Analisis Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 365 k/pid. 2012)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Gelar Magister Hukum Pada Program studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH HENI WIDIYANI
117005020
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Telah Lulus Diuji Pada Tanggal 28 Januari 2014
Panitia Penguji Tesis
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo. SH. M.Hum
Anggota : Dr. Marlina, SH. M.Hum
ABSTRAK
Prof. Syafruddin Dr. Marlina, SH, M.Hum2 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum3
Heni Widiyani. SH4
Dokter adalah sebuah profesi yang mengabdikan ilmunya pada kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusian dibawah kode etik kedokteran. Hubungan dokter dan pasien yang berawal dari hubungan paternalistik berubah ke horizontal kontrak. Perubahan tersebut menimbulkan banyak terjadi kritikan terhadap kinerja para dokter. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini mengenai aturan tentang malpraktek dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban pidana dokter dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365k/pid/2012. Permasalahan ini dianalisis dengan teori pertanggungjawaban pidana dan teori kausalitas.
Metode yang digunakan didalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan tekhnik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.
Hasil penelitian tesis ini mengenai aturan malpraktek dalam hukum positif Indonesia adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Praktek Kedokteran,malpraktek dibagi menjadi dua, malpraktek yuridis dan malpraktek etik. Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap dokter oleh Mahkamah Agung tidak sesuai dengan teori kausalitas karena tidak ada kelalaian yang terjadi dalam tindakan yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan matinya korban, sehingga unsur pasal 359 yang didakwakan tidak terpenuhi, dan seharusnya tidak ada pertanggungjawaban pidana dokter terhadap matinya korban, karena akibat matinya dikarenakan emboli yang merupakan resiko medik dalam dunia kedokteran dan termasuk dalam alasan pembenar dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga putusan Mahkamah Agung dalam memberi putusan bersalah tidak tepat dan keliru.
Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk mengatur malpraktik secara eksplisit kedalam hukum positif, sehingga tidak menimbulkan multitafsir, serta aparat penegak hukum untuk lebih teliti dan memahami asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-udang undangan yang berkaitan dengan malpraktik, sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang bijaksana bagi dokter dan pasien yang berkonflik dengan hukum.
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, dokter
1 Ketua Komisi Pembimbing 2 Dosen Pembimbing Kedua 3
Dosen Pembimbing Ketiga
4
ABSTRACT
Prof. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum5 Dr. Marlina, SH, M.Hum6 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum7
Heni Widiyani. SH8
Doctor is a profession devoted to the science of public interest, to have freedom of humanitarian values under the code of medical ethics. Relationship between doctor and patient that originated from the paternalistic relationship turns into a horizontal contract. The amendment raises a lot going on criticism of the performance of doctors. The formulation of the issues discussed in this study regarding the rules on malpractice in Indonesian positive law and criminal liability of doctors in the Supreme Court decision No. 365k/pid/2012. This problem is analyzed with the theory of criminal responsibility and theories of causality.
Method used in this thesis is a normative research using primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. This study uses library research techniques are further analyzed with qualitative.
Results of this thesis research on the rule of positive law malpractice in Indonesia is in the book of the Criminal Justice Act, Act No. 36 of 2009 on Health, and Law No. 29 of 2004 Practice of Medicine, malpractice is divided into two, judicial malpractice and malpractice etic. Criminal liability imposed on physicians by the Supreme Court is not in accordance with the theory of causality because there are no omissions in the action taken by the doctor that resulted in the death of the victim, so that the elements of Article 359 of the accused are not being met, and there should be no criminal responsibility for the death of the victim to the doctor, as a result of death due to embolism is a medical risk in medicine and included in the justification of criminal responsibility. So the Supreme Court's decision in giving the verdict of guilt was not right and wrong.
Based on this study suggested to regulate malpractice explicitly into positive law, so as not to give rise to multiple interpretations, as well as law enforcement officers to more thoroughly and understand the principles of law and legal theory and laws and regulations related to shrimp malpractice, resulting in a wise decision for the court physicians and patients in conflict with the law.
Key words: criminal responsibility, doctor
5
Head of lecuture commmittee 6
Second lecture committe 7
The third lecure committe 8
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirahim
Alhamdulilahi rabbil alamin, segala puji dan syukur penulis kepada allah
SWT atas segala Rahmat dan Hidayah Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesisi ini tepat pada waktunya. Begitu pula shalawat beriring
salam penulis ucapkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW.
Tesis ini disusun guna melengkapi tugas dan memenuhi syarat untuk
memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara, dengan judul
Pertanggungjawaban Pidana Dokter (Studi Putusan Makamah Agaung Nomor 365 K/Pid/2012).
Penulis telah banyak mendapat bantuan. Bimbingan dan arahan dari berbagai
pihak dalam penyusunan tesis ini, karenanya penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan setingginya kepada:
Kedua orang tua penulis yang selalu dengan tulus mencintai dan menyayangi penulis, memberikan kasih sayang dan perhatian , abah Jamaris dan ibu Herminah karena semangat dan pengorbanan mereka, serta keikhlasan mereka yang tak mungkin bisa terbalaskan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Running sitepu, SH,M.Hum selaku dekan fakultas hukum
Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof.Dr. Suhaidi, SH, M.H selaku ketua program studi Magister Ilmu
3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin kalo SH..M.Hum selaku ketua komisi pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu
memberikan masukan terhadap tesis ini.
4. Ibu Dr.Marlina.SH, M.Hum selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak
meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu memberikan masukan
terhadap tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi.SH, M.Hum selaku pembimbing ketiga yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu memberikan
masukan terhadap tesis ini.
6. Bapak Dr.Mahmul Siregar,SH,M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif dalam penyempurnaan tesis
ini.
7. Bapak Dr. Eka Putra, SH,M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif dalam penyempurnaan tesis
ini.
8. Seluruh staff tata usaha program studi magister ilmu hukum fakultas hukum
universitas sumatera utara yang telah memberikan bantuandalam proses
administrasi mulai pada saat memasuki kuliah hingga perkulihan selesai.
9. Terimakasih kepada abang Jefriadi.Amd. dan kakak ipar Lisnawati serta
keponakan tersayang Raffi Khairul Azzam atas dukungan moral maupun materil
10. Terimakasih kepada kakak dr. Lestari, dr.dita, dr.fatin, drg. Oppi, lenni Amd.Keb
atas informasi tentang kesehatan, terimakasih juga untuk kakak Dian
Marissa.Amd, Wicky Delia.SH. Ernidawati Spd.Msc.
11. Terimakasih kepada sahabat saya jurnalis sallam,S.ThI. Tengku Fika Kartika,
SH, Frederick Tarigan, SH, Nurhayati, Spd. Atas semangat dan bantuan nya.
12. Terimakasih kepada teman seperjuangan dikampus saya Irene Putri Kartika Sari
Siregar.SH, juleata Santi Simorangkir.SH.MH, Kemala Atika.SH,
Aisyah.SH.S.sos.MH, Kartina Pakhpahan.SH.MH., Agnes Gulo.SH.MH, Apri
Rotin djusfi.SH.,MH. Syafrizal wahyudi.SH, Ansyari Siregar.SH.MH, Hendri
Nauli Rambe.SH.MH, terimakasih untu kebersamaan nya selama ini,
13. Teman teman angkatan 2011 Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
khususnya jurusan pidana, terimakasih untuk kebersamaanya
Penulis menyadari akan ketidak sempurnan hasil penelitian tesis ini karena
kesempurnaan hanya milik allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada
semua pihak untuk memberikan saran dan kritik yang membangun guna
menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik bagisubtansi maupun
penulisannya dimasa akan dating. Semoga tesis ini bermanfaat untuk pembaca dan
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Identitas Pribadi
Nama lengkap : Heni Widiyani
Tempat/tanggal lahir : Teluk Pinang/12 Januari 1987
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan. Nurul Huda No 10. Kelurahan Teluk Pinang.
Kabupaten Indragiri Hilir. Provinsi Riau
2. Keluarga
Nama ayah : Jamaris.Ama.pd
Nama ibu : Herminah
3. Pendidikan
SD : Tahun 1992-1998 SDN 003 Teluk Pinang
SMP : Tahun 1998-2001 SMPN01 Teluk Pinang
SMA : Tahun 2001-2004 SMAN01 Teluk Pinang
Perguruan Tinggi/ SI : Tahun 2004-2009 Universitas Islam Riau
DAFTARISI
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Kerangka Konsepsi ... 28
G. Metode Penelitian ... 29
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 29
2. Sumber bahan Penelitian Hukum ... 30
3. Teknik Pengumpulan Data ... 32
4. Analisis Data ... 32
BAB II PENGATURAN TENTANG MALPRAKTEK DOKTER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ... 34
A. Malpraktek dan Jenis Malpraktek ... 34
B. Resiko Medik ... 44
1. KitabUndang-UndangHukumPidana ... 48
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 TentangKesehatan ... 69
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran. ... 75
BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DOKTER DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365K/Pid/2012 .... 81
A. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/Pid/2012 81 B. Fakta Hukum Pengadilan Negeri Manado ... 84
1. Keterangan Saksi. ... 85
2. Keterangan Ahli ... 90
3. Keterangan Terdakwa ... 93
4. Barang Bukti Surat ... 95
C. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 96
D. Putusan Pengadilan Negeri Manado Dan Mahkamah Agung ... 97
1. Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/PID.B/2011/PN.MDN ... 97
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/Pid/2012 ... 100
E. Analisis pertanggungjawaban pidana dokter ... 102
1. Pengadilan Negeri Manado ... 102
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
A. Kesimpulan ... 121
B. Saran ... 123
ABSTRAK
Prof. Syafruddin Dr. Marlina, SH, M.Hum2 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum3
Heni Widiyani. SH4
Dokter adalah sebuah profesi yang mengabdikan ilmunya pada kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusian dibawah kode etik kedokteran. Hubungan dokter dan pasien yang berawal dari hubungan paternalistik berubah ke horizontal kontrak. Perubahan tersebut menimbulkan banyak terjadi kritikan terhadap kinerja para dokter. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini mengenai aturan tentang malpraktek dalam hukum positif Indonesia dan pertanggungjawaban pidana dokter dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365k/pid/2012. Permasalahan ini dianalisis dengan teori pertanggungjawaban pidana dan teori kausalitas.
Metode yang digunakan didalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan tekhnik penelitian kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kulitatif.
Hasil penelitian tesis ini mengenai aturan malpraktek dalam hukum positif Indonesia adalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Praktek Kedokteran,malpraktek dibagi menjadi dua, malpraktek yuridis dan malpraktek etik. Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap dokter oleh Mahkamah Agung tidak sesuai dengan teori kausalitas karena tidak ada kelalaian yang terjadi dalam tindakan yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan matinya korban, sehingga unsur pasal 359 yang didakwakan tidak terpenuhi, dan seharusnya tidak ada pertanggungjawaban pidana dokter terhadap matinya korban, karena akibat matinya dikarenakan emboli yang merupakan resiko medik dalam dunia kedokteran dan termasuk dalam alasan pembenar dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga putusan Mahkamah Agung dalam memberi putusan bersalah tidak tepat dan keliru.
Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk mengatur malpraktik secara eksplisit kedalam hukum positif, sehingga tidak menimbulkan multitafsir, serta aparat penegak hukum untuk lebih teliti dan memahami asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-udang undangan yang berkaitan dengan malpraktik, sehingga menghasilkan putusan pengadilan yang bijaksana bagi dokter dan pasien yang berkonflik dengan hukum.
Kata kunci: pertanggungjawaban pidana, dokter
1 Ketua Komisi Pembimbing 2 Dosen Pembimbing Kedua 3
Dosen Pembimbing Ketiga
4
ABSTRACT
Prof. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum5 Dr. Marlina, SH, M.Hum6 Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum7
Heni Widiyani. SH8
Doctor is a profession devoted to the science of public interest, to have freedom of humanitarian values under the code of medical ethics. Relationship between doctor and patient that originated from the paternalistic relationship turns into a horizontal contract. The amendment raises a lot going on criticism of the performance of doctors. The formulation of the issues discussed in this study regarding the rules on malpractice in Indonesian positive law and criminal liability of doctors in the Supreme Court decision No. 365k/pid/2012. This problem is analyzed with the theory of criminal responsibility and theories of causality.
Method used in this thesis is a normative research using primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary. This study uses library research techniques are further analyzed with qualitative.
Results of this thesis research on the rule of positive law malpractice in Indonesia is in the book of the Criminal Justice Act, Act No. 36 of 2009 on Health, and Law No. 29 of 2004 Practice of Medicine, malpractice is divided into two, judicial malpractice and malpractice etic. Criminal liability imposed on physicians by the Supreme Court is not in accordance with the theory of causality because there are no omissions in the action taken by the doctor that resulted in the death of the victim, so that the elements of Article 359 of the accused are not being met, and there should be no criminal responsibility for the death of the victim to the doctor, as a result of death due to embolism is a medical risk in medicine and included in the justification of criminal responsibility. So the Supreme Court's decision in giving the verdict of guilt was not right and wrong.
Based on this study suggested to regulate malpractice explicitly into positive law, so as not to give rise to multiple interpretations, as well as law enforcement officers to more thoroughly and understand the principles of law and legal theory and laws and regulations related to shrimp malpractice, resulting in a wise decision for the court physicians and patients in conflict with the law.
Key words: criminal responsibility, doctor
5
Head of lecuture commmittee 6
Second lecture committe 7
The third lecure committe 8
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Berdasarkan sejarah ilmu kedokteran, dunia kedokteran adalah profesi yang
sudah dianggap mulia dari awal ditemukannya ilmu ini.Profesi kedokteran
dibutuhkan disegala bidang kehidupan manusia, profesi menjadikan ilmu kedokteran
menjadi suatu kajian ilmu yang sangat dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup
didunia ini1.Memiliki berbagai cabang ilmu, dari Pediatri (ilmu kesehatan anak), Ginekologi (ilmu penyakit pada wanita), Neurologi (ilmu penyakit saraf), hingga
melingkupi bidang lainnya seperti kedokteran olahraga, dan kesehatan masyarakat,
dan dibidang hukum ada jenis ilmu kedokteran yang dikenal dengan sebutan ilmu
kedokteran kehakiman2.
Profesi Kedokteranyang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, serta kode etik yang
bersifat melayani masyarakat diatur dalamUU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran3.Persyaratan standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi di atur dalamPasal 26 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dalam yaitu standar pendidikan profesi kedokteran dan standar
pendidikan profesi kedokteran gigi disahkan oleh konsil kedokteran Indonesia4.
Pelaksanaan pendidikan profesi dokter dan dokter gigi diatur oleh asosiasi institusi
1
http://ilmuhukum.umsb.ac.id diunduh Tanggal 9 juni 2013
2 ibid 3
Konsil kedokteran Indonesia.Standard Pendidikan Profesi Dokter.Jakarta,Konsil Kedokteran Indonesia 2006 .Hal.24
4
pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi, sedangkan untuk profesi dokter specialis
atau dokter gigi specialis disusun oleh kologium kedokteran atau dokter gigi 5.
Profesi kedokteran merupakan profesi yang sangat mulia maka
pendidikannya harus mempunyai standar yang sama dalam setiap pelaksanaannya,
yang mana standar ini disusun oleh Organisasi Profesi, Kolegium, Asosiasi Rumah
Sakit Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen
Kesehatan.6Adanya standar pendidikan dokter dan dokter gigi ini diharapkan terujud suatu profesi yang bertanggungjawab dan menghasilkan dokter yang mempunyai
kemampuan yang bagus.
Dokter sebagai anggota profesi yang mengabadikan ilmunya pada
kepentingan umum, mempunyai kebebasan nilai-nilai kemanusiaan di bawah kode
etik kedokteran. Adanya kode etik kedokteran bertujuan untuk mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran harus
senantiasa dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan cara yang benar.7 Kode etik profesi kedokteran ini dikenal sejak 1800 tahun sebelum masehi, yang
pelaksaaannya dilakukan oleh penguasa, kemudian mucul kode etik dalam bentuk
sumpah dokter yang awalmulanya dikenal dengan nama sumpah Hippocrates yang
5
IbidPasal 26 ayat 2
6
Ibid Pasal 26 ayat 3
7
hidup sekitar tahun 460-370 tahun masehi, yang berisikan kewajiban dokter dalam
berprilaku dan bersikap 8.
Dokter mempunyai kedudukan yang unik dalam menjalankan kehidupannya di tengah masyarakat yaitu:9
1. Rasa takut sering merupakan latar belakang utama kedatangan pasien kepada dokter. Betapapun ada kalanya keluhan itu sendiri tidak nyata, tetapi rasa takut itu benar – benar nyata.
2. Pasien sepenuhnya berserah diri kepada dokter, bahkan dalam keinginannya bebas dari rasa sakit. Bersedia di sakiti oleh dokternya, melalui berbagai prosedur dianostik ataupun dioperasi.
3. Hubungan antara dokter dan pasien bersifat sangat pribadi. Seluruh rahasia yang dimilikinya akan di bukakan kepada dokter,jika dikehendaki.
4. Dokter bekerja dalam keadaan yang serba tidak pasti, selain tubuh manusia yang sangat berpariasi, dokter tidak dapat membuat seperti hal nya seorang montir yang boleh membongkar seluruh isi” obyek yang akan di perbaiki” hanya untuk memastikan letak dan macam kelainan yang menimbulkan keluhan.
5. Masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan kepada dokter, tetapi sekaligus juga mencurigai atau bahkan cemburu terhadapnya.
6. Tuntutan fungsi sosial antara dokter dan masyarakat memberikan status yang unik, tetapi juga tinggi bagi dokter. Mereka yang bermental lemah akan mudah terbuai oleh status ini dan lupa diri.
Kedudukan yang unik tentu saja memberikan beban yang baru bagi setiap
orang yang memilih profesi kedokteran. Beban tersebut atara lain tetap menjaga
integritas, agar martabat profesinya tidak runtuh harus dipertahankan. Harapan
masyarakat kepadanya harus di imbangi dengan bukti-bukti dalam bentuk perbuatan
yang nyata.
8
Susatyo Herlambang. Etika Profesi Tenaga Kesehatan. Jogjakarta. 2011. Gosyen Publishing. Hal. 55
9
Hubungan antara pasien dengan rumah sakit, dalam hal ini terutama dokter,
memang merupakan hubungan antara penerima dengan pemberi jasa. Hubungan
antara dokter dan pasien pada umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis
aktif-pasif 10. Artinya medis aktif dalam hal pelaksanaan sedangkan pasien hanya pasif dalam hal tindakan, ini terlihat tidak adil sehingga hubungan seperti ini harus
dirubah.
Hubungan terjadi pada saat pasien mendatangi dokter pada saat pasien
bertemu dengan dokter dan doktermemberikan pelayanannya maka sejak itulah telah
terjadi suatu hubungan hukum11. Hubungan dokter dan pasien dahulunya bersifat hubungan vertical atau hubungan kepercayaan yang bersifat paternalistik, dimana
tenaga kesehatan dianggap paling superior, kedudukan dokter pasien tidak sederajat,
kurang interaksi antara dokter dan pasien karena pasien bersifat pasif dengan
menyerahkan segala kepercayaannya kepada dokter12.Hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dalam ranah moral yaitu etika
profesi dan etik kemudian berubah kearah pengaturan normatif yang bersifat
memaksa karena adanya keinginan untuk mempertahankan hak dengan perlindungan
hukum terhadap pemberian jasa pelayanan kesehatan13.Atas Perubahan ini maka timbul hubungan yang lebih demokratis yaitu hubungan Horizontal
10
Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran. Mandar Maju. Bandung. 1996, Hal. 42 11
Safitri Hariyani. Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian antara Dokter dan Pasien,
Diadit Media. Jakarta. 2005. Hal. 10.
12
Syahrul Machmud. Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medical Malpraktik.Bandung. Karya Putra Darwati 2012. Hal.58
13
Kontraktual,antara dokter dan pasien mempunyai hubungan hukum yang sederajat
segala sesuatunya dikomunikasikan kepada keduabelah pihak, kesepakatan ini disebut
juga Informed Consent14.
Hubungan kontraktual muncul akibat kebangkitan kesadaran akan HAM
dalam bidang kesehatan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat serta semakin
tingginya pengetahuan pasien terhadap berbagai masalah kesehatan15. Hak-hak pasien berkembang dengan baik, akibat kesadaran akan HAM khususnya terkait hak atas
informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya sebagaimana tertuang dalam
Declaration of Lisbon (1981) dan Patien’sBill of Rights (American
HospitalAssociation, 1972) mempunyai hak menerima dan menolak pengobatan dan
hak untuk menerima informasi dari dokternya sebelum memberikan persetujuan
tindakan medik16.Hak ini sesuai dengan asas hukum kesehatan yaitu the right to health care (hak atas pelayanan kesehatn) dan the right of self determination (hak
untuk menentukan nasib sendiri)17.
Hak atas pelayana kesehatan bisa terujud secara baik atau tergantung dari 4
faktor yaitu sarana kesehatan, geografis suatu daerah agar pelayanan kesehatan bisa
maksimal, keuangan masyarakat, kualitas sarana maupun sumber daya tenaga
kesehatannya. Hak untuk menentukan nasib sendiri atau hak yang berasal dari diri
sendiri yaitu hak privacy atas segala sesuatu mengenai keadaan diri atau badannya
14
Syahrul machmud.OpCit.Hal. 57
15
Bidang Peneliti Dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, Dokter, dan Pasien dalam mencegah malpraktek.Jakarta.2008. diunduh tanggal 1 agustus 2013.
16 ibid 17
sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain (rahasia kedokteran), kecuali dokter
yang memeriksa dirinya, dan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan terhadap
diri pasien (informed consen)18.
Menurut Szaza dan Molander hubungan dokter pasien ada 3 (tiga) tipe19: 1. Hubungan aktif – pasif.
2. Hubungan pemberian petunjuk-koperatif.
3. Hubungan partisipasif.
Dokter dan dokter gigi melakukan komunikasi dengan baik dan rinci
sehingga pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-hak nya sebagai seorang
pasien yang juga dilindungi oleh hukum.Sehingga menguntungkan pasien karena
telah mengetahui tingkat kesehatan atau keparahannya penyakit serta kemampuan
dokter dalam melakukan tindakan untuk membantu masalah sesuai dengan kondisi
yang ada pada saat itu20.
Hubungan antara dokter dan pasien dapat dilihat pada Kode Etik Kedokteran
Indonesia (KODEKI). Mukadimah KODEKI dijelaskan bahwa, sejak permulaan
sejarah mengenai umat manusia sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua
insan, yaitu sang pengobat dan penderita (pasien) dalam zaman modern, hubungan itu
disebut sebagai hubungan (transaksi) terapeutik antara dokter dan penderita (pasien)
yang dilakukan dalam suasana saling percaya mempercayai serta senantiasa diliputi
18
Ibid. Hal. 38-40
19
www.slide share.Com. Hubungan dokter-perawat dan pasien.oleh Luqman Effendi,di unduh tgl 2juni 2013.
20
oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani21. Hubungan terapeutik adalah perjanjian yang termasuk dalam inspaningsverbintenis yaitu perjanjian upaya,
yang mana dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kewajiban dengan
kesungguhan, dengan mengerahkan kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan
standar operasional tanpa menjanjikan hasil dari yang telah diperjanjikan.Upaya
memenuhi kewajiban menimbulkan suatu kesalahan yang berujud suatu perbuatan
yang diatur oleh hukum pidana, maka masalah bisa dimintakan pertanggungjawaban
pidananya 22.
Hubungan antara dokter dan pasien juga diatur dalam Bab II
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, khususnya Pasal 2 yang
menegaskan “Praktikkedokteran dilaksanakan berasaskanPancasila dan didasarkan
pada nilai ilmiah,manfaat, keadilan, kemanusiaan,keseimbangan serta perlindungan
dankeselamatan pasien”23.
Dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien, dokter atau
dokter gigi harus memberikan penjelasan yang cukup kepada pasien, yaitu
sekurang-kurangnya24:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
21
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia.Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta. Tahun 2002
22
Bahder john.Op Cit. Hal.13-17
23
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 2.
24
3. Alternatif tindakan lain dan resikonya
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Setelah dokter dan dokter gigi memberikan penjelasan, kemudian akan
melakukan tindakan yang mana bahwa tindakan dokter atau dokter gigi harus
mendapat persetujuan25 dari keluarga terdekat atau ahli waris.
Hukum kedokteran yang berkembang dan malpraktek yang baru dikenal
konsepnya berbanding terbalik dengan banyaknya sorotan masyarakat terhadap
hukum kesehatan, khususnya kepada dokter dan rumah sakit. Kondisi ini dipicu oleh
pemberitaan mengenai malpraktek yang marak semakin memperjelas adanya
peningkatan dugaan malpraktek medis.26
Malpraktek sendiri di Indonesia pertama kali digunakan dalam majalah
tempo edisi 25 oktober 1986.27Malpraktek belum mempunyai batasan yang jelas pengertiannya pun berbeda-beda, veronica mengatakan malpraktek berasal dari kata
malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan menjalankan profesi yang timbul
sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.28J. guwandi mengatakan malpraktek adalah memiliki konotasi buruk, bersifat stigmatis, dan
menyalahkan29.
25
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Kesehatan pasal 45 ayat 1
26
J. guwandi.Hukum Medik. Fakultas kedokteran Indonesia. 2004. Jakarta. Hal.9
27
Oemar Seno Adji. Etika Professional Dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter.Erlangga. 1991. Jakarta. Hal 58
28
Veronica Komalawati. Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter. Pustaka Sinar Harapan.1089. Jakarta. Hal 87
29
Dulu etika profesi mampu menjaga citra dan tingkahlaku para dokter dalam
menjalankan profesi, denganbeberapa perubahan dalam perkembangan profesi
kedokteran, dan menurut H.R. Hariadi antara lain30:
1. Perubahan sikap hidup dari idealis mengarah ke materialisme. Dalam hal ini,
ada dokter yang lebih mementingkan materi daripada kehormatan profesi
dokter.
2. Masuknya dokter asing dan dokter lulusan luar negeri yang mempunyai latar
belakang dan budaya yang berbeda, sehingga menambah ketatnya kompetisi
antar dokter.
3. Berbagai kemajuan dan perkembangan masyarakat sebagai pengguna jasa
kesehatan dan kedokteran.
4. Tingkat kesejahteraan dan daya kritis masyarakat yang meningkat
memungkinkan mereka menuntut dokter yang lebih baik lagi atau jika mereka
tidak puas dengan dokter yang ada di Indonesia, mereka mencarinya di luar
negeri.
5. Kesenjangan antara kaya dan miskin makin melebar, menyebabkan adanya
dokter/rumah sakit yang hanya melayani mereka yang mampu dan kaya saja.
6. Teknologi komunikasi dan informasi makin canggih, teknologi banyak
digunakan manusia, sehingga masyarakat dapat menggunakan jasa internet
dan telemedicine, yang memungkinkan pasien menjadi lebih
30
7. Meningkatnya kesadaran masyarakat menggunakan jasa pengacara untuk
memperoleh dan membela hak-haknya dalam bidang kesehatan.
8. Industri farmasi, laboratorium medis dan industri peralatan kedokteran secara
efektif dan efisien memanfaatkan para dokter sebagai perantara (makelar)
yang potensial untuk menjual jasa dan produknya kepada pasien sebagai
konsumen. Kerja sama antara dokter dan industri farmasi, laboratorium medis
dan industri peralatan dokter mengabaikan berbagai perilaku yang dahulu
dianggap tidak etik, sekarang diabaikan.
Banyaknya perubahan-perubah diatas sehingga memaksa pemerintah untuk
lebih menjamin hak kesehatan yang baik, maka di atur sanksi pidana dalam etika
kedokteran.
Media massa banyak memberitakan kasus dugaan malpraktek , salah satu
kasus malpraktek yang membuat para dokter se Indonesia melakukan demonstrasi
dikarenakan mereka merasa dikriminalisasi adalah putusan oleh Mahkamah Agung
dengan nomor 365 K/pid/2012. Tentang kelalaian yang dilakukan oleh dokter Dewa
Ayu Sasiary Prawani, dokter Hendry Simanjuntak, dokter Hendy Siagian dalam
tindakan operasi Cito Secsio Sesoria yang mengakibatkan kematian terhadap pasien
nya. Terhadap tindakan kelalaian ini banyak menimbulkan pertanyaan apakah ini
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik menulis tesis dengan
judul Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktek (studi putusan
Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012).
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas dapatlah
dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan di bahas dalam penulisan tesis ini,
adapun perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana peraturan tentang malpraktik dokter dalam hukum positif
indonesia?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dokter terhadap kasus malpraktek
dalam Putusan Mahakamah Agung Nomor 365 K/pid/2012?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan di atas maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui peraturan tentang malpraktik dokter dalam hukum positif
indonesia
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dokter terhadap kasus
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan memberi manfaat baik kegunaan dalam
pengembangan ilmu atau manfaat dibidang teoritis dan manfaat bidang praktis antara
lain:
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan masukan bagi para akedemisi sebagai bahan pertimbangan
dalam penelitian selanjutnya.
b. Untuk memperkaya literatur kepustakaan.
2. Secara Praktis
Manfaat praktis dari penulisan ini diharapkan dapat membantu memberi
masukan kepada semua pihak, bagi pihak dokter agar lebih mengetahui dan
menyadari akan kewajiban dalam menangani pasien dan bertanggung jawab secara
penuh apabila terbukti melakukan kesengajaan atau kelalaian malpraktik medis,
selanjutnya bagi pihak pasien sendiri untuk memahami secara jelas apa saja yang
menjadi haknya sehingga pasien tidak lagi bertindak pasif dan bersikap pasrah ketika
mengalami malpraktik melainkan mampu mengajukan tuntutan atas hak-haknya
sebagai pemakai jasa kesehatan, juga bagi para penegak hukum untuk lebih tanggap
dalam meninjau terjadinya tindakan malpraktik, sehingga penanganan kasus dapat
dilakukan tanpa adanya banyak proses yang menyulitkan yang membuat dokter bisa
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktek (studi putusan
Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012). Penelitian ini dapat disebut asli sesuai
dengan asas-asas keilmuan yaitu,jujur, rasional, dan obyektif serta terbuka. Semua ini
merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Penelitian ini
dapat di pertanggung jawabkan kebenaran nya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori
Tesis ini menggunakan teori pertanggungjawaban pidana
pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip yang mendasar di dalam hukum
pidana, atau yang lebih sering dikenal sebagai asas “geen straf zonder schuld” (tiada
pidana tanpa kesalahan). Pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan dalam
diri si pelaku tindak pidana maka disebut dengan leer van het materiele feit. Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memberikan sebuah
penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan asas “geen straf zonder schuld”,
akan tetapi asas ini dapat dikatakan sebagai asas yang tidak tertulis dan berlaku di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua
hal yakni tindak pidana (daad strafrecht), pelaku tindak pidana (dader straftrecht).31
31
Pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif (kesalahan dalam
arti luas).32Teori dualistis memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana, menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari tindak pidana dan ditempatkan
sebagai penentu dalam pertanggungjawaban pidana.Tindak pidana adalah perbuatan
atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana,33 Moeljatno menyebut dengan istilah perbuatan pidana yaitu “perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.34
Orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana,
tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka akan dipidana. Manakala tidak mempunyai kesalahan
walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tidak dipidana.Asas
yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar
daripada dipidananya si pembuat.35artinya Perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu di pertanggung Jawabkan pada si pembuatnya. Artinya celaan yang obyektif terhadap
perbuat itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa.Menjadi soal selanjutnya, apakah
si terdakwa juga di cela dengan dilakukannya perbuatan itu, kenapa perbuatan yang
32
H.M. Hamdan. Hukum dan Pengecualian Hukum Menurut KUHP danKUHAP. Usu Press. Medan.Hal.59.
33
Chairul HudaDari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada pertanggungjawabanpidana tanpa kesalahan.Kencana. 2006. Jakarta Halm. 15.
34
Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara,1982 Jakarta.,Hal.59.
35
obyektif tercela, secara subyektif dipertanggungjawabkan kepadanya, oleh sebab itu
perbuatan tersebut adalah pada diri si pembuat.36
Dapat dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah
ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak
karena tidak melakukan tindak pidana.37Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan
dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana.Dengan demikian, kesalahan
ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya
dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.38Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang
dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran
ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan “perbuatan” sedangkan
masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah
persoalan lain39.Tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Walaupun telah melakukan tindak
pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat
36
Djoko Prakoso. Hukum Panitensir Indonesia.Libety. 1998. Yogyakarta. Hal105
37 Ibid 38
Chirul Huda. Op Cit. Hal 4
39Ibid
dipertanggungjawabkan.Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti
pembuatnya bersalah atas hal itu.40
Vos, yang memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus
yaitu :41
a) Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukanperbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader).
b) Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
c) Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungan jawab bagi si pembuat atas perbuatannya itu.
Sejalan dengan pengertian kesalahan, pandangan E.Mezger yang dapat
disimpulkan pengertian kesalahan terdiri atas :
a) Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungstahing ist)
b) Adanya bentuk kesalahan (schuldform) yang berupa kesengajaan (vorzatz) dan culpa (tahrlassigkeit).
c) Tidakadadalampenghapuskesalahan(keine schuldansshiesungsgrummade).
Kemampuan bertanggungjawab harus terdapat kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan
yang melawan hukum,atau biasa disebut faktor akal, kemampuan untuk menentukan
kehendak menurut keinsyafan tentang baik atau buruk perbuatan atau disebut faktor
perasaan.42Seseorang yang tidak bisa mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik-buruk suatu perbuatan dia tidak mempunyai kesalahan dan
jika melakukan tindak pidana maka tidak bisa dimintakan
40
Ibid. Hal 6
41
Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana.Graha Indonesia, 1994.Jakarta Hal.136 137
42
pertanggungjawaban.Sesuai dengan pasal 44 KUHP, ketidakmampuan tersebut harus
disebabkan karena alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya43
Kesengajaan memiliki dua teori , yaitu teori kehendak yang bearti sengaja
menghendaki dan melakukan atau menimbulkan suatu akibat, teori membayangkan
tindakan membayangkan sebagai maksud tindakan itu dan oleh karena itu tindakan
yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan banyangan yang terlebih dahulu telah
dibuat tersebut.44Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan hasil yang signifikan dalam penerapan ke dua teori tersebut kecuali perbedaan istilah yang karena sebenarnya
perbedaan diantara keduanya bukan terdapat pada aspek yuridis, melainkan pada
aspek psikologis semata, dimana dapat disimpulkan bahwa apakah akibat dari
tindakan itu benar-benar dikehendaki atau hanya dibayangkan oleh pelaku.45
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana itu, ada dua aliran yang selama
ini dianut, yaitu aliran indeterminisme dan alirandeterminisme.Kedua aliran tersebut
membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya
kesalahan.
1. Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya 19 Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan). Lihat juga Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Lokakarya MasalahPembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional Buku I, BPHN Departeman Kehakiman, Jakarta, 13-15 Desember 1982 18 berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan;
43
Ibid. Hal 179
44
Leden Marpaung. Unsur-Unsur Pebuatan Yang Dapat Dihukum.Sinar Grafika.1991. Jakarta. Hal 12
45
apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
2. Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, ialah perangsang-perangsang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.46
Menentukan kesengajaan dalam suatu tindak pidana bisa dilihat dari bentuk
kesengajaan itu, yaitu kesengajan dengan maksud (Opzet Als Oogmerk), sengaja
dengan keinsafaan pasti (Opzet Bij Zekerheidsbewustzijn), serta kesengajaan dengan
keinsafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids Bewustzijn)47.
Kealpaan terdapat kekeliruan dalam perbuatan lahir dan menunjuk kepada
adanya keadaan batin tertentu dan dilain pihak keadaan batinnya itu sendiri, jadi
culpa mencakup semua kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa
kesengajaan.48kealpaan yang unsur kesalahannya adalah berupa kelalain, karena kurang hati-hati dan tidak karena kesengajaan.49
Kealpaan dianggap sebagai suatu kesalahan yang lebih ringan dibandingkan
karena sengaja.Vos membagi kealpaan menjadi dua, yaitu mengadakan penduga-duga
terhadap akibat bagi sipembuat, dan tidak mengadakan penghati-hatian mengenai apa
46
Sudarto,Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Undip. 1990. Semarang, hlm.87
47
Ledeng Marpaung. Op. Cit.Hal 14
48
Moeljatno.Azas-Azas Hukum Pidana.Op. Cit. Hal. 134
49
yang dibuat dan atau tidak diperbuat.50 Unsur-unsur kealpaan yang tersebut menunjukan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang
dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat, bahwa kurang
memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.
Kealpaan dapat dua jenis, culpa lata (merkelijke schuld) yaitu alpa yang
hebat, alpa berat dan menurut pakar adanya culpa lata ini dapat dikatakan kejahatan
karena alpa. Misalkan pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
culpa levvisima yaitu culpa ringan, adanya dalam pelanggaran , pasal 490 sub 1 dan 4
Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi suatu delik adalah
culpa lata.51
Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain disebut juga culpa lata
yang diatur dalam pasal 359 KUHP yang di dakwakan kepada terdakwa dalam kasus
malpraktek dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/pid/2012, yang mana
dimaksud membuat mati orang lain menurut pasal 359 itu sendiri adalah akibat dari
kelalaian pembuat, dengan tidak menyebutkan bentuk perbuatan pembuat tetapi
kesalahan dan tidak menyebut kematian yang disebabkan oleh pembuat tetapi
kematian yang dapat dicelakan kepadanya.52
Alasan penghapus pidana secara umum dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu
terdapat dalam bab III buku kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
50
Bambang Poerrnomo. Asas-Asas Hukum Pidana.Ghalia Indonesia. 1983. Yogyakarta. Hal. 183
51
Martiman Prodjohamidjojo. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta. hal 53
52
yang terdiri dari pasal 44, pasal 48 sampai pasal 51 (pasal 45 sampai 47 KUHP telah
dicabut berdasarkan pasal 67 undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang peradilan
anak) alasan secara khusus yaitu pasal 110, pasal 166, pasal 186 ayat 1, pasal 221
ayat 2, pasal 310 ayat 3, pasal 314 ayat 1, pasal 351 ayat 5 dan pasal 352 ayat 2.53 1. Apabila pelaku sakit atau terganggu jiwanya.54
Sakit jiwa atau kurang sempurna akal yang ada pada diri sipelaku memang
sesuatu yang ada atau yang dialaminya sejak dia lahir atau timbul kemudian (pada
seseorang yang tadinya normal).Ada hubungan kausal (sebab akibat) antara penyakit
jiwa pelaku dengan perbuatan yang dilakukan.Jadi bukan gangguan jiwa setelah
pelaku melakukan tindak pidana.
2. Keadaan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa.55
Tidak dirumuskan apa yang dimaksud paksaan dalam pasal ini, menurut
memorie van toelichting yang dimaksud dengan paksaan adalah suatu kekuatan, suatu
dorongan, suatu paksaan, yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan. Apabila
dipaksa dalam keadaan jiwanya tertekan juga dapat dijadikan alasan penghapus
pidana.
3. Perbuatan yang dilakukan untuk membela diri.56
Alasan pembelaan yang dapat menghapus pidana yaitu membela badan atau
tubuh, melakukan pembelaan atas serangan saat itu juga atau mengancam, pembelaan
53
H.M. Hamdan. Op.CitHal.63
54
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44
55
ibid Pasal 48
56
yang dialkukan itu benar-benar terpaksa atau dalm keadan darurat, tidak ada pilihan
lain.
4. Pembelaan diri yang melampaui batas57
Alasan penghapus dapat di terjadai apabila pembelaan yang dilakukan itu
tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum, keadaan jiwa yang tergoncang, dan
ada hubungan kausal jiwa tergoncang dengan perbuatan yang dilakukan.
5. Melaksanakan peraturan per undang-undangan58
Perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana tetapi karena dilakukan
berdasarkan undang-undang maka sipelaku tidak boleh dihukum, dan dilakukan
untuk kepentingan pribadi bukan umum.
6. Melakukan perintah jabatan yang syah59
Melakukan perintah pemerintah meskipun perbuatan itu merupakan tindak
pidana, maka tidak bisa dihukum.Antara yang merintah dan diperintah ada hubungan
jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangan.
7. Melakukan perintah jabatan yang syah tapi tidak syah.60
Dihapuskannya pidana apabila memenuhi syarat, perintah itu dipandang
sebagai perintah yang syah, dilakukan dengan itikad baik, dan pelaksanaan yang
memang dalam ruang lingkup tugas-tugasnya.
57
Ibid Pasal 49 ayat 2
58
Ibid Pasal 50
59
IbidPasal 51 ayat 1
60
Alasan- alasan khusus penghapus pidana yaitu:
1. Bermaksud menyediakan atau memudahkan perubahan ketatanegaraan61
Perbuatan pidana yang dijelaskan dalam pasal 110 ayat 2 jika tujuan nya
sesuai yang dijelaskan pasal 110 ayat 4 ini maka akan menghapuskan pidana, karena
takutnya warga Negara akan merasa terlalu tertekan dalam kemerdekaannya untuk
berfikir dan berbuat secara politis yang menyangkut tentang kehidupan berbangsa dan
bernegara.
2. Apabila mendatangkan bahaya bagi dirinya, bagi keluarganya, keluarga karena
perkawinannya dalam keturunan lurus atau derajad ke dua atau ketiga dari keturunan
menyimpang bagi suaminya (isterinya) atau bekas suaminya (isterinya) atau bagi
seseorang lain yang kalau dituntut, boleh ia meminta supaya tidak usah
memberiketerangan sebagai saksi berhubungan dengan jabatan dan pekerjaannya.62 Alasan ini bisa menghapus pidana sebagai mana dijelaskan oleh pasal 164
dan 165, yang mana pasal 164 mengenai pemufakatan antara beberapa orang untuk
melakukan tindak pidana dari pasal-pasal 104, pasal, pasal 106, pasal 107, pasal 108,
pasal 113, pasal 115, pasal 124, pasal 113, pasal 115, pasal 124, pasal187, atau pasal
l87 bis.
61
Ibid Pasal 110 ayat 4
62
3. Saksi atau tabib yang menghadiri perkelahian tanding satu lawan satu, tidak dapat
dihukum.63
Alasan penghapus pidana ini berlaku untuk pasal 182 sampai 186 tentang
perkelahian satu lawan satu.Pertandingan olah raga karate, tinju, tenaga medis dan
saksi-saksi juga tidak bisa di hukum berdasarkan pasal ini.
4. Perbuatan yang menghindarkan atau meluputkan bahaya penuntutan terhadap salah
seorang kaum keluarga atau sanak keluarganya karena perkawinan dalam keturunan
yang lurus atau derajat yang kedua atau yang ketiga dari keturunan yang menyimpang
atau terhadap suami(isterinya atau jandanya).64
Alasan ini menghapus pidana terhadap tindak pidana yang dijelaskan oleh
pasal 221 ayat 1 yaitu, menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan atau
dituntut karena suatu kejahatan, dan merusak atau membinasakan benda-benda
tempat melakukan atau yang diketahui untuk melakukan kejahatan.
5. Melakukan demi kepentingan umum atau terpaksa perlu untuk mempertahankan
dirinya sendiri.65
Alasan ini menghapus pidana terhadap tindak pidana dipasal 310 ayat 1 dan
2 yaitu, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang baik secara lisan maupun
tulisan.
6. Tidak bisa dijatuhkan hukuman karena memfitnah karena hal di tuduhkan itu telah
medapat putusan hakim yang tetap.66
63
Ibid Pasal 186 ayat 1
64
Ibid Pasal 221ayat2
65
7. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dapat dihukum.67
Alasan penghapus pidana terhadap pasal pasal 351 tentang penganiayaan
biasa.
8. Percobaan melakukan kejahatan tidak dapat dihukum.68
Sudut pandang hukum pidana alasan penghapus pidana ini dibagi menjadi
dua alasan pemaaf dan alasan pembenar, yang dimaksud alasan pemaaf adalah alasan
untuk menghapus kesalahan dari pelaku atau terdakwa, dan berlaku hanya bagi diri
pribadi sipelaku atau terdakwa.Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan, berlaku untuk semua orang yang melakukan
perbuatan.69
Sudut pandang doktrin mengenal alasan penghapus pidana yang dibagi
menjadi dua yaitu, alasan pembenar dan alasan pemaaf.70
1. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari dalam diri pribadi
pelaku itu sendiri (unsur subyektif), jika hal ini terjadi maka hakim akan
menjatuhkan putusanlepas (Onslag).
2. Alasan pembenar yaitu menghapuskan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan
pelaku (unsur obyektif), jika hal ini terjadi maka hakim akan menjatuhkan
putusan bebas (Vrisjpraak).
66
Ibid Pasal 314ayat 1
67
Ibid Pasal 351ayat 5
68
Ibid Pasal 352 ayat 2
69
H.M.Hamdan. Op Cit. Hal 52
70
Teori yang digunakan kedua adalah teori kausalitas atau teori sebab akibat,
hubungan logis antara sebab dengan akibat, setiap peristiwa memiliki penyebab
sekaligus menjadi sebab dari sejumlah peristiwa lain71, dalam hukum pidana maka dikenal delik formil dan delik materil hal ini penting dalam teori sebab akibat. Delik
formil adalah delik dinyatakan terpenuhi jika telah melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang, delik materil adalah delik telah terpenuhi apabila
terjadi suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang
kegunaan teori ini untuk mencari kebenaran dari delik materil dan formil ini, tujuan
dari teori ini adalah guna menentukan hubungan antara sebab dan akibat, bilamana
akibat dapat ditentutan oleh sebab.72.Hukum Pidana terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab yang menimbulkan akibat pada suatu delik yaitu:
1. Teori Condition Sine Qua Non atau Teori Ekuavalensi
Teori ini di pelopori oleh Von Buri (1873) suatu tindakan dapat dikatakan
menimbulkan akibat tertentu, sepanjang akibat tersebut tidak dapat dipikirkan
terlepas dari tindakan pertama tersebut, suatu tindakan merupakan syarat mutlak bagi
keberadaan akibat tertentu, semua syarat harus dipandang setara73. Van Hamel sebagai salah satu yang menganut ajaran Von Buri , yang mangatakan dalam hukum
pidana masih ada jalan untuk mempermasalahkan seseorang untuk menetukan
71
Jan Remmelink. Hukum pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidan Indonesia.Gramedia Pustaka Utama Jakarta.2003. Hal.126
72
Satochid Kartanegara. Hukum Pidana 1. Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta. Hal. 213-214
73
kesalahan, pertanggungjawaban seseorang tidak harus ditentukan terhadap perbuatan
akan tetapi harus ada kesalahan74.
Kebaikan teori ini ialah mudah diterapkan, sehingga tidak banyak
menimbulkan persoalan, dan konsekuensinya semua yang terlibat harus dimintakan
pertanggungjawaban pidana.Kelemahan teori ini hubungan sebab akibat atau kausal
itu terbentang jauh ke belakang tanpa akhir (Regress Ad infinitum), karena tiap-tiap
sebab merupakan akibat terjadi delik75. 2. Teori Individualisasi
Teori ini berpatokan pada keadaan setelah peristiwa terjadi ( Post Factum ).
Artinya faktor-faktor aktif atau pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari
kasus, sedangkan faktor lain hanya syarat saja (tidak dianggap menentukan timbul
akibat)76. Ada tiga pakar yang mengajurkan teori individualisasi yaitu pertamaBirkmayer yang mengatakan sebab adalah yang dalam concreto yang paling
memberikan akibat, umpama dua ekor kuda yang menarik kereta yang paling kuat
adalah yang terlebih dahulu menyebabkan bergeraknya kereta itu. Kedua
Bidingsyarat adalah sebab yang merupakan pokok dari pada syarat positif (yang
menyebabkan suatu akibat) diatas negatif (yang menahan akibat), umpama peluru
terakhir bukanlah sebabakan tetapi setiap peluru ikut diperhitungkan juga. Dan ketiga
Kohier syarat adalah sebab yang menentukan bagi die arts the wardens (kepekaan
yang berlebihan) umpanya bila menanam benih dan tumbuh bunga, maka bagi
74
Satochid kartanegara.Opcit.Hal 223.
75
Jan Remmilng. Opcit. Hal.128
76
tumbuhan ini hujan ikut menjadi syarat, begitu pula kehangatan tanahnya, akan tetapi
sebab adalah menanam benih itu karena ini menentukan apa yang akan tumbuh.77 3. Teori Generalisasi
Teori ini di lihat dari sebelum terjadi kasus.Syarat adalah perbuatan manusia
yang dalam pandangan umum dapat menimbulkan akibat terjadinya delik.Hanya
sebab yang kuat dianggap sebab yang menimbulkan akibat. Teori generalisasi
memakai 2 pandangan yaitu pandangan subyektif yang dipelopori oleh Von Kries
yang menyatakan bahwa sebab menimbulkan akibat ialah apa yang oleh pembuat
diperkirakan dapat menimbulkan akibat. Kedua patokan obyektif yang dipelopori
oleh Rummelink yang menyatakan bahwa dasar penentuan suatu perbutan dapat
menimbulkan akibat ialah keadaan yang secara obyektif kemudian diketahui, tidak
terletak pada pembuat delik tapi ditentukan oleh hakim.Akan tetapi factor ini setelah
delik terjadi.78 4. Teori Adequate
Teori ini tidak mempermasalahkan tindakan mana tau kejadian mana yang in
concreto memberikan pengaruh (fisik atau psikis) yang paling menentukan,
melainkan mempersoalkan apakah suatu syarat yang secara umum dapat dipandang
dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa seperti yang bersangkutan untuk ditemukan
dalam rangkaian kausalitas yang ada79.
77
Satochid Kartanegara. Opcit. Hal 227
78
Ibid. Hal 128
79
Teori kausalitas ini dipakai dalam yurispredensi yaitu.Kesatu putusan Raad Van Justitie Batavia 23 juli 1937, sebuah mobil menabrak sepeda motor, pengendara sepeda motor terpental ke rel kreta api dan tergilas oleh kereta api, dengan mati karena tergilas kereta api menurut pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil, maka pengendara mobil harus pertanggungjawabannya. Kedua yurisprudensi putusan pengadilan negeri Pontianak 7 mei 1951, terdakwa sebagai krani bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal yang disebabkan oleh kelebihan beban muatan yang mengakibatkan meninggalnya 7 orang. Pengadilan memberikan alasan karena terdakwa sebagai krani tidak memperdulikan peringatan bahwa tidak boleh operload muatan kapal, jadi mempunyai hubungan erat dengan kecelakaan yang tenggelam.80
Yurisprudensi Indonesia mengikuti aliran Johanes Van Kries yang lazim
dinamakan teori adequate subyektif, karena yang diberi nilai dan harus diperhatikan
hakim adalah perbuatan yang menimbulkan akibat sebelumnya dapat diketahui atau
dapat diramalkan dengan kepastian yang kuat oleh pembuat delik.81
2.Kerangka Konsepsi
1. Pertanggungjawaban pidana adalah merupakan unsur kesalahan yang
terdapat dalam diri seseorang.82
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter specialis dokter gigi dan
specialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran baik di dalam
80
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan II, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990. Hal 73
81
Utrech. Hukum Pidana 1. Penerbit Universitas. Jakarta. 1960. Hal.390
82
maupun luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan per undang –undangan.83
3. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi orang yang melanggar larangan tersebut.84
4. Malpraktek medis adalah peraktik kedokteran yang dilakukan salah atau
tidak tepat menyalahi undang-undang atau kode etik85
G. Metode Penelitian 1.Jenis Dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriftif analitis yaitu penelitian ini hanya
mengambarkan situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah
dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu
pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk
menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori86.
Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan jenis
penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan
dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada
83
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,Pasal 1.A Ketentuan Umum
84
Moljatno.Asas-Asas Hukum Pidana.Cetakan kedua. Bina Aksara. 1982. Jakarta. Hal 54
85
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dekdikbud, Jakarta.1990 cetakan ke 3 Hal.551
86
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian
yuridis ini menggunakan data sekunder yang berasal dari penelitian kepustakaan
(library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan
data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang
tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat
teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan
terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari
beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik.
Penelitian seperti ini menurut Ronal Dwokin disebut dengan istilah penelitian
doctrinal ( doctrinal research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang
tertulis didalam buku ( law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan
oleh hakim melalui proses pengadilan ( law as it is decided by the judge through
judicial process).87
2. Sumber Bahan Penelitian
Adapun data sekunder yang diperoleh dari peneliti kepustakaan ( library
research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dari
informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahuluan baik berupa
87
peraturan perundangan-perundangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri
dari;
1. Bahan hukum primer, antara lain:
a. Norma atau kaedah dasar.
b. Peraturan dasar.
c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan malpraktek,
KUHPidana ,Undang- Undang-Undang No 24 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran, Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009, dan
Undang-Undang No 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Peraturan berkaitan dengan
malpraktek medis antara lain:peraturan menteri Kesehatan No
269/Menkes/Per/III/2008 Tentang Rekam Medis, Peraturan Menteri
Kesehatan No 512/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin Praktik Dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan No:
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan malpraktek,hasil-hasil
penelitian, artikel, hasil seminar atau pertemuan yang relevan dengan penelitian
ini.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
skunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah,.88
88
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian tesis ini menggunakan teknik studi
dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penulusuran kepustakaan berupa
sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih
perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan obyek penelitian.Untuk melengkapi data
pustaka, juga dilakukan penelusuran situs internet yang berkaitan
pertanggungjawaban pidana dokter dalam malpraktek. Kerangka teoritis merupakan
alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder,
pendapat atau tulisan para ahli berupa bahan hukum sekunder,
pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk
formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan landasan teoritis
4. Analisis Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan di
telaah dan dianalisis dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar89. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang malpraktek kedokteran dibidang kesehatan
kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan
klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam tesisi ini. Data
yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang
89
sistematis dengan menjelaskan hubungan untuk berbagai jenis data, selanjutnya
semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisa secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.90
90
BAB II
PENGATURAN MALPRAKTEK DOKTER DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
A. Malpratek medis dan Jenis-Jenis Malpraktek medis
Malpraktek medis merupakan perbuatan dokter atau dokter gigi yang buruk
dalam melakukan pelayanan medik, tidak memenuhi persyaratan-persyaratan atau
standar-standar yang telah ditetapkan seperti dalam kode etik kedokteran, standar
profesi, standar pelayanan medik maupun dalam standar operasional prosedur.91 Malpraktek medis menurut J.Guwandi meliputi tindakan-tindakan92:
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau