KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA PEMBENIHAN
IKAN PATIN SIAM PADA PASIRGAOK FISH FARM
KECAMATAN RANCABUNGUR KABUPATEN BOGOR
ASTARI NOVITASARI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kelayakan Pengembangan Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam pada Pasirgaok Fish Farm Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014
Astari Novitasari
ABSTRAK
ASTARI NOVITASARI. Kelayakan Pengembangan Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam pada Pasirgaok Fish Farm Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YANTI NURAENI MUFLIKH.
Pasirgaok Fish Farm (PFF) adalah unit pembenihan ikan patin siam di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. PFF berpotensi dikembangkan karena terdapat kelebihan permintaan dan lahan yang belum termanfaatkan. Pengembangan usaha PFF, yakni intensifikasi teknik inkubasi telur dengan sistem corong resirkulasi (skenario II), ekstensifikasi dari kondisi aktual (skenario III), serta kombinasi antara intensifikasi dan ekstensifikasi (skenario IV). Penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan bisnis pembenihan ikan patin siam PFF secara non finansial maupun finansial dengan pengembangan usaha, serta pengaruh penurunan produksi dan kenaikan harga pakan benih ikan patin siam. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif untuk menganalisis kelayakan non finansial (aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial, lingkungan) dan analisis kuantitatif untuk menganalisis kelayakan finansial berdasarkan kriteria investasi (NPV, Net B/C, IRR, PP), dan analisis sensitivitas.
Kata kunci: analisis kelayakan, Patin Siam, kriteria investasi, analisis sensitivitas
ABSTRACT
ASTARI NOVITASARI. Feasibility Analysis of Business Development of Patin Siam’s hatchery at Pasirgaok Fish Farm, Rancabungur District, Bogor Regency. Supervised by YANTI NURAENI MUFLIKH.
Pasirgaok Fish Farm (PFF) is Patin Siam’s hatchery in Rancabungur District, Bogor Regency, West Java. PFF has potential to development business because there was demand excess and useless land. Development business plan of PFF is intensification egg incubation techniques with hatchery funnel system (scenario II), extensification from actual condition (scenario III), and combination between extensification and intensification (scenario IV). This research to analyze the feasibility of Patin Siam’s hatchery development business, and the effect of reduction lays production and rising prices of lays feed. The analytical method used was a qualitative analysis to analyze non-financial feasibility (technical, management, legal, social, environmental) and quantitative analysis to analyze the financial feasibility of investment criteria (NPV, Net B/C, IRR, PP),and sensitivity analysis.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
KELAYAKAN PENGEMBANGAN USAHA PEMBENIHAN
IKAN PATIN SIAM PADA PASIRGAOK FISH FARM
KECAMATAN RANCABUNGUR KABUPATEN BOGOR
ASTARI NOVITASARI
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Kelayakan Pengembangan Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam pada Pasirgaok Fish Farm Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor dan dilaksanakan sejak bulan April 2014.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yanti Nuraeni Muflikh, SP, MAgribus selaku dosen pembimbing skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir Narni Farmayanti, MSi selaku dosen penguji komisi akademik. Penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan bantuan selama proses pengumpulan data kepada Bapak Sahban Setioko, para pegawai Pasirgaok Fish Farm, Bapak Khairuman beserta seluruh aparatur Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Cijengkol Subang, Bapak Evi Tahapari beserta seluruh aparatur Balai Penelitian Pemuliaan Ikan (BPPI), serta teman Praktek Kerja Lapang (PKL) FPIK IPB tahun 2014 di BPBAT Cijengkol Subang.
Penulis juga menyampaikan terima kasih atas doa dan dukungan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga di Gresik dan Surabaya, Rahmi Yuniarti yang telah membantu selama penelitian di lapang, teman Gladikarya Desa Batulayang, serta seluruh teman Agribisnis Angkatan 47. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Sukmo Hadi Kusumo, ST dan Mbak Anggi yang telah membuat desain 3D unit penetasan telur, serta Bapak Panji Purba Kusuma, ST yang telah membantu perhitungan rancangan anggaran bangunan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Desember 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 9
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup Penelitian 10
TINJAUAN PUSTAKA 11
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan saat Proses Pembenihan Ikan Patin
Siam 11
Kelayakan Usaha Pembenihan Ikan Patin 13
KERANGKA PEMIKIRAN 16
Kerangka Pemikiran Teoritis 16
Kerangka Pemikiran Operasional 21
METODE PENELITIAN 24
Lokasi dan Waktu Penelitian 24
Jenis dan Sumber Data 24
Metode Pengumpulan Data 25
Metode Pengolahan Data dan Analisis Data 25
Asumsi Dasar yang Digunakan 29
Definisi Operasional 32
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 32
Sejarah dan Perkembangan Bisnis Perusahaan 32
Lokasi Perusahaan 33
Fasilitas Bangunan dan Peralatan Produksi Perusahaan 33
Rencana Intensifikasi Perusahaan 38
ANALISIS KELAYAKAN ASPEK NON FINANSIAL 41
Aspek Pasar 41
Aspek Teknis 46
Aspek Manajemen 63
Aspek Hukum 66
Aspek Sosial dan Aspek Lingkungan 66
ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL 68
Proyeksi Arus Kas 68
Analisis Laba Rugi 93
Analisis Kelayakan Kriteria Investasi 94
Analisis Sensitivitas 95
SIMPULAN DAN SARAN 98
Simpulan 98
DAFTAR PUSTAKA 99
RIWAYAT HIDUP 158
DAFTAR TABEL
1 Target dan realisasi produksi ikan patin tahun 2009-2014 di Indonesia 2 2 Kontribusi wilayah produsen ikan patin konsumsi tahun 2012 di
Indonesia 3
3 Kontribusi wilayah produsen benih ikan patin tahun 2012 di Indonesia 4 4 Produksi benih ikan di Kabupaten Bogor tahun 2011-2012 4 5 Perkembangan produksi benih ikan patin tertinggi di 11 Kecamatan
Kabupaten Bogor tahun 2011-2012 5
6 Jumlah penawaran dan permintaan benih ikan patin siam pada
Pasirgaok Fish Farm tahun 2014 6
7 Kriteria kuantitatif sifat reproduksi ikan patin siam kelas induk pokok 12
8 Jenis dan sumber data 24
9 Jumlah permintaan dan produksi benih ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm tahun 2014 berdasarkan wilayah pemasaran 41 10 Hasil analisis kelayakan aspek pasar usaha pembenihan ikan patin
siam pada Pasirgaok Fish Farm 46
11 Parameter kualitas air sumur gali pada Pasirgaok Fish Farm 47 12 Parameter kualitas air kolam induk pada Pasirgaok Fish Farm 50 13 Parameter kualitas air kolam treatment pada Pasirgaok Fish Farm 51 14 Parameter kualitas air pemeliharaan larva pada Pasirgaok Fish Farm 55 15 Hasil analisis kelayakan aspek manajemen usaha pembenihan ikan
patin siam pada Pasirgaok Fish Farm 65
16 Hasil analisis kelayakan aspek hukum usaha pembenihan ikan patin
siam pada Pasirgaok Fish Farm 66
17 Hasil analisis kelayakan aspek sosial dan lingkungan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm 67 18 Keragaan reproduksi induk ikan patin siam per siklus dengan teknik
inkubasi telur dalam akuarium pada Pasirgaok Fish Farm 68 19 Keragaan reproduksi induk ikan patin siam per siklus dengan sistem
corong resirkulasi pada Pasirgaok Fish Farm 69
20 Penerimaan penjualan benih ikan patin siam per tahun skenario I pada
Pasirgaok Fish Farm 70
21 Penerimaan penjualan benih ikan patin siam per tahun skenario II
pada Pasirgaok Fish Farm 70
22 Penerimaan penjualan benih ikan patin siam per tahun skenario III
pada Pasirgaok Fish Farm 71
23 Penerimaan penjualan benih ikan patin siam per tahun skenario IV
pada Pasirgaok Fish Farm 71
24 Rincian biaya investasi unit penetasan telur pada tahun 2014 73 25 Rincian biaya tetap per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 75
26 Rincian biaya tetap per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
27 Kebutuhan biaya tabung LPG per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 78
28 Rincian biaya tetap per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario III pada Pasirgaok Fish Farm 79
29 Rincian biaya tetap per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario IV pada Pasirgaok Fish Farm 80
30 Rincian biaya variabel per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario I pada Pasirgaok Fish 81
31 Kebutuhan biaya pakan benih per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 82
32 Kebutuhan biaya pengepakan per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 82
33 Kebutuhan biaya obat per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 84
34 Rincian biaya variabel usaha pembenihan ikan patin siam skenario II Pasirgaok Fish Farm pada tahun ke-2 hingga tahun ke-8 85 35 Kebutuhan biaya Artemia per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 86
36 Kebutuhan biaya cacing sutera per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 86
37 Kebutuhan biaya kantong plastik per tahun usaha pembenihan ikan patin siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 87 38 Kebutuhan biaya karet per tahun usaha pembenihan ikan patin siam
skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 87
39 Kebutuhan biaya tabung oksigen per tahun usaha pembenihan ikan patin siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 87 40 Penggunaan Ovaprim per siklus usaha pembenihan ikan patin siam
skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 88
41 Kebutuhan biaya Ovaprim per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 88
42 Penggunaan larutan sperma per siklus usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 89
43 Kebutuhan biaya obat Elbayou per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 89
44 Kebutuhan biaya obat Supertetra per tahun usaha pembenihan ikan patin siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 90 45 Kebutuhan biaya garam ikan per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 90
46 Penggunaan tanah liat per siklus usaha pembenihan ikan patin siam
skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 91
47 Kebutuhan biaya tanah liat per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 91
48 Kebutuhan biaya listrik farm per tahun usaha pembenihan ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 92
49 Rincian biaya variabel usaha pembenihan ikan patin siam skenario III Pasirgaok Fish Farm pada tahun ke-2 hingga tahun ke-8 92 50 Rincian biaya variabel usaha pembenihan ikan patin siam skenario IV
51 Nilai laba bersih per tahun usaha pembenihan ikan patin siam setiap
skenario pada Pasirgaok Fish Farm 94
52 Hasil perhitungan kelayakan kriteria investasi usaha pembenihan ikan
patin siam pada Pasirgaok Fish Farm 94
53 Risiko produksi benih ikan patin siam pada kondisi aktual Pasirgaok
Fish Farm tahun 2013 95
54 Hasil perhitungan sensitivitas penurunan produksi benih ikan patin
siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 96
55 Hasil perhitungan sensitivitas kenaikan harga pakan benih ikan patin siam setiap skenario pada Pasirgaok Fish Farm 97 56 Hasil perhitungan switching value penurunan produksi benih ikan
patin siam setiap skenario pada Pasirgaok Fish Farm 98
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran operasional 23
2 Kolam induk, pipa inlet, dan mesin diesel 33
3 Pompa air di sumur bor 34
4 Tandon air 34
5 Kolam treatment dan tabung filtrasi 35
6 Inlet air dan outlet air hatchery ke-1 35
7 Inlet air dan outlet air hatchery ke-2 36
8 Kolam pemberokan 36
9 Kolam penyimpanan cacing sutera 36
10 Kultur Artemia 37
11 Mikroskop, bak fiber, waring, seser halus, ember grading 37
12 Unit penetasan telur 38
13 Corong penetasan telur 39
14 Bak penampungan larva 39
15 Bak filter 40
16 Sterilisasi hatchery 51
17 Pengecekan telur, pengangkutan induk, dan penimbangan induk 52
18 Pemberokan induk 52
19 Peralatan pemijahan dan penyuntikan induk betina 53
21 Stripping dan pembuahan buatan 53
21 Penebaran telur dan inkubasi telur 54
22 Panen larva, larva berumur 1 hari , dan pengobatan 55 23 Kultur Artemia, panen Artemia, naplius Artemia, dan pemberian
pakan 57
24 Penyincangan dan pencucian cacing sutera 57
25 Ganti air dan penyifonan 58
26 Panen benih, sortasi benih, sampling, dan pengepakan 59
27 Struktur organisasi Pasirgaok Fish Farm 63
DAFTAR LAMPIRAN
1 Skema proses pembenihan ikan patin siam dengan teknik
inkubasi telur dalam akuarium 103
2 Skema proses pembenihan ikan patin siam dengan sistem
corong resirkulasi 104
3 Layout usaha pembenihan ikan patin siam skenario I dan
skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 105
4 Layout unit penetasan telur 107
5 Layout usaha pembenihan ikan patin siam skenario III pada
Pasirgaok Fish Farm 108
6 Layout usaha pembenihan ikan patin siam skenario IV pada
Pasirgaok Fish Farm 110
7 Hasil analisis aspek teknis usaha pembenihan ikan patin siam pada
Pasirgaok Fish Farm 112
8 Jadwal kegiatan produksi benih ikan patin siam per siklus skenario I
dan skenario II setiap bulan 113
9 Jadwal kegiatan produksi benih ikan patin siam per siklus
skenario III setiap bulan 114
10 Jadwal kegiatan produksi benih ikan patin siam per siklus
skenario IV setiap bulan 116
11 Rincian biaya investasi, penyusutan, nilai sisa, reinvestasi usaha
pembenihan ikan patin siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm 119 12 Laporan laba rugi usaha pembenihan ikan patin siam skenario I
pada Pasirgaok Fish Farm 122
13 Cashflow usaha pembenihan ikan patin siam skenario I pada
Pasirgaok Fish Farm 124
14 Cashflow analisis sensitivitas penurunan produksi benih ikan patin
siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm sebesar 61 persen 125 15 Cashflow analisis sensitivitas kenaikan harga pakan benih ikan patin
siam skenario I pada Pasirgaok Fish Farm sebesar 58 persen 126 16 Cashflow analisis switching value kelayakan skenario I pada Pasirgaok
Fish Farm terhadap batas penurunan produksi benih ikan patin siam 127 17 Biaya investasi, penyusutan, nilai sisa, reinvestasi usaha pembenihan
ikan patin siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm 128 18 Laporan laba rugi usaha pembenihan ikan patin siam skenario II pada
Pasirgaok Fish Farm 132
19 Cashflow usaha pembenihan ikan patin siam skenario II pada
Pasirgaok Fish Farm 134
20 Cashflow analisis sensitivitas kenaikan harga pakan benih ikan patin
siam skenario II pada Pasirgaok Fish Farm sebesar 58 persen 135 21 Cashflow analisis switching value kelayakan skenario II pada Pasirgaok
Fish Farm terhadap batas penurunan produksi benih ikan patin siam 136 22 Biaya investasi, penyusutan, nilai sisa, reinvestasi usaha pembenihan
ikan patin siam skenario III pada Pasirgaok Fish Farm 137 23 Laporan laba rugi usaha pembenihan ikan patin siam skenario III pada
24 Cashflow usaha pembenihan ikan patin siam skenario III pada
Pasirgaok Fish Farm 144
25 Cashflow analisis sensitivitas kenaikan harga pakan benih ikan patin
siam skenario III pada Pasirgaok Fish Farm sebesar 58 persen 145 26 Cashflow analisis switching value kelayakan skenario III pada Pasirgaok
Fish Farm terhadap batas penurunan produksi benih ikan patin siam 146 27 Biaya investasi, penyusutan, nilai sisa, reinvestasi usaha pembenihan
ikan patin siam skenario IV pada Pasirgaok Fish Farm 147 28 Laporan laba rugi usaha pembenihan ikan patin siam skenario IV pada
Pasirgaok Fish Farm 153
29 Cashflow usaha pembenihan ikan patin siam skenario IV pada
Pasirgaok Fish Farm 155
30 Cashflow analisis sensitivitas kenaikan harga pakan benih ikan patin
siam skenario IV pada Pasirgaok Fish Farm sebesar 58 persen 156 31 Cashflow analisis switching value kelayakan skenario IV pada Pasirgaok
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perikanan merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan kelautan dan perikanan selama kurun waktu tertentu. Pencapaian sementara nilai PDB perikanan berdasarkan pada harga konstan tahun 2000 meningkat rata-rata sebesar 5.91 persen per tahun selama periode tahun 2008 hingga 2012 lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB kelompok pertanian lainnya (KKP 2013b). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan sektor primer sumberdaya perikanan tangkap dan perikanan budidaya di Indonesia dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional dari kelompok pertanian.
Volume produksi perikanan Indonesia meningkat rata-rata sebesar 15.06 persen per tahun sejak tahun 2008 hingga 2012 disebabkan oleh pertumbuhan rata-rata volume produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap yang meningkat masing-masing sebesar 25.95 persen per tahun dan 3.91 persen per tahun. Tren positif pertumbuhan rata-rata volume produksi perikanan budidaya selama 5 tahun tersebut dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata luas lahan dan rumah tangga perikanan budidaya masing-masing sebesar 6.11 persen per tahun dan 5.72 persen per tahun (KKP 2013b). Kegiatan usaha perikanan budidaya semakin menarik bagi masyarakat lokal maupun asing. Hal ini dibuktikan berdasarkan pada peningkatan jumlah investasi kegiatan usaha perikanan budidaya sebesar 44 persen per tahun sejak tahun 2010 hingga 2013 (DJPB 2013e).
Hasil produksi perikanan budidaya menjadi prioritas utama memenuhi kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri karena pertumbuhan volume penangkapan ikan di laut melambat akibat perubahan iklim dan tingkat pemanfaatan mendekati
Maximum Sustainable Yield (MSY) (KKP 2013c). Tingkat konsumsi ikan di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4.89 persen per tahun selama tahun 2008 hingga 2012 (KKP 2013b). Menurut Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, kebutuhan ikan untuk konsumsi dalam negeri diproyeksikan meningkat sebesar 7 persen per tahun selama tahun 2014 hingga 2019, seiiring terjadi peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi ikan setiap tahun1. Tren positif kenaikan tingkat konsumsi ikan per tahun dipengaruhi oleh kegiatan pembinaan pasar ikan, promosi dan kerjasama pemasaran hasil perikanan dengan kegiatan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan), serta pengembangan sarana dan prasarana pemasaran (DJPB 2013e).
Salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya adalah ikan patin. Ikan patin memenuhi kriteria komoditas unggulan antara lain: bernilai ekonomis tinggi, teknologi budidaya dapat diterapkan dan tersedia, permintaan pasar tinggi, serta dapat dibudidayakan dan dikembangkan secara massal (KKP 2013c). Kenaikan rata-rata harga ikan patin sebesar 8 persen selama tahun 2012 hingga 2013 memberikan nilai ekonomis bagi pembudidaya pembesaran ikan patin (BPS 2014). Kemajuan teknologi pembenihan ikan patin dengan teknik pemijahan buatan
1
2
dapat menyediakan pasokan benih ikan patin setiap musim. Selain itu, pembesaran ikan patin dapat dilakukan di kolam dan keramba secara massal.
Mayoritas pembudidaya ikan patin di Indonesia membudidayakan jenis ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) dibandingkan dengan jenis ikan patin jambal (Pangasius djambal), patin nasutus (Pangasius nasutus), patin pasupati, dan patin hibrid nasutus. Alasan para pelaku pembenihan memilih jenis ikan patin siam adalah fekunditas induk ikan patin siam betina antara 120 ribu butir telur dan 200 ribu butir telur (BSN 2000b) lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas induk ikan patin jambal betina minimum 7 000 butir telur (BSN 2009e) dan fekunditas induk ikan patin nasutus antara 26 000 butir telur dan 67 000 butir telur (Tahapari et al. 2011). Ikan patin pasupati berasal dari persilangan induk ikan patin siam betina dan induk ikan patin jambal jantan, sedangkan ikan patin hibrid nasutus berasal dari persilangan antara induk ikan patin siam betina dan induk ikan patin nasutus jantan (Suryaningrum et al. 2010). Hal ini membuktikan bahwa fekunditas induk ikan patin siam betina sangat tinggi dan bernilai ekonomis. Pertimbangan lainnya adalah pertumbuhan ikan patin siam lebih cepat dan mampu beradaptasi dalam kondisi air yang buruk (Hamid et al. 2009).
Tabel 1 Target dan realisasi produksi ikan patin tahun 2009-2014 di Indonesia Tahun
Keterangan *) : Data belum tersedia. a
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2012c), bKementerian Kelautan dan Perikanan (2012a). kurangnya informasi pasar antara pembudidaya pembesaran ikan patin dan industri pengolahan ikan patin yang mengakibatkan penyerapan ikan patin terhambat, serta pemberhentian larangan impor ikan patin pada tahun 2011 yang mengakibatkan ikan patin lokal bersaing dengan harga ikan patin impor yang lebih murah (KKP 2012a).
3 produksi ikan patin belum mencapai target, namun ikan patin menjadi komoditas industrialisasi yang mengalami pertumbuhan rata-rata tertinggi selama tahun 2008 hingga 2012 sebesar 37.18 persen per tahun dibandingkan dengan komoditas industrialisasi lainnya (KKP 2013b). Hal ini menunjukkan bahwa potensi produksi ikan patin sebagai komoditas industrialisasi dapat ditingkatkan.
Pembatasan impor olahan daging tanpa tulang (fillet) ikan patin mendukung kebijakan percepatan industrialisasi patin. Dampak pembatasan kuota impor fillet
ikan patin adalah peningkatan permintaan fillet ikan patin lokal. Terdapat 6 Unit Pengolahan Ikan (UPI) fillet ikan patin lokal dengan kapasitas produksi sebanyak 200 ton fillet/bulan, sedangkan sisanya sebanyak 200 ton fillet diimpor (Trobos Aqua 2013b). Pembangunan sentra ikan patin dan UPI fillet ikan patin difokuskan di 6 kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Muaro Jambi (Jambi), Kabupaten Kampar (Riau), Kabupaten Tulungagung (Jawa Timur), Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan), serta Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta (Jawa Barat)2. Pemetaan lokasi industri ikan patin menyesuaikan wilayah produsen ikan patin tertinggi di Indonesia. Provinsi Sumatera Selatan menjadi lokasi pembesaran ikan patin terbesar dengan kontribusi produksi sebesar 63 persen terhadap produksi ikan patin nasional (Tabel 2).
Tabel 2 Kontribusi wilayah produsen ikan patin konsumsi tahun 2012 di Indonesia
Wilayah Produksi (Ton) Kontribusi (%)
Sumatera Selatan 218 100 63
Riau 19 660 6
Kalimantan Selatan 19 202 6
Jawa Barat 19 040 5
Jambi 16 701 5
Kalimantan Tengah 16 316 5
Lampung 15 010 4
Lain-lain 22 977 7
Total 229 267 100
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012a ).
Upaya peningkatan produksi ikan patin konsumsi untuk mendukung industrialisasi ikan patin akan meningkatkan kebutuhan benih ikan patin di sektor hulu. Pemerintah Indonesia berupaya mengembangkan pembenihan ikan patin sesuai peta jalan (roadmap) industrialisasi kelautan dan perikanan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.7/KEPMEN-KP/2013 melalui peningkatan produksi dan distribusi induk patin unggul, penguatan kelembagaan pembenih skala kecil, penguatan sistem informasi produksi dan distribusi benih unggul, optimalisasi kapasitas pembenihan skala besar, serta sertifikasi Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB).
Peluang pelaku pembenihan ikan patin memenuhi kebutuhan benih ikan patin di Indonesia masih tersedia pada tahun 2014. Jumlah kebutuhan benih ikan
2
4
patin untuk mencapai target produksi ikan patin konsumsi sebesar 1 883 000 ton pada tahun 2014 adalah 4.71 Miliar ekor benih, sedangkan produksi benih ikan patin di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 2.31 Miliar ekor benih (DJPB 2013d). Perhitungan kebutuhan benih berasal dari rata-rata bobot ikan patin konsumsi seberat 500 g per ekor (TROBOS Aqua 2012a), sehingga 1 kg ikan patin konsumsi membutuhkan 2 ekor benih ikan patin dengan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) sebesar 80 persen selama proses pembesaran (BSN 2002d).
Tabel 3 Kontribusi wilayah produsen benih ikan patin tahun 2012 di Indonesia
Wilayah Produksi (ribu ekor) Kontribusi (%)
Jawa Barat 598 908 26
Jambi 503 515 22
Riau 501 131 22
Kalimantan Selatan 394 189 17
Lampung 121 196 5
Jawa Timur 71 926 3
Sumatera Selatan 65 047 3
Lain-lain 57 034 2
Total 2 312 946 100
Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013d ).
Keunikan prospek bisnis ikan patin di Indonesia adalah budidaya ikan patin tersegmentasi menjadi segmentasi usaha pembenihan, usaha pendederan, dan usaha pembesaran. Terjadinya segmentasi usaha ikan patin disebabkan oleh kesesuaian lokasi usaha, ketersediaan bahan baku, modal, dan pasar yang dituju. Oleh sebab itu, sentra pembenihan ikan patin terbesar berada di Provinsi Jawa Barat berdasarkan pada kontribusi produksi benih ikan patin sebesar 26 persen dari total produksi benih ikan patin pada tahun 2012 (Tabel 3). Meskipun pembenihan ikan patin berkembang pesat di wilayah Bogor, Sukabumi, serta Jakarta dan sekitarnya (Hadie et al. 2011), namun hampir 60 persen benih ikan patin asal Jawa Barat dijual ke luar wilayah Pulau Jawa (BPBAT Cijengkol 2013). Tabel 4 Produksi benih ikan di Kabupaten Bogor tahun 2011-2012
Jenis ikan Produksi (ribu ekor) Pertumbuhan tahun 2011-2012 (%)
2011 2012
Mas 71 900 97 756 36
Nila 45 325 87 209 92
Gurame 31 065 27 834 -10
Lele 546 840 1 755 828 221
Patin 30 460 35 301 16
Bawal 646 000 46 167 -93
Lain-lain 3 662 2 986 -19
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2012).
5 Rumah Tangga Perikanan (RTP) pembesaran ikan air tawar di Kabupaten Bogor mengalami penurunan sebesar 2 persen pada tahun 2012 karena beberapa Rumah Tangga Perikanan RTP pembesaran ikan air tawar beralih ke usaha pembenihan, sehingga jumlah RTP pembenihan ikan meningkat sebesar 19 persen pada tahun 2012 (Disnakan Kabupaten Bogor 2012). Menurut Sekertaris Jenderal Catfish Club Indonesia, Dr Ir Azam B. Zaidy, wilayah Bogor dapat memasok benih ikan patin ke Jambi antara 10 persen dan 20 persen, Riau sebesar 40 persen, Palembang antara 60 persen dan 70 persen, serta Kalimantan sebesar 100 persen (Hadie et al.
2011). Oleh sebab itu, ikan patin dapat menjadi alternatif bagi RTP pembenihan ikan air tawar di Kabupaten Bogor karena wilayah pemasarannya cukup luas.
Kelebihan usaha pembenihan ikan patin di Kabupaten Bogor, yakni kemudahan mengakses bahan baku (cacing sutera, pakan induk, induk), teknik pemijahan buatan mudah diaplikasikan, dan pemeliharaan larva dilakukan dalam panti benih (hatchery) secara terkontrol. Menurut Bapak Yudi, pelaku usaha pembenihan ikan patin di Provinsi Lampung, kesulitan pembenihan ikan patin di Lampung adalah keterbatasan cacing sutera yang menyebabkan harga cacing sutera mencapai Rp 40 000 per liter pada bulan Oktober 2014, sedangkan harga cacing sutera di Kabupaten Bogor sekitar Rp 19 000 per liter dan mudah diperoleh. Keterbatasan pakan alami menyebabkan produksi benih ikan patin rendah dan tidak dapat memenuhi permintaan petani pembesaran di Lampung3. Tabel 5 Perkembangan produksi benih ikan patin tertinggi di 11 Kecamatan
Kabupaten Bogor tahun 2011-2012
Kecamatan Produksi (ribu ekor) Pertumbuhan tahun
2011-2012 (%)
2011 2012
Ciampea 8 424 950 9 763 790 16
Parung 3 955 850 4 584 490 16
Ciseeng 3 121 340 3 617 350 16
Ciomas 2 970 210 3 442 220 16
Cibungbulang 2 495 930 2 892 570 16
Tenjolaya 1 890 140 2 190 510 16
Gunung Sindur 2 053 440 2 379 770 16
Pamijahan 1 144 360 1 326 230 16
Bojong Gede 1 072 950 1 243 470 16
Tajurhalang 979 400 1 135 030 16
Rancabungur 975 590 1 130 610 16
Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2012)
Tabel 5 menunjukkan bahwa setiap kecamatan di Kabupaten Bogor berpotensi mengembangkan usaha pembenihan ikan patin dengan kenaikan rata-rata produksi benih ikan patin yang sama setiap tahun. Salah satu pelaku usaha pembenihan ikan patin siam adalah Pasirgaok Fish Farm yang berlokasi di Desa Pasirgaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Pasirgaok Fish Farm menjadi pelopor usaha pembenihan ikan patin siam sejak bulan Oktober 2012 di
3
Wawancara dengan Bapak Yudi pelaku usaha pembenihan ikan patin di Lampung via
6
Desa Pasirgaok4. Skala produksi benih ikan patin siam pada 2 unit hatchery
Pasirgaok Fish Farm adalah 778 000 ekor per siklus dengan 11 ekor induk betina dan 849 000 ekor per siklus dengan 12 ekor induk betina saat musim hujan. Produksi benih ikan patin siam per siklus pada Pasirgaok Fish Farm lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata produksi benih ikan patin di daerah Parung dan Ciampea, Kabupaten Bogor, antara 300 000 ekor per siklus dan 500 000 ekor per siklus (Hadie et al. 2011). Kondisi tersebut diperkuat oleh hasil observasi lapang oleh Zelvina (2009) bahwa produksi rata-rata benih ikan patin di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, sebanyak 224 000 ekor per siklus dengan 10 ekor induk betina.
Perumusan Masalah
Usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm dilakukan mulai dari tahap manajemen induk sampai menghasilkan benih ukuran 3/4 inci selama waktu pemeliharaan antara 15 hari dan 21 hari. Total produksi benih ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm adalah 14 277 000 per tahun yang berasal dari 22 siklus produksi. Kapasitas produksi hatchery ke-1 dengan 11 ekor induk betina adalah 778 000 ekor per siklus, sedangkan kapasitas produksi hatchery ke-2 adalah 849 000 ekor per siklus dengan 1ke-2 ekor induk betina. Perbedaan penggunaan jumlah induk di kedua hatchery disebabkan oleh jumlah akuarium
hatchery ke-2 lebih banyak 5 unit.
Tabel 6 Jumlah penawaran dan permintaan benih ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm tahun 2014
Musim Penawaran (ekor)
Permintaan (ekor)
Kelebihan permintaan (ekor)
Persentase permintaan terpenuhi (%)
Hujan 9 762 000 33 930 000 24 168 000 28.77
Kemarau 4 515 000 14 325 000 9 810 000 31.52
Total 14 277 000 48 255 000 33 978 000 29.59
Sumber: Pasirgaok Fish Farm (2014).
Distribusi benih ikan patin siam Pasirgaok Fish Farm secara rutin ditujukan kepada 2 orang pembudidaya pendederan ikan patin di Lampung dan Kabupaten Bogor antara 625 000 ekor per bulan dan 1 000 000 ekor per bulan saat musim hujan. Jumlah permintaan benih ikan patin bagi Pasirgaok Fish Farm menurun hampir 2 kali lipat saat musim kemarau akibat ketersediaan air berkurang, sehingga pembudidaya pembesaran ikan patin mengurangi jumlah benih yang ditebar. Tabel 6 menunjukkan bahwa Pasirgaok Fish Farm mengalami kelebihan permintaan benih ikan patin siam sebanyak 33 978 000 ekor pada tahun 2014 yang berasal dari wilayah Bogor, Lampung, Palembang, Riau, Jambi, Banten, Purwakarta, dan Tulungagung. Kapasitas produksi benih ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm hanya dapat memenuhi permintaan sebesar 29.59 persen pada tahun 2014 di sebagian wilayah Lampung dan Bogor.
Kapasitas produksi benih ikan patin siam yang besar pada Pasirgaok Fish
4
7 Farm dipengaruhi oleh cara memelihara larva dengan sistem intensif, yakni padat penebaran larva tinggi antara 63 ekor per liter dan 88 ekor per liter dalam akuarium ukuran 2 m x 1 m x 0.5 m dan ketinggian air 40 cm. Menurut Khairuman dan Sudenda (2009), budidaya ikan patin secara intensif menerapkan padat penebaran larva di atas 60 ekor per liter, sedangkan Ariyanto et al. (2008) menggunakan padat penebaran larva antara 50 ekor per liter dan 150 ekor per liter untuk dipelihara secara intensif. Hasil observasi Ariyanto et al. (2008) menemukan fakta bahwa pemeliharaan larva di hatchery skala rumah tangga di Indonesia belum dilakukan secara intensif, yakni padat penebaran larva antara 30 ekor per liter dan 50 ekor per liter, sehingga produksi benih ikan patin siam rendah.
Kapasitas maksimum penebaran larva pada akuarium Pasirgaok Fish Farm adalah 88 ekor per liter. Pasirgaok Fish Farm dapat memaksimumkan produksi larva mencapai 2 800 000 ekor per siklus di hatchery ke-1 dan 3 150 000 ekor per siklus di hatchery ke-2. Akan tetapi kondisi di lapang menunjukkan hasil produksi larva ikan patin siam per siklus dengan penggunaan minimum jumlah induk betina hanya dapat memenuhi sebanyak 35 akuarium di hatchery ke-1 dengan 11 ekor induk betina dan 38 akuarium di hatchery ke-2 dengan 12 ekor induk betina, sehingga padat penebaran larva hanya sebanyak 63 ekor per liter. Jika Pasirgaok Fish Farm dapat memaksimum penggunaan seluruh akuarium dan memaksimum padat penebaran larva dengan jumlah minimum penggunaan induk betina, maka Pasirgaok Fish Farm dapat meningkatkan produksi untuk mengurangi kelebihan permintaan dan memperoleh keuntungan lebih besar.
Salah satu penyebab produksi larva ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm belum maksimum adalah proses penetasan telur (inkubasi telur) menggunakan teknologi sederhana dengan akuarium. Teknik inkubasi telur dalam air menggenang di akuarium umumnya diterapkan di Indonesia karena peralatan lebih sederhana dan tidak terlalu mahal, akan tetapi kelemahan teknik ini adalah menurunkan kualitas air dan menimbulkan risiko pertumbuhan jamur Saprolegnia
sp. (Slembrouck et al. 2005). Telur yang tidak terbuai di dalam satu wadah akan membusuk dan menumbuhkan jamur, sehingga telur tidak menetas dan derajat penetasan telur menurun (Waspada 2012). Meskipun media penetasan telur diobati dengan methylene blue untuk mematikan jamur, namun risiko kemunculan jamur sulit dihindari. Selain pertumbuhan jamur, kendala penetasan telur dalam akuarium adalah jumlah kehilangan larva sangat tinggi karena proses pergantian air sisa penetasan telur membutuhkan waktu lama, sedangkan larva yang baru menetas sangat sensitif terhadap kualitas air yang rendah (Hadie et al. 2011).
8
Intensifikasi produksi benih ikan patin siam adalah upaya meningkatkan hasil produksi benih ikan patin siam tanpa menambah jumlah akuarium dengan cara memaksimumkan padat penebaran larva di setiap akuarium, sehingga peranan teknologi sangat dibutuhkan. Intensifikasi Pasirgaok Fish Farm adalah penerapan teknologi penetasan telur menggunakan teknik inkubasi telur dalam corong resirkulasi untuk meningkatkan derajat penetasan telur menjadi 81 persen dan memaksimumkan padat penebaran larva menjadi 88 ekor per liter. Keuntungan menerapkan teknik inkubasi telur dengan sistem corong resirkulasi adalah mengurangi risiko pertumbuhan jamur dan memudahkan larva keluar dari cangkang maupun telur yang mati, sementara sistem resirkulasi air memperbaiki kualitas air selama proses inkubasi telur (Slembrouck et al. 2005).
Selain upaya intensifikasi, upaya meningkatkan produksi benih ikan patin siam dilakukan dengan cara ekstensifikasi untuk memenuhi kelebihan permintaan sebanyak 33 978 000 ekor per tahun. Ekstensifikasi produksi benih ikan patin siam merupakan upaya meningkatkan produksi benih ikan patin siam dengan cara menambah jumlah akuarium dan hatchery karena tersedia lahan seluas 5 124 m2 yang belum termanfaatkan. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara menambah
hatchery sebanyak 4 unit untuk meningkatkan produksi benih ikan patin siam 3 kali lipat dari kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm. Kombinasi upaya ekstensifikasi dan intensifikasi produksi benih ikan patin siam dapat menjadi alternatif bagi Pasirgaok Fish Farm untuk meningkatkan produksi benih ikan patin siam 2 kali lipat dari kondisi intensifikasi Pasirgaok Fish Farm. Kombinasi ekstensifikasi dan intensifikasi dilakukan dengan cara menambah 2 unit hatchery yang menerapkan sistem corong resirkulasi.
Biaya investasi usaha pembenihan ikan patin siam yang dikeluarkan oleh Pasirgaok Fish Farm untuk kegiatan intensifikasi (skenario II), ekstensifikasi (skenario III), serta kombinasi ekstensifikasi dan intensifikasi (skenario IV) sangat besar, sedangkan investor memiliki keterbatasan dana dengan menggunakan modal sendiri. Selain itu, biaya investasi usaha pembenihan ikan patin siam yang dikeluarkan pada kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm (skenario I) belum dianalisis kelayakan secara non finansial dan finansial, sehingga menurut nilai sekarang usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm belum diperhitungkan apakah memberikan keuntungan atau kerugian pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, analisis kelayakan non finansial dan finansial skenario I, skenario II, skenario III, dan skenario IV sangat penting untuk memberikan pilihan pengembangan bisnis pembenihan ikan patin siam yang paling layak bagi Pasirgaok Fish Farm, sehingga tidak terjadi ketelanjuran investasi yang besar dari bisnis yang tidak menguntungkan.
9 dan kenaikan harga pakan benih. Harga pakan benih berupa cacing sutera meningkat sebesar 58 persen saat terjadi kelangkaan dan pengaruhnya perlu dianalisis terhadap hasil kelayakan setiap skenario. Selain itu, besarnya perubahan maksimum penurunan produksi benih yang dapat ditoleransi oleh Pasirgaok Fish Farm perlu diperhitungkan dan dianalisis pengaruhnya terhadap hasil kelayakan setiap skenario pengembangan usaha agar tetap layak dijalankan.
Permasalahan pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm dijawab melalui penelitian ini. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana kelayakan aspek non finansial pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm menggunakan empat skenario, yakni kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm (skenario I), intensifikasi dengan sistem corong resirkulasi (skenario II), ekstensifikasi dengan menambah 4 unit hatchery (skenario III), serta kombinasi ekstensifikasi dan intensifikasi dengan menambah 2 unit hatchery yang menerapkan sistem corong resirkulasi (skenario IV)?
2. Bagaimana kelayakan aspek finansial masing-masing skenario pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm?
3. Bagaimana tingkat kepekaan (sensitivitas) kelayakan usaha pembenihan ikan patin siam terhadap perubahan penurunan produksi benih ikan patin siam akibat risiko produksi pada kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm (skenario I) dan kelayakan setiap skenario terhadap perubahan kenaikan harga pakan benih ikan patin siam?
4. Berapa batas perubahan maksimum penurunan produksi benih ikan patin siam yang dapat ditoleransi terhadap kelayakan setiap skenario pada Pasirgaok Fish Farm?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis kelayakan aspek non finansial pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm menggunakan empat skenario.
2. Menganalisis kelayakan aspek finansial masing-masing skenario pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm.
3. Melakukan analisis sensitivitas kelayakan usaha pembenihan ikan patin siam terhadap perubahan penurunan produksi benih ikan patin siam akibat risiko produksi pada kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm (skenario I) dan kelayakan setiap skenario terhadap perubahan kenaikan harga pakan benih ikan patin siam.
10
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi tentang kelayakan usaha pembenihan ikan patin siam antara lain:
1. Bagi pemerintah Kabupaten Bogor, hasil penelitian ini menjadi informasi dan bahan kajian bagi Pemerintah untuk meningkatkan pemberdayaan pelaku pembenihan ikan patin siam di Kabupaten Bogor.
2. Bagi pihak pengelola Pasirgaok Fish Farm, hasil penelitian ini menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan bagi investor untuk mengambil keputusan melakukan pengembangan bisnis.
3. Bagi penulis, hasil penelitian ini berguna untuk meningkatkan kemampuan menganalisis kelayakan usaha dalam bidang agribisnis perikanan.
4. Bagi pembaca, hasil penelitian ini memberikan informasi terkait kelayakan pembenihan ikan patin siam dengan adopsi teknologi di Kabupaten Bogor.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada usaha pembenihan ikan patin siam milik Pasirgaok Fish Farm. Lokasi usaha berada di Desa Pasirgaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menganalisis kelayakan pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm menggunakan empat skenario.
Skenario I adalah kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm dengan menerapkan teknik inkubasi telur dalam air menggenang di akuarium. Skenario II adalah intensifikasi menerapkan sistem corong resirkulasi untuk proses inkubasi telur. Penerapan sistem corong resirkulasi bertujuan menghasilkan derajat penetasan telur sebesar 81 persen sesuai hasil riset Iswanto dan Tahapari (2010) dan memaksimum padat penebaran larva menjadi 88 ekor per liter dengan menggunakan jumlah induk yang sama seperti kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm. Cara kerja unit penetasan telur dan spesifikasi peralatan unit penetasan telur menyesuaikan kondisi unit penetasan telur di Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar Cijengkol, Kabupaten Subang, Jawa Barat.
Skenario III adalah ekstensifikasi menambah 4 unit hatchery untuk meningkatkan hasil produksi benih ikan patin siam 3 kali lipat dari kondisi aktual Pasirgaok Fish Farm atau skenario I. Skenario IV adalah kombinasi ekstensifikasi dan intensifikasi dengan menambah 2 unit hatchery yang menerapkan sistem corong resirkulasi untuk meningkatkan hasil produksi benih ikan patin siam 2 kali lipat dari kondisi intensifikasi Pasirgaok Fish Farm atau skenario II.
11
TINJAUAN PUSTAKA
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan saat Proses Pembenihan Ikan Patin Siam
Badan Standarisasi Nasional (BSN) (2000b) mendeskripsikan ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) sebagai jenis ikan yang hidup di perairan tropis Indo-Pasifik dan memiliki ciri fisik antara lain: tubuh agak memanjang, kepala berbentuk simetris, badan licin tidak bersisik, mulut lebar, memiliki 2 pasang sungut, dan mata terletak agak ke bawah. Ikan patin siam memiliki keunggulan dapat beradaptasi di kondisi air yang rendah kandungan oksigen terlarut dan pH rendah, bahkan menurut Hamid et al. (2009) budidaya ikan patin dapat dilakukan di lahan gambut dan rawa-rawa. Proses pembenihan ikan patin merupakan rangkaian proses mulai dari manajemen induk, pemijahan buatan, dan pemeliharaan larva.
Manajemen Induk
Manajemen induk merupakan proses pengelolaan induk melalui manajemen pakan. Induk patin diberi pakan pelet komersil mengandung protein antara 28 persen dan 32 persen sebanyak 1.5 persen dari bobot total induk sampai 2 persen dari bobot total induk setiap hari (Hamid et al. 2009). Pakan induk dengan kandungan protein sebesar 35 persen ditingkatkan menjadi 2 persen per bobot total induk (Darmawan dan Tahapari 2013). Kedua penelitian tersebut menggunakan standar kandungan protein pakan SNI antara 28 persen hingga 35 persen (BSN 2000). Rendahnya jumlah induk yang berovulasi dan gagal disebabkan oleh ukuran sel telur yang tidak seragam. Ketidakseragaman telur disebabkan oleh kandungan energi dalam pakan (Waspada 2012).
Pemijahan Buatan
Menurut Hamid et al. (2009), pemijahan buatan merupakan rangkaian proses seleksi induk, penyutikan, stripping, penetasan telur, dan pemanenan larva. Seleksi induk merupakan proses pemilihan induk berdasarkan kriteria. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2000b), induk ikan patin siam dibedakan menjadi tiga, yakni induk pejenis, induk dasar, dan induk pokok. Kriteria kualitatif induk patin siam kelas induk pokok antara lain: berasal dari pembesaran benih sebar keturunan pertama induk dasar atau induk penjenis secara selektif, berwarna abu-abu kehitaman mulai dari kepala hingga ekor di punggung dan putih keperakan di bawah perut, organ tubuh lengkap dan tidak cacat, tekstur daging kenyal tidak lembek, gerakan aktif, mudah terkejut, serta responsif terhadap pakan.
12
sehingga jamur Saprolegnia sp. berkembangbiak. Tabel 7 menunjukkan kriteria kuantitatif induk patin siam yang menentukan keberhasilan pembenihan
Tabel 7 Kriteria kuantitatif sifat reproduksi ikan patin siam kelas induk pokok
Parameter Satuan Kriteria
Jantan Betina
Umur pertama pemijahan tahun > 1.5 >2.5
Panjang standar cm 40 45
Bobot tubuh pertama matang gonad kg >2.0 >3.0
Fekunditas butir per kg - 120 000-200 000
Diameter telur mm - 1.0-1.2
Keseragaman telur % - >75
Penggumpalan telur % - <25
Inti telur telah dipinggir % - >75
Sumber: BSN (2000b).
Hamid et al. (2009) menguji produktivitas induk ikan patin siam berdasarkan ukuran. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas induk ikan patin siam berbobot antara 3.5 kg dan 5 kg lebih tinggi dibandingkan dengan induk berbobot antara 5 kg dan 7 kg. Keuntungan induk berukuran kecil adalah memerlukan sedikit hormon, mengurangi pemberian pakan, dan memudahkan proses penanganan induk. Darmawan dan Tahapari (2013) menggunakan bobot induk ikan patin siam betina antara 1.5 kg hingga 2.8 kg berada di bawah batas Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun penelitian Hamid et al. (2009), sehingga fekunditas hanya mencapai 60 000 butir per kg sampai 120 000 butir per kg. Ketepatan bobot induk yang dipijahkan mempengaruhi fekunditas induk.
Hamid et al. (2009) menggunakan Ovaprim untuk induk betina sebanyak 0.5 ml kg-1 yang disuntikkan 1/3 bagian saat penyuntikan pertama dan 2/3 bagian saat penyuntikan kedua selama selang selang waktu 6 jam. Teknik penyuntikan berbeda dilakukan oleh Darmawan dan Tahapari (2013), yakni penyuntikan pertama untuk induk betina dengan hormon HCG sebanyak 500 IU kg-1 dan Ovaprim sebanyak 0.6 ml kg-1 selama selang waktu 12 jam. Penyuntikan induk jantan dilakukan saat penyuntikan kedua sebanyak 0.2 ml kg-1. Hamid et al.
(2009) menggunakan metode kering, sementara Darmawan dan Tahapari (2013) menggunakan teknik pembuahan basah. Kedua penelitian tersebut menggunakan sistem corong resirkulasi.
Teknik pembuahan buatan ikan patin dilakukan dengan metode kering dan metode basah. Metode kering adalah sperma disebarkan terlebih dahulu dan dicampur secara manual dengan sel telur yang dikumpulkan (Slembrouck et al.
13 Menurut Slembrouck et al. (2005), teknik inkubasi telur dalam air menggenang dilakukan dalam akuarium. Pencemaran air oleh bahan organik sangat tinggi akibat telur yang membusuk. Penyebaran telur harus merata satu lapisan agar telur tidak menumpuk dan membusuk. Waspada (2012) menjelaskan bahwa telur ikan patin bersifat melekat dan mempengaruhi derajat penetasan telur. Telur yang melekat menyebabkan difusi oksigen terhambat. Telur tidak menetas akhirnya membusuk dan menumbuhkan jamur Saprolegnia sp. Telur yang tidak terbuai secara visual memiliki bagian inti berwarna putih pucat.
Teknik inkubasi telur dalam corong penetasan dengan sistem air resirkulasi menggunakan corong berbentuk bulat yang terbuat dari fiberglass dan corong penetasan tersebut disebut MacDonald jar. Prinsip kerja corong penetasan dengan sistem resirkulasi adalah telur akan terus bergerak akibat dorongan air dari pipa air secara gravitasi, sehingga keuntungan penerapan teknologi ini adalah mengurangi perkembangan jamur, mempermudah larva keluar dari telur yang mati, membersihkan air secara terus-menerus sisa kandungan organik, dan menjaga kualitas air (Slembrouck et al. 2005).
Kelayakan Usaha Pembenihan Ikan Patin
Terdapat tiga penelitian berjudul analisis kelayakan usaha pembenihan ikan patin yang dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, yakni Number One Fish Farm, Desa Cihideung Ilir (Armayuni 2011), Alma Fish Farm (Rahmawati 2011), dan Nusa Hias Farm, Desa Cibitung Tengah (Dwirosyadha 2008). Pemilihan ketiga lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive oleh peneliti. Alasan pemilihan lokasi Pasirgaok Fish Farm juga dilakukan secara
purposive berdasarkan pada pertimbangan adalah sistem pemeliharaan larva secara intensif berpotensi untuk dikembangkan dan adanya perencanaan pengembangan usaha melalui intensifikasi penerapan sistem corong resirkulasi (skenario II), ekstensifikasi (skenario III), serta kombinasi antara ektensifikasi dan intensifikasi (skenario IV) untuk memanfaatkan lahan maupun memenuhi kelebihan permintaan.
Kesamaan tujuan penelitian ini dengan ketiga penelitian sebelumnya adalah menganalisis kelayakan aspek finansial dan aspek non finansial usaha pembenihan ikan patin. Armayuni (2011) dan Rahmawati (2011) mengevaluasi kelayakan usaha pembenihan ikan patin, sedangkan Dwirosyadha (2008) memperdalam analisis kelayakan finansial melalui penggantian investasi kompor gas menjadi lampu petromak. Perbedaan tujuan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah analisis kelayakan aspek non finansial dan aspek finansial pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam pada Pasirgaok Fish Farm menggunakan empat skenario agar memberikan alternatif skenario pengembangan usaha yang paling layak bagi Pasirgaok Fish Farm.
Kelayakan non Finansial Usaha Pembenihan Ikan Patin
Hasil analisis kelayakan aspek non finansial usaha pembenihan ikan patin di One Fish Farm, Alma Fish Farm, dan Nusa Hias Farm adalah sebagai berikut:
1. Aspek Pasar
14
dari Palembang, Lampung, Medan, Kalimantan, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Saguling sebanyak 400 000 ekor per siklus (Armayuni 2011). Kapasitas produksi benih ikan patin Nusa Hias Farm sebanyak 430 080 ekor per tahun untuk benih ukuran 1 inci dan 184 320 ekor per tahun untuk benih ukuran 3 inci. Target pasarnya adalah pembudidaya pembesaran ikan patin di wilayah Riau, Jambi, dan Waduk Saguling (Dwirosyadha 2008). Kapasitas produksi benih ikan patin ukuran antara 3/4 inci dan 2 inci Alma Fish Farm sebanyak 300 000 ekor per siklus. Target pasarnya adalah pembudidaya pembesaran dan tengkulak di wilayah Bogor (Ciampea, Semplak, Ciapus), Kalimantan, serta Sumatera Selatan (Rahmawati 2011). Hasil analisis kelayakan aspek pasar ketiga penelitian tersebut adalah layak dijalankan karena permintaan benih ikan patin siam sangat tinggi, sehingga terjadi kelebihan permintaan akibat keterbatasan kapasitas produksi.
2. Aspek Teknis
Hasil analisis kelayakan aspek teknis pembenihan ikan patin di Number One Fish Farm layak dijalankan berdasarkan pada indikator lokasi usaha dan proses produksi. Kesesuaian lokasi usaha Number One Fish Farm di Desa Cihideung Ilir antara lain: ketersediaan induk dan sarana produksi perikanan di Bogor, suhu udara antara 29 0C dan 31 0C, serta nilai pH air antara 6.5 dan 7.5. Proses produksi benih ikan patin layak dijalankan antara lain: seleksi induk memperhatikan kematangan gonad, penggunaan dosis hormon Ovaprim sebanyak 0.5 ml kg-1 untuk induk betina dan 0.2 ml kg-1 untuk induk jantan (Mahyuddin 2010), metode pembuahan sistem kering (Mahyuddin 2010), teknik inkubasi telur dalam corong resirkulasi dengan derajat penetasan telur sebesar 80 persen, serta survival rate
sebesar 80 persen (Armayuni 2011).
Hasil analisis kelayakan aspek teknis pembenihan ikan patin di Alma Fish Farm layak dijalankan berdasarkan pada indikator investasi fasilitas pembenihan, modal kerja, dan proses pembenihan ikan patin. Kelengkapan fasilitas pembenihan ikan patin terpenuhi. Modal kerja mudah diperoleh antara lain: induk patin diperoleh dari Purwakarta, cacing sutera dari Kecamatan Caringin dan Kecamatan Dramaga, dan sarana produksi perikanan lainnya dari Bogor Utara. Proses produksi benih ikan patin layak dijalankan antara lain: seleksi induk yang telah matang gonad, metode pembuahan sistem kering, teknik inkubasi telur dalam air menggenang di bak fiberglass dengan derajat penetasan telur sebesar 60 persen, dan survival rate sebesar 80 persen (Rahmawati 2011).
Hasil analisis kelayakan aspek teknis pembenihan ikan patin di Nusa Hias Farm layak dijalankan berdasarkan pada indikator penentuan lokasi, sumber air, modal kerja, dan proses pembenihan ikan patin. Lokasi kolam memiliki tekstur tanah lempung dan nilai pH lebih dari 6. Proses produksi benih ikan patin layak dijalankan antara lain: seleksi induk yang telah matang gonad, penggunaan hormon ekstrak kelenjar hipofisa ikan mas, metode pembuahan sistem kering, teknik inkubasi telur dalam akuarium dengan derajat penetasan sebesar 30 persen, serta survival rate sebesar 80 persen (Dwirosyadha 2008).
3. Aspek Manajemen, Aspek Hukum, Aspek Sosial, dan Aspek Lingkungan
15 struktur organisasi lini yang terdiri atas pemimpin perusahaan, wakil pimpinan, dan pegawai. Pembagian kerja berdasarkan pada keahlian dan urutan proses produksi, sehingga jadwal produksi berjalan lancar. Sistem pembayaran gaji pimpinan perusahaan dan wakil pimpinan di Number One Fish Farm menerapkan sistem komisi, yakni laba bersih dibagi dua, sedangkan gaji pegawai berasal dari penjualan benih dikalikan Rp 10 per ekor (Armayuni 2011). Gaji pegawai di Nusa Hias Farm dengan sistem gaji pokok per bulan (Dwirosyadha 2008).
Kelayakan aspek hukum Number One Fish Farm, Nusa Hias Farm, dan Alma Fish Farm layak dijalankan karena kapasitas produksi benih ikan patin di bawah 500 000 ekor per siklus, sehingga ketiga perusahaan tersebut tidak perlu memiliki Izin Usaha Perikanan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 8 Tahun 2003. Kelayakan aspek sosial dinilai berdasarkan pada dampak positif keberadaan perusahaan bagi masyarakat di sekitar lokasi usaha. Hasilnya usaha pembenihan ikan patin siam di Number One Fish Farm, Alma Fish Farm, dan Nusa Hias Farm dapat menyerap tenaga kerja di sekitar lokasi usaha. Kelayakan aspek lingkungan dinilai berdasarkan pada dampak pembuangan limbah perusahaan bagi masyarakat di sekitar lokasi usaha. Usaha pembenihan ikan patin tidak berbahaya bagi masyarakat (Rahmawati 2011, Dwirosyadha 2008, Armayuni 2011).
Kelayakan Finansial Usaha Pembenihan Ikan Patin
Dwirosyadha (2008), Armayuni (2011), dan Rahmawati (2011) menggunakan kriteria kelayakan investasi untuk menganalisis aspek finansial antara lain: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan payback period (PP). Dwirosyadha (2008) menambahkan analisis pendapatan, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C), dan Return of Investment (ROI). Rahmawati (2011) menambahkan analisis
Break Even Point (BEP). Penelitian ini menganalisis kelayakan finansial pengembangan usaha pembenihan ikan patin siam menggunakan empat skenario dengan analisis kriteria investasi (NPV, Net B/C, IRR, PP), sehingga analisis skenario pengembangan usaha yang paling layak menjadi rekomendasi bagi Pasirgaok Fish Farm.
Ketidakpastian perubahan parameter pokok usaha pembenihan ikan patin dapat mempengaruhi hasil kelayakan (NPV, Net B/C, IRR) dan diperlukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas kenaikan harga pakan sebesar 10 persen dan penurunan harga benih sebesar 10 persen dilakukan oleh Armayuni (2011), sedangkan Dwirosyadha (2008) dan Rahmawati (2011) menganalisis perubahan variabel penting usaha pembenihan ikan patin menggunakan metode switching value. Dwirosyadha (2008) menghitung batas maksimum penurunan harga jual benih ikan patin, kenaikan harga pakan induk dan benih, serta kenaikan harga minyak tanah yang dapat ditoleransi bagi perusahaan agar bisnis layak dijalankan. Rahmawati (2011) menghitung batas maksimum penurunan harga jual benih ikan patin dan kenaikan harga cacing sutera, Artemia, serta pelet benih.
16
skenario, dan menganalisis batas maksimum penurunan produksi benih ikan patin siam terhadap kelayakan keempat skenario dengan analisis switching value.
Umur bisnis usaha pembenihan ikan patin di Nusa Hias Farm adalah 10 tahun berdasarkan pada bangunan hatchery. Biaya investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 91 592 500 untuk kapasitas produksi benih ikan patin ukuran antara 1 inci dan 3 inci sebanyak 614 400 ekor per tahun (Dwirosyadha 2008). Number One Fish Farm menggunakan umur bisnis selama 5 tahun berdasarkan pada umur indukan. Biaya investasi yang dikeluarkan sebesar Rp 116 407 000 untuk kapasitas produksi benih ukuran 3/4 inci sebanyak 2 100 000 ekor per tahun (Armayuni 2011). Alma Fish Farm mengeluarkan biaya investasi sebesar Rp 78 767 000 untuk kapasitas produksi sebanyak 1 800 000 ekor per tahun dan menggunakan umur bisnis selama 6 tahun. Perbedaan penelitian sebelumnya dibandingkan dengan penelitian ini adalah umur bisnis selama 8 tahun berdasarkan pada umur bangunan hatchery 10 tahun yang telah menyusut selama 2 tahun pada tahun 2014.
Hasil nilai NPV terbesar diperoleh oleh Nusa Hias Farm sebesar Rp 695 550 355 atau Rp 113 per ekor dan diikuti oleh Number One Fish Farm serta Alma Fish Farm masing-masing sebesar Rp 228 714 837 atau Rp 22 per ekor dan Rp 153 983 555 atau Rp 14 per ekor. Nilai NPV tersebut adalah jumlah keuntungan yang diperoleh Nusa Hias Farm, Number One Fish Farm, dan Alma Fish Farm selama umur proyek dihitung berdasarkan nilai saat ini, bahkan Payback Period Nusa Hias Farm, Number One Fish Farm, dan Alma Fish Farm lebih cepat dari umur bisnis (Rahmawati 2011, Dwirosyadha 2008, Armayuni 2011).
Hasil analisis Net B/C menunjukkan bahwa Nusa Hias Farm, Number One Fish Farm, dan Alma Fish Farm memperoleh nilai Net B/C masing-masing sebesar 27.69, 2.95, dan 2.95. Intepretasi nilai tersebut adalah setiap biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1 akan menghasilkan manfaat sebesar nilai tersebut dalam rupiah. Hasil analisis IRR menunjukkan bahwa Nusa Hias Farm, Number One Fish Farm, dan Alma Fish Farm memperoleh presentase masing-masing sebesar 457.26 persen, 63 persen, dan 51 persen. Intepretasi nilai tersebut adalah usaha pembenihan ikan patin memberikan keuntungan internal masing-masing sebesar 457.26 persen, 63 persen, dan 51 persen lebih besar dibandingkan dengan tingkat diskonto masing-masing sebesar 10.8 persen, 6 persen, dan 8 persen. Kesimpulannya usaha pembenihan ikan patin di Nusa Hias Farm, Number One Fish Farm, dan Alma Fish Farm layak secara finansial (Rahmawati 2011, Dwirosyadha 2008, Armayuni 2011).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Studi Kelayakan Bisnis
17 kegiatan usaha. Analisis studi kelayakan bisnis lebih mengutamakan financial benefit dibandingkan dengan social benefit. Ruang lingkup penilaian studi kelayakan bisnis bersifat mikro karena gagasan usaha hanya melibatkan pengusaha secara individu (Ibrahim 1997).
Definisi kelayakan adalah usaha yang dijalankan akan memberikan keuntungan finansial dan non finansial sesuai tujuan perusahaan maupun kepentingan investor, kreditor, pemerintah, serta masyarakat luas (Kasmir dan Jakfar 2003). Studi kelayakan bisnis menjadi dasar penilaian suatu kegiatan investasi atau bisnis layak atau tidak untuk dijalankan dan menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan apakah suatu rencana bisnis diterima atau ditolak, bahkan dampak pada bisnis yang sudah berjalan harus diberhentikan atau tetap dilaksanakan (Nurmalina et al. 2009).
Menurut Subagyo (2007), studi kelayakan adalah penelitian secara mendalam suatu ide bisnis apakah layak atau tidak dilaksanakan. Ide bisnis antara lain: pendirian usaha baru, pengembangan usaha dengan merger, penambahan modal, penggantian teknologi, pembukaan kantor cabang, serta pembelian perusahaan secara akuisisi. Tujuan studi kelayakan bisnis adalah menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan bisnis yang tidak menguntungkan.
Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis
Studi kelayakan bisnis menilai kelayakan usaha berdasarkan pada aspek non finansial dan aspek non finansial. Menurut Nurmalina et al. (2009), aspek-aspek non finansial yang perlu dianalisis antara lain: aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek hukum, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Aspek finansial dapat dilakukan setelah kelayakan aspek non finansial terpenuhi.
1. Aspek Non Finansial a) Aspek Pasar
Setiap kegiatan pasar membutuhkan pemasaran dan setiap kegiatan pemasaran bertujuan menciptakan pasar. Pasar merupakan suatu mekanisme terjadinya kekuatan permintaan dan penawaran antara pembeli dan penjual. (Kasmir dan Jakfar 2003). Menurut Umar (2007), penilaian aspek pasar dapat ditinjau berdasarkan pada komponen sebagai berikut:
1. Permintaan
Permintaan adalah jumlah barang yang dibutuhkan konsumen dan memiliki kemampuan membeli berdasarkan pada berbagai tingkat harga. Permintaan dibedakan menjadi 2, yaitu permintaan efektif yang didukung kemampuan membeli dan permintaan potensial yang hanya berdasarkan pada kebutuhan. Hukum permintaan mengatakan bahwa jika harga barang yang meningkat, maka jumlah barang yang diminta berkurang, cateris paribus.
2. Penawaran
Penawaran adalah kuantitas barang yang ditawarkan berdasarkan pada berbagai tingkat harga di pasar. Hukum penawaran mengatakan bahwa jika harga barang yang meningkat, maka jumlah barang yang ditawarkan akan meningkat, cateris paribus.
3. Strategi Pemasaran
18
yang tepat. Strategi pemasaran pertama adalah memilih pelanggan yang akan dilayani melalui segmentasi pasar. Segmentasi pasar adalah membagi pasar menjadi kelompok-kelompok kecil dengan kebutuhan, karakteristik, atau perilaku berbeda yang memerlukan bauran pemasaran tersendiri. Selanjutnya adalah tahap penetapan target pasar, yakni proses mengevaluasi daya tarik masing-masing segmene pasar dan memilih segmen. Tahap terakhir adalah positioning, yakni mengatur produk untuk menempati tempat yang jelas, berbeda, dan diinginkan dibandingkan dengan produk pesaing dalam pikiran konsumen sasaran (Kotler dan Amstrong 2008). 4. Program pemasaran
Pemasaran sebagai upaya menciptakan dan menjual produk kepada berbagai pihak dengan tujuan tertentu (Kasmir dan Jakfar 2003), sementara padangan Kotler dan Amstrong (2008) tentang pemasaran adalah proses menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalan perusahaan. Penetapan strategi bauran pemasaran (marketing mix) mencakup strategi produk, strategi harga, strategi lokasi dan distribusi, maupun strategi promosi.
Penilaian hasil studi kelayakan aspek pemasaran adalah informasi tentang program pemasaran dengan analisis bauran pemasaran (Umar 2007).
b) Aspek Teknis
Aspek teknis berkenaan dengan proses pembangunan bisnis secara teknis dan mulai beroperasi setelah bisnis selesai dibangun (Nurmalina et al. 2009). Penilaian kelengkapan aspek teknis yang akan ditinjau berdasarkan pada lokasi usaha, luas produksi, proses produksi, layout, serta pemilihan jenis teknologi. Tujuan pencapaian aspek teknis adalah perusahaan menentukan lokasi yang tepat, menentukan layout sesuai proses produksi, serta menentukan teknologi tepat guna (Kasmir dan Jakfar 2003). Hasil analisis aspek teknis merupakan pernyataan apakah bisnis dianggap layak atau tidak layak dilaksanakan saat kegiatan operasional rutin (Umar 2007).
c) Aspek Manajemen
Menurut Umar (2007), manajemen kegiatan bisnis secara rutin berfungsi untuk aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian. Pernilaian aspek manajemen bergantung pada fungsi manajemen yang berjalan sesuai fungsinya, yaitu:
1. Perencanaan
Proses menentukan arah yang akan ditempuh dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah apa, kapan, serta bagaimana dan cara apakah yang akan dilakukan. Penilaian aspek manajemen berdasarkan pada unsur perencanaan dari segi jangka waktu (jangka panjang, menengah, dan pendek) dan sisi tingkatan manajemen (perencanaan strategi dan operasional).
2. Pengorganisasian