• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemuliaan Tanaman Tebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemuliaan Tanaman Tebu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PEMULIAAN TANAMAN TEBU

Oleh

Ratna Rosanty Lahay

NIP 131836670

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya yang

telah memperkenankan penulis menyelesaikan tulisan ini sebagai suatu karya tulis hasil

studi literatur.

Tulisan ini dengan judul “Pemuliaan Tanaman Tebu”. Dahulu, orang menyangka

bahwa biji tebu bersifat steril. Namun anggapan itu tidak benar setelah biji tebu berhasil

dikecambahkan untuk pertama kali oleh Acus Harper di Barbados pada tahun 1858. Salah

satu tujuan didirikan pusat- pusat penelitian gula adalah untuk menghasilkan

varietas/klon yang berproduksi tinggi, resisten terhadap penyakit serta sifat- sifat baik

lainnya. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pemuliaan tanaman tebu

dilakukan, dimulai dari

Penulis menyadari bahwa tulisan singkat ini cukup terbatas dalam penyajiannya.

Namun demikian penulis berharap kiranya tulisan ini dapat bermanfaat sebagai sumber

informasi pelengkap bagi pembaca.

Medan, Juli 2009

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

PENDAHULUAN ... 1

ASAL DAN SEJARAH TANAMAN TEBU ... 2

PEMBUNGAAN, PENYERBUKAN DAN PEMBENTUKAN BIJI ... 5

PEMULIAAN... 7

METODE PENGENDALIAN UNTUK MEMPERMUDAH PERSILANGAN 9

SELEKSI ... 12

PENGGUNAAN VARIETAS OLEH PETANI ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 16

(4)

PENDAHULUAN

Dahulu, orang menyangka bahwa biji tebu bersifat steril. Namun anggapan itu

tidak benar setelah biji tebu berhasil dikecambahkan untuk pertama kali oleh Acus

Harper di Barbados pada tahun 1858. Pengetahuan tersebut tidak dimanfaat lebih kurang

tigapuluh tahun. Hingga pada tahun 1888, pemuliaan tebu mulai dilakukan oleh

Solwedel di Pulau Jawa dan oleh Harrisan dan Bevell di Barbados.

Semua program pemuliaan tanaman mempunyai beberapa tujuan tertentu yang

ingin dicapai. Tujuan dari pemuliaan tanaman tebu adalah (Barnes, 1974) :

1. hasil tebu yang dipanen per satuan luas yang tinggi

2. kandungan sukrosa yang tinggi

3. kandungan serat yang rendah untuk mempermudah penggilingan

4. habitus yang diinginkan adalah yang tegak, tidak mudah rebah agar sesuai untuk

pemanenan dengan menggunakan mesin

5. mempunyai kemampuan ratoon yang baik

6. bila panen dilakukan dengan tangan maka tepi daun yang tajam, bulu daun yang

dapat menimbulkan iritasi dan batang yang keras dan sukar didorong adalah

sifat-sifat yang tidak diinginkan

7. resistensi terhadap penyakit utama

(5)

ASAL DAN SEJARAH TANAMAN TEBU

Tebu merupakan anggota genus Saccharum, famili Graminae dan tribe

Andropogoneae. Ada lima spesies dari genus Saccharum yang bermanfaat bagi

pemuliaan tanaman (Wrigley, 1981) yaitu :

1. Saccharum officinarum L.(2n = 180)

Merupakan spesies yang dibudidayakan (oleh sebab itu sering disebut noble cane)

dengan sifat batang berwarna terang, lunak, tebal, kandungan sukrosa tinggi,

kandungan serat rendah, daun lebar. Sangat peka terhadap penyakit-penyakit

utama , kecuali penyakit gummosis (Xanthomonas vasculorum) dan jelaga/smut

(Ustilagos citaminae). Otaheite (sinonim dengan Bourbon, Lahaina, Vellai)

merupakan noble cane yang pertama dibudidayakan secara luas, selanjutnya

diikuti oleh seri Cheribon.

2. Saccharum spontaneum L. (2n = 40 -128)

Merupakan tebu liar di daerah Pasifik dan Asia (di Pulau Jawa disebut dengan

glagah). Spesies ini merupakan sumber resistensi untuk beberapa penyakit utama

seperti “sereh”, mosaik, gummosis, busuk merah (Physalospora tucumanensis),

embun tepung (Sclerospora sacchari). Spesies ini merupakan rerumputan

tahunan dari mulai ukuran yang pendek hingga tinggi, ruasnya panjang langsing

dengan lubang pit di tengah batang, batang berwarna hijau-kuning hingga putih.

(6)

3. Saccharum barberi Jeswiet (2n = 82 – 124)

Merupakan tebu India. Batangnya keras dan langsing dengan kandungan serat

yang tinggi. Kebal terhadap penyakit gummosis dan mosaik, resisten terhadap

penyakit embun tepung.

4. Saccaharum sinense Roxb.emend. Jeswiet (2n = 82 – 124)

Disebut dengan tebu Cina atau Uba. Kandungan sukrosanya sedang dengan serat

yang tinggi, batang sedang ketebalannya dengan daun yang medium hingga

sempit. Kebal terhadap penyakit embun tepung.

5. Saccharum robustum Brandes et Jesweit ex Grassl. (2n = 60 – 194)

Merupakan tebu liar yang berasal dari New Guinea dan Melanesia. Tumbuh

hingga 9 meter. Batangnya keras berkayu dengan lubang di tengahnya.

Kandungan sukrosanya rendah. Resisten terhadap busuk merah.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa industri gula tebu memanfaatkan spesies

Saccharum officinarum (noble cane) yang diduga berasal dari daerah Pasifik Selatan

yaitu kemungkinan di New Guinea (Pulau Irian bagian Timur) dan selanjutnya menyebar

ke tiga arah migrasi yang berbeda (Blackburn, 1984). Pertama, dimulai pada 8000 tahun

Sebelum Masehi yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru. Kedua,

dimulai sekitar 6000 tahun Sebelum Masehi ke Filipina, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa,

Malaysia dan Burma serta India. Dan ketiga, antara tahun 500 hingga 1100 Sesudah

Masehi yaitu ke Fiji, Tonga, Tahiti, Marquesa dan Hawaii.

Walaupun tebu merupakan tanaman tropis, namun kenyataannya saat ini beberapa

(7)

di antara lintang 150 – 300 seperti daerah Brasil Selatan dan tengah, Kuba, Meksiko,

Afrika Selatan, Indi, Cina, Australia dan Hawaii.

Perkembangan yang luas dan besar dalam pengelolaan dan teknologi lapang

berlangsung pada abad dua puluh, sehingga pusat-pusat penelitian dan stasiun lapang

didirikan di negara-negara penghasil gula (Hayes et al., 1955; Wrigley, 1981; Blackburn,

1984), seperti Proefstation voor de Java Suikerindustrie, Pasuruan (Indonesia sekarang

bernama P3G), BWI, Central Sugar Cane Breeding Station (Barbados), Queensland

Bureu of Experiment Stations (Australia), Hawaiian Sugar Planters Association,

Honolulu (Hawaii), Mauritius Sugar Industry Research Institute, Reduit (Mauritius),

Mount Edgecombe, Natal (Afrika Selatan) dan di Amerika Serikat (Baton Rouge,

Lousina dan Canal Point, Florida). Salah satu tujuan didirikan pusat- pusat penelitian

tersebut adalah untuk menghasilkan varietas/klon yang berproduksi tinggi, resisten

(8)

PEMBUNGAAN, PENYERBUKAN DAN PEMBENTUKAN BIJI

Pembungaan suatu spesies tanaman perlu diketahui dan dipahami karena di dalam

pemuliaan tanaman, pembungaan berhubungan erat dengan sistem dan strategi pemuliaan

yang akan dilakukan. Pada tebu, hampir semua spesies dari genus Saccharum tidak akan

berbunga pada panjanghari lebih dari 12 jam, kecuali S. spontaneum yang memang

merupakan tanaman hari panjang. Umumnya dibutuhkan paling sedikit 10 jam dan paling

banyak 12,5 jam dan suhu malam 20 - 250 C untuk terjadinya inisiasi bunga. Tanda awal

munculnya bunga adalah munculnya seludang daun yang panjang tetapi helai daunnya

pendek (disebut dengan daun bendera). Seludang daun menutupi panikel yang masih

muda. Akhirnya batang tebu memanjang dan mendorong panikel bunga keluar. Bunga

tebu secara visual berbentuk seperti panah, sehingga sering pada literatur bunga tebu

disebut ‘arrow’.

Spikelet membuka pada malam hari hingga pagi buta, dimulai dari panikel bagian

atas selanjutnya ke arah bawah. Kelembaban udara yang tinggi dapat memperlambat

anthesis. Secara alami, terjadi penyerbukan silang dengan bantuan angin. Pollen viabel

hanya pada waktu yang singkat dan anther akan gugur dari filamen setelah anthesis,

sebaliknya stigma tetap persisten. Setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan,

dibutuhkan 21 – 25 hari untuk pengisian dan pemasakan biji. Keluarnya bunga akan

mengakhiri pembentukan daun baru pada batang sehingga tumbuh cabang vegetatif dari

buku terbawah, selain itu adanya pembungaan akan mengurangi kandungan sukrosa pada

(9)

pembungaan agar kandungan sukrosa tetap tinggi. Biji hasil pembungaan merupakan biji

caryopsis dari satu karpel, perikarpnya menyatu dengan testa. Biji berbentuk ovate,

berwarna coklat kekuning-kuningan dan berukuran amat kecil sekitar 1 mm panjangnya.

Biji tersebut dengan cepat kehilangan viabilitasnya, tetapi bila disimpan dalam suhu

rendah dapat dipertahankan paling tidak selama tiga tahun.

Memperkirakan fertilitas biji secara kuantitatif sangatlah penting bagi pemuliaan

tebu seperti yang dipaparkan oleh Walker (1980) dalam Blackburn (1984) sebagai

berikut : Infloresens “arrow” terdiri dari 25 000 spikelet, tetapi jumlah yang dibuahi dan

fertile hanya sekitar 3 – 33 %, yaitu sekitar 700 spikelet yang akan berkembang menjadi

biji. Biji tebu tidak mengalami dormansi, perkecambahan biji membutuhkan waktu 2 – 8

hari pada suhu 35 %. Kecambah muda sangat lambat pertumbuhannya hingga fase empat

(10)

PEMULIAAN

Pekerjaan yang pertama dan sangat penting terjadi di Pulau Jawa, di mana tujuan

utamanya adalah mendapatkan varietas yang resisten terhadap penyakit “sereh” yang

menimbulkan kerusakan yang berat pada noble cane (Saccharum officinarum) seperti

yang menyerang varietas Othaeite dan seri Cheribon. Spesies liar, khususnya

Saccharunm spontaneum diketahui resisten terhadap penyakit “sereh” dan penyakit tebu

lainnya, sehingga Saccharum spontaneum disilangbalikkan (backcross) dengan noble

cane. Proses tersebut diistilahkan dengan “nobilisasi” (nobilization), dan hasil

persilangan tersebut dinamakan “nobilized cane”. Tebu ajaib yang melegenda tersebut

adalah POJ 2878 (POJ = Proefstation Oost Java) yang dihasilkan oleh Jeswiet pada tahun

1929 dan secara luas dibudidayakan sebagai varietas komersial standar di beberapa

negara pada saat itu seperti di Hawaii, Guyana, Inggris, Barbados, Jamaika, Kuba,

Kolombia, Meksiko, selain tentunya di Pulau JaWA (Stevenson, 1965; Martin, dkk,

1961; Barnes, 1974; Wrigley, 1981dan Blackburn, 1984).

Tebu merupakan tanaman menyerbuk silang dengan bantuan angin, sering bersifat

poliploid, dan terkadang aneuploid. Karena menyerbuk silang dan diperbanyak secara

klonal maka heterozigousnya tinggi dan tidak toleran terhadap inbreeding (penyerbukan

sendiri). Persilangan antar klon akan meningkatkan keragaman pada progeni F1, dan

pemuliaan tebu dapat menggunakan keragaman ini untuk membentuk klon yang baru.

Persilangan dapat bersifat berpasangan (biparental cross, di mana baik tetua jantan dan

betina diketahui), atau dapat pula berupa persilangan jamak (polycross, di mana tetua

(11)

Untuk itu perlu diketahui daya gabung umum dan daya gabung khusus untuk

masing-masing klon calon tetua. Program persilangan biparental lebih sering dilakukan

dibandingkan persilangan polycross. Polycross banyak dilakukan di Hawaii dengan

menggunakan metode “melting pot” (akan dijelaskan lebih lanjut) untuk pemuliaan

dengan tujuan tertentu seperti varietas yang sesuai dengan kondisi “mauka” (dalam

bahasa Hawaii berarti elevasi tempat yang tinggi). Dalam melakukan persilangan

terdapat beberapa metode yang dapat membantu untuk mempermudah persilangan.

Setelah persilangan terjadi, selanjutnya dilakukan seleksi (akan dijelaskan lebih lanjut).

Dengan berjalannya waktu akan diperoleh akumulasi pool tetua, beberapa di antaranya

dapat dilepas sebagai klon terbaik untuk daerah tertentu, beberapa lagi tidak cukup baik

untuk diusahakan secara komersial, sebagian lagi disingkirkan karena tidak sesuai dengan

tujuan pemuliaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada semua program pemuliaan,

pool tersebut akan selalu berubah dimana pendatang baru akan masuk sedangkan yang

(12)

METODE PENGENDALIAN UNTUK MEMPERMUDAH PERSILANGAN

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa tebu merupakan tanaman

menyerbuk silang, mempunyai batang yang relatif tinggi, penyerbukan terjadi pada

malam hari hingga pagi buta serta penyerbukan diperlukan suhu udara yang hangat, maka

dikenal beberapa metode yang diciptakan untuk mempermudah persilangan.

Metode “lantern” (dalam bahasa Indonesia berarti selubung)

Kemajuan utama untuk mengendalikan pemuliaan tebu adalah ditemukannya sifat

male sterility yang dapat digunakan sebagai induk betina yang dapat dibuahi dengan

pollen dari induk jantan yang diinginkan untuk memperoleh progeny (keturunan) yang

diketahui tetuanya. Pada metode “lantern” persilangan dilakukan di lapang,di mana

bunga “arrow” diselubungi dengan “lantern” untuk mencegah masukknya pollen yang

tidak diinginkan. Dan pada saat yang bersamaan pollen dari tetua jantan yang telah

ditetapkan juga dimasukkan ke dalam “lantern” . Biji kemudian dibiarkan masak dan

setelah lebih kurang tiga minggu, panikel yang terdiri dari biji yang masak (tidak lagi

disebut “arrow” melainkan “fuzz”) dikumpulkan,diekstrak dan disemai. Lantern dapat

dibuat dengan berbagai ukuran dan bentuk. Metode ini ditemukan oleh D’Albequerque

(13)

Metode “Marcotting” (sinonim dengan mencangkok)

Perkembangan lain dalam mengendalikan persilangan pada tebu adalah

menggunakan marcotting. Primordia akar yang terdapat di masing-masing noda (buku)

dapat diinduksi di lapang dengan menutupi buku yang terpilih dengan kertas aluminium

atau plastik yang berisi medium perakaran seperti tanah lembab atau gambut. Bahan

stimulan perakaran dapat pula diinjeksikan ke batang yaitu di antara buku ketiga dan

keempat di bawah daerah “marcotte”. Sesaat sebelum bunga “arrow” muncul, batang

tebu dipotong tepat di bawah wadah. Penutup plastik kemudian di buka dan dibuang,

selanjutnya dipindahkan ke pot atau tabung yang berisi tanah, dan diletakkan di rumah

kaca. Bunga akan muncul, dan pengendalian persilangan dilakukan dengan cara

menggabungkan bunga dari tetua jantan dan betina di dalam satu selubung kain. Metode

ini cocok digunakan pada daerah-daerah di mana suhu malam hari amat rendah seperti di

daerah Afrika, padahal seperti diketahui penyerbukan tebu terjadi malam hari pada suhu

yang relatif hangat, sehingga bila suhu rendah akan mempengaruhi fertilitas. Hanya

dengan memindahkan batang tebu “marcotte” ke rumah kaca yang hangat maka

persilangan dapat terjadi.

Metode larutan ala Hawaii

Metode yang dikembangkan oleh Verret dan Mangelsdorf banyak digunakan oleh

(14)

dalam waktu beberapa hari. Kematian diduga disebabkan oleh blokade pada xylem

(pembuluh kayu) oleh bakteri. Sehingga untuk memperpanjang umur bunga digunakan

larutan yang mengandung bakterisida seperti asam sulfurous atau asam fosforik.

Persilangan dilakukan dengan meletakkan potongan bunga jantan lebih tinggi

daripada potongan bunga betina. Setelah penyerbukan selesai, bunga jantan disingkirkan,

sebaliknya bunga betina dipelihara hingga biji masak (fuzz). Selama periode ini, larutan

diganti setiap 2 – 3 hari. Bila biji telah matang, panikel dikantongi dan selanjutnya biji

dikeringkan.

Metode “melting pot” (Pot pelebur/pencampur)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode “melting pot” digunakan

untuk membantu melakukan persilangan polycross, dimana tetua betina (yang

male-sterility) diketahui, sedangkan tetua jantan berasal dari genotip yang beragam (dalam

pemuliaan, sering juga diistilahkan sebagai half-sib). Penyerbukan random dilakukan

dengan menggoyang-goyangkan bunga jantan secara terartur. Biji yang dihasilkan

selanjutnya dikumpulkan, dikecambahkan dan dievaluasi, keuntungan dari metode ini

adalah dihasilkan banyak kombinasi tetua dengan biaya pengerjaan yang minimum,

(15)

SELEKSI

Seleksi pemuliaan tanaman tebu didasarkan pada percobaan yang terdiri

dari 3 hingga 6 tahap (Blackburn 1984). Pada tahap pertama biji dikecambahkan

(tanpa ulangan pada tahap kedua, satu atau dua baris klon perbanyakan vegetatif

dari tanaman tahap pertama) ditumbuhkan tanpa ulangan. Pada tahap ketiga,

percobaan dilakukan pada plot yang lebih besar dapat tanpa atau dengan ulangan.

Pada tahap keempat umumnya terdiri dari seri percobaan dengan ulangan dan

menggunakan plot dengan baris tanaman pinggir serta menggunakan rancangan

percobaan dan analisis statistik untuk interpretasi data. Tahap lima dan enam

merupakan pekerjaan perbanyakan vegetatif dari klon/varietas yang terseleksi

untuk disebarkan kepada petani untuk pengujian lebih lanjut. Meskipun demikian

ada banyak variasi dalam detail seleksi ini.

Kemajuan seleksi dipengaruhi oleh nilai heritabilitas dari karakter yang

diamati. Hampir semua karakter yang penting secara ekonomis pada tebu

mempunyai nilai heritabilitas yang rendah, namun pemulia tanaman sepakat

bahwa karakter kandungan sukrosa memiliki nilai heritabilitas yang tinggi dan

interaksi genotip – lingkungannya (GxE interaction) yang rendah (Stevenson,

1965; Blackburn, 1984). Sehingga kandungan sukrosa dapat digunakan sebagai

kriteria seleksi pada percobaan tahap generasi awal, yaitu tahap pertama dan

kedua. Kandungan gula tersebut ditaksir dengan menggunakan refraktometer

(16)

heritabilitas komponen hasil tebu diketahui maka modifikasi seleksi dapat

dilakukan untuk meningkatkan efisiensinya.

Pengujian serangan penyakit juga dilakukan. Resistensi tanaman kadang

dapat diestimasi secara sederhana yaitu dengan mengamati serangan penyakit

secara alami pada plot-plot percobaan yang terdapat pada kondisi yang

memungkinkan infeksi penyakit. Tetapi terkadang dibutuhkan laboratorium

khusus atau pengujian lapang dengan melakukan inokulasi penyakit. Biasanya

inokulasi penyakit dilakukan pada seleksi tahap akhir (tahap empat atau lima)

untuk mencegah serangan pada klon yang peka dan mencegah resurgensi dari

penyakit tersebut (Blackburn, 1984).

Akhir-akhir ini pemulia tebu juga memanfaatkan teknik baru seperti

induksi mutasi dan kultur jaringan. Untuk menghilangkan karakter yang tidak

disukai dari varietas komersil yang baik, stek tebu diirradiasi, selanjutnya mutasi

diamati. Beberapa mutan tebu telah dihasilkan seperti dapat mengurangi

pembungaan (agar kandungan sukrosa tetap tinggi), resistensi terhadap busuk

merah, dan ketidakhadiran seludang daun yang keras (sehingga memudahkan

pemanenan dengan tangan). Kultur jaringan untuk diferensiasi subklonal juga

berhasil dilakukan. Karena adanya keragaman somatick (variation somaclonal)

maka subklonal akan berbeda dalam junlah kromosom dan beberapa karakter

lainnya. Teknik-teknik baru ini terus berkembang dan dibutuhkan tetapi tidak

untuk menggeser peranan rekombinasi seksual secara konvensional pada

(17)

Dasar kepentingan dari semua percobaan pemuliaan tebu adalah

menghasilkan klon baru yang lebih unggul daripada klon komersil standar pada

saat itu. Untuk itu harus dibuat peringkat dari klon-klon baru tersebut

dibandingkan klon standar pada lingkungan yang berbeda.

Pada tahap akhir seleksi, pemulia akan melepas klon unggul (paling tidak

untuk sifat kandungan sukrosa dan hasil tebu per hektarnya tinggi) kepada petani

untuk ditanam pada lingkunga yang berbeda. Petani akan melengkapi proses

pengujian dengan mengamati dalam skala lapang tentang aspek-aspek penting

seperti penggunaan tenaga kerja, kebutuhan akan pengendalian gulma, toleransi

terhadap herbisida, batang tebu. Karakter-karakter tersebut tidak diuji dengan

baik oleh pemulia, namun demikian karakter tersebut berpengaruh secara

(18)

PENGGUNAAN VARIETAS OLEH PETANI

Setelah Perang Dunia Kedua, hampir semua pertanaman tebu di dunia

menggunakan “nobilized cane” dibandingkan “noble cane”. Seperti diketahui,

“noble cane” merupakan tebu hasil seleksi dan persilangan dari spesies

Saccharum oficinarum, contoh dari “noble cane” adalah Otaheite dan seri

Cheribon. Tetapi karena peka terhadap penyakit-penyakit utama, maka “noble

cane” disilangbalikkan dengan Saccharum spontaneum yang merupakan sumber

ketahanan bagi penyakit-penyakit utama.

Noble cane yang lebih dimuliakan tersebut menghasilkan tebu nobilized

cane. Walaupun tidak lagi ditanam secara komersial, namun noble cane masih

dipakai sebagai sumber tetua untuk pemuliaan tebu.

Di Indonesia, hingga tahun 1994, klon tebu yang paling banyak

diusahakan adalah PS 8, PS 30, PS 41, PS 62, PS 63, POJ 3016, POJ 2961 dan

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1992. 5 Tahun (1987-1991) Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sumbangan dalam Menyongsong Era tinggal Landas. 116 hal.

Barnes, A.C. 1974. The Sugar Cane. Leonard Hill Books, New York. 572 p.

Blackburn, F. 1984. Sugar Cane. Longman Group Ltd., London. 414p

Hayes, H.K., F.R. Immer and D.C. Smith. 1955. Methods of Plant Breeding, Mc Graw-Hill Book Co., Inc., New York. 551p.

Martin, J.P., E.V. Abbott and C.G. Hughes. 1961. Sugar Cane Diseases of The World. Elsevier Publ., Co. Amsterdam. 542p.

Stevenson, G.C. 1965. Genetics and Breeding of Sugar Cane. Longmans, London. 284 p.

Sutarjo, R.M.E. 1994. Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara, Jakarta. 76 hal.

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan juga kemudahan dalam menyelesaikan tugas akhir dengan judul

Tindak lanjut terhadap HA yang disampaikan kepada penyidik dalam publikasi ini masih terbatas pada tindak lanjut HA yang telah disampaikan oleh Penyidik kepada PPATK,

Video merupakan sajian gambar dan suara yang di tangkap oleh sebuah kamera, yang kemudian di susun kedalam urutan frame untuk di baca dalam satuan detik.. Animasi

Dari tabel 1 juga diketahui bahwa Salmonella typhi dapat bertahan hidup pada media transport modifikasi walaupun jumlah koloni masih relative lebih sedikit

kurangnya alat bukti dan dilakukannya pemisahan ( splitsing ) terhadap berkas perkara, sedangkan, pihak yang mendukung atas penggunaan saksi mahkota tersebut dalam proses

Adapun kerangka tektonik kawasan Laut Maluku dicirikan oleh adanya zona tumbukan yang sangat tebal (sekitar 14 km) dan lebarnya pada bagian tersempit mencapai 150 km,

GERAKAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH UNTUK MEMPERKUAT KARAKTER SISWA MELALUI HARMONISASI OLAH HATI (ETIK), OLAH RASA (ESTETIK), OLAH PIKIR (LITERASI), DAN OLAH RAGA (KINESTETIK)

Diagnosis utama pleuritis tuberkulosis berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian