• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong pada Level yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong pada Level yang Berbeda"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

SKRIPSI

DEDE UJI EWA DARMANTO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

Dede Uji Ewa Darmanto. D14050234. 2009. Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong

pada Level yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Mohamad Yamin, MAgrSc. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, Msi.

Produktivitas ternak pada dasarnya adalah hasil interaksi antara faktor dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan). Faktor luar yang mempengaruhi produktivitas ternak berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen. Kulit singkong sebagai pakan alternatif telah digunakan sebagian peternak dalam usaha penggemukan domba. Kulit singkong mengandung zat anti nutrisi yaitu HCN dan energi yang tinggi, dan diperkirakan dapat mempengaruhi respon fisiologis domba.

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis domba ekor tipis jantan, akibat pengaruh dari pemberian kulit singkong pada ransum dengan level pemberian yang berbeda ini telah dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari Bulan Februari hingga Bulan April 2009.

Materi penelitian yang digunakan berupa 12 ekor domba ekor tipis jantan yang berumur dibawah 1 tahun dengan bobot rata-rata 19,06 ± 1,46 kg dan dipelihara selama dua bulan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian ransum dengan empat perlakuan yaitu : P0 = 100% rumput Brachiaria humidcola dan 0% kulit singkong, P1 = 80% rumput B. humidcola dan 20% kulit singkong, P2 = 60% rumput B. humidcola dan 40% kulit singkong dan P3 = 40% rumput B. humidcola dan 60% kulit singkong. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu rektal, frekuensi respirasi dan denyut jantung domba. Rancangan statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA), jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ransum tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) terhadap respon fisiologis domba ekor tipis jantan meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi. Terdapat indikasi peningkatan denyut jantung dan frekuensi respirasi akibat adanya kandungan HCN dalam kulit singkong pada ransum, sehingga perlu pembatasan dalam penggunaannya.

(3)

ABSTRACT

Physiological Response of Male Indigenous Local Sheep Given Different Level of Brachiaria humidicola Grass and Cassava Hull

D. U. E. Darmanto, M. Yamin, S. Rahayu

The body condition of livestock is affected by physiological process which is stimulated by environmental changes such as weather, nutrition and management factors. The main objective of this research is to observe physiological response of male indigenous local sheep given different level of Brachiaria humidicola grass and cassava hull. Twelve yearling male indigenous local sheep with initial average body weight 19,06 ± 1,46 kg were used in this research. Dietary treatments consisted of R0: 100% Brachiaria humidicola + 0% cassava hull, R1 : 80% Brachiaria humidicola + 20% cassava hull, R2: 60% Brachiaria humidicola +40%cassava hull, R3: 40% Brachiaria humidicola + 60% cassava hull. The parameters observed were rectal temperature, frequency of respiration, and heartbeat. Both indoor and outdoor microclimate had been measured (temperature and humidity). Randomized Complete Design with three repetition was used to analyze the data, and any significant differences were further tested by using Duncan’s test. The experimental showed that result were not significant (P>0,05) to rectal temperature, frequency of respiration and heartbeat. It is concluded that the use of cassava hull in feed must be more carefully because of HCN as limited factor and its possible negative effect on sheep physiology response.

(4)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

DEDE UJI EWA DARMANTO

D14050234

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

Oleh

DEDE UJI EWA DARMANTO

D14050234

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 7 September 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Mohamad Yamin, MAgrSc. Ir. Sri Rahayu, Msi.

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1986 di Metro, Lampung. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kasiyo dan Ibu Suki Sri Hartati.

Pendidikan di Taman Kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1993 di TK Aisyah Bustanul Atfal, Metro. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN 4 Metro. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SMPN 3 Metro dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 1 Metro, Lampung.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan, hidayah dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi hingga tugas akhir penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong pada Level yang Berbeda” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis domba ekor tipis jantan akibat pengaruh dari pemberian kulit singkong dalam ransum, yang dapat dijadikan sebagai acuan batasan penggunaan kulit singkong sebagai pakan ternak khususnya ternak domba.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan. Ucapan terima kasih tidak lupa Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin.

Bogor, September 2009

(8)
(9)

Halaman

Peubah ... 14

Suhu Rektal Domba ... 14

Frekuensi Respirasi Domba ... 14

Laju Denyut Jantung Domba ... 14

Prosedur ... 15

Persiapan ... 15

Pemeliharaan ... 15

Pengambilan Data Penunjang ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Keadaan Umum ... 17

Lingkungan ... 17

Nutrisi Pakan ... 20

Respon Fisiologis ... 22

Suhu Rektal Domba ... 23

Denyut Jantung Domba ... 23

Frekuensi Respirasi Domba ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

UCAPAN TERIMAKASIH ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam ... 8

2. Kandungan Nutrisi Pakan ... 13

3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian . ... 17

4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran . ... 18

5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum ... 21

(11)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

SKRIPSI

DEDE UJI EWA DARMANTO

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

Dede Uji Ewa Darmanto. D14050234. 2009. Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong

pada Level yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Mohamad Yamin, MAgrSc. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, Msi.

Produktivitas ternak pada dasarnya adalah hasil interaksi antara faktor dalam (genetik) dan faktor luar (lingkungan). Faktor luar yang mempengaruhi produktivitas ternak berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen. Kulit singkong sebagai pakan alternatif telah digunakan sebagian peternak dalam usaha penggemukan domba. Kulit singkong mengandung zat anti nutrisi yaitu HCN dan energi yang tinggi, dan diperkirakan dapat mempengaruhi respon fisiologis domba.

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis domba ekor tipis jantan, akibat pengaruh dari pemberian kulit singkong pada ransum dengan level pemberian yang berbeda ini telah dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari Bulan Februari hingga Bulan April 2009.

Materi penelitian yang digunakan berupa 12 ekor domba ekor tipis jantan yang berumur dibawah 1 tahun dengan bobot rata-rata 19,06 ± 1,46 kg dan dipelihara selama dua bulan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian ransum dengan empat perlakuan yaitu : P0 = 100% rumput Brachiaria humidcola dan 0% kulit singkong, P1 = 80% rumput B. humidcola dan 20% kulit singkong, P2 = 60% rumput B. humidcola dan 40% kulit singkong dan P3 = 40% rumput B. humidcola dan 60% kulit singkong. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu rektal, frekuensi respirasi dan denyut jantung domba. Rancangan statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of variance (ANOVA), jika hasilnya berbeda nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ransum tidak berpengaruh nyata (P> 0,05) terhadap respon fisiologis domba ekor tipis jantan meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi. Terdapat indikasi peningkatan denyut jantung dan frekuensi respirasi akibat adanya kandungan HCN dalam kulit singkong pada ransum, sehingga perlu pembatasan dalam penggunaannya.

(13)

ABSTRACT

Physiological Response of Male Indigenous Local Sheep Given Different Level of Brachiaria humidicola Grass and Cassava Hull

D. U. E. Darmanto, M. Yamin, S. Rahayu

The body condition of livestock is affected by physiological process which is stimulated by environmental changes such as weather, nutrition and management factors. The main objective of this research is to observe physiological response of male indigenous local sheep given different level of Brachiaria humidicola grass and cassava hull. Twelve yearling male indigenous local sheep with initial average body weight 19,06 ± 1,46 kg were used in this research. Dietary treatments consisted of R0: 100% Brachiaria humidicola + 0% cassava hull, R1 : 80% Brachiaria humidicola + 20% cassava hull, R2: 60% Brachiaria humidicola +40%cassava hull, R3: 40% Brachiaria humidicola + 60% cassava hull. The parameters observed were rectal temperature, frequency of respiration, and heartbeat. Both indoor and outdoor microclimate had been measured (temperature and humidity). Randomized Complete Design with three repetition was used to analyze the data, and any significant differences were further tested by using Duncan’s test. The experimental showed that result were not significant (P>0,05) to rectal temperature, frequency of respiration and heartbeat. It is concluded that the use of cassava hull in feed must be more carefully because of HCN as limited factor and its possible negative effect on sheep physiology response.

(14)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

DEDE UJI EWA DARMANTO

D14050234

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS JANTAN

YANG

DIBERI PAKAN RUMPUT

Brachiaria humidicola

DAN

KULIT SINGKONG PADA LEVEL

YANG BERBEDA

Oleh

DEDE UJI EWA DARMANTO

D14050234

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 7 September 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Mohamad Yamin, MAgrSc. Ir. Sri Rahayu, Msi.

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1986 di Metro, Lampung. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kasiyo dan Ibu Suki Sri Hartati.

Pendidikan di Taman Kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1993 di TK Aisyah Bustanul Atfal, Metro. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN 4 Metro. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SMPN 3 Metro dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 1 Metro, Lampung.

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan, hidayah dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi hingga tugas akhir penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Respon Fisiologis Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Pakan Rumput Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong pada Level yang Berbeda” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis domba ekor tipis jantan akibat pengaruh dari pemberian kulit singkong dalam ransum, yang dapat dijadikan sebagai acuan batasan penggunaan kulit singkong sebagai pakan ternak khususnya ternak domba.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan. Ucapan terima kasih tidak lupa Penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin.

Bogor, September 2009

(18)
(19)

Halaman

Peubah ... 14

Suhu Rektal Domba ... 14

Frekuensi Respirasi Domba ... 14

Laju Denyut Jantung Domba ... 14

Prosedur ... 15

Persiapan ... 15

Pemeliharaan ... 15

Pengambilan Data Penunjang ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Keadaan Umum ... 17

Lingkungan ... 17

Nutrisi Pakan ... 20

Respon Fisiologis ... 22

Suhu Rektal Domba ... 23

Denyut Jantung Domba ... 23

Frekuensi Respirasi Domba ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

UCAPAN TERIMAKASIH ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

LAMPIRAN ... 39

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam ... 8

2. Kandungan Nutrisi Pakan ... 13

3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian . ... 17

4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran . ... 18

5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum ... 21

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian ... 11

2. (a) Termometer Basah Kering; (b) Kandang; (c) Timbangan ... 12

3. (a) Kulit Singkong; (b) Rumput Brachiaria humidicola ... 13

4. Grafik Suhu Rektal Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda ... 19

5. Grafik Denyut Jantung Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda .. 19

6. Grafik Frekuensi Respirasi Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda ... 20

4. Grafik Suhu Rektal Domba ... 23

5. Grafik Denyut Jantung Domba ... 24

6. Grafik Frekuensi Respirasi Domba... 31

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Suhu rektal Domba dan Analisis Ragam dengan Program

Minitab 14 ... 40 2. Data Denyut Jantung Domba dan Analisis Ragam dengan

Program Minitab 14 ... 40 3. Data Frekuensi Resirasi Domba dan Analisis Ragam dengan

Program Minitab 14 ... 41 4. Perhitungan Total Digestible Nutrient (TDN) Pakan Rumput

Brachiaria humidicola dan Kulit Singkong ... 42

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha penggemukan domba saat ini terus berkembang. Perkembangan ini disebabkan karena usaha penggemukan domba sudah mulai banyak diminati oleh beberapa pengusaha sebagai usaha ternak komersial, karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, modal relatif kecil, pengembalian modal relatif cepat, dan lebih praktis.

Unsur utama yang mendukung usaha penggemukan domba adalah ketersediaan pakan, khususnya konsentrat. Pakan konsentrat merupakan pakan penguat yang mampu meningkatkan pertumbuhan dari seekor ternak secara maksimal. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh sebagian peternak saat ini adalah keterbatasan kemampuan di dalam penyediaan pakan konsentrat yang disebabkan karena harga konsentrat yang semakin meningkat. Situasi ini mengakibatkan para peternak harus mencari pakan alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti konsentrat dengan harga murah, mudah didapat dan tetap memberikan hasil yang memuaskan.

Usaha penggemukan domba beberapa peternak di Daerah Bogor, menggunakan kulit singkong yang merupakan limbah dari hasil pertanian sebagai pakan alternatif dalam usaha peternakan tersebut. Penggunaan kulit singkong tersebut memberikan hasil yang cukup memuaskan terhadap performa ternak domba yang dihasilkan.

(24)

2

Perumusan Masalah

Permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya kendala dalam penyediaan pakan konsentrat yang disebabkan karena harga yang semakin meningkat, sehingga menuntut adanya informasi mengenai bahan pakan alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti pakan konsentrat. Pakan alternatif yang sudah sering digunakan oleh sebagian peternak adalah kulit singkong. Penggunaan kulit singkong sebagai pakan alternatif diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi domba tersebut, terutama mengenai kondisi fisiologisnya yang berkaitan dengan faktor nutrisi dan adanya zat anti nutrisi dalam kulit singkong tersebut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis domba ekor tipis jantan, akibat pengaruh dari pemberian kulit singkong pada ransum dengan level pemberian yang berbeda, meliputi suhu rektal, frekuensi respirasi dan laju denyut jantung.

Manfaat

(25)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Domba (Ovis aries)

Klasifikasi Domba

Klasifikasi bangsa domba yang paling umum adalah berdasar pada jenis wool yang dihasilkan. Faktor-faktor lain yang menjadi dasar klasifikasi seperti jenis daging, warna dan ada tidaknya tanduk serta karakteristik kemampuan adaptasinya. Klasifikasi domba menurut Blakely dan Bade (1992) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia. Sekitar 80% populasinya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang. Domba ini mempunyai tubuh yang kecil sehingga disebut domba kacang atau domba jawa. Selain badannya kecil, ciri lainnya yaitu : 1) Ekor relatif kecil dan tipis; 2) Biasanya bulu badan berwarna putih, hanya kadang-kadang ada warna lain, misalnya belang-belang hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya; 3) Domba betina umumnya tidak bertanduk, sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar; 4) Berat domba jantan dewasa berkisar 30-40 kg dan berat domba betina dewasa sekitar 15-20 kg (Mulyono, 1999). Domba ini tidak jelas asal-usulnya dan dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Devendra dan McLeroy, 1982).

(26)

4

Lingkungan

Lingkungan adalah semua keadaan, kondisi dan pengaruh-pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi ternak (Ensminger et al., 1990). Lingkungan mempengaruhi domba melalui dua jalan yaitu : 1) Mempengaruhi hijauan (pakan) dan selanjutnya mempengaruhi pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; 2) Mempengaruhi domba secara langsung yaitu pengaruh lingkungan utamanya seperti kecepatan angin, suhu dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989).

Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Faylon, 1989).

Ternak harus selalu berada pada daerah lingkungan optimal dan mereka harus terpelihara dalam daerah tersebut untuk tetap menjaga berjalannya fungsi pertumbuhan dan reproduksi optimal. Thermoneutral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak. Daerah TNZ untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 22 – 31 °C. Seekor ternak akan berusaha meningkatkan produksi panas dalam tubuhnya jika suhu lingkungan semakin rendah, sebaliknya ternak akan melakukan evaporasi untuk melepaskan panas jika suhu lingkungan meningkat (Yousef, 1985).

Respon Fisiologis Domba

(27)

5 Ternak domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai daya tahan kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Domba sebagai mamalia merupakan hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu (Johnston, 1983). Akan tetapi sudah tentu kemampuan tersebut ada batasnya, apabila suhu lingkungan mencapai keadaan diluar batas kemampuannya maka akan timbul gejala-gejala merugikan. Respon fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju respirasi dan denyut jantung.

Suhu Rektal

Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu rektal harian, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994).

Suhu lingkungan yang rendah, dibawah tingkat kritis minimum dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diiringi kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 0C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Laju Respirasi

Sistem respirasi memiliki fungsi utama untuk memasok oksigen ke dalam tubuh serta membuang CO2 dari dalam tubuh (Isnaeni, 2006). Fungsi-fungsi yang

besifat skunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air dan fonasi (pembentukan suara) (Frandson, 1992). Respirasi sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat

terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang (Awabien, 2007).

(28)

6 Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam keadaan istirahat (Frandson, 1992). Domba tropis mempunyai frekuensi laju respirasi berkisar 15–25 hembusan per menit ( Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, ternak bereaksi pertama-tama dengan panting

(terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting

merupakan mekanisme evaporasi melalui pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 25 0C (Yousef, 1985).

Ali (1999) menjelaskan bahwa peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus di imbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal.

Laju Denyut Jantung

Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dari pembuluh vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992).

Jantung memiliki suatu mekanisme khusus yang menjaga denyut jantung dan menjalankan potensi aksi keseluruh otot jantung untuk menimbulkan denyut jantung yang berirama. Ritme atau kecepatan denyut jantung dikendalikan oleh saraf. Akan tetapi dapat diubah juga oleh berbagai faktor selain saraf, antara lain rangsangan kimiawi seperti hormon dan perubahan kadar O2 dan CO2 ataupun rangsangan panas

(Isnaeni, 2006).

(29)

7 denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey, 1983).

Pakan Ternak

Hijauan merupakan sumber pakan yang sangat penting bagi ruminansia. Hijauan mengandung hampir semua zat yang dibutuhkan oleh ternak selain sebagai

bulk (pengenyang) (Awabien, 2007). Menurut Mulyono (1999) pakan hijauan mengandung zat gizi yang dapat menentukkan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ternak. Pakan hijauan segar yang baik adalah bila komposisinya diatur antara yang mengandung protein rendah dan protein tinggi. Hijauan merupakan sumber serat kasar yang tinggi bagi ruminan. Hijauan yang dimaksud biasanya berupa rumput-rumputan.

Rumput Brachiaria humidicola

Rumput Brachiaria humidicola merupakan rumput asli Afrika Selatan, kemudian menyebar ke daerah Fiji dan Papua New Guinea, terkenal dengan nama

Koronivia grass. Rumput ini merupakan rumput berumur panjang yang berkembang secara vegetatif dengan stolon. Stolon tumbuh pada jarak 1-2 m dan cepat menyebar sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan. Rumput ini memiliki tangkai daun lincolate, 3-4 raceme dengan panjang spikelet 3,5-4 mm (Skerman dan Rivers, 1990).

Komposisi zat makanan rumput B. humidicola muda berdasarkan persentase dari bahan kering mengandung protein kasar (PK) 5,1%; serat kasar (SK) 37,4%; abu 9,8% dan BETN sebesar 46,1%, sedangkan yang sudah berbunga atau dewasa mengandung protein kasar 7,6%; serat kasar 35,5%; abu 14,7% dan BETN sebesar 39,9% (Skerman dan Rivers, 1990).

Singkong

Tanaman singkong (Manihol esculenta Crantz) termasuk kedalam kingdom

Plantae, divisi Spermathopyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo

(30)

8 Selatan. Pohon ini akan tumbuh pada tanah yang relatif tidak subur dan merupakan tumbuhan yang sangat banyak memberikan hasil diantara tumbuhan akar-akaran di daerah tropik, yaitu memberikan panen sebanyak 7-10 ton lebih untuk setiap akre (Djaeni, 1976).

Kelebihan tanaman singkong dibandingkan dengan tanaman sumber karbohidrat lainnya yaitu (1) dapat tumbuh dilahan kering dan kurang subur, (2) daya tahan terhadap penyakit relatif tinggi, (3) masa panennya tidak diburu waktu sehingga dapat dijadikan lumbung hidup, yakni dibiarkan ditempatnya untuk beberapa minggu dan (4) daun serta umbinya dapat diolah sebagai makanan utama maupun selingan (Lingga, 1989).

Produksi tanaman singkong di Indonesia secara keseluruhan mencapai 21,76 juta ton pada tahun 2008 (Basis Data Statistik Pertanian, 2009). Persentase jumlah limbah kulit yang dihasilkan sekitar 16% dari produksi umbi (Gushairiyanto, 2003). Berdasarkan hal diatas apabila dikonversi jumlah kulit bagian dalam yang dapat dimanfaatkan sebesar 3,48 juta ton dari produksi singkong di Indonesia. Kandungan kulit singkong bagian dalam dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam

Bahan Bahan Kering (%)

Keterangan : Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB (2004)

Berdasarkan perhitungan dari persamaan regresi berganda untuk menduga TDN dari

komposisi proksimat dengan rumus sebagai berikut :

% TDN = 22,822 – 1,440 SK – 2,875 L + 0,655 BETA–N + 0,863 P + 0,020 SK2–

0,078 L2 + 0,018 (SK)(BETA-N) + 0,045 (L)(BETA-N) – 0,085 (L)(P) +

0,020 (L2)(P)

(31)

9 jumlahnya yang cukup banyak. Singkong sebagai bahan makanan mempunyai beberapa kelemahan antara lain palatabilitas rendah dan adanya kandungan asam prusik (HCN) sehingga merupakan faktor pembatas dalam pemakaiannya. Pemberian kulit singkong dalam jumlah besar dapat menimbulkan keracunan akibat hadirnya sianida yang dapat menyebabkan kematian (Darmawan, 2003). Kandungan HCN yang normal pada singkong sebesar 15-400 ppm HCN per kg berat segar (Balagopalan et al., 1988).

Seluruh bagian dari tumbuhan singkong mengandung suatu glukosida yang disebut linamarin dan suatu enzim linase, yang dapat saling berpengaruh untuk menghasilkan asam biru (HCN). Bagian terbesar dari glukosida itu terdapat di bagian kulit luar dari umbi akarnya. Jumlah racun HCN yang dihasilkan di dalam suatu umbi akar sangat berbeda-beda, tergantung pada kondisi-kondisi penanaman dan varietas tanaman tersebut (Djaeni, 1976).

Keberadaan HCN di dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987). Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan CO2 dan O2. Sudaryanto (1987) menjelaskan

bahwa ion sianida bergabung dengan hemoglobin membentuk Cyanohemoglobin

yang tidak mampu membawa oksigen. Di samping itu HCN juga membentuk ikatan reversibel dengan Cu dari cytochrom oksidatif yang akhirnya menghambat fungsinya sebagai enzim oksidatif dalam transfer elektron misalnya dalam kasus hypotoxic anoxia, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu.

(32)

10 Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan kebutuhan tubuh hewan,

yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi. Kebutuhan O2 dan pembentukan

CO2 meningkat pada saat laju metabolisme meningkat. Apabila pada saat tersebut

darah tidak mengandung cukup O2 untuk memenuhi kebutuhannya, hewan akan

mengalami kondisi hipoksia atau bahkan asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002).

(33)

11

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari Bulan Februari hingga Bulan April 2009. Analisis Proksimat pakan yang digunakan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Analisis asam sianida (HCN) kulit singkong dilakukan di Balai Besar Industri Agro, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Bogor.

Materi

Ternak

Ternak domba yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 12 ekor yang berumur dibawah 1 tahun dengan bobot rata-rata 19,06 ± 1,46 kg. Domba diperoleh dari pasar hewan Pasir Hayam, Cianjur. Ternak domba tersebut dipilih berdasarkan keseragaman bobot badan dan umur, serta sehat dan normal (tidak cacat). Domba-domba ini kemudian dipelihara sesuai perlakuan yang diberikan, selama 2 bulan.

Gambar 1. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian

(34)

12 Sehari setelah kedatangan, domba-domba tersebut kemudian dilakukan pemberian obat cacing dan antibiotik, serta dimandikan. Selanjutnya domba-domba tersebut dilakukan adaptasi pakan selama tiga minggu dengan ditempatkan pada kandang individu secara acak.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kandang individu dengan ukuran 120 x 80 x 120 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Model kandang yang digunakan adalah model kandang panggung yang beralaskan kayu dan beratapkan asbes dengan tipe monitor. Peralatan yang digunakan antara lain tempat pakan untuk rumput dan kulit singkong serta tempat air minum dari ember plastik kapasitas tiga liter, termometer, termometer basah dan kering, stetoskop, timbangan pegas untuk domba dengan merk “THREE GOATS”, timbangan duduk untuk pakan merk "FIVE GOATS”, gantungan dari ban bekas, keranjang rumput, sabit dan pisau.

(a) (b) (c)

Gambar 2. (a) Termometer Basah dan Kering; (b) Kandang; (c) Timbangan

Pakan dan Minum

(35)

13

(a) (b)

Gambar 3. (a) Kulit Singkong; (b) Rumput Brachiaria humidicola

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah pemberian ransum dengan empat perlakuan dan tiga ulangan yaitu:

P0 = 100% rumput Brachiaria humidicola dan 0% kulit singkong; P1 = 80% rumput Brachiaria humidicola dan 20% kulit singkong; P2 = 60% rumput Brachiaria humidicola dan 40% kulit singkong; P3 = 40% rumput Brachiaria humidicola dan 60% kulit singkong.

Kandungan nutrisi pakan yang digunakan tersaji pada Tabel 2. Kandungan bahan pakan tersebut dihitung dalam 100% BK.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan

Jenis Bahan Kandungan Bahan (100% BK)

BK Abu LK PK SK TDN BETN

Rumput BH 17,22 7,65 2,34 8,94 27,28 43,88 53,79

K. Singkong 25,00 3,05 0,73 10,05 10,10 82,42 76,07

Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor. 2009.

Keterangan : BK : Bahan Kering BETN : Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen

PK : Protein Kasar TDN : Total Digestible Nutrient

SK : Serat Kasar

LK : Lemak Kasar

Rancangan

(36)

14 perlakuan terdiri atas tiga ulangan. Model rancangan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut :

Yij = µ + αi + εij

Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan pemberian pakan ke-i dan ulangan ke-j

µ = Rataan umum

αi =Pengaruh pemberian ransum level ke-i (P0, P1 , P2 , P3 )

εij = Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

i = Perlakuan ke-i j = Ulangan ke-j

Data yang diperolah dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Peubah

Suhu Rektal Domba (0C)

Pengukuran suhu rektal domba dilakukan dengan cara memasukkan termometer kedalam rektum selama satu menit. Pengukuran ini dilakukan setiap satu minggu sekali pada pagi (08.00), siang (12.00) dan sore (16.00).

Frekuensi Respirasi Domba (hembusan/menit)

Pengukuran frekuensi respirasi domba dilakukan dengan menempelkan stetoskop pada bagian dada atau leher sehingga terdengar suara hembusan napas. Frekuensi respirasi dihitung selama satu menit dengan stopwatch secara duplo setiap satu minggu sekali pada pagi (08.00), siang (12.00) dan sore (16.00).

Laju Denyut Jantung Domba (detak/menit)

(37)

15

Prosedur

Persiapan

Bahan, peralatan dan kandang dipersiapkan seminggu sebelum pra-penelitian. Domba jantan ekor tipis sebanyak 12 (dua belas) ekor dipilih berdasarkan keseragaman bobot badan dan yang berumur di bawah satu tahun. Domba tersebut dimasukkan ke dalam kandang individu secara acak.

Kulit singkong yang diberikan, sebelumnya dicuci dan dibersihkan dari kulit paling luar sehingga diperoleh kulit singkong bagian dalam yang berwarna putih. Kulit singkong kemudian dilayukan selama semalam dan saat akan diberikan kulit singkong dipotong-potong menjadi ukuran kecil, untuk mengurangi kadar HCN dalam kulit singkong tersebut. Adaptasi pakan dilakukan selama tiga minggu dan diberi perawatan intensif antara lain pemandian, pemberian obat cacing, dan antibiotik. Penimbangan bobot badan dilakukan pada akhir periode adaptasi dan digunakan sebagai data awal penelitian.

Pemeliharaan

Penggemukan domba dalam penelitian ini dilakukan selama dua bulan. Domba diberikan pakan berdasarkan kebutuhan total bahan kering yaitu 4% dari bobot badan. Domba diberi pakan tiga kali sehari, yaitu pada pagi hari (06.00-07.00 WIB), siang hari (12.00-13.00 WIB) dan sore hari (16.00-17.00 WIB).

(38)

16

Pengambilan Data Penunjang

Data penunjang yang diukur adalah data suhu dan kelembaban lingkungan serta pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba . Data suhu dan kelembaban lingkungan digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan kandang selama penelitian. Data tersebut diperoleh dengan mengukur suhu dan kelembaban lingkungan di dalam dan di luar kandang dengan menggunakan termometer basah dan kering yang di lakukan setiap hari, yaitu pada pagi hari (08.00 WIB), siang hari (12.00 WIB) dan pada sore hari (16.00 WIB).

(39)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Lingkungan dan Respon Fisiologis Domba

Rataan suhu dan kelembaban di dalam kandang adalah 29°C dan 76%, sedangkan rataan suhu dan kelembaban di luar kandang adalah 30°C dan 69%. Data suhu dan kelembaban udara pada lingkungan penelitian (dalam dan luar kandang) tersaji pada Tabel 3. Suhu lingkungan dan kelembaban merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak. Suhu adalah ukuran untuk mengetahui intensitas panas, sedangkan jumlah uap air di udara disebut kelembaban (Yousef, 1985).

Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Penelitian

Tempat Waktu Suhu (°C) Kelembaban (%)

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu di dalam kandang lebih rendah dibanding suhu di luar kandang, khususnya pada pagi hari yaitu: 26±0,35 oC untuk suhu di dalam kandang dan 28±0,42 oC untuk suhu di luar kandang. Suhu di dalam dan di luar kandang pada siang dan sore hari tidak terdapat perbedaan secara signifikan yaitu: 33±0,60 °C dan 29±1,33 °C untuk suhu di dalam kandang, serta 33±0,85 °C dan 29±1,35 °C untuk suhu di luar kandang. Perbedaan suhu yang tidak terlalu signifikan tersebut disebabkan oleh kontruksi kandang yang kurang mendukung sebagai bangunan perkandangan untuk di daerah tropis, karena kandang dikelilingi oleh dinding, sehingga menghambat proses sirkulasi udara di dalam kandang.

(40)

18 74±5.40, 59±2.25, 74±6.30 (%) untuk kelembaban di luar kandang. Tingginya kelembaban di dalam kandang disebabkan karena terjadi penguapan amoniak dan uap air dari kotoran yang tertimbun di bawah kandang dan kurangnya sirkulasi udara baik di dalam kandang maupun di bawah kandang, sehingga terjadi akumulasi uap air yang terjebak di dalam kandang akibat dari kontruksi kadang yang kurang tepat.

Keadaan lingkungan tersebut kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien. Suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C dengan kelembaban udara dibawah 75% (Yousef, 1985). Kondisi tersebut mengakibatkan respon fisiologis domba selama penelitian meningkat, baik suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi domba. Rataan respon fisiologis domba pada waktu pengukuran tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Respon Fisiologis Domba pada Waktu Pengukuran

Parameter Waktu Pengukuran

Pagi Siang Sore

Suhu Rektal (°C) 38,1±0,26 38,7±0,15 38,7±0,19

Denyut Jantung (detak/menit) 88±7,72 89±5,06 94±3,86

Frekuensi Respirasi (hembusan/menit) 28±3,32 52±10,24 51±10,63

(41)

19

Gambar 4. Grafik Suhu Rektal Domba pada Waktu Pengukuran Berbeda

Denyut jantung domba meningkat dari pagi hari sebesar 88±7,72 detak/menit, menjadi 89±5,06 detak/menit pada siang hari dan 94±3,86 detak/menit pada sore hari (Tabel 4). Kondisi ini juga disebabkan karena terjadi peningkatan suhu lingkungan pada siang dan sore hari (Tabel 3). Terjadinya peningkatan suhu lingkungan tersebut menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.

85

(42)

20 Pengaruh faktor lingkungan tersebut juga meningkatkan frekuensi respirasi domba, dimana domba meningkatkan frekuensi respirasinya dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999). Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian, yaitu pada pagi hari sebesar 28±3,32 hembusan/menit meningkat menjadi 52±10,24 hembusan/menit pada siang hari dan 51±10,63 hembusan/menit pada sore hari (Tabel 4).

0

Berdasarkan data hasil analisis sampel bahan pakan yang digunakan selama penelitian, kandungan nutrisi yang terdapat pada kulit singkong secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan nutrisi rumput B. humidicola. Kandungan nutrisi pakan dari setiap ransum yang digunakan tersaji pada Tabel 4.

(43)

21 semakin banyak persentase pemberian kulit singkong dalam ransum, maka akan meningkatkan kandungan bahan kering, protein kasar, TDN dan BETN serta HCN, akan tetapi akan menurunkan kandungan lemak kasar, serat kasar dan abu dalam ransum tersebut. Meskipun secara umum penggunaan kulit singkong tersebut akan meningkatkan kandungan nutrisi ransum, akan tetapi kulit singkong mempunyai beberapa kelemahan antara lain sifat palatabilitas rendah dan adanya kandungan asam sianida (HCN) yang merupakan faktor pembatas dalam penggunaannya.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Komposisi

Keterangan : * Kandungan HCN dalam satuan mg HCN/kg berat segar;

* Total kandungan HCN: 440 mg/kg x jumlah pakan;

Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto, 1987). Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 (P1), 29,13 (P2) dan 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3).

(44)

22 kematian selama penelitian. Kondisi ini dapat dimungkinkan karena waktu penelitian yang tidak terlalu lama (2,5 bulan), sehingga pengaruh yang berbahaya tersebut terhadap konsumsi HCN belum tampak. Faktor lain yang menghambat munculnya pengaruh negatif yang berbahaya selama penelitian adalah adanya toleransi tubuh terhadap racun yang masuk.

Tubuh hewan pada umumnya mempunyai pertahanan terhadap bahan asing yang masuk kedalam tubuhnya. Resistensi tubuh ternak terutama ruminansia terhadap racun dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain : a) adanya detoksifikasi dalam rumen, terutama peranan dari mikrobanya; b) detoksifikasi metabolik yang biasanya terjadi pada hati secara alamiah, dan proses detoksifikasi ini dapat meningkat dengan adanya rangsangan (Bahri, 1987). Daya tahan tubuh domba terhadap senyawa sianida diduga dimulai dari dalam rumen. Pertahanan tubuh terhadap sianida sendiri diduga dapat terjadi melalui peningkatan metabolisme terhadap sianida tersebut.

Pengaruh Perlakuan Pakan Berbeda Terhadap Respon Fisiologis Domba

Respon fisiologis merupakan suatu tanggapan atau respon seekor ternak terhadap berbagai faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar, dimana rangkaian dari respon fisiologis tersebut akan mempengaruhi kondisi dalam tubuh ternak yang berkaitan dengan faktor cuaca, nutrisi dan manajemen (Awabien (2007). Pengaruh pemberian kulit singkong di dalam ransum terhadap respon fisiologis domba tersaji dalam Tabel 6, dan diuraikan pada bagian berikutnya.

Tabel 6. Rataan Respon Fisologis Domba

Parameter Ransum Rataan

P0 P1 P2 P3

Suhu Rektal (°C) 38,3±0,21 38,6±0,15 38,2±0,49 38,6±0,40 38,43±0,21 Denyut Jantung

(detak/menit) 84±3,61 93±1,73 95±7,64 89±10,97 90±4,86

Frekuensi Respirasi

(hembusan/menit) 42±0.58 55±14.36 39±8.54 37±12.70 43±8,10

Keterangan : *) P0 = 100% rumput P0 = 100% rumput BH + 0% kulit singkong; P1 = 80% rumput

(45)

23

Suhu Rektal Domba

Penambahan kulit singkong dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap suhu rektal domba selama penelitian (P>0,05). Suhu rektal domba rata-rata selama penelitian adalah 38.3±0.21°C (P0), 38.6±0.15°C (P1), 38.2±0.49°C (P2) dan 38.6±0.40°C (P3) seperti yang tersaji dalam Tabel 6. Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2 – 40 °C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Data hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa suhu rektal domba selama penelitian masih dalam batas normal. Suhu rektal adalah suatu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak (Edey, 1983).

Menurut Baillie (1988), menjelaskan bahwa variasi temperatur tubuh dapat terjadi karena berbagai pengaruh seperti usia, jenis kelamin, kondisi hari, aktivitas makan, minum, latihan dan stress. Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa suhu rektal domba kurang dipengaruhi oleh pemberian ransum, akan tetapi dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh kondisi hari dan faktor lain tersebut.

38.0

(46)

24 Hasil rataan denyut jantung domba selama penelitian lebih tinggi dibanding dengan kisaran denyut jantung domba normal yang dikemukakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu antara 70-80 kali tiap menit. Tingginya denyut jantung domba tersebut dikarenakan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung, dimana temperatur rata-rata lingkungan di dalam kandang adalah 29°C dengan kelembaban 76%. Yousef (1985) menjelaskan bahwa suhu dan kelembaban udara yang optimum bagi ternak untuk berproduksi di daerah tropis adalah 4°C – 24°C dengan kelembaban udara dibawah 75%.

Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi menyebabkan denyut jantung meningkat dalam upaya domba untuk dapat mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi, sehingga suhu tubuh tetap dalam batas normal. Edey (1983) menjelaskan bahwa peningkatan laju denyut jantung yang tajam terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan.

78

Gambar 8. Grafik Denyut Jantung Domba

(47)

25 Semakin meningkatnya persentase kulit singkong dalam ransum akan meningkatkan kandungan HCN dalam ransum tersebut. Jumlah HCN dari kulit singkong yang dikonsumsi oleh domba adalah 14,51 mg/kg bobot badan/hari (P1), 29,13 mg/kg bobot badan/hari (P2), 37,44 mg/kg bobot badan/hari (P3). Dosis letal HCN untuk domba berkisar dari 2,5-4,5 mg/kg bobot badan/hari, tetapi apabila domba merumput dapat tahan pada 15-20 mg HCN/kg bobot badan/hari (Sudaryanto, 1987).

Penjelasan tersebut memberi gambaran bahwa rataan kandungan HCN pada ransum melebihi batas kemampuan domba untuk menerimanya, sehingga hal tersebut dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Keberadaan HCN di dalam tubuh dapat mengganggu transpor elektron yang dapat menyebabkan terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu (Sudaryanto, 1987). Terjadinya reduksi oksigen tersebut akan mengakibatkan berkurangnya asupan oksigen kedalam jantung, sehingga proses detak jantung dan sistem sirkulasi menjadi terganggu, dimana fungsi dari jantung adalah memompakan darah keseluruh tubuh. Darah dapat membawa O2 keseluruh tubuh dan berbagai zat yang diabsorbsi, serta

membawa CO2 ke paru-paru dan hasil metabolisme lain ke ginjal (Ganong, 2002).

Vough dan Cassel (2006) menambahkan bahwa secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Terganggunya sistem sirkulasi tersebut akan menggangu transport nutrien ke dalam jaringan-jaringan tubuh, sehingga asupan nutrien akan terhambat yang akan mengakibatkan terhambat pula proses pertumbuhan ternak domba tersebut.

(48)

26 P1, P2 dan P3. Parakkasi (1998), menyebutkan bahwa salah satu penggunaan energi netto adalah untuk hidup pokok yang diantaranya digunakan untuk aktivitas (tanpa kehendak).

Kandungan energi dalam ransum tersebut kemungkinan mengakibatkan domba selain P0 lebih banyak aktivitas tanpa kehendak sehingga dapat berpengaruh terhadap denyut jantung domba. Pernyataan ini diperkuat dengan data dari saudara R. Wicaksono yang meneliti tentang tingkah laku domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu peubahnya adalah tingkah laku agonistik.

Menurut data yang diperoleh dari hasil penelitian mengenai tingkah laku domba selama penelitian ini berlangsung, yang belum dipublikasikan oleh saudara R. Wicaksono menjelaskan bahwa domba dengan Perlakuan P3 lebih banyak melakukan tingkah laku agonistik dengan rataan sebesar 2,53%, kemudian domba dengan perlakuan P2 sebesar 0,09% dan domba dengan perlakuan P1 dan P0 masing-masing sebesar 0 %. Data tingkah laku agonistik tersebut diperoleh dari hasil pencatatan yang dihitung berasarkan proporsi frekuensi yang terjadi selama interval tertentu dengan membagi jumlah perilaku yang teramati dalam interval dengan jumlah perilaku keseluruhan. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan selama sembilan hari pengamatan. Pembagian waktu pengamatan dilakukan dengan interval waktu 60 menit dalam dua jam pengamatan. Per ekor domba dilakukan selama 5 menit. Sisa waktu (60 menit) digunakan untuk istirahat bagi peneliti. Metode pengamatan yang digunakan yaitu metode intensitas perilaku.

(49)

27 telah disebutkan sebelumnya, seharusnya bukan domba P2 yang memiliki laju denyut jantung tertinggi melainkan domba P3, karena domba P3 mendapatkan persentase jumlah HCN lebih besar dalam ransumnya dibanding pada domba perlakuan P0, P1 dan P2, serta lebih banyak melakukan aktivitas tanpa kehendak (tingkah laku agonistik). Hal ini dapat ditelusuri dari kondisi dan keadaan ternak selama penelitian.

Selama penelitian berlangsung terdapat beberapa domba yang sakit, seperti sakit mulut (orf), mata dan mencret. Jumlah domba yang sakit lebih banyak pada domba P1 dan P2 yaitu sebanyak dua ekor, sedangkan domba P0 dan P3 masing-masing satu ekor. Hal ini diduga akan menggangu kondisi dari ternak-ternak tersebut, dimana domba akan terganggu sistem metabolismenya sehingga akan turut menggangu terhadap respon fisiologis domba-domba yang sakit tersebut dan dapat mangakibatkan meningkatnya denyut jantung domba. Denyut jantung yang meningkat pada domba-domba yang sakit tersebut akan mempengaruhi rataan denyut jantung dari setiap kelompok perlakukan secara keseluruhan. Apabila dilihat dari jumlah domba-domba yang sakit pada setiap kelompok perlakuan, maka dapat dikatakan bahwa domba P1 dan P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi. Penjelasan tersebut selaras dengan hasil rataan denyut jantung yang menyebutkan bahwa domba P2 memiliki rataan denyut jantung tertinggi, yaitu sebesar 95±7,64 detak/menit, kemudian P1 sebesar 93±1,73 detak/menit dan P1 sebesar 93±1,73 detak/menit serta yang terendah P0 sebesar 84±3,61 detak/menit.

Frekuensi Respirasi Domba

Hasil rata–rata frekuensi respirasi domba selama penelitian adalah 42±0.58 hembusan/ menit (P0), 55±14.36 hembusan/ menit (P1), 39±8.54 hembusan/ menit (P2) dan 37±12.70 hembusan/ menit (P3). Rataan frekuensi respirasi domba tersaji pada Tabel 6. Hasil data frekuensi respirasi selama penelitian tidak dipengaruhi oleh pemberian ransum (P>0,05).

(50)

28 yang dapat mengakibatkan domba banyak melakukan aktivitas (tanpa kehendak), sehingga dapat meningkatkan frekuensi respirasi. Selain itu, faktor lingkungan yang kurang mendukung bagi kelangsungan hidup ternak domba secara efisien juga berpengaruh terhadap rataan frekuensi respirasi domba yang dihasilkan.

Kandungan zat anti nutrisi yang terdapat di dalam kulit singkong yaitu HCN berbahaya bagi sistem pernapasan. Bahri (1987) menjelaskan bahwa secara alamiah sianida masuk ke dalam peredaran darah tubuh dapat melalui beberapa rute. Biasanya senyawa sianida masuk melalui mulut bersama makanan. Ion sianida di dalam saluran pencernaan mudah diabsorbsi dan didistribusikan ke dalam darah, hati, ginjal, otak dan lain-lain. Absorbsi sianida melalui kulit dan pernapasan dapat menyebabkan keracunan apabila diberikan dalam waktu lama.

Isnaeni (2006) mengatakan bahwa dalam darah terdapat pigmen respirasi yang memiliki afinitas atau daya gabung tinggi terhadap oksigen. Keberadaan pigmen respirasi dalam darah atau cairan tubuh benar-benar dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen secara bermakna. Sebagai contoh pigmen respirasi yang terdapat dalam darah mamalia adalah hemoglobin, dimana keberadaan pigmen hemoglobin tersebut dapat meningkatkan kapasitas pengangkutan O2 oleh darah

sebesar 20 kali lipat sehingga setiap 100 ml darah dapat membawa 20 ml oksigen. Tanpa hemoglobin, darah hanya dapat mengangkut oksigen sebanyak 1 ml per 100 ml darah. Hemoglobin (biasa disingkat Hb) tersusun atas senyawa porfirin besi (hemin) yang berikatan dengan protein globin. Oksigen akan berikatan dengan hemin, tepatnya pada Fe++ yang terdapat pada pusat gugus tersebut.

Keberadaan HCN di dalam pakan yang masuk kedalam saluran pencernaan ternak dalam bentuk ion sianida (hasil hidrolisis senyawa glukosida sianogenat dihasilkan sianida bebas). Ion sianida tersebut akan diabsorsikan dan didistribusikan kedalam darah. Ion sianida ini lebih reaktif dalam mengikat Hb dibandingkan dengan CO2 dan O2, sehingga akan mengganggu transpor elektron yang akan mengakibatkan

terjadi reduksi oksigen sehingga pernafasan atau oksidasi sel terganggu.

(51)

29 pengurangan pangangkutan oksigen dalam darah secara signifikan sehingga akan berpengaruh terhadap sistem respirasi ternak tersebut, dimana frekuensi respirasi akan meningkat. Menurut Vough dan Cassel (2006), secara spesifik asam sianida bergabung dengan hemoglobin menjadi cyanoglobin yang tidak dapat membawa oksigen. Racun sianida tersebut meningkatkan respirasi dan juga denyut jantung pada ternak. Selain itu, pembuangan CO2 dan pemasokan O2 harus sesuai dengan

kebutuhan tubuh hewan, yang dari waktu ke waktu dapat sangat bervariasi. Kebutuhan O2 dan pembentukan CO2 meningkat pada saat laju metabolisme

meningkat. Apabila pada saat tersebut darah tidak mengandung cukup O2 untuk

memenuhi kebutuhannya, hewan akan mengalami kondisi hipoksia atau bahkan

asfiksia (keadaan tidak terdapat oksigen dalam jaringan tubuh) (Ganong, 2002). Kecenderungan peningkatan frekuensi respirasi selain diakibatkan oleh pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, juga disebabkan oleh kandungan energi pakan dalam ransum. Kandungan energi pakan dalam ransum meningkat dengan semakin besarnya persentase pemberian kulit singkong dalam ransum. Peningkatan konsumsi energi nyata meningkatkan laju pernapasan. Semakin tinggi level konsumsi energi dan protein, maka laju pernapasan semakin tinggi. Peningkatan konsumsi energi dan protein akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan oksigen, karena terjadinya peningkatan metabolisme pada tubuh hewan. Peningkatan kebutuhan oksigen harus diimbangi dengan peningkatan pernapasan sehingga proses-proses tubuh berjalan normal (Ali, 1999). Selain itu, konsumsi energi yang semakin besar dari P1 hingga P3 mengakibatkan domba lebih banyak beraktivitas (tanpa kehendak) seperti disebutkan oleh Parakkasi (1998) pada pembahasan sebelumnya, dimana energi netto digunakan ternak untuk hidup pokok yang salah satunya adalah beraktivitas (tanpa kehendak). Sehingga hal ini juga dapat menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan frekuensi respirasi domba.

(52)

30 dalam upaya mengimbangi suhu lingkungan yang tinggi. Pelepasan panas pada waktu suhu tinggi di siang hari akan efektif dengan cara pelepasan panas melalui evaporasi, dalam hal ini yaitu dengan peningkatan laju respirasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan panas melalui pernapasan (Ali, 1999).

Pengaruh HCN dan energi dalam ransum serta faktor lingkungan tersebut yang menyebabkan rataan frekuensi respirasi domba selama penelitian tinggi yaitu 43±8,10 hembusan/menit. Rataan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan frekuensi respirasi domba menurut Frandson (1992) yang berkisar pada 19 hembusan/menit.

Terganggunya sistem respirasi tersebut, akan menggangu proses penyerapan dan penggunaan O2 serta pengeluaran dan pembentukan CO2. Apabila proses

transport O2 dan CO2 terganggu, maka akan berdampak pada terganggunya kinerja

sel-sel tubuh, karena proses respirasi merupakan suatu proses penggunaan O2 dan

pembentukan CO2 oleh sel-sel tubuh. Apabila hal tersebut terjadi, makan sel-sel

tubuh tidak akan bekerja secara optimal, sehingga pertumbuhan ternak pun juga tidak akan berjalan secara optimal. Selain itu, jalan napas yang menghubungkan lingkungan luar dengan alveoli berfungsi lebih dari sekedar menyalurkan udara. Bagian tersebut melembabkan serta mendinginkan atau memanaskan udara inspirasi sehingga suhu udara pernapasan yang sangat panas atau sangat dingin akan mendekati atau sama dengan suhu tubuh saat mencapai alveoli (Ganong, 2002). Sehingga apabila proses tersebut terganggu, maka akan berpengaruh terhadap proses pengendalian suhu udara pernapasan di dalam tubuh.

(53)

31

Gambar 9. Grafik Frekuensi Respirasi Domba

Pengaruh negatif dari adanya ion sianida tersebut dapat diminimalisir dengan cara menjerat/mengikat sianida dengan asam amino yang mengandung unsur S yaitu metionin dan sistein yang terdapat dalam protein. Apabila di dalam tubuh ternak terdapat asam amino yang mengandung unsur S, maka asam sianida akan langsung dinetralkan oleh sulfur (-S) sehingga terbentuk ion tiosianat. Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva (Bahri, 1987). Sehingga diperlukannya pakan tambahan yang mengandung protein secara mencukupi agar dapat menetralisir kandungan asam sianida dalam kulit singkong tersebut.

Sebagian sianida mengalami detoksifikasi di dalam rumen dan sebagian besar lainnya diabsorbsi dan mulai mengalami detoksifikasi atau degradasi di dalam tubuh. Detoksifikasi sianida menjadi tiosianat dengan menggunakan enzim rodanese memerlukan donor sulfur dalam bentuk tiosulfat yang dapat berasal dari asam amino sistein, tiosulfonat dan lain sebagainya, dengan reaksi sebagai berikut :

HCN + Na2S2O2 HSCN + Na2SO3

Selain itu transaminasi atau deaminasi dari asam amino sistein akan terbentuk asam 3-merkaptopiruvat (SHCH3.COCOOH) yang juga merupakan donor sulfur untuk

(54)

32 Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa jalur metabolisme yang paling banyak diteliti adalah dengan cara kombinasi dengan tiosulfat untuk membentuk tiosianat dan sulfit. Tiosianat yang terbentuk akan dikeluarkan dalam urin dan juga saliva.

Uraian diatas menjelaskan bahwa betapa pentingnya asam amino sistein dalam mendetoksifikasi sianida dalam tubuh, dimana asam amino ini berasal dari protein yang terdapat dalam pakan. Menurut data dari saudara Hermawan (2009) yang meneliti tentang performa domba dengan perlakuan tersebut, yang salah satu peubahnya adalah konsumsi protein kasar menyebutkan bahwa total konsumsi protein kasar domba P0 sebesar 45,03±2,13 g/ekor/hari, domba P1 sebesar 48,95±3,83 g/ekor/hari, domba P2 sebesar 57,72±6,70 g/ekor/hari dan domba P3 sebesar 55,84±6,81 g/ekor/hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa konsumsi protein kasar yang lebih banyak pada domba P2 dan P3 dapat membantu menetralisir pengaruh negatif dari adanya HCN dalam ransum, sehingga frekuensi respirasi semakin menurun.

(55)
(56)

34

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan berbagai level kulit singkong dalam ransum ternak domba ekor tipis jantan yang berumur kurang dari satu tahun selama dua bulan masa pemeliharaan tidak mempengaruhi respon fisiologis domba tersebut seperti suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi. Penggunaan kulit singkong hingga 60% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap respon fisiologis, akan tetapi terdapat kecenderungan terjadi peningkatan respon fisiologis domba tersebut. Penggunaan kulit singkong dapat direkomendasikan sebagai pakan pengganti konsentrat dalam usaha penggemukan ternak khususnya domba, akan tetapi perlu adanya pengurangan kadar HCN dalam kulit singkong secara maksimal sehingga lebih aman dalam penggunaannya.

Saran

(57)

35

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur dan sembah sujud Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas nikmat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini, ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta yang dengan kesabaran dan ketulusan hatinya selalu memberikan dorongan baik berupa materil, kasih sayang dan doa, serta adik tersayang, Niken yang telah memberikan semangat dan doanya.

2. Dr. Ir. Mohamad Yamin, MAgrSc. dan Ir. Sri Rahayu, M.Si. sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing, memberi motivasi dan masukan berarti bagi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Asnath M, Fuah, MS sebagai dosen pembimbing akademik selama menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan semangat dan motivasi.

4. Ir. Maman Duldjaman, MS dan Dr. Ir. Didit Diapari, MS serta Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgrSc sebagai dosen penguji sidang, yang telah memberikan banyak masukan bagi penulis dalam penyelesaian tugas akhir.

5. Teman-teman seperjuangan (M.U, Alwi, Panji, Aidil, Rudi, Aish dan Mulya), terima kasih atas kebersamaan, kerja sama dan dukungannya.

6. Rekan-rekan kandang dan pihak yang telah membantu selama penelitian (Haer, Pak Arif) serta keluarga Mas Budi (Mbak Aisah, Mbak Lina, Mang Idra dan Mas Tono) yang telah memberikan sumbangsih besar bagi kelancaran penelitian ini.

7. Sahabatku tercinta (Hendro, Lidi, Maman) yang teramat berarti bagi Penulis, terima kasih atas semua kasih sayang, dukungan dan doa yang kalian berikan.

8. Spesial untuk Putri, yang banyak membantu dan sangat berarti bagi penulis.

9. Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan IPTP 42. Mudah-mudahan kebersamaan selama ini menjadi kenangan yang berharga.

10. Teman-teman satu tempat tinggal (karjo, andi, reky, hendro, panji, hafidz, alwi,

dan yang tidak disebutkan) terima kasih untuk kebersamaannya.

Bogor, Juli 2009

Gambar

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Kulit Singkong Bagian Dalam
Gambar 1. Contoh Domba yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 2. (a) Termometer Basah dan Kering; (b) Kandang; (c) Timbangan
Gambar 3. (a) Kulit Singkong; (b) Rumput Brachiaria humidicola
+7

Referensi

Dokumen terkait

Respon fisiologis domba ekor tipis yang diberi pakan dengan waktu pemberian pakan yang berbeda menunjukkan bahwa denyut jantung, laju respirasi dan suhu rektal masih

Domba ekor tipis dengan genotipe calpastatin MM memiliki panjang badan, dalam dada, lingkar dada dan lebar pinggul, persentase bagian neck, persentase kelompok

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji performa domba ekor tipis jantan dan domba garut jantan yang diberi perlakuan pakan rumput dengan konsentrat serta rumput

Bobot badan ternak domba ekor tipis jantan muda yang diberi pakan dengan level dan sumber protein yang berbeda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05), sehingga

Domba Ekor Tipis termasuk ternak yang telah lama dipelihara oleh peternak karena domba ini memiliki toleransi tinggi terhadap bermacam-macam hijauan pakan ternak serta daya

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Domba ekor tipis dengan bobot badan awal 10,01-15,00 kg memiliki kemampuan produksi yang paling baik selama proses penggemukan dengan

Kualitas daging domba garut dan ekor tipis muda yang diberi ransum limbah tauge pada umur yang sama secara umum tidak memiliki perbedaan pada peubah seperti pH, DMA,

RESPON FISIOLOGIS DOMBA EKOR TIPIS DAN GARUT DENGAN PEMBERIAN PAKAN KONSENTRAT DAN LIMBAH TAUGE The Physiological Response of Javanese Thin Tailed Sheep and Garut Sheep Fed By