PENGARUH KEBISINGAN DAN WARNA TERHADAP INGATAN JANGKA PENDEK DITINJAU DARI DIMENSI KEPRIBADIAN
EKSTROVERT DAN INTROVERT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh:
JERRY 061301030
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GENAP, 2009/2010
Pengaruh Kebisingan dan Warna terhadap Ingatan Jangka Pendek ditinjau dari Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Dipersiapkan dan disusun oleh
Jerry 061301030
Telah dipertahankan di depan dewan penguji Pada tanggal 13 Juni 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi
Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) NIP. 195005041977061001
Dewan Penguji
1. Etty Rahmawati, M.Si Penguji I/Pembimbing
NIP. 196212302000042001
2. Lili Garliah, M.Si, Psikolog Penguji II
NIP. 197812192003122004
3. Ika Sari Dewi, S.Psi. Psikolog Penguji III
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
skripsi saya yang berjudul :
Pengaruh Kebisingan dan Warna Terhadap Ingatan Jangka Pendek Ditinjau dari Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Juni 2010
JERRY
Pengaruh Kebisingan dan Warna terhadap Ingatan Jangka Pendek ditinjau dari Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Jerry dan Etty Rahmawati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebisingan dan warna terhadap ingatan jangka pendek ditinjau dari dimensi kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 orang yang berasal dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2008 dan 2009.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan
factorial. Teknik sampling yang digunakan adalah stratified random sampling dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa Sutomo 2 dengan jumlah 442 orang. Reliabilitas penelitian ini menggunakan pendekatan internal consistency dengan teknik KR-20. Berdasarkan hasil pengolahan data, didapat koefisien KR-20 sebesar 0.694.
Data dalam penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik two ways analysis of variance (ANOVA). Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh pengaruh yang signifikan dari jenis coding (stimulus verbal dan mental imagery) terhadap memori dengan nilai ρ = 0.000 (ρ < 0.05) dan nilai F=15.269 dan terdapat pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) terhadap memori dengan nilai ρ = 0.000 (ρ < 0.05) dan nilai F=30.668. Namun, tidak ada efek interaksi yang signifikan dari jenis coding dan jenis kelamin terhadap memori yang terlihat dari nilai ρ = 0.138 (ρ > 0.05) dan nilai F=2.203.
Kata kunci : memori jangka pendek, kebisingan, warna, kepribadian ekstrovert dan introvert
The effect of noise and colour toward short-term memory in term of dimension of personality extrovert and introvert
Jerry dan Etty Rahmawati ABSTRACT
Mental health in gay man is important thing to determine, because sexual orientation homosexual is one of risk factor for having low mental health and suffer mental disorder. Beside it, mental health problem is affected by the culture where the peoples lived. The culture of Indonesia stressed, reject, stigmatized, condemn and forbidden homosexuality. But, in another point the culture in Indonesia especially in Medan also stressed religious value so mental health in gay man is affected by the two phenomenon above.
The aim of this research is to investigate the difference mental health in gay man based on frequency of religious behavior and how big are the effect of religious behavior on to mental health in gay man. The number of the sample in this research are 114 peoples whose identified them self as a gay and lived in Medan. Statistic technique that used in this research is parametric independent t-test.
Based on the out come this research, there is a significancy difference mental health in gay man based on frequency of religious behavior (t = 17.136) and significancy 0.000. It means that mental health in gay man in high religious behavior group is higer than in low religious behavior group. Gay man in high religious behavior group have mean score 231.22, and the mean score in gay man in low religious behavior group is 148.59. This research also to search the effect of religious behavior on to mental health in gay man. Based on computational earned that r2 = 0.96. It means that 96% religious behavior give effect on to mental health in gay man in Medan.
KATA PENGANTAR
Termulia, termasyur dan terpujilah Allah Tritunggal (Allah Bapa, Allah
Anak, dan Allah Roh Kudus) sumber kebenaran, hikmat, ilmu pengetahuan,
kehidupan, pusat peradaban hidup manusia dan sumber segala kebijaksanaan dan
kebajikan. Sedikit dari kebenaran dan ilmu pengetahuan yang Tuhan percayakan
untuk kupikirkan dan kuselidiki, terimalah ini sebagai persembahanku dan
layakkanlah ini di hadapanMU ya Tuhanku. Terima kasih ya Tuhanku, akar dan
batang kehidupanku, dari pikiran, jiwa, dan batinku yang amat teramat dalam, aku
mencintaiMU ya Tuhanku.
Penghargaanku yang terdalam kepada orang-orang yang Tuhan
percayakan mengisi hidupku. Terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A (K) sebagai Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Kedua Orangtuaku tercinta, Engkaulah Inspirasiku, kekuatanku,
kebanggaanku, kebahagiaanku, membuat aku merasa memiliki dunia ini,
sumber percaya diriku, sumber semangatku, membuatku optimis
menghadapi gelombang hidupku Papa dan Mamaku. Detak jantungmu,
aliran darahmu, cucuran keringatmu mengalir dalam lautan jiwaku, dalam
radiks pikiranku, dalam alam emosi dan batinku yang paling dalam. Aku
sungguh teramat mencintaimu dan menghormatimu Papa dan Mamaku.
3. Ibu Josetta M.R.T, M.Si, Psikolog dosen favorit dan dosen pembimbing
untuk semua hal yang telah ibu berikan selama membimbing saya
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk saran, kesabaran, waktu,
”ketajaman” ibu, komentar, dukungan dan perhatian yang ibu curahkan
untuk saya Ibu.
4. Ibu Etty Rahmawati, M.Si buat semua kesabaran, bimbingan, motivasi
yang dapat menginspirasiku. Terimakasih atas waktu dan kesediaannya
untuk memberi masukan, bimbingan dan perbaikan yang diberikan tentang
skripsi ini.
5. Ibu Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si selaku dosen pembimbing akademik
sekaligus dosen penguji penulis. Terima kasih banyak ya Ibu atas
dukungan ibu selama perkuliahan.
6. Pak Eka Danta Ginting, M.A, Terima kasih banyak ya pak, buat
kesediaannya membimbing dan menguji saya ya pak.
7. Pak Ev. Radjali, M.div. Gembala Gereja Reformed Injili Indonesia Medan
(GRII). Buat kotbah dan teladan Bapak yang luar biasa. Pelayanan dan
ketajaman kotbah bapak yang filosofis, intelek, tajam, dan mudah dicerna
yang banyak mempengaruhi pemikiran dan kehidupanku. Tuhan
senantiasa bermurah hati menyertai segala kehidupan Bapak.
8. Kak juli, M.Psi. Terimakasih banyak atas semua bimbingan dan masukan
kakak yang amat sangat berarti buatku kak.
9. Adik-adikku tercinta, sumber bahagiaku, yang selalu mendukungku dan
doamu adekku. Aku bangga padamu. Terima kasih juga untuk adekku
Mawati Tambunan buat perhatian dan doa-doamu adekku.
10.Kakak ku Merdi Tambunan, Jenny Tambunan, abangku H. Sitanggang.
Terima kasih buat semua doa dan dukungannya.
11.Teman-temanku yang kusayangi dan yang kukasihi, Sondang Petronica
Sipayung (F .Psi 06) terima kasih ya Dang temanku, Jerry (F. Psi 06)
terimakasih ya Jer teman kandungku, buat semua the spirit of togetherness
kita, Ivi Vanessa (F .Psi 06) terima kasih atas kebersamaan kita selalu ya,
kita selalu senasib dan sepenanggungan, Ria Mora (F.Psi 06) buat
printernya ya Ria, Devi (F.Psi 06) buat kebersamaannya juga,
diskusi-diskusinya dan kesipitan matamu, R. D. Tiopan Napitupulu (FK USU 08)
buat printernya ya anggikku.
12.Untuk orang-orang yang membantu penulis menjarah subjek penelitian
saya, untuk Dermika (F.Psi 07), Kiky (F.Psi 07), Ade Mayang Kara (F.Psi
06), Winda D.J Pratiwi (F.Psi 06), Siti Khairina (F.Psi 06), Christy (F.Psi
07), Amel (F.Psi 07), Dini (F.Psi 09), Kia (FE Harapan), L (FISIP USU),
K (FK USU), Ala (FK USU), M (FT USU), B (F. Pertanian USU), Ketua
Sempurna Community, Uzie (FE USU), dan khusus untuk Kholis buat
pengorbanannya menemani peneliti sampai pagi hari ke bar-bar, memplas,
hotel-hotel, terima kasih pengorbanan dan ketulusanmu.
13.Untuk semua subjek penelitianku yang namanya tidak dapat saya sebutkan
14.Untuk teman-temanku yang membantu saya tabulasi data penelitian, Berto
(FT Polmed), Debbie (FISIP 06), Dessie (F. Sastra 06), Eni Dora Sipayung
(SMA Santhomas 1), Wesley (F. MIPA USU 06), Lider Olmen (FK USU
08).
15.Terima kasih untuk teman-temanku tercinta yang sabar membantuku
Oppon Buter-Butar (Alumni Polmed ’05), Verawaty (Alumni FE USU
’05). Terima kasih ya fren buat semuanya.
16.Untuk pak Aswan, Bang Sono, Yossie (F. Psi ’08). Terima kasih banyak
buat labtobnya ya Yos. Untuk teman-temanku anak psikologi angkatan
2006, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Medan, Juni 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
E. Sistematika Penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kesehatan Mental
1. Definisi Kesehatan Mental
2. Dimensi Kesehatan Mental
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
a. Biologis
b. Psikologis
c. Sosial Budaya
d. Lingkungan
B. PERILAKU RELIGIUS
1. Definisi Perilaku Religius
2. Jenis-Jenis Perilaku Religius
a. Berdoa
c. Praktik Religius
d. Social Behavior, Group and Norms
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku religius
C. Gay
D. Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Berdasarkan Frekuensi Perilaku
Religius
E. Hipotesa Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
C. Populasi Dan Metode Pengambilan Sampel
1. Populasi dan Sampel
2. Metode Pengambilan Sampel
3. Jumlah Sampel Penelitian
D. Instrumen / Alat Ukur Yang Digunakan
E. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Uji Validitas
2. Uji Daya Beda Aitem
3. Reliabilitas
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
1. Tahap persiapan Penelitian
a. Penyusunan Aitem Alat Ukur
b. Uji Coba Alat Ukur
c. Penyusunan Alat Ukur Penelitian
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
3. Tahap Pengolahan Data
H. METODE ANALISIS DATA
1. Uji Normalitas
BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
A. Gambaran Umum Subjek Penelitian
1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan
B. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
b. Uji Homogenitas
2. Hasil Utama Penelitian
a. Uji Komparasi
b. Pengaruh Perilaku Religius terhadap Kesehatan Mental
3. Hasil Tambahan
a. Kategorisasi Data Penelitian Kesehatan Mental
b. Gambaran Kesehatan Mental pada Gay Berdasarkan Perilaku
Religius
c. Gambaran Kesehatan Mental pada Gay Berdasarkan Jenis
Perilaku Religius
C. Diskusi
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Saran Metodologis
2. Saran Praktis
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Cara Penilaian Skala Kesehatan Mental
Tabel 2.Blue Print Skala Kesehatan Mental Sebelum Uji Coba Tabel 3. Cara Penilaian Skala Perilaku Religius
Tabel 4.Blue Print Skala Perilaku Religius Sebelum Uji Coba
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Skala Kesehatan Mental Setelah Uji Coba Tabel 6. Perubahan Nomor Skala Kesehatan Mental Setelah Uji Coba Tabel 7. Distribusi Aitem-Aitem Skala Perilaku Religius Setelah Uji Coba Table 8. Perubahan Nomor Skala Perilaku Religius Setelah Uji Coba Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama Tabel 11. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 12. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean¸dan Standar Deviasi Skor Perilaku Religius
Tabel 13. Pengkategorian Subjek ke Dalam Kelompok Gay Berperilaku Religius dan Kelompok Gay yang Tidak Berperilaku Religius Berdasarkan
Fluktuasi Skor
Tabel 14. Penggolongan Subjek ke dalam Kelompok Gay Berperilaku Religius dan Kelompok Gay Tidak Berperilaku Religius
Tabel 15. Hasil Uji Normalitas Pada Skor Kesehatan Mental Tabel 16. Hasil Uji Homogenitas Pada Skor Kesehatan Mental Tabel 17. Hasil Analisa t-test Kesehatan Mental
Tabel 18. Hasil Analisa Perbedaan Skor Kesehatan Mental Pada Kelompok Gay
Berperilaku Religius dan Tidak Berperilaku Religius
Tabel 19. Deskripsi Umum Skor Maksimum, Minimum, Mean¸ dan Standar Deviasi Kesehatan Mental
Tabel 20. Kategorisasi Norma Skor Kesehatan Mental
Tabel 22. Gambaran Kesehatan Mental pada Gay Berdasarkan Perilaku Religius
Tabel 23. Deskripsi Perilaku Religius
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Rentang Usia Diagram 2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama yang Dianut Diagram 3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjan
Diagram 4. Kategori Kesehatan Mental
Diagram 5. Kategori Subjek ke dalam Kelompok Gay Berperilaku Religius dan Tidak Berperilaku Religius
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Coba Skala Kesehatan Mental Lampiran 2. Hasil Uji Coba Skala Perilaku Religius
Lampiran 3. Skor Masing-Masing Subjek dalam Skala Kesehatan Mental Lampiran 4. Skor Masing-Masing Subjek dalam Skala Perilaku Religius Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas pada Skala Kesehatan Mental
Lampiran 6. Hasil Uji Homogenitas pada Skala Kesehatan Mental
Lampiran 7. Hasil Uji Komparasi dengan Menggunakan Independent t-test Lampiran 8. Hasil Analisis Deskriptif Data Kesehatan Mental
Lampiran 9. Hasil Analisis Deskriptif Data Perilaku Religius Lampiran 10. Skala Kesehatan Mental
Pengaruh Kebisingan dan Warna terhadap Ingatan Jangka Pendek ditinjau dari Dimensi Kepribadian Ekstrovert dan Introvert
Jerry dan Etty Rahmawati
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kebisingan dan warna terhadap ingatan jangka pendek ditinjau dari dimensi kepribadian Ekstrovert dan Introvert. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 orang yang berasal dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2008 dan 2009.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan
factorial. Teknik sampling yang digunakan adalah stratified random sampling dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa Sutomo 2 dengan jumlah 442 orang. Reliabilitas penelitian ini menggunakan pendekatan internal consistency dengan teknik KR-20. Berdasarkan hasil pengolahan data, didapat koefisien KR-20 sebesar 0.694.
Data dalam penelitian ini dianalisa dengan menggunakan teknik two ways analysis of variance (ANOVA). Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh pengaruh yang signifikan dari jenis coding (stimulus verbal dan mental imagery) terhadap memori dengan nilai ρ = 0.000 (ρ < 0.05) dan nilai F=15.269 dan terdapat pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) terhadap memori dengan nilai ρ = 0.000 (ρ < 0.05) dan nilai F=30.668. Namun, tidak ada efek interaksi yang signifikan dari jenis coding dan jenis kelamin terhadap memori yang terlihat dari nilai ρ = 0.138 (ρ > 0.05) dan nilai F=2.203.
Kata kunci : memori jangka pendek, kebisingan, warna, kepribadian ekstrovert dan introvert
The effect of noise and colour toward short-term memory in term of dimension of personality extrovert and introvert
Jerry dan Etty Rahmawati ABSTRACT
Mental health in gay man is important thing to determine, because sexual orientation homosexual is one of risk factor for having low mental health and suffer mental disorder. Beside it, mental health problem is affected by the culture where the peoples lived. The culture of Indonesia stressed, reject, stigmatized, condemn and forbidden homosexuality. But, in another point the culture in Indonesia especially in Medan also stressed religious value so mental health in gay man is affected by the two phenomenon above.
The aim of this research is to investigate the difference mental health in gay man based on frequency of religious behavior and how big are the effect of religious behavior on to mental health in gay man. The number of the sample in this research are 114 peoples whose identified them self as a gay and lived in Medan. Statistic technique that used in this research is parametric independent t-test.
Based on the out come this research, there is a significancy difference mental health in gay man based on frequency of religious behavior (t = 17.136) and significancy 0.000. It means that mental health in gay man in high religious behavior group is higer than in low religious behavior group. Gay man in high religious behavior group have mean score 231.22, and the mean score in gay man in low religious behavior group is 148.59. This research also to search the effect of religious behavior on to mental health in gay man. Based on computational earned that r2 = 0.96. It means that 96% religious behavior give effect on to mental health in gay man in Medan.
BAB I PENDAHULUAN
III. A. Latar Belakang Masalah
Aktivitas-aktivitas keseharian yang dilakukan oleh manusia membutuhkan
ingatan. Hampir semua aktivitas yang kita lakukan dimulai dari yang paling
sederhana sampai yang paling kompleks melibatkan ingatan. Dengan kata lain,
ingatan memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Berbagai usaha
ditempuh oleh manusia untuk memaksimalkan ingatannya. Mencatat sesegara
mungkin materi kuliah yang diterangkan dosen pada catatan, menggunakan
penanda warna pada buku teks merupakan berbagai upaya memaksimalkan
ingatan yang dilakukan oleh individu yang kuliah di perguruan tinggi.
Usaha-usaha ini ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Beberapa diantaranya
berhasil karena usaha yang diterapkan efektif untuk memaksimalkan ingatan dan
beberapa diantaranya gagal.
Atkinson & Shrifin (1968, dalam Reed 2007) mengatakan bahwa
informasi yang diterima dan disimpan dalam ingatan jangka pendek ini sangat
rapuh, dan apabila informasi ini tidak diulang dalam jangka waktu 30 detik, maka
informasi yang telah diterima akan hilang. Kenyataannya, informasi yang diterima
terkadang tidak sampai 30 detik lamanya sudah menghilang. Hilangnya informasi
yang telah kita terima dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor
tersebut yaitu pengaruh lingkungan.
suara. Sebagian adalah suara-suara alamiah seperti suara angin mendesir,
gemercik air, atau guntur. Sebagian lagi adalah suara-suara buatan seperti bunyi
mesin mobil, alat musik, dan teriakan. Sarwono (1995) mengatakan selama
gelombang-gelombang suara tersebut tidak dirasakan mengganggu manusia maka
disebut sebagai bunyi (voice) atau suara (sound). Apabila gelombang-gelombang
suara itu dirasakan mengganggu manusia maka disebut kebisingan (noise).
Bell (2005) mendefinisikan kebisingan sebagai suara-suara yang tidak
diinginkan. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi kita dalam melakukan
berbagai aktivitas, misalnya belajar. Sebagian orang yang dihadapkan pada
kebisingan masih mampu berkonsentrasi pada materi yang dipelajari, dan
sebagian lagi tidak mampu berkonsentrasi akhirnya tidak mampu mengingat
materi yang telah dipelajari untuk menjawab soal ketika ujian tiba. Kenyataannya,
bagi sebagian orang kebisingan ini tidak mengganggu mereka. Lebih lanjut, Bell
(2005) mengatakan bahwa terdapat 2 sifat kebisingan, yaitu : subjektif dan
psikologis. Dikatakan subjektif karena sangat tergantung pada individu yang
bersangkutan, misalnya mengerjakan tugas kuliah dengan kondisi yang bising
atau kondisi yang tenang. Dikatakan psikologis karena kebisingan merupakan
stres tambahan ketika kita dihadapkan dalam suatu aktivitas, misalnya belajar.
Jadi, kebisingan bisa saja tidak mengganggu dan mengganggu karena adanya 2
sifat ini. Fenomena mengenai kebisingan ini dijumpai berdasarkan wawancara
dengan sejumlah mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi USU. Berikut
penggalan wawancara dengan D (19 tahun) mahasiswa Fakultas Psikologi USU
”Tidak ada masalah bang kalau ribut, di kos juga ribut, ya tergantung kita lah bang. Ada keinginan pasti bisa belajar bang.”
(Wawancara personal, 28 Juli 2009)
Menurut C (19 tahun) mahasiswi Fakultas Psikologi USU :
”Bisa la belajar.. Kalo keinginan belajar kuat, asal jangan tergoda lingkungan sekitar.”
(Wawancara personal, 30 Juli 2009)
Menurut NS (19 tahun) mahasiswi Fakultas Psikologi USU :
”Mana bisa belajar kalau ribut.. sikit bising aja uda g bisa masuk ke otak..”
(Wawancara personal, 6 Agustus 2009)
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara personal terhadap 3
mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi USU, maka dapat dikatakan kebisingan
yang dipersepsikan oleh ke-3 responden merupakan hal yang subjektif. Artinya,
tidak ada batasan yang jelas apakah hal ini mengganggu atau tidak mengganggu
performansi. Kjellberg (1996, dalam Furnham 2002) mengatakan bahwa
kebisingan adalah sumber stres dan memberikan pengaruh negatif ketika
dihadapkan pada tugas kognitif. Hockey, Smith, dan Stansfield (1986, dalam Bell
2005) mengatakan bahwa kebisingan dapat mengurangi pemahaman mengenai
wacana yang dibaca. Penelitian Evans dan Johnson (2000) menemukan bahwa
individu tidak dapat memecahkan tugas menyusun puzzle dengan benar ketika
dihadapkan pada sumber kebisingan.
Data wawancara terhadap mahasiswa-mahasiswi psikologi Universitas
Sumatera Utara yang melibatkan 40 sampel dari angkatan 2006, 2007, 2008, dan
2009 menunjukkan bahwa 42.5% dapat belajar pada kondisi bising dan 57.5%
terganggu ketika belajar pada kondisi bising. Penelitian terdahulu menunjukkan
dipengaruhi oleh dimensi kepribadian. Seperti yang dijelaskan oleh Auble &
Britton (1958 dalam Bell, 2005) bahwa individu introvert lebih terpengaruh pada
kebisingan dalam hal mengerjakan tugas. Individu ekstrovert lebih tidak
terpengaruh oleh kebisingan dibandingkan dengan individu introvert. Individu
ekstrovert dapat menunjukkan tingkat performansi yang lebih baik jika bekerja
dalam kondisi yang bising. Penelitian Campbell, Dornic, dan Ekehammar (1990,
dalam Bell 2005) menunjukkan bahwa individu yang ekstrovert cenderung
memilih setting kerja yang bising. Lieberman dan Rosenthal (2001, dalam Gray &
Braver 2002) menunjukkan bahwa tingginya tingkat ekstroversi diasosiasikan
dengan ingatan jangka pendek yang lebih baik.
Data wawancara singkat mengenai kebisingan juga didukung oleh
observasi langsung. Ruangan kuliah Psikologi USU yang berukuran 25m x 8m
tergolong cukup besar untuk dilangsungkan perkuliahan. Tampilan slide
presentasi berdasarkan observasi selama 1 minggu berturut-turut menemukan
bahwa 6 dari 10 mata kuliah menayangkan slide presentasi yang silau, warna yang
buram sehingga membuat mahasiswa-mahasiswi tidak mampu melihat isi slide
dengan baik, ditambah lagi dengan kebisingan yang diakibatkan oleh konstruksi
bangunan dan suara berisik di kelas (observasi pada tanggal 20 November – 2
Desember 2009). Selain kebisingan dan dimensi kepribadian, banyak
variabel-variabel lain yang dapat mempengaruhi ingatan manusia, diantaranya adalah
warna. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Spence (2006 dalam Huchendorf,
2007), warna dapat meningkatkan rekognisi mengenai pemandangan alamiah
menghadirkan 3 jenis warna latar belakang pada tampilan slide presentasi dan
meminta partisipan untuk menuliskan kembali kata-kata yang mereka ingat pada
slide presentasi. Eksperimen McConnohie menunjukkan bahwa warna latar
belakang yang terkesan tenang, yaitu warna biru dan hijau membuat partisipan
sedikit lebih mengingat konten slide dibandingkan dengan warna latar belakang
putih. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat sensitivitas (arousal). Warna yang lebih
terang cenderung membuat sensitivitas individu menjadi lebih tinggi
dibandingkan warna yang gelap (McConnohie dalam Huchendorf, 2007).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada paragraf-pararaf
sebelumnya, terdapat pengaruh kebisingan, warna, dan dimensi kepribadian
terhadap ingatan. Dalam rancangan eksperimen ini, akan dilihat apakah individu
yang memiliki dimensi kepribadian ekstrovert memiliki ingatan yang lebih baik
dibandingkan individu dengan dimensi kepribadian introvert jika dihadapkan pada
kebisingan dan warna.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh kebisingan terhadap ingatan jangka pendek?
2. Seberapa besar pengaruh dimensi kepribadian terhadap ingatan jangka
pendek?
3. Seberapa besar pengaruh warna terhadap ingatan jangka pendek?
dari dimensi kepribadian ekstrovert dan introvert?
5. Seberapa besar pengaruh warna terhadap ingatan jangka pendek ditinjau dari
dimensi kepribadian ekstrovert dan introvert?
6. Seberapa besar pengaruh warna dan kebisingan terhadap ingatan jangka
pendek?
7. Seberapa besar pengaruh kebisingan, dimensi kepribadian, dan warna terhadap
ingatan jangka pendek?
IV. C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah melihat seberapa besar pengaruh
kebisingan dan warna terhadap ingatan jangka pendek ditinjau dari dimensi
kepribadian ekstrovert dan introvert.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
wahana perkembangan ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Eksperimen,
Psikologi Lingkungan, dan Psikologi Kognitif. Selain itu, penelitian ini
merupakan penelitian pertama yang menyangkut masalah Ergonomi, khususnya
mengenai kebisingan di Fakultas Psikologi USU. Dengan adanya penelitian ini,
diharapkan adanya pengembangan dalam penelitian di bidang Ergonomi
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :
a. Memberikan informasi bahwa kebisingan dapat mempengaruhi performansi
tugas mahasiswa kepada akademisi, praktisi, maupun masyarakat umum.
b. Memberikan informasi tambahan kepada mahasiswa, akademisi, praktisi,
maupun masyarakat umum bahwa pemberian warna pada tampilan slide
presentasi dapat mempengaruhi ingatan, sehingga dapat digunakan strategi
yang tepat untuk memberdayakan ingatan.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah.
Bab III : Metode Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian
Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek
penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori
yang relevan.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta
saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun
BAB II LANDASAN TEORI
A. Ingatan
1. Definisi Ingatan
Secara sederhana, Irwanto (1999) mendefinisikan ingatan sebagai
kemampuan untuk menyimpan informasi sehingga dapat digunakan lagi di masa
yang akan datang. Galotti (2004) mendefinisikan memori sebagai suatu proses
kognitif yang terdiri atas serangkaian proses, yakni : penyimpanan (storage),
retensi, dan pengumpulan informasi (information gathering). Sebagai suatu
proses, memori menunjukkan suatu mekanisme dinamik yang diasosiasikan
dengan penyimpanan (storing), pengambilan (retaining), dan pemanggilan
kembali (retrieving) informasi mengenai pengalaman yang lalu (Bjorklund,
Schneider, & Hernández Blasi, 2003; Crowder, 1976, dalam Stenberg, 2006).
Santrock (2005) mendefinisikan ingatan sebagai retensi informasi yang telah
diterima melalui tahap : penkodean (encoding), penyimpanan (storage), dan
pemanggilan kembali (retrieval). Penelitian ini menggunakan definisi ingatan
menurut Santrock, yaitu informasi-informasi yang berasal dari lingkungan dan
informasi ini akan diproses melalui tahapan : penkodean, penyimpanan, dan
pemanggilan kembali sehingga informasi yang masuk tidak terbuang secara
sia-sia.
2. Jenis-jenis Ingatan
Atkinson & Shriffin (1968, dalam Passer & Smith 2007; Lahey, 2007;
Reed, 2007) mengembangkan suatu tahapan ingatan yang dikenal dengan
Three-Stage Model of Memory yang membagi ingatan manusia atas 3 komponen utama,
yaitu :
a. Ingatan Sensori (Sensory Memory)
Proses penyimpanan ingatan melalui jalur saraf-saraf sensori yang berlangsung
dalam waktu yang pendek. Informasi yang diperoleh melalui panca indera
(penglihatan, perabaan, penciuman, pendengaran, dan pengecapan) hanya
mampu bertahan selama 1 atau 2 detik (Brown, 1987). Pernyataan ini didukung
oleh Rathus (2007), yang menyatakan bahwa informasi yang pertama kali kita
terima dari lingkungan dan diperoleh melalui panca indera hanya mampu
bertahan 1 detik. Informasi yang diterima dengan indera penglihatan hanya
mampu bertahan seperempat detik (Santrock, 2005).
b. Ingatan Jangka Pendek (Short Term Memory)
Suatu proses penyimpanan ingatan sementara. Ingatan jangka pendek disebut
juga working memory karena informasi yang disimpan hanya dipertahankan
selama informasi masih diperlukan. Jika informasi tidak diulang kembali dalam
kurun waktu 30 detik, maka informasi pada ingatan jangka pendek akan
menghilang (Santrock, 2005).
c. Ingatan Jangka Panjang (Long Term memory)
Suatu proses penyimpanan informasi yang relatif permanen. Reed (2007)
1) Ingatan Prosedural (Procedural Memory)
Ingatan akan tindakan, keterampilan, dan operasi yang telah dipelajari,
misalnya, individu mengetahui cara untuk bersepeda walaupun ia telah lama
tidak bersepeda.
2) Ingatan Semantik (Semantic Memory)
Ingatan yang berisi pengetahuan umum mengenai makna suatu hal, misalnya,
individu mengetahui makna kata “terbang”.
3) Ingatan Episodik (Episodic Memory)
Ingatan akan kejadian maupun pengalaman yang spesifik, mengetahui kapan
dan di mana kejadian maupun pengalaman tersebut terjadi, misalnya,
individu mengetahui kapan dan di mana ia melangsungkan pernikahannya
walaupun kejadian tersebut telah berlalu 20 tahun.
Lahey (2007) menggolongkan ingatan semantik dan episodik ke dalam
ingatan deklaratif (declarative memory). Secara ringkas, pembagian ingatan
Gambar 1. Jenis Ingatan Jangka Panjang
3. Tahapan Mengingat
Santrock (2005) menyatakan bahwa ada 3 tahapan dalam proses
mengingat yaitu:
a. Penkodean
Proses pengubahan informasi menjadi simbol-simbol atau
gelombang-gelombang listrik tertentu yang sesuai dengan peringkat yang ada pada
organismo.
Long Term Memory
Declarative Memory
Episodic Memory Semantic
Memory
1) Penkodean dalam Ingatan Sensori
Pada saat melihat sesuatu atau telinga mendengar sesuatu,
informasi dari indera-indera akan diubah dalam bentuk impuls-impuls
neural dan dihantar ke bagian tertentu di otak. Proses ini berlangsung
dalam waktu sepersekian detik. Sinar yang mengenai retina diterima oleh
reseptor-reseptor yang ada kemudian sinar tersebut ditransformasikan
bentuknya ke dalam impuls-impuls neural dan dikirim ke otak.
2) Penkodean dalam Ingatan Jangka Pendek
Informasi yang masuk melalui indera dan disimpan dalam ingatan
sensori dapat dianggap sebagai bahan mentah yang jumlahnya banyak
sekali. Jumlah yang banyak itu akan diseleksi menurut beberapa cara
dalam control proceses (proses-proses pengendalian). Pertama, informasi
yang masuk akan dirujukkan ke gudang informasi dalam ingatan jangka
panjang. Pada ingatan jangka panjang, pola-pola informasi yang masuk
dibandingkan dengan pola-pola yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian, akan terpilih informasi yang sudah dikenal atau yang
mempunyai makna. Kedua, mekanisme lain yang digunakan untuk
menyeleksi informasi adalah attention (perhatian). Perhatian ini menyaring
informasi yang masuk ke dalam ingatan jangka pendek sehingga hanya
sebagian kecil yang boleh lewat.
3) Penkodean dalam Ingatan Jangka Panjang
Penkodean dalam ingatan jangka panjang terbagi 2, yaitu : ingatan
memory). Ingatan deklaratif terbagi menjadi2 lagi, yaitu : ingatan semantik
(semantic memory) dan ingatan epsodik (episodic memory).
Ingatan semantik adalah ingatan mengenai makna suatu benda,
sedangkan ingatan episodik adalah ingatan mengenai
pengalaman-pengalaman spesifik pada waktu dan tempat tertentu (dalam Lahey, 2007).
Ingatan prosedural bisa didefinisikan sebagai ingatan mengenai
keterampilan motorik yang telah dipelajari.
b. Penyimpanan
Informasi yang telah dibubah akan dipertahankan pada tahap
penyimpanan. Penyimpanan adalah suatu proses mengendapkan atau
menyimpan informasi yang diterima dalam suatu tempat tertentu. Penyimpanan
ini sudah sekaligus mencakup kategorisasi informasi sehingga tempat informasi
disimpan sesuai dengan kategorinya.
Penyimpanan informasi merupakan mekanisme penting dalam ingatan.
Sistem penyimpanan ini sangat mempengaruhi jenis ingatan yang akan
diperagakan oleh organisme.
1) Penyimpanan dalam Ingatan Sensori
Ingatan sensori mempunyai kapasitas penyimpanan informasi yang sangat
besar, tetapi informasi yang disimpan tersebut cepat sekali menghilang.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa informasi yang disimpan dalam
ingatan sensori akan mulai menghilang setelah sepersepuluh detik dan
hilang sama sekali dalam satu detik (dalam Irwanto, 1999). Mekanisme
dengan ingatan seperti inilah kita bisa menaruh perhatian pada sejumlah
kecil informasi yang relevan terhadap hidup kita.
2) Penyimpanan dalam Ingatan Jangka Pendek
Kapasitas dalam ingatan jangka pendek sangat terbatas untuk menyimpan
sejumlah informasi dalam jangka waktu tertentu. Rathus (2007)
menyatakan jika informasi yang diterima setelah 10 sampai 12 detik tidak
diulangi, maka informasi tersebut akan hilang.
3) Penyimpanan dalam Ingatan Jangka Panjang
Kapasitas ingatan jangka panjang sangat besar. Hal ini memungkinkan
penyimpanan informasi yang luar biasa banyaknya yang diperoleh
sepanjang hidup organisme. Meskipun demikian, ingatan masih bekerja
sangat efisien yaitu dengan jalan mengorganisasikan informasi yang
diterima dari ingatan jangka pendek. Reorganisasi ini erat hubungannya
dengan proses retrieval atau proses mengingat kembali informasi yang
telah disimpan. Lahey (2007) membedakan 3 metode dalam menguji
retrieval dalam ingatan jangka panjang, yaitu :
i) Metode Mengingat Kembali (Recall Method)
Pengukuran ingatan berdasarkan pada kemampuan untuk
mengingat kembali informasi dengan beberapa petunjuk.
ii) Metode Rekognisi (Recognition Method)
Pengukuran ingatan berdasarkan pada kemampuan untuk memilih
informasi yang benar dari pilihan yang disediakan.
Pengukuran kembali ingatan berdasarkan pada waktu yang
dibutuhkan untuk mempelajari kembali (relearn) materi yang
dilupakan.
c. Pemanggilan Kembali
Proses mengingat kembali merupakan suatu proses mencari dan
menemukan informasi yang disimpan dalam ingatan untuk digunakan kembali
bila diperlukan.
4. Proses Masuknya Informasi ke Sistem Ingatan Manusia
Atkinson & Shriffin (1968, dalam Reed 2007) menjelaskan bagaimana
informasi dari luar masuk ke ingatan manusia :
Gambar 2. Proses masuknya informasi dari luar ke sistem ingatan manusia
Figur di atas menjelaskan bahwa informasi dari luar pertama kali masuk ke
ingatan sensori, ingatan sensori ini sangat mudah hilang karena kapasitasnya yang Sensory
Register
Short Term Memory
Output Information
Retrieval
Forgetting Forgetting LongTerm
sedikit. Indera-indera yang bekerja untuk menangkap informasi yang banyak akan
mengakibatkan terjadinya kelupaan. Informasi yang dianggap relevan dan penting
bagi individu akan diteruskan dan masuk ke ingatan jangka pendek. Ingatan
jangka pendek juga memiliki kapasitasnya sendiri, yaitu sekitar 30 detik
(Santrock, 2005) dan apabila informasi yang dianggap relevan dan penting bagi
individu ini tidak diulang maka informasi tersebut dapat hilang, atau informasi
tersebut dilupakan. Informasi yang berhasil masuk ke ingatan jangka pendek akan
diteruskan ke ingatan jangka panjang, ingatan jangka panjang merupakan tempat
penyimpanan informasi yang relatif permanen (Lahey, 2007).
5. Kelupaan
Terdapat empat teori utama yang menjelaskan kelupaan pada seseorang
(dalam Lahey, 2007), yaitu :
a. Decay Theory
Menurut teori ini, ingatan yang tidak digunakan memudar atau mulai hilang
seiring waktu. Waktu yang berjalan menyebabkan lupa, baik dalam ingatan
sensori maupun ingatan jangka pendek. Lupa tampaknya tidak terdapat pada
ingatan jangka pendek karena tidak digunakan seiring berjalannya waktu tetapi
karena faktor-faktor lain, terutama gangguan-gangguan luar, misalnya, kebisingan
b. Interference Theory
Teori ini didasarkan pada bukti kuat bahwa lupa pada ingatan jangka pendek tidak
terjadi karena berjalannya waktu, namun ingatan lain mengganggu pengambilan
1) Gangguan Proaktif (Proactive Interference)
Gangguan yang dibentuk oleh pembelajaran sebelumnya (prior learning),
misalnya, kita diberikan 2 nomor untuk diingat, yaitu nomor A dan nomor B.
Nomor B akan terganggu ketika kita berusaha mengingat kembali karena
terinterferensi oleh nomor A.
2) Ganguan Retroaktif (Retroactive Interference)
Gangguan yang ditimbulkan oleh pembelajaran kemudian (later learning),
misalnya, kita diberikan 2 nomor untuk diingat, yaitu nomor A dan nomor B.
Nomor A akan terganggu ketika kita berusaha mengingat kembali karena
terinterferensi oleh nomor B.
c. Reconstruction (Schema) Theory
Teori ini menyatakan bahwa informasi yang disimpan dalam ingatan jangka
pendek tidak dilupakan seutuhnya, tetapi terkadang diingat kembali dengan cara
yang menyimpang dan tidak tepat.
d. Motivated Forgetting
Teori ini menyatakan bahwa kita cenderung berusaha melupakan hal-hal yang
tidak menyenangkan. Hal-hal yang mengancam, menyakitkan, dan tidak
menyenangkan cenderung ditekan atau tidak diperbolehkan muncul dalam
B. Kebisingan
1. Definisi Kebisingan
Menurut batasan WHO (dalam Bell, 2005), kebisingan adalah suara-suara
yang tidak dikehendaki oleh karena itu kebisingan sangat mengganggu aktivitas
kehidupan. Kebisingan adalah sesuatu yang sifatnya subjektif dan psikologis.
Dikatakan subjektif karena sangat bergantung pada orang yang bersangkutan,
misalnya suara bercakap-cakap di dalam bioskop yang mengganggu sebagian
orang, namun suara ribut di suatu pasar bukanlah masalah bagi orang
disekelilingnya.
Beberapa jenis suara dapat lebih mengganggu daripada yang lain, suara
yang keras lebih sering mengganggu daripada bunyi pelan karena itu suara dapat
menjadi gangguan yang sangat tidak diinginkan. Hal ini secara psikologis dapat
mengganggu kondisi emosi seseorang sehingga dapat menjadi suatu masalah.
2. Karakteristik kebisingan yang dapat mengganggu
Tiga karakteristik kebisingan yang dapat mengganggu (dalam Bell, 2005)
adalah :
1. Volume
Semakin keras sumber kebisingan, semakin besar pengaruhnya dalam komunikasi
verbal dan semakin tinggi perhatian dan stres yang diasosiasikan dengan kerasnya
2. Predictability
Semakin tidak terprediksi sumber kebisingan, semakin besar perhatian yang kita
curahkan untuk memahami tugas yang kita lakukan.
3. PerceivedControl
Semakin lemah kontrol yang dapat kita lakukan terhadap kebisingan, maka
semakin sulit bagi kita untuk beradaptasi terhadap kebisingan.
3. Sumber Kebisingan
Kebisingan dapat berasal dari segala sesuatu yang menghasilkan bunyi
dan bersifat sangat subjektif tergantung situasi dan kondisi dan sensitivitas
pendengarnya. Dua setting umum dimana kebisingan dapat menjadi sebuah
masalah :
a. Transportation Noise
Keributan yang disebabkan oleh mobil, truk, kereta api, dan pesawat dan alat
transportasi yang lain merupakan alasan yang paling besar karena pertama, hal
tersebut sangat berkembang luas. Kedua, biasanya hal tersebut sangat bising.
b. Occupational Noise
Salah satu karakteristiknya adalah kebisingan ini sangat besar karena terdiri
dari banyak suara yang berbeda. Jika sangat ekstrim, hal ini dapat
mengakibatkan keributan yang dapat di-cover dan kondisinya dapat
ditoleransi, akan tetapi jika tidak demikian, hasil dari keributan ini menjadi
resistan untuk diadaptasi dan lebih mungkin untuk menyebabkan keributan
pada beberapa tempat sangat kuat. Hal penting lainnya menjadi sumber
keributan di derah perumahan adalah air conditioner.
4. Dampak Kebisingan
Bell (2005) menyatakan bahwa kebisingan dapat menyebabkan terjadinya
tinnitus. Tinnitus merupakan suatu simtom yang ditandai dengan adanya persepsi
suara di telinga manusia tanpa kehadiran stimulus eksternal. Hal ini diakibatkan
oleh ekspos yang berlebihan oleh suara. Kebisingan juga dapat menimbulkan
kesulitan sementara dan kesulitan permanen, kebisingan juga masih membawa
dampak negatif lain, seperti : gangguan komunikasi, efek pada pekerjaan, dan
reaksi masyarakat. Gangguan komunikasi mulai dirasakan apabila pembicaraan
harus dijalankan dengan berteriak. Gangguan komunikasi ini menyebabkan
terganggunya pekerjaan, bahkan mungkin terjadi kesalahan.
Banyak jenis pekerjaan membutuhkan komunikasi, baik secara langsung
maupun lewat telepon. Intensitas kebisingan antara 50-55 dB saja menyebabkan
komunikasi melalui telepon terganggu dan rapat akan berjalan tidak memuaskan,
sedangkan intensitas di atas 55dB dapat dianggap sangat bising. Kebisingan juga
meningkatkan kelelahan. Pada pekerjaan yang menuntut banyak berpikir,
kebisingan sebaiknya ditekan serendah-rendahnya (Bell, 2005).
5. Hubungan Kebisingan dengan Ingatan
Kjelberg (1996) mengemukakan bahwa hanya terdapat studi yang terbatas
sumber stres dan berdampak negatif ketika dihadapkan pada tugas kognitif.
Schommalder (2001) melakukan interviu terhadap guru yang bertujuan melihat
stres kerja, 75% dari 1000 guru mengatakan bahwa sumber stres yang paling
fundamental adalah kebisingan. Kebisingan tidak hanya berdampak pada
kesejahteraan manusia namun juga pada performansi mental.
Hainse (2001) menunjukkan bahwa kebisingan kronis yang bersumber dari
pesawat diasosiasikan dengan keterlambatan 6 bulan dalam hal membaca pada
anak-anak berusia antara 8-11 tahun. Banbury & Berry (1998) memberikan tugas
yang lebih kompleks pada penelitian mereka mengenai distraksi kebisingan
walaupun tugas-tugas ini hanya terbatas pada tugas yang dilakukan di lingkungan
kerja. Mereka menemukan bahwa performansi mahasiswa-mahasiswi sarjana pada
tugas aritmatika mental dan tugas prose recall secara signifikan memburuk
dengan kehadiran kebisingan di lingkungan kerja dibandingkan performansi
mereka di ruang yang tenang (tanpa kebisingan).
C. Kepribadian 1. Definisi
Lahey (2007) mendefiniskan kepribadian sebagai totalitas individu dalam
hal memikirkan (thinking), melakukan (acting), dan merasakan sesuatu (feeling)
yang khas dan membedakannya dengan individu yang lain. Allport (1937, dalam
Feist 2005) mendefinisikan kepribadian sebagai :
”the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that determine his unique adjustment to environment”
”that determine his characteristics behavior and thought”
Jadi, kepribadian menurut Allport adalah organisasi dinamis dalam individu
sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan menentukan karakteristik perilaku
dan pemikirannya.
Cattell (dalam Feist, 2005) memberikan definisi kepribadian sebagai :
”personality is that which permits a prediction of what a person will do in a given situation”
Eysenck (dalam Pervin, 2005) mendefinisikan kepribadian sebagai :
“personality is the sum total of actual or potential behavior patterns of organism as determined by heredity and environment; it originates and develops through the functional interaction of the four main sectors into which these behavior pattern are organized; the cognitive sector (intelligence); the conative sector (character); the affective sector (temperament) and the somatic sector (constitutions)”
Definisi kepribadian Eysenck dapat diartikan bahwa kepribadian merupakan
gabungan dari fungsi nyata maupun potensial pada organisme yang ditentukan
oleh faktor keturunan dan lingkungan. Kepribadian awal akan tumbuh melalui
interaksi empat macam fungsi, yaitu : sektor kognitif (inteligensi), sektor konatif
(karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatis (konstitusi). Eysenck
(1998) menyatakan sektor kognitif merupakan suatu konsep yang sulit
didefinisikan, namun Eysenck setuju dengan definisi yang diberikan oleh Cyril
Burt, yang menyatakan bahwa inteligensi adalah :
“innate, all-around mental ability”
Kemampuan mental yang merupakan bawaan secara lahiriah merupakan definisi
suatu perilaku yang ditunjukkan oleh organisme (Warren, 1934 dalam Eysenck
1998). Sektor afektif menggambarkan karakteristik emosional yang dibawa sejak
lahir dan tidak dipelajari oleh organisme. Sektor somatis merupakan keterkaitan
antara struktur dan fungsi psikologi dengan beberapa fungsi fisiologi pada otak.
Pendekatan seperti yang dikemukakan Eysenck dilandasi oleh penelitian ilmiah
sehingga hasilnya lebih dapat dipertanggungjawabkan dibandingkan pendekatan
yang hanya menggunakan spekulasi atau intuisi klinis untuk mengabsahkan
asumsinya.
Berdasarkan penjelasan definisi kepribadian oleh masing-masing tokoh,
maka penelitian ini merujuk pada definisi kepribadian yang dicetuskan oleh
Eysenck. Personality DNA Sociability Criminality Creativity Psychopathology Sexual Behavior P E N Conditioning Sensitivity Vigilance Perception Memory Reminiscence Limbic System Arousal Distal Antecedents Proximal Antecedents Proximal
Consequences ConsequencesDistal
Figur di atas menjelaskan kepribadian menurut Eysenck. Setiap individu
memiliki kepribadian yang diwariskan secara genetis, yaitu melalui DNA. Bukti
ini diperkuat dengan gagasan mengenai temperamen anak. Temperamen
didefinisikan sebagai karakter anak yang telah ada sejak lahir dan merupakan
warisan dari kedua orangtua (Papalia, & Olds, & Fredman, 2007). Sistem limbik
diyakini sebagai pusat pengaturan emosi (Eysenck, 1967). Sistem Limbik penting
bagi pembelajaran dan ingatan jangka pendek, tetapi juga menjaga homeostatis
dalam tubuh, terlibat dalam emosi ketahanan hidup dari hasrat seksual atau
perlindungan diri. Sistem limbik mengandung hipotalamus, yang sering dianggap
sebagian bagian terpenting dari otak mamalia. Hipotalamus mengatur hormon,
hasrat seksual, emosi, makan, minum, suhu tubuh, keseimbangan kimiawi, tidur
dan bangun, sekaligus mengatur kelenjar utama dari otak (kelenjar pituitari).
Eysenck (1967) menyatakan bahwa sistem limbik dapat menjelaskan informasi
yang diproses melalui pancaindera dapat terdistorsi. Teori arousal Eysenck
menjelaskan bahwa individu yang memiliki level optimum sensitivitas yang tinggi
cenderung menghindari stimulus yang berlebih dari lingkungan, sedangkan
individu yang memiliki level optimum sensitivitas yang rendah cenderung
mencari stimulus dari lingkungan agar level optimum sensitivitasnya optimal.
Kepribadian organisme lebih ditentukan oleh faktor keturunan atau
(Eysenck, 1967). Penelitian korelasional dan eksperimen yang dilakukan oleh
Eysenck pada akhirnya melahirkan 3 dimensi kepribadian, yaitu : Psikotisme
(Psychoticism), Ekstroversi (Extroversion), dan Neurotis (Neuroticism).
Penerapan dimensi kepribadian Eysenck dapat dilihat dari beberapa penelitian
eksperimental yang dilakukannya. Pertama, dimensi kepribadian psikotisme
diasosiasikan dengan sikap yang bermusuhan dan kecenderungan menentang
norma yang berlaku di masyarakat (Eysenck, 1997). Kedua, studi eksperimental
menemukan bahwa individu introvert lebih terpengaruh dampak kebisingan
dibandingkan individu ekstrovert ketika dihadapkan pada tugas (Aubel & Britton,
dalam Bell 2005). Ketiga, dimensi kepribadian neurotis memiliki kontribusi
terhadap psikopatologi, misalnya neurosis (Eysenck, 1997).
2. Dimensi Kepribadian
Teori kepribadian Eysenck dikenal juga dengan Teori Tiga Faktor (The
Three-Factor Theory), yang membagi kepribadian atas 3 dimensi (Pervin, 2005),
yaitu :
a. Dimensi Introvert-Ekstrovert (Introversion-Extroversion)
Eysenck (dalam Pervin, 2005) mengemukakan karakteristik
individu ekstrovert ditandai oleh sosiabilitas, bersahabat, aktif berbicara,
impulsif, menyenangkan, aktif, dan spontan. Eysenck (dalam Pervin,
2005) menjabarkan komponen extroversi adalah kurangnya tanggung
jawab, kurangnya refleksi, pernyataan perasaan, penurutan kata hati,
pengambilan resiko, kemampuan sosial, dan aktivitas. Lebih lanjut lagi,
yang khas dari kepribadian ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta,
mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak
suka membaca atau belajar sendirian.
Individu dengan dimensi kepribadian ekstrovert sangat
membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang
bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka
menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap
menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak
pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih
suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi
agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan
dibawah kontrol, dan tidak selalu dapat dipercaya (Aiken, 1985, dalam
Pervin 2005). Dimensi kepribadian ini juga berdaya ingat kuat (dalam hal
me-recall ingatan jangka pendek), memiliki ambang rangsang yang tinggi
dan menunjukkan daya juang fisik yang tinggi, dapat melaksanakan tugas
yang tinggi taraf kesukarannya dengan baik, ramah, impulsif, tidak suka
diatur dan dilarang, terlibat dalam aktivitas kelompok, pandai membawa
diri dalam lingkungannya, mudah gembira, memiliki keterikatan sosial,
dapat memanfaatkan kesempatan yang ada, bertindak cepat, optimis,
agresif, cepat / mudah meredakan kemarahan, mudah tertawa, tidak dapat
menahan perasaannya.
Menurut Eysenck (dalam Pervin, 2005), introvert adalah satu ujung
yang tenang, pendiam, suka menyendiri, suka termenung, dan menghindari
resiko. Dimensi kepribadian ini memiliki sifat yang sabar, serius, sensitif,
lebih suka beraktivitas sendiri, mudah tersinggung, saraf otonom labil,
mudah terluka, rendah diri, suka melamun, dan gugup. Lebih lanjut lagi,
Aiken (1985, dalam Hall & Lindzey 2005) mengatakan bahwa individu
dengan dimensi kepribadian ekstrovert memiliki toleransi yang tinggi
terhadap isolasi/kesendirian, kurang toleransi terhadap keluhan fisik,
cenderung melakukan secara baik terhadap tugas yang sederhana/mudah,
dan cenderung melaksanakan secara baik tugas yang menuntut
kesiapsiagaan. Individu yang introvert juga cenderung menjauhkan diri,
tidak mudah bergabung dengan orang lain, dan susah mengartikulasikan
ide-idenya.
Lively
E
Sociable Active Assertive Sensation-seeking
Carefree Dominant Surgent Venturesome
b. Dimensi Neurotisme (Neuroticism)
Dimensi kepribadian neurotisme yang sebelumnya dikenal dengan
dimensi stabilitas emosi-ketidakstabilan emosi (emotional stability
-instability). Feist & Feist (2006) menyatakan bahwa dimensi neurotisme
memiliki komponen hereditas yang kuat dalam memprediksi gangguan
yang dialami oleh individu, dalam hal ini, individu yang memiliki skor
neurotisme yang tinggi memiliki kecenderungan untuk bereaksi berlebihan
secara emosional terhadap satu situasi dan mereka kesulitan untuk kembali
ke keadaan semula sebelum mereka dihadapkan pada situasi yang
demikian. Lebih lanjut, Eysenck (dalam Feist, 2005) mengatakan bahwa
individu yang sering gugup dan mengeluh akan simtom-simtom fisik,
seperti sakit kepala, memiliki gangguan psikologi yang jelas.
Boeree (2007) memberikan penjelasan tentang dimensi neurotisme
Eysenck, bahwa walaupun individu yang memiliki skor neurotisme tinggi,
belum tentu individu tersebut neurotik. Eysenck hanya mengatakan bahwa
individu-individu dengan skor neurotisme tinggi lebih mudah terserang
persoalan-persoalan neurotik. Eysenck yakin bahwa data-data kepribadian
seseorang pasti berkisar antara titik normal sampai titik neurotisisme,
maka hal ini pun berlaku untuk temperamen, artinya, temperamen
memiliki dasar genetis dan dimensi kepribadian yang terkait dengan aspek
c. Dimensi Psikotisme (Psychoticism)
Eysenck sadar bahwa populasi data yang digunakan dalam
penelitiannya terlalu luas dan global, oleh karena itu, tidak tertutup
kemungkinan dari sekian banyak populasi data ini ada yang sebenarnya
tidak patut dipilihnya (Boeree, 2007). Eysenck melakukan penelitian pada
rumah sakit jiwa yang terletak di Inggris. Data-data yang didapatkan dari Depressed
N
Anxious Guilt
Feelings
Low Self-Esteem
Terise
Irrational Shy Moody Emotional
pasien rumah sakit jiwa ini kemudian dianalisis dan faktor ketiga yang
dinamakan psikotisme (psychoticism) muncul.
Dimensi psikotisme merupakan dimensi yang ditambahkan dari
teori asli Eysenck (Feist, 2005). Eysenck menyatakan bahwa dimensi
psikotitisme ini seperti 2 dimensi lainnya, memiliki faktor bipolar, yaitu :
psikotitisme dan superego (psychoticism – superego). Seperti halnya
neurotisme, individu psikotistik bukan berarti psikotik, namun hanya
memperlihatkan beberapa gejala yang umumnya terdapa pada
individu-individu psikotik (Boeree, 2007). Beberapa gejala yang biasanya
ditemukan pada individu-individu psikotistik, di antaranya adalah : tidak
memiliki daya respon (recklessness), tidak memperdulikan kebiasaan yang
lumrah berlaku, dan ekspresi emosional yang tidak sesuai dengan
kebiasaan (inappropriate emotional expression). Pervin (2005)
menyatakan bahwa individu yang mendapatkan skor tinggi pada dimensi
psikotitisme cenderung soliter, cuek (insensitive), tidak peduli dengan
orang lain, dan menentang kebiasan-kebiasan umum yang berlaku secara
sosial.
Cold
P
3. Hubungan Kepribadian dengan Ingatan Jangka Pendek
Heffeman & Ling (2001) membandingkan ingatan prospektif, yaitu
ingatan yang digunakan pada masa yang akan datang antara individu ekstrovert
dan introvert. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa individu ekstrovert
memiliki lebih sedikit kesalahan dibandingkan individu introvert dalam tugas
ingatan prospektif. Penelitian yang dilakukan oleh Aubel & Britton (dalam Bell,
2005) menunjukkan bahwa performansi individu ekstrovert lebih baik
dibandingkan individu introvert pada tugas kognitif. Penelitian Lieberman (2000)
menemukan bahwa individu ekstrovert memiliki kemampuan ingatan jangka
pendek yang lebih baik daripada individu introvert .
D. Warna
1. Definisi Warna
Warna adalah properti yang dapat kita lihat baik melalui sistem
penglihatan maupun materi yang berasal dari sumber cahaya (dalam Heerwagen,
2004). Gelombang cahaya yang mencapai mata kita, akan dipersepsikan sebagai
warna. Secara fisis, cahaya tidak memiliki warna, namun sistem penglihatan kita,
termasuk otak, menginterpretasikan cahaya dalam panjang gelombang tertentu
menghasilkan warna. Identitas suatu warna ditentukan panjang gelombang.
Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap mata manusia berkisar
2. Dimensi Psikologis Warna
Menurut Munsell (dalam Goldstein, 2002), terdapat 3 dimensi psikologis
warna, yaitu :
a. Hue (corak warna)
Corak warna berkaitan dengan nama warna tertentu. Nama warna misalnya :
merah, hijau, biru, dan kuning.
b. Brightness (kecerahan warna)
Dasar fisis kecerahan terutama adalah energi sumber cahaya yang berhubungan
dengan amplitudo gelombang. Namun, kecerahan dalam beberapa hal juga
tergantung pada panjang gelombang, misalnya : warna kuning tampak lebih terang
dari panjang gelombang warna dan biru, walaupun ketiga warna tersebut
mempunyai amplitudo yang sama.
c. Saturation (kejenuhan warna)
Saturasi atau kejenuhan warna berhubungan dengan keanekaragaman warna
cahaya, di mana warna putih berkaitan dengan tidak adanya warna secara total.
Warna yang memiliki saturasi yang tinggi kelihatan tidak mengandung warna
putih. Warna yang tidak memiliki saturasi kelihatan pucat dan keputih-putihan.
Tingkat saturasi yang rendah berhubungan dengan panjang gelombang
berbeda-beda dari suatu warna, dan tingkat saturasi yang tinggi berhubungan dengan
Prang (dalam Hakim & Sediadi, 2004) membagi warna menjadi 3 dimensi,
yaitu :
a. Hue
semacam temperamen mengenai panas/dinginnya suatu warna.
b. Value
mengenai gelap terangnya warna.
c. Intensity
mengenai cerah dan redupnya warna.
Selain itu, Prang juga membagi adanya kelas warna, yaitu :
a. Primary
merupakan warna utama/pokok, yaitu : warna merah, kuning, dan biru.
b. Binary
merupakan warna kedua dan yang terjadi dari gabungan antara dua warna
primary. Warna tersebut adalah merah+biru = violet, merah+kuning = jingga, dan
biru+kuning = hijau.
c. Intermediate
warna ini adalah warna-warna campuran dari warna primary dan binary,
misalnya, merah dicampur hijau menjadi merah hijau.
d. Tertiary
merupakan warna-warna campuran dari warna binary, misalnya, violet dicampur
e. Quaternary
merupakan warna campuran dari dua warna tertiary, misalnya : hijau violet
dicampur dengan jingga hijau, jingga violet dicampur dengan jingga hijau, dan
hijau jingga dicampur dengan violet jingga.
Selain itu, kita juga mengenal adanya pencampuran antara warna murni
dengan warna kutub yang disebut dengan :
a. Tint
warna murni dicampur dengan warna putih sehingga terjadi warna muda.
b. Shade
warna murni dicampur dengan hitam sehingga terjadi warna tua.
c. Tone
warna murni dicampur dengan warna abu-abu (pencampuran putih dan hitam)
sehingga terjadi warna tanggung.
3. Hubungan Warna dengan Ingatan
Birren (1950) menyatakan bahwa warna dapat meningkatkan sensitivitas
individu. Penelitian Birren (1950) menunjukkan bahwa warna yang hangat
(warm) seperti warna kuning dan merah lebih meningkatkan arousal
dibandingkan dengan warna yang tenang (cool). Penelitian Greene (1983)
menunjukkan hasil yang serupa, bahwa warna-warna yang hangat meningkatkan
sensitivitas dibandingkan dengan warna yang tenang. Penelitian Roozendaal
(2002) menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang membangkitkan (arousing)
perubahan hormon dalam otak yang akhirnya membuat ingatan akan peristiwa
tersebut meningkat. Penelitian Wolters & Goudsmit (2005) dan Otani (2007)
mengindikasikan peristiwa-peristiwa yang membangkitkan dapat meningkatkan
ingatan. Kita dapat berasumsi bahwa warna dapat berperan sebagai bantuan dalam
hal mengingat jika warna yang digunakan dapat membuat ketergugahan secara
emosional (emotionally arousing).
Penelitian yang dilakukan oleh Wurm (1993) yang menyatakan bahwa
dengan adanya warna dapat membantu individu lebih mengingat nama objek yang
dikenai warna. Penelitian Humprey, Goodale, Jakobson, dan Servos (1994)
menemukan hal yang sama seperti Wurm, yaitu warna kromatik memfasilitasi
penamaan objek yang dilihat. Borges, Stepnowsky, dan Holt (1977) menemukan
bahwa rekognisi pada orang dewasa lebih baik untuk gambar berwarna
dibandingkan hitam-putih.
Jika warna dapat meningkatkan sensitivitas dan sensitivitas dapat
meningkatkan ingatan, maka mungkin saja warna dapat meningkatkan ingatan.
Penelitian Spence (2006) menunjukkan warna meningkatkan rekognisi akan
pemandangan alam sebesar 5%.
E. Hubungan antara Kebisingan, Dimensi Kepribadian, dan Warna dengan Ingatan Jangka Pendek
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengingat
seseorang. Ingatan adalah kemampuan yang dimiliki manusia yang digunakan
Ingatan ini sangat diperlukan oleh individu, misalnya suatu kejadian yang tidak
menyenangkan terjadi karena suatu kesalahan yang kita buat sendiri sehingga
pada saat kita menghadapi masalah yang hampir sama maka kita dapat mengingat
dan kesalahan tidak terulang lagi. Ingatan juga sangat dibutuhkan sekali dalam
proses belajar.
Lingkungan yang bising dan hiruk-pikuk dapat mempengaruhi ingatan.
Seseorang yang mampu untuk beradaptasi dengan kebisingan tidak akan
mengalami kesulitan untuk mengingat, namun hal ini akan berbeda dengan
individu yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang bising. Individu
tersebut tidak dapat mengingat dalam keadaan bising, kenyataannya ada
individu-individu yang mampu mentolerir kebisingan sehingga hal tersebut tidak
mempengaruhi aktivitas yang melibatkan ingatannya.
Individu yang mampu mentolerir kebisingan tidak akan membuat
performansi individu memburuk, sedangkan individu yang tidak bisa mentolerir
kebisingan, performansinya tentu akan memburuk. Perbedaan individual dalam
mentolerir kebisingan ini dipengaruhi oleh kepribadian. Dimensi kepribadian yang
dikemukakan oleh Eysenck menyatakan bahwa individu ekstrovert dan introvert
memiliki tingkat optimum sensitivitas (level optimum arousal) yang berbeda.
Eysenck (1998) mengemukakan teori arousal yang menyatakan bahwa individu
introvert memiliki tingkat optimum sensitivitas yang tinggi sehingga apabila
dihadapkan pada kebisingan, individu introvert akan lebih terdistraksi, sebaliknya,
mereka cenderung untuk mencari stimulus dari lingkungan agar sensitivitas
mereka optimum.
Tingkat sensitivitas dapat dimanipulasi dengan penggunaan warna.
Penelitian Burt (2002) menyatakan bahwa penggunaan warna dapat meningkatkan
kemampuan ingatan individu. Penelitian Birren (1950) menunjukkan bahwa
warna yang hangat, seperti warna kuning dan merah lebih meningkatkan
sensitivitasdibandingkan dengan warna yang tenang. Adanya penggunaan warna
diharapkan dapat membantu individu dalam meningkatkan ingatannya.
Jika ditinjau dari sisi teoritis, kebisingan merupakan suatu stimulus yang
dapat mengganggu performasi ketika melakukan tugas yang membutuhkan
ingatan. Individu yang introvert maupun ekstrovert memiliki perbedaan dalam
tingkat optimum sensitivitas, sehingga individu ekstrovert cenderung kurang
terpengaruh dampak kebisingan ketika dihadapkan pada tugas yang membutuhkan
ingatan, sebaliknya, individu introvert telah memiliki tingkat optimum sensitivitas
yang tinggi, sehingga apabila dihadapkan dengan kebisingan, individu ekstrovert
lebih terpengaruh dampak kebisingan dibandingkan individu ekstrovert.
Penggunaan warna disarankan sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan
kemampuan mengingat. Warna yang cerah lebih membantu mengingat kembali
dibandingkan warna yang tenang. Warna yang cerah lebih meningkatkan
sensitivitas dibandingkan warna yang tenang. Individu yang melakukan tugas
dalam kondisi yang bising tentunya dapat menggunakan warna sebagai salah satu
upaya dalam mengingat, namun tipe kepribadian individu yang bersangkutan juga
meningkatkan sensitivitas, individu introvert telah memiliki tingkat optimum
sensitivitas yang tinggi, dengan demikian, penggunaan warna yang cerah akan
meningkatkan sensitivitas baik pada individu ekstrovert maupun introvert.
Individu introvert cenderung menjaga tingkat optimum sensitivitas dengan jalan
menghindari situasi yang dapat meningkatkan sensitivitas mereka, dalam hal ini
kebisingan. Jika individu introvert memiliki tingkat optimum sensitivitas yang
tinggi melakukan aktivitas yang membutuhkan ingatan pada kondisi yang bising,
tentunya hal ini dapat mempengaruhi performansinya. Penelitian Furham &
Strbac (2002) mengindikasikan bahwa individu introvert membuat lebih banyak