Kalus Berpotensi Embriogenik, D. Embrio pada Fase Globular, E. Embrio pada Fase Heart (Hati), F. Embrio pada Fase Kotiledon.

Data pada Tabel 6, menunjukan bahwa embrio berhasil diinduksi pada

media MS ditambah picloram 1.1 mg/l dan kinetin 0.25 mg/l selama 8 MSP

dengan selang subkultur 4 minggu sekali. Persentase embrio adalah 1.1% (dari 90

eksplan yang ditanam, dihasilkan 1 eksplan yang terinisiasi embrio). Persentase

terbentuknya embrio terhadap kalus potensi embriogenik sebesar 4.8% (dari 21

kalus berpotensi embriogenik, dihasilkan 1 kalus yang terinisiasi embrio). Jumlah

embrio yang terinisiasi pada penelitian ini sebanyak 4 embrio dalam 1 eksplan

(Gambar 8). Embrio muncul pada sub percobaan 2.2 yaitu media dibuat dengan

menggunakan botol besar dengan bahan pemadat phytagel 2 g/l, serta

menggunakan sukrosa p.a. 30 g/l. Pada penelitian ini kalus embriogenik yang

terbentuk hanya 1 dari 21 kalus potensi embriogenik yang berkembang

[image:39.612.127.485.78.275.2]

membentuk embrio.

Gambar 8. Embrio yang Terinisiasi dalam Satu Eksplan. Tanpa Perbesaran Mikroskop (kiri) dan dengan Mikroskop Perbesaran 40x (kanan)

A B C

[image:39.612.148.469.563.677.2]
(40)
[image:40.612.132.508.117.232.2]

28

Tabel 6. Persentase Embrio Somatik Kakao pada Bagian Bunga Staminoidia pada Sub Percobaan 2.2 saat 8 Minggu Setelah Perlakuan (MSP)

Perlakuan

Persentase ekplan terinisiasi embrio

(%)

Persentase kalus potensi embriogenik

yang terinisiasi embrio (%) 2,4-D 2 mg/l + adenin 0.25 mg/l, 0.0 (0/79)* 0.0 (0/1 )** Picloram 1.1 mg/l + adenin 0.25 mg/l 0.0 (0/57)* 0.0 (0/21)** 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0.25 mg/l, 0.0 (0/48)* 0.0 (0/48)** Picloram 1.1 mg/l + kinetin 0.25 mg/l 1.1 (1/90)* 4.8 (1/21)**

Keteramgan : ()* menunjukan jumlah eksplan terinisiasi embrio per jumlah eksplan yang steril.

()** menunjukan jumlah kalus potensi embriogenik yang terinisiasi embrio per total

jumlah kalus berpotensi embriogenik.

Kecilnya persentase embrio somatik menunjukan bahwa peluang

mendapatkan embrio pada tanaman kakao sangat rendah, terdapat banyak faktor

yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik. Menurut Purnamaningsih

(2002), beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik adalah

jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh.

Pada penelitian ini embrio somatik hanya tumbuh pada bagian bunga

staminoidia. Berbeda pada penelitian Winarsih et al. (2003) dan Avivi et al.

(2010) bagian petal menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan dengan

staminoidia dan antera. Hal ini diduga dapat terjadi karena adanya pengaruh

genotipe. Pada kakao UAH embrio dapat terinisiasi pada media MS + picloram

1.1 mg/l dan kinetin 0.25 mg/l.

A

B

C

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Bagian bunga kakao Uper Amazon Hybrid (UAH) yang mengasilkan

embrio adalah bagian bunga staminoidia. Embrio terinisiasi pada 8 minggu setelah

perlakuan, dengan besar persentase embrio somatik 1.1% (dari 90 eksplan yang

ditanam, dihasilkan 1 eksplan yang terinisiasi embrio somatik) atau 4.8% (dari 21

kalus berpotensi embriogenik, dihasilkan 1 kalus yang terinisiasi embrio somatik).

Jumlah embrio somatik yang dihasilkan sebanyak 4 embrio somatik dari satu

ekplan yang terinisiasi. Media yang digunakan dalam menginduksi embrio

somatik kakao adalah media MS dengan kombinasi picloram 1.1 mg/l dan kinetin

0.25 mg/l dengan menggunakan bahan pemadat phytagel 2 g/l dan sukrosa p.a 30

g/l.

Saran

Pada penelitian berikutnya sebaiknya pengamatan dilakukan setiap 2

minggu sekali. Subkultur saat inisiasi awal dilakukan pada minggu ke-4 dan

setelah kalus cukup besar dilakukan setiap 2 minggu sekali. Semakin kecil ukuran

botol yang digunakan maka intensitas subkultur ditingkatkan. Jika memungkinkan

pengamatan struktur sel dilakukan secara mikroskopis pada setiap eksplan. Selain

itu, jumlah eksplan yang digunakan sebaiknya lebih banyak yaitu lebih dari 100

eksplan per perlakuan sebagai cadangan jika terjadi kontaminasi. Setelah embrio

terinisiasi, isolasi bagian embrio dan pisahkan dari kalus yang lain sehingga

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Ammirato, P.V. 1983. Embryogenesis. p. 83-113. In : D.A. Evans, W.R. Sharp, P.V. Amiranto, and Y. Yamada. (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture. Vol. 1. Macmillan Publlishing Company. New York.

Avivi, S., A. Prowoto, dan R. F. Octami. 2010. Regenerasi embriogenesis somatik pada beberapa klon. J. Agron. Indonesia 38(2):138-143.

Bakti, C. 2005. Embriogenesis Sonmatik Jahe (Zingiber officinale Rosc.) pada Berbagai Zat Pengatur Tumbuh. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. 47 hal.

Belarmino, M. M. and J. R. Gonzales. 2008. Somatic embryogenesis and plant regeneration in purple food yam (Dioscorea alata L.). Annals of Tropical Researce. Phillippines. 30(2):22-33.

Departemen Pertanian. 2011. Basis Data Statistik Indonesia. http//deptan.go.id. [13 Desember 2011].

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Luas Area dan Jumlah Produksi Kakao Indonesia. http://ditjenbun.deptan.go.id/. [17 Januari 2012].

Evans, D. E., J.O.D. Coleman, and A. Kearns. 2003. Plant Cell Culture. Bios Scientific Publisher. London. 194 p.

Fakhrina, Z. 2010. Induksi Embrio Somatik pada Padi Varietas IR64 dan Situ Bagendit. Skipsi. Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 11 hal.

Figuera, A., and L. Alemanno. 2004. Theobroma Cacao, p 639-668. In : Litz R. E. Biotechnology of Fruit and Nut Crops. CABI. USA. Biotechnology in Agricultur Series No. 29. 707 p.

Forum Kemitraan Kakao Berkelanjutan. 2008. Program Gerakan Percepatan Revitalisasi Kakaonasional (GERNAS). www.aciar.gov.au. [13 Desember 2011].

Gamborg, O.L. 1991. Kalus dan Kultur Sel, hal 1-13. Dalam : L. R. Wetter dan F. Constabel (Eds.). Metode Kultur jaringan Tanaman (diterjemahkan dari : Plant Tissue Culture Methods, penarjemah : M. B. Widianto). Penerbit ITB. Bandung. 191 hal.

(43)

Handayani, T. 2008. Potensi Embriogenesis Beberapa Genotipe Kedelai Toleran dan Peka Naungan. Skipsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hal.

Hartmann, H.T. and D. E. Kester. 1997. Plant Propagation Principles and Practice, 6th edition. Prentice Hall, inc. New Jersey. 727 p

Hendaryanto D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern. Kanisius. Yogyakarta.

Maximova S. N., A. Young, S. Pishak, C. Miller, A. Traore, and M.J. Guiltinan. 2005. Integrted sistem for propagation of Theobroma cacao L., p. 209-227. In S. M. Jain and P. K. Gupta (Eds.). Protocol for Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Springer. Netherlands.

Priadi, D. dan E. Sudarmonowati. 2006. Pengaruh komposisi media dan ukuran eksplan terhadap pembentukan kalus embriogenik beberapa genotipe lokal ubi kayu (Manihot esculenta Crantz). Biodiversitas 7(3):269-272.

Purba, H.I. 2009. Pengaruh Jenis Media Dan Konsentrasi Picloram Terhadap Induksi Embrio Somatik Manggis (Garcinia mangostana L.). Skripsi. Program Studi Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. 39 hal.

Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5(2):51-58).

Puslitkoka. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. 328 hal.

Roostika, I., V.N. Arief, dan N. Sunarlim. 2009. Regenerasi kultur lengkeng dataran rendah cv. Diamond river melalui embriogenesis somatik. J. Hort. vol 19(1):14-22.

Santoso, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Press. Malang. 191 hal.

Sari D.Y.I, Halimi E.S dan Hayati R. 2005. Pembentukan kalus dan katekin tanaman gambir (Uncari gambir Roxb.) secara in vitro dari eksplan daun melaui pemberian 2,4-D dan kinetin. Tanaman tropika 8(1): 22-29.

Sudarmonowati, E. dan Henshaw G.G. 1996. The use of picloram and dicamba to introduce somatic embryogenesis in cassava. Annales Bogoriensis Vol. 4 No. 1.

(44)

32

Vanjrabhaya, M. 1988. Embryogenesis. Proceeding of The

Gambar

Gambar 1. Bagan Metode Penelitian
Tabel 1. Pengaruh Berbagai Kombinasi Media Terhadap Waktu Inisiasi Kalus
Tabel 2. Persentase Eksplan Berkalus Berbagai Komposisi Media pada Bagian Bunga Petal dan Staminoidia pada 4 MSP
Gambar 3. Kalus yang tidak berpeluang embriogenik (kiri) dan yang berpeluang embriogenik pada 8 minggu setelah perlakuan (kanan) dengan mikroskop perbesaran 20x
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, bila dibandingkan dengan kandungan stabilitas aggregat tanah setelah panen dari plot yang tidak diberi BO, maka peningkatan persen aggregasi dan stabilitas

Untuk Mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah elektif agar mendaftar di Bagian Akademik Fakultas Peternakan Univ.. Untuk Mata Kuliah Elektif, kuliah dan praktikum

Dari keempat factor tersebut diketahui hasil responden menyatakan bahwa ada idenifikasi diri yang kurang antara partai dan kandidat anggota legislative kepada

Larutan selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring dan disimpan dalam botol gelap pada suhu rendah.. Dari masing-masing konsentrasi larutan standar diambil sebanyak

Skripsi ini merupakan penelitian tentang penggunaan dan kepuasan pengiklan khususnya anggota Arcade Agency Indonesia dalam menggunakan situs berita periklanan

Dari uraian diatas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang, “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Penerapan Strategi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir berjudul ” Peran Public Relations PT Dirgantara Indonesia Bandung dalam Meningkatkan Citra Positif di Mata Masyarakat ”

Dari keenam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal emosi yang sedang terjadi kemudian mengelola emosi tersebut