• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT KETERANGAN

A. Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta

Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh Undang-undang dalam hal membuat akta otentik dan sekaligus Notaris merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ditentukan bahwa : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Menurut G.H.S. Lumban Tobing :

Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khususnya berwenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan- ketetapan, yang untuk itu diperintahkan oleh suatu undang-undang umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan otentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse-grosse, salinan-salinan dan kutipan-kutipannya; semuanya itu sejauh perbuatan akta-akta tersebut oleh suatu undang-undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.87 Notaris diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini menteri kehakiman, dan sebelum menjalankan jabatannya harus bersumpah lebih dahulu. Walaupun sudah diangkat tetapi belum disumpah, tidak boleh membuat akta. Jadi akta yang dibuat dihadapannya itu, telah didahului dengan sumpah. Sumpah dan akta notaris tidak dapat dipisahkan, oleh karena itu notaris tidak perlu lagi disumpah dalam hal menjadi saksi atas aktanya.88

87G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 68 88A.Kohar,Notaris Dalam Praktek, Alumni, Bandung, 1983, hal. 74

Dalam melaksanakan tugasnya, Notaris tunduk serta terikat dengan aturan-aturan yang ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan peraturan hukum lainnya pada umumnya. Menurut hukum yang merupakan produk atau hasil pekerjaan Notaris adalah berupa akta yang dibuat oleh Notaris. Di samping itu akta-akta yang dibuat oleh Notaris benar-benar dapat diterima sebagai alat bukti sempurna diantara para pihak yang berkontrak.

Notaris sebagai pejabat umum diberikan oleh peraturan perundang-undangan kewenangan untuk membuat segala perjanjian dan akta serta yang dikehendaki oleh yang berkepentingan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004. Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, dengan jelas digambarkan bahwa tugas pokok notaris adalah membuat akta-akta otentik yang menurut ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata berfungsi sebagai alat pembuktian yang mutlak. Hal ini dapat diartikan bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik adalah dianggap benar. ”Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab atas bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang”.89 Perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris atau dibuat dengan akta otentik itu mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut dan mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, sehingga Notaris dalam melaksanakan jabatannya berfungsi membantu terbentuknya hukum perjanjian antara para pihak.

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:

1. Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettelijke”dan ”niet wettelijke,” ”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan Undang- undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.

2. Notariat profesional, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat- akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.90

89

Mohandas Sherividya, Pengawasan Terhadap Notaris Dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Umum, Tesis, Magister Kanotariatan Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2008, hal. 40

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, seorang Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ditentukan bahwa Notaris berwenang untuk :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang.

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai pejabat pembuat akta, A. Kohar menerangkan bahwa :

Notaris dibatasi wewenangnya untuk akta otentik, hanya apabila hal itu dikehedaki atau diminta oleh yang berkepentingan hal mana berarti bahwa Notaris tidak berwenang membuat akta otentik secara jabatan. Dengan demikian

Notaris tidak berwenang untuk membuat akta dibidang hukum publik, wewenangnya terbatas pada pembuatan akta-akta dibidang hukum perdata. Pembatasan lainnya dari wewenang Notaris dinyatakan dengan perkataan- perkataan “mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan”. Sehingga tidak semua akta dapat dibuat oleh Notaris, akan tetapi hanya yang mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan.91

Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada Notaris untuk membuat akta otentik tidak boleh keluar atau menyimpang dari kewenangan yang ada dalam Undang-undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris itu sendiri.

Adapaun wewenang Notaris menurut G. S. Lumban Tobing adalah :

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya itu. Tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta, akan tetapi seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yakni yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat;

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat ; Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya di luar daerah jabatannya adalah tidak sah.

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu; Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga Notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya)”.92

Apabila salah satu persyaratan di atas tidak dipenuhi, maka akta yang dibuatnya itu adalah tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan, apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap. Demikian juga halnya, bahwa apabila oleh Undang-undang untuk sesuatu ”perbuatan,

91A. Kohar,Op cit, hal. 25

perjanjian dan ketetapan” diharuskan suatu akta otentik maka dalam hal salah satu persyaratan di atas tidak dipenuhi, perbuatan, perjanjian dan ketetapan itu dan karenanya juga akta itu adalah tidak sah.

Akta-akta yang dapat dikeluarkan Notaris dalam bentuk originali disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2004, antara lain :

a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai;

c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa;

e. Keterangan kepemilikan; atau

f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Setiap akta Notaris terdiri atas awal akta atau kepala akta, badan akta dan akhir atau penutup akta. Awal akta atau kepala akta memuat :

a. Judul akta; b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan

d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.93 Badan akta memuat :

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan

d. Nama lengkap, tempat an tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.94

Akhir atau penutup akta memuat : a. Uraian tentang pembacaan akta;

93Pasal 83 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 94Pasal 83 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.95

“Akta ialah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti”.96Akta itu bila dibuat di hadapan Notaris namanya akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta- akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.

Sedangkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan bahwa “Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh UU, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta itu, di tempat mana akta itu dibuat”.

Menurut R. Soegondo Notodisoerjo: “Agar dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum”.97“Akta ialah tulisan

95

Pasal 83 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 96A. Kohar,Op cit, hal. 3

97 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 43

yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti”.98 Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN disebutkan pengertian akta notaris yaitu akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. “Akta terbagi 2 (dua) yaitu yang dibuat oleh notaris (akta relaas) atau yang lebih dikenal dengan akta berita acara, dan akta yang dibuat di hadapan notaris, disebut akta partij yaitu akta atas kehendak para pihak yang dituangkan ke dalam minuta oleh notaris”.99

“Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, terutama sekali apabila akta tersebut menyangkut perjanjian antara kedua belah pihak. Artinya apabila terjadi sengketa maka akta itu merupakan bukti yang sempurna. Sehigga tidak perlu dibuktikan dengan alat bukti lain”.100 Suatu akta otentik apabila diperlihatkan kepada siapa saja, termasuk kepada hakim pengadilan negeri, maka mereka wajib mengakui sahnya dokumen tersebut, sepanjang tidak ada kecurigaan bahwa akta otentik itu dipalsukan.

Akta itu bila dibuat di hadapan Notaris namanya akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.101

98

A. Kohar,Loc cit

99Sutrisno,Komentar Atas UU Jabatan Notaris,Medan, 2007, hal. 154 100Sutrisno,Ibid,hal. 162

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dan sebagainya.

Suatu akta yang dibuat di bawah tangan, dapat juga dibawa ke Notaris untuk dibubuhkan cap Notaris. Dalam hal ini, sebelum membubuhkan cap Notaris, nomor dan tanggal, nomor mana harus dicatat dalam akta yang telah ditandatangani oleh Majelis Pengawasan Daerah, kemudian diberikan kata-kata

“Diketahui dan dibukukan dalam daftar yang dipergunakan itu oleh saya, (nama

notaris)”, dan ditandatangani Notaris.

Membubuhkan cap pada akta semacam itu dengan 2 (dua) cara yaitu: 1. Legalisasi atau Pengesahan

Untuk keperluan legalisasi itu, maka para penandatangan akta itu harus datang menghadap Notaris, tidak ditandatangani sebelumnya. Kemudian Notaris memeriksa tanda kenal, yaitu KTP atau SIM, atau tanda kenal lainnya. Pengertian kenal dalam hal ini berbeda dengan pengertian sehari-hari, yakni

Notaris harus mengerti benar sesuai kartu kenalnya, bahwa orangnya yang datang itu memang sama dengan kartu kenalnya, dia memang orangnya, yang bertempat tinggal di alamat kartu kenal itu, gambarnya cocok.

Sesudah diperiksa cocok, kemudian Notaris membacakan surat di bawah tangan itu dan menjelaskan isi dan maksud surat di bawah tangan itu. Jika akta itu bertentangan dengan undang-undang, maka akta itu harus dirubah, akan tetapi bila yang bersangkutan tidak bersedia merubahnya, maka surat itu tidak boleh dilegalisasi.

Oleh karena itu, surat di bawah tangan yang dilegalisasi itu sah apabila: a. “isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku. b. yang menanda tangani betul orangnya yang bersangkutan.

c. tanggalnya memang dibuat pada waktu ditandatangani itu, bukan tanggal lainnya”.102

2. Di-waarmerking atau didaftar atau ditandai

Untuk waarmerking surat di bawah tangan maka para penandatangan tidak perlu datang menghadap kepada Notaris, cukup surat saja yang sudah ditandatangani itu dibawa ke Notaris.

Dalamwaarmerkingini Notaris hanya mendaftar, jadi tidak menjamin: a. “bahwa isinya diperkenankan oleh hukum.

b. apa yang menandatangani memang betul orang yang bersangkutan.

c. apa tanggal yang ada pada surat si bawah tangan itu memang ditandatangani padawaktuitu”.103

Waarmerking hanya mempunyai arti penegasan tanggal saja, artinya bahwa pada tanggal di-waarmerking itu, akta itu sudah ada, lain tidak. Notaris tidak wajib membaca surat yang di-waarmerking itu di hadapan para pihak atau orang yang bersangkutan. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa waarmerking itu sama dengan legalisasi, karena ada cap Notaris, yang bergambar garuda, maka dianggap sah sama dengan legalisasi.

“Dari ketentuan di atas, akta di bawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawah tangan”.104

Suatu akta adalah otentik, bukan karena penetapan Undang-undang, akan tetapi karena dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta

103A. Kohar,Ibid, hal. 6

104 Retnowulan Sutantio dan Iskandan Oeripkartawinata,Hukum Acara Perdata Dalam teori dan Praktek,CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Kesebelas, 2009, hal. 69

otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara mudah dan cepat.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh- sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui akta Notaris yang akan ditandatangani.

Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menentukan bahwa “Badan atau Pajabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau

Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku”.

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 disebutkan bahwa : Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

“Dari penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 ternyata yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” bukan hanya “undang-undang” saja, tetapi juga meliputi semua keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum”.105

Dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa :

Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

Dalam penjelasannya dijelaskan bahwa Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat Penetapan Ahli Waris atau

105 Nanung El Beha,Dasar Hukum Kewenangan Notaris Untuk Membuat Akta Keterangan Hak Mewaris, http://nurhendro.blogdetik.com/index.php/2009/07/25/dasar-hukum-%E2%80%93- kewenangan-notaris-untuk-membuat-akta-keterangan-hak-mewaris/, diakses tanggal 16 April 2011

Surat Keterangan Ahli Waris.” Dengan demikian, maka PP No. 24 tahun 1997 dapat dianggap sebagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dari ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004.

B. Surat Keterangan Waris Sebelum dan Sesudah UUJN