• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY (Studi Deskriptif Cafe Shop Di Kota Medan)

DISUSUN

O L E H

WINDA PURWANI 090901009

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah

melimpahkan rahmad dan karunianya,sehingga penulis dapat menyusun dan

menyelesaikan Skripsi yang berjudul “ PENGAKUAN DIRI SEORANG GAY DI DALAM LINGKUNGAN GAY ( Studi Deskriptif Café Shop Di Kota Medan )”. Adapun penyusunan dan penulisan Skripsi ini merupaka salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana sosiologi pada fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatra Utara.

Penulis juga menyadari bahwa Skripsi ini tidak luput dari kekurangan disana-sini,

baik dari segi susunan, tata bahasa, maupun dari segi ilmiah atau isinya, mengingat

keterbatasan yang dimiliki oleh Penulis disamping pengetahuan dan pengalaman yang

masih kurang,dan juga kurangnya bahan pustaka yang penulis gunakan dalam

penyusunan Skripsi ini.

Selama dari tahap awal hingga sampai penyelesaian Skripsi ini, penulis banyak

melibatkan berbagai pihak,baik secara langsung maupun tidak langsung. penulis juga

menerima bantuan berupa moril, spiritual, dan dorongan serta bimingan dari berbagai

pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,M.Sc.(CTM)Sp. A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatra Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan serta seluruh staf pegawai dan

administrasi.

3. Ibu Drs. Lina Sudarwati, M. Si selaku ketua departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik.

4. Bapak Drs. T. Ilham Saladin selaku Seketaris Departemen Sosiologi Fakultas

(3)

5. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Wali Penulis, serta selaku

Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu, nasehat untuk

membimbing penulis sehingga selesainya skripsi ini dengan baik.

6. Bapak /Ibu Dosen dan staf pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosila

dan Ilmu Politik, semoga ilmu yang disampaikan kepada penulis dapat

menjadikan bekal nantinya dan dapat penulis terapkan serta amalkan

ditengah-tengah masyarakat.

7. Spesial penghargaan dengan rasa sayang serta rasa cinta saya persembahkan

kepada Ayahanda Ali Purnomo dan Ibunda Nurbaiti Simatupang yang telah

mendidik dan membesarkan serta selalu memberikan semangat, doa dan kasih

sayangnya kepada saya tanpa mengenal lelah demi keberhasilan anaknya hingga

selesainya Skripsi ini. Terima kasih banyak ibunda.

8. Adik-adikku: Maulani Hasanah SE, Lia Wahyuni, dan Fathan Ragil yang saya

sayangi, selalu semangat menggapai cita-cita.

9. Kekasihku Ahmad Reyza yang telah memberikan semangat, perhatian dan

dorongan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga sukses selalu buat

kita.

10. Kepada teman-teman seperjuangan Angkatan 2009. Riya, Novha, Siti, May

Yuliarti, Dede, Irfin, Ridho, Bima, Dewi, Edi, Wisnu, Winda Kataren, Fitri,

Syahid, Tian, Johan, Siska, Rani, willer, sri, Joni, Abdul Rahman, Irvin dan yang

tidak bisa dituliskan namanya satu persatu, terima kasih atas dukungan kalian

semua,atas kerja sama yang sudah terjalin selama masa perkuliahan.

11. Semua pihak yang telah membantu baik selama penulis menjalani kuliah maupun

saat menulis skripsi, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.

Uraian terima kasih yang penulis sampaikan belum sebanding dengan apa yang

(4)

kesalahan dalam penulisan skripsi ini, penulis memohon maaf karena keterbatasan yang

penulis miliki. Selain itu, kesempurnaan hanya milik ALLAH Swt. Terimakasih

Medan

(5)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.5. Sistematika Penulisan…... 11

BAB II : KAJIAN PUSTAKA 2.1. Homoseksual ... 13

2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual…... 14

2.3. Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual... 27

2.4. Pengertian Homoseksual (Gay) ... 29

2.5. Jenis Homoseksual (Gay)………..….. 31

2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay ……….… 33

2.7. Kajian tentang Motif ………..… 34

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 42

3.2. Lokasi Penelitian... 43

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 43

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5. Alat Pengumpulan Data Data... 45

BAB IV : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 47

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ……….. 105

(6)

ABSTRAK

Homoseksual bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian maknanya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pendekatan deskriptif kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. Partisipan dan Lokasi Penelitian Pada suatu penelitian, populasi dan sampel adalah hal yang harus diperhatikan. Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel penelitian akan digeneralisasi. Karakteristik Partisipan Penelitianpria atau wanita yang memiliki orientasi homoseksual, diketahui melalui proses wawancara secara langsung ataupun informasi dari pihak ketiga. Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil sampel 2 (dua) orang homoseksual. Lokasi dilakukannya penelitian ini adalah di kota Medan. Pemilihan kota Medan dikarenakan peneliti memang berdomisili di kota Medan dan dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi peneliti untuk menemukan partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.

(7)

ABSTRACT

Homosexual how they take a position in undergoing the process of finding meaning. The purpose of this study was to gain an understanding of the meaning of life of homosexuals, particularly in the city of Medan.

This study used qualitative research methods deemed appropriate approach to be able to know how the meaning of life in couples who do not have children. Participants and Location Research In one study, the population and the sample is something that must be considered. Population is all the individuals to whom the facts obtained from the sample to be generalized. Participants study the characteristics of men or women who have a homosexual orientation, known through direct interviews or information from third parties. This qualitative study took a sample of 2 (two) people homosexual. The location of this research is in the city of Medan. Medan municipal elections because researchers did live in the city of Medan and thus would make it easy for researchers to find participants. In this study, researchers collected data using interviews and observations during the interview will be conducted.

(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan

jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada

pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada

orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka

lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria

tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut

sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria

homoseksual (Kompas, 26 September 2006).

Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru.

Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006)

mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius

Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survey

antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia

mempraktekkan dan melembagakan homoseksualitas, meskipun masih belum

dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di

Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani

menunjukkan jati diri mereka.

Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan

bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum

(9)

nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka,

tidak lagi takut takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.

Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan

mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara

atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai

wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum

homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti

Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis

(http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi

seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005)

mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya

sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement

yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku

homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku

sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan

hubungan homoseksual yang menyenangkan. Sementara itu, Bem (1996, dalam

Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi

terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak

terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang

mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)

mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis

(10)

kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah

memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini

terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun

(bulan Oktober 2007): “Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya

tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa

pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.” (komunikasi personal Oktober 2007)

Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi,

menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini:

"Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah

siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue

udah sejauh ini ya?’” (Boulevard's Blog June 2007.html)

Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang

tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang

gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima

aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang

lain tentang homoseksual, maka pada bulan Agustus 2007 peneliti melakukan

wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh

masyarakat:

”Homo?Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....”

”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak

menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007)

Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai

homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam

(11)

“Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me

when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network.

My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried

myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been

kicked in the solar plexus.” (Carroll, 2005:hlm. 330)

Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam

hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih

banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga

dan teman temannya (Carroll, 2005).

Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu:

closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’

mengacu pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah “coming out” merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai

homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang

menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset” kemudian bermakna strategi

pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat

heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat

sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki

kemampuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang

berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain,

(12)

“I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would

cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the

other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle

school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,”

words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried

that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly

be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone

“normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or

bashed – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was

terrified that it would kill my parents.” (Carroll, 2005:hlm. 342)

“Saya akui bahwa saya memang punya kecenderungan menyukai sesama

jenis. Saya punya teman akrab seorang lelaki yang sudah menikah. Hampir setiap

hari kami jalan bersama. Dia berbadan gemuk. Setiap saya jalan dengan dia dan

kebetulan kulit kami bersentuhan, saya langsung ereksi. Sepertinya ia

menikmatinya juga. Begitu pun bila jalan ke mal, saya suka melihat pria berbadan

gemuk, tetapi saya tidak berniat untuk berhubungan badan dengan mereka.

Karena kuatnya keinginan untuk menepis perasaan yang menyimpang ini saya

memutuskan sepihak pertemanan dengan sahabat saya itu. Saya takut rasa ini

berlarut-larut dan susah untuk dihilangkan. Anehnya, saya malah tersiksa karena

saya semakin rindu dengannya. Pertanyaan saya, apakah saya bisa diobati? Saya

(13)

berhubungan intim dengan pacar dan ingin melenyapkan perasaan suka sesama jenis ini!” (Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2014).

Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada

teman-temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual

mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi

heteroseksual. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger

(1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian

mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi

seksual mereka (Carroll, 2005).

Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya mengalami

peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness, prostitusi dan

infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam Carroll, 2005).

Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris lainnya lebih

tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual (Cochran, 2001

dalam Carroll, 2005).

Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua,

juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya),

32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.

”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua

orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa

berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang

ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.” (komunikasi

(14)

Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini:

“Please help me. Oh, shit, I have to talk to someone. Help me please. My

feelings are turning into gnawing monsters trying to clamber out. Oh please, I

want to just jump out that window and try to kill myself. Maybe I’ll get some

sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask

someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.” (Carroll, 2005 : hlm. 330)

“Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi

makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran

bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang

kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau

dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya

selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak

remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya.

Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup

agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...

(http://rahasiabulan.blogspot.com, 2014)

Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam

pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini

dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu

yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak

(15)

mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001

a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay,

lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut

ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).

Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan

mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan

sebelumnya melalui pilihannya akan gaya hidup, hubungan dan pekerjaan. Pada

masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup,

mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa

dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai

personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk

memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya

(Corr,Nabe,Corr, 2003).

Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari makna

dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam

keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang

mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan

kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes

2000).

Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk

berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning),

dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan

(16)

dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri

(selfdetachment).

Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self determining

being yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan

apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan

tanggung jawab (Bastaman, 1996).

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat

menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu: nilai-nilai kreatif

(Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai

bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen

lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai

Harapan (Hopeful Values).

Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang

muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan

dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang

lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang

lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai

dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani

seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa

berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa

adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).

Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negative

dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa

(17)

didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini,

seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak

ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna,

dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki

cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka

berpikir yang percaya bahwa tidak perlu mencari makna hidup karena seseorang

sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan Sosiologis, dan

lingkungan (Barnes, 2000).

Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru

menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai

hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan

sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan

hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang

terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam

arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap

dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka

benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa

hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi

(Bastaman, 1996).

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para

homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan

akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum

(18)

Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian

maknanya?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai

pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam

pembelajaran mengenai homoseksual dan memberi sumbangan bagi ilmu

Sosiologi, khususnya Sosiologi klinis.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang

kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual dalam proses pencarian

makna hidup. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

pembelajaran bagi kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.

1.5. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika

(19)

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan

masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan

dengan homoseksualitas dan makna hidup.

Bab III : Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan,

partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan prosedur penelitian.

Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi

Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa data, dan

pembahasan.

Bab V : Kesimpulan dan Diskusi

Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi tentang

temuan selama proses penelitian dan saran yang diajukan berkaitan dengan

(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Homoseksual

Orientasi seksual digambarkan sebagai objek impuls seksual sesesorang:

heteroseksual (jenis kelamin berlawanan), homoseksual (jenis kelamin sama) atau

biseksual (kedua jenis kelamin) (Kaplan, 1997).

Istilah ¡§homoseksual¡¨ paling sering digunakan untuk menggambarkan

perilaku jelas seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.

Hawkin (dalam Kaplan, 1997) menulis bahwa istilah gay dan lesbian

dimaksudkan pada kombinasi identitas diri sendiri dan identitas sosial; istilah

tersebut mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi

kelompok sosial yang memiliki label sama.

Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara

pribadi yang berjenis kelamin sama. Homoseksual juga digunakan untuk merujuk

pada hubungan intim dan/atau hubungan seksual di antara orang-orang berjenis

kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai gay

atau lesbian. Homoseksualitas dapat mengacu pada:

1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang

lain yang mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender

yang sama.

2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli

(21)

3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu

kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual (Wikipedia,

2007).

Dengan demikian maka yang dimaksud dengan homoseksual mengacu pada

orang-orang yang memiliki dorongan impuls, preferensi, perilaku seksual dan

ketertarikan secara fisik, emosi dan seksual dengan orang lain yang memiliki jenis

kelamin sama serta orang-orang yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai

homoseksual.

2.2. Latar Belakang Perkembangan Homoseksual

Orientasi seksual orang lebih banyak ditentukan oleh kombinasi antara

faktor genetik, hormonal, kognitif, dan lingkungan (McWhirter, Reinisch &

Sanders, 1989; Money, 1987; Savin ¡V Williams & Rodriguez, 1993; Whitman,

Diamond & Martin, 1993, dalam Santrock, 2002). Sebagian besar ahli dalam hal

homoseksualitas percaya bahwa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan

homoseksualitas dan bobot masing-masing faktor berbeda-beda dari satu orang ke

orang yang lain. Akibatnya, tidak ada satu orangpun yang mengetahui secara pasti

penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual (Santrock, 2002).

Teori tentang homoseksual yang berkembang saat ini pada dasarnya dapat

dibagi menjadi dua golongan: esensialis dan konstruksionis. Esensialisme

berpendapat bahwa homoseksual berbeda dengan heteroseksual sejak lahir, hasil

dari proses biologi dan perkembangan. Teori ini menyiratkan bahwa

homoseksualitas merupakan abnormalitas perkembangan, yang membawa

perdebatan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah penyakit. Sebaliknya,

(22)

yang telah berkembang secara berbeda dalam budaya dan waktu yang berbeda,

dan oleh karenanya tidak ada perbedaan antara homoseksual dan heteroseksual

secara lahiriah (Carroll, 2005).

Berikut ini jabaran berbagai pendekatan yang memaparkan latar belakang

terbentuknya perilaku homoseksual.

2.2.1 Pendekatan Biologis

Teori biologis tentang homoseksual bersifat esensialis yang mengatakan

bahwa perbedaan orientasi seksual disebabkan oleh adanya perbedaan secara

fisiologis. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh genetik, hormon, atau sifat (trait)

fisik sederhana.

1.Genetik

Franz Kallman (1952, dalam Carroll, 2005) merupakan pelopor penelitian

yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan

melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan

kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual.

Hammer dkk (1993, dalam Carroll, 2005) menemukan bahwa homoseksual

pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan

menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu,

menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. Pattatucci (1998, dalam

Carroll, 2005) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay

daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak

saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga

menemukan bukti bahwa gen “gay” ada pada kromosom X tetapi tidak

(23)

2.Hormon

Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki

tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner,

1988), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut

(Hendricks et al, 1989). Ellis dkk (1988) berpendapat bahwa stress selama

kehamilan (yang biasa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu

pembentukan janin homoseksual.

Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan

perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak

laki-laki lainnya (Zuger, 1989). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal

mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan

dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995).

Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada

homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan

perbedaan yang signifikan (Green, 1988).

Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan

wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat

testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat

testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen

yang lebih rendah) (Dancey, 1990).

3.Fisiologi

Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak

pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman,

(24)

penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu

pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil)

dengan pria heteroseksual. Gallo (2000) juga menemukan perbedaan struktural

pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi

tentang panjang jari, Brown (2002) dan Williams (2000) menemukan bahwa

lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari

telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung ide bahwa lesbian

mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita

heteroseksual pada awal kehidupannya.

2.2.2 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan Sosiologis yang menggambarkan terjadinya homoseksual

berfokus pada pelatihan dan sejarah seseorang dalam menemukan asal

homoseksual. Pendekatan Sosiologis melihat perkembangan perilaku

homoseksual lebih sebagai produk dari dorongan sosial daripada bawaan lahir

pada orang tertentu (Carroll, 2005).

1. Freud dan Psikoanalitis

Freud (1951, dalam Carroll, 2005) berpendapat bahwa bayi melihat segala

sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik

pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual.

Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan

bahwa homoseksual ”bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak

dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan

(25)

Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang

normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak

terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh

dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui

kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi

identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya –

pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan

dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya.

Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan

seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh

yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun,

pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama

Sandor Rado (1949, dalam Caroll, 2005) yang mengatakan bahwa manusia tidak

biseksual secara lahiriah dan homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis –

penyakit mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian

menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.

Beiber dkk (1962, dalam Carroll, 2005) mengemukakan bahwa semua anak

laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi,

beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu

intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat

atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada di pihak ibu, yang

menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber

mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan

(26)

Wolff (1971, dalam Carroll, 2005) meneliti keluarga dari lebih dari 100

lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau

dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus

percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan

mencari kasih sayang dari wanita lainnya (Carroll, 2005).

2. Ketidaknyamanan Peran Gender

Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminism daripada

pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995;

Pillard, 1991). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross

gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi

tidak memiliki hubungan sebab akibat.

Green (1987) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau ”sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka,

menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin

menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi

homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin

yang tumbuh menjadi biseksual. ”Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya,

ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki

lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990).

Teori konstuksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan

diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan

yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi ”tomboy,” tidak berkorelasi

dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini tidak bisa

(27)

gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak

semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay.

3. Interaksi Kelompok Teman Sebaya

Berdasarkan catatan bahwa dorongan seksual seseorang mulai berkembang

pada masa remaja, Storm (1981) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh

lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang

signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar

15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan

berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama,

sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki

juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan

kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan

seksual pria biasa muncul lebih cepat daripada wanita.

4. Teori Behavioris

Teori behavioral tentang homoseksual menganggap bahwa perilaku

homoseksual adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual

yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian

hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh,

seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan

berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya,

orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan

kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan

(28)

mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang

menyenangkan (Masters & Johnson, 1979, dalam Carroll, 2005).

5. Bahasa dalam Sub Kultur Kaum Homoseksual

Orang-orang yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda

lazimnya berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan ini boleh jadi

menyangkut dialek, intonasi maupun kosakata yang digunakan untuk berbicara.

Bahasa adalah istitusi sosial yang dirancang, dimodifikasikan dan dikombinasi

untuk memenuhi kebutuhan kultur atau subkultur yang terus berubah. Karena

bahasa dari budaya satu berbeda dari budaya lain dan sama pentingnya bahasa

dari suatu subkultur berbeda dari bahasa dari subkultur yang lain (Montgomery,

1986) dalam Devito (1958; 157).

Terdapat dua pengelompokan bahasa. Yaitu bahasa verbal dan non verbal.

Bahasa verbal bisa berupa penggunaan kata yang dsampaikan secara langsung.

Sedangkan bahasa non verbal itu berupa isyarat-isyarat kata yang dikeluarkan dari

reaksi wajah, gerakan tubuh serta simbolsimbol yang dihasilkan dari panca indera

kita sendiri. Tidak ada struktur yang pasti, tetap, dan dapat diramalkan mengenai

hubungan antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Keduanya dapat

berlangsung spontan bahkan serentak.

Dalam pembahasan ini yang dimaksud subkultur adalah

kelompok-kelompok dalam sebuah kultur yang besar. Ini didasarkan atas wilayah geografis,

pekerjaan, orientasi afeksi, guru, seniman, heteroseksual, homoseksual. Semuanya

dapat dipandang sebagai subkultur tergantung pada konteksnya.

Karena minat yang sama merupakan subkultur (munculnya

(29)

subkultur tertentu yang didalam kulturnya lebih dominan. Ada beberapa jenis

subbahasa yang banyak dikenal adalah argot, cost, jargon dan slang (Sihabudin,

2011:77). Begitu juga dalam komunikasi antar budaya terdapat beberapa subkultur. Salah satunya antara lain bahasa “Argot”. Permasalahannya bahasa

yang digunakan sehari-hari oleh kaum homoseksual dalam berinteraksi sesama

komunitasnya termasuk dalam bagian bahasa “Argot”.

Argot adalah kosakata khusus yang berkembang di kalangan dunia hitam.

Misalnya pencopet, pembunuh, germo dan pelacur. Sebuah subkultur yang dapat

dikatakan menyimpang. Dalam bentuknya yang murni argot tidak dimengerti oleh

orang luar, tetapi karena sering diucapkan di film atau televisi, bahasa

tersembunyi itu bisa dikenal. Contohnya mami (germo wanita), pentongan istilah

waria untuk menyatakan alat kelamin laki-laki dan masih banyak argot lain yang

berkembang di kalangan masyarakat seperti observasi penelitian (Sihabudin,

2011:81).

Bahasa gaul kaum homoseksual berdasarkan penelitian yang peneliti

lakukan menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya duta

(duit/uang), maharani (mahal) sapose (siapa), kemandro chint (kamu mau

kemana), lekong (laki-laki), nek/mak/chint/cun (panggilan akrab untuk

homoseksual), kelinci (kecil), gedong (besar), inang (iya), rexona (rokok), tinta

mawar (tidak mau), cucox (cakep/keren) sekong (gay),lesbong (lesbi).

Sebagian besar penggunaan bahasa gaul kaum homoseksual hampir sama

dengan penggunaan bahasa gaul kaum waria. Sehingga bahasa gaul yang

digunakan kaum homoseksual dalam komunitasnya serta kaum waria sama -sama

(30)

menarik perhatian komunitas mereka di kota Serang lebih mengutamakan

permainan mata. Walaupun di berbagai daerah memiliki tanda/symbol tersendiri

bagi kaum homoseksual untuk berkenalan dengan orang lain. Namun bagi

homoseksual yang ada dikota Serang lebih menekankan permainan bahasa tubuh

mereka.

Homoseksualitas juga dapat didefenisikan sebagai orientasi atau pilihan

seks yang diarahkan pada orang atau ketertarikan dari jenis kelamin yang sama

(Oetomo, 2001:6). Dalam pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di

Indonesia homoseksualitas dimasukan dalam kategori gangguan psikoseksual, dan disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin atau

preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu berharap yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari cara untuk mengubahnya”,

artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila individu merasa tidak

tenang dengan orientasi seksual dan bermaksud mengubahnya (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1998:115).

Teori yang digunakan dalam penelitian yaitu berhubungan dengan

Komunikasi Interaksi Simbolik yang berawal dari kedekatan rasional dan

seterusnya kedekatan yang terjadi melalui proses bertahap pengungkapan diri

dengan menggunakan simbol-simbol yang telah di akui kebersamaan anata

anggota komunitas dalam pengungkapan diri. Akhirnya mencapai proses tahap

dangkal sampai tahap intim. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan

antara symbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah

(31)

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner

(2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka

referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain,

menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku

manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna

yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya

di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta

menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut

menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),

Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,

selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik (Ardianto,

Elvinaro dan Bambang Q-Anees, 2007), antara lain:

1. Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang

mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus

mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.

2. Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu

dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori

interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi

yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.

3. Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,

dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat,

(32)

secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia

dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari

interaksi simbolik antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya

membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik

tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada

artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu

melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara

bersama.

2. Pentingnya konsep mengenai diri

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep

diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan

pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan

pada interaksi sosial dengan orang lainnya.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara

kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa

norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap

individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam social kemasyarakatannya.

Penelitian ini mengacu pada teori pendukung pertukaran social (social

exchange) yaitu model yang digunakan untuk menganalisis hubungan

(33)

Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial

adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang

lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini

memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang

berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi

kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan

teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami

adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam

hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari

segi ganjaran dan biaya”.

2.2.3. Pendekatan Sosiologi

Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial

menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti

homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi

masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat

mendefenisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir

budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita (Carroll, 2005).

Penggunaan istilah ”homoseksual” yang mengacu pada perilaku sesama

jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang – orang

secara ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup

yang baru di perkotaan (Adam, 1987). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah

seseorang ”homoseksual” atau ”heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi

(34)

2.2.4. Pendekatan Interaksional : Biologi dan Sosiologi

Bem (1996) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon,

dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih

berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi

anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya

atau tidak.

Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996)

mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis

sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis.

Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih ”eksotis”

dan menarik.

2.3.Tahapan Pembentukan Identitas Diri Homoseksual

Vivienne Cass (1984) mengemukakan model enam tahapan dalam

pembentukan identitas gay dan lesbian. Tidak semua gay dan lesbian mencapai

tahap keenam; tergantung, di dalam masing-masing tahapan, pada seberapa

nyaman seseorang dengan orientasi seksualnya.

Tahapan 1: Identitiy confusion.

Individu mulai percaya bahwa perilakunya bisa didefinisikan sebagai gay

atau lesbian. Mungkin saja timbul keinginan untuk mendefinisikan kembali

konsep orang tersebut terhadap perilaku gay dan lesbian, dengan segala kebiasaan

dan informasi salah yang dimiliki sebagian besar orang. Orang tersebut bisa

menerima peran tersebut dan mencari informasi, menekan dan menghalangi

(35)

identitasnya (seperti pria yang memiliki hubungan sesama jenis di penjara namun

tidak percaya bahwa dia adalah gay ”yang sebenarnya”).

Tahapan 2: Identity comparison.

Individu menerima potensi identitas dirinya gay; menolak model

heteroseksual tetapi tidak menemukan penggantinya. Orang tersebut mungkin

merasa berbeda dan bahkan kehilangan. Orang yang berada dalam tahapan ini

masih menyangkal homoseksualitasnya. Ia berpura-pura sebagai seorang

heteroseksual.

Tahapan 3: Identity tolerance.

Pada tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya

mungkin gay atau lesbian dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai

kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun, tapi identitas

diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya, individu

masih tidak membeberkan identitas barunya pada dunia heteroseksual dan tetap

menjalankan gaya hidup ganda.

Tahapan 4: Identity acceptance.

Pandangan positif tentang identitas diri mulai dibentuk, hubungan dan

jaringan gay dan lesbian mulai berkembang. Pembukaan jati diri selektif kepada

teman dan keluarga mulai dibuat, dan individu sering membenamkan dirinya

sendiri dalam budaya homoseksual.

Tahapan 5: Identity pride

Kebanggaan sebagai homoseksual mulai dikembangkan, dan kemarahan

(36)

dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa cukup bernilai dan cocok

dengan gaya hidupnya.

Tahapan 6: Identity synthesis

Ketika individu benar-benar merasa nyaman dengan gaya hidupnya dan

ketika kontak dengan orang nonhomoseksual meningkat, seseorang menyadari

ketidak benaran dalam membagi dunia mengkotak-kotakkan dunia dalam ”gay

dan lesbian yang baik” dan ”heteroseksual yang buruk.” Individu menjalani gaya

hidup gay yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi sebuah isu dan

menyadari bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian yang mana orientasi

seksual hanya salah satu aspek tersebut. Proses pembentukan identitas telah

selesai.

Menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan.

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam

kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu

yang tidak memiliki kelanjutan , dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat

mengarah pada kemunduran, perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk

bunuh diri.

2.4. Pengertian Homoseksual (Gay)

Colin Spencer mengemukakan bahwa homoseksual merupakan sebuah

rasa ketertarikan secara perasaan dalam bentuk kasih sayang, hubungan emosional

baik secara erotis atau tidak, di mana ia bisa muncul secara menonjol, ekspresif

maupun secara ekslusif yang ditujukan terhadap orang-orang berjenis kelamin

sama (Hatib Abdul Kadir, 2007: 66). Homoseksual adalah ketertarikan seksual

(37)

yang dimaksud adalah orientasi seksual, yaitu kecenderungan seseorang untuk

melakukan perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan (Nietzel,1998: 489).

Homoseksualitas bukan hanya kontak seksual antara seseorang dengan orang lain

dari jenis kelamin yang sama tetapi juga menyangkut individu yang memiliki

kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial terhadap seseorang dengan jenis

kelamin yang sama (Kendall ,1998: 375).

Sawitri Supardi Sadarjoen (2005: 41), juga mendefinisikan homoseksual

sebagai suatu kecenderungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang terhadap

orang lain dengan jenis kelamin yang sama. Istilah homoseksual dapat digunakan

baik untuk pria , yang lebih dikenal dengan istilah gay, ataupun wanita lebih

dikenal dengan istilah lesbian.

Michael (Kendall, 1998: 144), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam

menentukan seseorang itu homoseksual (gay), yakni sebagai berikut:

1. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan jenis

kelamin dengan dirinya

2. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan

jenis kelamin dengan dirinya

3. Mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa gay adalah

laki-laki yang mempunyai ketertarikan seksual pada sesama jenis dan mempunyai

kecenderungan psikologis, emosional, dan sosial dengan sesama jenis. Dalam

menentukan bahwa seseorang itu adalah gay ada beberapa kriteria yaitu

(38)

dengan dirinya, keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki

kesamaan jenis kelamin dengan dirinya, mengidentifikasi diri sebagai gay.

2.5. Jenis – jenis Homoseksual (Gay)

Homoseksual atau gay menurut Kartini Kartono (1989: 73), dapat

digolongkan dalam tiga bagian yaitu:

1. Homoseksual yang aktif, yaitu gay yang bertindak sebagai pria yang

agresif.

2. Homoseksual yang pasif, yang bertingkah laku lebih dominan sebagai

wanita dan memiliki kecenderungan feminim

3. Homoseksual yang bergantian peranan, kadang – kadang memerankan laki – laki dan dilain waktu memerankan wanita.

Pendapat lain diungkapkan oleh Coleman (A. Supratiknya,1995: 95), yang

menggolongkan gay atau homoseksual berdasarkan kualitasnya dalam beberapa

jenis yaitu:

1.Homoseksual tulen, homoseksual jenis ini memenuhi gambaran stereotip

tentang laki–laki yang cenderung lebih keperempuan-perempuanan, yaitu

suka berperilaku dan mengenakan pakaian perempuan

2.Homoseksual malu – malu, yaitu laki – laki yang memiliki hasrat

homoseksual akan tetapi tidak berani menjalin hubungan personal yang

intim dengan orang lain untuk kegiatan homoseksual.

3.Homoseksual tersembunyi, biasanya berasal dari golongan menengah keatas

dan memiliki status sosial yang tinggi, sehingga biasanya hanya diketahui

(39)

4.Homoseksual situasional, homoseksual jenis ini terjadi pada situasi yang

mendesak di mana tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan hubungan

dengan lawan jenis, diantaranya dapat ditemui pada situasi khusus seperti

perang dan di penjara. Sehingga tinggkah laku homoseksual timbul sebagai

usaha untuk menyalurkan dorongan seksualnya.

5.Biseksual, homoseksual jenis ini mempraktekan kegiatan homoseksual dan

heteroseksual secara sekaligus, homoseksual jenis ini bisa mendapatkan

kepuasan seksual dari lawan jenis dan sesama jenis.

6.Homoseksual mapan, homoseksual jenis ini dapat menerima

homoseksualitas mereka, memenuhi peran kemasyarakatan secara

bertanggung jawab dan mengikatkan diri pada suatu komunitas.

Pendapat lain tentang penggolongan homoseksual atau gay adalah

berdasarkan PPDGJ II Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 yang

disusun oleh psikolog dan psikiater Indonesia mengelompokan homoseksual

dalam dua jenis, yaitu;

1. Homoseks ego sentonik, merupakan homoseksual yang merasa

tidak terganggu oleh orientasi seksualnya.

2. Homoseks ego distonik, merupakan homoseksual yang merasa

selalu terganggu olek orientasi seksualnya dan mengakibat

timbulnya konflik psikis, konflik psikis internal individu ini akan

menimbulkan perasaan bersalah, malu, bahkan depresi.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa homoseksual

dapat dikelompokan berdasarkan pola hubungannya yaitu, homoseksual aktif,

(40)

dapat dikelompokkan berdasarkan kualitasnya menjadi homoseksual

tulen,homoseksual tersembunyi, homoseksual malu-malu, homoseksual

situasional, homoseksual mapan, dan biseksual. Sedangkan berdasarkan

penerimaan pada individu homoseksual dapat dikelompokan menjadi

homoseksual ego sentonik dan homoseksual ego distonik. Untuk mempersempit

dan mempermudah penelitian, peneliti memfokuskan pengelompokan

homoseksual atau gay berdasarkan penerimaan pada individu homoseksual yaitu

ego sentonik dan homoseksual ego distonik.

2.6. Bentuk Hubungan Seksual pada Gay

Mengenai hubungan seks pada gay pada umumnya mengambil bentuk

imitasi dari hubungan herteroseksual. Dimana ada yang berperan sebagai laki-laki

dan ada yang berperan sebagai perempuan. Jika dalam hubungan homoseksual

yang seperti itu maka hal itu akan terlihat dalam perilaku sehari-hari. Kartini

Kartono (1989: 249), menjelaskan tentang perilaku seksual homoseksual atau gay

terpola dalam 3 bentuk hubungan seksual, yaitu:

1.Oral Eratism

Oral (segala sesuatu yang berkaitan dengan mulut), stimulan oral pada

penis disebut Fellatio (fallare : mengisap). Fellatio yaitu mendapatkan

kenikmatan seksual dengan cara mengisap alat kelamin partnernya yang

dimasukkan ke dalam mulut. Fellatio umumnya dilakukan homoseks remaja dan

dewasa. Fellatio dapat dilakukan dengan cara tunggal atau ganda. Fellatio tunggal

bila hanya dilakukan salah seorang partner, sedangkan fellatio ganda atau dikenal

hubungan 69 dilakukan dengan saling mengisap alat kelamin partner pada saat

(41)

2.Body Contact

Body contact mengambil bentuk onani atau menggesekgesekkan tubuh

atau dengan cara senggama sela paha.salah satu partnernya memanipulasi pahanya

sedemikian sehingga alat kelamin pasangannya dapat masuk di sela pahanya.

3.Anal Seks

Anal seks (seks yang berhubungan dengan anus) dalam dunia homoseksual

terkenal dengan sebutan sodomi. Sodomi mengacu pada hubungan seks dengan

cara memasukan alat kelamin ke dalam anus partnernya. Dalam hubungan sodomi

tersebut salah satu partnernya bertindak aktif sedang yang lain bertindak pasif

menerima.

Homoseksual tidak mengenal laki-laki dan perempuan. Istilah dalam

homoseksual dikenal top dan bottom. Homoseksual top adalah homoseksual yang

dioral dan menganal sedangkan bottom yaitu yang mengoral dan dianal. Selain

kedua istilah tersebut juga ada gay fire style yaitu gay yang mampu memposisikan

sebagai top maupun bottom (Urin Laila Sa’adah, 2008:1).

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa bentuk hubungan

pada gay mengambil imitasi dari bentuk hubungan heteroseksual. Bentuk

hubungan tersebut antara lain : oral eratism, body contact dan anal sex. Istilah

laki-laki dan perempuan dalam homoseksual atau gay lebih dikenal dengan top

dan bottom, serta gay fire style yang bisa memposisikan sebagai top atau bottom.

2.7. Kajian tentang Motif

i. Pengertian Motif

Abu Ahmadi (2002: 191), mengungkapkan bahwa motif adalah dorongan

(42)

suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Apabila dorongan dasar itu

bersifat bawaan, maka motif itu hasil proses belajar. Gerungan (2004: 151),

berpendapat bahwa motif itu merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua

penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang

menyebabkan ia berbuat sesuatu. Sedangkan Atkinson (Abu Ahmadi, 2002: 191),

motif sebagai sesuatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke

tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi ataupun kekuasaan.

Definisi yang lain dari Lindzey, Hall dan Thompson (Abu Ahmadi, 2002:

191), motif adalah sesuatu yang menimbulkan tingkah laku. Motif timbul karena

adanya kebutuhan/need (Abu Ahmadi, 2002: 193), kebutuhan-kebutuhan dapat

diartikan sebagai:

1. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia dan musnah bila

kekurangan itu tidak tercukupi.

2. Satu kekurangan universal dikalangan umat manusia yang dapat

membantu dan membawa kebahagiaan pada manusia bila kekurangan itu

terpenuhi, walaupun hal itu tidaklah esensiil terhadap kelangsungan hidup

manusia.

3. Sebuah kekurangan yang dapat dipenuhi secara wajar dengan berbagai

benda lainnya apabila ada benda khusus yang diingini tidak dapat

diperoleh.

2. Sifat taraf kebutuhan.

Kebutuhan (need) dapat dipandang sebagai kekurangan adanya sesuatu,

dan ini menuntut segera pemenuhannya, untuk segera mendapatkan

(43)

dorongan alasan, yang menyebabkan seseorang bertindak untuk memenuhi

kebutuhan. Dari bentuk-bentuk perbuatan kita dapat simpulkan adanya kebutuhan

dan motif dari perbuatan itu. Selain pengamatan terhadap tingkah laku individu

ada jalan lain untuk mengetahui atau meyakini adanya kebutuhan dan motif ialah

dengan mengetahui pengalaman pribadi. Maslow menyatakan bahwa manusia

termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kebutuhan tersebut

mempunyai tingkatan-tingkatan yang digambarkan dalam piramida hirarki

kebutuhan. Adapun kebutuhan tersebut adalah (Sarlito W. Sarwono, 2002: 174):

1. Kebutuhan Fisiologis

Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat

fisiologik (kebutuhan akan udara, makanan, minuman, seksual dan sebagainya)

yang ditandai oleh kekurangan sesuatu dalam tubuh orang yang bersangkutan.

Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak

dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) bisa manusia

yang bersangkutan kehilangan kendali atas perilakunya sendiri karena seluruh

kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi

kebutuhan dasarnya itu. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah

tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman

(safety needs).

2. Kebutuhan akan Rasa Aman

Jenis kebutuhan yang kedua ini berhubungan dengan jaminan keamanan,

stabilitas, perlindungan, struktur, keteraturan, situasi yang bisa diperkirakan,

bebas dari rasa takut dan cemas dan sebagainya. Karena adanya kebutuhan inilah

(44)

kepercayaan, membuat sistem, asuransi, pensiun dan sebagainya. Sama halnya

dengan basic needs, kalau safety needs ini terlalu lama dan terlalu banyak tidak

terpenuhi, maka pandangan seseorang tentang dunianya bisa terpengaruh dan pada

gilirannya pun perilakunya akan cenderung ke arah yang makin negatif.

3. Kebutuhan Dicintai dan Disayangi

Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman relatif dipenuhi, maka timbul

kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai. Setiap orang ingin mempunyai hubungan

yang hangat dan akrab, bahkan mesra dengan orang lain. Ia ingin mencintai dan

dicintai. Setiap orang ingin setia kawan dan butuh kesetiakawanan. Setiap orang

pun ingin mempunyai kelompoknya sendiri, ingin punya "akar" dalam

masyarakat. Setiap orang butuh menjadi bagian dalam sebuah keluarga, sebuah

kampung, suatu marga, dll. Setiap orang yang tidak mempunyai keluarga akan

merasa sebatang kara, sedangkan orang yang tidak sekolah dan tidak bekerja

merasa dirinya pengangguran yang tidak berharga. Kondisi seperti ini akan

menurunkan harga diri orang yang bersangkutan.

4. Kebutuhan Harga Diri

Di sisi lain, jika kebutuhan tingkat tiga relatif sudah terpenuhi, maka

timbul kebutuhan akan harga diri (esteem needs). Ada dua macam kebutuhan akan

harga diri. Pertama, adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan, penguasaan,

kompetensi, percaya diri dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah

kebutuhan akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi,

kebanggaan, dianggap penting dan apresiasi dari orang lain. Orang-orang yang

terpenuhi kebutuhannya akan harga diri akan tampil sebagai orang yang percaya

(45)

untuk selanjutnya meraih kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self

actualization).

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Aktualisasi diri adalah ketepatan seseorang didalam menempatkan dirinya

sesuai dengan kemampuan yang ada dalam dirinya

(id.wikipedia.org/wiki/aktualisasi_diri. Diakses pada tanggal 7 Januari 2014, jam

20.15 WIB). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang terdapat berbagai

kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki, melainkan saling mengisi. Jika

berbagai kebutuhan tidak terpenuhi maka akan terjadi patologi seperti apatisme,

kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor lagi, keterasingan, mementingkan

diri sendiri, kehilangan selera dan sebagainya.

Berdasarkan urai

Referensi

Dokumen terkait

Untuk para pemuka agama atau para penceramah di daerah tersebut agar memberikan pengetahuan khususnya mengenai larangan nikah, yang mana yang dilarang dan mana yang

Menjadi suatu hal yang dilematis jika peran vital Densus 88 sebagai aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan terorisme ternyata tidak

Energi listrik di gedung perpustakaan ini digunakan untuk instalasi penerangan, air conditioning (AC), kipas angin, komputer, dan mesin-mesin lain yangn dioperasikan dengan

Buku pedoman yang memuat berbagai informasi tentang pengelolaan vegetasi kampus UGM yang meliputi sejarah pengelolaannya, arti penting vegetasi yang ada di kampus dan manfaat

Secara yuridis, Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mmenyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Penambahan glutation di dalam pengencer mampu menghasilkan semen beku dengan kualitas baik karena glutation berfungsi sebagai senyawa antioksidan yang mencegah terjadinya reaksi

Pola penelitian ini menurut pendekatan datanya menggunakan pendekatan kuantitatif. Menurut Margono, penelitian kuantitatif adalah sebuah proses menemukan pengetahuan

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pelengkap adalah penjelas atau keterangan tambahan yang berupa kata atau frasa yang memiliki keterkaitan dengan subjek