• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT KETERANGAN

B. Surat Keterangan Waris Sebelum dan Sesudah UUJN

Mengenai siapa ahli-waris dari pewaris tertentu, ditetapkan oleh hukum yang berlaku bagi pewaris. Dalam praktek, untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang hal itu, yang dapat dipakai sebagai pegangan oleh para ahli waris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris. Surat seperti itu disebut surat keterangan waris. Dengan demikian bahwa surat keterangan waris merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli waris pada umumnya.

Surat keterangan waris merupakan akta yang menetapkan siapa ahli waris pada saat pewaris meninggal dunia dan berapa hak bagiannya atas warisan. Surat keterangan waris pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa diantara para ahli-waris. Sekalipun surat keterangan waris mendapat pengakuan dalam undang-undang maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu ketentuan umum yang mengatur bentuk dan isi surat keterangan waris Surat keterangan waris yang dibuat oleh notaris di Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri Belanda.106

106 Satrio, “Surat Keterangan Waris dan Beberapa Permasalahannya”, http://mkn- unsri.blogspot.com/2010/03/surat-keterangan-waris-dan-beberapa.html, dipublikasikan tanggal 14 September 2004, dikutip tanggal 8 Oktober 2011

Pemberian nama surat keterangan hak waris merupakan terjemahan harfiah dari

verklaring van erfrecht. Apabila hendah diterbitkan dalam bentuk akte tersendiri (yang berdiri sendiri, lazimnya dibuat dan diterbitkan dalam bentuk akta di bawah tangan), maka penerbitan surat keterangan hak waris (verklaring van erfracht) ini disesuaikan dengan kewenangan pejabat yang berwenang membuatnya dan kewenangan pejabat yang menerbitkannya disesuaikan pula menurut penggolongan hukum dan penggolongan penduduk yang berlaku bagi WNI yang bersangkutan. Alasan diterbitkan secara di bawah tangan karena surat itu merupakan keterangan yang dibuat oleh Notaris berdasarkan data berupa surat maupun keterangan yang diperolehnya tanpa perlu dihadiri oleh komparan tertentu yang akan terlihat pada bagian komparisi bila dibuat dalam bentuk minuta; lagi pula bila dibuat dalam bentuk minuta (dengan kehadiran penghadap) maka meskipun judul aktanya memakai nama “surat keterangan hak waris”, tetapi karena menggunakan komparan menurut hukum ini dinilai sebagai keterangan para penghadap dalam akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris dan bukan keterangan notaris itu sendiri.107

Dalam praktek notaris sehari-hari cukup banyak permasalahn hukum waris yang timbul yang disebabkan oleh :

1. Perbedaan hukum waris bagi masyarakat Indonesia (plurarisme) yaitu : a. Hukum waris Islam bagi yang beragama Islam

b. Hukum waris menurut Hukum Perdata Barat bagi yang tunduk pada Hukum Perdata Barat

c. Hukum adat yang juga berbeda-beda menurut masing-masing daerah yang berlaku bagi yang tunduk pada Hukum Adat.

2. Tidak lengkapnya pengaturan instansi mana yang diberi wewenang untuk memuat ketetapan/keterangan ahk waris”.108

Dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah untuk keperluan peralihan hak atas tanah karena pewarisan menyatakan bahwa peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti bahwa sejak itu para

107

Syahril Sofyan, Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan), Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011, hal. 101

108R. Soerjono Wingsowidjojo,Inventarisasi Masalh Hukum Waris Dalam Praktek, Makalah Pada Simposium Hukum Waris Nasional, BPHN, 1989, hal. 172

ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata yang berlaku bagi pewaris.

Berdasarkan Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 yang merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila hendak melakukan pendaftaran peralihan hak karena warisan, terdapat tiga bentuk dan tiga institusi yang membuat bukti/surat keterangan waris, yaitu :

1. Bagi warganegara Indonesia penduduk asli, surta keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

2. Bagi warganegara Indonesia keturuna Tionghoa, akta keterangam hak mewaris dari notaris;

3. Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Pembuatan surat keterangan waris yang berbeda-beda merupakan salah satu konsekuensi akibat masih berlakunya pluralisme sistem hukum waris dan terdapatnya perbedaan kebutuhan keperdataan masing-masing golongan penduduk.

a. Warganegara Indonesia penduduk asli

Kewenangan pembuatan surat keterangan waris bagi warganegara Indonesia penduduk asli adalah kewenangan regent atau kepala pemerintah setempat. Pembuktian sebagai ahli waris dibuat di bawah tangan, bermaterai oleh para ahli waris sendiri dengan 2 (dua) orang saksi dan diketahui atau

dikuatkan oleh Lurah/Kepala Desa dan Camat setempat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris.

Lurah/Kepala Desa dan Camat tunduk pada kaidah-kaidah dan berada dalam ruang lingkup Hukum Administrasi sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak tepat jika bukti ahli waris yang berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata, harus disaksikan/diketahui dan dibenarkan serta ditandatangani oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”.109

b. Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa

Pada dasarnya Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld bukan merupakan undang-undang yang khusus mengatur wewenang notaris dalam pembuatan surat keterangan waris, namun di dalam praktek dianggap sebagai dasar hukum kewenangan notaris dalam pembuatan surat keterangan waris. Menurut Tan Thong Kie “Selama ini pembuatan surat keterangan waris oleh seorang notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar dalam undang-undang di Indonesia, sehingga di dalam praktek ditemukan bermacam-macam bentuk surat keterangan waris”.110

Surat keterangan waris (verklaring van erfrecht) yang dibuat oleh notaris adalah keterangan waris yang dibuat bagi ahli waris dari warga/golongan keturunan Tiong Hoa. Surat keterangan waris tersebut dibuat di bawah tangan, tidak dengan akta notaris.111Pembuatan surat keterangan waris bagi keturunan Tiong Hoa oleh notaris, mengacu pada Surat Mahkamah Agung RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/ V/K/1991. Surat Mahkamah Agung tersebut

109Herlien Budiono, Op cit, hal. 8 110Tan Thong Kie,Op cit, hal. 362 111Herlien Budiono, Loc cit

telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris untuk Warga Negara Indonesia itu adalah:

a. Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh Notaris;

b. Golongan penduduk asli Surat Keterangan oleh Ahli Waris, disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat.

c. Golongan keturunan Tionghoa, oleh Notaris;

d. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).

c. Warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya

“Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, pembuatan surat keterangan waris adalah di tangan Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) Ordonnantie 22-7-1916, Stb. 1916- 517 diubah L.N. 1931 no. 168 dan L.N. 1937 No. 611”.112

Keberadaan Balai Harta Peninggalan secara struktural kelembagaan merupakan lembaga pemerintah (eksekutif) yang berada dalam ruang lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melaksanakan urusan pemerintah. Bukti ahli waris yang merupakan bukti perdata tidak

tepat jika dikeluarkan oleh Pejabat yang tunduk pada Hukum Administrasi.113

2. Surat keterangan waris setelah UUJN

Di dalam teori hukum yang berlaku sekarang ini sumber hukum yang diakui secara umum adalah perundang-undangan, kebiasaan, putusan pengadilan, doktrin dan asas-asas hukum. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dikenal asas konkordansi, yakni sejauh mungkin menyelaraskan perundang-undangan di Hindia- Belanda dengan apa yang berlaku di Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan bahwa, maka segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Selama ini kita telah menerapkan seluruh kaidah hukum termasuk hukum perdata yang nota bene dibentuk oleh pembuat undang-undang Nederland dan dinyatakan berlaku di Indonesia sebagai hukum positip, walaupun beberapa diantaranya telah dicabut dan diberlakukan hukum yang baru.

Asas konkordansi sudah tidak dapat diterapkan lagi sejak Indonesia merdeka. Lepas dari sumber hukum dan asas konkordansi tersebut, hukum harus pula didukung oleh politik hukum dan kesadaran. hukum sesuai dengan tata nilai dan filsafat hukum dari negara yang bersangkutan. Tetap mendasarkan pada asas “konkordansi” Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) Grootboeken der Nationale Schuld sebagai kebiasaan sudah tidak tepat lagi. Indonesia mempunyai politik hukum dan kesadaran hukum

113 Habib Adjie, Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris, CV. Mandar Maju, 2008, hal. 12

berdasarkan tata nilai dan filsafat hukum sendiri yang menjadi dasar dari perundang- undangan termasuk UUJN dan penerapannya. Kita harus berusaha untuk mempunyai pendapat dan dasar hukum sesuai dengan politik hukum, kesadaran hukum dan tentunya tata nilai dan filsafat hukum Indonesia termasuk di dalam pembuatan SKW.114

Sebelum diterbitkannya UU Jabatan Notaris, para notaris selama ini telah mendasarkan kewenangan pembuatan surat keterangan waris diantaranya pada PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Keputusan Menteri adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang setingkat lebih rendah dari Keputusan Presiden. Kewenangan Menteri untuk membentuk suatu Keputusan Menteri bersumber dari Pasal 17 UUD 1945, di mana Menteri Negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas yang diberikan kepadanya. Menteri-menteri yang dapat membentuk suatu Keputusan Menteri adalah Menteri-menteri yang memegang suatu departemen, sedangkan Menteri Koodinator dan Menteri Negara hanya dapat membentuk suatu Keputusan yang berlaku secara intern, dalam arti keputusan yang tidak mengikat umum.115

“... Menteri Koordinator dan Menteri Negara bukan merupakan lembaga- lembaga Pemerintah dalam Perundang-undangan sebab dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang adalah Menteri Departemen, sedangkan menteri-menteri lainnya hanya dapat membuat peraturan yang bersifat intern, dalam lingkungannya sendiri, jadi tidak mengikat umum”.116

114

Herlien Budiono,Op cit, hal. 13

115Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, cet.5, 2002, hal. 101

PMNA/BPN Nomor 3 Tahun 1997 tersebut tergolong pada keputusan yang berlaku secara intern dan tidak mengikat umum dan pada dasarnya, merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila hendak melakukan pendaftaran peralihan hak karena warisan.

Menurut Bagir Manan dan Kuntara Magnar, “Pengertian perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku”.117

Oleh karena itu, Peraturan Menteri Negara Agraria tersebut tidak dapat memberi wewenang kepada notaris sebagai dasar pembuatan surat keterangan waris sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (3) UUJN. “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, mengingat Peraturan Menteri Negara Agraria tersebut hanya berlaku intern dan tidak mengikat umum.

Kewenangan notaris yang utama adalah membuat akta otentik sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

117 Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembianaan Hukum Nasional, Armico, Bandung 1987, hal. 13

Bentuk surat keterangan waris di bawah tangan yang dibuatkan oleh notaris adalah bukan bentuk yang diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. “Kelemahan atas bentuk surat keterangan waris dibawah tangan diantaranya jika ada kesalahan atas isi surat keterangan waris tidak mungkin dicabut kembali oleh Notaris yang telah membuatnya sendiri”118surat keterangan waris yang dibuat dalam bentuk otentik atas pernyataan para pihak, jika ada kesalahan keterangan yang diberikan adalah merupakan tanggung jawab para pihak sendiri. Lagipula bentuk surat keterangan waris di bawah tangan tidak mempunyai nilai pembuktian sebagaimana halnya dengan kekuatan pembuktian akta otentik.

Surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris merupakan akta di bawah tangan dan bukan merupakan akta notaris. Adapun surat keterangan waris (verklaring van erfrecht) yang dibuat oleh notaris adalah keterangan waris yang dibuat bagi ahli waris dari warga/golongan keturunan Tionghoa. Surat keterangan waris tersebut dibuat di bawah tangan, tidak dengan akta notaris.

Norma tertulis pasca proklamasi yang terakhir mengatur wewenang penerbitan Surat Keterangan Hak Waris ini adalah Pasal 111 ayat (1) huruf c dari Peraturan menteri Negara Agraria No. 3/199722. Isinya serupa atau pararel dengan Surat Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/Kumdil/171/ V/K/1991 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Mahkamah AgungRI ini merujuk kembali kepada SE Mendagri c.g. Dirjen Agraria No. Dpt/12/63/12/69 tanggal 20 Desember 1969. Surat yang disebutkan terakhir ini menentukan pejabat yang berwenang menerbitkan SKHW berdasarkan status atau golongan hukum pewaris.119

118Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 67-68

Pembuatan surat keterangan waris bagi keturunan Tionghoa oleh notaris, mengacu pada Surat Mahkamah Agung (MA) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/ V/K/1991. Surat MA tersebut telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk Warga Negara Indonesia itu:

- Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh Notaris;

- Golongan penduduk asli Surat Keterangan oleh Ahli Waris, disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat.

- Golongan keturunan Tionghoa, oleh Notaris;

- Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).

Menurut Syahril Sofyan :

Khusus untuk daerah Medan dan sekitarnyam surat keterangan waris bagi golongan Pribumi dibuat berdasarkan pernyataan yang diterbitkan oleh para ahli waris dan selanjutnya Camat menerbitkan surat keterangan waris berdasarkan pernyataan dimaksud, sedangkan di daerah DKI Jakarta dan sekitarnya surat keterangan waris yang berlaku untuk orang pribumi diterbitkan sendiri oleh ahli waris bersama-sama, dikuatkan Lurah dan selanjutnya dikuatkan oleh Camat.120

Penetapan ahli waris dikeluarkan oleh pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama). Penetapan ahli waris untuk yang beragama Islam dibuat oleh

Pengadilan Agama atas permohonan para ahli waris. Dasar hukumnya adalah Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan, penetapan ahli waris yang beragama selain Islam dibuat oleh Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah Pasal 833 KUHPerdata.

Dengan demikian penetapan ahli waris baik yang dikeluarkan oleh pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri) atau akta waris yang dibuat oleh notaris diakui secara hukum. Sehingga, dalam hal ahli waris telah memiliki akta waris yang dibuat oleh notaris, maka yang bersangkutan tidak perlu lagi meminta penetapan ahli waris dari pengadilan.

Tidak dapat dipungkiri fenomena kesadaran WNI yang mencari kepastian hukum sekaligus kepastian hak serta kepastian kewajiban mereka dengan memintakan peran Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk menerbitkan keterangan hak warisnya dan dalam praktek jasa Pengadilan dalam hal ini lajimnya diterbitkan dalam bentuk penetapan (beschhikking) dan pada umumnya Notaris menerima penetapan atau keputusan hakim (vonnis) yang bersangkutan untuk dilaksanakan dengan atau melalui aktanya dalam pembagian warisan yang bersangkutan, tentu saja sesudah Notaris menyakinkan dirinya bahwa beschhikkingatau vonnis tadi sudah mempunyai kekuatan pasti (in kracht van gewijsde) dan diterima oleh segenap ahli waris.121

C. Kekuatan Pembuktian Surat Keterangan Ahli Waris yang Dibuatkan Oleh