• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian bioprospeksi spons laut asal taman nasional kepulauan Wakatobi dan implikasi pengelolaannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian bioprospeksi spons laut asal taman nasional kepulauan Wakatobi dan implikasi pengelolaannya"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI

DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

ENDAR MARRASKURANTO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan Implikasi Pengelolaannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010

(3)

direction of YUSLI WARDIATNO, ZAIRION, and SINGGIH WIBOWO.

Most of eastern region of Indonesian waters are located in biodiversity center of coral triangle ecoregion and Wakatobi Archipelago Marine Park is one of them. Marine sponge is one of prominent benthic marine organism in coral reef. It is one of the prolific sources of pharmacological bioactive substances that are useful for drug development. About 30% of potentially natural products for drug lead had been isolated from marine sponges. Their bioactive substance has varied potential such as anticancer, antivirus, antimicrobe, anti-inflamation, and antimalaria. Based on preliminary cytotoxic assay on sponge crude extracts in 2008, marine sponge extracts (code W-19-08 and W-36-08) were among marine sponges collected from Wakatobi Archipelago National Park that had the potential of its cytotoxic activity. The purpose of this research were to examine sponge crude extract Lethal Concentration (LC50) and to describe human breast cancer cell line T47D morphology after treating with crude extract. The in vitro

cytotoxicity assay was conducted using MTT method. In vitro cytotoxicity assay showed that marine sponge extracts W-19-08 and W-36-08 bioactivity were considered to medium with the LC50 value of 156.14 and 97.04 ppm, respectively. The cell line T47D morphology showed that these extracts were considered of having cytostatic properties.

(4)

YUSLI WARDIATNO, ZAIRION, dan SINGGIH WIBOWO.

Salah satu proses penemuan dan pengembangan obat yang bersumber dari produk alami laut adalah bioprospeksi. Kajian bioprospeksi mengungkapkan potensi farmakologi yang dimiliki produk alami laut yang dihasilkan avertebrata laut. Spons laut yang diklasifikasikan ke dalam Filum Porifera dan bersama karang batu serta karang lunak termasuk hewan bentos yang menonjol di terumbu karang. Potensi farmakologi metabolit sekunder yang dihasilkan spons beragam mulai dari sitotoksik, antikanker, antivirus, antiinflamasi, antimikroba, dan lain-lain. Penelitian potensi farmakologi dari spons laut terus dilakukan sejak hampir tiga dekade sebelumnya penelitian potensi farmakologi spons laut asal Indonesia pertama kali dilakukan.

Pada tahun 2008, dua sampel spons asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi diketahui memiliki potensi sitotoksik terhadap sel lestari kanker payudara T47D. Kedua sampel dengan kode W-19-08 dan W-36-08 diperoleh dari perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Persentase kematian sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak kasar kedua sampel menunjukkan potensi sitotoksik yang tinggi dimiliki kedua sampel. Sejak saat itu, kedua sampel dalam bentuk biota utuh tersimpan di dalam pendingin beku -20oC selama 16 bulan.

Taman Nasional Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi karena posisi geografisnya yang terletak berdekatan dengan pusat segitiga terumbu karang. Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNK Wakatobi) terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Pulau Buton dan Laut Banda. Di sebelah selatan dibatasi oleh Laut Flores, di sebelah timur dibatasi oleh Laut Banda, dan sebelah barat dibatasi Pulau Buton dan Laut Flores.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menjajaki potensi sumberdaya spons yang diperoleh di Taman Nasional Wakatobi dibandingkan dengan potensi sumberdaya spons di perairan kawasan Indonesia Timur yang lain; (2) Menghitung konsentrasi ekstrak kasar yang mengakibatkan kematian 50% sel lestari kanker payudara T47D (Lethal Concentration/LC50) dan menerangkan respon sel uji tersebut terhadap ekstrak kasar sampel spons W-19-08 dan W-36-08; (3) Menerangkan respon sel lestari kanker payudara T47D terhadap ekstrak kasar sampel spons W-19-08 dan W-36-08 berdasarkan perubahan morfologi sel uji sebelum dan sesudah perlakuan dengan ekstrak kasar spons.

(5)

absorbansi sumuran sel uji ditambah ekstrak spons, dan absorbansi sumuran kontrol media. Lethal Concentration (LC50) ekstrak kasar spons dihitung dengan analisis probit. Persentase kematian sel uji dikonversi menjadi angka probit berdasarkan tabel probit (Lampiran 1). Plot log konsentrasi versus angka probit masing-masing sebagai sumbu x dan sumbu y digunakan untuk mencari nilai LC50 dari persamaan regresi yang diperoleh. Pengamatan perubahan morfologi sel uji dilakukan di bawah mikroskop inverted dengan pembesaran 100x.

Hasil perhitungan Lethal concentration (LC50) ekstrak kasar diperoleh spons W-19-08 memiliki LC50 sebesar 156,14 ppm dan spons W-36-08 sebesar 97,04 ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak kedua spons memiliki bioaktivitas dengan kategori menengah. Pengamatan mikroskopis sel uji T47D menunjukkan telah terjadi perubahan morfologi sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak kedua sampel spons dan berdasarkan hasil bioaktivitasnya, ekstrak kedua sampel spons dikategorikan bersifat sitostatik.

Keanekaragaman spons laut di kawasan timur perairan Indonesia sangat tinggi. Data sekunder menunjukkan terdapat 100 spesies spons teridentifikasi di dua lokasi terumbu di Sampela dan Pulau Hoga perairan Kepulauan Wakatobi. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya spons yang terdapat di perairan Kepulauan Wakatobi sangat tinggi.

Tingginya potensi sumberdaya spons di perairan Kepulauan Wakatobi dan kandungan metabolit sekundernya yang memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai bahan baku obat, pengelolaan sumberdaya spons yang tepat sangat diperlukan agar ketersediaan sumberdayanya tidak punah dan pemanfaatannya tetap dapat meningkatkan perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, kemajuan yang telah dicapai bidang bioteknologi laut sangat perlu dikembangkan di Indonesia melalui kolaborasi dengan ilmuwan-ilmuwan terkait di luar negeri.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI

DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

ENDAR MARRASKURANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

segala karunia dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan Implikasi Pengelolaannya”.

Penelitian dan proses penulisan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas prakarsa berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., Ir. Zairion, M.Sc, dan Dr. Ir. Singgih Wibowo, MS selaku komisi pembimbing yang telah membantu dan memberikan perhatian, arahan, tenaga, waktu, dan saran dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Etty Riani, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan beserta staf pengajar yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman terkait pengelolaan pesisir dan lautan.

4. Staf sekretariat SPL (Pak Zainal, Mbak Ola, Dindin dan Aji) yang banyak membantu selama masa perkuliahan di SPL-IPB.

5. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich COREMAP II-ADB.

6. COREMAP II – ADB, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas kesempatan

pendidikan dan beasiswa yang diberikan.

7. Prof. Dr. H. Hari Eko Irianto selaku Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2B-KP) serta Dr. Ekowati Chasanah, M.Sc selaku Kepala Kelompok Peneliti Bioteknologi atas ijinnya untuk mengikuti program beasiswa ini.

8. Bapak H. Sutarno, Ibu Hj. Sri Supeni, SH dan adik yang telah memberikan doa dan bantuan moril.

9. Istriku tercinta dr. Santi Sinarwati, anak-anakku tersayang Daffa dan Radhit yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan doa dalam mengikuti pendidikan ini.

10. Rekan-rekan SPL-Sandwich COREMAP II-ADB atas kebersamaannya

selama mengikuti masa studi.

11. Rekan-rekan peneliti dan teknisi di laboratorium Instrumen dan Bioteknologi BBRP2B-KP Jakarta atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama penelitian.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan atas pembiayaan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini melalui APBN TA 2009.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Oktober 2010

(11)
(12)

xxi

(13)

xxiii

Halaman

1 Posisi geografis, jumlah, kode, dan prediksi taksonomi spons

yang dikoleksi di stasiun 1 dan stasiun 4 ... 27

2 Nilai berat sampel basah (gram) dan rendemen ekstrak kasar (%)

sampel spons W-19-08 dan W-36-08 ... 30

3 Nilai LC50 ekstrak kasar sponge W-19-08 dan W-36-08

(14)

xxv

Halaman

1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal ... 8

2 Lokasi penelitian di Kepulauan Wakatobi ... 20

3 Jumlah sampel spons dikoleksi di stasiun 1 (barat Pulau Wangi-

wangi) dan stasiun 4 (selatan Pulau Hoga) ... 25

4 Spons W-19-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B) ... 28

5 Spons W-36-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B) ... 28

6 Persentase kematian sel lestari tumor T47D setelah perlakuan dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 (Keterangan:

(---) batas persentase kematian 50%) ... 31

7 Sel uji T47D tanpa perlakuan ekstrak kasar (sel normal T47D

ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 34

8 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-19-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang

berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 35

9 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-36-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang

berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 35

10 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-19-08 konsentrasi 30 ppm

(ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 36

11 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-36-08 konsentrasi 30 ppm

(15)

xxvii

Halaman

1 Spesies-spesies spons dan metabolit sekunder yang dihasilkan ... 49

2 Spesies-spesies spons dan metabolit sekundernya yang memasuki

tahap uji pra-klinis dan klinis ... 51

3 Tabel probit ... 52

4 Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar spons W-19-08

dan W-36-08 ... 53

5 Contoh perhitungan persentase kematian dan penentuan LC50 ... 54

(16)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagian besar perairan kawasan timur Indonesia terletak di pusat

keanekaragaman hayati ekosistem segitiga terumbu karang atau coral triangle. Batas coral triangle meliputi enam negara antara lain Filipina, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Hal ini

menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan

keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan juga didukung kenyataan

bahwa laut Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas di dunia, yaitu

51.020 km2 atau sekitar 17,95% dari luas seluruh terumbu karang di dunia dan

kedudukannya merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle). Salah satu wilayah di kawasan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam segitiga

terumbu karang adalah perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi.

Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mendukung

keberadaan biota yang berasosiasi, baik ikan maupun biota lainnya. Ekosistem

terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari

makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan dan organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Terumbu karang yang sehat tidak hanya menyediakan manfaat bagi ikan

dan biota laut lainnya yang berasosiasi dengannya tetapi terumbu karang juga

menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia, antara

lain perikanan, pariwisata, nilai-nilai keindahan dan budaya. Terumbu karang juga

merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna

dalam farmasi dan kedokteran (Dahuri 2003). Diperkirakan lebih dari 35.000

spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil bahan obat-obatan,

sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Dahuri 2000).

Secara ekologis, substansi bioaktif adalah metabolit sekunder yang

dikeluarkan oleh biota laut dan berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan

hidup suatu organisme dan dapat pula berfungsi sebagai senjata kimia untuk

(17)

merupakan produk alami laut yang memiliki aktivitas biologis dan berpotensi

untuk dapat diaplikasikan dalam bidang farmasi dan kedokteran terutama sebagai

obat, bahan baku obat (drug leads), dan kosmetika.

Beberapa biota laut yang menghasilkan metabolit sekunder sebagian besar

didominasi oleh avertebrata laut antara lain spons, karang lunak, bryozoa,

tunikata, dan lain-lain (Hunt & Vincent 2006). Munro et al. (1999) mengungkapkan filum Porifera merupakan filum yang paling banyak diteliti

potensi metabolit sekundernya, kemudian diikuti Cnidaria, Moluska, Chordata

(subfilum Urochordata) dan Ekinodermata. Spons laut merupakan hewan yang

paling dominan dalam filum Porifera, bersama karang batu dan karang lunak,

spons laut termasuk bentos yang menonjol di terumbu karang.

Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan

senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, poliketida dan

lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang dimilikinya pun sangat

beragam antara lain bersifat sitotoksik, antitumor/antikanker, antivirus, antimikroba, antiinflamasi, antimalaria, dan lain-lain (Guyot 2000). Penelitian

potensi metabolit sekunder yang dimiliki spons asal perairan di Indonesia sudah

dimulai sejak hampir tiga dekade yang lalu saat Corley et al. (1988) mengisolasi laulimalida dan isolaulimalida dari spons Hyatella sp. yang memiliki sifat sitotoksik. Senyawa antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia

sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan tujuh senyawa toksik berhasil

diidentifikasi dari ekstrak spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat,

Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons

(18)

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan (BBRP2B-KP) melaksanakan Riset Isolasi dan Uji Farmakologi

Senyawa Bioaktif dari Biota Laut pada tahun 2008. Salah satu judul sub kegiatan

risetnya yaitu Uji Hayati (in vitro) Bioaktivitas Bahan Aktif dari Makroinvertebrata Laut dan Isolasi Simbionnya dengan penekanan pada

Karakterisasi Kimia dan Bioaktivitas Senyawa Bioaktif dari Makroinvertebrata

Laut. Salah satu lokasi dalam kegiatan ini adalah Taman Nasional Kepulauan

Wakatobi dan dilaksanakan pada bulan April 2008 dan mengambil lokasi di 4

(empat) pulau, yaitu pulau Wangi-wangi, pulau Kapota, pulau Kaledupa, dan

pulau Hoga. Kegiatan tersebut berhasil mengumpulkan 73 sampel avertebrata laut

yang tersebar di keempat stasiun (BRKP 2009).

Hasil Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Wakatobi tahun

2007 mengungkapkan bahwa persentase tutupan rata-rata karang hidup di perairan

Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa masing-masing sebesar 55,42% dan

44,63%, sehingga kondisi terumbu karang di perairan tersebut masing-masing

termasuk kedalam kategori baik dan sedang (CRITC COREMAP II-LIPI 2007).

Berdasarkan uraian di atas, kajian ini masih memiliki peluang yang terbuka

lebar mengingat tingginya keanekaragaman hayati laut yang dimiliki Taman

Nasional Kepulauan Wakatobi, keanekaragaman kandungan metabolit sekunder

dari spons laut dan potensi terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang

dunia (coral triangle).

1.2 Perumusan Masalah

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan (BBRP2B-KP) melaksanakan Riset Isolasi dan Uji Farmakologi

Senyawa Bioaktif dari Biota Laut pada tahun 2008. Tim peneliti bioteknologi

melakukan sampling sebanyak 73 sampel avertebrata laut di 4 (empat) stasiun di

dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Keempat stasiun tersebut

antara lain pesisir Pulau Kapota, Tanjung Sombano Kaledupa, pesisir Pulau Hoga,

(19)

menunjukkan terdapat 20 sampel karang lunak, satu sampel ascidian, 51 sampel

spons, dan satu biota tak teridentifikasi (BRKP 2009).

Tahap awal kajian bioprospeksi bertujuan memperoleh sejumlah kecil

sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Sejumlah 51 sampel ekstrak kasar spons diuji aktivitas biologis sitotoksik dan hasilnya

menunjukkan 2 sampel spons kode W-19-08 dan W-36-08, yang masing-masing

diperoleh dari Pulau Wangi-wangi (stasiun 1) dan Pulau Hoga (stasiun 4),

memiliki aktivitas yang toksik terhadap 2 sel lestari tumor leher rahim (HeLa) dan

payudara (T47D) dengan persentase kematian sel uji masing-masing ekstrak kasar

spons 87,52% dan 100% serta 58,45% dan 100% pada konsentrasi ekstrak 30 ppm

(BRKP 2009).

Kedua sampel spons disimpan dalam keadaan utuh (spesimen biota laut) di

dalam pendingin beku -20oC selama 16 bulan. Upaya untuk menelusuri kembali

aktivitas biologis kedua sampel dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan setelah masa penyimpanan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian difokuskan pada dua sampel spons W-19-08 dan W-36-08 yang

masing-masing diperoleh di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga dan memiliki

tujuan:

1. Menjajaki potensi sumberdaya spons yang diperoleh di Taman Nasional

Wakatobi dibandingkan dengan potensi sumberdaya spons di perairan

kawasan Indonesia Timur yang lain.

2. Menghitung konsentrasi ekstrak kasar yang mengakibatkan kematian 50% sel

lestari kanker payudara T47D (Lethal Concentration/LC50) dan menerangkan respon sel uji tersebut terhadap ekstrak kasar sampel spons 19-08 dan

W-36-08.

3. Menerangkan respon sel lestari kanker payudara T47D terhadap ekstrak kasar

sampel spons W-19-08 dan W-36-08 berdasarkan perubahan morfologi sel uji

(20)

Selain dapat bermanfaat sebagai pengetahuan dan pendukung bagi para

pengelola pesisir dan lautan pentingnya sumberdaya spons yang terdapat di

terumbu karang, penelitian ini diharapkan juga dapat menghasilkan dan

menambah informasi mengenai:

1. Aktivitas ekstrak spons yang telah melalui masa simpan selama 1 tahun;

(21)
(22)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioprospeksi

Bioprospeksi didefinisikan sebagai pengambilan biota laut yang akan

digunakan untuk proses penemuan, pengembangan dan jika memungkinkan,

penyediaan bahan obat secara komersial (Hunt & Vincent 2006). Kajian

bioprospeksi merupakan bagian dari penelitian penemuan dan pengembangan obat

dari bahan alami laut dan bioprospeksi merupakan tahap awal dalam proses

penemuan tersebut (Dewi et al. 2008).

Bioprospeksi melibatkan pengambilan ribuan biota laut telah dikoleksi dari

habitatnya untuk memenuhi harapan dapat menemukan substansi bioaktif baru

dan mengembangkannya menjadi obat. Pengambilan awal biasanya bersifat luas

dan spekulatif untuk memaksimalkan kemungkinan ditemukannya substansi

bioaktif atau metabolit sekunder. Proses selanjutnya melibatkan proses ekstraksi

dan maserasi untuk memperoleh ekstrak. Kemudian ekstrak yang diperoleh dari

sekian banyak sampel bahkan ribuan diuji aktivitas biologisnya terhadap berbagai

target penyakit menular atau kanker melalui uji in vitro untuk memperoleh sejumlah kecil sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Untuk mengembangkan hit menjadi kandidat untuk uji pra-klinis atau disebut sebagai lead, ekstrak dianalisis lebih lanjut melalui proses fraksinasi, isolasi, dan kromatografi untuk penentuan struktur senyawa aktif. Proses ini dapat saja

membutuhkan sekitar 50.000 – 100.000 senyawa aktif untuk memperoleh satu

lead (Hunt & Vincent 2006). Kunci utama bioprospeksi adalah menyediakan ribuan senyawa yang memiliki keunikan struktur kimia dan bioaktivitas (Kursar et al. 2007 in Dewi et al. 2008). Secara umum, proses ini dapat terlihat pada Gambar 1.

Hingga saat ini, sebagian besar sumber substansi bioaktif adalah metabolit

sekunder yang berasal dari avertebrata laut yang bertubuh lunak dan menempel

pada substrat (sessile), seperti Porifera (spons), Cnidaria (ubur-ubur, karang batu, karang lunak, anemone laut), dan Urochordata (ascidian). Hal ini disebabkan

(23)

menggunakan tangan pada saat penyelaman dari habitat dengan keanekaragaman

yang tinggi, dangkal dan perairan yang hangat seperti terumbu karang (Hunt &

Vincent 2006).

Gambar 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal.

Proses di atas disebut juga sebagai bioassay-guided fractionation atau fraksinasi dipandu uji bioaktivitas menggunakan sel lestari kanker atau pun biota

lain seperti Artemia salina (brine shrimp lethality test atau BSLT). Proses utama

Aktif

Tidak

aktif Tidak

aktif

Senyawa Murni Sampel-sampel Spons

Analisis Kromatografi Subfraksi Fraksinasi Ekstrak kasar

Uji Aktivitas Sitotoksik Analisa tidak

diteruskan

Uji Aktivitas Sitotoksik Analisa tidak

diteruskan

Ekstraksi

(24)

yang terlibat dalam proses ini adalah ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi.

Ekstraksi dilakukan dengan melakukan perendaman atau maserasi sampel biota

laut di dalam larutan kimia seperti alkohol untuk memperoleh ekstrak kasar.

Ekstraksi didefinisikan sebagai suatu metode pemisahan atau pengambilan secara

selektif zat terlarut dari campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut

dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi,

suhu, dan jenis pelarut yang digunakan (Triyulianti 2009). Metode ekstraksi yang

digunakan pada penelitian ini adalah metode fase organik karena dalam prosesnya

digunakan pelarut organik yaitu berupa alkohol teknis (96%) atau etanol.

Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan

ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda

(Parenrengi 1999 in Triyulianti 2009). Fraksinasi merupakan kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan melibatkan uji bioaktivitas untuk

menentukan apakah ekstrak memiliki aktivitas atau tidak.

Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan komponen

senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik digunakan untuk

menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada suatu senyawa campuran,

dimana pemisahan kromatografi dapat memurnikan sejumlah besar sampel

molekul. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran dipengaruhi oleh

sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi

komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut

dengan fase gerak (Harborne 1987; Gritter et al. 1991).

Tahap pengembangan, senyawa aktif lead memasuki standar uji pra-klinis dan klinis. Untuk menyiapkan uji ini, biasanya akan dibutuhkan bahan baku

tambahan yaitu sampel biota laut. Proses pengambilan kembali (re-collection) sampel spesies yang merupakan kandidat atau lead (Hunt & Vincent 2006). Pada tahap kedua ini kuantitas sampel (per spesies) yang diambil akan lebih banyak

daripada kuantitas sampel pada tahap pertama. Hal ini disebabkan:

1. sangat rendahnya konsentrasi alami senyawa aktif yang terkandung sehingga

(25)

untuk menjamin jumlah ekstrak pada proses pengembangan obat lanjutan (uji

klinis) (Mendola 2003);

2. kompleksnya struktur kimia metabolit sekunder sehingga mempersulit

industri farmasi dalam usahanya melakukan sintesis dan berpotensial tidak

ekonomis (Faulkner 2000).

Memasuki uji pra-klinis, senyawa aktif lead akan diuji melalui uji in vivo

dengan menggunakan hewan dalam serangkaian tesnya. Sedangkan dalam uji

klinis, senyawa aktif lead langsung diuji coba pada manusia. Biasanya satu dari 50 lead akan menghasilkan obat yang dapat dipasarkan (Hunt & Vincent 2006).

Kedua proses baik penemuan maupun pengembangan membutuhkan waktu

15 tahun, diantaranya fase penelitian dan klinis membutuhkan waktu hingga 13

tahun ditambah fase akhir yang sifatnya administratif selama dua sampai tiga

tahun (UNU-IAS Report 2005 in Dewi et al. 2008). Proses pengembangan obat baru sangat mahal dan membutuhkan dana sebesar 900 juta US dollar atau

melebihi 1 miliar US dollar untuk menghasilkan suatu produk mulai dari konsep

hingga ke pasar (Hunt & Vincent 2006; Lindberg 2006 in Dewi et al. 2008).

3.2 Biologi Spons

Menurut Pechenik (2005), spons diklasifikasikan ke dalam kingdom

Animalia atau hewan, subkingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons

dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori

dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori. Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid.

Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid. Berdasarkan

komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu:

Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas

ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki

struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu

karang yang gelap (Pechenik 2005).

Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara

(26)

organismenya sangat banyak. Umumnya berbentuk masif dan berwarna cerah

dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar yang

mengandung cambuk kecil yang berbentuk bundar. Spikulanya ada yang terdiri

dari silikat dan ada beberapa spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat

kolagen atau tanpa spikula yaitu terdapat dalam famili Dictyoceratida,

Dendroceratida, dan Verongida.

Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang

berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya

disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut

sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons

pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti

dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna

dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di

lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup

pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Walaupun terlihat tidak memiliki pertahanan, spesies-spesies ini jarang

dimakan oleh beberapa jenis ikan dan kepiting. Kenyataan inilah yang dijadikan

acuan bahwa spesies-spesies tersebut memiliki semacam mekanisme pertahanan

diri (Castro & Huber 2007). Sebagian besar spons laut yang bersifat sessile

mengandung sistem imun yang primitif dan menghasilkan senyawa kimia yang

bersifat toksik sebagai bentuk pertahanan dirinya. Beberapa senyawa ini memiliki

aktivitas farmakologi karena interaksi mereka dengan reseptor dan enzim yang

spesifik (Amador et al. 2003).

Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana

partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali.

Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap

(27)

yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte

berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel

plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih

besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam

pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert &

Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai

tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia.

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya

diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba

simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara

genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut

(Fieseler et al. 2004 in Sjögren 2006).Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001) in Thakur & Müller (2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh

komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh

spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut

memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi

ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang

melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa

bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007).

Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan

pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran

penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup

secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien

melalui proses fotosintesis (Hoffmann et al. 2005 in Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil

(28)

berasosiasi dengan spons inilah yang menjadi penghasil senyawa metabolit

sekunder yang mempunyai aktivitas biologis (Proksch 2003).

Secara ekologis, spons yang mengalami tekanan evolusi yang intensif dari

kompetitor, yang mengancam dengan mengungguli pertumbuhannya, meracuni,

menginfeksi atau memangsa telah mempersenjatai dengan senjata kimia yang

potensial. Kajian pada kimia ekologi spons berhasil mengungkap bahwa metabolit

sekunder yang dikandung spons tidak hanya berperan pada beragam peran

metabolisme tetapi juga dalam menghadapi lingkungan hidupnya (Thakur &

Müller 2004).

Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons

bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules

atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu

individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus.

Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara

internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang

secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui

oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat

oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal.

Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang

selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum

kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat.

Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio

mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara

besar-besaran (Pechenik 2005).

3.3 Produk Alami Laut dari Spons

Pengertian produk alami laut merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang

membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam laut

(29)

jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam nukleat termasuk bahan alam,

namun ahli kimia memberikan arti yang lebih sempit tentang istilah bahan alam

yakni senyawa kimia yang berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti

alkaloid, terpenoid, golongan fenol, feromon dan sebagainya. Produk alami laut

dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah diperoleh dalam jumlah

yang besar dan barangkali dapat diubah menjadi bahan-bahan yang lebih

berharga; (2) substansi bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b)

senyawa aktif secara fisiologis (sinyal kimia), (c) senyawa aktif secara

farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; dan (3) racun laut (Ismet

2007).

Metabolit terbagi atas dua tipe yaitu primer dan sekunder. Metabolit primer

memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan kehidupan bagi semua

makhluk hidup dan terbentuk melalui serangkaian reaksi metabolit yang terbatas.

Metabolit primer berperan sebagai bahan penyusun dalam pembuatan

makromolekul seperti protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Sedangkan

metabolit sekunder tidak memiliki peran penting dalam kehidupan makhluk hidup

dan terbentuk dari metabolit primer (Gudbjarnason 1999). Definisi metabolit

sekunder yang berlaku secara luas yaitu senyawa yang terbentuk di dalam tubuh

makhluk hidup tetapi tidak ikut berperan dalam proses metabolisme yang

diperlukan dalam kehidupan dan perkembangan makhluk hidup (Hedner 2007).

Kebanyakan metabolit sekunder berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan

hidup suatu organisme dan dapat berfungsi, contohnya, sebagai senjata kimia

untuk melawan bakteri, jamur, serangga dan hewan yang besar. Fungsi metabolit

sekunder inilah yang dikatakan memiliki aktivitas biologis atau disebut juga

sebagai substansi bioaktif. Sebagian besar produk alami yang menjadi perhatian

industri farmasi adalah metabolit sekunder tetapi ada pula yang tertarik pada

produk metabolit primer seperti beragam lipid laut, enzim dan heteropolisakarida

yang kompleks (Gudbjarnason 1999).

Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Ismet 2007):

a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa

(30)

b. Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi

pertumbuhan dan reproduksi;

c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan organisme;

d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan

kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur);

e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai

metabolit sekundernya;

f. Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit

primer;

g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika

terkait dengan produksi metabolit primer;

h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit

primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang

terakumulasi selama metabolisme primer.

Spons merupakan salah satu avertebrata laut yang memiliki kekayaan

kandungan metabolit sekunder yang bersifat bioaktif. Dalam tinjauannya, Lee et al. (2001) menyajikan 89 spesies spons yang menghasilkan metabolit sekunder yang beragam. Spesies yang sama menghasilkan beberapa metabolit sekunder dan

aktivitas biologis yang berbeda. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons

laut memiliki golongan senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol,

peptida, poliketida dan lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang

dimilikinya pun sangat beragam antara lain inhibitor enzim, inhibitor pembelahan

sel, anti-virus, antifungi, antiparasit, insektisida, antimikroba, anti-inflamasi,

antitumor, sitotoksik atau kardiovaskular. Spons yang kandungan metabolit

sekundernya memiliki aktivitas biologis sitotoksik berjumlah 27 spesies,

diantaranya berasal dari genus yang sama yaitu Haliclona, Jaspis, Petrosia,

Spongia, dan Verongia. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hingga tahun 2004 tercatat 16 senyawa metabolit sekunder yang bersumber

dari spons layak memasuki tahap uji pra-klinis dan klinis. Senyawa-senyawa

(31)

metabolit sekunder yang diisolasi dari beberapa spons. Tahap uji yang dilakukan

bervariasi dari uji sebagai obat anti asma, anti osteoarthritis, antikanker,

anti-inflamasi, anti malaria, anti TB (tuberculosis), dan lain-lain. Bahkan beberapa metabolit sekunder telah memperoleh ijin untuk dijadikan bahan pengembangan

obat oleh beberapa perusahaan farmasi. Salah satu metabolit sekunder, yaitu

Manzamin A, diperoleh dari spons Haliclona sp. yang diperoleh di perairan Indonesia. Selengkapnya daftar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Metabolit

sekunder yang paling menonjol diisolasi dari spons adalah halichondrin B.

Halichondrin B adalah senyawa polieter dan merupakan salah satu senyawa

metabolit sekunder paling aktif diantara senyawa halichondrin B yang lain.

Senyawa halichondrin B yang lain adalah isohomohalichondrin B dan

homohalichondrin B. Isolasi halichondrin B pertama kali dilaporkan di Jepang

pada tahun 1986 dari spons Halichondria okadai. Metabolit ini juga pernah diisolasi dari beberapa spons yang hidup di wilayah Samudera Pasifik dan

Samudera Hindia, spesies spons tersebut antara lain Axinella sp. di Pasifik Barat,

Phakellia carteri di Samudera Hindia bagian timur dan Lissodendoryx sp. di lautan dalam lepas Pantai Timur di South Island, Selandia Baru (Newman & Cragg 2004).

Beberapa peneliti Indonesia juga telah melakukan isolasi dan identifikasi

struktur senyawa metabolit sekunder dari spons di perairan Indonesia. Senyawa

antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut

Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan 7 (tujuh) senyawa toksik berhasil diidentifikasi dari ekstrak

spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat, Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons Kaliapsis sp. asal Pulau

Menjangan, Bali Barat. Senyawa antibakteri pun telah berhasil diisolasi dan

(32)

toksisitas ekstrak metanol spons Geodia sp. asal Pantai Wediombo, Yogyakarta (Isnansetyo et al. 2009).

2.4 Taman Nasional Kepulauan Wakatobi

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan

perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 Ha ditunjuk sebagai Taman Nasional

berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah

ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus

2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (P. Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia

dan P. Binongko) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah

administratif Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas

masing-masing pulau tersebut adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa

(64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2) (Dirjen

PHKA Dephut2007).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lokasi

pengambilan di perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Berdasarkan

Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tanggal 29 Agustus 2006 tentang

Pedoman Zonasi Taman Nasional, kedua lokasi pengambilan sampel termasuk

kedalam zona pemanfaatan (Dirjen PHKA Dephut2007).

Gambaran umum pulau-pulau tempat diambilnya dua sampel spons yang

digunakan dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut (CRITC

COREMAP II-LIPI 2007; Rudianto & Santoso 2008):

1. P. Wangi-wangi, bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Pulau ini memiliki luas 156,5 km2, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar

sekitar 14,36 km dan panjang 16,09 km. pada rataan pulau ini sendiri terdiri

dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Oroho, dan Pulau

(33)

dengan panjang sekitar 250 m – 1,5 km. Pulau Wangi-wangi mempunyai

profil yang hampir sama dengan pulau-pulau di sekitarnya yaitu rataan

terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu lebar dengan

dasar perairan karang mati dan pasir lumpuran. Kedalaman perairannya

berkisar 5 – 1.884 m. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara 60-70o

dengan pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat sampai kedalaman

40 meter. Kecepatan arus perairan P. Wangi-Wangi 0,09 – 0,6 m/detik. Musim

timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angin Laut Banda, sedang musim

barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton.

2. P. Hoga, pulau ini merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam gugusan pulau dalam rataan terumbu Pulau Kaledupa dan berada di sebelah

timur Pulau Kaledupa. Perairan Pulau Hoga bagian selatan telah ditetapkan

sebagai daerah perlindungan (no fishing zone) oleh masyarakat. Secara geografis, Pulau Hoga memiliki kemiripan dengan Pulau Wangi-wangi,

perairan bagian timurnya dipengaruhi langsung oleh Laut Banda dan sebelah

(34)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian meliputi kegiatan penapisan substansi bioaktif dari beberapa

spons laut. Kegiatan ekplorasi penapisan substansi bioaktif terdiri atas kegiatan

pengambilan sampel spons, lalu ekstraksi, dan maserasi. Kegiatan pengambilan

sampel spons telah dilakukan pada tanggal 25-26 April 2008 oleh tim peneliti dari

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan di

perairan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Analisa

laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk

dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Penelitian ini dilaksanakan dari awal

bulan Agustus 2009 hingga akhir bulan Juni 2010.

Pengambilan sampel spons dilakukan di 4 (empat) stasiun berbeda perairan

Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi pada bulan April 2008. Namun

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel-sampel yang berasal

dari Pulau Wangi-wangi (stasiun 1) dan Pulau Hoga (stasiun 4). Hasil Studi

Baseline Ekologi Wakatobi dengan metode Line Intercept Transect (LIT) oleh CRITC COREMAP-LIPI (2006) menunjukkan tutupan rata-rata spons sebesar

3,71% dan 3,48% masing-masing di pulau Wangi-wangi dan Kaledupa.

Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan penyelaman pada

kedalaman antara 3-10 m di tiap stasiun tersebut. Berat spons yang diambil adalah

antara 50 – 550 gram bergantung pada kelimpahan spons di habitatnya. Spons

didokumentasikan di habitatnya dan di atas permukaan air serta dilakukan

pengamatan makroskopis setiap spons dengan menggunakan literatur yang ada

(Colin & Arneson 1995).

Sampel tersebut kemudian langsung dibersihkan, dipotong kecil dan

dipreservasi dengan menggunakan pelarut alkohol teknis dalam wadah plastik

tahan pelarut organik dan disimpan di dalam kotak pendingin. Selanjutnya sampel

dibawa ke laboratorium instrumen Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan

(35)

Gambar 2 Lokasi penelitian di Kepulauan Wakatobi. (Sumber: http://pssdal.bakosurtanal.go.id/)

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu teknik untuk memisahkan dan mengisolasi suatu

senyawa dari suatu larutan campuran atau padatan. Ekstraksi padatan dapat

dilakukan untuk mengambil produk alami dari jaringan makhluk hidup, dengan

perendaman jaringan di dalam suatu pelarut yang memiliki kesamaan tingkat

polaritas dengan senyawa yang diinginkan. Bahan dan alat yang digunakan untuk

ekstraksi adalah sampel spons W-19-08 dan W-36-08 yang tersimpan di dalam

pendingin beku -20oC selama 16 bulan, pelarut alkohol teknis (96%), erlenmeyer,

corong Buchner, rotary evaporator, freeze dryer, kertas saring Whatman no 41, timbangan digital OHAUS Adventurer (0,0001 g), dan tabung sampel.

3.2.2 Uji Sitotoksik in vitro

Uji sitotoksik bertujuan untuk mengetahui potensi bioaktif yang terkandung

dalam ekstrak spons W-19-08 dan W-36-08 dengan menggunakan metode MTT

yang merupakan kependekan dari pereaksi (3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-difenil

tetrazolium bromida) sesuai Zachary (2003). Bahan dan alat yang digunakan

1

Legenda: Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1

2

3

(36)

dalam uji ini antara lain microplate 96-well, mikropipet, inkubator CO2, vial,

biosafety cabinet Level 2 FASTER, tabung reaksi, erlenmeyer, t-flask 25 cm3, mikroskop inverted OLYMPUS, dan mikroplate spektrofotometr reader DYNEX.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Tahapan pengambilan sampel:

1. Sampel dengan berat 50 - 550 gram diambil dengan melakukan penyelaman

pada kedalaman 3 – 10 m.

2. Beberapa bagian jaringan spons tersebut diambil atau dipotong dengan

menggunakan scalpel dan pinset, lalu dimasukkan kedalam plastik, kemudian dibawa ke permukaan air secara perlahan.

3. Sampel tersebut kemudian langsung dibersihkan, dipotong kecil dan

dimaserasi dengan menggunakan pelarut alkohol teknis dalam wadah plastik

tahan pelarut organik dan disimpan di dalam kotak pendingin.

4. Spons didokumentasikan di habitatnya dan di atas permukaan air.

Identifikasi awal sampel dilakukan dengan membandingkan foto tiap

spesies dengan pustaka yang telah ada (Colin & Arneson 1995).

3.3.2 Ekstraksi Spons

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi (modifikasi Satari 1994,1995

in Triyulianti 2009) dengan sedikit modifikasi dengan tahapan sebagai berikut: 1. Spons yang telah disimpan dalam freezer ditimbang sebanyak 200 gram untuk

kemudian dipotong menjadi beberapa bagian kecil dan ditempatkan pada

erlenmeyer 250 ml.

2. Ke dalam erlenmeyer tersebut ditambahkan larutan etanol teknis hingga

sampel terendam sepenuhnya dalam larutan lalu diaduk hingga etanol meresap

ke dalam sampel.

3. Erlenmeyer ditutup dengan plastik dan simpan selama 24 jam pada suhu

(37)

4. Setelah 24 jam, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring untuk

memisahkan suspensi padat dengan cairannya.

5. Cairannya ditampung di dalam labu takar 50 ml (ekstrak) kemudian filtrat

hasil ekstraksi dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator

selanjutnya dikeringkan dengan cara pengeringan beku menggunakan alat

freeze dryer.

6. Ekstrak kasar dipindahkan ke dalam botol-botol kecil dan tutup rapat,

kemudian ditimbang untuk mengetahui rendemennya.

7. Selanjutnya ekstrak disimpan di dalam lemari pendingin untuk dilakukan uji

bioaktivitasnya.

Ekstrak kasar spons ditimbang untuk mengetahui rendemen yang didapatkan

dengan rumus:

Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT

(3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-difenil tetrazolium bromida) menurut Zachary (2003). Sel T47D dikultur

dalam media DMEM lengkap yang mengandung Fetal Bovine Serum (FBS) 10%

dan penisilin streptomisin 2%.

Masing-masing ekstrak spons selanjutnya diuji pada konsentrasi 30 ppm

sebanyak 3 ulangan. Dibuat pula 4 macam kontrol, yaitu : kontrol sel (100 L sel

+ 100 L media), kontrol media (200 L media), kontrol sampel (100 L ekstrak

spons + 100 L media) dan kontrol DMSO (100 L sel + 100 L konsentrasi

(38)

dan diinkubasikan kembali selama 4 jam dalam inkubator CO2. Reaksi MTT

dihentikan dengan penambahan 100 L larutan sodium dodesil sulfat (SDS) 10%,

selanjutnya mikroplat kembali diinkubasikan selama 12 jam dalam ruang gelap

pada suhu kamar. Setelah inkubasi tersebut, absorbansi tiap sumuran diukur

dengan DYNEX spektrofotometer microplate reader pada panjang gelombang 570 nm.

Penentuan persentase kematian sel dihitung berdasarkan rumus:

Kematian (%) = x 100%

Keterangan: A = Absorbansi sumuran kontrol sel (tanpa perlakuan ekstrak) B = Absorbansi sumuran kontrol media

C = Absorbansi sumuran yang diberi ekstrak uji

3.4 Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan dua analisis, yaitu:

1. Penentuan nilai Lethal Concentration 50 (LC50) 24 jam dihitung dengan

menggunakan analisis probit dan persamaan regresi melalui uji probit

menurut Fisher dan Yates in Triyulianti (2009). Persentase kematian sel uji dikonversi menjadi angka probit berdasarkan tabel probit (Lampiran 3). Plot

log konsentrasi versus angka probit masing-masing sebagai sumbu x dan

sumbu y digunakan untuk mencari nilai LC50 dari persamaan regresi yang

diperoleh.

2. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan potensi bioaktif ekstrak

kasar terhadap sel lestari tumor T47D berdasarkan hasil LC50 dan

mendeskripsikan morfologi sel lestari tumor T47D sebelum dan sesudah

(39)
(40)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Spons di Lokasi Sampling

Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNK Wakatobi) terletak di

pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Pulau

Buton dan Laut Banda. Di sebelah selatan dibatasi oleh Laut Flores, di sebelah

timur dibatasi oleh Laut Banda, dan sebelah barat dibatasi Pulau Buton dan Laut

Flores. Hal ini menunjukkan bahwa perairan ini berdekatan dengan pusat

keanekaragaman hayati “coral triangle ecoregion”.

Sampel spons yang berhasil dikoleksi dari kedua lokasi (stasiun 1 dan

stasiun 4) di perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi berjumlah 29 sampel.

Jumlah terbanyak, yaitu 16 buah, diperoleh di stasiun 1 desa Waha barat Pulau

(41)

Secara kualitatif, hasil identifikasi menunjukkan jumlah jenis spons yang

diperoleh di stasiun 1 adalah 16 jenis dan di stasiun 4 adalah 13 jenis. Dari hasil

pengamatan makroskopis, jenis spons yang dapat diidentifikasi awal di stasiun 1

berjumlah enam jenis antara lain Higginsia sp., Ircinia sp., Euplacella sp., Aaptos

sp., Cymbastella sp., dan Hyrtios sp. Sedangkan jenis spons di stasiun 4 yang dapat diidentifikasi berjumlah lima jenis antara lain Kallypilidon sp., Ianthella sp.,

Cinachyra sp., Paratetilla sp., dan Axinella sp. Tabel 1 memperlihatkan hasil identifikasi awal jenis-jenis spons yang dikoleksi di stasiun 1 dan 4.

Jumlah sampel spons yang berhasil diperoleh di kedua stasiun terbilang

cukup banyak hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman spons di perairan ini

cukup tinggi secara kualitatif. Penelitian yang dilakukan oleh Bell & Smith (2004)

di dua lokasi terumbu di Sampela dan Pulau Hoga perairan Wakatobi

mengidentifikasi 100 spesies spons (58 spesies di Sampela dan 73 spesies di

Hoga) dengan 41% diantaranya spesies yang sama terbagi atas 38 famili di kedua

lokasi tersebut pada kedalaman hingga 15 m dengan total area sampling 52,5 m2.

Bell & Smith (2004) mengidentifikasi famili spons yang diperoleh di

Sampela dan Pulau Hoga dan famili spons terbanyak di kedua lokasi tersebut

adalah Famili Microcionidae dengan jumlah 10 spesies. Sedangkan ada lima

famili spons yang masing-masing hanya ditemukan satu spesies antara lain

Ciocalyptidae, Clionaidae, Geodiidae, Palcospongidae, dan Tetillidae.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kode W-19-08 dan

W-36-08. Sampel W-19-08 diambil dari perairan sebelah barat Pulau

Wangi-wangi sedangkan sampel W-36-08 diambil dari perairan di sebelah selatan Pulau

Hoga. Berdasarkan hasil pemotretan di bawah air, sampel W-19-08 merupakan

spons bercabang warna biru, bagian cabangnya tampak melilit pada biota lain,

substrat dasarnya menempel pada terumbu, teksturnya kenyal, dan ostia merata di

setiap bagian cabang. Sedangkan hasil pemotretan di atas permukaan air, warna

biru spons W-19-08 memudar yang mungkin terjadi akibat kontak dengan udara.

Berdasarkan identifikasi awal (Colin & Arneson 1995; de Voogd 2004), spons

(42)

Hasil pemotretan di bawah air sampel W-36-08, spons ini berbentuk masif,

berwarna kuning-jingga, permukaan tubuh berpori, dan substrat dasar menempel

pada terumbu. Sedangkan hasil pemotretan di atas permukaan air, spons W-36-08

memiliki tekstur tubuh yang keras dan agak sulit dipotong, dan warna tubuh

bagian luar kuning-jingga dengan tubuh bagian dalam berwarna sama tetapi lebih

muda. Gambar 4 memperlihatkan sampel W-19-08 di habitat dan di atas

permukaan air sedangkan dan Gambar 5 memperlihatkan sampel W-36-08 di

habitat dan di atas permukaan air.

Tabel 1 Posisi geografis, jumlah, kode, dan prediksi taksonomi spons yang dikoleksi di stasiun 1 dan stasiun 4.

1 Barat Pulau Wangi-wangi 5o'15.46.50"LS 16 W-04-08 Tak Teridentifikasi 123o31'01.60"BT W-06-08 Tak Teridentifikasi

2 Selatan Pulau Hoga 5o28'48.4"LS 13 W-34-08 Kallypilidon sp. 123o45'34.7"BT W-35-08 Tak Teridentifikasi

Penelitian Rachmat (2007) menunjukkan bahwa perairan kawasan timur

(43)

berhasil mengumpulkan 441 jenis spons yang tersebar di 8 (delapan) wilayah

perairan Indonesia Timur antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,

Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Biak dan

Ternate. Jumlah jenis spons terbanyak diperoleh dari empat wilayah perairan

Sulawesi yaitu 240 jenis.

Gambar 4 Spons W-19-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B).

Gambar 5 Spons W-36-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B).

Penelitian Suharyanto (2007) yang dilakukan di dua lokasi di perairan Pulau

Barranglompo, Sulawesi Selatan dengan kondisi terumbu karang berbeda berhasil

mengidentifikasi delapan jenis spons antara lain Auletta sp., Callyspongia pseudoreticulatta, Clatria basilana, Clatria reinwardti, Jaspis stellifera, Plakortis nigra, Spirastella vagabunda, dan Xestosponga exiqua di daerah terumbu karang dengan kondisi masih baik dan tujuh jenis spons antara lain Auletta sp.,

Callyspongia sp., Clatria basilana, Jaspis stellifera, Plakortis nigra, Theonella A.W-19-08 di dalam air B. W-19-08 di atas permukaan air

(44)

cylindrica, dan Xestosponga exiqua di daerah terumbu karang dengan kondisi terumbu karang kurang baik. Hal ini juga menunjukkan bahwa perairan Sulawesi

memiliki kelimpahan jenis spons yang tinggi.

Sementara itu, jumlah jenis spons yang diperoleh di perairan TNK Wakatobi

adalah 29 jenis, sehingga dapat dikatakan bahwa distribusi dan kelimpahan spons

di wilayah perairan Sulawesi dikategorikan tinggi jika jumlah jenis spons yang

diperoleh di TNK Wakatobi, hasil penelitian Rachmat (2007), dan Suharyanto

(2007) digabungkan.

Kelimpahan jenis spons yang tinggi di perairan Sulawesi diduga

dipengaruhi oleh kondisi perairan Sulawesi yang dilalui Arus Lintas Indonesia

(Arlindo). Arus ini menghubungkan Samudera Pasifik di timur laut Indonesia

dengan Samudera Hindia di selatan Indonesia. Air laut yang mengalir dari

Samudera Pasifik membawa air yang lebih hangat dan salinitas lebih rendah

melalui kepulauan Indonesia dan menuju Samudera Hindia. Arus ini merupakan

satu-satunya arus di daerah tropis yang terlibat dalam pencampuran massa air

antar dua samudera (Lee et al. 2002).

4.2 Ekstraksi dan Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar Spons

Ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel

spons (W-19-08 dan W-36-08). Ekstraksi secara harfiah artinya adalah suatu

proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara

pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang menjadi sumber

komponennya. Proses penarikan komponen bioaktif dari spons diawali dengan

proses penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut

(maserasi), penyaringan dan tahap pemisahan. Sampel spons (W-19-08 dan

W-36-08) diambil dari dalam pendingin beku dan dibiarkan sesaat di udara terbuka agar

esnya mencair.

Sampel spons dimaserasi dalam alkohol teknis (96%) di dalam erlenmeyer

dalam suhu kamar dan dilakukan hingga warna pelarutnya bening. Proses ini

diharapkan semua senyawa kimia yang terkandung di dalam jaringan spons

(45)

yang terlarut merupakan senyawa kimia yang memiliki kesamaan polaritas dengan

pelarut.

Setelah tahap maserasi dan penyaringan (filtration) diperoleh ekstrak kasar dari sampel spons dengan berat setelah di evaporasi serta rendemen yang

diperoleh adalah seperti yang terlihat pada Tabel 2. Rendemen merupakan nilai

persentase perbandingan antara berat ekstrak kering spons dengan berat basah

sampel spons. Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar W-19-08 dan W-36-08

dapat dilihat pada Lampiran 4.

Ekstrak W-19-08 yang diperoleh dari hasil evaporasi berupa ekstrak

berwarna coklat muda sedangkan ekstrak W-36-08 berupa ekstrak kenyal

berwarna kuning-jingga. Kedua ekstrak ini dikeringkan terlebih dahulu

menggunakan freeze dryer hingga diperoleh ekstrak kering atau disebut sebagai ekstrak kasar.

Tabel 2 Nilai berat sampel basah (gram) dan rendemen ekstrak kasar (%) sampel spons W-19-08 dan W-36-08.

Terlihat dari Tabel 2, berat ekstrak kasar spons W-19-08 adalah 1,68 gram

dan ekstrak kasar spons W-36-08 adalah 9,26 gram. Berat ekstrak dari spons

selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai rendemen hasil ekstraksi dan

maserasi dalam alkohol teknis. Nilai rendemen ekstrak spons W-19-08 dan

W-36-08 masing-masing diperoleh 3,36% dan 6,61%.

Untuk selanjutnya pada ekstrak kasar dari spons dilakukan uji sitotoksik in vitro terhadap sel lestari kanker payudara T47D yang terlebih dahulu ditumbuhkan pada medianya. Uji ini dilakukan untuk menguji potensi senyawa

(46)

atau mematikan sel uji T47D. Uji sitotoksik ekstrak kasar dari spons dilakukan

dengan menggunakan metode MTT. Prinsipnya adalah sel uji T47D yang telah

diberi ekstrak spons pada konsentrasi tertentu diberi pereaksi MTT, diamati

perubahan warna yang terjadi, dan dilakukan pengukuran absorbansi intensitas

warna yang terbentuk sebagai representasi kehidupan sel uji T47D. Kemampuan

ekstrak kasar dari spons pada konsentrasi tertentu dalam menghambat

pertumbuhan atau mematikan sel uji T47D memperlihatkan bahwa senyawa

tersebut memiliki sifat sebagai senyawa antikanker. Hasil uji sitotoksisitas ekstrak

kasar spons W-19-08 dan W-36-08 terlihat pada Gambar 6.

8

Konsentra si ekstra k ka sa r sponge (ppm)

Sponge W-19-08

Sponge W-36-08

Gambar 6 Persentase kematian sel lestari tumor T47D setelah perlakuan dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 (Keterangan: (---) batas persentase kematian 50%).

Persentase kematian sel lestari tumor yang diberi perlakuan ekstrak kasar

dihitung dengan rumus (2) berdasarkan hasil pengukuran dengan spektrofotometer

dan contoh perhitungan persentase kematian dapat dilihat di Lampiran 5. Gambar

6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar maka semakin

tinggi persentase kematian sel tumor. Pada konsentrasi 30 ppm, persentase

(47)

diakibatkan perlakuan ekstrak W-36-08 namun persentase keduanya masih

dibawah 50% sehingga kedua ekstrak dapat dikatakan memiliki aktivitas yang

rendah. Menurut Andersen (1991) in Sismindari et al. (2002), suatu ekstrak dianggap aktif apabila mampu menyebabkan mortalitas 50% populasi sel tumor

pada konsentrasi di bawah 30 ppm (LC50 < 30 ppm). Bahkan pada konsentrasi 120

ppm pun, persentase kematian sel uji tetap tidak melebihi 50%. Persentase

kematian yang rendah tersebut diduga disebabkan karena senyawa yang

terkandung di dalam ekstrak kasar masih merupakan campuran senyawa kimia.

Senyawa-senyawa tersebut dapat bersifat antagonis atau saling meniadakan

sehingga ekstrak ini memiliki persentase kematian yang rendah.

Jika dibandingkan dengan hasil uji sitotoksik pada tahun 2008, hasil uji

sitotoksik diatas menunjukkan penurunan aktivitas biologis ekstrak kasar kedua

spons yang diperoleh dari hasil ekstraksi sampel spons yang telah melalui masa

penyimpanan. Sebenarnya kedua hasil tersebut tidak dapat dibandingkan karena

beberapa dugaan berikut ini:

1. uji sitotoksik in vitro dilakukan oleh orang berbeda dan prosedur kerja yang baru sehingga kondisi pada saat uji sudah berbeda dan prosedur kerja

yang baru perlu diverifikasi;

2. generasi sel uji T47D pada uji tahun 2008 berbeda dengan generasi pada

saat uji tahun 2010. Generasi sel uji pada tahun 2008 merupakan hasil

pembiakan yang lama dan diduga sudah resisten terhadap ekstrak uji;

3. masa penyimpanan dalam pelarut dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan senyawa yang terkandung di dalam spons mengalami

perubahan struktur secara kimiawi karena dapat terjadi reaksi alkilasi atau

esterifikasi (Ebada et al.2008);

4. metabolit sekunder yang terkandung dalam spons dihasilkan oleh

simbionnya. Sejumlah publikasi mengungkapkan beberapa jenis

mikroorganisme yang bersimbiosis dengan spons ternyata juga

menghasilkan metabolit sekunder yang sama dengan metabolit sekunder

Gambar

Gambar 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal.
Gambar 2 Lokasi penelitian di Kepulauan Wakatobi. (Sumber: http://pssdal.bakosurtanal.go.id/)
Gambar 3 Jumlah sampel spons dikoleksi di stasiun 1 (barat Pulau Wangi-wangi) dan stasiun 4 (selatan Pulau Hoga)
Tabel 1 Posisi geografis, jumlah, kode, dan prediksi taksonomi spons yang dikoleksi di stasiun 1 dan stasiun 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode struktural sintesis analisis (SAS) terhadap peningkatan keterampilan membaca permulaan pada siswa kelas II SDN

Pada hari ini Rabu tanggal dua puluh enam bulan Agustus tahun Dua ribu lima belas, yang bertandatangan dibawah ini Pejabat Pengadaan pada Dinas Prasarana Wilayah Kabupaten

Secara ekonomi, masyarakat dikawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) banyak dirugikan paska penetapan wilayah tersebut sebagai kawasan hutan

Penyusunan Rencana Kinerja Tahunan BKAD Kabupaten Bantul Tahun 2020 merupakan pemenuhan kebutuhan aspek perencanaan kebijakan pelaksanaan tugas dalam kurun waktu 1 (satu) tahun

Gejala dari diabetes insipidus adalah poliuria dan polidipsia, hal ini dapat terjadi karena defisiensi ADH atau disebut diabetes insipidus sentral dan tidak sensitifnya

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang merupakan warisan kolonial, hanya mengenal istilah hal-hal yang meringankan dan hal-hal memberatkan, hal ini digunakan oleh hakim

Sepanjang 2020, kami telah meluncurkan 60 produk dan solusi perlindungan, termasuk di antaranya produk baru dan juga peningkatan dari produk sebelumnya untuk memenuhi