• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan KeDua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara : 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan KeDua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara : 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

FEDY RIDHO

087011141/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

FEDY RIDHO

087011141/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 087011141 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH

(5)

Nama : FEDY RIDHO

NIM : 087011141

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : HAK MEWARIS BAGI AHLI WARIS GOLONGAN KEDUA (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR PERKARA : 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat, apabila di kemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

i

pertama-tama timbul bila seseorang meninggal dunia adalah hukum waris yang berhubungan erat dengan hukum apa yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang warisan/status harta benda karena kematian. Yang ada dalam Pasal 41 yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga berdasarkan pasal 66 tetaplah terdapat pluralisme dalam hal hukum waris, maka Hukum Waris yang diatur dalam KUHPerdata tetap masih berlaku terhadap mereka yang KUHPerdata/BW diperlakukan atasnya.Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut.

Dalam tesis ini yang menjadi titik permasalahan adalah bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia; bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan bagaimana kekuatan pembuktian surat ke terangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, sifanya deskriptif dan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.

(7)

ii

keterangan ahli waris yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik yang tidak hanya membuktikan bahwa para pihak telah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut, akan tetapi juga menerangkan bahwa apa yang diterangkan dalam surat keterangan ahli waris tersebut adalah benar. Dengan demikian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian baik formil maupun materil serta mempunyai kekuatan yang mengikat. Disarankan agar diatur tata cara penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah salah satu pihak suami atau isteri meninggal dunia sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penetapan pengesahan perkawinan yang dimohonkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik. Dalam hal perkawinan yang tidak dicatatkan, maka kedudukan istri sebagai ahli waris suaminya sangatlah lemah, khususnya jika istri tidak mengetahui tentang pengesahan perkawinan. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi mengenai pengesahan perkawinan kepada masyarakat karena masih banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga kedudukan isteri menjadi terlindungi demikian juga anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Disarankan agar surat keterangan ahli waris seharusnya dibuat secara notariil sehingga surat keterangan ahli waris tersebut mempunya kekuatan hukum baik secara formil maupun materil dan juga mengikat.

(8)

iii

to Law of Inheritance. Law No. 1/1974 on Marriage or Government Regulation No. 9/1975 on the Implementation of Law No. 1/1974 does not regulate about inheritance/property status because of death, what is regulated in Article 41 is because of divorce. Thus, based on Article 66, in terms of law of inheritance, the pluralism remains there, so the Law of Inheritance regulated in the Indonesian Civil Codes is still applicable to those who are treated based on the Indonesian Civil Codes/Chapter of Inheritance (BW). This problem of inheritance always inflicts dispute or problem to the heirs for inheritance is directly related to somebody’s property regarded as precious thing by human beings. This dispute frequently occurs because the heirs fight to take over the inheritance.

The problems to solve in this descriptive normative juridical study with statute approach were what the legal position of the second nearest heirs was after the issuance of the determination of approval done after the testator passed away, what legal consequence of the determination of marriage approval was done after the testator passed away, and how strong the heir proving certificate made by Notary was. The data used in this study were secondary data obtained through the documenation study (library research). The data obtained were qualitatively analyzed to draw a conclusion from the correct and clear answers to the problems solved.

(9)

iv

there are still many unregistered marriages found in the society, it is imperative to socialize the marriage approval to the community members to protect the position of wife and her children born from the unregistered marriage. It is also suggested that the certificate of heir be made before and by Notary that it formally or informally has a binding legal force.

(10)

v

Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan KeDua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara : 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH., Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn., dan Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenaan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahan ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sebesar-besarnya kepada :

(11)

vi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh staf/pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

(12)

vii

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.AminYaRabbal’Alamin.

Medan, Maret 2012 Penulis,

(13)

viii Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 25 April 1975 Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Alamat Rumah : Kisaran

Anak ke : 1 (satu) dari 2 (dua) bersaudara

DATA ORANG TUA

Nama Ayah : F. Toto Bustamy Nama Ibu : Nonny Meliala

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri Medan Lulus tahun 1987

2. SMP Swasta Al-Azhar Medan Lulus tahun 1990 3. SMA Negeri Swasta Al-Azhar Medan Lulus tahun 1993 4. D-3 FMIPA USU Jurusan Komputer Lulus tahun 1997 5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Asahan Lulus tahun 2007 6. S-2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Lulus tahun 2012

(14)

ix

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 12

G. Metode Penelitian... 24

BAB II KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN II SETELAH TERBITNYA PENETAPAN PENGESAHAN YANG DILAKUKAN SETELAH PEWARIS MENINGGAL DUNIA... 27

A. Pewarisan Dalam Sistem Hukum Perdata ... 27

B. Penetapan Pengesahan Ahli Waris ... 39

(15)

x

B. Pengesahan Perkawinan ... 62

C. Akibat Hukum Penetapan Pengesahan Perkawinan yang Dilakukan Setelah Pewaris Meninggal Dunia... 64

BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT KETERANGAN AHLI WARIS YANG DIBUATKAN OLEH NOTARIS ... 71

A. Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta... 71

B. Surat Keterangan Waris Sebelum dan Sesudah UUJN ... 83

C. Kekuatan Pembuktian Surat Keterangan Ahli Waris yang Dibuatkan Oleh Notaris... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 102

(16)

i

pertama-tama timbul bila seseorang meninggal dunia adalah hukum waris yang berhubungan erat dengan hukum apa yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang warisan/status harta benda karena kematian. Yang ada dalam Pasal 41 yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga berdasarkan pasal 66 tetaplah terdapat pluralisme dalam hal hukum waris, maka Hukum Waris yang diatur dalam KUHPerdata tetap masih berlaku terhadap mereka yang KUHPerdata/BW diperlakukan atasnya.Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut.

Dalam tesis ini yang menjadi titik permasalahan adalah bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia; bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan bagaimana kekuatan pembuktian surat ke terangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris. Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, sifanya deskriptif dan pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.

(17)

ii

keterangan ahli waris yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik yang tidak hanya membuktikan bahwa para pihak telah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut, akan tetapi juga menerangkan bahwa apa yang diterangkan dalam surat keterangan ahli waris tersebut adalah benar. Dengan demikian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian baik formil maupun materil serta mempunyai kekuatan yang mengikat. Disarankan agar diatur tata cara penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah salah satu pihak suami atau isteri meninggal dunia sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penetapan pengesahan perkawinan yang dimohonkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik. Dalam hal perkawinan yang tidak dicatatkan, maka kedudukan istri sebagai ahli waris suaminya sangatlah lemah, khususnya jika istri tidak mengetahui tentang pengesahan perkawinan. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi mengenai pengesahan perkawinan kepada masyarakat karena masih banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga kedudukan isteri menjadi terlindungi demikian juga anak-anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Disarankan agar surat keterangan ahli waris seharusnya dibuat secara notariil sehingga surat keterangan ahli waris tersebut mempunya kekuatan hukum baik secara formil maupun materil dan juga mengikat.

(18)

iii

to Law of Inheritance. Law No. 1/1974 on Marriage or Government Regulation No. 9/1975 on the Implementation of Law No. 1/1974 does not regulate about inheritance/property status because of death, what is regulated in Article 41 is because of divorce. Thus, based on Article 66, in terms of law of inheritance, the pluralism remains there, so the Law of Inheritance regulated in the Indonesian Civil Codes is still applicable to those who are treated based on the Indonesian Civil Codes/Chapter of Inheritance (BW). This problem of inheritance always inflicts dispute or problem to the heirs for inheritance is directly related to somebody’s property regarded as precious thing by human beings. This dispute frequently occurs because the heirs fight to take over the inheritance.

The problems to solve in this descriptive normative juridical study with statute approach were what the legal position of the second nearest heirs was after the issuance of the determination of approval done after the testator passed away, what legal consequence of the determination of marriage approval was done after the testator passed away, and how strong the heir proving certificate made by Notary was. The data used in this study were secondary data obtained through the documenation study (library research). The data obtained were qualitatively analyzed to draw a conclusion from the correct and clear answers to the problems solved.

(19)

iv

there are still many unregistered marriages found in the society, it is imperative to socialize the marriage approval to the community members to protect the position of wife and her children born from the unregistered marriage. It is also suggested that the certificate of heir be made before and by Notary that it formally or informally has a binding legal force.

(20)

1 A. Latar Belakang

Salah satu akibat dari kematian seorang manusia di dunia ini dalam bidang hukum adalah masalah status harta benda yang ditinggalkannya. Bila status ini dihubungkan dengan seorang manusia lain yang masih hidup, maka timbullah apa yang dinamakan masalah warisan. Hukum yang mengatur masalah warisan ini dinamakan hukum waris dan setiap lembaga hukum mempunyai hukum warisnya masing-masing. Akibat masih terdapatnya pluralisme hukum di Indonesia, maka dikenallah hukum waris Islam, hukum waris adat dan hukum waris Perdata Barat yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata/Burgerlijk Wetboek/BW).

Permasalahan yang pertama-tama timbul bila seseorang meninggal dunia adalah hukum waris yang berhubungan erat dengan hukum apa yang berlaku bagi orang yang meninggal dunia tersebut.

(21)

Pembedaan pada golongan tersebut membawa pula pembedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut.

Masing-masing golongan tersebut di atas memiliki hukum perdata waris sendiri-sendiri yang masing-masingnya tunduk kepada sistem tersendiri-sendiri pula. Bagi golongan Eropah atau yang dipersamakan dan golongan Timur Asing Tionghoa berlaku hukum waris yang ditentukan dalam Buku-II dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa (seperti Arab, Pakistan, India, dan lain sebagainya) berlaku hukum waris adatnya masing-masing dan sepanjang pengaruh agama lebih dominan dalam kehidupan mereka sehari-hari maka diberlakukan hukum waris yang ditentukan oleh hukum agamanya tersebut. Bagi golongan Bumi Putera berlaku hukum waris adat menurut lingkungan hukum adatnya (adatrechtskring) masing-masing.1

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, secara tegas maupun diam-diam disadari ataupun tidak telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum kolonial yang terdiri atas struktur serta substansinya. Berdasarkan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945 bagian Aturan Peralihan, maka segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

“Melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966, telah ditetapkan penghapusan pembedaan golongan penduduk di Indonesia dengan dasar pertimbangan bahwa demi tercapainya pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogeen, serta adanya perasaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia”.2

1 Edison, “Peran Notaris Dalam Pembagian Warisan Sebagai Penengah Dan Stabilisator,

http://suratketeranganwaris.blogspot.com/2008/05/peran-notaris-dalam-pembagian-warisan. html?zx=27c5111b33f3b7c7, dipublikasikan tanggal 26 Mei 2008, diakses tanggal 3 Januari 2011

2

(22)

Berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan dinyatakan bahwa : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Untuk sebagian hukum keluarga dan hukum waris yang belum mendapat pengaturan dalam undang-undang khusus (UU No. 1 Tahun 1974) maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa dan Timur Asing Tionghoa. Walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh Instruksi Presidium Kabinet tersebut, namun di dalam prakteknya “penggolongan penduduk” untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 tersebut juga menyatakan, bahwa penghapusan golongan-golongan penduduk tersebut tidak mengurangi berlakunya ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ketentuan-ketentuan hukum perdata lainnya.

(23)

bidang perkawinan (kecuali yang telah diatur dalam UU Perkawinan), dan warisan masih diberlakukan KUHPerdata bagi sebagian penduduk Indonesia”.3

Baik UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang warisan/status harta benda karena kematian. Yang ada dalam Pasal 41 yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Sehingga berdasarkan pasal 66 tetaplah terdapat pluralisme dalam hal hukum waris, maka Hukum Waris yang diatur dalam KUHPerdata tetap masih berlaku terhadap mereka yang KUHPerdata/BW diperlakukan atasnya.

Hal ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus 1975 No. M.A/Penb/0807/75 tentang Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Hingga saat ini masih terdapat dualisme dalam bidang Hukum Perdata (khususnya bidang hukum perdata waris) yang berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia. Melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kita dapat meneropong kembali mengenai apa yang sebelumnya dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang merupakan warga (Nederlands onderdaan) di Hindia Belanda.

Selanjutnya berdasarkan Stb. 1917 No. 129, seluruh Hukum Perdata Barat (B.W.), dengan sedikit kekecualian, berlaku bagi golongan Tionghoa. Maka berdasarkan Staatsblad tersebut terhitung mulai tanggal 1 Mei 1919, bagi golongan Tionghoa untuk daerah-daerah tertentu berlaku Hukum Perdata Barat

3Sunarjati Hartono, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, PT Citra Aditya

(24)

(BW), termasuk di dalamnya Hukum Waris. Kemudian dengan Stb. 1924 No 557 dinyatakan berlaku untuk golongan Tionghoa di seluruh Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku sejak 1 Maret 1925. Sebelum itu Stb. 1855 No. 79 menetapkan bahwa hukum waris Testamentair berlaku bagi golongan Timur Asing, dan sejak 1 Mei 1919 lembaran negara ini tidak berlaku lagi bagi golongan Tionghoa dan diganti dengan Stb. 1917 No. 129 tersebut di atas. Untuk golongan Timur Asing selain golongan Tionghoa, dengan Stb.1924: – 556, yang berlaku sejak 1 Maret 1925.4

Hukum Waris menurut para sarjana pada dasarnya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain). Intinya adalah peraturann yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaanya, yang berwujud : perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.5

Dalam hukum perdata, mewarisi berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal terkait dengan hubungan hukum harta kekayaannya yang berkaitan erat dengan kehendak terakhir orang yang meninggal tersebut. Kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai sumber hukum pembagian waris perdata.

Berdasarkan kehendak terakhir tersebut, maka sumber hukum waris dalam hukum perdata dibedakan menjadi:

1. Hukum waris menurut ketentuan undang-undang atau sering disebut dengan hukum waris ab intestate, artinya hukum waris tanpa testamen atau wasiat. Disebut hukum waris tanpa wasiat karena dasar pengaturan hukum waris berdasarkan undang-undang (KUHPerdata).

2. Hukum waris testamenter, yaitu hukum waris menurut ketentuan wasiat atau testament.6

4J. Satrio,Hukum Waris,Alumni, Bandung, 1992, hal. 6

5J. Satrio,Ibid,hal. 8

6

(25)

Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya, sepanjang hak dan kewajiban tersebut termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau dengan kata lain hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Sistem hukum waris perdata memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem hukum waris lainnya, yaitu menghendaki agar harta peninggalan pewaris sesegera mungkin dapat dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalaupun harta peninggalan pewaris hendak dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, maka harus melalui persetujuan oleh seluruh ahli waris, adapun perbedaan antara harta warisan dan harta peninggalan adalah harta warisan belum dikurangi hutang dan biaya-biaya lainnya, sedangkan harta peninggalan sudah dikurangi hutang dan telah siap untuk dibagi.7

“Pewaris sebagai pemilik harta mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Ini merupakan konsekwensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur”.8 Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari harta warisan, disebut ahli waris Legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris Legitimaris, dinamakanLegitime Portie.

“Jadi hak Legitime Portie adalah, hak ahli waris Legitimaris terhadap bagian yang tidak tersedia dari harta warisan disebut ahli waris legitimaris”.9

Bagian mutlak ini adalah bagian yang ditentukan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Artinya para ahli waris yang berhak yaitu

7Afandi Ali,Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal.7 8Ibid,

hal. 2-3

(26)

ahli waris dalam garis lurus (yang disebut legitimaris) memiliki bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat diganggugugat yang harus menjadi bagiannya dan telah ditentukan pula besar bagian tersebut berdasarkan KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 911 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu ketetapan wasiat yang dibuat untuk keuntungan orang yang tidak cakap untuk mendapat warisan, adalah batal, sekalipun ketetapan itu dibuat dengan nama seorang perantara. Yang dianggap sebagai orang-orang perantara ialah bapak dan ibunya, anak-anaknya dan keturunan mereka suami atau isteri.

Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:

a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;

b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;

c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;

d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.10

10Djafar Ali,Suntingan Pokok-pokok (Pegangan Sementara) Hukum Waris Menurut Perdata

(27)

KUH Perdata tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli Waris menurut surat wasiat atau testament, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris bentuk ini tergantung pada kehendak si pembuat wasiat.

Masalah waris ini sering menimbulkan sengketa atau masalah bagi ahli waris, karena langsung menyangkut harta benda seseorang, karena harta oleh manusia dianggap sebagai barang yang berharga. Sehingga sering menimbulkan sengketa ataupun perselisihan karena berebut untuk menguasai harta waris tersebut.

Salah satu contoh kasus adalah sebagai berikut :

Ngan Sim, Halidjah Gani, Ngang Seng Hin, dan Achmad Ghani merupakan ahli waris yang sah dari Almarhum Ngan Seng Mei, sesuai dengan Akta Surat Keterangan Hak Waris No : 04/ SKHW/MSM/ XII/ 2007 yang telah meninggal dunia pada tanggal 19 September 2007. Oleh karena kedua orang tua ahli waris telah terlebih dahulu meninggal dari Almarhum Ngan Seng Mei, maka secara hukum yang menjadi ahli waris golongan II dari Almarhum Ngan Seng Mei.

(28)

pernah terdaftar dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil yang berwenang untuk itu.

Tanpa sepengetahuan para ahli waris ternyata Ramping Husen telah mengajukan permohonan Penetapan Pengesahan Perkawinan pada Pengadilan Negeri Medan, dan atas permohonan tersebut ternyata Pengadilan Negeri Medan telah mengabulkan permohonan Tergugat tersebut dengan menetapkan: “menyatakan sah secara hukum perkawinan RAMPING HUSEN (ic. Tergugat) dengan seorang laki-laki yang bernama NGAN SENG MEI, sebagaimana dictum dari Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 15/Pdt. P/ 2008/ PN. Mdn tanggal 26 Februari 2008.

Ramping Husen mengaku telah melakukan perkawinan dengan Alm. Ngan Seng Mei pada tanggal 28 Juni 2007 sesuai dengan Surat Pernyataan yang ditanda tangani KI TONG SUMARAK dengan saksi Aisim dan Lia.

Bahwa Penggugat sangat merasa keberatan serta telah dirugikan atas terbitnya Penetapan Pengadilan Negeri Medan tersebut yang telah menetapkan sah Perkawinan tersebut antara Tergugat dengan Alm. NGAN SENG MEI, karena Penetapan Pengadilan Negeri Medan tersebut adalah nyata-nyata merupakan suatu produk hukum yang salah dan keliru serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

(29)

berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan pada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada orang yang menguasai benda tersebut berdasarkan hubungan hukum dengan pewaris, misalnya menyewa.

Surat Keterangan Hak Waris sangat diperlukan untuk membuktikan siapa-siapa yang merupakan ahli waris atas harta peninggalan yang telah terbuka menurut hukum dan berapa porsi atau bahagian masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka itu. Besarnya porsi dari masing-masing ahli waris dalam Surat Keterangan Hak Waris tersebut sangat bergantung kepada Hukum Waris apa yang digunakan atau diterapkan dalam menentukan hak dari pada ahli waris tersebut.11

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?

2. Bagaimana akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia ?

3. Bagaimana kekuatan pembuktian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris ?

(30)

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris golongan II setelah terbitnya penetapan pengesahan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.

2. Untuk akibat hukum penetapan pengesahan perkawinan yang dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.

3. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian surat keterangan ahli waris yang dibuatkan oleh Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang Hukum Waris serta menambah khasanah perpustakaan.

(31)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Hak Mewaris Bagi Ahli Waris Golongan Kedua (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan Nomor Perkara 127/PDt.G/2008/PN.Mdn)”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.12“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.13

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan,

12Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6

13J.J.J. M.Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,M. Hisyam, Fakultas Ekonomi,

(32)

pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Dalam penelitian ini, teori hukum yang dipakai adalah teori kedaulatan hukum.

Tokoh dari teori kedaulatan hukum adalah H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Krabbe :

Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang ditundukan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia. Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewibawaan/ kekuasaan.14

Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata.

Menurut para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :

1. Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah : “Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari hubungan

14“Teori Hukum”, http://tubiwityu.typepad.com/blog/2010/02/teori-hukum.html,

(33)

antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.15

2. M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengemukakan bahwa hukum waris adalah “Hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.16

3. Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut ahli hukum antara lain yaitu :

a. H.D.M.Knol, mengatakan bahwa Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih

b. A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.

c. Vollmar berpendapat bahwa Hukum waris adalah perpindahan dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dari orang yang mewariskan kepada warisnya.17

Hukum waris (erfrecht) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban (harta kekayaan) dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang masih hidup (ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang

15 A.Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda

Diterjemahkan oleh M.Isa Arief, PT.Intermasa, Jakarta, 1986, hal 1 16

M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 85

(34)

mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

Menurut A. Pitlo, “hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga”.18

Oemar Salim mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang memberikan batasan-batasan mengenai warisan antara lain:

1. Seorang yang meninggalkan warisan (erflater) pada saat orang tersebut meninggal dunia

2. Seorang atau beberapa orang ahli waris (erfnaam), yang mempunyai hak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu

3. Harta warisan (nalaten schap) yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris tersebut.19

Tiap-tiap masyarakat memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu keadaan warisan pada masing-masing masyarakat tergantung pada kondisi kekeluargaan serta berdampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.

Oemar Salim mengutip pula Meyer yang mengatakan bahwa :

Pada mulanya Negara-negara di dunia ini tidak mengenal hak milik perseorangan (individual eigendom) atas barang-barang kekayaan melainkan hanya mengenai milik bersama dari suatu suku bangsa dan suatu keluarga (stem of familie-ergendom). Meninggalnya seseorang bukan berarti harta miliknya yang

18A. Pitlo,Op cit, hal. 3

19 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cetakan Ketiga, Rineka Cipta,

(35)

meninggal, melainkan hanya hal mengurus harta itu saja yang harus dilanjutkan oleh orang lain yang masih hidup.20

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kepribadian, misalnya hak dan kewajibann sebagai seorang suami atau seorang ayah tidak dapat diwariskan. Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapangan hukum perbendaan atau perjanjian tetapi tidak beralih pada para ahli waris misalnya perjanjian perburuhan.

Dalam hukum waris apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi le mort saisit le vif

sedangkan pengalihan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakansaisine(Pasal 955 KUH Perdata).21

Adapun syarat untuk menjadi ahli waris adalah sebagi berikut :

a. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris yang dapat diperoleh secara

ab intestato maupun testamener. Atau terkadang seorang ahli waris memiliki hak yang diperoleh keduanya secara bersamaan.

b. Telah ada pada saat pewaris meninggal. Dalam Pasal 2 KUHPerdata, dinyatakan bahwa bayi yang masih dalam kandungan dianggap telah ada jika mempunyai kepentingan dengan syarat ia lahir hidup. Perkecualian kedua syarat tersebut tidak berlaku bagi orang yang mewarisi karena kedudukannya digantikan oleh keturunannya karena ia telah meninggal dunia namun telah ada ahli warisnya. Dalam Pasal 348 KUH Perdata ditentukan bahwa: Apabila seorang suami meninggal dunia, istri menerangkan atau setelah dipanggil secara sah untuk itu, mengakui bahwa ia sedang mengandung, maka Balai

20Oemar Salim,Ibid, hal. 5

(36)

Harta Peninggalan (BHP) harus menjadi pengampu atas buah kandungannya dan wajib mengadakan tindakan yang perlu yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus harta kekayannya baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan semua orang yang berkepentingan. Selanjutnya dalam ketentuan Stb. 1872 Nomor 166, dalam ketentuan Pasal 44 – 46 ditentukan bahwa : Keterangan istri tersebut tidak dapat diterima bila telah lewat waktu 300 (tiga ratus) hari setelah kematian suaminya. Atas keterangan atau pengakuan adanya kehamilan dan penerimaan pengampuan tersebut maka BHP membuatkan akta dan diberitahukan kepada pegawai penuntut umum. Bagian/warisan bagi anak yang belum dilahirkan tersebut meliputi barang-barang yang akan menjadi milik anak tersebut apabila anak tersebut lahir hidup.

c. Dinyatakan cakap menerima warisan.

d. Tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap dan tidak patut .

1) Tidak cakap menerima warisan, yaitu apabila melakukan tindakan tercela seperti telah memfitnah pewaris sehingga pewaris dijatuhi hukuman pidana 2) Tidak patut, yaitu apabila seseorang membunuh pewaris untuk segera

mendapatkan harta waris; dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena memfitnah pewaris atas tuduhan suatu kejahatan yang hu-kumannya lebih dari lima tahun atau lebih; yang diancam dengan kekerasan pewaris lain untuk membuat atau mencabut waris; mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.22

Hak-hak utama ahli waris adalah :

a. Hak untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Diatur dalam Pasal 1066 KUHPerdata. “Tidak seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”. Meskipun demikian, bila para ahli waris sepakat untuk tidak membagikan harta waris tersebut, maka diberikan tempo 5 (lima) tahun harta tersebut untuk dapat dibagikan. Terhadap hal ini golongan Timur Asing yakni Tionghoa menganggap pasal ini adalah ben-cana, sebab harta dianggap sebagai unit ekonomis.

b. Hak saisine. Diatur dalam Pasal 955 KUHPerdata, yaitu pemindahan hak dan kewajiban dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini terjadi secara otomatis tanpa si ahli waris melakukan perbuatan tertentu. Hak ini berasal dari adagium Prancis yang berbunyi “le mart saisin le vif (orang yang mati berpegangan kepada orang yang hidup). Namun karena terjadinya secara otomatis, orang yang hidup (dalam hal ini ahli waris) sering kali merasa keberatan karena harus menanggung segala utang pewaris yang bisa jadi sedemikian besar melebihi harta yang

(37)

ditinggalkan, sehingga dalam KUHPerdata diperbolehkan bagi seseorang untuk menolak hak warisnya. Penolakan harus dilakukan dengan tegas dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum terbukanya warisan tersebut. Dengan adanya penolakan, maka si ahli waris secara hukum dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. c. Hak heriditatis petitio, yaitu hak untuk mengajukan gugatan guna

mempertahankan hak warisnya. Dengan demikian orang tersebut harus membuktikan bahwa dirinya adalah ahli waris yang sah. Hak ini akan gugur dalam jangka waktu 30 tahun sejak terbukanya warisan.23

Pewarisan dapat dilakukan dengan dua jalan, yaitu karena hubungan darah, baik sah maupun tidak sah (di luar perkawinan yang sah) dam karena perkawinan. “Pewarisan yang terjadi karena hubungan darah didasarkan oleh adagium yang berbunyi “het bloed erfhedgoed” (yang mempunyai hubungan darah terdekatlah yang memiliki hak untuk mewarisi barang-barangnya)”.24

Tidak semua bentuk hubungan darah dapat menjadi ahli waris. Terdapat klasifikasi tertentu yang mengukur jarak jauh dan dekatnya hubungan tersebut. Jauh dan dekatnya hubungan darah dikelompokkan ke dalam golongan-golongan ahli waris, yaitu :

a. Ahlis waris Golongan I

Ahli waris golongan I adalah anak-anak beserta keturunannya dalam garis lurus ke bawah tanpa batas dan suami atau istri yang hidup lebih lama. Dalam ahli waris ini tidak terdapat perbedaan jenis kelamin bagi ahli waris sehingga antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat pembedaan bagian waris.

23Badriyah Harun,Opc cit,hal. 20-21

(38)

Anak laki-laki dan anak perempuan mendapat bagian yang sama dari orangtuanya.

Dalam golongan I terdapat juga kemungkinan terjadinya kewarisan berdasarkan haknya sendiri atau karena pergantian tempat. Pergantian tempat di sini misalnya cucu menggantikan kedudukan anak yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris.

b. Ahli waris Golongan II

Diatur dalam Pasal 854, 855, 856, 857 KUHPerdata. Menurut Pasal 854, warisan golongan II diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, serta saudara-saudara si pewaris. Hal ini terjadi apabila si mati tidak memiliki anak, suami, atau istri.

1) Ayah, ibu mendapat 1/3 bagian sedangkan sisanya untuk satu saudara, baik laki-laki maupun perempuan;

2) Ayah, ibu mendapat 1/4 bagian jika si mati meninggalkan lebih dari satu saudara. Sisanya (3/4) dibagikan kepada saudaranya;

3) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada) dan pewaris meninggalkan satu orang saudara, maka bagian ayah atau ibu adalah ½ bagian;

(39)

5) Ayah atau ibu (salah satunya telah tiada), pewaris meninggalkan lebih dari 2 saudara laki-laki atau perempuan, maka bagian ayah atau ibu adalah ¼ bagian;

6) Bila tidak memiliki ayah atau ibu, maka seluruh harta peninggalannya menjadi hak seluruh saudara-saudara si pewaris.

Dalam hal ayah dan ibu, kedua-duanya mewaris dari warisan anaknya, maka dalam Pasal 854 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa :

Apabila seorang meninggal dunia dengan tak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka mereka masing-masig mendapat 1/3 (sepertiga) dari warisan, jika si meninggal hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan yang mendapat 1/3 (sepertiga) selebihnya.

“Syarat berlakunya Pasal 854 KUH Perdata adalah tidak ada keturunan maupun suami atau istri, dengan kata lain tidak ada ahli waris golongan pertama”.25

Adapun bagian dari masing-masing ayah dan ibu adalah :

1) Dalam hal bapak atau ibu mewaris sendiri, artinya tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama-sama dengannya, maka ia mewaris seluruh harta (Pasal 859 KUH Perdata)

2) Apabila bapak dan ibu sama-sama mewaris dengan tidak ada saudara-saudara yang mewaris bersama dengan mereka, maka masing-masing mendapat ½ (setengah) warisan.

(40)

3) Dalam hal bapak dan ibu mewaris bersama-masa dengan seorang sudara laki-laki atau perempuan, maka ibu dan bapak masing-masing mendapat 1/3 sedangkan saudara mendapat sisa warisannya yaitu 1/3 (sepertiga). Apabila si pewaris meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan dan mewaris bersama dengan bapak dan ibu pewaris, maka bapak dan ibu pewaris masing-masing memperoleh ¼ (seperempat) dari warisan, sedangkan 2/3 (dua per tiga) bagian sisanya adalah untuk saudara si pewaris tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 854 ayat (2) KUH Perdata.

c. Ahli waris Golongan III

Sesudah Golongan I dan Golongan II tidak ada lagi, maka muncullah ahli waris Golongan III yang terdiri dari sekalian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ayah maupun ibu (Pasal 853 KUH Perdata). Yang dimaksud dengan keluarga dalam garis ayah dan ibu lurus ke atas adalah kakek dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu pewaris, ayat dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun ibu dan seterusnya.

d. Ahli waris Golongan IV

Dalam Pasal 858 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa :

(41)

“Sanak saudara dalam garis yang lain adalah para paman dan bibi sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi dan sekalian keturunan dari paman-paman dan bibi-bibi yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris”.26

Mewaris menurut undang-undang (ab intestate) dapat dibedakan antara orang-orang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang mewarisi "bij plaatsvervulling." Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si pewaris. Seseorang dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan. Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka dikatakan mereka itu mewarisi "bij staken," karena mereka itu bersama-sama merupakan suatu "staak" atau cabang.27

Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari si meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari ¼ (seperempat) harta peninggalan pertama dan kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya saja tidak mungkin terjadi suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali saja Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahli waris lagi maka seluruh warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.

26J. Satrio,Ibid, hal. 146

(42)

2. Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.28

“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.29

“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operational (operational definition)”.30Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghidarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia, dengan lain perkataan mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat-akibatnya bagi ahli waris.

28Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 397

29Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Seuatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7 30

(43)

“Ahli Waris adalah mereka yang mempunyai hak atas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan”.31

Golongan kedua adalah golongan ahli waris yang warisannya diperoleh karena haknya sendiri ataupun karena pergantian tempat.

Timur Asing adalah warga negara asing yang menjadi penduduk Hindia Belanda yang memegang paspor dari negara asing non Eropa, misalnya dari negera-negara Arab, Cina, Jepang dan lain-lain.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang dititikberatkan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif. “Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.”32Dalam penelitian ini penelitian hukum yuridis normatif bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan hukum waris bagi masyarakat golongan Timur Asing Cina.

“Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”.33

31

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Catakan Kedua, Sinar Grafika, 2004, hal. 74

32Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op cit, hal. 13

(44)

Oleh karena tipe penelitiaan yang akan digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina terutama dalam masalah perkawinan dan hukum waris.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan.

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum tentang hukum waris.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahann hukum primer dan sekunder; misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.34

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan studi dokumen, untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan penelitian, studi dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini.

(45)

4. Analisis Data

“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.35

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.36

“Analisis data akan dilakukan dengan pendekatan kualitatif karena penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar”.37

35Lexy J. Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2002, hal. 101. 36

Bambang Sunggono,M eto d e Pen eli tian H uku m , Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hal. 106

(46)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN II SETELAH TERBITNYA PENETAPAN PENGESAHAN YANG DILAKUKAN SETELAH

PEWARIS MENINGGAL DUNIA

A. Pewarisan Dalam Sistem Hukum Perdata

1. Prinsip Pewarisan Perdata

Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH Perdata tentang Benda.

“Hukum Waris erat hubungannya dengan Hukum Keluarga, karena seluruh masalah mewaris yang diatur undang-undang didasarkan atas hubungan kekeluargaan sedarah karena perkawinan”.38 “Hukum Waris sebagai bidang yang erat kaitannya dengan hukum keluarga adalah salah satu contoh klasik dalam kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang tidak mungkin dipaksakan agar terjadi unifikasi”.39

Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut KUH Perdata) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.40

38Pitlo,Hukum Waris Buku Kesatu,diterjemahkan oleh F. Tengker,PT. Cipta Aditya Bakti,

Bandung, 1995, hal. 8 39

Erman Suparman,Hukum Perselisihan, Refika Aditama, Jakara, 2005, hal. 128

40A. Pitlo,Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan M.

(47)

Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.

Dasar hukum bagi ahli waris untuk mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum waris KUH Perdata adalah sebagai berikut :

a. Menurut ketentuan undang-undang. b. Ditunjuk dalam surat wasiat”.41

Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.

Di samping itu, peraturan perandang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi seseorang yang akan menjadi ahli waris terhadap seseorang yang meninggal dunia adalah surat wasiat. “Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia”.42“Sifat utama

41R Subekti,Op. cit., hal. 78.

(48)

surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku sesudah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali”.43 Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat wasiat meninggal dunia maka surat wasiat tidak dapat diubah, dicabut dan ditarik kembali oleh siapa pun termasuk yang menjadi ahli waris.

Kekayaan dalam pengertian waris adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan aktiva dan pasiva. Namun, pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi karena adanya kematian. Oleh karena itu, unsur-unsur terjadinya pewarisan mempunyai tiga persyaratan sebagai berikut: a. ada orang yang meninggal dunia;

b. ada orang masih hidup, sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

c. ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris.44

Hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”45 sebagaimana diatur dalam Pasal 833 jo Ps. 955 KUH Perdata. Hak-hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

43Zainuddin Ali,Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 85

44Zainuddin Ali,Op cit,hal. 82

(49)

“Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan”.46

Menurut Pasal 830 KUH Perdata : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.“ Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.

M. Idris Ramulyo mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu :

a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan kekayaan. Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada.

b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Hal ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan dapat beralih kepada si ahli waris.

c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu wujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris. Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal warisan dan ahli waris bersama-sama berada.47

Adapun syarat-syarat untuk memperoleh warisan adalah sebagai berikut : a. Syarat yang berhubungan dengan pewaris

46A. Pitlo,Op cit, hal. 58

47M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab

(50)

Untuk terjadinya pewarisan maka si pewaris harus sudah meninggal dunia/mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 830 KUH Perdata.

Matinya pewaris dalam hal ini dapat dibedakan menjadi :

1) Matinya pewaris diketahui secara sungguh-sungguh (mati hakiki), yaitu dapat dibuktikan dengan panca indra bahwa ia benar-benar telah mati.

2) Mati demi hukum, dinyatakan oleh Pengadilan, yaitu : tidak diketahui secara sungguh-sungguh menurut kenyataan yang dapat dibuktikan bahwa ia sudah mati.

b. Syarat yang berhubungan dengan ahli waris

Orang-orang yang berhak/ahli waris atas harta peninggalan harus sudah ada atau masih hidup saat kematian si pewaris. Hidupnya ahli waris dimungkinkan dengan:

1) Hidup secara nyata, yaitu dia menurut kenyataan memang benar-benar masih hidup, dapat dibuktikan dengan panca indra.

2) Hidup secara hukum, yaitu dia tidak diketahui secara kenyataan masih hidup. Dalam hal ini termasuk juga bayi dalam kandungan ibunya (Pasal 1 ayat (2) KUH Perdata).

“Menurut sistem hukum waris perdata, atas suatu pewarisan berlakulah ketentuan tentang pewarisan berdasarkan Undang-undang, kecuali pewaris mengambil ketetapan lain dalam surat wasiat”.48 Dalam hal ini terdapat asas yang penting dalam hukum waris perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 847 KUH

(51)

Perdata yang menentukan bahwa tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya.

Ciri khas hukum waris perdata Barat antara lain adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan. Hal itu berarti bila seseorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di pengadilan, maka tuntutan dimaksud, tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1066 KUH Perdata sebagai berikut :

1. Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk membiarkan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.

2. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut.

3. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya beberapa waktu tertentu.

4. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbarui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

“Selain itu, dalam KUH Perdata terdapat pula sebab-sebab ahli waris tidak patut atau terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris (Pasal 838, untuk ahli waris karena undang-undang dan Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat)”.49

Menurut Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Ahli waris yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan, adalah:

a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.

b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan

49Suparman Usman,Ikhtisar Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(52)

telah melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun lamanya atau lebih berat.

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.

d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris.

Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :

a. Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.

b. AdanyaSaisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.

c. Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.

d. Asas Individual, yaitu : Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.

e. Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.

f. Asas Penderajatan, yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.50

Di dalam KUH Perdata berlaku prinsip, bahwa dengan matinya pewaris, maka si mati berhenti sebagai persoon, dan semua hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya (Pasal 833 jo Pasal 955 KUH Perdata). Sekalipun redaksi pasal-pasal tersebut hanya berbicara tentang aktiva warisan saja, namun di dalam doktrin dari pasal-pasal tersebut ditafsirkan, bahwa yang beralih adalah baik aktiva maupun pasiva warisan. “Orang menggambarkannya dengan ungkapan le mort saisit le vif, si ahli waris melanjutkan persoon si pewaris. Hal ini berarti bahwa ahli-waris mengalihkan warisan dengan alas hak umum”.51

50M. Idris Ramulyo,Op.Cit, hal 95-96

51 J. Satrio,Surat Keterangan Waris Dan Beberapa Permasalahannya, Pertemuan Notaris,

(53)

Pada asasnya yang beralih adalah seluruh kekayaan Pewaris, semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan hukum kekayaan yang seringkali disebut dengan istilah “boedel warisan”. Boedel warisan meliputi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban Pewaris dalam lapangan Hukum Kekayaan. Jika seorang suami mengingkari keabsahan seorang anak (ahli waris), maka harus dibuat akte pengingkaran keabsahan anak dalam waktu 1 bulan jika ia berada di daerah kelahrian anak atau 2 bulan jika berada di luar daerah kelahiran anak. Jika dalam jangka watu tersebut suami meninggal, dan para ahli waris tidak melanjutkan pengingkaran tersebut maka tuntutan pengingkaran keabsahan anak tersebut menjadi gugur, sehingga dalam jangka watu 2 bulan anak tersebut dapat melakukan tuntutan hukum.

Peralihan itu terjadi demi hukum, yang berarti, bahwa pada asasnya semuanya terjadi dengan sendirinya, tanpa si pewaris dan si ahli waris harus melakukan suatu tindakan atau mengambil sikap tertentu. Sudah cukup apabila pewarisnya meninggal dunia dan orang yang terpanggil untuk mewaris masih hidup, dengan pengecualian sebagai yang disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata.

Apabila prinsip tersebut dilaksanakan secara absolut, maka akan timbul ketidakadilan. Ketidakadilan akan muncul bagi ahli waris apabila warisannya negatif yaitu apabila hutang-hutang warisan lebih besar dari aktivanya. Selain itu ketidakadilan juga muncul apabila seseorang yang pada saat meninggalnya ahli waris, ia masih hidup, namun kemudian ia meninggal dunia dan memiliki keturunan. Berpegang pada asas tersebut di atas, maka si pewaris maupun keturunannya tidak mewaris dari pewaris.52

52Ting Swan Tiong,Surat Keterangan Waris, Media. Notariat, No. 18 - 19 tahun VI - Januari

(54)

Terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan tersebut di atas, KUH Perdata ternyata memberikan kesempatan kepada ahli waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan yang terbuka, yaitu menerima atau menolak warisan, sedang untuk menghindarkan munculnya ketidak-adilan pada peristiwa yang disebut kedua, diciptakan lembaga penggantian tempat (plaatsvervuling).

Apabila ahli waris tersebut menerima warisan, maka semua hak dan kewajiban pewaris, untuk suatu bagian tertentu, sesuai dengan hak bagian dalam pewarisan beralih kepada dirinya. Hak bagiannya atas harta warisan tersebut bercampur dengan harta pribadinya. Dalam hal hutang warisan lebih besar daripada aktivanya, maka kekurangannya untuk suatu bagian yang sebanding dengan haknya dalam pewarisan ditanggung/dibayar dengan harta pribadi ahli waris yang bersangkutan.53

Dengan demikian dalam hukum waris menurut KUH Perdata berlaku asas : 1. Menolak warisan berarti menolak seluruh warisan sebagai satu kesatuan 2. Mereka yang sudah menerima warisan tidak bisa menolak lagi.

Untuk menghindari kerugian akibat adanya pewarisan, maka tersedia lembaga:

1. Menerima secarabeneficiair

Ahli-waris yang menerima warisan secara beneficiair hanya mau menerima warisan, apabila aktivanya lebih besar dari pasivanya. Untuk menentukan sikap seperti itu, maka aktiva dan pasiva warisan harus didaftar. Itulah sebabnya, bahwa penerimaan warisan secara beneficiair disebut juga menerima warisan dengan hak utama untuk mengadakan pencatatan boedel. Terhadap ahli waris yang menerima warisan secara beneficiair, harta warisan yang jatuh kepada ahli waris yang bersangkutan untuk sementara tidak bercampur dengan harta pribadinya.

2. Menolak warisan

Mereka yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Ia tidak menerima apa-apa dari warisan, tetapi ia juga tidak menanggung

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar 7 menunjukan hasil akurasi kinerja sistem bahwa nilai thershold level sebesar 0,1 untuk posisi horisontal menghasilkan tingkat akurasi yang baik dibandingkan dengan

Tugas khusus yang diberikan oleh perusahaan yaitu mengukur waktu tiap proses perakitan dengan metode time study dan mengatur keseimbangan lintasan guna untuk

Pada penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan atau kerusakan progesif terhadap fungsi nefron, yang mana merupakan akibat dari gangguan atau penyakit ginjal primer,

melalui penerapan metode pengeringan menggunakan bambu, mengembangkan diversifikasi produk olahan serta memanfaatkan limbah rumput laut sebagai pupuk organik cair

Pada prinsipnya, pemupukan dilakukan secara berimbang, sesuai kebutuhan tanaman dengan mempertimbangkan kemampuan tanah menyediakan hara secara alami,

Dampaknya adalah tenaga buruh yang menjadi korban, tenaga buruh dieksploitasi oleh pengusaha dan pemerintah masih terkesan tutup mata misalnya : l) upah yang sangat

Berdasarkan uraian di atas, tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan bentuk pemakaian kata sapaan berdasarkan keturunan matrilinial

Yaprak alma işlemi dikkate alınmaksızın soda ve kükürt yeşil aksam uygulamalarında her 3 yılda konvansiyonel bağ ile kıyaslandığında külleme hastalığı