ABSTRAK
PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DAN PAKEM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR
MATEMATIKA SISWA KELAS VB SD NEGERI 8 METRO TIMUR
TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh
VITA NURVATIMAH
Penelitian dilatarbelakangi oleh hasil observasi peneliti yang menemukan bahwa proses pembelajaran matematika di kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur belum dilaksanakan secara optimal, sehingga berdampak pada rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika siswa. Hal ini ditunjukkan dengan persentase ketuntasan hasil belajar matematika siswa yaitu 37,03% siswa yang memperoleh nilai memenuhi KKM (≥55). Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics Education dan PAKEM.
Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari empat tahapan setiap siklusnya yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan sebanyak tiga siklus yang setiap siklusnya terdiri dari tiga pertemuan. Alat pengumpul data penelitian adalah lembar observasi dan soal tes. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian pada siklus I rata-rata komponen aktivitas siswa secara klasikal sebesar 66,34 dengan persentase siswa aktif 40,74% (kategori sedang), siklus II sebesar 70,99 dengan persentase siswa aktif 51,85% (kategori sedang), dan siklus III sebesar 84,69 dengan persentase siswa aktif 81,48% (kategori sangat tinggi). Sementara ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 48,15% (kriteria sedang) dengan rata-rata kelas sebesar 61,52, siklus II sebesar 62,96% (kriteria tinggi) dengan rata-rata kelas sebesar 61,95, dan siklus III sebesar 88,89% (kriteria sangat tinggi) dengan rata-rata kelas 82,34. Dengan demikian, pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics Education dan PAKEM dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa.
REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION AND JOYFUL LEARNING APPROACH FOR INCREASING ACTIVITY AND RESULT OF
MATHEMATICS LEARNING IN FIFTH GRADE OF SDN 8 METRO TIMUR
2012/2013rd
ABSTRACT
By
VITA NURVATIMAH
The study aims at increasing the activity and result of mathematics learning of fifth grade of SDN 8 Metro Timur trough realistic mathematics education and joyful learning approach.
The data collection tehnique of this classroom action research is based on the type of data as desired. Data collection tool to describe the activities of the student in learning mathematics were assesment sheet and questionary sheet (observation sheet). Qualitative and quantitative technique were used to analyze data.
The result show that the using realistic mathematics education and joyful learning increased the learn out come in each cycle. The first cycle average of indicator activity was 66,34 with the students’ activity percentation 40,74% (in medium range), in the second cycle 70,99 with students’ activity percentation 51,85% (in medium range) and the third cycle 84,69 with students’ activity percentation 81,48% (in very high range). While the students’ learning result in the first cycle was 48,15% (in medium range) with the average class in 61,52, the second cycle II 62,96% (in high range) with the average class in 61,95, and the third cycle 88,89% in very high range) with the average class in 82,34.
DAFTAR ISI
2.1 Realistic Mathematics Education ... 10
2.1.1Pengertian Realistic Mathematics Education ... 10
2.1.2Karakteristik Realistic Mathematics Education ... 13
2.1.3Langkah-langkah Penerapan Realistic Mathematics Education ... 15
2.1.4Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathematics Education ... 17
2.1.5Peran Guru dalam Penerapan Realistic Mathematics Education ... 18
2.2 Pembelajaran PAKEM ... 20
2.2.1Pengertian PAKEM ... . 20
2.2.2Karakteristik dan Prinsip Penerapan PAKEM ... . 22
2.2.3Kelebihan dan Kelemahan PAKEM ... . 25
2.3 Penerapan Kolaborasi RME dan PAKEM dalam Pembelajaran ... 28
2.5.1Pengertian Matematika ... 36
3.1 Rancangan Penelitian ... 40
3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 42
3.3 Teknik Analisis Data ... 45
3.4 Prosedur Penelitian ... 49
3.5 Indikator Keberhasilan ... 59
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
4.1 Hasil Penelitian ... 60
4.1.1Profil SD Negeri 8 Metro Timur ... 60
4.1.2Prosedur Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ... 61
4.1.3Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus I ... 62
4.1.4Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus II ... 80
4.1.5Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus III ... 93
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 105
4.2.1Kinerja Guru dalam Penerapan Kolaborasi Pendekatan RME dan PAKEM ... 106
4.2.2Aktivitas Siswa ... 108
4.2.3Hasil Belajar Siswa ... 110
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113
5.1 Kesimpulan ... 113
5.2 Saran ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 116
LAMPIRAN ... 120
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim disebut dengan proses humanisasi. Proses humanisasi ini tidak diperoleh dengan begitu saja, melainkan melalui pengalaman diberbagai lingkungan
yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan yang
tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 4 ayat 3 tertulis bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Salah satu bentuk perwujudan proses tersebut ialah melalui pembelajaran.
Pernyataan lebih jelas tertulis dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terutama pasal 19 ayat 1. Dalam pasal tersebut dituliskan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
Berdasarkan landasan tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah melalui
dinas pendidikan mengupayakan sistem pendidikan yang berpusat pada siswa dan bersifat sepanjang hayat. Disisi lain, pendidikan juga bertujuan untuk
mengembangkan potensi dan kreasi siswa sebagai generasi bangsa dimasa mendatang. Pembentukan generasi yang siap tantangan tersebut, diperlukan adanya inovasi yang senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan. Salah
satu bidang yang berperan besar dalam upaya tersebut adalah bidang pendidikan. Oleh sebab itu, telah banyak ditemui berbagai inovasi di bidang
pendidikan yang mengarah pada tujuan pendidikan nasional.
Peran pendidikan dalam upaya pembentukan generasi dimasa mendatang
menuntut guru sebagai bagian dari elemen pendidikan untuk proaktif dalam meningkatkan mutu pembelajaran di kelas sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang mengarah pada tujuan pendidikan.
Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling fundamental dalam pemberian konsep. Salah satu mata pelajaran yang telah dibelajarkan di sekolah dasar adalah matematika. Oleh sebab itu, matematika
turut memiliki andil dalam pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini terlihat pada tujuan mata pelajaran matematika dalam kurikulum 2006 (Depdiknas,
2011: 22) untuk jenjang sekolah dasar adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan rumusan tujuan matematika di atas, tujuan akhir dari mata
pelajaran matematika adalah adanya paradigma peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan. Namun, tidak mudah untuk dapat
menumbuhkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sebab konsep matematika disajikan dalam bentuk abstrak. Sebagaimana
diungkapkan oleh Adji (2006: 37) bahwa substansi materi pelajaran matematika bersifat abstrak, karena sifat abstraknya itu maka guru harus memulai dalam belajar matematika dari konkret menuju abstrak.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 24 Oktober 2012, 12 November 2012, dan 23 November 2012 dengan materi notasi waktu dan sudut diperoleh informasi bahwa proses pembelajaran
matematika di kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur belum dilaksanakan secara optimal dan merujuk pada tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Dalam proses pembelajaran, guru masih mendominasi sebagai sumber utama dan cara penyampaian materi ajar masih terpaku pada apa yang tertulis dalam buku pelajaran. Guru masih mengutamakan pemberian materi matematika
secara formal dan mengarahkan siswa untuk memahami sesuatu yang abstrak tanpa melalui proses realisasi, sehingga dalam pelaksanaannya siswa hanya
prosedur dalam pembelajaran matematika kurang bervariasi sehingga suasana
belajar cenderung menegangkan dan stagnan dalam setiap pertemuan. Hal ini memperkuat pola pikir siswa bahwa matematika merupakan mata pelajaran
yang sulit dan membosankan. Pola pikir siswa terhadap matematika ini menyebabkan rendahnya motivasi untuk mempelajarinya.
Rendahnya motivasi tersebut mempengaruhi keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran. Sebagian besar siswa khawatir atau takut jika melakukan kesalahan atau berbeda pendapat dalam mencoba memecahkan
masalah matematika, sehingga berdampak pada kurang berkembangnya keterampilan siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain.
Siswa juga mengalami kesulitan ketika mengerjakan tes yang bentuknya sedikit dimodifikasi dari contoh soal yang diberikan guru.
Masalah-masalah yang dialami oleh siswa tersebut berdampak pada
hasil belajar yang kurang maksimal. Berikut ini disajikan persentase ketuntasan pembelajaran matematika siswa kelas VB pada mid semester ganjil.
Tabel 1. Persentase Ketuntasan Pembelajaran Matematika Siswa Kelas VB.
KKM Jumlah Siswa
dipaparkan, maka perlu diadakan perbaikan pembelajaran agar aktivitas dan
hasil belajar siswa dapat meningkat. Upaya perbaikan pembelajaran dapat diwujudkan melalui penerapan pembelajaran yang menyenangkan dan
bermakna. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak semua strategi, model, atau metode dapat digunakan untuk semua mata pelajaran. Lebih baik apabila guru memilih model pembelajaran yang benar-benar tepat untuk memperbaiki
mutu pembelajarannya. Mengingat kembali teori kognitif yang dipaparkan oleh Jean Piaget (Sumantri, 2007: 1.15) bahwa siswa pada usia 7 – 11 tahun berada pada tahap operasional konkret, sehingga dalam pembelajaran siswa harus dihadapkan dengan permasalahan yang konkret dan relevan dengan
kehidupannya.
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penerapan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) merupakan alternatif perbaikan pembelajaran yang tepat. Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (2006: 4) bahwa RME menekankan pada pemerolehan pemahaman mengenai
matematika sebagai suatu proses bukan sebagai bahan jadi yang siap pakai, sehingga diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara
matematis melalui ekstraksi konsep dari situasi yang konkret. Alasan lebih lanjut yang mendasari pemilihan PAKEM salah satunya adalah pendapat Budimansyah (2010: 9) yang menyatakan bahwa PAKEM menekankan pada
suasana pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Penerapan PAKEM membantu guru untuk dapat melaksanakan pembelajaran secara
Pembelajaran yang bervariasi dapat membuat siswa akan merasa belajar
sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga dalam diri setiap individu akan tumbuh kecintaan terhadap aktivitas belajar seumur hidup dan
meminimalisir pola pikir siswa bahwa matematika itu sulit. Oleh sebab itu, penerapan konsep pembelajaran realistik akan lebih bermakna dan komprehensif bila berkolaborasi dengan PAKEM.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan perbaikan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas dengan menerapkan
pendekatan RME dan PAKEM pada pembelajaran matematika siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut.
a. Guru masih mendominasi proses pembelajaran sebagai sumber utama.
b. Guru belum menampakkan adanya pengonkretan materi pembelajaran, sedangkan tahap perkembangan kognitif siswa sekolah dasar masih berada pada tahap operasional konkret yang dalam pembelajarannya diperlukan
objek dan penyampaian konsep secara real.
c. Proses pembelajaran kurang bervariasi, sehingga membuat suasana
pembelajaran yang terkesan menegangkan dan membosankan.
d. Siswa kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran, sebab masih adanya
e. Siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal yang bentuknya
dimodifikasi dari contoh yang disampaikan guru.
f. Rendahnya hasil belajar matematika yang dibuktikan dengan nilai siswa
mayoritas masih di bawah KKM yaitu kurang dari 55.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut.
a. Bagaimanakah penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa
kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013?
b. Bagaimanakah penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam
pembelajaran matematika untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk meningkatkan aktivitas belajar melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas VB
SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.
b. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika pada
1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Apabila penelitian ini diterima kebenarannya oleh guru, kepala
sekolah, aktivis pendidikan, dan peneliti lainnya, diharapkan dapat menambah khasanah pustaka kependidikan. Selain itu, dapat memberikan kontribusi informasi bagi dunia pendidikan.
b. Manfaat Praktis 1. Bagi siswa
Meningkatnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang ditandai dengan kemampuan siswa dalam bekerja sama, memiliki
keberanian untuk bertanya dan mengajukan pendapat, serta memecahkan masalah matematika. Selain itu, manfaat penelitian ini bagi siswa adalah meningkatnya hasil belajar yang ditunjukkan melalui
penguasaan pegetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik.
2. Bagi guru
Proses pelaksanaan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan sekaligus pengalaman guru dalam upaya
melakukan inovasi pembelajaran. Sehingga sebagai feedback dari penelitian ini guru diharapkan dapat melakukan inovasi pada proses pembelajaran yang lainnya.
3. Bagi sekolah
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi
matematika maupun pelajaran lainnya di SD Negeri 8 Metro Timur.
Sehingga diharapkan sekolah akan lebih terbuka dan berupaya untuk beradaptasi terhadap perubahan dan pembaharuan dalam dunia
pendidikan. 4. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi peneliti
untuk terus belajar dan menemukan berbagai perkembangan dunia pendidikan yang dinamis guna menambah wawasan dan pengalaman.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Realistic Mathematics Education (RME) 2.1.1 PengertianRME
Secara harfiah Realistic Mathematics Education diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik yaitu pendekatan belajar
matematika yang dikembangkan atas dasar gagasan Frudenthal. Menurut Frudenthal (Wijaya, 2012: 20) matematika merupakan suatu
bentuk aktivitas manusia. Gagasan ini menunjukkan bahwa RME tidak menempatkan matematika sebagai produk jadi, melainkan suatu proses yang sering disebut dengan guided reinvention. Oleh sebab itu, RME
menjadi suatu alternatif dalam pembelajaran matematika dalam penelitian ini.
Selain itu, alasan pemilihan tersebut didasarkan pada fakta dan
konsep ontologi bidang kajian dalam penelitian ini. Salah satunya adalah substansi materi pelajaran matematika bersifat abstrak, sehingga
pembelajaran matematika hendaknya dimulai dari konkret menuju abstrak. Penjelasan tersebut mendukung RME sebagai pendekatan
Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Van den Heuvel
(Wijaya, 2012: 20) bahwa penggunaan kata ”realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”zich realiseren” yang berarti untuk
dibayangkan. Jadi, RME tidak hanya menunjukkan adanya keterkaitan dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik yaitu penekanan pada penggunaan situasi yang
dapat dibayangkan oleh siswa.
Hadi (2005: 19) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik
dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika. Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran
matematika realistik ini berangkat dari kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya untuk
mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan matematis yang telah dimiliki. Tarigan (2006: 3) menambahkan bahwa pembelajaran matematika realistik menekankan
akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri.
Selaras dengan pendapat-pendapat ahli di atas, Aisyah (2007: 7.1) mengemukakan bahwa pendekatan matematika realistik merupakan suatu pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk
mendekatkan matematika kepada siswa. Oleh sebab itu, masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari yang dimunculkan
realistik ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa matematika
sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Rahayu (2010) mengemukakan bahwa pendidikan matematika
realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan realitas dan lingkungan sebagai titik awal dari pembelajaran. Selain itu, RME menekankan pada keterampilan proses
matematika, berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya
menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Namun, perlu diketahui bahwa dalam
RME tidak hanya berhenti pada penggunaan masalah realistik. Masalah realistik hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses matematisasi.
Matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu
fenomena. Dalam penerapan RME terdapat dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan dengan proses generalisasi (generalizing) yang
diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan keteraturan (regularities) dan hubungan (relation) yang ditemukan
melalui visualisasi dan skematisasi masalah. Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri, dan masih
bergantung pada model. Berbeda dengan matematisasi vertikal yang merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing) dimana model
landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal
melalui proses matematisasi vertikal. Dengan kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak dapat dipisahkan secara berurutan, tetapi
keduanya terjadi secara bergantian dan bertahap (Wijaya, 2012: 41 – 43).
Jadi, dalam RME masalah realistik digunakan sebagai stimulator
utama dalam upaya rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan RME diiringi oleh penggunaan model agar pembelajaran
yang dilakukan benar-benar dapat dibayangkan oleh siswa (imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian masalah dengan
berbagai alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan oleh siswa sendiri.
2.1.2 Karakteristik Realistic Mathematics Education
Salah satu karakteristik mendasar dalam RME yang
diperkenalkan oleh Frudenthal adalah guided reinvention sebagai suatu proses yang dilakukan siswa secara aktif untuk menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru (Wijaya, 2012: 20).
Sejalan dengan pendapat Frudenthal, Gravemeijer (Tarigan, 2006: 4) mengemukakan empat tahap dalam proses guided reinvention, yaitu;
(a) tahap situasional, (b) tahap referensial, (c) tahap umum, (d) tahap formal.
pendekatan lain. Dengan dasar itulah dirumuskan lima karakteristik
RME sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:
a. Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam
situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka. Sebab pembelajaran yang langsung diawali dengan matematika formal cenderung
menimbulkan kecemasan matematika (mathematics anxiety). b. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus
sesuai dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang
juga ada di sekitar siswa.
c. Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru.
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah sehingga diharapkan akan diperoleh berbagai
varian dari pemecahan masalah tersebut.
d. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting
dalam pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan siswa lain, bertanya, dan menanggapi
e. Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan
disiplin ilmu lain, dan dengan masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling terkait dalam
menyelesaiakan masalah (Aisyah, 2007: 7.18 – 7.19).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa RME memiliki karakteristik khusus yang membedakan RME dengan
pendekatan lain. Ciri khusus ini yaitu adanya konteks permasalahan realistik yang menjadi titik awal pembelajaran matematika, serta
penggunaan model untuk menjembatani dunia matematika yang abstrak menuju dunia nyata.
2.1.3 Langkah-langkah Penerapan Realistic Mathematics Education Setiap model, pendekatan, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Begitupun dengan RME, berikut ini langkah-langkah penerapan RME
dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh Zulkardi (Aisyah, 2007: 7.20), yaitu:
a. Hal yang dilakukan diawal adalah menyiapkan masalah realistik.
Guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam
menyelesaikannya.
b. Siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai
dan diperkenalkan kepada masalah realistik.
d. Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah
tersebut sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.
e. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas, siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hal kerja penyaji.
f. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi taggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik
serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum. g. Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui
diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.
Lain halnya dengan Wijaya (2012: 45) memaparkan proses matematisasi untuk menyelesaikan masalah realistik dalam penerapan RME sebagai berikut.
a. Diawali dengan masalah dunia nyata (Real World Problem). b. Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan
masalah, lalu mengorganisir masalah sesuai dengan konsep matematika.
c. Secara bertahap meninggalkan situasi dunia nyata melalui proses perumusan asumsi, generalisasi, dan formalisasi. Proses ini bertujuan untuk menerjemahkan masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika yang representatif.
d. Menyelesaikan masalah matematika (terjadi dalam dunia matematika).
Berdasarkan uraian pendapat di atas, diketahui bahwa penerapan
RME diawali dengan pemunculan masalah realistik. Dilanjutkan dengan proses penyelesaian masalah yang terjadi dalam dunia
matematika dan diterjemahkan kembali ke dalam solusi nyata. Hasil dari proses ini, kemudian dipublikasikan melalui diskusi kelas dan diakhiri dengan penyimpulan atas penyelesaian masalah tersebut.
2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathematics Education
Kelebihan dan kelemahan selalu terdapat dalam setiap model, strategi, atau metode pembelajaran. Namun, kelebihan dan kelemahan
tersebut hendaknya menjadi referensi untuk penekanan-penekanan terhadap hal yang positif dan meminimalisir kelemahan-kelemahannya
dalam pelaksanaan pembelajaran. Berikut ini Asmin (Tandililing, 2012) menjelaskan secara rinci kelebihan dan kelemahan RME dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Kelebihan dan Kelemahan RME.
Kelebihan Kelemahan c. Siswa merasa dihargai dan
semakin terbuka, karena setiap jawaban siswa ada nilainya. d. Memupuk kerja sama dalam
kelompok.
Kelebihan Kelemahan e. Melatih keberanian siswa dalam
menjelaskan jawabannya. f. Melatih siswa untuk terbiasa
berpikir dan mengemukakan
Bila Tandililing memaparkan kelebihan dan kelemahan RME, Warli (2010) memberikan solusi dalam upaya meminimalisir
kelemahan dalam penerapan RME antara lain:
a. Peranan guru dalam membimbing siswa dan memberikan motivasi harus lebih ditingkatkan.
b. Pemilihan alat peraga harus lebih cermat dan disesuaikan dengan materi yang sedang dipelajari.
c. Siswa yang lebih cepat dalam menyelesaikan soal atau masalah kontekstual dapat diminta untuk menyelesaikan soal-soal lain dengan tingkat kesulitan yang sama bahkan lebih sulit.
d. Guru harus lebih cermat dan kreatif dalam membuat soal atau masalah realistik.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan para ahli,
dapat diketahui bahwa RME memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tersebut hendaknya menjadi hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan, sedangkan kelemahannya harus
diminimalisir. Terdapat beberapa cara untuk dapat meminimalisir kelemahan RME, yang terpenting adalah guru hendaknya
mempersiapkan rencana pembelajaran secara matang.
2.1.5 Peran Guru dalam Penerapan Realistic Mathematics Education Guru adalah perencana sekaligus pelaksana proses pembelajaran.
dalam RME lebih dominan pada pemberian motivasi, fasilitator, dan
pemberi stimulus agar siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu, guru hendaknya dapat memutakhirkan materi dengan
masalah-masalah baru yang menantang bagi siswa.
Gravemeijer (Tarigan, 2006: 5) menjelaskan bahwa peran guru harus berubah dari seorang validator (menyalahkan/membenarkan)
menjadi pembimbing yang menghargai setiap kontribusi (pekerjaan dan jawaban) siswa. Pendapat lain tentang peran guru dalam RME
diungkapkan oleh Aisyah (2007: 7.6) antara lain: a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar.
b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif
memberi sumbangan pada proses belajarnya.
d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari dunia nyata.
e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik fisik maupun sosial.
Jadi, peran guru dalam penerapan RME adalah sebagai
pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam merekonstruksi ide dan konsep matematika bukan sebagai hakim atas pekerjaan siswa. Hal ini dapat mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik dengan dirinya
sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas).
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan para pakar tersebut,
maka yang dimaksud dengan RME pada penelitian ini adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang berawal dari masalah
kebermaknaan matematika dalam kehidupan. Adapun indikator
pencapaian penerapan RME adalah adanya penekanan penggunaan situasi yang dapat dibayangkan melalui masalah realistik, penggunaan
model, variasi strategi penyelesaian masalah, interaksi individu, dan keterkaitan antar konsep matematika.
2.2 Pembelajaran PAKEM 2.2.1 Pengertian PAKEM
PAKEM merupakan istilah yang memuat pengertian sebagai Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Menurut
Rusman (2011: 321) PAKEM adalah pembelajaran yang berakar dari konsep bahwa pembelajaran harus berpusat pada anak (student centered
learning) dan pembelajaran harus bersifat menyenangkan (learning is
fun). Hal ini bertujuan agar siswa termotivasi untuk terus belajar sendiri
tanpa diperintah dan tidak merasa terbebani atau takut. Definisi dari
masing-masing komponen penyusun PAKEM adalah sebagai berikut. a. Aktif
Belajar bukanlah suatu proses pasif pembelajar yang hanya
menerima informasi dalam bentuk ceramah dari pendidik. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran hendaknya menampakkan
suatu proses aktif dari si pembelajar dalam mengonstruksi pengetahuannya.
b. Kreatif
menciptakan kegiatan yang beragam sehingga memenuhi berbagai
tingkat kemampuan siswa. c. Efektif
Setiap pembelajaran tentu memiliki tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Keefektifan suatu proses pembelajaran dilihat dari penguasaan siswa setelah pembelajaran sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan, sehingga, pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan hanya akan menjadi pembelajaran
bermain biasa tanpa tujuan yang jelas. d. Menyenangkan
Penciptaan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan menarik minat siswa. Sehingga siswa lebih memusatkan perhatiannya secara penuh. Sehingga waktu curah siswa benar-benar
dipergunakan untuk kegiatan yang positif (Budimansyah, 2010: 70).
Secara singkat Siswono (Aisyah, 2007: 2.6) mengemukakan bahwa PAKEM berorientasi pada penciptaan suasana lingkungan belajar yang lebih melengkapi peserta didik dengan keterampilan-keterampilan,
pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Hal ini selaras dengan pendapat Rosdijati, dkk (2010: 16) bahwa PAKEM merupakan strategi
dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang interaktif serta dapat mengembangkan
beban melainkan suatu proses yang harus dilaluinya yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat diketahui
bahwa PAKEM berorientasi pada pemusatan proses pembelajaran pada siswa. Proses pembelajaran yang dilaksanakan menekankan pada prinsip pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) dengan
tidak meninggalkan kebermaknaan suatu pembelajaran.
2.2.2 Karakteristik dan Prinsip Penerapan PAKEM
Perbedaan antar pendekatan, model, dan metode dapat terlihat
dalam karakteristik dan prinsipnya. Meskipun sepintas terlihat sama, tetapi masing-masing pasti memiliki ciri khusus yang menjadi
pembeda. Begitu pula dengan pendekatan PAKEM, ciri-ciri khusus atau karakteristik pembelajaran PAKEM secara rinci adalah sebagai berikut.
a. Adanya sumber belajar yang beraneka ragam.
b. Desain skenario pembelajaran mengacu pada sumber dan kegiatan pembelajaran yang beragam.
c. Adanya apresiasi terhadap buah karya siswa. d. Kegiatan belajar bervariasi secara aktif.
e. Optimalisasi kreativitas siswa baik secara individu maupun kelompok dalam kegiatan pembelajaran.
Selain dari karakteristik di atas, terdapat pula prinsip-prinsip yang
harus diterapkan dalam pelaksanaan PAKEM, yaitu: a. Memahami sifat peserta didik.
b. Mengenal peserta didik secara perorangan.
c. Memanfaatkan perilaku peserta didik dalam pengorganisasian belajar.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta mampu memecahkan masalah.
e. Menciptakan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai lingkungan belajar.
g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan. h. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental (Ismail, 2008:
54 – 56).
Selain prinsip di atas, terdapat satu prinsip PAKEM yang harus diperhatikan. Prinsip tersebut dikemukakan oleh Rosdijati, dkk (2010:
29) bahwa dalam penerapannya, PAKEM tidak mematok model pembelajaran tertentu sebagai satu-satunya model yang harus dipakai,
sehingga guru diberi ruang yang luas untuk menggunakan berbagai model atau metode pembelajaran. Namun, perlu ditekankan bahwa setiap pembelajaran yang dilaksanakan guru harus menampilkan ciri
umum dari PAKEM, yakni aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Selain itu, terdapat empat aspek yang mempengaruhi pelaksanaan
terdapat keempat aspek tersebut, maka kriteria PAKEM terpenuhi.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 1. Aspek-aspek dalam pembelajaran PAKEM
a. Pengalaman
Aspek ini siswa diajarkan untuk dapat belajar mandiri. Siswa
belajar banyak melalui berbuat dan melalui pengalaman langsung, sehingga dapat mengaktifkan banyak indra yang dimiliki siswa tersebut.
b. Komunikasi
Aspek komunikasi ini melatih siswa untuk dapat mengomunikasikan apa yang telah diperolehnya. Komunikasi dapat
dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain mengemukakan pendapat, presentasi, dan memajang hasil karya.
c. Interaksi
Aspek interaksi sebagai sarana untuk mengoreksi kesalahan makna yang diperbuat oleh peserta didik sehingga makna yang
terbangun semakin mantap. Aspek interaksi ini mengarah pada pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa melalui pelibatan
siswa dalam penggunaan media dan model PAKEM yag diterapkan.
PAKEM
Komunikasi
Pengalaman Interaksi
d. Refleksi
Aspek refleksi merupakan sarana untuk memikirkan kembali apa yang telah diperbuat/dipikirkan oleh siswa selama mereka
belajar (Rusman, 2010: 327 – 328).
Berdasarkan pendapat para ahli tentang karakteristik PAKEM, dapat diketahui bahwa PAKEM memberikan keleluasaan yang pada
guru untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan secara bervariasi. Di samping itu, siswa diberi ruang
yang luas untuk mengeksplor pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap.
2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Penerapan PAKEM
Setelah pemaparan karakteristik dan prinsip-prinsip penerapan dalam PAKEM, sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang cukup familiar PAKEM memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut.
a. Pembelajaran dengan model PAKEM membuat siswa benar-benar lebih senang belajar, karena guru tidak berperan sebagai sumber utama melainkan sebagai fasilitator yang dinamik dan kreatif.
b. Memungkinkan munculnya berbagai potensi siswa.
c. Menunjukkan sistem demokrasi melalui pemberian kebebasan pada
siswa untuk mengaktualisasikan apa yang mereka miliki.
d. Mendorong maksimalnya daya serap siswa terhadap materi
pembelajaran.
g. Membangun keterampilan sosial siswa (building social skills).
h. Membantu perkembangan emosi siswa (emotional development). i. Mendorong perkembangan kemampuan membaca dan berbahasa
siswa (language and literacy development). j. Menumbuhkan kreativitas siswa (creativity).
k. Mendorong siswa mencintai belajar sepanjang hayat.
l. Mendorong kreativitas dan dedikasi guru.
m.Mendorong keterlibatan orang tua melalui dukungan dan
pengawasan terhadap jalannya pendidikan dan kualitas pendidikan (Rosdijati, dkk., 2010: 33 – 36).
Selain kelebihan, PAKEM juga memiliki kelemahan. Secara garis besar kelemahan PAKEM dikemukakan oleh Anisah (Hafid, 2011) bahwa dalam pembelajaran model PAKEM, seorang guru mau tidak
mau harus berperan aktif, proaktif, dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Namun tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran
yang sedang dipelajari siswa. Hal ini jelas sekali dapat menjadi sebuah penghambat, ketika seorang guru tidak memiliki kemampuan untuk
memanajemen dan menguasai hal-hal yang harus ada untuk menerapkan pembelajaran PAKEM.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa PAKEM
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan PAKEM tidak hanya berdampak pada diri siswa sebagai subjek pembelajaran. Tetapi
sedangkan kelemahannya terdapat dalam kemampuan guru sebagai
perencana sekaligus pelaksana pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif, kreatif, dan
menyenangkan dengan tidak mengesampingkan efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran.
Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan para ahli, maka
yang dimaksud PAKEM dalam penelitian ini adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berakar dari konsep student center dengan
menciptakan lingkungan belajar yang interaktif untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang berguna bagi kehidupan
peserta didik. Fleksibilitas menjadi karakteristik utama, sebab PAKEM menuntut adanya variasi pembelajaran. Adapun indikator ketercapaian PAKEM antara lain adanya pemberian pengalaman dalam
pembelajaran, pemberian kesempatan untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan adanya interaksi antar komponen pembelajaran (siswa, guru, dan media) yang mengarah pada
oembelajaran yang menyenangkan. Kemudian, diakhiri dengan refleksi terhadap proses pembelajaran.
2.3 Penerapan Pendekatan RME dan PAKEM dalam Pembelajaran
Penelitian ini mengimplementasikan RME dan PAKEM, sehingga dalam pelaksanaannya tertuang karakteristik dan langkah-langkah dari
a. Persiapan
Pada tahap persiapan, aktivitas yang dilakukan oleh guru adalah:
1) Menganalisis Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta
menentukan materi yang akan dipelajari.
2) Berdasarkan hasil analisis, guru menentukan dan menganalisis masalah realistik, model atau media yang akan digunakan, dan model
pembelajaran PAKEM yang akan diterapkan.
3) Pembuatan perangkat pembelajaran yang diperlukan.
4) Menyusun instrumen penilaian yang akan digunakan. b. Pelaksanaan
Proses pembelajaran dilaksanakan dengan mengintegrasikan indikator-indikator yang menjadi acuan dalam penerapan RME dan PAKEM. Berikut ini gambaran secara umum pelaksanaan pembelajaran
dengan pendekatan RME dan PAKEM. 1) Pendahuluan
a) Menyiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti
proses pembelajaran. b) Apersepsi
c) Memberi motivasi dan menyampaikan tujuan pembelajaran. 2) Inti
a) Guru memberikan masalah realistik untuk mengetahui
pengalaman dan pengetahuan siswa.
b) Kemudian siswa menggali informasi dan mengidentifikasi kosep
menyelesaikannya dengan menggunakan pengalaman serta
pengetahuan yang dimilikinya.
c) Siswa berdiskusi secara berkelompok untuk memecahkan masalah
yang terdapat dalam LKS.
d) Dalam memecahkan masalah siswa diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai macam strategi.
e) Untuk mengerjakan LKS siswa diberikan media atau model serta bahan ajar.
f) Hasil diskusi kelompok akan menjadi bahan diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Melalui diskusi kelas siswa diajak untuk
menarik kesimpulan mengenai strategi terbaik yang berlaku secara umum.
g) Refleksi pembelajaran dan pemberian umpan balik serta
penguatan. 3) Penutup
a) Penyimpulan hasil pembelajaran secara menyeluruh.
b) Evaluasi dalam bentuk matematika formal. c) Merencanakan kegiatan tindak lanjut.
d) Menginformasikan materi/bahan belajar pertemuan berikutnya.
Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan ialah menerapkan pendekatan RME dan PAKEM, maka penulis mendefinisikan bahwa
penciptaan lingkungan belajar yang interaktif, guna pembentukan sikap
dan kompetensi siswa. Indikator pencapaian penerapan RME dan PAKEM adalah ketepatan pemilihan masalah realistik, adanya pemberian
pengalaman melalui masalah realistik, penggunaan model, strategi yang bervariasi, pemberian kesempatan untuk mengembangkan komunikasi interpersonal, interaksi antara guru, siswa dan media, keterkaitan antar
konsep matematika, dan refleksi terhadap proses pembelajaran.
2.4 Belajar
2.4.1 Pengertian Belajar
Belajar bukanlah istilah baru. Pengertian belajar ini terkadang diartikan secara common sense atau pendapat umum saja. Menurut Asra
(2007: 5.3) belajar adalah perilaku sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan untuk mencapai tujuan.
Penjelasan lebih lanjut bahwa untuk memahami konsep belajar
secara utuh perlu digali terlebih dahulu bagaimana para pakar psikologi dan pakar pendidikan dalam mengartikan konsep belajar. Sebab perilaku belajar merupakan bidang telaah dari kedua bidang keilmuan
tersebut. Pakar psikologis memandang belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan secara alami,
sedangkan pakar pendidikan memandang belajar sebagai proses psikologis pedagogis yang ditandai adanya interaksi individu dengan
Perubahan ini tidak terjadi dengan sendirinya melainkan melalui
proses yang sengaja diciptakan. Pendapat Winataputra di atas sejalan dengan pendapat Hamalik (2005: 27) bahwa belajar merupakan suatu
proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami.
Berdasarkan uraian di atas, teori belajar yang sesuai dengan konsep
belajar tersebut adalah teori belajar konstruktivisme. Menurut Budiningsih (2005: 59) konstruktivisme menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Konstruktivisme beraksentuasi
belajar sebagai proses operatif, menekankan pada belajar autentik, dan proses sosial. Belajar operatif merupakan prinsip belajar yang tidak hanya menekankan pada pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang
apa), namun pengetahuan struktural (pengetahuan tentang mengapa), serta pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana). Sedangkan belajar autentik adalah proses interaksi seseorang dengan
objek yang dipelajari secara nyata. Belajar operatif dan belajar autentik dapat berlangsung dalam proses sosial melalui belajar kolaboratif dan
kooperatif (Suprijono, 2010: 39 – 40).
Teori belajar konstruktivisme merupakan teori yang tepat untuk melandasi penelitian ini. Sebab prinsip belajar operatif dan autentik
Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar ialah proses perubahan
melalui interaksi individu dengan lingkungan yang terjadi dalam suatu aktivitas. Aktivitas ini dapat bersifat psiko, fisik, dan sosio. Proses
belajar tidak hanya menekankan pada pengetahuan deklaratif, namun lebih luas hingga pengetahuan struktural dan prosedural yang diperoleh melalui proses sosial.
2.4.2 Aktivitas Belajar
Proses belajar erat kaitannya dengan aktivitas, sebab aktivitas berlangsung dalam proses belajar. Keterkaitan tersebut dikemukakan
oleh Poerwanti (2008: 7.4) bahwa selama proses belajar berlangsung dapat terlihat aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran, seperti
aktif bekerjasama dalam kelompok, memiliki keberanian untuk bertanya atau mengungkapkan pendapat.
Menurut Sardiman (2010: 100) aktivitas belajar adalah aktivitas
yang bersifat fisik maupun mental. Sejalan dengan pendapat Sardiman, Kunandar (2010: 277) mengemukakan bahwa aktivitas belajar adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas
dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Penjelasan lebih lanjut mengenai pembagian jenis aktivitas dalam kegiatan belajar dikemukakan oleh Paul D. Dierich (Hamalik, 2011: 90)
sebagai berikut.
2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, atau mendengarkan radio. 4. Kegiatan-kegiatan menulis, yaitu menulis cerita, menulis
laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat out line atau rangkuman, dan mengerjakann tes, serta mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan menggambar yaitu menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta, dan pola.
6. Kegiatan-kegiatan metrik, yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun. 7. Kegiatan-kegiatan mental, yaitu merenungkan, mengingat,
memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan.
8. Kegiatan-kegiatan emosional, yaitu minat, membedakan, berani, tenang, dll.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud aktivitas dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh
siswa guna memperoleh perubahan perilaku sebagai hasil dari proses belajar baik secara fisik maupun mental. Adapun indikator aktivitas yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini adalah siswa dapat
mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat, kerja sama atau diskusi kelompok, memecahkan masalah, memperhatikan penyajian
bahan, dan keberanian berpendapat.
2.4.3 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah proses
mentah ataupun nilai yang sudah diakumulasikan. Namun, tidak
menutup kemungkinan hasil belajar ini bukan hanya berupa nilai melainkan perubahan perilaku siswa. Seperti yang diungkapkan oleh
Sukmadinata (2007: 103) bahwa hasil belajar (achievement) merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dapat
dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik.
Hasil belajar menurut Bloom (Sudjana, 2011: 22 – 31) mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif
berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, análisis, síntesis, dan evaluasi. Dua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan
keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan perilaku atau respon yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan
internalisasi. Sedangkan ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah
psikomotorik yakni, gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kemampuan di bidang fisik (kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan), gerakan-gerakan skill (mulai dari
keterampilan sederhana sampai keterampilan yang kompleks), dan kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti
Berbeda halnya dengan Shimpson yang mengemukakan jenjang
hasil belajar psikomotor meliputi persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan pola
penyesuaian, dan kreativitas (Sukiman, 2011: 73 – 74). Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua perubahan perilaku sebagaimana digambarkan oleh para ahli merupakan hasil belajar. Sebab menurut
Sumiati (2009: 38) hasil belajar ada yang diperoleh dengan sendirinya melalui proses perkembangan dan pertumbuhan, seperti halnya
kematangan atau maturation.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan
bahwa pengertian hasil belajar dalam penelitian ini adalah perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajaran secara keseluruhan. Perubahan ini tidak dilihat secara parsial melainkan terhubung secara
komprehensif baik dari domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun indikator hasil belajar yang ingin dicapai dalam penelitian ini dari aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, dan
análisis. Untuk aspek afektif meliputi penerimaan, penanggapan atau responding, dan sikap atau valuing, sedangkan dari ranah psikomotor
adalah kreativitas.
2.5 Matematika
2.5.1 Pengertian Matematika
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dasar bukanlah hanya pelajaran yang menghimpun angka-angka tanpa makna.
sebab matematika merupakan bahasa simbol yang berlaku secara
universal dan sangat padat makna dan pengertian. Berbeda halnya dengan Wijaya (2012: 86) yang menyatakan bahwa matematika bukanlah ”suatu ilmu yang berisi tentang ” melainkan ”suatu ilmu yang
tersusun dari”. Paradigma yang sering tampak pada fakta, bahwa
matematika merupakan ilmu yang berisi tentang geometri, bilangan,
statistik, aljabar, dll (gambar a), bukan sebagai ilmu yang merupakan keterpaduan konsep (gambar b). Sehingga bila diilustrasikan dalam
gambar akan tampak sebagai berikut.
Gambar 2. Domain dalam matematika.
Dimodifikasi dari Wijaya (2012: 86)
Berbeda halnya dengan pendapat Suwangsih (2006: 3) bahwa Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian, pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran dalam struktur kognitif sehingga terbentuklah konsep-konsep matematika yang dimanipulasi melalui bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai universal.
Selain pendapat-pendapat di atas, Wale (2006: 13) mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang memiliki pola keteraturan dan urutan
bukanlah ilmu pengetahuan yang didominasi oleh
perhitungan-perhitungan yang tanpa alasan. Sehingga dengan menginterpretasikan dan mengaplikasikan pola keteraturan inilah akan
muncul makna dari belajar matematika.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang tersusun dari konsep-konsep
yang memiliki pola dan urutan. Pola dan urutan ini diwujudkan dalam bahasa matematika atau notasi matematika dan bersifat universal.
Konsep-konsep matematika tersebut diperoleh melalui proses berpikir yang sistematis.
2.5.2 Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran matematika di sekolah dasar tentulah berbeda dengan pembelajaran matematika di sekolah menengah dan sekolah lanjut. Dalam teori pembelajaran matematika ditingkat sekolah dasar yang
diungkapkan oleh Heruman (2008: 4 – 5) bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan adanya reinvention (penemuan kembali) secara informal dalam pembelajaran di kelas dan harus menampakkan
adanya keterkaitan antar konsep. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Kebermaknaan ini dapat terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka
konsep ini diawali dengan penggunaan situasi-situasi yang berada di
luar atau dari kehidupan sehari-hari siswa, dengan demikian siswa mampu mengenali tujuan ilmu matematika di dalam dan di luar konteks
kehidupan mereka.
Konsep pembelajaran matematika di SD yang telah dikemukakan di atas, sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran matematika di SD menurut
Suwangsih (2006: 25 – 26) sebagai berikut.
a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Metode
spiral ini melambangkan adanya keterkaitan antar materi satu dengan yang lainnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat
untuk memahami topik berikutnya atau sebaliknya.
b. Pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap. Materi pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap yang dimulai
dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih kompleks.
c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif,
sedangkan matematika merupakan ilmu deduktif. Namun, karena sesuai tahap perkembangan siswa maka pembelajaran matematika
di SD digunakan pendekatan induktif.
d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna. Konsep
Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan
bahwa dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya merujuk pada pemberian pembelajaran yang bermakna melalui konstruksi
konsep-konsep yang saling berkaitan hingga adanya reinvention (penemuan kembali). Meskipun penemuan ini bukan hal baru bagi individu yang telah mengetahui sebelumnya, namun bagi siswa
penemuan tersebut merupakan sesuatu yang baru.
2.6 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian
tindakan kelas ini adalah ”Apabila dalam proses pembelajaran matematika menerapkan pendekatan RME dan PAKEM sesuai konsep dan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau yang lebih familiar disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Muslikah (2010: 32) mendefinisikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelitian
yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan meningkatkan praktek-praktek di kelas secara lebih
profesional.
Oleh sebab itu, sebelum pelaksanaan PTK, peneliti telah mempersiapkan berbagai input sesuai dengan penerapan kolaborasi pendekatan RME dan
PAKEM yang digunakan untuk memberi perlakuan dalam PTK, berupa perangkat pembelajaran matematika sebagai acuan dalam pelaksanaan PTK. Adapun materi pokok dalam PTK ini antaralain; (1) penjumlahan dan
pengurangan berbagai bentuk pecahan, (2) perkalian dan pembagian berbagai bentuk pecahan, dan (3) menyelesaikan masalah perbandingan dan skala yang
menggunakan pecahan. Selain itu juga dibuat perangkat penelitian berupa lembar aktivitas siswa, lembar kinerja guru, dan lembar hasil belajar afektif
Penjelasan lebih lanjut diungkapkan oleh Muslich (2012: 7) bahwa
penelitian tindakan kelas dilaksanakan secara partisipatif (dilakukan sendiri oleh peneliti) dan kolaboratif (melibatkan teman sejawat dalam
pengamatannya). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya subjektivitas dalam pelaksanaan penelitian.
PTK ini dilaksanakan melalui tiga siklus untuk melihat peningkatan
aktivitas dan hasil belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan RME dan PAKEM.
Gambar 3. Prosedur PTK
Adopsi dari Arikunto (2007: 16)
Perencanaan
Pelaksanaan Refleksi
Observasi
SIKLUS I
SIKLUS II
Perencanaan Observasi
Pelaksanaan Refleksi
3.1.1 Seting Penelitian a. Tempat Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri 8
Metro Timur. Tepatnya di jalan Stadion No. 24 Tejosari kecamatan Metro Timur, Kota Metro.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap dengan lama penelitian 6 bulan, terhitung dari bulan Desember 2012 sampai
dengan Mei 2013.
3.1.2 Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah siswa dan guru kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur. Jumlah siswa dalam kelas tersebut adalah 27 siswa yang terdiri dari 12 orang siswa laki-laki dan 15 orang siswa
perempuan.
3.1.3 Faktor yang Diteliti
Faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah perubahan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru melalui penerapan
pendekatan RME dan PAKEM terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.
3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data 3.2.1 Teknik Pengumpulan data
Data-data yang berkaitan dengan penelitian dikumpulkan melalui
a. Teknik Nontes
Variabel yang diukur dengan menggunakan teknik non tes ini yaitu aktivitas siswa, kinerja guru, hasil belajar afektif dan
psikomotor dalam penerapan pendekatan RME dan PAKEM. Data aktivitas siswa diperoleh dengan memberikan skor 1 – 4 pada lembar observasi. Data kinerja guru diperoleh dengan
memberikan skor 1 – 5 pada lembar observasi, sedangkan pada hasil belajar afektif dan psikomotor observer menggunakan skala
1 – 3. b. Teknik tes
Teknik tes ini digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif. Tes ini dilaksanakan pada pertemuan terakhir tiap siklus dalam bentuk soal tes formatif. Melalui soal tes
formatif ini dapat diketahui peningkatan hasil belajar kognitif siswa dalam pembelajaran matematika melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM.
3.2.2 Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Lembar observasi
Kegiatan observasi ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas
ditentukan. Selain aktivitas, observasi dilakukan untuk
memperolah data mengenai hasil belajar afektif dan psikomotor. Adapun instrumen yang digunakan untuk memperoleh data
kinerja guru adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Indikator Kegiatan Guru Berkenaan dengan RME dan PAKEM.
No Indikator Skor
(1-5) 1 Ketepatan pemilihan masalah realistik.
2 Pemberian pengalaman melalui masalah realistik 3 Penggunaan model dan media
4 Memfasilitasi siswa untuk mengembangkan gagasan baru dan relatif berbeda dalam menyelesaikan masalah (variasi stretegi)
5 Memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi melalui diskusi.
6 Memfasilitasi terjadinya interaksi komponen pembelajaran (siswa, guru, media) melalui pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.
7 Memunculkan keterkaitan konsep matematika. 8 Memfasilitasi siswa melakukan refleksi
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data aktivitas siswa adalah sebagai berikut.
Tabel 4. Indikator Aktivitas Siswa.
No Kegiatan siswa Skor
1 2 3 4 5 1 memperhatikan penyajian bahan
2 mengajukan pertanyaan 3 mengemukakan pendapat 4 kerjasama atau diskusi 5 memecahkan masalah 6 keberanian berpendapat
Instrumen untuk memperoleh data hasil belajar afektif dan
Tabel 5. Indikator Hasil Belajar Afektif dan Psikomotor Siswa.
No Ranah Indikator Skor
(1-3)
1. Afektif
Kesadaran untuk menerima perbedaan pendapat
Partisipasi Sikap 2. Psikomotor Kreativitas
Pada penelitian ini, terdapat dua orang observer yaitu guru kelas VB dan mahasiswa PGSD yang menjadi teman sejawat
peneliti. Observer diberi keleluasaan untuk membuat catatan jika terdapat aspek yang tidak tercantum dalam lembar observasi. Namun, cukup berpengaruh selama proses pembelajaran.
b. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar kognitif dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu
pada setiap pertemuan ketiga. Jenis tes yang diberikan adalah isian dan essay. Jumlah soal pada siklus I adalah 8 butir, siklus II berjumlah 9 butir, dan siklus III berjumlah 4 butir. Setiap butir soal
memiliki skor tertentu. Namun, tidak semua indikator pembelajaran dimunculkan dalam soal tes, karena keterbatasan alokasi waktu tes yang disediakan.
3.3 Teknik Analisis Data
Data-data yang telah diperoleh melalui alat pengumpul data di atas, tidak akan bermakna apabila tidak dilakukan analisis terhadap data tersebut sesuai
mendeskripsikan data dalam bentuk narasi, tabel, dan atau grafik (Aqib,
2009: 11).
3.3.1 Teknik analisis data kualitatif
Data kualitatif diperoleh melalui kegiatan pengamatan
(observasi). Dalam penelitian ini yang termasuk dalam data kualitatif adalah aktivitas siswa, kinerja guru, hasil belajar afektif, dan
psikomotor.
a. Aktivitas Siswa
1) Aktivitas tiap individu diperoleh dengan rumus:
N =
x 100
N : Nilai
R : Jumlah skor yang diperoleh
SM : Skor maksimal
(Sumber: modifikasi Purwanto, 2008: 102)
Berdasarkan nilai yang diperoleh secara individu dapat
diketahui tingkat aktivitas siswa sesuai kategori berikut ini. Tabel 6. Kategori Peningkatan Aktivitas Siswa.
Nilai Kategori
N>75 Aktif
50<N≤75 Cukup aktif 25<N≤50 Kurang aktif
N≤25 Pasif
2) Persentase siswa aktif secara klasikal diperoleh melalui rumus:
P
=
x 100%
Tabel 7. Kategori Keaktifan Kelas dalam Persen (%).
Siswa aktif (%)
Kriteria
≥80 Sangat tinggi/sangat aktif 60-79 Tinggi/aktif
40-59 Sedang
20-39 Rendah/kurang aktif <20 Sangat rendah/pasif (sumber: Adaptasi Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)
b. Pencapaian indikator dalam penerapan pendekatan RME dan
PAKEM yang dilakukan oleh guru.
Ketercapaian penerapan pendekatan RME dan PAKEM
diperoleh melalui pengamatan dengan berpedoman pada lembar observasi yang mengacu pada indikator-indikator keberhasilan dari kedua pendekatan tersebut. Penilaian penerapan proses
pembelajaran ini menggunakan skala 1 – 5. Tingkat pencapaian tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus:
Nilai =
x 100
(Sumber: modifikasi Sudijono, 2011: 318)
Dari perolehan nilai tersebut, akan diketahui peningkatan penerapan pendekatan RME dan PAKEM dengan kategori
Tabel 8. Kategori Keberhasilan Guru dalam Menerapkan pendekatan RME dan PAKEM.
Rentang nilai Kategori N>80 Sangat baik 60<N≤80 Baik 40<N≤60 Cukup baik 20<N≤40 Kurang baik
N<20 Sangat kurang (Sumber: adaptasi Poerwanti, 2008: 7.8)
c. Pemberian skor pada hasil belajar afektif dan psikomotor
menggunakan skala 1 – 3. Untuk menentukan nilai menggunakan rumus:
Nilai =
x 100
3.3.2 Teknik analisis data kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka. Oleh sebab itu dalam analisis data kuantitatif menggunakan analisis statistik
deskriptif. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam analisis data kuantitatif yaitu hasil belajar siswa.
a. Nilai hasil belajar kognitif siswa secara individu diperoleh dengan
rumus:
Nilai =
x 100
(Sumber: modifikasi Sudijono, 2011: 318)
b. Perolehan hasil belajar siswa merupakan akumulasi dari hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor dengan persentase kognitif
NA = 70% C + 10% A + 20% P
Bila nilai akhir yang diperoleh ≥55 maka dikategorikan tuntas, sedangkan jika <55 dikategorikan tidak tuntas.
c. Persentase ketuntasan belajar klasikal.
P =
x 100%
(Sumber: adopsi Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)
d. Hasil analisis data tersebut akan dijadikan penentuan tingkat keberhasilan belajar siswa secara klasikal sesuai kriteria berikut ini. Tabel 9. Kriteria Keberhasilan Belajar Siswa Secara Klasikal dalam
Persen (%).
(Sumber: adopsi dari Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)
3.4 Prosedur Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam tiga siklus, dengan
berbagai kemungkinan yang dianggap perlu. Setiap siklus yang dilaksanakan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.
3.4.1 Siklus I
a. Tahap Perencanaan
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru dan peneliti