DALAM PROSES GANTI KULIT DAN KONSEKUENSINYA
BAGI PERTUMBUHAN UDANG GALAH
Macrobrachium rosenbergii de Man
AZAM BACHUR ZAIDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
BO G O R IN
ST ITU
T PERTA
N
IA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “ Pendayagunaan Kalsium Media Perairan dalam Proses Ganti Kulit dan Konsekuensinya Bagi Pertumbuhan Udang Galah”, adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
AZAM BACHUR ZAIDY. Pendayagunaan kalsium media perairan dalam proses ganti kulit dan konsekuensinya bagi pertumbuhan udang galah (Macrobrachiumrosenbergii de Man). Di bawah bimbingan RIDWAN AFFANDI, BAMBANG KIRANADI, KARDIYO PRAPTOKARDIYO dan WASMEN MANALU.
Produksi udang galah di beberapa lokasi kolam ditemukan rendah, hal ini karena ketersediaan kalsium lingkungan yang rendah. Kalsium digunakan untuk proses pengerasan kulit pada fase postmolt. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pendayagunaan kapur sebagai sumber kalsium dalam proses peningkatan kadar kalsium kulit dan lama waktu postmolt, serta konsekuensinya bagi pertumbuhan udang. Desain percobaan tahap 1 dan 2 menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dosis penambahan Ca(OH)2 sebanyak 0 mg/L, 15 mg/L, 30 mg/L, 45 mg/L, dan 60 mg/L, dan 3
ulangan. Penelitian tahap 3 dengan perlakuan penambahan Ca(OH)2 0, 30, dan 60 mg/L.
Parameter yang diukur meliputi fisika kimia air, kadar kalsium kulit, lama waktu postmolt, tingkat konsumsi pakan, laju pertumbuhan, pertumbuhan biomas dan efisiensi pemanfaataan pakan. Pengggunaan Ca(OH)2 sebanyak 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L
mampu meningkatkan kadar kalsium kulit pada tahap postmolting 20 hari. Penggunaan Ca(OH)2 sebanyak 30 dan 45 mg/L mampu mempercepat lama waktu
postmolt, selanjutnya lebih dari 45 mg/L menghambat lama waktu postmolt. Penggunaan Ca(OH)2 15, 30, dan 45 mg/L mampu meningkatkan konsumsi pakan
harian, mencapai maksiumum pada 45 mg/L selanjutnya menurun pada 60 mg/L. Keberadaan dan perubahan kadar Ca(OH)2 kulit antarperlakuan pada setiap siklus molting meningkat dan mantap untuk siklus molting 1, 2, dan 3. Penggunaan Ca(OH)2 selama 3 siklus molting berimplikasi lanjut pada konsumsi pakan harian,
mulai meningkat pada penambahan Ca(OH)2 15 mg/L, mencapai maksimum pada
penambahan Ca(OH)2 45 mg/L, dan selanjutnya menurun pada penambahan
Ca(OH)2 60 mg/L. Laju pertumbuhan individu pada penambahan Ca(OH)2 0, 15,
30, 45, dan 60 mg/L adalah 0.006, 0.010, 0.010, 0.012, dan 0.009. Efisiensi pemanfaatan pakan, mencapai maksimal pada penambahan Ca(OH)2 sebanyak 15
mg/L selanjutnya menurun pada 30, 45 dan 60 mg/L. Peningkatan biomas maksimum pada perlakuan penambahan Ca(OH)2 0, 30, dan 60 mg/L tercapai
pada hari ke 28, 35, dan 25. Setelah biomas maksimum tingkat pemanfaatan pakan mulai menurun terutama pada penambahan Ca(OH)2 0 dan 60 mg/L.
Dengan demikian penggunan Ca(OH)2 sebanyak 30 mg/L mampu mempercepat
lama waktu postmolt yang berimplikasi pada peningkatan rataan konsumsi pakan harian sehingga meningkatkan laju pertumbuhan individu dan biomas udang. Dari hasil penelitian ini diharapkan aplikasi penggunaan Ca(OH)2 untuk mempercepat
proses ganti kulit udang yang berimplikasi terhadap pertumbuhan udang, dengan memperhatikan kualitas air, khususnya pH dan alkalinitas.
molting proccess and its consequence on giant freshwater prawn growth rate (Macrobrachiumrosenbergii de Man). Under the direction of RIDWAN AFFANDI, BAMBANG KIRANADI, KARDIYO PRAPTOKARDIYO and WASMEN MANALU.
The Production of freshwater prawn in several pond cultures are very low due to the low availability of Ca2+ in water. Calcium has a rate in the deposition of carapace after molting. The objectives of this research is to study the addition of calcium in the media for molting proccess and its consequence on the growth of the giant fresh water prawn.. The experiment used complete randomized design with five treatments of different of Ca(OH)2 : (0 , 15 , 30 , 45, and 60 mg/L), concentration. Each treatments has three
replication . The parameters measured were the concentration calcium of exoskeleton, the period of post molt, molting cycle, daily feed consumption, total feed consumption, growth rate, and feed efficiency. Supplementations of 15-60 mg/L has increased the concentration of the media (25.51-35.22 mg/L) compared to the control (18.53 mg/L). Calcium contents of the exoskeleton were found to be different amongs the levels of Ca(OH)2 addition (0-60 mg/L) until 20 days postmolt, except on molting. Duration of
postmolt of the giant freshwater prawns supplemented with 0. 15, 30, 45, and 60 mg/L were 17, 15, 12, 13 and 15 days, respectively. The average of daily feed consumptions since 8 days postmolt until 2 nd was found to be higher in the group wih supplementation of Ca(OH)2 of 15 and maximum at 45 mg/L. In comparised the addition of 0 and 15
mg/L Ca(OH)2 supplementing with 30, 45 and 60 mg/L Ca (OH)2 increased the calcium
level in exoskeleton on the 2nd and 3nd cycles at 8 days postmolt time. The growth rate in the prawn suplemented with Ca(OH)2 of 0, 15, 30, 45, and 60 mg/L were 0.006, 0.010,
0.010, 0.12, and 0.009 Biomass growth in the prawn supplemented with Ca(OH)2 30 and
60 mg/L were higher than control. The feed efficiency in the prawn supplemented with 0, 15, 30, 45, and 60 mg/L were 27.00, 40.45, 30.30, 28.20, and 26.90%. The first and the second molting cycles of fresh water prawn supplement with 30, 45, and 60 mg/L Ca (OH)2 were faster than those supplemented with 0 and 15 mg/L However, on the third
cycle, there was no difference in the molting cycles among treatments. The results of this experiment recomonded that supplementation of 30 mg/L Ca(OH)2 in the aquatic media
improved growth rate and feed efficiency of freshwater giant prawn.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi undang-undang
1.Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah
b.Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Macrobrachium rosenbergii de Man
AZAM BACHUR ZAIDY
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Dr. Ir. Etty Riani
Nama Mahasiswa : Azam Bachur Zaidy
Nomor Pokok : P 19600009
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Drs. Bambang Kiranadi, M.Sc, PhD
Ketua Anggota
Dr. Ir. Kardiyo Praptokardiyo Prof. Wasmen Manalu, Ph.D
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga desertasi ini dapat diselesaikan.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang diwujudkan dalam bentuk suatu
disertasi. Isi disertasi meliputi : latar belakang, identifikasi masalah, kerangka
pemikiran, perumusan konsepsi, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan.
Atas bimbingan yang diberikan dalam penyelesaian disertasi ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Ridwan Affandi,
selaku Ketua, dengan anggota : Dr. Bambang Kiranadi, Dr. Ir. Kardio
Praptokardiyo dan Prof. Wasmen Manalu PhD. Ucapan terima kasih kepada
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
IPB, dan Ketua Program Studi Ilmu Perairan IPB yang telah memberikan arahan
selama penulis mengikuti pendidikan Program S-3. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Dr. Ir. Etty Riani sebagai penguji luar komisi pada ujian
tertutup serta Dr. Ir. Endhay Kusnendar MS dan Dr. Ir. Eddy Supriyono sebagai
penguji luar komisi pada ujian terbuka.
Ucapan terima kasih kepada Ketua Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian
Bogor, Departemen Pertanian dan Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta,
Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan kesempatan dan ijin
belajar mengikuti Program S-3 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan,
mulai dari perencanaan, persiapan, pelaksanaan, pengolahan data, dan penulisan
hasil penelitian, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih.
Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2007
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Juni 1958 di Jepara, Jawa Tengah, dari
pasangan Muzaid (almarhum) dan Muchanah (almarhum). Pendidikan sarjana
ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan IPB, lulus
tahun 1983. Pada tahun 1987, penulis diterima sebagai mahasiswa program
magister sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana IPB dan
lulus pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan studi program doktor
pada perguruan tinggi dan program studi yang sama pada tahun 2001.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar sejak tahun 1983 di Sekolah Tinggi
Penyuluhan Pertanian Bogor, Jurusan Penyuluhan Perikanan. Selama menjadi
tenaga pengajar, penulis juga ditugaskan pada institusi pendidikan tersebut
sebagai Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat antara tahun
1994-1996, Ketua Jurusan Penyuluhan Perikanan antara tahun 1997-2001 dan
Pembantu Ketua Bidang Administrasi Umum 2003-2005. Sampai saat ini penulis
menjadi tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Perikanan dan aktif melakukan
pemberdayaan masyarakat perikanan di berbagai daerah kabupaten/kota.
Penulis menikah dengan Nayu Nurmalia MSi dan dikaruniai 2 anak, yaitu
i
Identifikasi Perumusan Masalah ... 1
Tujuan dan Manfaat ... 3
Lapisan Kulit dan Komponen Pembentuknya ... 7
Proses Molting Udang ... 9
Pengambilan Kalsium dari Air ke dalam Tubuh Udang ... 13
Dinamika Kalsium di Lingkungan ... 17
Lingkungan ... 18
Kesadahan dan Alkalinitas ... 18
Suhu Air ... 19
Salinitas ... 19
Oksigen Terlarut ... 19
METODE PENELITIAN... 21
Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Ruang Lingkup Penelitian ... 21
ii Konsekuensi Penggunaan Kapur pada Lama Waktu
Siklus Molting, Tingkat Konsumsi Pakan dan
Pertumbuhan Udang Galah ... 25
Pengaruh Penggunaan Kapur pada Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Biomas Udang Galah ... 29
Pengaruh Penggunaan Kapur pada Laju Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan Lama Waktu Postmolt Udang Galah ... 33
Kualitas Air ... 33
Molting Udang ... 35
Periode Postmolt ... 37
Konsumsi Pakan Harian ... 38
Konsekuensi Penggunaan Kapur pada Siklus Molting, Tingkat Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Udang Galah ... 39
Pengaruh Penggunaan Kapur pada Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Biomas Udang Galah ... 47
iii
Pertumbuhan Individu dan Biomas ... 49
Peningkatan Biomas ... 50
Konsumsi Pakan ... 52
PEMBAHASAN ... 54
Lama Waktu Molting dan Kekerasan Kulit ... 54
Laju Pertumbuhan Individu ... 56
Peningkatan Biomas ... 57
Konsumsi Pakan ... 58
SIMPULAN DAN SARAN ... 60
Simpulan ... 60
Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
iv DAFTAR TABEL
Halaman
1. Ciri-ciri Bagian-Bagian Kulit Dekapoda ... 9
2. Stadia Intermolt Golongan Kepiting (modifikasi) ... 10
3. Natrium, Kalium, dan Kalsium yang terkandung dalam jaringan metapenaeus pada fase intermolt, dengan satuan meq/liter dalam darah dan meq/kg berat kering jaringan ... 13
4. Komposisi mineral kulit kepiting intermolt ... 14
5. Parameter kualitas air dan udang serta metode pengukuran ... 23
6. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran penelitian tahap I ... 25
7. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran penelitian tahap II ... 28
8. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran penelitian tahap III ... 31
9. Nilai rataan parameter fisik dan kimia air selama percobaan I ... 34
10.Rataan kadar kalsium kulit setiap tahap ganti kulit ... 36
11.Perkiraan lama waktu postmolt dan intermolt ... 37
12.Rataan konsumsi pakan harian percobaan I ... 38
13.Nilai rataan parameter fisik dan kimia air selama percobaan II... 40
14.Rataan kadar kalsium kulit postmolt 2 dan 8 hari ... 42
15.Rataan konsumsi pakan harian pada postmolt dan intermolt ... 43
16.Total konsumsi pakan pada postmolt dan intermolt ... 44
17.Rataan lama waktu siklus molting 1, 2, dan 3 ... 46
18.Nilai rataan parameter fisik dan kimia air selama percobaan III ... 48
19.Peningkatan biomas udang setiap 10 hari ... 50
20.Rataan konsumsi pakan harian percobaan III ... 52
v DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram Alir Pendekatan Kajian Pendayagunaan Kalsium dalam Media Perairan pada Lama Waktu Pergantian dan Laju Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan Konsekuensinya bagi
Pertumbuhan Udang Galah ... 5
2. Skema Perubahan Bobot Basah dan Bobot Kering Selama Siklus Molting ... 8
3. Total Kandungan Kalsium dalam Tubuh Kepiting Intermolt dan pada Postmolt ... 15
4. Hubungan antara Ca2+ yang Masuk ke dalam Tubuh Kepiting dan Ca2+ di Lingkungan ... 16
5. Transfer Kalsium antara Media, Tubuh, dan Kulit ... 36
6. Pertumbuhan Individu Udang ... 45
7. Laju Pertumbuhan Individu Udang ... 49
8. Bobot Biomas ... 50
vi DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Penelitian I ... 64
2. Nilai Rataan Parameter Fisik dan Kimia Air Selama Percobaan I ... 69
3. Uji Statistik Kadar Kalsium Kulit Udang pada Penelitian I ... 71
4. Uji Statsitik Rataan Tingkat Konsumsi Pakan Harian pada Penelitian I ... 73
5. Data Penelitian II ... 75
6. Nilai Rataan Parameter Fisik dan Kimia Air Selama Percobaan II ... 85
7. Uji Statistik Rataan Kalsium Kulit Postmolting 2 dan 8 Hari (mg/g) ... 88
8. Uji Statistik Rataan Tingkat Konsumsi Pakan Harian pada Berbagai Proses Postmolt dan Intermolt... 90
9. Total Konsumsi Pakan pada Berbagai Proses Postmolt dan Intermolt ... 92
10.Data Penelitian III ... 94
11.Nilai Rataan Parameter Fisik dan Kimia Air Selama Percobaan III ... 100
12.Rataan Konsumsi Pakan Harian pada Penelitian III ... 102
13.Peningkatan Biomas Udang Setiap 10 Hari pada Penelitian III ... 104
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembenihan udang galah dan harga jual udang galah konsumsi
yang cukup tinggi (Rp. 40.000/kg) telah mendorong perkembangan pembesaran
udang galah. Pembesaran udang galah di berbagai tipe perairan tawar belum
memperhatikan pH dan alkalinitas perairan sehingga produksinya belum
memuaskan. Beberapa perairan tawar memiliki pH dan alkalinitas yang rendah
yang dapat menghambat pertumbuhan kulit udang sehingga menjadi tipis serta
lembek. Hal ini diduga disebabkan kadar kalsium di lingkungan yang rendah
sehingga proses pengerasan kulit terhambat.
Pertumbuhan udang merupakan lanjutan dari proses molting. Pada tahap
postmolt terjadi proses pengerasan kulit melalui pengendapan kalsium di kulit. Kebutuhan kalsium dapat dicukupi dari makanan dan dari lingkungan, namun
peran kalsium lingkungan sangat dominan dalam proses pengerasan kulit udang
(Greenway, 1974). Untuk fase pengerasan kulit udang, dibutuhkan kalsium yang
cukup tinggi (Frence, 1983). Pada saat premolt bahan kalsium yang diserap, disimpan dalam gastrolit, masuk ke saluran pencernaan dan seterusnya ke
hemolimf. Setelah molting, kalsium dari hemolimf digunakan untuk pengerasan eksoskeleton. Kalsium yang berasal dari hemolimf hanya dapat memenuhi sebesar
10% dari kebutuhan kalsium, sisanya diperoleh dari kalsium lingkungan
(Greenway, 1985). Terdapat hubungan yang positif antara kadar kalsium
hemolimf dan kadar kalsium lingkungan (Adegboye, 1983).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan kajian
pendayagunaan kapur sebagai sumber kalsium dalam mempercepat proses
postmolt, siklus molting, dan tingkat konsumsi pakan, serta konsekuensinya bagi pertumbuhan udang.
Perumusan Masalah
Budi daya udang galah di suatu perairan asam atau alkalis menghadapi
masalah, yaitu pertumbuhan lambat, keropos dengan kulit lembek. Pertumbuhan
harian turun karena proses pengerasan kulit lebih lama sehingga udang tidak
segera aktif makan. Sumber sebab pergantian kulit yang lama adalah ketersediaan
kalsium terlarut pada media lingkungan hidupnya tidak memadai dan atau terikat
dalam bentuk CaCO3.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ketersediaan kalsium terlarut
dalam media lingkungan perlu ditingkatkan sampai tingkat picu untuk menunjang
beberapa kali ganti kulit.
Pendekatan masalah kajian pendayagunaan kalsium dalam proses ganti
kulit udang galah tersajikan pada Gambar 1.
Fungsi produksi:
Y1 = f( X4, TM)/(X1, X3)
Y2 = f (Y2,1, X2.2,TA)/( X1, X3)
X2,1 = f( X2, TM) = α1X2
X2,2 = f( X2, TA) = α2X2
X2 = X2.1 + X2.2 = (α1 + α2)/X2
Keterangan:
Y1 = Kadar Ca kulit
Y2 = Pertumbuhan udang galah
X1 = Bobot udang
X2 = Pakan.
X2.1 = Konsumsi pakan sewaktu postmolt
X2.2 = Konsumsi pakan sewaktu intermolt
X3 = Kualitas air
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pendayagunaan kapur sebagai
sumber kalsium dalam proses peningkatan kadar kalsium kulit dan lama waktu
postmolt, serta konsekuensinya bagi pertumbuhan udang galah.
Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam pengkajian
teknologi dan pengelolaan budi daya udang galah dalam pengembangan lahan
asam.
Nilai guna laksana dari penelitian ini menjadi dasar bagi perencanaan dan
pengelolaan penggunaan kapur pada budi daya udang galah.
Konsep Pemecahan Masalah
Konsep Kerangka Teori
Pertumbuhan udang merupakan perpaduan serasi antara pertumbuhan
somatik biomas dengan proses pergantian kulit (molting) yang terjadi beberapa kali. Proses molting merupakan pelepasan kulit lama diganti dengan kulit baru yang lebih tipis dengan ukuran sesuai dengan tingkat pertumbuhan biomas. Sejak
pelepasan kulit lama, kadar kalsium kulit baru meningkat mencapai setingkat
premolt dan berlanjut sampai dengan proses molting berikutnya. Untuk menunjang proses molting tersebut, ketersediaan kalsium dalam media dan atau pakan perlu ditingkatkan. Pada budi daya udang yang menggunakan pakan
tertentu, peningkatan ketersediaan kalsium dapat dilakukan melalui penggunaan
kapur Ca(OH)2 dari media budi daya.
Prinsip Dasar
Prinsip dasar yang menjadi landasan penentuan dalam peramalan,
penerapan, dan pengendalian sistem pembesaran udang dilihat dari permasalahan
yang ada dapat dikelompokkan ke dalam dua hal, yaitu proses molting dan tingkat konsumsi makan. Lama waktu postmolt didorong lebih cepat dengan cara menyediakan media dengan kadar kalsium terlarut optimal sehingga proses
mempercepat udang mulai makan secara normal dan mempercepat pertumbuhan
somatik sehingga mempercepat siklus molting.
Peramalan yang terjadi pada prinsip ini adalah apabila proses molting
berjalan dengan cepat dan aktivitas makan dapat berjalan secara normal maka
pertumbuhan udang akan optimal.
Hipotesis
. Apabila penggunaan kapur Ca(OH)2 mampu mempercepat lama waktu
ganti kulit (postmolt) serta tingkat kekerasan kulit udang mantap berkelanjutan, menjelang akhir postmolt konsumsi pakan harian meningkat sehingga meningkatkan pertumbuhan individu udang galah dan berkonsekuensi lanjut pada
5 Gambar 1. Diagram Alir Pendekatan Kajian Pendayagunaan Kalsium dalam Media Perairan pada Lama Waktu Pergantian dan Laju
TINJAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan Udang
Pakan yang masuk ke dalam tubuh udang akan digunakan sebagai sumber
energi (metabolisme) untuk menggerakkan semua fungsi tubuh dan bahan untuk
pembangunan biomassa tubuh (anabolisme). Peningkatan biomassa udang
bergantung pada energi yang tersedia dalam tubuh udang dan ke mana energi
tersebut didistribusikan serta digunakan dalam tubuh. Pendekatan tradisional
konsumsi pakan, metabolisme, dan pertumbuhan dalam persamaan keseimbangan
termodinamika (Ivlev, 1939, Winberg, 1956 dalam Webb 1978).
p.QR = QM + QG
QR = Konsumsi pakan
QM = Metabolisme (katabolisme)
QG = Pertumbuhan (anabolisme)
p = Proporsi pakan yang dikonsumsi untuk diasimilasi
Distribusi energi dalam tubuh organisme (Brett, 1970 dan Warren, 1971
dalam Webb, 1978)
QR – (QF + QN) = QS + QL + QSDA + QG + QP
QF = Energi yang hilang lewat kotoran
QN = Energi yang hilang lewat ekskresi (nitrogen)
QS = Metabolisme standar
QL = Energi untuk aktivitas metabolisme
QSDA = Aksi dinamik spesifik
Pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara
proses perubahan struktur melalui metamorfosis dan ganti kulit, serta peningkatan
biomas sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi masa tubuh
udang. Pertumbuhan udang umumnya bersifat diskontinu karena setiap ganti kulit
sebagian masa hilang sebagai eksuvia (Allen, et al, 1984). Secara skematik, representasi perubahan berat basah dan berat kering selama siklus molting
disajikan pada Gambar 2.
Pertumbuhan udang galah dipengaruhi oleh jenis kelamin dan berbagai
variabel lainnya. Laju pertumbuhan udang jantan dan betina adalah sama. Pada
saat udang betina membutuhkan energi untuk pembentukan ovari, pertumbuhan
udang betina lebih lambat. Sampai ukuran 17 g, pertumbuhan udang jantan dan
betina sama, dan perbedaan laju pertumbuhan baru terlihat pada ukuran di atas 25
g. Karena udang galah mempunyai variasi yang tinggi dalam pertumbuhan maka
disarankan adanya panen selektif untuk mengurangi kompetisi makanan, oksigen,
dan teritorial (Fujimura dan Okamoto, 1972 dalam Sendifer dan Smith, 1985). Di alam, udang galah tergolong omnivora, makan zooplankton (pada saat
larva), cacing, serangga, larva serangga, moluska renik dan krustase renik, bijian,
algae, dan tanaman air (Ling, 1969 dalam Sendifer dan Smith, 1985). Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari berkorelasi positif dengan pertumbuhan
(Shigueno, 1975). Pakan yang kandungan nutrisinya kurang akan dimakan lebih
banyak, sebaliknya ketika pakan mengandung nutrisi yang lebih tinggi, konsumsi
pakan akan menurun dan pertumbuhan udang akan lebih cepat. Untuk udang
Penaeus, ukuran konsumsi pakan adalah sebesar 2-4% per hari pada kondisi suhu
25oC dan memberikan hasil yang baik.
Lapisan Kulit dan Komponen Pembentuknya
Udang merupakan hewan krustase dari ordo Dekapoda yang permukaan
tubuhnya dilapisi oleh kulit yang dibentuk dari protein kompleks berupa khitin.
Selain itu, pada kulit krustase tersimpan kalsium karbonat yang berperan sebagai
pengeras kulit (Dennel 1960). Khitin sebagai komponen pembentuk kulit
B
e
r
a
t
Berat kering molt
molt
Waktu
Gambar 2. Skema perubahan bobot basah dan bobot kering selama siklus molting
molekul tinggi dan residunya dihubungkan dengan rantai eter α-glikosida pada
atom karbon nomor 1 dan 4. Kulit krustase terdiri atas eksokutikula, endokutikula,
dan lapisan membran. Epikutikula pada krustase tidak mengandung khitin dan
sedikit mengandung lipid. Konsekuensinya, eksoskeleton tidak kedap air, namun
lipoprotein mampu menahan air keluar. Dennel (1960) juga mengungkapkan
bahwa ada empat lapisan kulit dekapoda yang terdiri atas, epikutikula, lapisan
pigmen, lapisan berkalsium, dan lapisan tidak berkalsium. Lapisan epikutikula
tidak mengandung khitin, sedangkan lapisan lainnya mengandung khitin. Lapisan
yang mengandung khitin tersebut disebut pula endokutikula (Tabel 1).
Kandungan kalsium karbonat atau kalsit pada kulit udang merupakan faktor
penentu keras dan tidaknya eksoskeleton. Namun, menurut Lafon dalam Dannel (1960), di samping dalam bentuk kristal CaCO3, kalsit juga ditemukan dalam
bentuk amorf kulit krustase. Magnesium, fosfor, dan sulfat yang terkandung
dalam kulit proporsinya juga perlu mendapat perhatian karena menentukan
kekerasan kulit.
Berat basah
Tabel 1. Ciri-Ciri Bagian Kulit Dekapoda (Dennel, 1960)
Proses Molting pada Udang
Udang secara alamiah akan mengalami molting atau ganti kulit bila akan tumbuh. Menurut Dennel (1960), proses molting terdiri atas dua tahapan yang penting, yaitu melemahnya atau terputusnya lapisan dalam yang tua dan terlepas
dari epidermis. Tahapan kedua adalah tumbuhnya kulit baru yang elastik sehingga
memungkinkan udang tumbuh atau bertambah ukurannya.
Dalam kehidupannya, udang mempunyai beberapa fase yang secara
sederhana digambarkan oleh Passano (1960) sebagai fase premolt, molt, postmolt, dan intermolt. Fase intermolt merupakan interval antara satu molting dengan
molting berikutnya, yang di dalamnya terdapat stadia-stadia yang menggambarkan proses pengerasan kulit udang. Passano (1960) membagi fase ini menjadi stadia
A, B, C, D, dan E. Stadia E merupakan stadia molting yang menuju ke stadia A (Tabel 2).
Pada udang, stadia D menempati peran yang penting dibandingkan pada
kepiting karena berperan dalam proses pembentukan kulit (eksoskeleton) dan
pertumbuhan menjadi lambat. Hepatopankreas berperan membantu organ untuk
menumpuk cadangan mineral selama stadia C4 dan menyimpannya untuk
kemudian diserap kembali dari eksoskeleton selama stadia D. Mineral yang
disimpan sebagian besar berupa kalsium dan magnesium fosfat. Kation digunakan
Selama intermolt (C3 s/d D1), kandungan mineral pada hepatopankreas
mengalami penggandaan, pada kepiting jumlahnya 20-30% dari berat kering
hepatopankreas.
Tabel 2. Stadia intermolt golongan kepiting (modifikasi) Drach dalam
Passano (1960)
Stadia Nama Ciri-ciri Aktivitas
Makan/
Secara kontinyu menyerap air dan permukaan mineralisasi
Sedikit Tidak - 0,5
A2 Lemah Mineralisasi eksoskeleton (kulit
luar)
Sedikit Tidak 86 1,5
Stadia B
B1 Kulit tipis Ekskresi dari endokutikula
mulai
Dipertim-bangkan
Tidak 85 3,0
B2 Kulit tipis Pembentukan endokuti
kulamulai aktif
C3 Keras Perlengkapan eksoskeleton;
lapisan membran terbentuk
D0 Proecdysis Epidemis dan hepatopankreas
aktif
Penuh makan 60 10+?
D1 Proecdysis Epikutikula terbentuk dan
mulai terbentuk duri saraf
Penuh makan - 5
D2 Pengelupasan Eksoskeleton mulai
mengeluarkan sekresi
Penuh Menurun - 5
D3 Pengelupasan Sebagian besar skeleton diserap
kembali
Menurun Tidak Naik 3
D4 Menjelang
molting
Kulit mulai robek Sedikit Tidak Naik 1
Unsur anorganik yang paling penting dalam tubuh udang galah adalah
kalsium, dan unsur tersebut sangat banyak terkandung dalam eksoskeleton, yaitu
pada bagian kulit, kulit badan, dan proventrikulus. Kalsium dalam tubuh udang
berperan sebagai (1) pembentuk eksoskeleton, (2) pengatur pembekuan darah,
(3) pengatur denyut jantung, (4) pengatur fungsi tubuli ginjal, (5) pengatur otot
saraf untuk bekerja secara normal, (6) pengatur aktivitas beberapa jenis enzim,
dan (7) sebagai pengatur permeabilitas sel (Lockwood, 1967).
Sumber kalsium bagi udang dapat berasal dari pakan dan media hidupnya
(Deshimaru, et.al, 1978). Penyerapan kalsium dalam rongga usus memerlukan energi yang bergantung pada enzim ATPase. Dalam darah, kalsium terdapat
dalam (1) bentuk terikat oleh protein, terutama albumin dan dapat berfusi,
(2) bentuk ion, dan (3) bentuk ikatan kompleks, yaitu fosfat, bikarbonat dan ikatan
sitrat (Djojosoebagio, 1987). Transport aktif kalsium dalam darah dipengaruhi
oleh vitamin D.
Untuk keperluan pengerasan kulit pada endokutikula, udang
mempergunakan kalsium dan garam mineral lain dari media eksternalnya, dan
diendapkan di eksoskeleton berupa CaCO3 selama fase postmolt. Pada stadia D3 (premolt = proecdysis) terjadi penyerapan kembali (resorption) mineral kalsium yang selanjutnya diekskresikan atau disimpan sementara di hepatopankreas
(Passano, 1960). Sejumlah besar kalsium yang dibutuhkan untuk memulai
mineralisasi setelah molting berasal dari reabsorpsi eksoskeleton lama, kemudian dimobilisasi dan disimpan di gastrolit. Gantrolit pada Orconectes virilis terbentuk di antara dinding kutikular usus bagian depan dan di bawah epidermis. Ketika
molting, gastrolith masuk ke lumen usus bagian depan dan secara bertahap dipecah dan beberapa diserap oleh epitelium usus dan hepatopankreas. Kalsium
masuk ke haemolimf dan dibawa ke bawah epitelium eksoskeleton dan digunakan
untuk proses pengendapan kapur. Kalsium yang disimpan dalam bentuk gastrolith
di usus bagian depan selama intermolt hanya cukup untuk memenuhi 10% dari kebutuhan pengerasan eksoskeleton, sisanya hilang (Greenaway, 1985).
protein dari kulit lama diserap kembali (39%) Sesaat setelah molting, kalsium diendapkan di eksokutikel dan dalam tempo 5 jam formasi kutikel baru sudah
lengkap (Dall 1965, Pasano 1960 dalam Imai, 1977). Mukopolisakarida asidik adalah prekursor khitin dan dibawa ke sel epidermis oleh amoebosit pada darah.
Pada saat stadia D4, A, dan stadia B, glikogen dalam hepatopankreas
mengalami penurunan karena saat tersebut bersamaan dengan pembentukan
endokutikula baru yang berupa lapisan khitin (Lockwood, 1967). Bahan dasar
khitin adalah glikogen dan protein kompleks .
Pada fase postmolt, udang karang (Crayfish) mengambil kalsium dari lingkungannya untuk pengerasan kulitnya. Pada fase premolt, kalsium tersebut disimpan dalam gastrolith atau diikat oleh darah, tetapi banyak juga yang
diekskresikan kembali ke dalam air (McWhinnie dalam Malley, 1980). Sebagian dari kalsium dapat diperoleh dari pakan. Perkiraan rasio optimum antara kalsium
dan fospfor dalam pakan sebaiknya adalah 1,2:1, karena pada rasio Ca:P 2:1 akan
menghambat pertumbuhan dan mengurangi pigmentasi. (Pascual, 1983). Dall
(1964) juga menyatakan bahwa kulit udang penaeid mengandung CaCO3
sebanyak 1/3 dari berat kulitnya pada kondisi yang normal. Kalsium
bersama-sama bikarbonat dalam air ditukar ke dalam tubuh udang dengan ion H+ sehingga
terpelihara keseimbangan listriknya. Pada Tabel 3 ditunjukkan kandungan
natrium, kalium, dan kalsium dalam jaringan metapenaeus pada berbagai
organnya. Berdasarkan tabel tersebut tergambar bahwa kalsium terbanyak
ditemukan pada kulit, kemudian pada kulit, dan proventrikulus.
Mekanisme penyimpanan kalsium dapat diterangkan berdasarkan perbedaan
kelarutan Ca2+ dan CO32- dalam cairan tubuh (Revele dan Faisbridge dalam Dall,
1964). Hasil ionisasi dalam darah meningkat pada akhir molting, kondisi tersebut meningkatkan laju penyimpanan kalsium setelah udang molting (Dall, 1964). Travis dalam Dall (1964) menyatakan bahwa fosfat sangat berperan dalam pengendapan kalsium untuk menunjang pengerasan. Hal ini dibuktikan dengan
Tabel 3. Natrium, kalium dan kalsium yang terkandung dalam jaringan metapenaeus pada fase intermolt, dengan satuan meq/liter dalam darah dan meq/kg berat kering jaringan (Dall, 1964).
Jaringan tubuh Na K Ca
Darah (tanpa protein) 400,0 10,0 20-30
Protein darah 2,1 0,2 0,4
Kalenjar pencernaan 206,0 70,0 21,6
Epidermis 277,0 92,5 32,6
Daging 47,8 119,2 6,7
Kulit 0 1,0 5000-10.000
Proventrikulus Tak ditemukan tak ditemukan 1250,0
Kulit badan 0 tak ditemukan 2500,0
Pada Metapenaeus, kalsifikasi atau pengerasan terjadi mulai dari stadia B, dan CaCO3 disimpan dalam sistem lembaran-lembaran benang yang sedikit
kandungan kristalnya. Pusatnya terletak pada bagian dorsal kulit dan abdomen
serta berkurang pada bagian lateral tubuhnya.
Hormon yang bekerja dalam membantu proses penyerapan kembali kalsium
dari eksoskeleton belum terungkap secara jelas karena peningkatan kalsium
dalam darah atau hepatopankreas bukan disebabkan oleh kerja dari hormon
molting dari organY , akan tetapi hormon yang disekresikan oleh organ Y tersebut memacu bekerjanya penyerapan kembali kalsium ke dalam darah atau
hepatopankreas sehingga hormon molting hanya sebagai perantara terjadinya resorpsi.
Pengambilan Kalsium dari Air ke dalam Tubuh Udang
Pada crayfish, pengambilan kalsium dari media dipengaruhi oleh pH air.
Jika pH air rendah, kemampuan crayfish mengambil kalsium menurun (Malley,
1980). Pengambilan kalsium mulai terhambat pada pH di bawah 5,75. Pada
udang penaeid, pengambilan kalsium dari media eksternal dipengaruhi oleh
kandungan karbonat di media eksternalnya. Walaupun pH menurun, apabila
kandungan bikarbonat di air tidak terlalu tinggi, penyerapan kalsium dalam proses
kalsifikasi masih dapat berlangsung (Wickins, 1984). Pertukaran kalsium antara
bergantung pada seberapa banyak kalsium yang diambil dari lingkungan untuk
pengendapan dan pengerasan kulit baru (Adegboye, 1974). Pada lingkungan yang
kalsiumnya cukup, proses mineralisasi selesai selama 1-3 hari bergantung pada
spesies, ukuran, dan suhu (Huner et al. 1978; Travius 1965 dalam Avault dan Huner, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pertukaran kalsium
terus-menerus antara tubuh krustase dan lingkungan (Greenway, 1974), dengan
laju maksimal pengambilan Ca2+ dari lingkungan sebesar 1.3 mmol kg-1 jam-1
(Cameron, 1985a), dan pada kondisi ini konsentrasi Ca2+ dalam darah menurun
tajam (Robertson, 1960). Kalsium dalam tubuh udang merupakan indikator yang
baik bagi kemajuan mineralisasi (Tabel 4). Kadar kalsium yang diendapkan turun
tajam setelah molting, dan terus meningkat dan lajunya cepat setelah 7 hari (Gambar 3), yang mencapai 55% dari nilai intermolt. Pada hari ke 7, rata-rata 20.0 mg/ kg Ca2+ telah diendapkan.
Kalsium yang masuk ke dalam tubuh dapat dirunut melalui 45Ca
(Cameron,1985 b). Selama 5 hari diberi 45Ca2+, rata-rata laju pengambilan Ca2+
maksimum 4.07 mmol kg-1 jam-1 (8.14 mequiv k-g-1 jam-1) selama hari pertama
dan berkaitan dengan ekskresi H+ sebesar 9.48 m equiv kg-1 jam-1 juga selama hari
pertama.
Tabel 4. Komposisi mineral kulit kepiting pada fase intermolt
Jenis G (%)
Ca2+ 29.1
Mg2+ 1.7
Sr2+ 0.41
PO43- 3.4
CO32- 48.9
Na+ 1.3
K+ 0.3
Total 85.1
Hasil percobaan Cameron (1985 c) menunjukkan bahwa laju masuk kalsium
dan laju keluar H+ pada kepiting sangat terhambat oleh penurunan kadar Ca2+
dalam tubuh dan H+ yang keluar tubuh kepiting adalah sebesar 0.61. Pembentukan
kulit baru bergantung pada kecepatan transport kalsium ke dalam tubuh udang,
yang dipengaruhi oleh keseimbangan elektrik.
40 -
30 -
20 -
10 -
0 2 4 6 8
Intermolt postmolt
Hari
Gambar 3. Total kandungan kalsium dalam tubuh kepiting pada fase intermolt
dan pada fase postmolt
Pengendapan CaCO3 di kulit, diikuti oleh transport ion H+ ke luar tubuh udang,
seperti reaksi berikut (Cameron, 1985 c):
Ca2+ + HCO3- CaCO3 + H+
Sejumlah kombinasi transport dicapai dengan keseimbangan elektrik dan asam
basa (1) transport 1 Ca2+ yang masuk di kopel dengan transport keluar 2H+ (2)
transport masuk 1 Ca2+ di kopel dengan transport masuk 1 HCO3- dan transport
keluar 1 H-.
Kalsium merupakan kation terpenting di antara seluruh ion anorganik yang
berperan dalam pemeliharaan proses fisiologis krustase (Robertson, 1941 dalam
France, 1983) dan kebutuhan akan ion ini cukup tinggi (Greenway, 1974). Oleh
karena itu, distribusi crayfish di alam dipengaruhi oleh kadar Ca++ perairan.
Proporsi eksoskeleton yang lembek lebih tinggi pada udang yang hidup di kolam
yang berair lunak (Bretonne et al dalam France, 1983), dan eksoskeleton juga
lebih tipis (Le Caze, 1970). Pada pH di bawah 5.75, pengambilan Ca++ terhambat
dan
15 -
10 -
5 -
0
5 10 15 20
-5 -
-10 -
Gambar 4. Hubungan antara Ca2+ yang masuk ke dalam tubuh kepiting dan Ca2+ di lingkungan
siklus molting menjadi lebih lambat. pH rendah dapat memperpanjang periode
intermolt, dan siklus molting (Borgstram dan Hendrey, 1876; Malley 1980; Appelberg 1980).
Peningkatan kadar kalsium di jaringan sebesar 3% dapat meningkatkan
biomas crayfish sebesar 20% (Adegboye, 1983). Selama periode akhir intermolt, panjang kulit berhubungan langsung dengan konsentrasi kalsium dalam
eksoskeleton, namun tidak ada hubungannya dengan kadar kalsium di hemolimf
dan hepatopankreas. Pada awal premolt, panjang kulit berhubungan dengan kadar kalsium di hemolimf, eksoskeleton lama, dan hepatopankreas, sedangkan pada
premolt hubungan tersebut tidak terlihat. Panjang kulit dan konsentrasi kalsium di kulit yang baru terbentuk mempunyai hubungan yang terlihat nyata.
Kadar kalsium yang disimpan di jaringan crayfish dewasa lebih tinggi
dibandingkan crayfish muda (Adegboye, 1983). Namun, pengaruh umur dengan (Ca2+) (mmol L-1) media
Influks Ca
2+
(meqkg
-1
ja
m
kadar kalsium di hemolimf bervariasi dengan tingkat dalam siklus molting. Proses
molting berpengaruh pada kadar kalsium dalam hemolimf. Pengaruh proses
molting pada kadar kalsium dalam hemolimf meningkat sejalan dengan pertambahan umur crayfish. Hubungan tingkat molting dengan umur dan kadar kalsium dalam hemolimf adalah sebesar 0.653.
Frekuensi molting dipengaruhi oleh ukuran tubuh, udang muda dengan laju pertumbuhan yang tinggi mempunyai frekuensi ganti kulit yang lebih sering
dibandingkan udang dewasa. Frekuensi molting juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, kondisi fisiologis, suhu, kimia air, serta kualitas dan kuantitas makanan.
Siklus molting udang selain dipengaruhi oleh sistem hormon, biota, dan pakan, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.
Siklus molting krustase dikontrol oleh dua sistem hormon yang berlawanan, yaitu molt inhibiting hormone (MIH), yang disintesis dalam kompleks glandular yang berada di tangkai mata dan juga mendorong sekresi hormon molting
(B ekdison yang merupakan turunan dari kolesterol). Ekdison disintesis oleh
organ Y yang berada di daerah anterior sefalotoraks. Ekdison tidak dapat
disimpan, tetapi dilepaskan ke dalam hemolimf dan dihidroksilasi dalam bentuk
20- hidroksiekdison (B ekdison) Pemotongan tangkai mata dapat meningkatkan
frekuensi molting (D Abramo dan Conklin, 1985 ).
Dinamika Kalsium di Lingkungan
Ion kalsium di lingkungan dapat berasal dari CaCO3 (kalsit), CaMg(CO3)2
(dolomit), Ca(OH)2 (kalsium hidroksida) dan CaO (kalsium oksida).
CaCO3 + 2H+ Ca2+ + H2O + CO2
CaMg (CO3)2 + 4H Ca2+ + 2H2O
Ca(OH)2 + 2H+ Ca2 + + 2H2O
CaO + 2H+ Ca2+ + H2O
Di antara ketiga bentuk kapur tersebut, CaO lebih efektif menetralisir asam
dibanding CaCO3 dan Ca(OH)2 (Boyd, 1982). Pengendapan kalsium berhubungan
yang menyebabkan kenaikan pH. Peningkatan kesadahan air juga menyebabkan
pengendapan CaCO3.
Pada perairan laut dan perairan tawar yang banyak mengandung kalsium dan
magnesium, potensial berpengaruh pada pH perairan (Spotte, 1979). Mineral
karbonat dalam perairan ini dapat berfungsi sebagai cadangan bikarbonat yang
sangat potensial untuk mengionisasi dan menetralisir peningkatan ion hidrogen
dalam air. Kelarutan mineral karbonat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
karbon organik terlarut atau desolve organic carbon (DOC). Magnesium dan DOC bersifat menghambat pengendapatan mineral karbonat dalam air.
Terdapat tiga tipe dasar kolam yang responsif terhadap pengapuran, yaitu
(1) kolam yang mengandung bahan humus dan lumpur yang banyak mengandung
bahan organik, (2) kolam dengan pH dan alkalinitas air rendah, dan (3) kolam
dengan air yang mengandung mineral asam yang berasal dari tanah sulfat masam.
Lingkungan
Kesadahan dan Alkalinitas
Udang membutuhkan mineral, khususnya kalsium dan magnesium, untuk
pembentukan eksoskleton baru.dan proses biologis lainnya. Namun, hanya sedikit
informasi tentang pengaruh kandungan mineral pada udang. Pada awal larva
udang galah terjadi kematian pada saat dipelihara di air laut buatan dengan total
kesadahan 50-100 mg/l CaCO3 (Sick dan Beaty 1974). Pada studi yang sama,
kematian udang dan pertumbuhannya normal pada media yang dibuat dari air
suling. Juvenil udang hidup dan tumbuh baik pada kesadahan rendah 5-7 mg//l,
tetapi eksoskeleton lembek pada kadar Ca yang rendah. Heinen (1977) dalam
FAO (1989), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan postlarva yang dipelihara pada tingkat kesadahan 10-310 mg/l
CaCo3 eq selama 28 hari, namun Cripps dan Nakamura (1979) dalam Sandifer
dan Smith (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan menurun dengan kesadahan di
atas 65-500 mg/l. CaCo3. Udang yang dipelihara di kesadahan terrendah
menghasilkan bobot 2 sampai 5 kali dibandingkan bobot udang yang dipeliharan
dari 300 mg/l. Total alkalinitas tidak lebih dari 180 mg/l CaCo3. Peningkatan pH
dapat merangsang blooming plankton dan pengendapan kalsium dapat merusak
insang.
Suhu Air
Dalam rentang suhu yang layak, larva tumbuh dan molting lebih cepat pada suhu yang meningkat. Rentang suhu optimum adalah 24-31oC. Pada suhu di
bawah 24-26oC, larva tidak dapat tumbuh dengan baik dan waktu untuk
metamorfosis menjadi lebih panjang. Perubahan suhu secara bertahap seperti
antara siang dan malam, musim hujan, dan musim kemarau tidak banyak
berpengaruh pada kehidupan larva, sedangkan perubahan yang mendadak dapat
mengakibatkan kematian (FAO, 1989). Pada suhu 27-30oC, fase larva
memerlukan waktu 25-40 hari (Sandifer dan Smith, 1985). Pertumbuhan udang,
aktivitas dan kelangsungan hidup menurun pada suhu di luar 22-33oC. Hasil
penelitian Chen dan Kou (1996) menunjukkan bahwa proporsi eksresi N-amonia
lebih tinggi dibanding ekskresi amonia total sejalan dengan peningkatan suhu.
Pada suhu 17oC, ekskresi N-urea tidak ditemukan, tapi pada suhu 32oC jumlah
N-amonia, N-urea dan N-organik masing-masing sebesar 70.2 %, 4.2 %, dan 25.6%.
Salinitas
Salinitas media larva bukan merupakan faktor kritis pada aktivitas
pemeliharaan larva. Salinitas air dipertahankan pada level 10-14 ppt (sekitar 12
ppt) sampai metamorfosis, dan penurunan salinitas secara mendadak perlu
dihindarkan (FAO, 1989). Sandifer dan Smith (1985) menyarankan agar salinitas
untuk larva udang galah adalah 8–17 ppt, walaupun salinitas di bawah 6 ppt dapat
digunakan (Sick and Beaty 1974 dalam Sandifer dan Smith, 1985)
Oksigen Terlarut
Konsentrasi oksigen dipertahankan pada level yang mendekati tingkat
kejenuhan. Jika prosedur ganti air, kebersihan wadah, pengendalian sisa pakan
dan sistem aerasi dilaksanakan dengan baik, tidak ada peluang kadar oksigen
peringatan untuk segera mengganti air, sebelum udang mengalami stres. Pada
juvenil udang dengan bobot 0.2 g, oksigen dengan kosentrasi 2.1 ppm menjadi
faktor pembatas pada suhu 23oC, 2.9 ppm pada suhu 28oC, dan 4.7 ppm pada suhu
33oC (Sandifer dan Smith, 1985). Pada periode intermolt, crayfish mampu beradaptasi pada tingkat kejenuhan oksigen sebesar 30% (3.2 ppm), dan afinitas
oksigen di hemolimf meningkat menandakan keadaan hipoksia ( Jarvenpaa et al,
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian pendahuluan dilakukan di laboratorium Jurusan Penyuluhan
Perikanan, Sekolah Tinggi Perikanan, Cikaret Bogor, Balai Besar Pengolahan
Hasil Pertanian Deptan Cimanggu Bogor, Laboratorium Kualitas Air, FPIK IPB
dan Laboratorium Nutrisi, Fakultas Peternakan IPB dari bulan Mei – November
2003. Penelitian utama dilakukan di tempat yang sama dari bulan Juli 2004 -
Februari 2006.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi pengaruh penambahan kapur ke dalam media
terhadap lama waktu postmolt, konsumsi pakan, dan pertumbuhan udang galah. Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan, yaitu
1. Pengaruh Penggunaan Kapur pada Laju Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan
Lama Waktu Postmolt Udang Galah.
2. Konsekuensi Penggunaan Kapur pada Lama Waktu Siklus Molting, Tingkat Konsumsi Pakan, dan PertumbuhanUdang Galah
3. Pengaruh Penggunaan Kapur pada Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Biomas
Udang Galah
Pengaruh Penggunaan Kapur pada Laju Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan Lama Waktu Postmolt Udang Galah
Tujuan khusus
Untuk mengkaji pengaruh kadar kalsium media pada laju peningkatan kadar
kalsium kulit, lama waktu postmolt dan rata-rata konsumsi pakan harian.
Rancangan Percobaan
a. Desain Percobaan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
yaitu 0 mg/l (Ca 19.70 mg/l), 15 mg/l (Ca 22.68 mg/l), 30 mg/l (Ca 25.07
mg/l), 45 mg/l (Ca 31.73 mg/l), dan 60 mg/l (Ca 34.64 mg/l). Masing-masing
perlakuan memiliki 3 ulangan sehingga jumlah satuan percobaan adalah 15
unit.
b. Satuan Percobaan. Satuan percobaan adalah akuarium dengan ukuran
80×50×50 cm yang disekat dengan kain kasa menjadi 10 kompartemen
dengan luasan yang sama. Setiap akuarium diisi 10 ekor udang (satuan
percobaan individual), masing-masing individu berbobot 4 g dan ditempatkan
pada setiap kompartemen secara acak sehingga jumlah udang seluruhnya
adalah 10 ekor/akuarium.
c. Desain Waktu. Pengumpulan data dirancang pada waktu yang sesuai dengan
proses molting selama 2 siklus, yang secara rinci terdiri atas premolt (awal percobaan), postmolt 1 jam, 4, 8, 10, dan 20 hari . Jumlah udang yang mati dan atau yang diambil sebagai sampel diganti dengan udang uji cadangan yang
telah disiapkan sehingga setiap kompartemen selalu berisi 10 ekor udang uji
secara berkelanjutan. Udang pengganti yang diambil sebagai sampel diberi
tanda sebagai biota uji cadangan.
Pada percobaan pendahuluan didapatkan bahwa siklus molting udang adalah 11–14 hari. Siklus molting terdiri atas fase molting, postmolt, intermolt dan
premolt. Hasil penelitian Passano (1960) menunjukkan bahwa lama waktu
intermolt adalah sebesar 30% dari lama waktu siklus molting. Fase molting
terjadi hanya beberapa jam dan fase premolt terjadi selama 1–2 hari. Dengan
demikian, lama waktu postmoliting diperkirakan 60% dari lama waktu siklus
molting (8 hari) d. Variabel yang dipantau
1) Kualitas Air
- Suhu air, pH, alkalinitas, D0, dan TOM.
- Kadar Ca terlarut.
2) Bobot tubuh udang pada postmolt dan intermolt.
3) Kadar Ca kulit pada fase molting, postmolt dan intermolt. 4) Lama waktu siklus molting.
e. Variabel Kerja
1) Lama waktu postmolt : waktu yang dibutuhkan individu udang mulai dari
molting dengan kadar kalsium kulit terendah sampai dengan kadar kalsium kulit seperti pada fase intermolt.
2) Laju peningkatan Ca kulit selama postmolt. Jumlah tambahan kalsium yang ditimbun di kulit selama waktu tertentu.
3) Konsumsi pakan harian
Bahan Percobaan
1) Induk udang yang diperoleh dari instalasi pembenihan udang galah BBAT
Pelabuhan Ratu.
2) Juvenil udang yang galah diperoleh dari hasil penetasan telur seekor induk
udang betina.
3) Udang dengan berat 4 g yang diperoleh dari pemeliharaan juvenil di kolam
Cikaret Bogor. Juvenil diberi pakan buatan sebanyak 3% dari bobot tubuh
setiap hari.
4) Pakan yang digunakan adalah pakan udang Galah merk Bintang CP seri 081,
dengan kandungan nutrisi : protein 37.38%, lemak 6.09% bahan ekstrak tanpa
nitrogen 29.73%, Ca 1.45%, Mg 0.95%, dan energi bruto 3560 kkal.
5) Air dengan pH 4.64 – 5.00 dan kadar Ca 19.7 mg/L yang diperoleh dari air
sumur dangkal yang terdapat di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang.
4) Kapur : Ca(OH)2.
Metode Pengukuran
Jenis peubah kualitas air dan parameter udang yang diukur selama percobaan
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Parameter kualitas air dan udang serta metode pengukuran
No Variabel yang ditera Metode Pengukuran 1 Suhu air Termometer
2 pH air pH meter
3 Alkalinitas Titrimetrik Phenolpthalin 4 Oksigen terlarut DO meter
5 TOM Titrimetrik Permanganat
6 Ca2+ AAS
7 Bobot tubuh Gravimetri
Prosedur Percobaan
Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan adalah 6 buah bak beton ukuran 1.5×1×1 m yang
diisi air setinggi 0.75 m. Air yang digunakan berasal dari sumur dangkal dengan
pH 4.5 – 5.0 dan sebelumnya sudah diaerasi. Selain itu, juga disiapkan akuarium
kaca berukuran 80×50×50 cm sebanyak 15 buah yang masing-masing disekat
menjadi 10 kompartemen dan diisi air dari sumber air yang sama. Pada setiap
akuarium secara acak ditambahkan kalsium masing-masing 0 mg/L, 15 mg/L, 30
mg/L dan 45 mg/L, dan 60 mg/L dan diberi aerasi.
Pemeliharaan
Sebanyak 300 ekor udang galah dengan berat rata-rata 10 g ditebar ke dalam
bak beton dengan kepadatan 50 ekor per bak dan diberi pakan pelet dengan dosis
3%. Setelah udang dipelihara di bak selama 6 hari, sebanyak 150 ekor
dipindahkan ke akuarium percobaan. Setiap kompartemen akuarium diisi seekor
udang uji. Selain itu, disiapkan stok udang cadangan masing-masing perlakuan
sebanyak 30 ekor yang dipelihara pada media dengan kadar kalsium yang sama
dengan media perlakuan.
Sisa pakan dikumpulkan 2 jam setelah udang diberi pakan. Setiap 10 hari,
air diganti sebanyak 20 - 25% dari total volume air pemeliharaan. Air pengganti
yang ditambahkan berkadar kalsium sama dengan kadar kalsium media yang
diganti.
Teknik Pengumpulan Data
a. Data kualitas air diperoleh dari pengukuran contoh air yang terprogram.
Setiap 10 hari, diambil sebanyak 2 liter contoh air dari setiap akuarium
untuk digunakan dalam pengukuran suhu, pH, alkalinitas, DO, TOM, dan
kadar Ca2+.
b. Data mengenai bobot, kadar kalsium kulit diperoleh dari pengukuran contoh
Tabel 6. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran
No Waktu pengambilan sampel Parameter yang diukur
1 Premolt Bobot tubuh, Kalsium kulit
2 Postmolt: 2 jam, 4, 8 dan 10 hari Bobot tubuh, Kalsium kulit
3 Intermolt ( postmolt 20 hari) Bobot tubuh, Kalsium kulit
c. Data sisa pakan diperoleh dari sisa pakan yang dikumpulkan 2 jam setelah
udang diberi makan. Rekapitulasi sisa pakan dikelompokkan dalam fase
molting udang (premolt, molting, postmolt, dan intermolt).
d. Data lama waktu antar-molting diperoleh dari udang molting pertama dan
molting kedua yang terjadi pada setiap satuan percobaan.
Analisis Data
1) Untuk membandingkan kadar kalsium kulit pada setiap fase molting
antarperlakuan digunakan analisis varian.
2) Untuk membandingkan lama waktu postmolt antarperlakuan digunakan analisis regresi.
3) Untuk membandingkan tingkat konsumsi pakan harian antarperlakuan
digunakan analisis varian
Konsekuensi Penggunaan Kapur pada Lama Waktu Siklus Molting, Tingkat Konsumsi Pakan, dan Pertumbuhan Udang Galah
Tujuan khusus
Untuk mengkaji pengaruh kadar kalsium media pada kalsium kulit, dan
konsekuensinya pada tingkat konsumsi pakan dan pertumbuhan udang.
Rancangan Percobaan
a. Desain Percobaan: digunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan
dosis penambahan Ca(OH)2 ke dalam media, yaitu 0 mg/l (Ca 19.7 mg/l), 15
60 mg/l(Ca 34.64 mg/l). Masing-masing perlakuan diulang 3 kali, sehingga
jumlah satuan percobaan menjadi sebanyak 15 unit.
b. Satuan Percobaan: satuan percobaan adalah akuarium dengan ukuran 80 x 50
x 50 cm yang disekat dengan kain kasa menjadi 10 kompartemen sama luas.
Setiap akuarium diisi 10 ekor udang (satuan percobaan individual), dan setiap
individu dengan bobot 9 g ditempatkan pada setiap kompartemen secara acak
sehingga jumlah udang seluruhnya adalah 10 ekor.
c. Desain Waktu: pengumpulan data dirancang sesuai dengan waktu proses
molting selama 3 siklus, yang secara rinci terdiri atas fase premolt (awal percobaan), postmolt 2 dan 8 hari pada siklus molting 1, 2 dan 3. Jumlah udang yang mati dan atau diambil sebagai sampel diganti dengan udang uji
cadangan yang telah disiapkan sehingga pada setiap kompartemen terdapat 10
ekor udang uji selama penelitian. Jumlah udang pengganti yang diambil
sebagai sampel diberi tanda sebagai biota uji cadangan dengan nomor urut
dimulai dari 11.
d. Variabel yang dipantau
1) Kualitas Air
- Suhu air, pH, alkalinitas, D0, dan TOM
- Kadar Ca
2) Frekuensi kejadian molting selama pemeliharaan 3) Kadar Ca kulit postmolt 2 dan 8 hari
4) Komsumsi pakan harian dan total
5) Bobot tubuh
6) Sisa pakan
e. Variabel Kerja
1) Lama siklus molting : adalah lama waktu yang dibutuhkan oleh individu udang antara molting pertama dan molting kedua, atau molting kedua dan
molting ketiga, dan seterusnya (Biota No 1 dan 2 yang dipelihara selama penelitian).
2) Kemantapan kadar Ca kulit : adalah pola kadar Ca kulit udang pada
3) Kemantapan komsumsi pakan harian : adalah tingkat konsumsi pakan
antarwaktu pengambilan sampel udang (Biota nomor 1 dan 2).
4) Pertumbuhan individual udang (Biota nomor 1 dan 2).
Wt = Wo egt
Wo = bobot rata-rata pada t0 (g)
Wt = bobot rata-rata pada t1 (g)
g = laju pertumbuhan individu (g/hari)
t = waktu (hari)
5) Effisiensi pemanfaatan pakan (FE) (Biota nomor 1 dan 2):
FI W FE=Δ
ΔW = Perubahan bobot
FI = (jumlah pakan yang diberikan) – (jumlah pakan yang tidak
dikonsumsi)
Bahan Percobaan
Bahan-bahan untuk percobaan meliputi juvenil udang galah, sumber air, dan
pakan seperti pada percobaan pertama.
Metode Pengukuran
Metode pengukuran kualitas air, bobot udang, bobot eksuvia, bobot sisa
pakan, dan kandungan energi pakan sama seperti pada percobaan pertama.
Prosedur Percobaan
Prosedur percobaan yang meliputi persiapan wadah, persiapan juvenil
udang, pemberian pakan, dan pengelolaan kualitas air dilakukan seperti percobaan
pertama. Hal yang perlu diperhatikan adalah :
a. Jumlah biota uji diupayakan tetap 10 ekor pada setiap akuarium. Hewan yang
diganti dengan hewan uji cadangan. Hewan uji cadangan sebagai pengganti
diberi nomor 11-20, dan dijadikan sebagai sumber data lama waktu
antar-molting, frekuensi kejadian molting, pertumbuhan biomas, dan kelangsungan hidup.
b. Biota uji No 1 – 2 diambil sampel untuk mendapatkan gambaran data
mengenai perubahan bobot, lama siklus molting, dan tingkat konsumsi pakan harian sesuai dengan proses molting yang terjadi. Verifikasi dari biota-biota berkenaan dengan biota uji dicermati pada waktu pengumpulan data dan atau
sebelum analisis data.
Teknik Pengumpulan Data.
a. Data kualitas air diperoleh dari pengukuran contoh air yang terprogram. Setiap
15 hari diambil sebanyak 2 liter contoh air dari setiap akuarium yang
digunakan untuk mengukur suhu, pH, alkalinitas, DO, TOM, dan kadar Ca.
b. Data mengenai bobot, kadar kalsium kulit, dan bobot eksuvia diperoleh dari
pengukuran contoh udang yang terpilih secara acak.
Tabel 7. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran
No Waktu Pengambilan Sampel Parameter yang diukur
1 Premolt (awal percobaan) Bobot tubuh
Kalsium kulit
2 Post molt pertama 2 dan 8 hari Bobot tubuh
Kalsium kulit
3 Postmolt ke dua, 2 dan 8 hari Bobot tubuh
Kalsium kulit
4 Postmolt ke tiga, 2 dan 8 hari Bobot tubuh
Kalsium kulit
c. Data sisa pakan diperoleh dari sisa pakan yang dikumpulkan 2 jam setelah
udang diberi makan. Sisa pakan harian dipanaskan pada suhu 110 oC hingga
Analisis Data
1) Untuk membandingkan kemantapan kadar kalsium kulit antarperlakuan
digunakan analisis varian
2) Untuk membandingkan lama waktu siklus molting antarperlakuan digunakan analisis varian.
3) Untuk membandingkan tingkat konsumsi pakan antarperlakuan digunakan
analisis varian.
4) Untuk membandingkan laju pertumbuhan individu antarperlakuan digunakan
analisis regresi.
5) Untuk membandingkan efisiensi pemanfaatan pakan antarperlakuan
digunakan analisis varian.
Pengaruh Penggunaan Kapur pada Konsumsi Pakan dan Pertumbuhan Biomas Udang Galah
Tujuan khusus
Untuk mengkaji pengaruh kadar kalsium media pada tingkat konsumsi pakan,
dan konsekuensinya bagi pertumbuhan biomas udang.
Rancangan Percobaan
a. Desain Percobaan. Dari hasil percobaan kedua ditetapkan tingkat perlakuan
yang nyata, yaitu pemberian kapur Ca(OH)2 ke media dengan dosis terendah 0
mg/l (Ca 19.7 mg/l), dosis sedang 30 mg/l (Ca 25.07 mg/l), dan dosis tertinggi
60 mg/l(Ca 34.64 mg/l). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap dengan 3 ulangan sehingga jumlah satuan percobaan adalah 9 unit.
b. Satuan Percobaan. Bak beton dengan ukuran 1.5×1.0×1.0 m yang diisi tokolan
udang galah dengan bobot per ekor rata-rata 4 g sebanyak 10 ekor.
c. Desain Waktu. Desain waktu pengumpulan data biomas udang ditetapkan
setiap 10 hari sebanyak 6 kali. Selama 60 hari diharapkan setiap individu
udang telah mengalami 3-4 kali molting. Waktu antarmolting adalah 9–14 hari, sesuai dengan hasil percobaan pendahuluan. Data kadar Ca kulit diukur
d. Variabel yang dipantau
1) Kualitas Air
Suhu air, pH, alkalinitas, D0, TOM, kadar Ca dan Mg
2) Bobot udang
3) Total pakan yang dikonsumsi dan atau sisa pakan
4) Kelangsungan hidup udang
e. Variabel Kerja
1) Pertumbuhan individu udang
Wt = Wo egt
Wo = bobot rata-rata pada t0 (g)
Wt = bobot rata-rata pada t1 (g)
g = laju pertumbuhan individu (g/hari)
t = waktu (hari)
2) Pertumbuhan biomas udang ditentukan dari :
BG : tambah biomas selama dt = Nt x dW
BM : biomas udang mati = Nm x W
BE : biomas eksuvia yang tereliminasi = Nml x Eeks
Biomas total (BT) = BG + BM + BE
3) Efisiensi pemanfaatan pakan (EP) :
FI
ΔW
FE=
ΔW = Perubahan bobot
FI = (jumlah pakan yang diberikan) – (jumlah pakan yang tidak
dikonsumsi)
4) Kelangsungan Hidup
100 No
Nt No
SR = − ×
No = jumlah udang pada awal percobaan (ekor)
Bahan Percobaan
Bahan-bahan untuk percobaan meliputi juvenil udang galah, sumber air, dan
pakan seperti pada percobaan pertama dan ke dua.
Metode Pengukuran
Metode pengukuran kualitas air dan bobot udang diukur seperti pada
percobaan terdahulu ( 1 dan 2).
Prosedur Percobaan
Prosedur pemeliharaan sama seperti pada percobaan 2 dengan pengecualian
tidak dilakukan pergantian biota uji dan pengukuran sisa pakan selama percobaan.
Teknik Pengumpulan Data
a. Data kualitas air diperoleh dari pengukuran contoh air yang terprogram. Setiap
15 hari diambil sebanyak 2 liter contoh air dari setiap akuarium yang
digunakan untuk mengukur suhu, pH, alkalinitas, DO, TOM, dan kadar Ca.
b. Data mengenai bobot dan kadar kalsium kulit diperoleh dari pengukuran
contoh udang yang terpilih secara acak.
Tabel 8. Pengambilan sampel udang dan metode pengukuran
No Waktu pengambilan sampel Parameter yang diukur
1 Awal percobaan Biomas udang
Jumlah individu
2 Hari ke 10, 20, 30, 40 dan 50 Biomas udang
Jumlah individu
3 Akhir percobaan Biomas udang
Jumlah individu
c. Data kematian udang diperoleh dari pemantauan setiap ada udang yang mati.
d. Data efisiensi pakan diperoleh pada akhir percobaan.
Analisis Data
1) Untuk membandingkan tingkat konsumsi pakan antarperlakuan digunakan
2) Untuk membandingkan laju pertumbuhan individu udang antarperlakuan
digunakan analisis regresi.
3) Untuk membandingkan pertumbuhan biomas antarperlakuan digunakan
analisis regresi.
4) Untuk membandingkan efisiensi pemanfaatan pakan antarperlakuan
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Penelitian pengaruh penambahan kapur ke dalam media pada lama waktu
pergantian dan laju peningkatan kadar kalsium kulit serta konsekuensinya bagi
pertumbuhan udang galah, terdiri atas 3 tahapan penelitian, yaitu tahap (1)
Mengkaji penggunaan kapur pada laju peningkatan kadar kalsium kulit dan lama
waktu molting udang galah (2) Mengkaji penggunaan kapur pada kadar kalsium kulit, tingkat konsumsi pakan, dan pertumbuhan udang galah (3) Mengkaji
penggunaan kapur pada pertumbuhan biomas udang galah
Hasil penelitian untuk masing-msing tahapan penelitian diuraikan sebagai berikut :
PENELITIAN TAHAP I : Pengaruh Penggunaan Kapur pada Laju
Peningkatan Kadar Kalsium Kulit dan Lama Waktu Postmolt Udang Galah
Kualitas Air
Penelitian mengenai pengaruh penambahan kalsium pada lama waktu
molting dan laju peningkatan kadar kalsium kulit terdiri atas 5 perlakuan pemberian kalsium hidroksida Ca(OH)2, yaitu 0 mg/L, 15 mg/L, 30 mg/L, 45
mg/L, dan 60 mg/L dan masing-masing memiliki 3 ulangan.
Kualitas air media percobaan diupayakan layak bagi kehidupan dan dapat
menjadi faktor penentu lama waktu molting udang, khususnya berkenaan dengan keberadaan kadar kalsium yang terkait dengan pembentukan kulit. Hasil analisis
Tabel 9. Nilai rataan parameter fisik - kimia air selama percobaan Dosis penambahan kalsium (mg/l) Parameter
0 15 30 45 60 Suhu ( oC) 24.02 ± 0.11 24.01 ± 0.10 23.99 ± 0.09 24.00 ± 0.09 24.02 ± 0.12
Ca Terlarut (mg/l) 18.53 ± 1.96 25.51 ± 2.38 29.03 ± 2.30 32.07 ± 2.15 35.32 ± 1.93
Alkalinitas (mg/l CaCO3.eq) 7.85 ± 2.38 23.39 ± 2.38 28.21 ± 4.08 31.89 ± 4.84 35.23 ± 4.07
pH 5.84 ± 0.31 6.12 ± 0.44 6.31 ± 0.33 6.44 ± 0.27 6.59 ± 0.20
DO (mg/l) 6.71 ± 0.39 6.68 ± 0.41 6.57 ± 0.45 6.59 ± 0.42 6.60 ± 0.36
TOM (mg/l) 20.17 ± 5.08 22.09 ± 6.81 20.52 ± 10.02 22.20 ± 9.19 23.33 ± 11.35
Rataan suhu air pagi, siang, dan sore hari untuk perlakuan penambahan
kapur 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L adalah 24.02, 24.01, 23.99, 24.09 dan 24.02 oC.
Fluktuasi suhu air yang relatif kecil terjadi karena penelitian dilakukan di dalam
ruangan. Rataan kadar kalsium terlarut pada media yang memperoleh tambahan
Ca(OH)2 berkisar antara 25.51 dan 35.32 mg/L sehingga menjadi lebih tinggi dari
media (1) yang tidak memperoleh tambahan Ca(OH)2, yaitu 18.53 mg/L.
Hubungan (R2) antara kadar kalsium terlarut dan tingkat dosis penambahan
Ca(OH)2 adalah 0.96. Peningkatan penambahan Ca(OH)2 dari 15 menjadi 45 ppm
mampu meningkatkan kadar kalsium terlarut dari 25.51 mg/L menjadi 32.07
mg/L. Peningkatan penambahan Ca(OH)2 sebesar 60 mg/L ternyata tidak
meningkatkan kadar kalsium media.
Peningkatan kalsium terlarut media akibat penambahan Ca(OH)2 tersebut
mengakibatkan peningkatan nilai pH dan alkalinitas. Rataan pH media percobaan
perlakuan penambahan kapur 15, 30, 45, dan 60 mg/L berkisar antara 6.12 dan
6.59, lebih tinggi sedikit dibanding perlakuan penambahan kapur 0 mg/L (5.84).
Rataan alkalinitas perlakuan penambahan kapur 15, 30, 45, dan 60 mg/L berkisar
antara 23.39 dan 35.23 mg/L lebih tinggi dibanding perlakuan penambahan kapur
0 mg/L (7.85 mg/L). Rentang kisaran pH dan alkalinitas tersebut layak bagi
kehidupan udang (Boyd, 1979).
Penambahan Ca(OH)2 ke dalam media sebesar 0, 15, 30, 45, dan 60 mg/L
tidak mempengaruhi nilai oksigen terlarut dan bahan organik terlarut (TOM).
Rataan oksigen terlarut dari media percobaan berkisar antara 6.57 dan 6.71 mg/L.
Rataan TOM media percobaan berkisar antara 20.12 dan 23.33 mg/L.
dapat dioksidasi oleh keberadaan oksigen terlarut sehingga pembentukan gas-gas
beracun menjadi minimal.
Berdasarkan data parameter fisika-kimia air selama percobaan dapat
dinyatakan bahwa (1) oksigen dan bahan organik terlarut pada media yang diberi
kapur masih dalam rentang layak untuk menunjang kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang, (2) ketersedian kalsium terlarut, alkalinitas, dan pH pada
media yang diberi kapur meningkat sehingga akan mempengaruhi lama waktu
postmolt dan kekerasan kulit.
Molting Udang
Ganti kulit (molting) udang galah merupakan pergantian kulit lama oleh kulit baru melalui tahapan proses berikut (1) premolt (2) molting (3) postmolt dan (4) intermolt. Keberhasilan proses ganti kulit tersebut tencermin dari kadar kalsium yang dicapai secara berurutan pada tahap ganti kulit mulai dari siap molting,
molting, postmolt, intermolt, dan siap molting berikutnya. Keberhasilan percepatan proses ganti kulit tersebut dapat dievaluasi dari keberadaan kalsium
dan kecepatan perubahan kadar kalsium selama proses ganti kulit.
Keberadaan rataan kalsium kulit pada tahap premolt, molting, dan postmolt selama percobaan tersajikan pada Tabel 10. Pada tahap molting, kadar kalsium kulit di setiap perlakuan penambahan Ca(OH)2 mencapai tingkat terendah, yaitu
2.859 mg/g. Keberadaan kadar kalsium kulit pada tahap molting yang tidak berbeda nyata tersebut (α = 0.05) diperkirakan terkendali oleh hormon molting. Setelah tahap molting, kadar kalsium kulit dari setiap perlakuan penambahan Ca(OH)2 meningkat dengan laju peningkatan yang berbeda sehingga pada tahap
postmolt 20 hari berturut turut dari perlakuan penambahan Ca(OH)2 0, 15,30,
45, dan 60 mg/L, yakni 7.941, 9.091, 9.425, 10.094, dan 10.095 mg/g. Kadar
kalsium kulit pada postmolt 20 hari cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan dosis pemberian Ca(OH)2. Proses transfer kalsium media ke dalam
tubuh/hemolimf melalui insang dengan mekanisme transport pasif, sedangkan dari
hemolimf ke kulit udang dengan trasnport aktif yang memerlukan energi (Gambar