PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY (Studi Deskriptif Cafe Shop Di Kota Medan)
DISUSUN
O L E H
WINDA PURWANI 090901009
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmad dan karunianya,sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY ( Studi Deskriptif Café Shop Di Kota Medan )”. Adapun penyusunan dan penulisan Skripsi ini merupaka salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sosiologi pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatra Utara.
Penulis juga menyadari bahwa Skripsi ini tidak luput dari kekurangan disana-sini,
baik dari segi susunan, tata bahasa, maupun dari segi ilmiah atau isinya, mengingat
keterbatasan yang dimiliki oleh Penulis disamping pengetahuan dan pengalaman yang
masih kurang,dan juga kurangnya bahan pustaka yang penulis gunakan dalam
penyusunan Skripsi ini.
Selama dari tahap awal hingga sampai penyelesaian Skripsi ini, penulis banyak
melibatkan berbagai pihak,baik secara langsung maupun tidak langsung. penulis juga
menerima bantuan berupa moril, spiritual, dan dorongan serta bimingan dari berbagai
pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc.(CTM)Sp. A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatra Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan serta seluruh staf pegawai dan
administrasi.
3. Ibu Drs. Lina Sudarwati, M. Si selaku ketua departemen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik.
4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Seketaris Departemen Sosiologi Fakultas
5. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Wali Penulis, serta selaku
Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu, nasehat untuk
membimbing penulis sehingga selesainya skripsi ini dengan baik.
6. Bapak /Ibu Dosen dan staf pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosila
dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat
menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan
ditengah-tengah masyarakat.
7. Spesial penghargaan dengan rasa sayang serta rasa cinta saya persembahkan
kepada Ayahanda Ali Purnomo dan Ibunda Nurbaiti Simatupang yang telah
mendidik dan membesarkan serta selalu memberikan semangat, doa dan kasih
sayangnya kepada saya tanpa mengenal lelah demi keberhasilan anaknya hingga
selesainya Skripsi ini. Terima kasih banyak ibunda.
8. Adik-adikku: Maulani Hasanah SE, Lia Wahyuni, dan Fathan Ragil yang saya
sayangi, selalu semangat menggapai cita-cita.
9. Kekasihku Ahmad Reyza yang telah memberikan semangat, perhatian dan
dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga sukses selalu buat
kita.
10. Kepada teman-teman seperjuangan Angkatan 2009. Riya, Novha, Siti, May
Yuliarti, Dede, Irfin, Ridho, Bima, Dewi, Edi, Wisnu, Winda Kataren, Fitri,
Syahid, Tian, Johan, Siska, Rani, willer, sri, Joni, Abdul Rahman, Irvin dan yang
tidak bisa dituliskan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan kalian
semua,atas kerja sama yang sudah terjalin selama masa perkuliahan.
11. Semua pihak yang telah membantu baik selama penulis menjalani kuliah maupun
saat menulis skripsi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Uraian terima kasih yang penulis sampaikan belum sebanding dengan apa yang
kesalahan dalam penulisan skripsi ini, penulis memohon maaf karena keterbatasan yang
penulis miliki. Selain itu, kesempurnaan hanya milik ALLAH Swt. Terimakasih
Medan
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... 11
1.5. Sistematika Penulisan…... 11
BAB II : KAJIAN PUSTAKA 2.1. Homoseksual ... 13
2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual…... 14
2.3. Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual... 27
2.4. Pengertian Homoseksual (Gay) ... 29
2.5. Jenis Homoseksual (Gay)………..….. 31
2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay ……….… 33
2.7. Kajian tentang Motif ………..… 34
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 42
3.2. Lokasi Penelitian... 43
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 43
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.5. Alat Pengumpulan Data Data... 45
BAB IV : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 47
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ……….. 105
ABSTRAK
Homoseksual bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian maknanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan deskriptif kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Partisipan dan Lokasi Penelitian Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Karakteristik Partisipan Penelitianpria atau wanita yang memiliki orientasi homoseksual, diketahui melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari pihak ketiga. Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil sampel 2 (dua) orang homoseksual. Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan. Pemilihan kota Medan dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menemukan partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.
ABSTRACT
Homosexual how they take a position in undergoing the process of finding meaning. The purpose of this study was to gain an understanding of the meaning of life of homosexuals, particularly in the city of Medan.
This study used qualitative research methods deemed appropriate approach to be able to know how the meaning of life in couples who do not have children. Participants and Location Research In one study, the population and the sample is something that must be considered. Population is all the individuals to whom the facts obtained from the sample to be generalized. Participants study the characteristics of men or women who have a homosexual orientation, known through direct interviews or information from third parties. This qualitative study took a sample of 2 (two) people homosexual. The location of this research is in the city of Medan. Medan municipal elections because researchers did live in the city of Medan and thus would make it easy for researchers to find participants. In this study, researchers collected data using interviews and observations during the interview will be conducted.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan
jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada
pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada
orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka
lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria
tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut
sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria
homoseksual (Kompas, 26 September 2006).
Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru.
Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006)
mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius
Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survey
antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia
mempraktekkan dan melembagakan homoseksualitas, meskipun masih belum
dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di
Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani
menunjukkan jati diri mereka.
Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan
bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum
nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka,
tidak lagi takut takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.
Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan
mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara
atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai
wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum
homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti
Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis
(http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).
Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi
seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005)
mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya
sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement
yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku
homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku
sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan
hubungan homoseksual yang menyenangkan. Sementara itu, Bem (1996, dalam
Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi
terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak
terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang
mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis
kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah
memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini
terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun
(bulan Oktober 2007): “Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya
tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa
pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.” (komunikasi personal Oktober 2007)
Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi,
menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:
"Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah
siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue
udah sejauh ini ya?’” (Boulevard's Blog June 2007.html)
Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang
tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang
gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima
aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang
lain tentang homoseksual, maka pada bulan Agustus 2007 peneliti melakukan
wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat:
”Homo?Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....”
”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak
menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007)
Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai
homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam
“Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me
when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network.
My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried
myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been
kicked in the solar plexus.” (Carroll, 2005:hlm. 330)
Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam
hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih
banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga
dan teman temannya (Carroll, 2005).
Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu:
”closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’
mengacu pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah “coming out” merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai
homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang
menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset” kemudian bermakna strategi
pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat
heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).
Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat
sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki
kemampuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang
berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain,
“I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would
cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the
other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle
school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,”
words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried
that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly
be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone
“normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or
bashed – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was
terrified that it would kill my parents.” (Carroll, 2005:hlm. 342)
“Saya akui bahwa saya memang punya kecenderungan menyukai sesama
jenis. Saya punya teman akrab seorang lelaki yang sudah menikah. Hampir setiap
hari kami jalan bersama. Dia berbadan gemuk. Setiap saya jalan dengan dia dan
kebetulan kulit kami bersentuhan, saya langsung ereksi. Sepertinya ia
menikmatinya juga. Begitu pun bila jalan ke mal, saya suka melihat pria berbadan
gemuk, tetapi saya tidak berniat untuk berhubungan badan dengan mereka.
Karena kuatnya keinginan untuk menepis perasaan yang menyimpang ini saya
memutuskan sepihak pertemanan dengan sahabat saya itu. Saya takut rasa ini
berlarut-larut dan susah untuk dihilangkan. Anehnya, saya malah tersiksa karena
saya semakin rindu dengannya. Pertanyaan saya, apakah saya bisa diobati? Saya
berhubungan intim dengan pacar dan ingin melenyapkan perasaan suka sesama jenis ini!” (Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2014).
Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada
teman-temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual
mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi
heteroseksual. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger
(1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian
mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi
seksual mereka (Carroll, 2005).
Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya mengalami
peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness, prostitusi dan
infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam Carroll, 2005).
Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris lainnya lebih
tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual (Cochran, 2001
dalam Carroll, 2005).
Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua,
juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya),
32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.
”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua
orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa
berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang
ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.” (komunikasi
Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini:
“Please help me. Oh, shit, I have to talk to someone. Help me please. My
feelings are turning into gnawing monsters trying to clamber out. Oh please, I
want to just jump out that window and try to kill myself. Maybe I’ll get some
sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask
someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.” (Carroll, 2005 : hlm. 330)
“Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi
makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran
bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang
kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau
dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya
selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak
remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup
agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...
(http://rahasiabulan.blogspot.com, 2014)
Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam
pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu
yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak
mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001
a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay,
lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut
ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).
Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan
mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan
sebelumnya melalui pilihannya akan gaya hidup, hubungan dan pekerjaan. Pada
masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup,
mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa
dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai
personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk
memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya
(Corr,Nabe,Corr, 2003).
Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari makna
dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam
keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang
mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan
kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes
2000).
Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk
berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning),
dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan
dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri
(selfdetachment).
Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self determining
being yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan
tanggung jawab (Bastaman, 1996).
Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat
menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu: nilai-nilai kreatif
(Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai
bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen
lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai
Harapan (Hopeful Values).
Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang
muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan
dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang
lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang
lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai
dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani
seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa
berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa
adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).
Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negative
dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa
didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini,
seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak
ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna,
dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki
cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka
berpikir yang percaya bahwa tidak perlu mencari makna hidup karena seseorang
sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan Sosiologis, dan
lingkungan (Barnes, 2000).
Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru
menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai
hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan
sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan
hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang
terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam
arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap
dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka
benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa
hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi
(Bastaman, 1996).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para
homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan
akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum
Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian
maknanya?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai
pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam
pembelajaran mengenai homoseksual dan memberi sumbangan bagi ilmu
Sosiologi, khususnya Sosiologi klinis.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual dalam proses pencarian
makna hidup. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pembelajaran bagi kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.
1.5. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan
dengan homoseksualitas dan makna hidup.
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan,
partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan prosedur penelitian.
Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi
Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa data, dan
pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Diskusi
Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi tentang
temuan selama proses penelitian dan saran yang diajukan berkaitan dengan
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Homoseksual
Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:
heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau
biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).
Istilah ¡§homoseksual¡¨ paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah gay dan lesbian
dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah
tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi
kelompok sosial yang memiliki label sama.
Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara
pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk
pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis
kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay
atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:
1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang
lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender
yang sama.
2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli
3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu
kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,
2007).
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada
orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan
ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis
kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai
homoseksual.
2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual
Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara
faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &
Sanders, 1989; Money, 1987; Savin ¡V Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,
Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal
homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan
homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke
orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti
penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).
Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat
dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme
berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil
dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa
homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa
perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,
yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,
dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual
secara lahiriah (Carroll, 2005).
Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang
terbentuknya perilaku homoseksual.
2.2.1 Pendekatan Biologis
Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan
bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara
fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait)
fisik sederhana.
1.Genetik
Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian
yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan
melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan
kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.
Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual
pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan
menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu,
menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam
Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay
daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak
saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga
menemukan bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak
2.Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki
tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner,
1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut
(Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama
kehamilan (yang biasa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu
pembentukan janin homoseksual.
Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan
perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak
laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal
mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan
dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).
Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada
homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan
perbedaan yang signifikan (Green, 1988).
Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan
wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat
testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat
testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen
yang lebih rendah) (Dancey, 1990).
3.Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak
pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman,
penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu
pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil)
dengan pria heteroseksual. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural
pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi
tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000) menemukan bahwa
lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari
telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung ide bahwa lesbian
mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita
heteroseksual pada awal kehidupannya.
2.2.2 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan Sosiologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual
berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal
homoseksual. Pendekatan Sosiologis melihat perkembangan perilaku
homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir
pada orang tertentu (Carroll, 2005).
1. Freud dan Psikoanalitis
Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala
sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik
pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.
Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan
bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak
dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan
Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang
normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak
terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh
dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui
kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi
identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya –
pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan
dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya.
Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan
seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh
yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun,
pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama
Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak
biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis –
penyakit mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian
menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa semua anak
laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi,
beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu
intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat
atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang
menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber
mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan
Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari 100
lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau
dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus
percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan
mencari kasih sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2005).
2. Ketidaknyamanan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminism daripada
pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995;
Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross
gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi
tidak memiliki hubungan sebab akibat.
Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau ”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka,
menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin
menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi
homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin
yang tumbuh menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya,
ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki
lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990).
Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan
diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan
yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi ”tomboy,” tidak berkorelasi
dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini tidak bisa
gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak
semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.
3. Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang
pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh
lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang
signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar
15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan
berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama,
sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki
juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan
kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan
seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.
4. Teori Behavioris
Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku
homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual
yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian
hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,
seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,
orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan
kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan
mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang
menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).
5. Bahasa dalam Sub Kultur Kaum Homoseksual
Orang-orang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda
lazimnya berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini boleh jadi
menyangkut dialek, intonasi maupun kosakata yang digunakan untuk berbicara.
Bahasa adalah istitusi sosial yang dirancang, dimodifikasikan dan dikombinasi
untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karena
bahasa dari budaya satu berbeda dari budaya lain dan sama pentingnya bahasa
dari suatu subkultur berbeda dari bahasa dari subkultur yang lain (Montgomery,
1986) dalam Devito (1958; 157).
Terdapat dua pengelompokan bahasa. Yaitu bahasa verbal dan non verbal.
Bahasa verbal bisa berupa penggunaan kata yang dsampaikan secara langsung.
Sedangkan bahasa non verbal itu berupa isyarat-isyarat kata yang dikeluarkan dari
reaksi wajah, gerakan tubuh serta simbolsimbol yang dihasilkan dari panca indera
kita sendiri. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai
hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat
berlangsung spontan bahkan serentak.
Dalam pembahasan ini yang dimaksud subkultur adalah
kelompok-kelompok dalam sebuah kultur yang besar. Ini didasarkan atas wilayah geografis,
pekerjaan, orientasi afeksi, guru, seniman, heteroseksual, homoseksual. Semuanya
dapat dipandang sebagai subkultur tergantung pada konteksnya.
Karena minat yang sama merupakan subkultur (munculnya
subkultur tertentu yang didalam kulturnya lebih dominan. Ada beberapa jenis
subbahasa yang banyak dikenal adalah argot, cost, jargon dan slang (Sihabudin,
2011:77). Begitu juga dalam komunikasi antar budaya terdapat beberapa subkultur. Salah satunya antara lain bahasa “Argot”. Permasalahannya bahasa
yang digunakan sehari-hari oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi sesama
komunitasnya termasuk dalam bagian bahasa “Argot”.
Argot adalah kosakata khusus yang berkembang di kalangan dunia hitam.
Misalnya pencopet, pembunuh, germo dan pelacur. Sebuah subkultur yang dapat
dikatakan menyimpang. Dalam bentuknya yang murni argot tidak dimengerti oleh
orang luar, tetapi karena sering diucapkan di film atau televisi, bahasa
tersembunyi itu bisa dikenal. Contohnya mami (germo wanita), pentongan istilah
waria untuk menyatakan alat kelamin laki-laki dan masih banyak argot lain yang
berkembang di kalangan masyarakat seperti observasi penelitian (Sihabudin,
2011:81).
Bahasa gaul kaum homoseksual berdasarkan penelitian yang peneliti
lakukan menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya duta
(duit/uang), maharani (mahal) sapose (siapa), kemandro chint (kamu mau
kemana), lekong (laki-laki), nek/mak/chint/cun (panggilan akrab untuk
homoseksual), kelinci (kecil), gedong (besar), inang (iya), rexona (rokok), tinta
mawar (tidak mau), cucox (cakep/keren) sekong (gay),lesbong (lesbi).
Sebagian besar penggunaan bahasa gaul kaum homoseksual hampir sama
dengan penggunaan bahasa gaul kaum waria. Sehingga bahasa gaul yang
digunakan kaum homoseksual dalam komunitasnya serta kaum waria sama -sama
menarik perhatian komunitas mereka di kota Serang lebih mengutamakan
permainan mata. Walaupun di berbagai daerah memiliki tanda/symbol tersendiri
bagi kaum homoseksual untuk berkenalan dengan orang lain. Namun bagi
homoseksual yang ada dikota Serang lebih menekankan permainan bahasa tubuh
mereka.
Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan
seks yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama
(Oetomo, 2001:6). Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia homoseksualitas dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau
preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”,
artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak
tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115).
Teori yang digunakan dalam penelitian yaitu berhubungan dengan
Komunikasi Interaksi Simbolik yang berawal dari kedekatan rasional dan
seterusnya kedekatan yang terjadi melalui proses bertahap pengungkapan diri
dengan menggunakan simbol-simbol yang telah di akui kebersamaan anata
anggota komunitas dalam pengungkapan diri. Akhirnya mencapai proses tahap
dangkal sampai tahap intim. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan
antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah
Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner
(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka
referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain,
menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku
manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna
yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya
di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),
Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik (Ardianto,
Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007), antara lain:
1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.
2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu
dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori
interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi
yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,
secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari
interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya
membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik
tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada
artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu
melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara
bersama.
2. Pentingnya konsep mengenai diri
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep
diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan
pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan
pada interaksi sosial dengan orang lainnya.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa
norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap
individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya.
Penelitian ini mengacu pada teori pendukung pertukaran social (social
exchange) yaitu model yang digunakan untuk menganalisis hubungan
Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial
adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang
lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini
memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang
berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi
kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan
teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami
adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam
hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari
segi ganjaran dan biaya”.
2.2.3. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial
menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti
homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi
masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat
mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir
budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).
Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama
jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang – orang
secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup
yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah
seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi
2.2.4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi
Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon,
dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih
berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi
anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya
atau tidak.
Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)
mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis
sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.
Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”
dan menarik.
2.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual
Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam
pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai
tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa
nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.
Tahapan 1: Identitiy confusion.
Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay
atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali
konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala kebiasaan
dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa
menerima peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi
identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun
tidak percaya bahwa dia adalah gay ”yang sebenarnya”).
Tahapan 2: Identity comparison.
Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model
heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin
merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini
masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang
heteroseksual.
Tahapan 3: Identity tolerance.
Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya
mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai
kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas
diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu
masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap
menjalankan gaya hidup ganda.
Tahapan 4: Identity acceptance.
Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan
jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada
teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya
sendiri dalam budaya homoseksual.
Tahapan 5: Identity pride
Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan
dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok
dengan gaya hidupnya.
Tahapan 6: Identity synthesis
Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan
ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari
ketidak benaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay
dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya
hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan
menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi
seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah
selesai.
Menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan.
Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam
kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu
yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat
mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk
bunuh diri.
2.4. Pengertian Homoseksual (Gay)
Colin Spencer mengemukakan bahwa homoseksual merupakan sebuah
rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional
baik secara erotis atau tidak, di mana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif
maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin
sama (Hatib Abdul Kadir, 2007: 66). Homoseksual adalah ketertarikan seksual
yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk
melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel,1998: 489).
Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain
dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki
kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis
kelamin yang sama (Kendall ,1998: 375).
Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 41), juga mendefinisikan homoseksual
sebagai suatu kecenderungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang terhadap
orang lain dengan jenis kelamin yang sama. Istilah homoseksual dapat digunakan
baik untuk pria , yang lebih dikenal dengan istilah gay, ataupun wanita lebih
dikenal dengan istilah lesbian.
Michael (Kendall, 1998: 144), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam
menentukan seseorang itu homoseksual (gay), yakni sebagai berikut:
1. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan jenis
kelamin dengan dirinya
2. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan
jenis kelamin dengan dirinya
3. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa gay adalah
laki-laki yang mempunyai ketertarikan seksual pada sesama jenis dan mempunyai
kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial dengan sesama jenis. Dalam
menentukan bahwa seseorang itu adalah gay ada beberapa kriteria yaitu
dengan dirinya, keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki
kesamaan jenis kelamin dengan dirinya, mengidentifikasi diri sebagai gay.
2.5. Jenis – jenis Homoseksual (Gay)
Homoseksual atau gay menurut Kartini Kartono (1989: 73), dapat
digolongkan dalam tiga bagian yaitu:
1. Homoseksual yang aktif, yaitu gay yang bertindak sebagai pria yang
agresif.
2. Homoseksual yang pasif, yang bertingkah laku lebih dominan sebagai
wanita dan memiliki kecenderungan feminim
3. Homoseksual yang bergantian peranan, kadang – kadang memerankan laki – laki dan dilain waktu memerankan wanita.
Pendapat lain diungkapkan oleh Coleman (A. Supratiknya,1995: 95), yang
menggolongkan gay atau homoseksual berdasarkan kualitasnya dalam beberapa
jenis yaitu:
1.Homoseksual tulen, homoseksual jenis ini memenuhi gambaran stereotip
tentang laki–laki yang cenderung lebih keperempuan-perempuanan, yaitu
suka berperilaku dan mengenakan pakaian perempuan
2.Homoseksual malu – malu, yaitu laki – laki yang memiliki hasrat
homoseksual akan tetapi tidak berani menjalin hubungan personal yang
intim dengan orang lain untuk kegiatan homoseksual.
3.Homoseksual tersembunyi, biasanya berasal dari golongan menengah keatas
dan memiliki status sosial yang tinggi, sehingga biasanya hanya diketahui
4.Homoseksual situasional, homoseksual jenis ini terjadi pada situasi yang
mendesak di mana tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hubungan
dengan lawan jenis, diantaranya dapat ditemui pada situasi khusus seperti
perang dan di penjara. Sehingga tinggkah laku homoseksual timbul sebagai
usaha untuk menyalurkan dorongan seksualnya.
5.Biseksual, homoseksual jenis ini mempraktekan kegiatan homoseksual dan
heteroseksual secara sekaligus, homoseksual jenis ini bisa mendapatkan
kepuasan seksual dari lawan jenis dan sesama jenis.
6.Homoseksual mapan, homoseksual jenis ini dapat menerima
homoseksualitas mereka, memenuhi peran kemasyarakatan secara
bertanggung jawab dan mengikatkan diri pada suatu komunitas.
Pendapat lain tentang penggolongan homoseksual atau gay adalah
berdasarkan PPDGJ II Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 yang
disusun oleh psikolog dan psikiater Indonesia mengelompokan homoseksual
dalam dua jenis, yaitu;
1. Homoseks ego sentonik, merupakan homoseksual yang merasa
tidak terganggu oleh orientasi seksualnya.
2. Homoseks ego distonik, merupakan homoseksual yang merasa
selalu terganggu olek orientasi seksualnya dan mengakibat
timbulnya konflik psikis, konflik psikis internal individu ini akan
menimbulkan perasaan bersalah, malu, bahkan depresi.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa homoseksual
dapat dikelompokan berdasarkan pola hubungannya yaitu, homoseksual aktif,
dapat dikelompokkan berdasarkan kualitasnya menjadi homoseksual
tulen,homoseksual tersembunyi, homoseksual malu-malu, homoseksual
situasional, homoseksual mapan, dan biseksual. Sedangkan berdasarkan
penerimaan pada individu homoseksual dapat dikelompokan menjadi
homoseksual ego sentonik dan homoseksual ego distonik. Untuk mempersempit
dan mempermudah penelitian, peneliti memfokuskan pengelompokan
homoseksual atau gay berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual yaitu
ego sentonik dan homoseksual ego distonik.
2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay
Mengenai hubungan seks pada gay pada umumnya mengambil bentuk
imitasi dari hubungan herteroseksual. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki
dan ada yang berperan sebagai perempuan. Jika dalam hubungan homoseksual
yang seperti itu maka hal itu akan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Kartini
Kartono (1989: 249), menjelaskan tentang perilaku seksual homoseksual atau gay
terpola dalam 3 bentuk hubungan seksual, yaitu:
1.Oral Eratism
Oral (segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut), stimulan oral pada
penis disebut Fellatio (fallare : mengisap). Fellatio yaitu mendapatkan
kenikmatan seksual dengan cara mengisap alat kelamin partnernya yang
dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseks remaja dan
dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan cara tunggal atau ganda. Fellatio tunggal
bila hanya dilakukan salah seorang partner, sedangkan fellatio ganda atau dikenal
hubungan 69 dilakukan dengan saling mengisap alat kelamin partner pada saat
2.Body Contact
Body contact mengambil bentuk onani atau menggesekgesekkan tubuh
atau dengan cara senggama sela paha.salah satu partnernya memanipulasi pahanya
sedemikian sehingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya.
3.Anal Seks
Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus) dalam dunia homoseksual
terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan
cara memasukan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi
tersebut salah satu partnernya bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif
menerima.
Homoseksual tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Istilah dalam
homoseksual dikenal top dan bottom. Homoseksual top adalah homoseksual yang
dioral dan menganal sedangkan bottom yaitu yang mengoral dan dianal. Selain
kedua istilah tersebut juga ada gay fire style yaitu gay yang mampu memposisikan
sebagai top maupun bottom (Urin Laila Sa’adah, 2008:1).
Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa bentuk hubungan
pada gay mengambil imitasi dari bentuk hubungan heteroseksual. Bentuk
hubungan tersebut antara lain : oral eratism, body contact dan anal sex. Istilah
laki-laki dan perempuan dalam homoseksual atau gay lebih dikenal dengan top
dan bottom, serta gay fire style yang bisa memposisikan sebagai top atau bottom.
2.7. Kajian tentang Motif
i. Pengertian Motif
Abu Ahmadi (2002: 191), mengungkapkan bahwa motif adalah dorongan
suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Apabila dorongan dasar itu
bersifat bawaan, maka motif itu hasil proses belajar. Gerungan (2004: 151),
berpendapat bahwa motif itu merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua
penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang
menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sedangkan Atkinson (Abu Ahmadi, 2002: 191),
motif sebagai sesuatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke
tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan.
Definisi yang lain dari Lindzey, Hall dan Thompson (Abu Ahmadi, 2002:
191), motif adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Motif timbul karena
adanya kebutuhan/need (Abu Ahmadi, 2002: 193), kebutuhan-kebutuhan dapat
diartikan sebagai:
1. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia dan musnah bila
kekurangan itu tidak tercukupi.
2. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia yang dapat
membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu
terpenuhi, walaupun hal itu tidaklah esensiil terhadap kelangsungan hidup
manusia.
3. Sebuah kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai
benda lainnya apabila ada benda khusus yang diingini tidak dapat
diperoleh.
2. Sifat taraf kebutuhan.
Kebutuhan (need) dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu,
dan ini menuntut segera pemenuhannya, untuk segera mendapatkan
dorongan alasan, yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi
kebutuhan. Dari bentuk-bentuk perbuatan kita dapat simpulkan adanya kebutuhan
dan motif dari perbuatan itu. Selain pengamatan terhadap tingkah laku individu
ada jalan lain untuk mengetahui atau meyakini adanya kebutuhan dan motif ialah
dengan mengetahui pengalaman pribadi. Maslow menyatakan bahwa manusia
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kebutuhan tersebut
mempunyai tingkatan-tingkatan yang digambarkan dalam piramida hirarki
kebutuhan. Adapun kebutuhan tersebut adalah (Sarlito W. Sarwono, 2002: 174):
1. Kebutuhan Fisiologis
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat
fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, seksual dan sebagainya)
yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan.
Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak
dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) bisa manusia
yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh
kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah
tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman
(safety needs).
2. Kebutuhan akan Rasa Aman
Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan,
stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan,
bebas dari rasa takut dan cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah
kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya
dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak
terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada
gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.
3. Kebutuhan Dicintai dan Disayangi
Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul
kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap orang ingin mempunyai hubungan
yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan
dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Setiap orang
pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya "akar" dalam
masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah
kampung, suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan
merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja
merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan
menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.
4. Kebutuhan Harga Diri
Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka
timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan
harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan,
kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah
kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi,
kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang
terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya
untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self
actualization).
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri adalah ketepatan seseorang didalam menempatkan dirinya
sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya
(id.wikipedia.org/wiki/aktualisasi_diri. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014, jam
20.15 WIB). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat berbagai
kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika
berbagai kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi patologi seperti apatisme,
kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan
diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.
Berdasarkan urai