• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung jawab debitur atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit : analisis putusan MA nomor 2914K/Pdt/2001.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung jawab debitur atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam perjanjian kredit : analisis putusan MA nomor 2914K/Pdt/2001."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Dhurifah Nur Utami NIM: 1111048000043

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI I L M U HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 79 halaman + 12 halaman lampiran. Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab debitur atas muanhanya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit jika dilihat dari kasus Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001. Hal ini dilatarbelakangi oleh musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mungkin saja terjadi mengingat posisi pihak kreditur jika hal ini terjadi. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia tidak memberi gambaran yang jelas mengenai tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia dan perlindungan kreditur selaku penerima fidusia terkaitnya musnahnya benda jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus menenai musnahnya benda jaminan fidusi tidak melepaskan tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia untuk tetap membayar sisa cicilan kredit kepada pihak kreditur meskipun dalam UUJF tidak mengaturnya lebih rinci. Dalam Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada Termohon Kasasi, putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dimana Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah mengikat diri dalam suatu perjanjian kredit yang berkuatan hukum dan Pemohon Kasasi wajib bertanggung jawab atas benda yang berada dalam penguasaannya.

Kata Kunci : Tanggung Jawab Debitur, Jaminan Fidusia, Perjanjian Kredit.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.,

(6)

v

Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang tak terkira, terucap dengan tulus dan iklas Alhamdulillahi

Robbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul

anbiya’i walmursalin Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh

dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang

maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak

hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan

waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam

penulisan.

Penulis sangat berterimakasih, tanpa dorongan dari pembimbing dan semua

pihak yang mendukung penelitian ini, tidak akan selesai. Pada kesempatan ini,

izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para

wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

(7)

vi

waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.

4. Bapak Deddy Nursyamsi S.H. M.Hum. Dosen pembimbing akademik dari

semester satu hingga akhir perkuliahan.

5. Keluarga besar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan

ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang

diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga

Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua

kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua.

6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

7. Orangtua tercinta bapak Kusmin Hidayat dan ibu Fatimah Hidayati serta adik

penulis Al-Raihan Rafi berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah

diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada

jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2011,

khususnya untuk Icha sahabat penulis yang selalu ada tanpa melihat waktu dan

(8)

vii

Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil

sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang

berlipat dan menjadikannya amal jari’ah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaumul al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah

senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok.

Amin.

Jakarta, 27 April 2015

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………...i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………..ii

LEMBAR PERNYATAAN………...iii

ABSTRAK………...iv

KATA PENGANTAR……….…...v

DAFTAR ISI………...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...7

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu...8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...…...9

F. Metode Penelitian...………...11

G. Sistematika Penulisan...………...14

BAB II JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT A. Perjanjian Kredit...………...16

B. Tinjauan Umum tentang Jaminan...23

C. Pengikatan Jaminan Kredit...28

(10)

ix

JAMINAN FIDUSIA

A. Jaminan Fidusia...37

B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit...43

C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang

Musnah dalam Perjanjian Kredit...47

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192 K/Pdt/2012

A. Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001………...54 B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001...64

C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan

Fidusia dalam Perjanjian Kredit ...………...…...70

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan………..……...74 B. Saran………...………...76

DAFTAR PUSTAKA...77

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam

kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.

Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan

pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk

mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk

meningkatkan taraf kehidupannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak

peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai

kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi

keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.1

Dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah telah

memberikan berbagai kebijakan, di antaranya adalah peningkatan taraf hidup

masyarakat dengan jalan pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan,

baik Bank pemerintah maupun Bank swasta nasional sebagai salah satu sumber

mendapatkan dana atau modal kerja. Dengan adanya pemberian kredit,

diharapkan penerima kredit dapat mengembangkan usahanya dengan lebih

maksimal. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pemberian kredit tersebut harus

dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu, di antaranya terdapat agunan atau

jaminan serta adanya perjanjian.

1 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Raja

Grafindo, 2007), h. 1.

(12)

Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan

salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku

Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apa pun, pemberian kredit itu diadakan

pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam

sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.

Namun, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit

bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan

adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian

pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.2

Lembaga perbankan sebagai penyedia dana memiliki peranan yang

strategis dalam membantu mensukseskan pembangunan nasional. Bank sebagai

lembaga keuangan mempunyai usaha untuk menghimpun dana dari masyarakat

dan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui kegiatan perkreditan

memegang peranan yang tidak kecil. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 3

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa fungsi utama

perbankan di Indonesia adalah menghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Jaminan adalah suatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk

menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat

di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.3 Sehubungan dengan

jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat

2

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2006), h.502

3

(13)

dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat

diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit

dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak

pemberi kredit.

Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja

yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui

suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur.4 Perjanjian kredit

merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan

mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian

kredit.

Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa

resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama

menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus

dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk

melunasi utangnya.

Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur,

yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi

oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan

persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.

Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan

dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian

jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian

4

(14)

pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak ada perjanjian jaminan tanpa

adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok

berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus. Sifat

perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor (accessoir). Perjanjian

jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur

atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu

atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan

kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.5

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa

Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu

Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia.”

Dengan demikian, istilah “fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia

hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia

ini disebut juga dengan istilah “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan”.6

Pengalihan hakkepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagi

pelunasanutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.7

“Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang disebut dengan Constitutum Posessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)”.8

5

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h. 236.

6

Munir Fuady, Jaminan FidusiaCetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3

7

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008), h.35

8

(15)

Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur

dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak.

Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.

Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama

pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani

jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap

tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena

terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.

Dalam praktek pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank dengan

mempergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit kepada pengusaha

guna mengembangkan usahanya, maka tidak tertutup kemungkinan akan

muncul permasalahan-permasalahan hukum karena objek fidusianya tetap

berada dalam tangan debitor. Seperti pada kasus yang telah diputus dalam

putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001. Dalam putusan tersebut

diselesaikan sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi

jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG

PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan

(kreditur) yang mewajibkan pihak debitur tetap membayar sisa hutangnya

kepada kreditur meskipun objek jaminannya telah musnah akibat kebakaran.

Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 permohonan kasasi oleh PT. Multi

Makmur Matari di tolak oleh Mahkamah Agung dikarenakan tidak melunasi

(16)

dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait

dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi

kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit

tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar,

karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang.

Dalam undang-undang telah di atur mengenai musnahnya benda jaminan

sebagai salah satu sebab hapusnya perjanjian, namun tidak mengapus klaim

asuransi. Tetapi pada prakteknya pihak debitur selaku pemberi fidusia tidak

mengetahui secara jelas isi polis asuransi yang dilakukan pihak kreditur dengan

perusahaan asuransi. Hal ini mengakibat jika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan terhadap benda jaminan di luar isi polis asuransi yang dibuat maka

debitur harus bertanggungjawab penuh terhadap sisa hutangnya. Seperti pada

kasus sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi

jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG

PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan

(kreditur). Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis putusan tersebut

dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “TANGGUNG JAWAB DEBITUR

ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM

PERJANJIAN KREDIT(Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).”

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut mengenai

(17)

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan di dalam

penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan

fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit?

b. Bagaimana perlindungan para pihak dalam Putusan MA Nomor

2914K/Pdt/2001 terkait musnahnya benda jaminan?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan

analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan tanggungjawab debitur terhadap

musnahnya benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian

kredit.

b. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis mengenai

perlindungan para pihak atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam

perjanjian kredit.

2. Manfaat Penelitian

Pemelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat

(18)

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum

jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan

aktivitas lembaga keuangan bank.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga

perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang

menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan

fidusia dalam kredit perbankan.

D.Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Agar tidak terjadi kesamaan antara penulisan skripsi ini dengan

penelitian tentang jaminan fidusia lainnya, maka penulis melakukan

penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian

tersebuat diantaranya:

1. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR

ATAS NILAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG MENYUSUT (Tinjauan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia)” yang disusun oleh Reza Adriansyah, Fakultas Syariah dan

(19)

ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditur dan penyelesaiannya

akibat menyusutnya nilai objek jaminan fidusia.

2. Skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR ATAS RUSAK DAN/ ATAU MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PD. BPR BANK

PURWOREJO yang disusun oleh Efi Handayani, Fakutas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2014. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap kreditur atas jaminan fidusia yang rusak dan atau musnah dalam perjanjian kredit.

E.Kerangka Teoritis dan Konseptual

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9

Tanggungjawab debitur terhadap musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya, terdapat hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila masyarakat ”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam

produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa perbankan.

9

(20)

Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, fungsi konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari masyarakat, juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.10

Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah nasabah debitur untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.11

Sutarno berpendapat bahwa perjanjian kredit dibuat untuk kepastian hukum akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.12

Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan

prinsip The Five ”C” yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal

(capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan (collateral).

Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

10

Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Alumni, 2000), h. 8.

11

Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993),h. 34.

12 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka

(21)

itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang

bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.

Sebelum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan

fidusia hanya terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam

persediaan inventory, benda dagangan, piutang (tagihan), peralatan mesin dan

kendaraan bermotor. Sedangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang

tersebut, pengertian jaminan fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang

berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat

dibebani dengan hak tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun

1996.13

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan

permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang

mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1. Tipe Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.14

13

Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis Cetakan ke-1, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), h.7

(22)

Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis ini di

konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.15

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).16

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). pendekatan perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan perindang-undangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan konseptual dipergunakan untuk memahami konsep-konsep asal mula adanya jaminan fidusia dalam lingkup kredit perbankan. Di harapkan adanya pemahaman terhadap konsep jaminan fidusia beserta aturan-aturannya yang mengikat para pihak terutama debitur agar tidak terjadi perbuatan melawan hukum/pelanggaran hukum.

15

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), h. 118

16

(23)

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum

primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum

primer dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur, jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji. 4. Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang

akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk

(24)

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G.Sistematika Penulisan

Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian

disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisannya sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang berisi uraian tentang Latar Belakang

Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,

Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT

Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit, Tinjauan Umum

tentang Jaminan, Pengikatan Jaminan Kredit, Hubungan Perjanjian

Kredit dengan Jaminan.

BAB III TANGGUNGJAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA

(25)

Dalam bab ini dibahas mengenai Tinjauan Umum tentang Jaminan

Fidusia, Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian

Kredit, dan Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas

Benda Jaminan yang Musnah dalam Perjanjian Kredit.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

2914K/Pdt/2001

Pada bab ini akan dibahas mengenai Studi Putusan MA No.

2914K/Pdt/2001, Analisis Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001, dan

Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda

Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan

dan disertakan pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

A.Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu

timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan

antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa

suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan

yang diucapkan atau ditulis.1

Antara bagian umum dan bagian khusus ini ada hubungannya satu

sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari

perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang

tercantum/diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan

syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang

didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas

konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat

apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan

tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam

1

R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal.25.

(27)

buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

menyebutkan:

1. Adanya kesepakatan

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena

menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu

perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian

atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu

sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.2

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti

“kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan

sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan

mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau

jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak.3

Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan menyebutkan definisi dari kredit

yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga”.

2

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.67

3

(28)

Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur

mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan

atau pembagian hasil keuntungan”.4

Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya”.5

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana pihak Kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.6 2. Dasar Hukum dan Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau

tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata.

Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan

4 Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 14.

5

Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 80.

6 Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta:

(29)

sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat

bukti bagi para pihak yang membuatnya.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada

Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun

1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan

uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan

bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu

tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun

menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka

untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan

pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum

menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.7

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis

adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10

Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan

pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank

dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat

Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.

03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang

berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.

7

(30)

Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank

kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.

Secara yuridis, ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit

yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

a. Perjanjian atau pengikatan kredit dibawah tangan, yang disebut akta

dibawah tangan.

b. Perjanjian atau pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan

Notaris, yang disebut akta otentik.

Perjanjian kredit yang dibuat baik dibawah tangan maupun dengan

akta otentik, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu

dengan cara kedua belah pihak (pihak bank dan pihak nasabah)

menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan isi atau

klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal

perjanjian kredit bank yang dibuat dengan akta otentik, maka bank akan

meminta Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari bank yang

bersangkutan.

Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan

dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada

perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah

tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai

kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan

benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan

(31)

3. Lahirnya Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod,

yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit,

bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.8

Hal tersebut sesuai

dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas

tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit

akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan.

Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan

bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya

perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini

sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya

perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari

kewajiban membayar bunga kredit.

Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya

perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau

pencairan kredit.9 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan

penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah

boleh menarik kreditnya.

Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit,

perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon

belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu

8

Edy Putra Tje'Aman, Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1989),h. 35.

9

(32)

ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian

jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum

menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini

adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar

bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan

membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

4. Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik

yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu

nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di

dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang

merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III

KUH perdata.

Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara

hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank.

Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya

perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran

2. Subrograsi (subrogatie)

(33)

4. Perjumpaan utang atau kompensasi.

B.Tinjauan Umum tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan

Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga

jaminan dapat diartikan tanggungan, tanggungan yang dimaksud dalam

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

dirumuskan:

“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian hari,menjadi tanggungan untuk segala perikatan.”

Adanya jaminan dalam suatu perjanjian jaminan sangat diperlukan

oleh kreditur, karena kreditur mempunyai kepentingan bahwa akan

benar-benar memenuhi kewajibannya yaitu untuk membayar utang. Perjanjian

jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir yaitu perjanjian

yang muncul akibat adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit

merupakan perjanjian pokok, sehingga menimbulkan adanya perjanjian

tambahan yang berupa perjanjian tambahan, karena dalam perjanjian kredit

disyaratkan adanya jaminan.10

Jaminan yang lahir karena Undang-undang tidak memerlukan

perjanjianantara kreditur dan debitur. Perwujudan dari jaminan berdasarkan

ketentuan Pasal1131 BW menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur

baik benda bergerak ataupun tidak bergerak, baik yang ada ataupun akan

ada menjadi jaminan atasseluruh hutangnya.

10 Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

(34)

2. Syarat dan Manfaat Jaminan

Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga

perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat

dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat benda

jaminan yang baik adalah:11

a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang

memerlukan;

b. Memberikan kedudukan mendahulukan kepada pemegangnya;

c. Mengikuti objek yang dijaminkan;

d. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;

e. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya;

f. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, bila perlu mudah

diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil)

kredit.

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam

menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan lembaga jaminan dapat

memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur

adalah:12

a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;

11

Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 27

12

(35)

b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk menerima

pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur adalah:

a. Dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak

khawatir dalam pengembangan usahanya (adanya kepastian

dalam berusaha);

b. Memberikan kepastianbagi debitur untuk mengembalikan

pokok kredit dan bunga yang ditentukan.

3. Bentuk Jaminan

Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

a. Jaminan yang timbul dari Undang-undang

Jaminan yang timbul dari Undang-undang dimaksudkan adalah

bentukbentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu

Undang-undang. Tergolong jaminan yang timbul dari Undang-undang ialah Pasal

1311 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai

berikut:

“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang

tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan

perseorangan.”

Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti seseorang

kreditur telah diberikan jaminan yang berupa harta benda dari milik

debitur tanpa khusus diperjanjikan terlebih dahulu. Namun dengan

jaminan semacam itu kedudukan kreditur hanyalah merupakan kreditur

(36)

b. Jaminan yang timbul dari atau perjanjian.

Bentuk jaminan yang timbul karena perjanjian yang dibuat khusus

dengan debitur dan kreditur dapat dibedakan antara bentuk jaminan yang

bersifat kebendaan dan yang bersifat perorangan.

1) Jaminan Perorangan

Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, ada juga yang

menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil. Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan

ynag menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,

hanya dapat di pertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta

kekayaan debitur umumnya.13 Jaminan perorangan atau jaminan

pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga

yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si

debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.

Menurut Soebekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara

seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang

menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau

debitur.14 Dengan demikian jaminan perorangan merupakan jaminan

yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau

pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan pada

benda-benda tertentu karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut

13

Ibid, h.28

14 Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II,

(37)

hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan.

Ciri-ciri jaminan perseorangan adalah:15

a) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;

b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

c) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jamina pelunasan

hutang;

d) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas

kesamaan atau keseimbangan (konkuren);

e) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari

benda-benda jaminan dibagi antara para kreditur seimbang

dengan besarnya piutang masing-masing (Pasal 1136

KUHPerdata).

2) Jaminan Kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur

hak untuk memanfaatkan suatu kebendaan milik debitur jika debitur

melakukan wanprestasi. Benda milik debitur yang dijaminkan dapat

berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak

dapat dijaminkan dengan gadai atau fidusia, sedangkan untuk benda

tidak bergerak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ataupun

hipotik atas kapal laut dan pesawat terbang serta helikopter.

Jika debitur melakukan wanprestasi, maka dalam jamina kebendaan,

kreditur mempunyai hak didahulukan dalam pemenuhan piutangnya

15

(38)

diantara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda

milik debitur. Dengan demikian jaminan kebendaan mempunyai

ciri-ciri, yaitu:16

a) Merupakan hak mutlak atau absolut atas suatu benda;

b) Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda

tertentu milik debitur;

c) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun;

d) Selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu

berada (droit de suite);

e) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih

dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi

kemudian (droit de preference);

f) Dapat diperalihkan;

g) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir).

C.Pengikatan Jaminan Kredit

Dalam praktik perbankan seharusnya suatu objek jaminan kredit diikat

melalui suatu lemabaga jaminan yang berlaku, kelihatannya banyak pula objek

jaminan kredit yang tidak diikat dengan lembaga jaminan atau melakukan

pengikatan yang tidak sepenuhnnya mengikuti ketentuan suatu lembaga

jaminan. Perbedaan perlakuan tersebut tidak hanya di antara bank sebagaimana

disebutkan diatas, tetapi juga terjadi di dalam intern masing-masing bank.17

16

Ibid, h. 17

17 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(39)

1. Pengikatan melalui Lembaga Jaminan

Cara pengikatan objek jaminan kredit yang secara umum akan

mengamankan kepentingan bank adalah bila dilakukan melalui suatu

lembaga jaminan. Sebagaimana dikemukakan terdapat 5 lembaga yang

dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang yaitu gadai, hipotik, hak

tanggungan, jaminan fidusia dan resi gudang. Dalam praktiknya keharusan

untuk melakukan pengikatan objek jaminan kredit melalui suatu lembaga

jaminan sering kali hanya dilakukan untuk jenis tertentu karena

alasan-alasan tertentu dari masing-masing bank. Besarnya nilai kredit, jangka

waktu kredit, jenis atau bentuk jaminan kredit merupakan sebagian dari

hal-hal yang dipertimbangkan bank untuk mengikat atau tidak mengikat objek

jaminan kredit melalui suatu lembaga jaminan.18 Lembaga jaminan yang

dapat digunakan dalam rangka pengikatan jaminan kredit terdiri dari:

a. Lembaga Jaminan Kebendaan

Lembaga jaminan kebendaan terdiri dari lembaga jaminan

kebendaan tidak bergerak dan lembaga kebendaan bergerak. Lembaga

jaminan tidak bergerak terdiri dari hipotik dan hak tanggungan,

sedangkan lembaga jaminan barang bergerak terdiri dari gadai, jaminan

fidusia, dan resi gudang.

1) Gadai atau Pand

Dasar hukum dari Pand adalah terdapat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Buku II tentang Pasal 1150 sampai dengan

18

(40)

Pasal 1160 butir ke-20. Pengertian Pand sebagaimana dirumuskan di

dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah

sebagi berikut:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang

(kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang (debitur) atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan barang-barang bergerak tersebut secara didahulukan dari ada orang-orang berpiutang lainnya dengan perkecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu (biaya-biaya mana yang harus didahulukan).”

2) Fidusia

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 bahwa

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

3) Hak Tanggungan

Dalam Pasal 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan disebutkan pengertian dari Hak Tanggungan yaitu hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang No.5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

(41)

4) Hipotik

Hipotik adalah hak jaminan yang dibebankan pada benda tidak

bergerak untuk pekunasan utang tertentu yang memberikan

kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain. Sebelum

berlakunya UUHT, ketentuan hipotik berlaku untuk benda tidak

bergerak berupa hak atas tanah. Namun sejak berlakunya UUHT,

hipotik hanya berlaku untuk benda bergerak berupa kapal dan pesawat

terbang atau helikopter.

5) Resi Gudang

Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan (surat berharga)

atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola

Gudang. Hak jamina atas resi gudang adalah hak jaminan yang

dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan suatu hutang yang

memberikan kedudukan diutamakan bagi penerima hak jaminan

terhadap kreditur lain. Objek jaminan resi gudang adalah setiap benda

bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan

diperdagangkan secara umum yang disimpan dalam gudang. Setiap

resi gudang yang diterbitkan hannya dapat dibebani satu jaminan

utang.19

b. Lembaga Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan atau di kenal juga penanggungan merupakan

suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si

19 Resi Gudang beserta penjaminannya diatur dalam UU No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi

(42)

berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang

apabila si berhutang tidak memenuhinya. Dalam praktik penanggungan,

dikenal istilah personal guarantee untuk penanggungan oleh orang

perorangan, corporate guarantee untuk penanggungan oleh perusahaan

atau badan hukum, dan bank garansi untuk penanggungan oleh bank.

Jaminan perorangan hanya memberikan kedudukan konkuren bagi para

pemegangnya.

2. Pengikatan yang tidak Memenuhi Ketentuan Lembaga Jaminan

Dalam praktik perbankan banyak ditemukan mengenai penerimaan

objek jaminan kredit yang pengikatannya oleh bank melalui suatu lembaga

jaminan, tetapi tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan-ketentuannya.

Pengikatan yang demikian dapat dikatankan sebagai pengikatan yang tidak

sempurna dan dapat menimbulkan permasalahn pada saat pencairan objek

jaminan yang bersangkutan.20 Pertimbangan bank untuk tidak mematuhi

sepenuhnya ketentuan-ketentuan lembaga jaminan yang digunakannya

tersebut dapat beraneka ragam. Akan tetapi secara umum pertimbangan

yang sering dikemukakan bank untuk mengikat objek jaminan kredit yang

diterimanya secara tidak sempurna adalah sebagi berikut:21

a. Terdapatnya pengecualian oleh peraturan perundang-undangan.

b. Terdapatnya kebijaksanaan bank untuk melakukan pengecualian.

20

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 139

21

(43)

3. Pengikatan yang tidak Menggunakan Lembaga Jaminan

Dari praktik perbankan dapat diketahui mengenai adanya objek

jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat dengan melalui suatu lembaga

jaminan. Bank tetap mensyaratkan adanya penyerahan objek jaminan kredit

dari debitur dan menerimanya, tetapi tidak melakukan pengikatan melalui

lembaga jaminan yang berkaitan dengan objek jaminan tersebut. Bank tidak

melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu

antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil yang

nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit pendek, dokumen jaminan

kredit tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak

seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui dan sebagainya.22 Terhadap

objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, bank

bisanya menempuh kebijaksanaan antara llain berupa tindakan sebagai

berikut:23

a. Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit;

b. Penguasaan dokumen objek jaminan kredit oleh bank;

c. Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank;

d. Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga;

e. Penyerahan surat pernyataan dari pihak debitur kepada bank;

f. Pembuatan cessie dan standing indtruction;

g. Penerimaan aksep (surat berharga).

22

Ibid, h.142

23

(44)

D.Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta

benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut

barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yng lainnya ini diwajibkan

memenuhi tuntutan itu.24 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa

perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank

dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya

perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian

pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap

merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana

pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang.

Perjanjian kredit ini dibuat secara tertulis tujuannya ialah untuk bukti lengkap

mengenai apa yang mereka perjanjikan.25

Sebelum mengajukan kredit, seorang calon debitur haruslah terlebih

dahulu mengajukan surat permohonan kredit. Setelah permohonan kredit calon

debitur dianggap layak untuk disetujui, bank akan memberikan tanda

persetujuannya yang disebutnya Sebagai Surat Persetujuan Prinsip, yaitu surat

kepada pemohon yang memberitahukan setuju secara prinsip pemberian

kredit.26 Pemberian Kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank

kepada anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan

24

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), h. 122.

25

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2000),h. 226

26

(45)

jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit

tersebut terkait dengan berbagai ketentuan hukum jaminan.27

Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan

ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan

ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta

seorang yang berutang untuk menjamin utangnya. Bank pemberi kredit

hendaknya sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131

KUHPerdata tersebut untuk mengamankan kepentingannya sebagai pihak yang

berpiutang. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada

waktu bank melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan

penanganan kredit bermasalah debitur. Pada waktu melakukan penilaian calon

debitur yang mengajukan permohonan kepadanya, bank seharusnya

berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dapat meyakini harta

yang dimiliki oleh calon debitur untuk menjamin pelunasan kredit di kemudian

hari.

Harta calon debitur adalah semua hartanya yang berupa barang bergerak

dan barang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di

kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas kredit yang bersangkutan.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut,

jaminan atas kredit yang diterima debitur tidak terbatas pada harta debitur yang

telah dikuasai bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga jaminan. Semua

harta debitur adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam

27 M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(46)

praktik perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh

ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dengan ketentuan

perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan

dengan kegiatan perbankan, terutama dalam perjanjian kredit yang

dilakukannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan

perekonomian saat ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan

(47)

BAB III

TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. Jaminan Fidusia

1. Pengertian Jaminan Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti

kepercayaan. Maka hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dan

penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan

kepercayaan. Debitor percaya bahwa kreditor mau mengembalikan hak

milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya,

kreditor percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan barang

jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

Bentuk jaminan fidusia itu sendiri ada 2 (dua), yaitu “fidusia cum

creditore” yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor,

bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada

kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa

kreditor akan mengambil alih kembali kepemilikan tersebut kepada debitor

apabila utangnya sudah dibayar lunas dan “fidusia cum amico.” Keduanya

timbul dari perjanjian yang disebut “pactum fidusiae”, yang kemudian

diikuti dengan penyerahan hak atau “in iure cessio.”1

1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),

h.119.

(48)

Undang-undang yang khusus mengatur hal ini adalah Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, namun dalam bahasa

Indonesia untuk fidusia sering pula disebut sebagai “Penyerahan Hak

Milik secara Kepercayaan.2 Pengertian fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir

(1) adalah:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya

dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Jaminan fidusia ini adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang

tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Sebagai agunan bagi

pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diumumkan

kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa dalam jaminan

fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas

dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan,

tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak kepemilikan

tersebut dilakukan dengan cara constitutum possesorium. Ini berarti

pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan

penguasaan atas benda tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penerima

2

(49)

fidusia. Bentuk pengalihan seperti ini sebenarnya sudah dikenal luas sejak

abad pertengahan di Perancis.3

2. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia

a. Subjek Jaminan Fidusia

Subjek jaminan fidusia adalah pemberi fidusia dan penerima

fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi

pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 1 butir (5)

UUF). Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang

mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan

fidusia (Pasal 1 butir (6) UUF).

Dalam Pasal 8 UUF disebutkan bahwa jaminan fidusia dapat

diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa

atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dalam penjelasannya,

ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberi fidusia kepada lebih

dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium,

yang disebut kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari

penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan

jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Wakil adalah orang yang secara

hukum dianggap mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan

fidusia.

Perlu diperhatikan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan

fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang

sudah terdaftar. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor

3 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),

(50)

maupun penjamin pihak ketiga tidak dimungkinkan atas benda yang

menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan syarat bagi sahnya jaminan

fidusia adalah bahwa pemberi fidusia mempunyai hak kepemilikan atas

benda yang dijadikan objek jaminan fidusia pada waktu ia memberi

jaminan fidusia.

b. Objek Jaminan Fidusia

Dalam hukum Islam diatur mengenai benda yang menjadi objek

jaminan fidusia, tertulis dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

اواًميق ُل َا لعج ِلا ُلاوماءآهفسلا اوتؤتاو

اْف ُوق

...

: ءاسنلا

(

)

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...”. (An -Nisa ayat 5).

Ayat diatas mengatur tentang kejelasan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia diatur secara lebih

rinci dalam Pasal 1 butir (4) UUF yaitu segala sesuatu yang dapat

dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun

yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan

atau hipotik.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus

jelas dalam akta jaminan fidusia baik identitas benda tersebut maupun

(51)

selalu berubah-ubah dan atau tetap, harus dijelaskan jenis bendanya,

merek benda dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada

satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang yang diperoleh

kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.

Pasal 10 UUF menyebutkan bahwa kecuali diperjanjikan lain,

yaitu:

1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.

Maksud kedua hal tersebut adalah bahwa hasil benda yang menjadi

objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda

yang dibebani jaminan fidusia. Klaim asuransi merupakan hak

penerima fidusia dalam hal jaminan tersebut musnah dan mendapat

penggantian dari perusahaan asuransi.

3. Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Fidusia

a. Eksekusi Jaminan Fidusia

Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan

pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu

Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap

benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

(52)

2. Penjualan benda ya

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung merupakan satu-satunya rumah sakit mata milik Pemerintah Republik Indonesia yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bina Pelayanan

3 Bagaimana arahan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi Pelestarian Makna kultural pada ruang publik Yaroana Masigi 1.Observasi langsung 2.Wawancara tokoh

Komoditi komponen Peralatan kamar mandi memiliki peluang yang menjanjikan di Perancis, hal ini dipengaruhi oleh kultur Perancis yang menempatkan kamar mandi sebagai

Sarana perekonomian seperti koperasi unit desa, pasar tempat memasarkan produk hasil pertanian tidak terdapat di desa tersebut, sehingga untuk memperoleh pinjaman modal

Data Flow Diagram atau sering juga disebut dengan Bubble Chart atau diagram, model proses, diagram alur kerja atau model fungsi adalah alat pembuatan model

jepang dan terus gagal tibalah hari yang bersejarah yakni tanggal 27 September 1945 sekali lagi Mas Soeharto dan R Diyar mengadakan perundingan dengan

Informan Sematara ini yang dilakukan oleh pihak madrasah dalam menyelesaikan penghambat peningkatan kompetensi tersebut yaitu dengan cara mencari donator tetap yang berasal

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran menganalisis isi buku fiksi berupa cerpenmenggunakan model pembelajaran SQ4R ( Survey, Question, Read,