• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PEMBANTU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PEMBANTU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PEMBANTU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

(Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)

Oleh

ANTONI FEBRIANSYAH

Tindak pidana yang terjadi saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa melainkan juga dapat dilakukan oleh pelaku yang masih tergolong anak, salah satu contoh tindak pidana yang pelakunya masih dalam kategori anak adalah Alfian Budiman yang masih berumur 17 tahun. Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memberi bantuan atau sarana pada saat melakukan pencurian dalam keadaan memberatkan”, yang dapat dilihat dari Putusan Perkara Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB., dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan pada Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap anggota polisi unit PPA Polresta Bandar Lampung, Jaksa Kejaksaan Negeri Kota Bumi, Hakim Pengadilan Negeri Kota Bumi dan Dosen bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa, mengelompokkan dan menyusun data.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan

(2)

dapat dijatuhi sanski pidana sesuai dengan Pasal 363 KUHP dan khusus mengenai sebagai pembantu diatur dalam ketentuan Pasal 57 ayat (1) KUHP yang harus dikurangi 1/3 (satu per tiga) dari ancaman hukuman maksimal dan dalam hal pelakunya masih tergolong anak sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Penerapan pidana penjara dalam pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang baru pertama kali melakukannya adalah tidak tepat apabila dilihat dari tujuan pemidanaan karena lingkungan penjara yang kurang tepat bagi anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak tersebut yaitu dakwaan jaksa, hasil penelitian masyarakat dari BAPAS (Balai Pemasyarakatan), tujuan pemidanaan, serta hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori

ratio decidendi.

Saran penulis yaitu agar hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap anak menerapkan sistem pemidanaan yang bersifat edukatif dalam bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus. Sejalan dengan hal ini, sebaiknya konsep keadilan

restoratif dan upaya diversi sebagaimana yang telah diatur didalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak untuk kedepannya. Serta hendaknya Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara menjadi pilihan terakhir (ultimum

remidium) dan Hakim hendaknya memandang terdakwa yang masih tergolong

anak sebagai subjek yang perkembangan jiwa dan masa depannya perlu dipertimbangkan, bukan dipandang sebagai objek atau penjahat yang harus dijatuhi pidana agar menjadi jera. Hakim juga harus lebih mempertimbangkan hal-hal yang bersifat non-penal daripada yang bersifat penal.

(3)

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PEMBANTU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

(Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)

Oleh

ANTONI FEBRIANSYAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PEMBANTU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN

(Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)

(Skripsi)

Oleh

ANTONI FEBRIANSYAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Mengenai Pemidanaan ... 19

B. Undang-Undang yang Mengatur tentang Anak ... 23

C. Pengertian Mengenai Anak ... 27

D. Pengertian Pembantu (medeplichtige) Pelaku Tindak Pidana... 30

E. Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan ... 32

F. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 39

B. Sumber dan Jenis Data ... 40

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

E. Analisis Data ... 44

(8)

pencurian dengan pemberatan ... 49 D. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan

terhadap anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan

pada perkara Nomor: 366/PID.B/ Anak/2012/PN.KB. ... 61

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 70 B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang membahayakan atau merusak masa depan anak.

Anak adalah karunia yang terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Hak asasi anak dilindungi di dalam Pasal 28 (B) ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak, Pengadilan Anak, Perlindungan Anak, dan Sistem Peradilan Pidana Anak pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

(10)

sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan bermanfaat untuk sesama manusia. Kondisi fisik dan mental seorang anak yang masih lemah seringkali memungkinkan dirinya di salah gunakan secara legal atau ilegal dan juga secara langsung atau tidak langsung oleh orang sekelilingnya.

Kenyataan-kenyataan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain: adanya dampak negatif dari arus globalisasi dan komunikasi serta informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan gaya hidup telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat, terlebih kepada perilaku anak, sehingga tidak jarang kita lihat banyak kejahatan yang dilakukan oleh anak.

Beberapa contoh kejahatan yang dilakukan oleh anak, diantaranya kasus pencurian sendal jepit yang dilakukan oleh AAL, kasus perkosaan yang dilakukan oleh I Gst MH di Bali, pencurian kotak amal di Padang yang dilakukan oleh F dan BMZ yang pada tanggal 28 Desember 2011 meninggal di Polsek Sijunjung1 serta tindak pidana lainnya oleh anak sangat bervariasi.

Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional) yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak itu sendiri. Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan

1

(11)

kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya kedalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang sedang disosialisasikan sebagai pembaharuan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, serta tertuang juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Peradilan anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya suatu keadilan. Tujuan peradilan anak tidak berbeda dengan peradilan lainnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak kini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.

(12)

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif baik bagi anak maupun bagi korban.

Tindak pidana yang terjadi saat ini banyak dilakukan oleh anak, tindak pidana yang sering dilakukan oleh anak adalah pencurian. Pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur merupakan suatu pencurian dengan cara-cara tertentu sehingga bersifat lebih ringan, namun dalam ketentuan hukum pidana dapat saja diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih berat, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun atau lebih dari pidana yang diancamkan dalam Pasal 362 KUHP. Hal ini diatur dalam Pasal 363 KUHP yang disebut dengan pencurian dalam keadaan memberatkan dengan ancaman pidana paling lama 7 (tujuh) tahun. Sedangkan tindak pidana penyertaan sebagai pembantu (medeplichtige) menurut Pasal 56 KUHP terdiri dari pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

(13)

ayat (1) ke-3, 4 dan ke-5 KUHP jo. Pasal 56 ayat 1 dan 2 KUHP. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kota Bumi Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB., terdakwa oleh hakim dinyatakan bersalah dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “memberikan bantuan melakukan pencurian dalam keadaan memberatkan”. Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa dengan

pidana 10 (sepuluh) bulan penjara dan berdasarkan tuntutan jaksa serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan hakim menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan penjara terhadap terdakwa.

Kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu bahwa ia terdakwa bersama-sama dengan Yanto (DPO) pada hari Sabtu tanggal 03 November 2012 sekira jam 02.00 WIB, atau setidak-tidaknya masih dalam tahun 2012, bertempat di SMP Negeri 2 Desa Tanjung Baru Kec. Bukit Kemuning Kab. Lampung Utara dengan berboncengan sepeda motor. Sesampainya di SMP Negeri 2 tersebut, Yanto (DPO) turun sedangkan terdakwa langsung pulang kerumah lalu Yanto (DPO) memanjat tembok SMP Negeri 2 Tanjung Baru dan setelah berhasil masuk di halaman SMP Negeri 2, Yanto (DPO) masuk kedalam kantor SMP Negeri 2 dengan cara merusak pintu kantor menggunakan linggis yang dibawanya. Setelah Yanto (DPO) berhasil mencuri di SMP Negeri 2 tersebut, kemudian Yanto (DPO) datang ke rumah terdakwa dan memberikan barang-barang hasil curian kepada terdakwa yang kemudian diterima serta disimpan oleh terdakwa sedangkan sebagian barang hasil curian tersebut dijual oleh Yanto (DPO).

(14)

Kehakiman memiliki kebebasan dalam menjatuhkan pidana, namun apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh seseorang yang pelakunya tergolong dalam usia anak dan hanya sebagai pembantu kejahatan seharusnya hakim dapat lebih mempertimbangkan putusan yang dijatuhkan.

Pertimbangan penjatuhan hukuman pidana oleh hakim terhadap terdakwa dirasa kurang tepat karena tergolong anak, pidana penjara merupakan upaya terakhir yang dapat dijatuhkan kepada anak, pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa dan dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga (Pasal 57 KUHP). Dalam menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kesejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut.

(15)

tentang Pengadilan Anak, maka sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif dengan tujuan untuk perlindungan hukum bagi Anak Nakal.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Analisis Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pembantu Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka yang jadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/ Anak/ 2012/ PN.KB.)?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/ Anak/2012/PN.KB.)?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(16)

Lingkup penelitian juga menunjukkan secara pasti faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.2

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai analisis pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan berdasarkan putusan Nomor: 366/PID.B/ Anak/2012/PN.KB. Penelitian akan dilakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Bumi pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui:

a. Pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada Putusan Nomor: 366/PID.B/ Anak/2012/PN.KB.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan pada Putusan Nomor: 366/PID.B/ Anak/2012/PN.KB.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana, khususnya mengenai pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan.

2

(17)

b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan dan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan, seperti aparat penegak hukum mengenai penyelesaian tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pembantu dalam pencurian dengan pemberatan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Bumi dan juga berguna untuk peneliti lain yang akan melakukan penelitian serta dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

1. Teori Tujuan Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan /pembinaan individu pelaku tindak pidana.

3

(18)

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:4 1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan)

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.

2. Teori Utilitarian (teori relatif atau teori tujuan)

Menurut pandangan dari teori ini, pemidanaan ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan jangan semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka seperti pada teori retributive, melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana dimasa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu kedepan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum (terpidana) dimasa yang akan datang.

3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan.

Ketiga teori diatas merupakan teori tujuan pemidanaan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 26 ayat (1) telah mengatur bahwa

4

(19)

dalam penjatuhan pidana terhadap anak telah ditentukan paling lama 1/2 (setengah) dari ancaman maksimum terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak-anak. Sanksi yang dijatuhkan terhadap anak dalam undang-undang juga ditentukan berdasarkan umur, yaitu bagi anak yang berumur 8 sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang telah berusia 12 sampai 18 tahun baru dapat dijatuhi pidana.

Konsep Keadilan Restoratif (restorative justice) sebagai penerapan asas diversi yang telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak. Diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.

(20)

2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto5, hakim memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditujukan padanya;

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu:

5

(21)

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pasal 184 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli; c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terkdawa.

Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:6

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara

6

(22)

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

(23)

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.7

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penilitian, maka akan dijelaskan terlebih dahulu tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penilitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.8

b. Pemidanaan adalah suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhkan sanksi (hukum pidana).9

7

Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 132. 8

Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hal. 32.

9

(24)

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang antisosial.10

d. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

e. Pembantu (medeplichtige), yaitu mereka:

1. Orang-orang yang dengan sengaja membantu atau memberikan bantuan pada saat kejahatan sedang dilakukan.

2. Orang-orang yang dengan sengaja memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.11

f. Pencurian dengan pemberatan

Pencurian dengan pemberatan atau kualifikasi adalah suatu pencurian dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari pasal 362 KUHP.12

E. Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara

10

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hal. 9. 11

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Op. Cit., hal. 156. 12

(25)

satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan untuk mengetahui serta untuk lebih memudahkan memahami materi yang ada dalam skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang penulisan, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pembantu dalam pencurian dengan pemberatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

(26)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari karakteristik responden, pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pemidanaan yang dilakukan oleh anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Bumi.

V. PENUTUP

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Mengenai Pemidanaan

L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the

sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and

punishment).1 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan

diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Subtantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.2

Barda Nawawi Arief bertolak dari pengertian di atas menyatakan bahwa apabila aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana subtantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan

1

Barda Nawawi Arief. Op. Cit., hal. 23. 2

(28)

khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana subtantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.3

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu: 1. Teori Retribution atau Teori Pembalasan

Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

e. Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.4

3

Ibid., hal. 135. 4

(29)

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: a. Pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.5

3. Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara

5

(30)

terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.6

Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana (positif) dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis. Hakekatnya dengan mengenal, menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif itu, berarti menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana. Asas-asas dasar dalam hukum pidana adalah Asas-asas legalitas dan Asas-asas kesalahan.

a. Asas Legalitas

Asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa latin, yaitu: “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Artinya secara harafiah adalah: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali telah ditentukan

terlebih dahulu dalam undang-undang”.7 Asas legalitas dalam KUHP dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1), yaitu tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

6

Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Op. Cit., hal. 33. 7

(31)

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia membawa konsekuensi dalam penerapan hukum pidana, baik dalam praktek peradilan maupun masyarakat. Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) konsekuensi utama dianutnya asas legalitas ini8, yaitu:

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam undang-undang pidana.

2. Tidak boleh menggunakan analogi di dalam menerapkan undang-undang pidana.

3. Undang-Undang Pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif).

b. Asas Kesalahan

Dalam hukum pidana dikenal asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan

(geenstraf zonder schuld). Walaupun asas ini tidak tercantum secara tegas dalam

KUHP maupun peraturan lainnya, berlakunya asas ini tidak diragukan lagi. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu hukum pidana itu sendiri, yang semula menitikberatkan pada perbuatan yang kemudian berkembang ke arah hukum pidana yang menitikberatkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari perbuatan.9

B. Undang-Undang yang Mengatur tentang Anak

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pengaturan tentang model pemidanaan baik berupa pidana maupun tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 23 dan 24 Undang-Undang

8

Ibid., hal. 39. 9

(32)

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47 KUHP. Ketentuan dari ketiga pasal KUHP tersebut telah dicabut oleh Pasal 67 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Dengan demikian ketentuan hukum pidana yang mengatur ketentuan tentang anak saat ini ada diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Konsekuensi dicabutnya ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP menyebabkan sistem pemidanaan terhadap anak tidak lagi merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.

(33)

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1

“Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.”

Pasal 2

a) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang yang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; b) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;

c) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;

d) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

(1) Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2) Anak Nakal adalah:

a. anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pasal 23

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. pidana penjara

(34)

c. pidana denda; atau d. pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Pasal 24

(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk :

a. menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

(35)

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: butir 1

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

butir 6

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

butir 7

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradian pidana ke proses di luar peradilan pidana.

C. Pengertian Mengenai Anak

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif

Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau

person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur

(minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di

bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).10

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri

10

(36)

terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak itu.11

Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat diketemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang ada dalam kandungan”.

Pengertian Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu:

“Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur

8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010, maka anak dalam UU Pengadilan anak mengalami perubahan, yang semula Anak adalah “orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. 

Berubah menjadi: Anak adalah “orang yang dalam perkara Anak nakal telah

mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.12

Pengertian Anak Nakal menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu:

11

Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, 2000, hal. 24.

12

(37)

Anak Nakal adalah:

a. anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Anak, bagi seorang anak yang belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, akan tetapi bila anak tersebut melakukan tindak pidana dalam batas umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia tetap dapat diajukan ke sidang pengadilan anak.

(38)

D. Pengertian Pembantu (medeplichtige) Pelaku Tindak Pidana

Suatu perbuatan pidana dapat dilakukan oleh beberapa orang, dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan itu sifatnya berlainan. Penyertaan

(Deelneming) dapat terjadi sebelum perbuatan dilakukan, yaitu dengan jalan

mempengaruhi orang lain sedemikian rupa untuk melakukan perbuatan pidana (menyuruh lakukan, menganjurkan), atau dengan jalan memberikan upaya kepada orang lain untuk dapat melaksanakan perbuatan pidana yang dimaksud.13

Demikian pula dapat terjadi, penyertaan dilakukan bersamaan dengan terjadinya tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh lebih dari satu orang (turut serta) atau memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Dengan demikian, penyertaan tindak pidana dapat dilakukan sebelum dan pada saat/bersamaan terjadi tindak pidana.

Bentuk-bentuk penyertaan di dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 sebagai berikut:

Pasal 55 KUHP:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP:

13

(39)

Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Mengenai ancaman hukuman pidana terhadap pembantu (medeplichtige) pelaku tindak pidana diatur dalam Pasal 57 KUHP, yaitu:

(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.

(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.

(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.

Peserta yang tersangkut dalam suatu kejahatan, menurut Negara Belanda dan Indonesia digolongkan menjadi:14

1. Pembuat (Dader) yang meliputi: a. Pelaku itu sendiri (pleger).

b. Penyuruh yaitu orang yang menyuruh lakukan tindak pidana (doenpleger). c. Turut serta melakukan tindak pidana (medepleger).

d. Penganjur yaitu orang yang menganjurkan untuk melakukan tindak pidana (uitlokker).

2. Pembantu (Medeplichtige), yaitu mereka:

a. Orang-orang yang dengan sengaja membantu atau memberikan bantuan pada saat kejahatan sedang dilakukan.

14

(40)

b. Orang-orang yang dengan sengaja memberikan kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Pembantu (medeplichtige) menurut Pasal 56 KUHP terdiri dari: 1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan.

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

E.Pengertian Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan dalam KUHP dan ketentuan undang-undang lainnya. Sedangkan tindak pidana menurut Simons adalah kelakuan atau suatu perbuatan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.15

Rumusan pidana yang lengkap mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld). c. Melawan hukum (onrechtmatig).

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand).

e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).16

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, yang disebut dengan delik menurut wujud dan sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan

15

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1999, hal. 88. 16

(41)

hukum, perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat pelaksanaan tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.17

2. Pencurian dengan Pemberatan

Istilah pencurian dengan pemberatan secara doctrinal disebut sebagai pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat dilihat dalam pasal 363 KUHP, yaitu:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: 1. pencurian ternak;

2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk

sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

17

(42)

F. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.18

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

18

(43)

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:

1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah:19

1. Faktor Subyektif, yaitu: a. Sikap perilaku apriori

Hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah

19

(44)

penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

b. Sikap perilaku emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c. Sikap arogan (arrogance power)

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2. Faktor Obyektif, yaitu:

a. Latar belakang sosial budaya

(45)

dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills (keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana. Untuk menelaah keputusan hakim lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusannya. Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.

(46)
(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah.

1

(48)

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.2

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu: 1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap anggota polisi Polresta Bandar Lampung dan aparat penegak hukum yang terkait dengan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.).

2. Data Sekunder

Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari:

2

(49)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang di bahas dalam skripsi ini. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi Putusan Pengadilan Negeri Kota Bumi Nomor: (366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.), Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(50)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Kajian lebih lanjut penentuan populasi dan sampel sangat penting dalam penelitian. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.3 Dalam penelitian ini yang dijadikan populasi adalah Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung, Hakim dari Pengadilan Negeri Kota Bumi, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Kota Bumi dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Adanya populasi dalam penelitian ini secara otomatis akan menimbulkan adanya sampel. Sampel yaitu sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi.4 Dalam penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode pengambilan sampel Purposive Sampling atau tidak acak yaitu yang berarti dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang telah dicapai atau dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai dan kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi terhadap masalah yang hendak diteliti atau dibahas. Dalam hal ini penulis memilih petugas yang benar-benar memiliki kualifikasi dalam pelaksanaan tugasnya sehingga yang akan dijadikan sampel dan menjamin penelitian.

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) orang, yaitu: 1. Penyidik pada Kepolisian Polresta Bandar Lampung = 1 orang 2. Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Bumi = 2 orang 3. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kota Bumi = 1 orang

3

Ibid., hal. 172. 4

(51)

4. Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung =1orang+

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Reseach)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara

(interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

(52)

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan/mengelompokkan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data. c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data

pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

(53)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

(54)

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak sebagai pembantu pencurian dengan pemberatan dalam Perkara Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB., yaitu dakwaan jaksa, hasil penelitian masyarakat dari BAPAS (Balai Pemasyarakatan), tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dengan harapan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Mackenzei, yaitu teori keseimbangan, teori pendekatan seni dan intuisi, serta teori ratio decidendi.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan analisis pemidanaan terhadap anak sebagai pembantu tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 366/PID.B/Anak/2012/PN.KB.)sebagai berikut:

1. Hakim dalam memberikan pertimbangan putusan pemidanaan, harus lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih tergolong anak, sebaiknya hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap anak menerapkan sistem pemidanaan yang bersifat edukatif dalam bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus. Sejalan dengan hal ini, sebaiknya konsep keadilan restoratif dan upaya diversi sebagaimana yang telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak untuk kedepannya.

(55)
(56)

DAFTAR PUSTAKA a. Literatur

Andrisman, Tri. 2011. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana

Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

. 2009. Delik Khusus Dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

. 2011. Hukum Peradilan Anak. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 1999. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Muladi dan Barda Narwawi Arief. 1998. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia (Teori Praktek dan

Permasalahannya). Bandung: CV. Mandar Maju.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum

Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Ghalia Indonesia.

(57)

. . 1984. Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta: CV Rajawali. Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum

UNDIP.

. .1986. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru.

Sunggono, Bambang. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Wadong, Maulana Hasan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo.

Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

b. Peraturan Perundang-undangan

Tim Redaksi. 2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2009. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2012. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Jakarta: Sinar Grafika.

Tim Redaksi. 2013. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Bandung: Fokus Media.

Tim Redaksi. 2010. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Jakarta: Sinar Grafika.

c. Sumber lain

Tim Penyusun Kamus. 1997. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa pengertian bimbingan kelompok diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang

D. Guru menugaskan siswa untuk menilai hasil analisis dokumen tahap pra-produksi dengan menggunakan format penilaian yang sudah ada dengan jujur dan bertanggungjawab.. E. Siswa

Dengan prinsip hall effect , sensor tegangan LV 25-P dan sensor arus LA 55-P digunakan untuk mengambil data tegangan dan arus di titik yang perlu di monitoring pada

menunjukkan surat keterangan dokter,lebih sempur- na lagi bila itu dari dokter specialis kandungan, yang menyatakan bahwa ia dalam keadaan tidak ha- mil,maka ia segera

Kesimpulan : Pemberian ekstrak daun kersen dosis 42 mg/200 gram BB dan 84 mg/200 gram BB dapat menghambat kenaikan kadar enzim ALT pada tikus yang diinduksi asetaminofen..

Hebrank (dalam Shidarta, 2007:1) menyatakan bahwa pedagogi (cara mengajar) menganjurkan untuk suatu pendekatan inkuiri, yang melibatkan siswa secara aktif

hasil ini dapat diartikan bahwa adanya materi, metode, dan jadwal diklat yang sesuai serta manfaat diklat yang baik akan dapat meningkatkan kinerja karyawan, baik

Dari segi memaknai pekerjaannya, dari keenam Subjek Penelitian yang merupakan pemadam kebakaran perempuan (Srikandi Baruna) bekerja bukan karena tuntutan ekonomi