• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM AHLI WARIS GOLONGAN

C. Kedudukan Hukum Ahli Waris Golongan II Setelah

“Ahli waris golongan II merupakan ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu bapak, ibu dan saudara-saudara si pewaris. Ahli waris ini baru dapat menjadi ahli waris apabila ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat”.70 Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang di atasnya.

Mengenai ahli waris golongan kedua ini diatur dalam Pasal 854, 855, 856 dam 857 KUH Perdata. Menurut Pasal 854 KUH Perdata warisan golongan II

69http://herman-notary.blogspot.com/2009/06/surat-keterangan-waris.html, Ibid

70Shandi Danuswarna, Hukum Waris Berdasarkan BW, http://www.docstoc.com/ docs/56795077/hukum-waris-bw, dipublikasikan tanggal 6 April 2009, diakss tanggal 1 Maret 2011

diperoleh karena haknya sendiri, sedangkan menurut Pasal 855 sampai 857 diperoleh karena pergantian tempat (plaatsvervuling).

Mengingat asas pergantian tempat ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu.71

“Dalam hukum perdata, mewarisi berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal terkait dengan hubungan hukum harta kekayaannya yang berkaitan erat dengan ke hendak terakhir orang yang meninggal tersebut. Kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai sumber hukum pembagian waris perdata”.72

Kehendak terakhir orang yang telah meninggal dunia memiliki arti yang kompleks, baik dalam arti formal (dituangkan dalam akta yang dibuat dengan syarat terbentuknya) maupun dalam arti materiil (berupa kehendak atau kemauan orang yang telah meninggal terhadap hartanya. ”Terhadap arti materil ini kemudian

71 H. Hatpiadi, Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam Dan Hukum Adat, http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/108-beberapa- asas-hukum-kewarisan-menurut-kitab-undang-undang-hukum-perdata-hukum-islam-dan-hukum- adat.html, dipublikasikan tanggal 13 Februari 2011, diakses tanggal 1 Maret 2011

diformalkan dalam bentuk akta yang telah umum dikenal dengan sebutan testamen atau surat wasiat”.73

“Harta waris dalam hukum perdata disebut sebagai hak milik bersama yang terikat atau gebonden mede eigendom. Artinya, kebersamaan terhadap kepemilikan harta waris tidak dapat diakhiri hanya dengan kesepakatan dari para pihak, tetapi harus melalui perbuatan hukum tertentu dan juga memiliki hubungan lain atas kepemilikan bersama para pihak”.74

Perbuatan hukum tertentu misalnya harus ada pemisahan harta peninggalan. Pemisahan harta peninggalan harus dibagi terlebih dahulu sebelum terjadi peralihan hak kepemilikan. Perbuatan pemisahan harta inilah yang disebut sebagai perbuatan hukum tertentu.

”Hubungan lain atas kepemilikan para pihak maksudnya harus memiliki hubungan yang dapat menyebabkan harta waris tersebut sah dibagi yang biasanya berasal dari hubungan darah, yaitu hubungan orangtua dan anak, atau hubungan perkawinan, yaitu hubungan suami dan istri”.75

Menurut KUH Perdata yang beralih kepada ahli waris dari seseorang yang mati meliputi seluruh hak dan kewajiban si yang mati. Dengan demikian wajar jika KUH Perdata mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan. Ahli waris dapat menentukan salah satu sikap diantara tiga tersebut yaitu :

1. Dapat menerima harta warisan seluruhnya

73Badriyah Harun,Loc cit 74Badriyah Harun,Ibid, hal. 17 75Badriyah Harun,Loc cit

2. Menerima dengan syarat 3. Menolak.

Sebelum menentukan sikap kepada ahli waris tersebut diberikan kesempatan dan waktu untuk berfikir selama tenggang waktu empat bulan, kalau perlu dapat diperpanjang oleh Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 1023 s/d 1029 KUH Perdata.

Secara limitatif KUH Perdata mengatur tentang ahli waris yang menerima harta peninggalan ialah :

1. Ahli Waris yang mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) atau mewaris secara langsung.

Golongan Kedua, orang tua pewaris dan saudara-saudara pewaris, bagian orang tua disamakan dengan bagian saudara-saudara pewaris, tetapi ada jaminan dimana bagian orang tua tidak boleh kurang dari seperempat harta peninggalan (Pasal 854 KUH Perdata), sebagaimana dalam skema berikut :

Bagian masing-masing ahli waris : F dan G mendapat prioritas masing-masing ¼ harta, sisa ½ untuk berbagi sama rata.

Dalam kasus ini, almarhum Ngan Seng Mei yang meninggal pada 19 September 2007, sesuai dengan Surat Keterangan Nomor: 474 s/d 216 tanggal 02 Oktober 2007, tidak ada meninggalkan istri maupun anak semasa hidupnya.

Kematian seseorang menurut KUH Perdata mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 833 KUH Perdata, “sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia, tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian juga bila ahli waris tersebut mengetahui tentang adanya harta warisan dimaksud.

Dalam Hukum Perdata/BW tidak ada dibedakan saudara kandung maupun saudara seibu saja atau saudara sebapak saja sesuai dengan pasal 854 KUH Perdata.

Kedua orang tua almarhum Ngan Seng Mei telah terlebih dahulu meninggal dunia. Selanjutnya almarhum Ngan Seng Mei ada meninggalkan 4 (empat) orang saudara kandung yaitu Ngan Sim, Halidjah Gani, Ngang Seng Hin, dan Achmad Ghani. Oleh karena Ngan Seng Mei tidak ada meninggalkan istri, anak maupun orang tua, maka berdasarkan Pasal 854 KUH Perdata para saudara kandung almarhum Ngan Seng Mei menjadi ahli waris golongan II yang diperoleh karena haknya sendiri.

Para saudara kandung almarhum Ngan Seng Mei telah mengajukan penetapan sebagai ahli waris dari almarhum Ngan Seng Mei yang telah disahkan melalui Akta Surat Keterangan Hak Waris No. : 04/ SKHW/MSM/ XII/ 2007, tanggal 24 Desember 2007 yang dibuat oleh Notaris.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 memberikan definisi Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Notaris adalah pejabat umum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang berbunyi : ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya”.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, seorang Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-

lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut dapat dihindari, dalam proses penyelesain sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik tertentu tidak ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak yang berkepentingan demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dengan demikian, akta surat keterangan ahli waris dari Ngan Seng Mei tersebut yang dikeluarkan oleh Notaris, merupakan akta otentik yang mempunyai kepastian dan kekuatan hukum, serta perlindungan hukum. Oleh karenanya dengan dikeluarkannya

penetapan pengesahan ahli waris tersebut, para ahli waris almarhum Ngan Seng Mei

BAB III

AKIBAT HUKUM PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN YANG DILAKUKAN SETELAH PEWARIS MENINGGAL DUNIA

A. Sahnya Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam KUH Perdata adalah ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 26 KUH Perdata.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita.

Dari kedua pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui bahwa KUHPerdata suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal diatas hanya memandang hubunganan perdata saja, yaitu hubungan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia.

Ikatan batin berarti bahwa suatu perkawinan merupakan suatu pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.

Undang-undang perkawinan menentukan syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan.

2. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umur yang disebutkan di atas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak lelaki. Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan untuk pihak perempuan sudah mencapai 16 tahun. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 tahun ke atas tidak memerlukan izin dari orang tuanya.

3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau

lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan di atas.

6. Hal-hal yang disebutkan pada angka 1 sampai 5, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.76

“Untuk orang Golongan Timur Asing Cina dari agama apapun, juga untuk orang Indonesia yang beragama Kristen, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat

76 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakartam 2007. hal. 13-14

nikah dari kantor catatan sipil setempat sedangkan orang-orang yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh pegawai, pencatat talak dan rujuk dari kantor urusan agama”.77

Perkawinan dalam Pasal 27 KUH Perdata menganut asa monogami dimana pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja. Seorang laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun berdasarkan Pasal 29 KUH Perdata jika ada alasan- alasan penting, Presiden dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.

Bagi pasangan yang hendak melaksanakan perkawinan, sesuai ketentun Pasal 50 jo 51 KUH Perdata harus memberitahukan hal itu kepada Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu pihak baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami-istri, dan tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh Pegawai Catatan Sipil.

77

Syarat-syarat yang dipandang sebagai orang beragama Islam, terdapat 4 paham :

a. Paham pertama : orang dapat dianggap beragama Islam jika menurut pandangan masyarakat dapat dimasukkan dalam golongan orang-orang Muslim dan tidak menyangkal atau ia mengakui bahws ia termasuk golongan orang-orang Muslim dan jika ia kawin, perkawinannya diselenggarakan secara Islam, dan jika ia mati dikubur secara Islam.

b. Paham kedua: Barang siapa mengucapkan kalimat Syahadat, bahwa ia sungguh-sungguh percaya “tidak ada Tuhan kecuali Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT”, maka ia dipandang beragama Islam”.

c. Paham ketiga : tidak cukup dengan mengucapkan kalimat syahadat saja, kecuali kepercayaan yang diucapkan dengan kalimat syahadat itu, orang juga percaya pada hal-hal lain yang termasuk kepercayaan Islam”.

d. Paham ke empat: “Orang hanya dipandang beragama Islam, kalau ia kecuali mengakui kebenaran agama Islam, juga melakukan ibadah, terutama shalat dan puasa

Selanjutnya Pegawai Catatan Sipil akan membuat surat pengumuman sebelum dilaksanakannya perkawinan tersebut. Bila kedua calon suami isteri tidak bertempat tinggal dalam wilayah Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman itu akan dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal masing-masing pihak.

Bila calon suami isteri belum sampai enam bulan penuh bertempat tinggal dalam daerah suatu Catatan Sipil, pengumumannya harus juga dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil di tempat tinggal mereka yang terakhir. Bila ada alasan-alasan yang penting dan kewajiban membuat pengumuman tersebut di atas boleh diberikan dispensasi oleh Kepala Pemerintahan Daerah yang di daerahnya telah dilakukan pemberitahuan kawin. Bila perkawinan itu belum dilangsungkan dalam waktu satu tahun, terhitung dari waktu pengumuman, perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan, kecuali bila sebelumnya diadakan pengumuman lagi.

Dalam suatu negara yang teratur segala hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran, kematian, pernikahan dan sebagainya. Lagi pula perkawinan bergandengan erat dengan waris mewarisi, sehingga perkawinan perlu dicatat untuk menjaga jangan sampai ada kekacauan.

Atas dasar pemikiran ini dapat dilihat urgensi pencatatan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan bertujuan agar terwujud adanya kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri. Dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil sahnya perkawinan.

Persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Dengan adanya pencatatn perkawinan maka eksistensi perkawinan secara yuridis formil diakui.

Secara umum dapat dikatakan ada 2 (dua) prinsip atau pola pengaturan mengenai sahnya perkawinan, yakni :

a. menurut hukum negara (perkawinan perdata) sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan;

b. menurut hukum agama.

Dalam hal sahnya perkawinan menurut hukum negara, maka ukuran menentukan sah atau tidaknya perkawinan semata-mata berdasarkan pada hukum negara. Artinya suatu perkawinan adalah sah, jika dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh hukum negara, lazimnya tidak memperhatikan sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum agama. Sebaliknya prinsip yang kedua ialah perkawinan menurut hukum agama, artinya sah atau tidaknya suatu perkawinan didasarkan pada hukum agama, yaitu perkawinan yang syarat dan prosedurnya semata-mata berdasarkan pada hukum agama dan lazimnya tidak memperhatikan hukum negara.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur sahnya perkawinan dalam Pasal 2, yang menentukan :

(1)Perkawinan adalah sah jika dilangsungkan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya mereka itu.

(2)Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pola pengaturan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, terdapat beberapa pendapat mengenai sahnya perkawinan yaitu:

1. Sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 berdasarkan pengaturan tersebut ialah semata-mata menurut hukum agama, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administratif. Penjelasan Pasal 2 menentukan bahwa : Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

2. Pendapat ini menyatakan bahwa sahnya perkawinan ialah berdasarkan hukum agama dan hukum negara, sehingga pencatatan perkawinan tidak semata-mata bersifat administratip, karena mempengaruhi sah atau tidaknya perkawinan tersebut.78

Syarat sahnya perkawinan, harus memenuhi syarat materiil yang terdiri dari syarat materiil umum dan syarat materiil khusus. Syarat materiil umum, syarat yang mengenai diri pribadi calon suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan, yakni harus ada persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)), usia bagi pria 19 tahun wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), tidak terikat dalam perkawinan-prinsip monogami (Pasal 9, 3), dan berlakunya waktu tunggu (masa iddah, Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975).

Syarat materiil khusus berupa larangan-larangan untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974), dan izin untuk melangsungkan perkawinan, bagi mereka yang belum genap bersusia 21 tahun (Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974). Bagi yang telah berumur 21 tahun boleh menikah tanpa izin. Syarat

78 Wahyono Dharmabrata, “Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia”, Seminar InternasionalProgressive Development of Marriage Law, Universitas Indonesia, 2010, hal. 4

formil, terdiri dari syarat yang mendahului perkawinan misalnya pemberi tahuan niat akan melangsungkan perkawinan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 6 PP No. 9 Tahun 1975 dan pencatatan Pasal 2 PP No. 98 Tahun 1975. Sedangkan syarat yang menyertai perkawinan Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun 1975.

Pencatatan perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan tersebut sah menurut agama dan juga hukum positif. Kesatuan pandangan ini sangat penting untuk dilaksanakan agar dalam perkara yang sama tidak terjadi putusan yang berbeda. Di samping itu, dengan adanya kesamaan pandangan para Hakim Peradilan Agama ini diharapkan dapat memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat agar mereka patuh pada hukum dan menyadari bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan yang berlaku akan membawa kemudaratan kepada pihak-pihak yang melakukannya dan juga kepada keturunannya. Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan kepastian hukum bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini sejalan dengan prinsip/kaidah hukum Islam untuk memperoleh kemaslahatan. Adapun dampak perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara, anak-anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang tuanya, anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya karena tidak ada bukti autentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya, atau hak-hak lain dalam pelaksanaan administrasi negara yang mesti harus dipenuhi sebagai bukti diri.

Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan yang sudah jelas ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal yang bunyinya: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak