Intensitas Nyeri Luka
Sectio Caesarea
dan Kualitas Tidur Pasien
Pasca Salin Hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan
SKRIPSI
Oleh
Melisa Naratilova Nainggolan
111101116
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya serta menganugerahkan kesehatan dan kesempatan
bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Intensitas nyeri luka
Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin hari
ke-
2 di RSUP H.Adam Malik Medan ”. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program S1 Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku dekan fakultas keperawatan
Universitas Sumatera Utara
2.
Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku pembantu dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
3.
Ibu Evi Karota Bukit SKp, MNS sebagai pembantu dekan II Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan sebagai penguji I yang telah
memberikan banyak arahan dan masukan pada penulisan skripsi saya ini.
4.
Bapak Ikhsanuddin Harahap, SKp, MNS, SpMB selaku pembantu dekan III
5.
Ibu Nur Asiah, S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen PA dan sebagai penguji II
6.
Ibu Nurbaiti, S.Kep, Ns, M.Biomed sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu, arahan, masukan, dan saran dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini
7.
Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan
proposal
8.
Penghargaaan dan terimakasih yang mendalam kepada ayah saya, Switerman
Nainggolan, S.Pd dan ibu saya, Rosita Pohan yang telah memberikan
dukungan doa, materi, dan moril yang tiada henti selama penulis menjalani
pendidikan
9.
Saudara-saudara saya (Kristiani Nainggolan, S.Pd, drh.Willy Moris
Nainggolan, Hillary Nainggolan, Medlin Nainggolan) yang telah memberikan
dukungan doa dan moril kepada penulis
10.
Sahabat-sahabat saya (Dini, Ayu, Tri suci, Lenny) dan yang terkasih Rencana
Sianturi yang selalu mendukung dan membantu penulis selama 4 tahun
terakhir
11.
Teman-teman saya dari pelayan pemuda Gereja Kemenangan Iman Indonesia
(Fransiska, Valentino, Dewi, Rugery, Dodi, Chandra, Albert, Ampuni, Vira,
Yasa, Dani, Talenta, Marnatal, Ramendra, Swardi) yang selalu memberikan
doa dan dukungan kepada penulis
12.
Teman satu bimbingan (Nabila, Agus setiana, dan Rafika) yang senantiasa
13.
Teman-teman S1 Keperawatan Reguler Stambuk 2011 yang tidak bisa
disebutkan satu per satu terimakasih atas dukungannya
14.
Penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada direktur utama,
kepala ruangan, serta seluruh perawat di ruangan RINDU B Obgyn, dan
seluruh staf RSUP H Adam Malik Medan yang telah memberi ijin dan
kesempatan untuk melakukan penelitian
15.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membantu proses
pengembanggan ilmu.
Medan, Juli 2015
Penulis
( Melisa Naratilova Nainggolan)
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I : PENDAHULUAN
...
1
1.1. Latar Belakang ...
1
1.2. Rumusan Masalah ...
4
1.3. Pertanyaan Penelitian ...
4
1.4. Tujuan Penelitian ...
4
1.4.1. Tujuan Umum ...
4
1.4.2. Tujuan Khusus ...
4
1.5. Manfaat Penelitian ...
5
1.5.2. Pelayanan Keperawatan ...
5
1.5.3. Penelitian Keperawatan ...
5
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
...
6
2.1. Sectio Caesarea (SC) ...
6
2.1.1. Pengertian Sectio Caesarea ...
6
2.1.2. Perawatan Pasca Bedah Caesar ...
6
2.2. Nyeri ...
11
2.2.1. Pengertian Nyeri ...
11
2.2.2. Fisiologis Nyeri ...
12
2.2.3. Proses Transmisi Nyeri ...
13
2.2.3.1. Proses Transduksi ...
14
2.2.3.2. Proses Transmisi ...
15
2.2.3.3. Proses Modulasi ...
15
2.2.3.4. Persepsi ...
16
2.2.4. Teori Pengontrolan Nyeri ...
16
2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ...
19
2.2.7. Proses Keperawatan Nyeri ...
22
2.3. Konsep Tidur ...
26
2.3.1. Definisi Tidur ...
26
2.3.2. Fisiologi Tidur ...
26
2.3.3. Pola Tidur ...
29
2.3.4. Tahapan dan Siklus Tidur ...
30
2.3.4.1. Tahapan Tidur ...
30
2.3.4.2. Siklus Tidur ...
33
2.3.5. Fungsi Tidur ...
34
2.3.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur ...
35
BAB III : KERANGKA PENELITIAN ...
41
3.1. Kerangka Konsep ...
41
3.2. Definisi Operasional ...
41
BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN ...
43
4.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ...
43
4.2.1. Populasi ...
43
4.2.2. Sampel ...
43
4.2.3. Teknik Sampling ...
44
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ...
45
4.3.1. Lokasi Penelitian ...
45
4.3.2. Waktu Penelitian ...
45
4.4. Pertimbangan Etik ...
45
4.5. Instrumen Penelitian ...
46
4.6. Validitas dan Reabilitas ...
47
4.7. Rencana Pengumpulan Data ...
48
4.8. Analisis Data ...
49
BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN ...
51
5.1. Hasil Penelitian ...
51
5.1.1. Deskripsi Karakteristik Responden ...
51
Ke-2 di RSUP H Adam Malik Medan ...
52
5.1.3. Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari Ke-2 di RSUP H
Adam Malik ...
53
5.2. Pembahasan ...
55
5.2.1. Intensitas Nyeri Luka Sectio Caesarea ...
55
5.2.2. Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari Ke-2 di RSUP H
Adam Malik ...
56
5.3. Keterbatasan Penelitian ...
59
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ...
60
6.1. Kesimpulan ...
60
6.2. Saran ...
61
6.2.1. Bagi Penelitian Keperawatan ...
61
6.2.2. Bagi Pendidikan Keperawatan ...
61
6.2.3. Bagi Praktek Keperawatan ...
61
DAFTAR TABEL
1. Tabel 2.1. Tahapan Siklus Tidur ...
30
2. Tabel 3.1. Definisi Operasional ...
41
3. Tabel 5.1. Frekuensi Dan Persentase Data Demografi Pasien Sectio
Caesarea Hari Ke-2 di RSUP H. Adam Malik Medan (N=10) ...
51
4. Tabel 5.2. Frekuensi dan persentase intensitas nyeri luka Sectio Caesarea
pasien pasca salin hari ke 2 di RSUP H Adam Malik Medan (N=10) ...
52
5. Tabel 5.3. Frekuensi dan persentase parameter tidur pasien pasca salin
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1. Verbal Descriptor Scale (VDS) ...
23
2. Gambar 2.2. Numerical Rating Scales (NRS) ...
24
3. Gambar 2.3. Visual Analog Scale (VAS) ...
24
4. Gambar 2.4. Siklus Tidur Orang Dewasa ...
34
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Lampiran 1 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 67
2.
Lampiran 2 : Lembar Penjelasan Penelitian ... 69
3.
Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... 71
4.
Lampiran 4 : Kualitas Tidur ... 72
5.
Lampiran 5 : Taksasi Dana ... 74
6.
Lampiran 6 : Riwayat Hidup ... 76
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn, 2010). Tindakan Sectio Caesarea merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ada beberapa
indikasi untuk dilakukan tindakan Sectio Caesarea adalah gawat janin, disproporsi sepalovelvik, persalinan tidak maju, plasenta previa, prolapsus tali pusat, mal presentase
janin/ letak lintang (Norwitz E & Schorge J, 2007), Panggul sempit dan preeklamsia
(Jitawiyono S & Kristiyanasari W, 2010)
Menurut World Health Organization (WHO), standar rata-rata Sectio Caesarea di sebuah negara adalah 5-15% per 1000 kelahiran di dunia, rumah sakit pemerintah
rata-rata 11%, sementara rumah sakit swasta bisa lebih dari 30% (Gibbons,2010). Permintaan
Sectio Caesarea di sejumlah negara berkembang melonjak pesat setiap tahunnya (Judhita, 2009). Di negara-negara maju, angka Sectio Caesarea meningkat dari 5 % pada 25 tahun yang lalu menjadi 15 % hingga sekarang. Di Indonesia, secara umum jumlah persalinan
Sectio Caesarea adalah sekitar 30-80% dari total persalinan (Depkes RI, 2013). Hasil data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010, angka ibu melahirkan dengan
Sectio Caesarea periode lima tahun terakhir di Indonesia sebesar 15,3% dengan rentang tertinggi 27,2% di DKI Jakarta dan terendah 5,5 % di Sulawesi Tenggara. Di Rumah
Sakit Umum Bunda Thamrin Medan didapatkan persalinan Sectio Caesarea pada tahun 2012 sebesar 78,97% dari total persalinan. Dan pada tahun 2013 pada bulan Januari -
Suatu pembedahan setelah operasi atau post operasi akan menimbulkan respon
nyeri. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri
yang timbul terkait erat dengan kerusakan yang terjadi pada jaringan akibat reaksi
inflamasi yang berasal dari proses traumatis (RA, 2003). Nyeri biasanya terjadi 12 sampai
36 hari pasca pembedahan dan menurun pada hari ketiga (Kozier et.al, 2004).
Nyeri merupakan salah satu elemen pada post operasi yang bisa meningkatkan
level hormon stres seperti adrenokotripokotropin, kortisol, katekolamin, dan interleukin,
dan secara simultanmenurunkan pelepasan insulin dan fibrinolisis yang akan
memperlambat proses penyembuhan luka (Chelly, Ben David, Williams & Kentor, 2003).
Nyeri berpengaruh terhadap pola tidur, pola makan, energi, aktifitas keseharian
(Muttaqin, 2008). Sedangkan menurut Granot, 2003, nyeri yang muncul akibat Sectio Caesarea mengakibatkan pemulihan yang sulit, penundaan kontak ibu dan bayi yang baru lahir, hambatan bagi posisi menyusui yang baik, perawatan diri, perawatan bayi baru lahir
dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti duduk, berdiri, berjalan, dan kegiatan
kebersihan diri (Granot, 2003)
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan memiliki pengaruh
terhadap kualitas hidup, fisik, serta kesehatan mental (Lashkaripour et.al, 2012). Tidur
berfungsi sebagai penyimpan energi dan pemulihan (Hardkreader, Hogan, & Thobaben,
2007).
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik dapat
menyebabkan masalah tidur (Agustin, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nuraini, dkk (2001) menyatakan penyebab gangguan tidur pada pasien dewasa awal
sedangkan penyebab terbesar gangguan tidur pada dewasa menengah pasca bedah juga
sama , yaitu berasal dari nyeri 32,8%. Gangguan tidur pada pasien pasca operasi dapat
menyebabkan trauma pada tubuh dengan mengganggu mekanisme protektif dan
homeostatis (Potter and Perry, 2009). Sementara itu, pasien pascaoperasi sering
mengalami gangguan tidur yang dapat mengganggu proses penyembuhannya (Kozier,
2010).
Tartowo & wartonah (2004) mengatakan, seseorang yang mengalami sakit
memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal. Tidur adalah penyembuh yang baik.
Pada saat tidur terjadi pertumbuhan sel-sel tubuh. Misalnya pada pasien pasca operasi,
masalah sulit tidur merupakan masalah yang sering terjadi. Fungsi dari tidur adalah untuk
sintesis pemulihan dan perilaku, waktu perbaikan tubuh dan otak (Kozier et.al, 2004).
Bagi pasien pasca salin dengan Sectio Caesarea masalah kebutuhan tidur sangat penting karena tidak hanya untuk pemulihan kondisi tubuh pasien tetapi untuk memaksimalkan
perawatan pasien dan dalam melakukan perawatan bayi di rumah sakit (Fitri, 2012).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “adakah hubungan antara intensitas
nyeri luka Sectio Caesarea dengan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan?”
1.3
Pertanyaan Penelitian
1.
Berapakan intensitas nyeri luka
Sectio Caesarea pada pasien pasca salin hari
ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan?
2.
Bagaimanakah kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2 dengan luka
Sectio
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum
Mengidentifikasi intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan
1.4.2
Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengidentifikasi gambaran intensitas nyeri luka
Sectio Caesarea pada
pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan.
2.
Mengidentifikasi gambaran kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Pendidikan Keperawatan
Memberikan informasi khususnya bagi dunia keperawatan untuk mengetahui
adakah hubungan antara nyeri luka Sectio Caesarea dengan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2
1.5.2 Pelayanan Keperawatan
Memberikan informasi bagi seluruh sumber daya manusia kesehatan khususnya
perawat tentang intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2
1.5.3 Penelitian Keperawatan
Sebagai referensi di perpustakaan yang dapat digunakan oleh peneliti lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sectio Caesarea (SC)
2.1.1 Pengertian Sectio Caesarea
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan
syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sementara menurut
(Bobak et al, 2004), Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar, 1998), Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau
vagina atau Sectio Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sectio Caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus.
2.1.2 Perawatan Pasca Bedah Caesar
Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :
a.
Perawatan luka insisi
Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya, lalu
ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan luka
b.
Tempat perawatan pasca bedah
Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam kamar
rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara selama beberapa hari.
Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke unit darurat untuk perawatan
bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini peralatan untuk menyelamatkan pasien
lebih lengkap. Setelah puslih barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.
c.
Pemberian cairan
Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang diperlukan, agar
tidak terjadi dehidrasi.
d.
Nyeri
Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh mereka
yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri tersebut hampir tidak
mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau gangguan terutama bila
aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien
sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi.
Rasa nyeri biasanya diberikan analgetik. Ada tiga jenis analgesik yakni (1) Non
narkotik dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID), (2) Analgesik narkotik atau Opiat dan (3) Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik yang diberikan dengan tujuan untuk meredakan nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien. (Smeltzer & Bare, 2001). Obat
analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS
bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla
spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf
spinal tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan
menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan
kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin. meningkatkan kepekaan
ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen
yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli
yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.
Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau
organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan
sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri
seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal
sebagai sensitisasi perifer.
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus
terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga
serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter
besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla
spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen
(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen
tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi
dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik.
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek
yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,
penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan
duaisoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutiveyang diekspresikan sebagai COX-1 dan
parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi
platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat
inducibledan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan
menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien
di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam
sensitisasi sentral. Ketorolac tromethamine merupakan obat Anti Inflamasi Non steroid (AINS) yang menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dipertimbangkan aksi
analgesik perifernya. Aksitivitas biologi dari ketorolac trombethamine tidak memiliki
efek sedatif atau anxiolytic. Waktu mula kerja efek analgesik ketorolac rute pemberian IV
dan IM adalah sama kira-kira 30 menit, dengan munculnya efek analgesik dalam waktu 1
atau 2 jam. Nilai tengah durasi analgesik umumnya 4 sampai 6 jam.
e.
Mobilisasi
Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya
penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis dan
emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah pasiensadar.
Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah
sadar. Pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 5 menit dan dan diminta untuk
bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya
untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri
pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah
duduk (semi fowler). Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5
2.2 Nyeri
2.2.1 Pengertian Nyeri
Menurut Asosiasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (IASP) dalam Potter
(2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan.
Menurut Mc Caffery dalam Potter (2006), nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan
seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia
merasa nyeri. Menurut Carpenito, L J (2005), nyeri adalah keadaan dimana individu
mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang
tidak menyenangkan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), nyeri adalah pengalaman
emosional dan sensori yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
actual atau potensial. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat didefinisikan nyeri
secara umum sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan baik ringan maupun berat.
2.2.2 Fisiologis Nyeri
Menurut Barbara C Long (1996), menjelaskan tentang fisiologis nyeri sebagai
berikut. Reseptor nyeri disebut noiceptor merupakan ujung-ujung syaraf yang bebas,
tidak bermyelin atau sedikit bermyelin dari neuron aferen. Nociceptor-nociceptor tersebar
luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pada struktur-struktur yang lebih dalam seperti
pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Noiceptor member
respon yang terpilih terhadap stimuli yang membahayakan seperti stimuli kimiawi,
thermal, listrik atau mekanis. Yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri adalah
histamine, bradikinin, prostaglandin, bermacam macam asam, sebagian bahan tersebut
yang dilepas oleh jaringan anoksia yang rusak. Spasmus otot menimbulkan nyeri kerena
menekan pembuluh darah yang menjadi anoksia. Spasme otot dapat juga berkibat
anoksia. Pembengkakan jaringan menjadi nyeri akibat tekanan (stimuli mekanis) kepada
nociceptor yang menghubungkan jaringan. Nyeri tidak menimbulkan adaptasi adaptasi
yang berulang ulang pada beberapa kejadian bisa menjadi lebih sensitive untuk beberapa
lama. Pada keadaan patologis sensitifitas nyeri meningkat. Contoh, luka yang terbakar
karena matahari menjadi sangat peka terhadap nyeri walaupun hanya sedikit sentuhan
(stimulus mekanis).
2.2.3 Proses Transmisi Nyeri
Impuls-impuls nyeri disalurkan kesum-sum tulang belakang oleh dua jenis
serabut-serabut yang bermyelin rapat serabut A-delta (cepat), serabut-serabut lamban
serabut C. Nyeri dapat diterangkan sebagai nyeri tajam atau menusuk dan yang mudah
diketahui lokasinya akibat dari impuls-impuls yang disalurkan oleh serabut-serabut delta-A. Contoh dari nyeri tersebut ialah seperti tusukan oleh jarum, rasa nyeri “panas” ,
“tumpul” atau “gatal” dan yang lebih difus berasal dari impuls-impuls yang
ditransmisikan oleh serabut C. Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A
mempunyai sifat inhibitori yang ditransmisikan ke serabut-serabut C. serabut-serabut syaraf aferen masuk ke spinal lewat “dorsal noot” dan sinaps pada “dorsal horn”. Dorsal
horn terdiri dari beberapa lapisan yang saling bertautan. Lamina II dan III membentuk
daerah yang disebut subtantia gelatinosa. Subtantia P dilepas pada sinaps dari SG dan
diduga merupakan penyalur syaraf/neuro transmitter utama dari impuls-impuls nyeri.
Impuls-impuls nyeri menyebrangi sum-sum belakang pada
interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinalis asendens. Paling sedikit terdapat enam
belakang yang paling utama adalah spinothalamus tract (STT) / jalur spinotalamus dan
spinoreticular track (SKRT) / jalur spinoretikkuler. STT merupakan system yang
diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan stimulus kepada thalamus
kemudian ke kortek untuk di interpretasi. Impuls-impuls yang ditransmisi lewat SKT
(yang pergi ke batang otak dan kesebagian thalamus) mengaktifkan respon-respon
autonomi dan limbic (motivational affectice / evektif yang dimotivasi) (Barbara C. Long,
1996).
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen
yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli
yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)
2.2.3.1 Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.
Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau
organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan
sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri
seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal
2.2.3.2 Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi
melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls
tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus
spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis
terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta
berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga
serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter
besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di
cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri
2.2.3.3 Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla
spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen
(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan
impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu
dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen
tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang
2.2.3.4 Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi
sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik
2.2.4 Teori Pengontrolan Nyeri
Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim
sensasi tedak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui gerbang
penghambat. Substantia Gelatinosa (SG) yaitu area dari sel-sel khusus pada bagianujung dorsal spinal cord mempunyai peran sebagai mekanisme pintu gerbang yang dapat
membuka dan menutup yang dapat mengijinkan atau menolak lewatnya impuls nyeri.
Mekanisme pintu gerbang ini dapat merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai
ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri. Jika menutup impuls nyeri tidak sampai ke
korteks dan jika terbuka akan sampai ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri (Potter
& Perry, 2006).
2.2.5 Klasifikasi Nyeri
Smeltzer & Bare (2002), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan durasinya, yaitu:
a.
Nyeri akut
Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera
spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.
Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan.
Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari
b.
Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan
dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik
dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan
yang diarahkan pada penyembuhannya. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai
nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun dapat berubah antara
akut dan kronik.
Sementara Price & Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi
atau sumber, antara lain:
a)
Nyeri somatik superfisial (kulit)
Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis.
Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsang
mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering
dirasakan sebagai penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila
pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri menjadi berdenyut.
b)
Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam mengacu kepadanyeri yang berasal dari otot, tendon,
ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit
reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah
c)
Nyeri visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeriyang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor
nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di
dinding otot polos organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri
visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ,
iskemiadan peradangan.
d)
Nyeri alih
Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh
tetapi dirasakan terletak didaerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom
(daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan
viksusyang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah, tidak hams di tempatorgan
tersebut berada pada masa dewasa.
e)
Nyeri neuropati
Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan dari sistem
saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri.
Dengan demikian, lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya
sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau
seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas
sistem saraf otonom (SSO). Dengan deminkian, nyeri sering bertambah parah oleh
2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006) faktor-faktor yang menyebabkan nyeri, antara
lain:
a.
Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini
dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon terhadap
nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam
mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian yang
melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh
faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan
jenis kelamin.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budayamempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.
Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan
mereka. Menurut Clancy dan Vicar dalam (Perry & Potter, 2006), menyatakan bahwa
sosialisasi budaya menetukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini
dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga terjadilah
d. Makna nyeri
Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga
dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan
mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda beda apabila nyeri tersebut memberikan
kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang
melahirkan akan mempersepsikan nyeri, akibat cedera karena pukulan pasangannya.
Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna
nyeri.
e. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan
upaya pengalihandihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Dengan
memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat
menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi
nyeri individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama
waktu pengalihan.
f. Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan
ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Price (Potter &
Perry, 2006), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim
limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat
memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau
g. Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan sensasi
nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi
masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila
keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika
mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.
h. Pengalaman sebelumnya
Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berati bahwa individu akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama
seringmengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan
muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
i. Gaya koping
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa
kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran
orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Walaupun nyeri
dirasakan, kehadiran orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan
ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat
klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan
2.2.7 Proses Keperawatan Nyeri
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses keperawatan nyeri menurut
Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :
1)
Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah
menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran
dengan teknik ini juga tidak memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Pengukuran subyektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur
seperti Verbal Descriptor Scale (VDS), Numerical Rating Scales (NRS), Visual Analog Scale (VAS).
a)
Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klain skala tersebut dan meminta klien
untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. VDS memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendiskripsikan
Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)
b)
Numerical Rating Scales (NRS)
Skala penilaian numerik (Nemerical Rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala
0-10.
Gambar 2.2 Numerical Rating Scales (NRS)
c)
Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan
nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter & perry, 2006). Keadaan
[image:39.595.122.494.362.422.2]diperoleh pasangan pengukuran VAS1 menit terpisah 30 menit selama 2 jam. Hasil yang
diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan VAS skor adalah 0,97 [95% CI =
0,96-0,98] (Bijur, 2001). Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan
untuk menilai nyeri.
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)
1) Skala Nyeri
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak
mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca
dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat
bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi
perubahan kondisi klien. Perawat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi
lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter & perry, 2006).
2)
Karakteristik nyeri
Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan kemungkinan
penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serat irama (terus-menerus, hilang timbul,
periode bertambah atau berkurangnya intenstias nyeri) dan kulitas nyeri (misalnya seperti
3)
Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Berbagai perilaku sering diidentifikasikan klien sebagai faktor yang mengubah
intensitas nyeri (misal aktivitas, istirahat, pengerahan tenaga, posisi tubuh, penggunaan
obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang diyakini klien dapat membantu dirinya.
Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and error.
4)
Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Misalnya, terhadap pola tidur, kualitas tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dan
aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis yang
berhubungan dengan depresi.
5) Kekhawatiran individu tentang nyeri
Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis serta
berpengaruh terhadap peran dan citra diri.
2.3 Konsep Tidur
2.3.1 Definisi Tidur
Tidur merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kesadaran.
Berkurangnya aktivitas pada otot rangka dan penurunan metabolisme (Harkreader,
Hogan, & Thobaben, 2007). Potter dan Perry (2005) mendefinisikan tidur sebagai waktu
dimana terjadinya penurunan status kesadaran yang terjadi pada peiode waktu tertentu,
terjadi secara berulang dan merupakan proses fisiologi tubuh yang normal. Tidur adalah
kebutuhan dasar manusia, yang merupakan proses biologi universal yang biasa terjadi
pada setiap orang, dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat
kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon
2.3.2 Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang melibatkan mekanisme
serebral secara bergantian dengan periode yang lebih lama, agar mengaktifkan pusat otak
untuk dapat tidur dan terjaga (Potter & Perry, 2005). Tidur diatur oleh tiga proses, yaitu:
mekanisme homeostasis, irama sirkardian dan irama ultradian (Harkreader, Hogan, &
Thobaben, 2007).
1.
Mekanisme Homeostasis
Sebuah mekanisme homeostasis menyebabkan seseorang terjaga dan yang lain
menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Sistem aktivasi reticular (SAR) berlokasi
pada batang otak teratas. SAR terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan
dan terjaga. SAR dapat menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri dan taktil serta
aktivitas korteks serebral seperti rangsangan emosi dan berpikir. Sleep Research Society
(1993) berpendapat bahwa neuron dalam SAR akan mengeluarkan katekolamin seperti
norepinefrin yang akan membuat kita terjaga (Potter & Perry, 2005). Sedangkan tidur
terjadi karena adanya pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe
pada pons dan otak depan bagian tengah di daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR). Ketika orang mencoba tertidur mereka akan menutup mata dan berada dalam keadaan rileks, stimulus ke SAR pun menurun. Jika ruangan gelap dan
terang, maka kativasi SAR selanjutnya akan menurun. BSR mengambil alih yang
kemudian akan menyebabkan tidur. Lanuza dan Farr (2003) mengungkapkan bahwa suhu
tubuh, level kortisol, dan melatonin berubah saat tubuh bersiap untuk tertidur atau pun
terbangun (Berger & Hobbs, 2006). Sebagai contoh, aktivitas pada pagi hari, level
kortisol akan meningkat sekitar jam 4 pagi dan akan melemah sekitar jam 6 pagi. Suhu
tubuh inti akan mulai meningkat setelah level suhu tubuh inti sampai pada jam 2-4 pagi.
yang dihasilkan saat manusia tertidur. Dijk dan Lockey (2002) memberikan kesimpulan
bahwa meskipun suhu inti dan level kortisol menurun saat permulaan di waktu gelap,
namun level melatonin akan meningkat (Berger & Hobbs, 2006).
2.
Irama Sirkadian
Irama Sirkadian adalah pola bioritme yang berulang selama rentang waktu 24
jam. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon,
kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24
jam (Potter & Perry, 2005). Akerstedt (2003) mengungkapkan bahwa irama sirkadian
diatur oleh hipotalamus dan mengkordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormon,
pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert & Kolkhorst,
2007). Pola tidur-bangun muncul akibat dan dapat menyebabkan adanya pelepasan
hormon tertentu. Melatonin, disintesis di kelenjar pineal saat waktu gelap, saat siang hari
pineal tidak aktif tetapi jika matahari sudah terbit dan hari mulai gelap, pineal mulai
memproduksi melatonin, yang akan dilepaskan kedalam darah. Selain hormon, siklus
tidur-bangun juga dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan,
alarm jam.
3.
Irama Ultradian
Irama ultradian merupakan kejadian berulang pada jam biologis yang kurang dari
24 jam. Silklus ultradian pada tahap tidur terdapat dua tahapan, yaitu tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non rapid eye movement (NREM)
2.3.3 Pola Tidur
Pola tidur yang dimiliki setiap orang seperti halnya jam dimana tubuh individu
Ketika jam biologis menentukan waktu tidur, ini akan bekerja dengan fungsi tubuh
lainnya untuk membantu menyiapkan individu untuk tertidur di malam hari, dan
berhentinya berbagai fungsi tubuh yang berkaitan dengan waktu terjaga/bangun. Hal ini
juga terjadi kebalikannya ketika individu terbangun.
Setiap orang memiliki siklus bangun tidur yang sudah biasa dilakukan. Ini
menentukan kapan waktu yang tepat untuk seseorang tertidur. Waktu tersebut dapat
didukung oleh cahaya lampu atau matahari di siang hari, kebiasaan waktu makan dan
aktivitas yang dilakukan seperti biasanya dalam waktu tertentu setiap harinya. Seseorang
yang memiliki pola tidur-bangun yang teratur lebih menunjukkan tidur yang berkualitas
dan performa yang lebih baik daripada orang yang memiliki pola tidur-bangun yang
berubah-ubah )Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007).
Pola tidur-bangun yang berubah-ubah dan apabila individu belum beradaptasi
dengan perubahan tersebut maka akan mengakibatkan gangguan pola tidur. Carpenito
(2002) mendefinisikan gangguan pola tidur sebagai kondisi ketika individu mengalami
atau beresiko mengalami perubahan pada kualitas dan kuantitas pola istirahat yang
menimbulkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan. Kualitas
dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa faktor, seperti penyakit, lingkungan, gaya hidup,
sres emosional, dan lain-lain.
1.
Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur dan untuk
mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2004). Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang,
merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas
2. Kuantitas tidur
Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur yang dimiliki individu (Kozier,
Erb, Berman, Snyder, 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap individu
berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangannya, dari bayi sampai lansia. Seseorang
dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (usia dewasa tengah 6-8 jam) belum
menjamin untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.
2.3.4 Tahapan dan Siklus Tidur
2.3.4.1 Tahapan Tidur
Tidur yang normal melibatkandua fase: tahapan NREM (non rapid eye
movement) dan tahapan REM (rapid eye movement) (Potter & Perry, 2005).
Tabel 2.1 Tahapan Siklus Tidur
Tahapan Siklus Tidur
Karakteristik
Tahap 1: NREM
-
Tahap transisi diantara mengantuk
dan tertidur.
-
Ditandai
dengan
pengurangan
aktivitas fisiologis yang dimulai
dengan
menutupnya
mata,
pergerakan lambat, otot berelaksasi
serta penurunan secara bertahap
tanda-tanda vital dan metabolisme,
menurunnya denyut nadi.
tahap ini.
-
Tahap ini berakhir selama 5-10
menit
Tahap 2: NREM
-
Tahap tidur ringan
-
Denyut jantung mulai melambat,
menurunnya
suhu
tubuh,
dan
berhentinya pergerakan mata
-
Masih
relatif
mudah
untuk
terbangun
-
Tahap ini akan berakhir 10 hingga
20 menit
Tahap 3: NREM
-
Tahap awal dari tidur yang dalam
-
Laju pernapasan dan denyut jantung
terus melambat karena sistem saraf
parasimpatik
semakin
mendominasi.
-
Otot skeletal semakin berelaksasi,
terbatasnya
pergerakan
dan
mendengkur mungkin saja terjadi.
-
Pada tahap ini, seseorang yang tidur
sulit dibangunkan, tidak dapat
diganggu oleh stimuli sensori.
menit.
Tahap 4: NREM
-
Tahap tidur terdalam
-
Tidak ada pergerakan mata dan
aktivitas otot.
-
Tahap ini ditandai dengan
tanda-tanda
vital
menurun
secara
bermakna dibanding selama terjaga,
laju pernafasan dan denyut jantung
menurun sampai 20-30%
-
Seseorang yang terbangun pada saat
tahap ini tidak secara langsung
menyesuaikan diri, sering merasa
pusing
dan
disorientasi
untuk
beberapa menit setelah bangun dari
tidur.
Tahap REM
-
Ditandai dengan pergerakan mata
secara cepat ke berbagai arah,
pernafasan cepat, tidak teratur, dan
dangkal, otot tungkai mulai lumpuh
sementara, meningkatnya denyut
jantung dan tekanan darah.
sedangakan pada wanita terjadi
sekresi vagina.
-
Mimpi yang terjadi pada tahap
REM penuh warna dan tampak
hidup, terkadang merasa sulit untuk
bergerak.
-
Durasi dari tidur REM meningkat
pada tiap siklus dan rata-rata 20
menit.
2.3.4.2 Siklus Tidur
Pada orang dewasa terjadi 4-5 siklus setiap waktu tidur. Setiap siklus tidur
berakhir selama 80-120 menit. Tahap NREM 1-3 berlangsung selama 30 menit kemudian
diteruskan ke tahap 4 kembali ke tahap 3 dan 2 selama ± 20 menit. Tahap REM muncul
sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit, melengkapi siklus tidur yang pertama
Tahap Pratidur
NREM tahap 1 NREM tahap 2 NREM tahap 3 NREM tahap 4
Tidur REM
[image:49.595.115.518.146.290.2]NREM tahap 2 NREM tahap 3
Gambar 2.4 Siklus Tidur Orang Dewasa
2.3.5 Fungsi Tidur
Fungsi tidur adalah sebagai penyimpan energi dan pemulihan (Harkreader,
Hogan, & Thobaben, 2007). Energi tinggi yang digunakan selama beraktivitas di siang
hari diseimbangkan dengan penurunan energi di malam hari. Otot skelet berelaksasi
secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses
seluler. Laju metabolisme menurun 5-25% selama tidur, hal ini menunjukkan bahwa
tubuh berusaha untuk menyimpan energi.NINDS (2005) berpendapat bahwa aktivitas
pada bagian otak yang mengatur emosi, proses membuat keputusan, dan interaksi sosial
menurun secara drastis selama tidur dalam, sehingga dapat membantu seseorang untuk
mempertahankan emosional dan fungsi sosial secara optimal ketika terbangun
(Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seseorang yang tidak cukup mendapatkan
waktu tidur cenderung lekas marah, konsentrasi kurang, dan sulit untuk membuat
keputusan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,2004).
Selama tidur dalam (NREM tahap 4), tubuh melepaskan hormon pertumbuhan
khususnya pada anak-anak. Tidur juga memiliki peran untuk memulihkan penyakit,
mengontrol nyeri, mengurangi kelelahan, meningkatkan sirkulasi darah ke otak,
meningkatkan sintesis protein, menyeimbangkan mekanisme melawan penyakit pada
sistem imun, membantu tubuh melakukan detoksifikasi alami untuk membuang racun
dalam tubuh, meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel, meningkatkan penyembuhan
dan menurunkan ketegangan (Potter & Perry, 2005).
2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur
1.
Penyakit
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik dapat
menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan masalah pernafasan dapat mengganggu
tidurnya, napas yang pendek membuat orang lain sulit tidur dan orang yang memiliki
kongesti di hidung dan adanya drainase sinus mungkin mengalami gangguan untuk
bernapas dan sulit untuk tertidur (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Dalam keadaan
seperti ini, dibutuhkan dua atau tiga bantal untuk meninggikan kepalanya. Penderita DM
sering mengalami nokturia atau berkemih di malam hari, yang membuat mereka harus
terbangun di tengah malam untuk pergi ke toilet, hal ini dapat mengganggu tidur dan
siklus tidur. Seseorang yang memiliki penyakit maag, tidurnya akn terganggu karena
nyeri yang dirasakan (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Rasa nyeri dan
ketidaknyamanan akibat angina atau dipsnea terjadi di malam hari dan dapat mengganggu
tidur (Craven & Hirnle, 2000). Gozmen, Keskin, & Akil (2008) berpendapat bahwa anak
2.
Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang berada dapat mempengaruhi tidurnya.
Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang lebih
nyaman tidur sendiri atau bersama orang lain. teman tidur dapat mengganggu tidur jika ia
mendengkur. Suara juga mempengaruhi tidur, butuh ketenangan untuk tidur, terhindar
dari kebisingan (Potter & Perry, 2005).
Harkreader, Hogan, dan Thobaben (2007) mengungkapkan bahwa rumah sakit
adalah tempat yang kurang familiar bagi kebanyakan pasien. Suara bising, cahaya lampu,
tempat tidur dan suhu yang kurang nyaman, posisi restain yang tidak nyaman, kurangnya
privasi dan kontrol, kecemasan dan kekhawatiran, perpisahan dengan orang yang dicintai
serta deprivasi tidur dapat menimbulkan masalah tidur pada pasien yang dirawat di rumah
sakit. Tingkat cahaya dapat mempengarauhi seseorang untuk tidur. Ada orang yang bisa
tidur dengan cahaya lampu tapi ada juga seseorang yang hanya bisa tidur jika lampu
dimatikan atau dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan dan
kurangnya ventilasi dapat mempengaruhi tidur (Kozier, Erb, Berman, & Snuder, 2004).
Rohman, et al (2002) meneliti tentang gambaran pola tidur pada klien rawat inap
pertama kali di Rumah Sakit Islam Jakarta Pusat, ditemukan bahwa dari 64 responden
yang mengalami gangguan pola tidur didapatkan faktor-faktor pengganggu pola tidur
responden secara berturut-turut antara lain suara/ kebisingan (78,1%), suhu kamar tidur
(67,2%), pasien lain (60,9%), pencahayaan (42,2%), tempat tidur (12,5%), familieritas
3. Latihan Fisik dan Kelelahan
Seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur di malam
harinya. Meningkatnya latihan fisik akan meningkatkan tidur REM dan NREM
(Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seeorang yang kelelahan menengah (moderate)
biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan akibat kerja
yang meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur (Potter & Perry, 2005). Seseorang
yang kelelahan memiliki waktu tidur REM yang pendek (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2004). Tidur siang dapat mengganggu waktu tidur malam dan harus dihindari jika
seseorang mengalami insomnia.
4. Kerja Shift
Individu yang bekerja bergantian atau shift mempunyai kesulitan menyesuaikan
perubahan jadwal tidur. Gangguan tidur adalah masalah utama yang berkaitan dengan
kerja shift, selain itu juga dapat menyebabkan kelelahan, konflik personal, dan gangguan
gastrointestinal. Kesulitan mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan
penurunan kinerja dan dapat membahayakan seseorang tersebut saat bekerja. Wijaya,
Maurits, dan Suparniati (2006) meneliti tentang hubungan antara shift kerja dengan
gangguan tidur dan kelelahan kerja perawat. Instalasi Rawat darurat di Rumah Sakit Dr.
Sardjito Yogjakarta, dari 51 orang perawat didapati perawat yang mendapat shift pagi tingkat gangguan tidurnya adalah sedang yaitu sebanyak 9 orang perawat (69,2%), shift
5. Stres Emosional
Kecemasan dan depresi yang terjadi secara terus menerus dapat mengganggu
tidur. Cemas dapat meningkatkan kadar darah norepinefrin melalui stimulasi sistem
syaraf simpatik (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Perubahan zat kimia ini
menghasilkan waktu tidur NREM tahap 4 yang lebih sedikit dan banyak tahap yang
berubah serta dapat membuat orang terbangun. Debonis (2011) meneliti tentang pengaruh
stres, cemas, dan alkohol pada gangguan tidur, didapati hasil dari 80 responden, 19%
kecemasan yang menjadi penyebab utama gangguan tidur, 8,1% disebabkan oleh stres
yang dialami dan 3,7% disebabkan oleh konsumsi alkohol.
6. Gaya Hidup dan Kebiasaan
Kebiasaan sebelum tidur dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seseorang akan
mudah tertidur jika kebiasaan sebelum tidurnya terpenuhi. Kebiasaan sebelum tidur yang
sering dilakukan, seperti berdoa sebelum tidur, menyikat gigi, minum susu, dan lain-lain.
Pola gaya hidup dapat mempengaruhi jadwal tidur-bangun seseorang seperti pekerjaan
dan aktivitas lainnya. Waktu tidur dan bangun yang teratur merupakan hal yang sangat
efektif untuk meningkatkan kualitas tidur dan mensinkronisasikan irama sirkadian
(Craven & Hirnle, 2000)
7. Obat-obatan dan Zat-zat Kimia
Terdapat beberapa obat resep atau obat bebas yang menuliskan bahwa mengantuk
sebagai salah satu efek samping, insomnia dan juga menyebabkan kelelahan (Potter &
Perry, 2005). Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu tidur NREM tahap 3 dan 4
buruk. Narkotik seperti morfin, dapat menekan tidur REM dan dapat meningkatkan
frekuensi bangun dari tidur dan mengantuk (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004)
Orang yang minum alkohol dalam jumlah banyak sering mengalami gangguan
tidur. Alkohol yang berlebihan dapat mengganggu tidur rEM dan orang yang
mengkonsumsi alkohol sering mengalami mimpi buruk (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2004). Nikotin dalam jumlah banyak dapat menyebabkan agitasi. Kerusakan permanen
pada paru akibat menghisap rokok dapat menyebabkan hipoksia, hipoksia berkaitan
dengan meningkatnya kelelahan dan kebutuhan istirahat diselang aktivitas (Harkreader,
Hogan, & Thobaben, 2007). Lajambe, et al., (2005) menjelaskan bahwa konsumsi kafein
dalam dosis tinggi dapat melemahkan pertahanan tidur (pengurangan waktu tidur total
atau meningkatnya waktu terjaga) dan dapat mengurangi kedalaman tidur.
8. Diet dan Kalori
Makan makanan berat, berbumbu dan makan berat pada malam hari dapat
menyebabkan makanan tidak dapat dicerna yang akan mengganggu tidur (Potter & Perry,
2005). Kehilangan berat badan berkaitan dengan penurunan waktu tidur total,
terganggunya tidur dan bangun lebih awal. Sedangkan kelebihan berat badan akan
BAB III
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan suatu diagram sederhana yang menunjukkan
variabel dan hubungan antar variabel (Dahlan, 2008)
[image:55.595.116.510.310.432.2]
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian Intensitas nyeri luka Sectio
Caesarea
-ringan
-sedang
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel
Definisi
Operasional
Alat ukur
Hasil Ukur
Skala
1
Intensitas
nyeri
gambaran tentang
seberapa parah
nyeri yang
dirasakan oleh
individu
Alat
pengukur
nyeri,
Numeric
Rating Scale
(NRS)
1. Nyeri
ringan : jika
dalam rentang
0-<4
2. Nyeri
sedang:
jika
dalam
rentang
4-<7
3. Nyeri berat:
jika dalam
rentang 7-10
Ordinal
2
Kualitas
tidur
Kemampuan
individu untuk
tetap tertidur dan
untuk
mendapatkan
Kuisoner
Kualitas
Tidur
(KKT)
Dinilai sesuai
aspek
parameter tidur
menggunakan
deskriptif
jumlah tidur
REM dan NREM
yang tepat
statistik
dengan
nilai
terendah 7 dan
nilai tertinggi
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin di RSUP Haji Adam Malik Medan. Variabel dalam
penelitian ini ada dua yaitu intensitas nyeri luka Sectio Caesarea, dan kualitas tidur pada pasien pasca salin dengan Sectio Caesarea.
4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo,
2010). Populasi yang diambil dari penelitian ini adalah semua ibu yang telah menjani
Sectio Caesarea di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan data yang didapatkan,jumlah pasien Sectio Caesarea sepanjang tahun 2014 adalah 198 maka populasi perbulan sebanyak 16 orang
4.2.2 Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dia