• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intensitas Nyeri Luka Sectio Caesarea dan Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari ke-2 di RSUP H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Intensitas Nyeri Luka Sectio Caesarea dan Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari ke-2 di RSUP H.Adam Malik Medan"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

Intensitas Nyeri Luka

Sectio Caesarea

dan Kualitas Tidur Pasien

Pasca Salin Hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

SKRIPSI

Oleh

Melisa Naratilova Nainggolan

111101116

(2)
(3)
(4)
(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karunia-Nya serta menganugerahkan kesehatan dan kesempatan

bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Intensitas nyeri luka

Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin hari

ke-

2 di RSUP H.Adam Malik Medan ”. Skripsi ini merupakan persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program S1 Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan,

bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1.

Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku dekan fakultas keperawatan

Universitas Sumatera Utara

2.

Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku pembantu dekan I Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

3.

Ibu Evi Karota Bukit SKp, MNS sebagai pembantu dekan II Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan sebagai penguji I yang telah

memberikan banyak arahan dan masukan pada penulisan skripsi saya ini.

4.

Bapak Ikhsanuddin Harahap, SKp, MNS, SpMB selaku pembantu dekan III

5.

Ibu Nur Asiah, S.Kep, Ns, M.Biomed selaku dosen PA dan sebagai penguji II

(6)

6.

Ibu Nurbaiti, S.Kep, Ns, M.Biomed sebagai dosen pembimbing yang telah

memberikan waktu, arahan, masukan, dan saran dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini

7.

Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang

telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan

proposal

8.

Penghargaaan dan terimakasih yang mendalam kepada ayah saya, Switerman

Nainggolan, S.Pd dan ibu saya, Rosita Pohan yang telah memberikan

dukungan doa, materi, dan moril yang tiada henti selama penulis menjalani

pendidikan

9.

Saudara-saudara saya (Kristiani Nainggolan, S.Pd, drh.Willy Moris

Nainggolan, Hillary Nainggolan, Medlin Nainggolan) yang telah memberikan

dukungan doa dan moril kepada penulis

10.

Sahabat-sahabat saya (Dini, Ayu, Tri suci, Lenny) dan yang terkasih Rencana

Sianturi yang selalu mendukung dan membantu penulis selama 4 tahun

terakhir

11.

Teman-teman saya dari pelayan pemuda Gereja Kemenangan Iman Indonesia

(Fransiska, Valentino, Dewi, Rugery, Dodi, Chandra, Albert, Ampuni, Vira,

Yasa, Dani, Talenta, Marnatal, Ramendra, Swardi) yang selalu memberikan

doa dan dukungan kepada penulis

12.

Teman satu bimbingan (Nabila, Agus setiana, dan Rafika) yang senantiasa

(7)

13.

Teman-teman S1 Keperawatan Reguler Stambuk 2011 yang tidak bisa

disebutkan satu per satu terimakasih atas dukungannya

14.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terimakasih kepada direktur utama,

kepala ruangan, serta seluruh perawat di ruangan RINDU B Obgyn, dan

seluruh staf RSUP H Adam Malik Medan yang telah memberi ijin dan

kesempatan untuk melakukan penelitian

15.

Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini

Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati segala kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membantu proses

pengembanggan ilmu.

Medan, Juli 2015

Penulis

( Melisa Naratilova Nainggolan)

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN

...

1

1.1. Latar Belakang ...

1

1.2. Rumusan Masalah ...

4

1.3. Pertanyaan Penelitian ...

4

1.4. Tujuan Penelitian ...

4

1.4.1. Tujuan Umum ...

4

1.4.2. Tujuan Khusus ...

4

1.5. Manfaat Penelitian ...

5

(9)

1.5.2. Pelayanan Keperawatan ...

5

1.5.3. Penelitian Keperawatan ...

5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

...

6

2.1. Sectio Caesarea (SC) ...

6

2.1.1. Pengertian Sectio Caesarea ...

6

2.1.2. Perawatan Pasca Bedah Caesar ...

6

2.2. Nyeri ...

11

2.2.1. Pengertian Nyeri ...

11

2.2.2. Fisiologis Nyeri ...

12

2.2.3. Proses Transmisi Nyeri ...

13

2.2.3.1. Proses Transduksi ...

14

2.2.3.2. Proses Transmisi ...

15

2.2.3.3. Proses Modulasi ...

15

2.2.3.4. Persepsi ...

16

2.2.4. Teori Pengontrolan Nyeri ...

16

(10)

2.2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ...

19

2.2.7. Proses Keperawatan Nyeri ...

22

2.3. Konsep Tidur ...

26

2.3.1. Definisi Tidur ...

26

2.3.2. Fisiologi Tidur ...

26

2.3.3. Pola Tidur ...

29

2.3.4. Tahapan dan Siklus Tidur ...

30

2.3.4.1. Tahapan Tidur ...

30

2.3.4.2. Siklus Tidur ...

33

2.3.5. Fungsi Tidur ...

34

2.3.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur ...

35

BAB III : KERANGKA PENELITIAN ...

41

3.1. Kerangka Konsep ...

41

3.2. Definisi Operasional ...

41

BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN ...

43

(11)

4.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ...

43

4.2.1. Populasi ...

43

4.2.2. Sampel ...

43

4.2.3. Teknik Sampling ...

44

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ...

45

4.3.1. Lokasi Penelitian ...

45

4.3.2. Waktu Penelitian ...

45

4.4. Pertimbangan Etik ...

45

4.5. Instrumen Penelitian ...

46

4.6. Validitas dan Reabilitas ...

47

4.7. Rencana Pengumpulan Data ...

48

4.8. Analisis Data ...

49

BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN ...

51

5.1. Hasil Penelitian ...

51

5.1.1. Deskripsi Karakteristik Responden ...

51

(12)

Ke-2 di RSUP H Adam Malik Medan ...

52

5.1.3. Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari Ke-2 di RSUP H

Adam Malik ...

53

5.2. Pembahasan ...

55

5.2.1. Intensitas Nyeri Luka Sectio Caesarea ...

55

5.2.2. Kualitas Tidur Pasien Pasca Salin Hari Ke-2 di RSUP H

Adam Malik ...

56

5.3. Keterbatasan Penelitian ...

59

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ...

60

6.1. Kesimpulan ...

60

6.2. Saran ...

61

6.2.1. Bagi Penelitian Keperawatan ...

61

6.2.2. Bagi Pendidikan Keperawatan ...

61

6.2.3. Bagi Praktek Keperawatan ...

61

(13)
(14)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 2.1. Tahapan Siklus Tidur ...

30

2. Tabel 3.1. Definisi Operasional ...

41

3. Tabel 5.1. Frekuensi Dan Persentase Data Demografi Pasien Sectio

Caesarea Hari Ke-2 di RSUP H. Adam Malik Medan (N=10) ...

51

4. Tabel 5.2. Frekuensi dan persentase intensitas nyeri luka Sectio Caesarea

pasien pasca salin hari ke 2 di RSUP H Adam Malik Medan (N=10) ...

52

5. Tabel 5.3. Frekuensi dan persentase parameter tidur pasien pasca salin

(15)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1. Verbal Descriptor Scale (VDS) ...

23

2. Gambar 2.2. Numerical Rating Scales (NRS) ...

24

3. Gambar 2.3. Visual Analog Scale (VAS) ...

24

4. Gambar 2.4. Siklus Tidur Orang Dewasa ...

34

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Lampiran 1 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian ... 67

2.

Lampiran 2 : Lembar Penjelasan Penelitian ... 69

3.

Lampiran 3 : Kuesioner Penelitian ... 71

4.

Lampiran 4 : Kualitas Tidur ... 72

5.

Lampiran 5 : Taksasi Dana ... 74

6.

Lampiran 6 : Riwayat Hidup ... 76

(17)
(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn, 2010). Tindakan Sectio Caesarea merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ada beberapa

indikasi untuk dilakukan tindakan Sectio Caesarea adalah gawat janin, disproporsi sepalovelvik, persalinan tidak maju, plasenta previa, prolapsus tali pusat, mal presentase

janin/ letak lintang (Norwitz E & Schorge J, 2007), Panggul sempit dan preeklamsia

(Jitawiyono S & Kristiyanasari W, 2010)

Menurut World Health Organization (WHO), standar rata-rata Sectio Caesarea di sebuah negara adalah 5-15% per 1000 kelahiran di dunia, rumah sakit pemerintah

rata-rata 11%, sementara rumah sakit swasta bisa lebih dari 30% (Gibbons,2010). Permintaan

Sectio Caesarea di sejumlah negara berkembang melonjak pesat setiap tahunnya (Judhita, 2009). Di negara-negara maju, angka Sectio Caesarea meningkat dari 5 % pada 25 tahun yang lalu menjadi 15 % hingga sekarang. Di Indonesia, secara umum jumlah persalinan

Sectio Caesarea adalah sekitar 30-80% dari total persalinan (Depkes RI, 2013). Hasil data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010, angka ibu melahirkan dengan

Sectio Caesarea periode lima tahun terakhir di Indonesia sebesar 15,3% dengan rentang tertinggi 27,2% di DKI Jakarta dan terendah 5,5 % di Sulawesi Tenggara. Di Rumah

Sakit Umum Bunda Thamrin Medan didapatkan persalinan Sectio Caesarea pada tahun 2012 sebesar 78,97% dari total persalinan. Dan pada tahun 2013 pada bulan Januari -

(19)

Suatu pembedahan setelah operasi atau post operasi akan menimbulkan respon

nyeri. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Brunner & Suddarth, 2002). Nyeri

yang timbul terkait erat dengan kerusakan yang terjadi pada jaringan akibat reaksi

inflamasi yang berasal dari proses traumatis (RA, 2003). Nyeri biasanya terjadi 12 sampai

36 hari pasca pembedahan dan menurun pada hari ketiga (Kozier et.al, 2004).

Nyeri merupakan salah satu elemen pada post operasi yang bisa meningkatkan

level hormon stres seperti adrenokotripokotropin, kortisol, katekolamin, dan interleukin,

dan secara simultanmenurunkan pelepasan insulin dan fibrinolisis yang akan

memperlambat proses penyembuhan luka (Chelly, Ben David, Williams & Kentor, 2003).

Nyeri berpengaruh terhadap pola tidur, pola makan, energi, aktifitas keseharian

(Muttaqin, 2008). Sedangkan menurut Granot, 2003, nyeri yang muncul akibat Sectio Caesarea mengakibatkan pemulihan yang sulit, penundaan kontak ibu dan bayi yang baru lahir, hambatan bagi posisi menyusui yang baik, perawatan diri, perawatan bayi baru lahir

dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti duduk, berdiri, berjalan, dan kegiatan

kebersihan diri (Granot, 2003)

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan memiliki pengaruh

terhadap kualitas hidup, fisik, serta kesehatan mental (Lashkaripour et.al, 2012). Tidur

berfungsi sebagai penyimpan energi dan pemulihan (Hardkreader, Hogan, & Thobaben,

2007).

Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik dapat

menyebabkan masalah tidur (Agustin, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nuraini, dkk (2001) menyatakan penyebab gangguan tidur pada pasien dewasa awal

(20)

sedangkan penyebab terbesar gangguan tidur pada dewasa menengah pasca bedah juga

sama , yaitu berasal dari nyeri 32,8%. Gangguan tidur pada pasien pasca operasi dapat

menyebabkan trauma pada tubuh dengan mengganggu mekanisme protektif dan

homeostatis (Potter and Perry, 2009). Sementara itu, pasien pascaoperasi sering

mengalami gangguan tidur yang dapat mengganggu proses penyembuhannya (Kozier,

2010).

Tartowo & wartonah (2004) mengatakan, seseorang yang mengalami sakit

memerlukan waktu tidur lebih banyak dari normal. Tidur adalah penyembuh yang baik.

Pada saat tidur terjadi pertumbuhan sel-sel tubuh. Misalnya pada pasien pasca operasi,

masalah sulit tidur merupakan masalah yang sering terjadi. Fungsi dari tidur adalah untuk

sintesis pemulihan dan perilaku, waktu perbaikan tubuh dan otak (Kozier et.al, 2004).

Bagi pasien pasca salin dengan Sectio Caesarea masalah kebutuhan tidur sangat penting karena tidak hanya untuk pemulihan kondisi tubuh pasien tetapi untuk memaksimalkan

perawatan pasien dan dalam melakukan perawatan bayi di rumah sakit (Fitri, 2012).

1.2

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “adakah hubungan antara intensitas

nyeri luka Sectio Caesarea dengan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan?”

1.3

Pertanyaan Penelitian

1.

Berapakan intensitas nyeri luka

Sectio Caesarea pada pasien pasca salin hari

ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan?

2.

Bagaimanakah kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2 dengan luka

Sectio

(21)

1.4

Tujuan Penelitian

1.4.1

Tujuan Umum

Mengidentifikasi intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

1.4.2

Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1.

Mengidentifikasi gambaran intensitas nyeri luka

Sectio Caesarea pada

pasien pasca salin hari ke-2 di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.

Mengidentifikasi gambaran kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2

(22)

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Pendidikan Keperawatan

Memberikan informasi khususnya bagi dunia keperawatan untuk mengetahui

adakah hubungan antara nyeri luka Sectio Caesarea dengan kualitas tidur pada pasien pasca salin hari ke-2

1.5.2 Pelayanan Keperawatan

Memberikan informasi bagi seluruh sumber daya manusia kesehatan khususnya

perawat tentang intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin hari ke-2

1.5.3 Penelitian Keperawatan

Sebagai referensi di perpustakaan yang dapat digunakan oleh peneliti lain

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio Caesarea (SC)

2.1.1 Pengertian Sectio Caesarea

Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan

syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sementara menurut

(Bobak et al, 2004), Sectio Caesarea merupakan kelahiran bayi melalui insisi trans abdominal. Menurut (Mochtar, 1998), Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau

vagina atau Sectio Caesarea adalah suatu histerotomia untuk melahirkan janin dalam rahim. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sectio Caesarea merupakan suatu pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding

uterus.

2.1.2 Perawatan Pasca Bedah Caesar

Menurut Mochtar (1998) perawatan pasca bedah meliputi :

a.

Perawatan luka insisi

Luka insisi dibersihkan dengan alkohol dan larutan betadin dan sebagainya, lalu

ditutup dengan kain penutup luka. Secara periodik pembalut luka diganti dan luka

(24)

b.

Tempat perawatan pasca bedah

Setelah tindakan di kamar operasi selesai, pasien dipindahkan ke dalam kamar

rawat khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin kamar udara selama beberapa hari.

Bila pasca bedah kondisi gawat segera pindahkan ke unit darurat untuk perawatan

bersama-sama dengan unit anastesi, karena di sini peralatan untuk menyelamatkan pasien

lebih lengkap. Setelah puslih barulah di pindahkan ke tempat pasien semula dirawat.

c.

Pemberian cairan

Karena selama 24 jam pertama pasien puasa pasca operasi, maka pemberian

cairan perinfus harus cukup banyak dan mengandung elektrolit yang diperlukan, agar

tidak terjadi dehidrasi.

d.

Nyeri

Nyeri pasca operasi merupakan efek samping yang harus diderita oleh mereka

yang pernah menjalani operasi, termasuk bedah Caesar. Nyeri tersebut dapat disebabkan oleh perlekatan-perlekatan antar jaringan akibat operasi. Nyeri tersebut hampir tidak

mungkin di hilangkan 100%, ibu akan mengalami nyeri atau gangguan terutama bila

aktivitas berlebih atau melakukan gerakan-gerakan kasar yang tiba-tiba. Sejak pasien

sadar dalam 24 jam pertama rasa nyeri masih dirasakan didaerah operasi.

Rasa nyeri biasanya diberikan analgetik. Ada tiga jenis analgesik yakni (1) Non

narkotik dan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID), (2) Analgesik narkotik atau Opiat dan (3) Obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik yang diberikan dengan tujuan untuk meredakan nyeri dan memperbaiki kualitas hidup pasien. (Smeltzer & Bare, 2001). Obat

analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS

bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim

(25)

opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla

spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf

spinal tidak terjadi. Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang

mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan

menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan

kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin. meningkatkan kepekaan

ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang

disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen

yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli

yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.

Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi

suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau

organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).

Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan

sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri

seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal

sebagai sensitisasi perifer.

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi

melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls

tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus

(26)

terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta

berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga

serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter

besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di

cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla

spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla

spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen

(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan

impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu

dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen

tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi

dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal

sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai

diskriminasi dari sensorik.

Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis

prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang

menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek

yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung,

penurunan perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan

duaisoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutiveyang diekspresikan sebagai COX-1 dan

(27)

parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi

platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat

inducibledan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan

menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien

di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam

sensitisasi sentral. Ketorolac tromethamine merupakan obat Anti Inflamasi Non steroid (AINS) yang menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dipertimbangkan aksi

analgesik perifernya. Aksitivitas biologi dari ketorolac trombethamine tidak memiliki

efek sedatif atau anxiolytic. Waktu mula kerja efek analgesik ketorolac rute pemberian IV

dan IM adalah sama kira-kira 30 menit, dengan munculnya efek analgesik dalam waktu 1

atau 2 jam. Nilai tengah durasi analgesik umumnya 4 sampai 6 jam.

e.

Mobilisasi

Mobilisasi segera tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalanya

penyembuhan pasien. Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya thrombosis dan

emboli. Miring ke kanan dan kiri sudah dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah pasiensadar.

Latihan pernafasan dapat dilakukan pasien sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah

sadar. Pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 5 menit dan dan diminta untuk

bernafas dalam-dalam lalu menghembuskanya disertai batuk-batuk kecil yang gunanya

untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan pada diri

pasien bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur terlentang dirubah menjadi setengah

duduk (semi fowler). Selanjutnya secara berturut-turut, hari demi hari pasien dianjurkan

belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5

(28)

2.2 Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Menurut Asosiasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (IASP) dalam Potter

(2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau

potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi kerusakan.

Menurut Mc Caffery dalam Potter (2006), nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan

seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia

merasa nyeri. Menurut Carpenito, L J (2005), nyeri adalah keadaan dimana individu

mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang

tidak menyenangkan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), nyeri adalah pengalaman

emosional dan sensori yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang

actual atau potensial. Dari beberapa pengertian di atas maka dapat didefinisikan nyeri

secara umum sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan baik ringan maupun berat.

2.2.2 Fisiologis Nyeri

Menurut Barbara C Long (1996), menjelaskan tentang fisiologis nyeri sebagai

berikut. Reseptor nyeri disebut noiceptor merupakan ujung-ujung syaraf yang bebas,

tidak bermyelin atau sedikit bermyelin dari neuron aferen. Nociceptor-nociceptor tersebar

luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pada struktur-struktur yang lebih dalam seperti

pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Noiceptor member

respon yang terpilih terhadap stimuli yang membahayakan seperti stimuli kimiawi,

thermal, listrik atau mekanis. Yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri adalah

histamine, bradikinin, prostaglandin, bermacam macam asam, sebagian bahan tersebut

(29)

yang dilepas oleh jaringan anoksia yang rusak. Spasmus otot menimbulkan nyeri kerena

menekan pembuluh darah yang menjadi anoksia. Spasme otot dapat juga berkibat

anoksia. Pembengkakan jaringan menjadi nyeri akibat tekanan (stimuli mekanis) kepada

nociceptor yang menghubungkan jaringan. Nyeri tidak menimbulkan adaptasi adaptasi

yang berulang ulang pada beberapa kejadian bisa menjadi lebih sensitive untuk beberapa

lama. Pada keadaan patologis sensitifitas nyeri meningkat. Contoh, luka yang terbakar

karena matahari menjadi sangat peka terhadap nyeri walaupun hanya sedikit sentuhan

(stimulus mekanis).

2.2.3 Proses Transmisi Nyeri

Impuls-impuls nyeri disalurkan kesum-sum tulang belakang oleh dua jenis

serabut-serabut yang bermyelin rapat serabut A-delta (cepat), serabut-serabut lamban

serabut C. Nyeri dapat diterangkan sebagai nyeri tajam atau menusuk dan yang mudah

diketahui lokasinya akibat dari impuls-impuls yang disalurkan oleh serabut-serabut delta-A. Contoh dari nyeri tersebut ialah seperti tusukan oleh jarum, rasa nyeri “panas” ,

“tumpul” atau “gatal” dan yang lebih difus berasal dari impuls-impuls yang

ditransmisikan oleh serabut C. Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A

mempunyai sifat inhibitori yang ditransmisikan ke serabut-serabut C. serabut-serabut syaraf aferen masuk ke spinal lewat “dorsal noot” dan sinaps pada “dorsal horn”. Dorsal

horn terdiri dari beberapa lapisan yang saling bertautan. Lamina II dan III membentuk

daerah yang disebut subtantia gelatinosa. Subtantia P dilepas pada sinaps dari SG dan

diduga merupakan penyalur syaraf/neuro transmitter utama dari impuls-impuls nyeri.

Impuls-impuls nyeri menyebrangi sum-sum belakang pada

interneuron-interneuron dan bersambung dengan jalur spinalis asendens. Paling sedikit terdapat enam

(30)

belakang yang paling utama adalah spinothalamus tract (STT) / jalur spinotalamus dan

spinoreticular track (SKRT) / jalur spinoretikkuler. STT merupakan system yang

diskriminatif dan membawa informasi mengenai sifat dan stimulus kepada thalamus

kemudian ke kortek untuk di interpretasi. Impuls-impuls yang ditransmisi lewat SKT

(yang pergi ke batang otak dan kesebagian thalamus) mengaktifkan respon-respon

autonomi dan limbic (motivational affectice / evektif yang dimotivasi) (Barbara C. Long,

1996).

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang

disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen

yang nyata yaitutransduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli

yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri)

2.2.3.1 Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.

Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi

suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau

organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).

Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan

sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri

seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal

(31)

2.2.3.2 Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi

melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls

tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus

spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis

terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta

berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga

serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter

besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di

cortex cerebridan dirasakan sebagai persepsi nyeri

2.2.3.3 Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla

spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla

spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen

(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan

impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu

dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen

tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang

2.2.3.4 Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi

(32)

sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai

diskriminasi dari sensorik

2.2.4 Teori Pengontrolan Nyeri

Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim

sensasi tedak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui gerbang

penghambat. Substantia Gelatinosa (SG) yaitu area dari sel-sel khusus pada bagianujung dorsal spinal cord mempunyai peran sebagai mekanisme pintu gerbang yang dapat

membuka dan menutup yang dapat mengijinkan atau menolak lewatnya impuls nyeri.

Mekanisme pintu gerbang ini dapat merubah sensasi nyeri yang datang sebelum sampai

ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri. Jika menutup impuls nyeri tidak sampai ke

korteks dan jika terbuka akan sampai ke korteks dan menimbulkan persepsi nyeri (Potter

& Perry, 2006).

2.2.5 Klasifikasi Nyeri

Smeltzer & Bare (2002), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan durasinya, yaitu:

a.

Nyeri akut

Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera

spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.

Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya kurang dari 1 bulan.

Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri berlangsung dari

(33)

b.

Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan

dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik

dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk

diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan

yang diarahkan pada penyembuhannya. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai

nyeri yang berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun dapat berubah antara

akut dan kronik.

Sementara Price & Wilson (2006), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan lokasi

atau sumber, antara lain:

a)

Nyeri somatik superfisial (kulit)

Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan subkutis.

Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsang

mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering

dirasakan sebagai penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila

pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri menjadi berdenyut.

b)

Nyeri somatik dalam

Nyeri somatik dalam mengacu kepadanyeri yang berasal dari otot, tendon,

ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit

reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah

(34)

c)

Nyeri visera

Nyeri visera mengacu kepada nyeriyang berasal dari organ-organ tubuh. Reseptor

nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik dan terletak di

dinding otot polos organ-organ berongga. Mekanisme utama yang menimbulkan nyeri

visera adalah peregangan atau distensi abnormal dinding atau kapsul organ,

iskemiadan peradangan.

d)

Nyeri alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh

tetapi dirasakan terletak didaerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke dermatom

(daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medula spinalis yang sama dengan

viksusyang nyeri tersebut berasal dari masa mudigah, tidak hams di tempatorgan

tersebut berada pada masa dewasa.

e)

Nyeri neuropati

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang merugikan dari sistem

saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP) yang menimbulkan perasaan nyeri.

Dengan demikian, lesi di SST atau SSP dapat menyebabkan gangguan atau hilangnya

sensasi nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki kualitas seperti terbakar, perih atau

seperti tersengat listrik. Pasien dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas

sistem saraf otonom (SSO). Dengan deminkian, nyeri sering bertambah parah oleh

(35)

2.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006) faktor-faktor yang menyebabkan nyeri, antara

lain:

a.

Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada

anak dan lansia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia ini

dapat mempengaruhi bagaimana anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri.

b. Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam respon terhadap

nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam

mengekspresikan nyeri. Toleransi nyeri sejak lama telah menjadi subyek penelitian yang

melibatkan pria dan wanita, akan tetapi toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh

faktor-faktor biokimia dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan

jenis kelamin.

c. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai-nilai budayamempengaruhi cara individu mengatasi nyeri.

Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan

mereka. Menurut Clancy dan Vicar dalam (Perry & Potter, 2006), menyatakan bahwa

sosialisasi budaya menetukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini

dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan sehingga terjadilah

(36)

d. Makna nyeri

Pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini juga

dikaitkan secara dekat dengan latar belakang budaya individu tersebut. Individu akan

mempersepsikan nyeri dengan cara berbeda beda apabila nyeri tersebut memberikan

kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Misalnya seorang wanita yang

melahirkan akan mempersepsikan nyeri, akibat cedera karena pukulan pasangannya.

Derajat dan kualitas nyeri yang dipersiapkan nyeri klien berhubungan dengan makna

nyeri.

e. Perhatian

Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan

upaya pengalihandihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Dengan

memfokuskan perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, maka perawat

menempatkan nyeri pada kesadaran yang perifer. Biasanya hal ini menyebabkan toleransi

nyeri individu meningkat, khususnya terhadap nyeri yang berlangsung hanya selama

waktu pengalihan.

f. Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali

meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan

ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Price (Potter &

Perry, 2006), melaporkan suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim

limbik dapat memproses reaksi emosi seseorang, khususnya ansietas. Sistem limbic dapat

memproses reaksi emosi seseorang terhadap nyeri, yakni memperburuk atau

(37)

g. Keletihan

Keletihan meningkatkan persepsi nyeri, rasa kelelahan menyebabkan sensasi

nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat menjadi

masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila

keletihan disertai kesulitan tidur, maka persepsi nyeri terasa lebih berat dan jika

mengalami suatu proses periode tidur yang baik maka nyeri berkurang.

h. Pengalaman sebelumnya

Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berati bahwa individu akan menerima

nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama

seringmengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh maka rasa takut akan

muncul, dan juga sebaliknya. Akibatnya klien akan lebih siap untuk melakukan

tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri.

i. Gaya koping

Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat merasa

kesepian, gaya koping mempengaruhi mengatasi nyeri.

j. Dukungan keluarga dan sosial

Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri adalah kehadiran

orang-orang terdekat klien dan bagaimana sikap mereka terhadap klien. Walaupun nyeri

dirasakan, kehadiran orang yang bermakna bagi pasien akan meminimalkan kesepian dan

ketakutan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalaman nyeri membuat

klien semakin tertekan, sebaliknya tersedianya seseorang yang memberi dukungan

(38)

2.2.7 Proses Keperawatan Nyeri

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses keperawatan nyeri menurut

Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut :

1)

Intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan

oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subyektif dan individual, dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang

yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran

dengan teknik ini juga tidak memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

Pengukuran subyektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukur

seperti Verbal Descriptor Scale (VDS), Numerical Rating Scales (NRS), Visual Analog Scale (VAS).

a)

Verbal Descriptor Scale (VDS)

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai

“nyeri tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klain skala tersebut dan meminta klien

untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan

seberapa jauh nyeri paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak

menyakitkan. VDS memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendiskripsikan

(39)
[image:39.595.130.504.126.208.2]

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)

b)

Numerical Rating Scales (NRS)

Skala penilaian numerik (Nemerical Rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala

0-10.

Gambar 2.2 Numerical Rating Scales (NRS)

c)

Visual Analog Scale (VAS)

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan

pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh

untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan

nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian

dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter & perry, 2006). Keadaan

[image:39.595.122.494.362.422.2]
(40)

diperoleh pasangan pengukuran VAS1 menit terpisah 30 menit selama 2 jam. Hasil yang

diperoleh dari ringkasan ICC untuk semua pasangan VAS skor adalah 0,97 [95% CI =

0,96-0,98] (Bijur, 2001). Hal tersebut menunjukan bahwa VAS cukup handal digunakan

untuk menilai nyeri.

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

1) Skala Nyeri

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak

mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca

dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat

bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi

perubahan kondisi klien. Perawat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi

lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan

(Potter & perry, 2006).

2)

Karakteristik nyeri

Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri, dan kemungkinan

penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serat irama (terus-menerus, hilang timbul,

periode bertambah atau berkurangnya intenstias nyeri) dan kulitas nyeri (misalnya seperti

(41)

3)

Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Berbagai perilaku sering diidentifikasikan klien sebagai faktor yang mengubah

intensitas nyeri (misal aktivitas, istirahat, pengerahan tenaga, posisi tubuh, penggunaan

obat bebas, dan sebagainya) dan apa yang diyakini klien dapat membantu dirinya.

Perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and error.

4)

Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Misalnya, terhadap pola tidur, kualitas tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dan

aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis yang

berhubungan dengan depresi.

5) Kekhawatiran individu tentang nyeri

Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi, prognosis serta

berpengaruh terhadap peran dan citra diri.

2.3 Konsep Tidur

2.3.1 Definisi Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan kesadaran.

Berkurangnya aktivitas pada otot rangka dan penurunan metabolisme (Harkreader,

Hogan, & Thobaben, 2007). Potter dan Perry (2005) mendefinisikan tidur sebagai waktu

dimana terjadinya penurunan status kesadaran yang terjadi pada peiode waktu tertentu,

terjadi secara berulang dan merupakan proses fisiologi tubuh yang normal. Tidur adalah

kebutuhan dasar manusia, yang merupakan proses biologi universal yang biasa terjadi

pada setiap orang, dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat

kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon

(42)

2.3.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang melibatkan mekanisme

serebral secara bergantian dengan periode yang lebih lama, agar mengaktifkan pusat otak

untuk dapat tidur dan terjaga (Potter & Perry, 2005). Tidur diatur oleh tiga proses, yaitu:

mekanisme homeostasis, irama sirkardian dan irama ultradian (Harkreader, Hogan, &

Thobaben, 2007).

1.

Mekanisme Homeostasis

Sebuah mekanisme homeostasis menyebabkan seseorang terjaga dan yang lain

menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005). Sistem aktivasi reticular (SAR) berlokasi

pada batang otak teratas. SAR terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan

dan terjaga. SAR dapat menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri dan taktil serta

aktivitas korteks serebral seperti rangsangan emosi dan berpikir. Sleep Research Society

(1993) berpendapat bahwa neuron dalam SAR akan mengeluarkan katekolamin seperti

norepinefrin yang akan membuat kita terjaga (Potter & Perry, 2005). Sedangkan tidur

terjadi karena adanya pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe

pada pons dan otak depan bagian tengah di daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR). Ketika orang mencoba tertidur mereka akan menutup mata dan berada dalam keadaan rileks, stimulus ke SAR pun menurun. Jika ruangan gelap dan

terang, maka kativasi SAR selanjutnya akan menurun. BSR mengambil alih yang

kemudian akan menyebabkan tidur. Lanuza dan Farr (2003) mengungkapkan bahwa suhu

tubuh, level kortisol, dan melatonin berubah saat tubuh bersiap untuk tertidur atau pun

terbangun (Berger & Hobbs, 2006). Sebagai contoh, aktivitas pada pagi hari, level

kortisol akan meningkat sekitar jam 4 pagi dan akan melemah sekitar jam 6 pagi. Suhu

tubuh inti akan mulai meningkat setelah level suhu tubuh inti sampai pada jam 2-4 pagi.

(43)

yang dihasilkan saat manusia tertidur. Dijk dan Lockey (2002) memberikan kesimpulan

bahwa meskipun suhu inti dan level kortisol menurun saat permulaan di waktu gelap,

namun level melatonin akan meningkat (Berger & Hobbs, 2006).

2.

Irama Sirkadian

Irama Sirkadian adalah pola bioritme yang berulang selama rentang waktu 24

jam. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon,

kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24

jam (Potter & Perry, 2005). Akerstedt (2003) mengungkapkan bahwa irama sirkadian

diatur oleh hipotalamus dan mengkordinasikan siklus tidur-bangun, sekresi hormon,

pengaturan suhu tubuh, suasana hati dan kemampuan performa (Kunert & Kolkhorst,

2007). Pola tidur-bangun muncul akibat dan dapat menyebabkan adanya pelepasan

hormon tertentu. Melatonin, disintesis di kelenjar pineal saat waktu gelap, saat siang hari

pineal tidak aktif tetapi jika matahari sudah terbit dan hari mulai gelap, pineal mulai

memproduksi melatonin, yang akan dilepaskan kedalam darah. Selain hormon, siklus

tidur-bangun juga dipengaruhi oleh rutinitas sehari-hari, kegiatan sosial, kebisingan,

alarm jam.

3.

Irama Ultradian

Irama ultradian merupakan kejadian berulang pada jam biologis yang kurang dari

24 jam. Silklus ultradian pada tahap tidur terdapat dua tahapan, yaitu tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non rapid eye movement (NREM)

2.3.3 Pola Tidur

Pola tidur yang dimiliki setiap orang seperti halnya jam dimana tubuh individu

(44)

Ketika jam biologis menentukan waktu tidur, ini akan bekerja dengan fungsi tubuh

lainnya untuk membantu menyiapkan individu untuk tertidur di malam hari, dan

berhentinya berbagai fungsi tubuh yang berkaitan dengan waktu terjaga/bangun. Hal ini

juga terjadi kebalikannya ketika individu terbangun.

Setiap orang memiliki siklus bangun tidur yang sudah biasa dilakukan. Ini

menentukan kapan waktu yang tepat untuk seseorang tertidur. Waktu tersebut dapat

didukung oleh cahaya lampu atau matahari di siang hari, kebiasaan waktu makan dan

aktivitas yang dilakukan seperti biasanya dalam waktu tertentu setiap harinya. Seseorang

yang memiliki pola tidur-bangun yang teratur lebih menunjukkan tidur yang berkualitas

dan performa yang lebih baik daripada orang yang memiliki pola tidur-bangun yang

berubah-ubah )Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007).

Pola tidur-bangun yang berubah-ubah dan apabila individu belum beradaptasi

dengan perubahan tersebut maka akan mengakibatkan gangguan pola tidur. Carpenito

(2002) mendefinisikan gangguan pola tidur sebagai kondisi ketika individu mengalami

atau beresiko mengalami perubahan pada kualitas dan kuantitas pola istirahat yang

menimbulkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan. Kualitas

dan kuantitas tidur dipengaruhi beberapa faktor, seperti penyakit, lingkungan, gaya hidup,

sres emosional, dan lain-lain.

1.

Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur dan untuk

mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, Erb, Berman, &

Snyder, 2004). Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang,

merasa segar pada pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas

(45)

2. Kuantitas tidur

Kuantitas tidur adalah keseluruhan waktu tidur yang dimiliki individu (Kozier,

Erb, Berman, Snyder, 2004). Jumlah waktu tidur yang dibutuhkan oleh setiap individu

berbeda-beda sesuai dengan tahap perkembangannya, dari bayi sampai lansia. Seseorang

dengan kuantitas tidur yang tergolong normal (usia dewasa tengah 6-8 jam) belum

menjamin untuk mendapatkan tidur yang berkualitas.

2.3.4 Tahapan dan Siklus Tidur

2.3.4.1 Tahapan Tidur

Tidur yang normal melibatkandua fase: tahapan NREM (non rapid eye

movement) dan tahapan REM (rapid eye movement) (Potter & Perry, 2005).

Tabel 2.1 Tahapan Siklus Tidur

Tahapan Siklus Tidur

Karakteristik

Tahap 1: NREM

-

Tahap transisi diantara mengantuk

dan tertidur.

-

Ditandai

dengan

pengurangan

aktivitas fisiologis yang dimulai

dengan

menutupnya

mata,

pergerakan lambat, otot berelaksasi

serta penurunan secara bertahap

tanda-tanda vital dan metabolisme,

menurunnya denyut nadi.

(46)

tahap ini.

-

Tahap ini berakhir selama 5-10

menit

Tahap 2: NREM

-

Tahap tidur ringan

-

Denyut jantung mulai melambat,

menurunnya

suhu

tubuh,

dan

berhentinya pergerakan mata

-

Masih

relatif

mudah

untuk

terbangun

-

Tahap ini akan berakhir 10 hingga

20 menit

Tahap 3: NREM

-

Tahap awal dari tidur yang dalam

-

Laju pernapasan dan denyut jantung

terus melambat karena sistem saraf

parasimpatik

semakin

mendominasi.

-

Otot skeletal semakin berelaksasi,

terbatasnya

pergerakan

dan

mendengkur mungkin saja terjadi.

-

Pada tahap ini, seseorang yang tidur

sulit dibangunkan, tidak dapat

diganggu oleh stimuli sensori.

(47)

menit.

Tahap 4: NREM

-

Tahap tidur terdalam

-

Tidak ada pergerakan mata dan

aktivitas otot.

-

Tahap ini ditandai dengan

tanda-tanda

vital

menurun

secara

bermakna dibanding selama terjaga,

laju pernafasan dan denyut jantung

menurun sampai 20-30%

-

Seseorang yang terbangun pada saat

tahap ini tidak secara langsung

menyesuaikan diri, sering merasa

pusing

dan

disorientasi

untuk

beberapa menit setelah bangun dari

tidur.

Tahap REM

-

Ditandai dengan pergerakan mata

secara cepat ke berbagai arah,

pernafasan cepat, tidak teratur, dan

dangkal, otot tungkai mulai lumpuh

sementara, meningkatnya denyut

jantung dan tekanan darah.

(48)

sedangakan pada wanita terjadi

sekresi vagina.

-

Mimpi yang terjadi pada tahap

REM penuh warna dan tampak

hidup, terkadang merasa sulit untuk

bergerak.

-

Durasi dari tidur REM meningkat

pada tiap siklus dan rata-rata 20

menit.

2.3.4.2 Siklus Tidur

Pada orang dewasa terjadi 4-5 siklus setiap waktu tidur. Setiap siklus tidur

berakhir selama 80-120 menit. Tahap NREM 1-3 berlangsung selama 30 menit kemudian

diteruskan ke tahap 4 kembali ke tahap 3 dan 2 selama ± 20 menit. Tahap REM muncul

sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit, melengkapi siklus tidur yang pertama

(49)

Tahap Pratidur

NREM tahap 1 NREM tahap 2 NREM tahap 3 NREM tahap 4

Tidur REM

[image:49.595.115.518.146.290.2]

NREM tahap 2 NREM tahap 3

Gambar 2.4 Siklus Tidur Orang Dewasa

2.3.5 Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah sebagai penyimpan energi dan pemulihan (Harkreader,

Hogan, & Thobaben, 2007). Energi tinggi yang digunakan selama beraktivitas di siang

hari diseimbangkan dengan penurunan energi di malam hari. Otot skelet berelaksasi

secara progresif, dan tidak adanya kontraksi otot menyimpan energi kimia untuk proses

seluler. Laju metabolisme menurun 5-25% selama tidur, hal ini menunjukkan bahwa

tubuh berusaha untuk menyimpan energi.NINDS (2005) berpendapat bahwa aktivitas

pada bagian otak yang mengatur emosi, proses membuat keputusan, dan interaksi sosial

menurun secara drastis selama tidur dalam, sehingga dapat membantu seseorang untuk

mempertahankan emosional dan fungsi sosial secara optimal ketika terbangun

(Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seseorang yang tidak cukup mendapatkan

waktu tidur cenderung lekas marah, konsentrasi kurang, dan sulit untuk membuat

keputusan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,2004).

Selama tidur dalam (NREM tahap 4), tubuh melepaskan hormon pertumbuhan

(50)

khususnya pada anak-anak. Tidur juga memiliki peran untuk memulihkan penyakit,

mengontrol nyeri, mengurangi kelelahan, meningkatkan sirkulasi darah ke otak,

meningkatkan sintesis protein, menyeimbangkan mekanisme melawan penyakit pada

sistem imun, membantu tubuh melakukan detoksifikasi alami untuk membuang racun

dalam tubuh, meningkatkan perbaikan dan pertumbuhan sel, meningkatkan penyembuhan

dan menurunkan ketegangan (Potter & Perry, 2005).

2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

1.

Penyakit

Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik dapat

menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan masalah pernafasan dapat mengganggu

tidurnya, napas yang pendek membuat orang lain sulit tidur dan orang yang memiliki

kongesti di hidung dan adanya drainase sinus mungkin mengalami gangguan untuk

bernapas dan sulit untuk tertidur (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Dalam keadaan

seperti ini, dibutuhkan dua atau tiga bantal untuk meninggikan kepalanya. Penderita DM

sering mengalami nokturia atau berkemih di malam hari, yang membuat mereka harus

terbangun di tengah malam untuk pergi ke toilet, hal ini dapat mengganggu tidur dan

siklus tidur. Seseorang yang memiliki penyakit maag, tidurnya akn terganggu karena

nyeri yang dirasakan (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Rasa nyeri dan

ketidaknyamanan akibat angina atau dipsnea terjadi di malam hari dan dapat mengganggu

tidur (Craven & Hirnle, 2000). Gozmen, Keskin, & Akil (2008) berpendapat bahwa anak

(51)

2.

Lingkungan

Lingkungan fisik tempat seseorang berada dapat mempengaruhi tidurnya.

Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Seseorang lebih

nyaman tidur sendiri atau bersama orang lain. teman tidur dapat mengganggu tidur jika ia

mendengkur. Suara juga mempengaruhi tidur, butuh ketenangan untuk tidur, terhindar

dari kebisingan (Potter & Perry, 2005).

Harkreader, Hogan, dan Thobaben (2007) mengungkapkan bahwa rumah sakit

adalah tempat yang kurang familiar bagi kebanyakan pasien. Suara bising, cahaya lampu,

tempat tidur dan suhu yang kurang nyaman, posisi restain yang tidak nyaman, kurangnya

privasi dan kontrol, kecemasan dan kekhawatiran, perpisahan dengan orang yang dicintai

serta deprivasi tidur dapat menimbulkan masalah tidur pada pasien yang dirawat di rumah

sakit. Tingkat cahaya dapat mempengarauhi seseorang untuk tidur. Ada orang yang bisa

tidur dengan cahaya lampu tapi ada juga seseorang yang hanya bisa tidur jika lampu

dimatikan atau dalam keadaan gelap. Ketidaknyamanan dari suhu lingkungan dan

kurangnya ventilasi dapat mempengaruhi tidur (Kozier, Erb, Berman, & Snuder, 2004).

Rohman, et al (2002) meneliti tentang gambaran pola tidur pada klien rawat inap

pertama kali di Rumah Sakit Islam Jakarta Pusat, ditemukan bahwa dari 64 responden

yang mengalami gangguan pola tidur didapatkan faktor-faktor pengganggu pola tidur

responden secara berturut-turut antara lain suara/ kebisingan (78,1%), suhu kamar tidur

(67,2%), pasien lain (60,9%), pencahayaan (42,2%), tempat tidur (12,5%), familieritas

(52)

3. Latihan Fisik dan Kelelahan

Seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur di malam

harinya. Meningkatnya latihan fisik akan meningkatkan tidur REM dan NREM

(Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seeorang yang kelelahan menengah (moderate)

biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan akibat kerja

yang meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur (Potter & Perry, 2005). Seseorang

yang kelelahan memiliki waktu tidur REM yang pendek (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,

2004). Tidur siang dapat mengganggu waktu tidur malam dan harus dihindari jika

seseorang mengalami insomnia.

4. Kerja Shift

Individu yang bekerja bergantian atau shift mempunyai kesulitan menyesuaikan

perubahan jadwal tidur. Gangguan tidur adalah masalah utama yang berkaitan dengan

kerja shift, selain itu juga dapat menyebabkan kelelahan, konflik personal, dan gangguan

gastrointestinal. Kesulitan mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan

penurunan kinerja dan dapat membahayakan seseorang tersebut saat bekerja. Wijaya,

Maurits, dan Suparniati (2006) meneliti tentang hubungan antara shift kerja dengan

gangguan tidur dan kelelahan kerja perawat. Instalasi Rawat darurat di Rumah Sakit Dr.

Sardjito Yogjakarta, dari 51 orang perawat didapati perawat yang mendapat shift pagi tingkat gangguan tidurnya adalah sedang yaitu sebanyak 9 orang perawat (69,2%), shift

(53)

5. Stres Emosional

Kecemasan dan depresi yang terjadi secara terus menerus dapat mengganggu

tidur. Cemas dapat meningkatkan kadar darah norepinefrin melalui stimulasi sistem

syaraf simpatik (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2004). Perubahan zat kimia ini

menghasilkan waktu tidur NREM tahap 4 yang lebih sedikit dan banyak tahap yang

berubah serta dapat membuat orang terbangun. Debonis (2011) meneliti tentang pengaruh

stres, cemas, dan alkohol pada gangguan tidur, didapati hasil dari 80 responden, 19%

kecemasan yang menjadi penyebab utama gangguan tidur, 8,1% disebabkan oleh stres

yang dialami dan 3,7% disebabkan oleh konsumsi alkohol.

6. Gaya Hidup dan Kebiasaan

Kebiasaan sebelum tidur dapat mempengaruhi tidur seseorang. Seseorang akan

mudah tertidur jika kebiasaan sebelum tidurnya terpenuhi. Kebiasaan sebelum tidur yang

sering dilakukan, seperti berdoa sebelum tidur, menyikat gigi, minum susu, dan lain-lain.

Pola gaya hidup dapat mempengaruhi jadwal tidur-bangun seseorang seperti pekerjaan

dan aktivitas lainnya. Waktu tidur dan bangun yang teratur merupakan hal yang sangat

efektif untuk meningkatkan kualitas tidur dan mensinkronisasikan irama sirkadian

(Craven & Hirnle, 2000)

7. Obat-obatan dan Zat-zat Kimia

Terdapat beberapa obat resep atau obat bebas yang menuliskan bahwa mengantuk

sebagai salah satu efek samping, insomnia dan juga menyebabkan kelelahan (Potter &

Perry, 2005). Hypnotics atau obat tidur dapat mengganggu tidur NREM tahap 3 dan 4

(54)

buruk. Narkotik seperti morfin, dapat menekan tidur REM dan dapat meningkatkan

frekuensi bangun dari tidur dan mengantuk (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004)

Orang yang minum alkohol dalam jumlah banyak sering mengalami gangguan

tidur. Alkohol yang berlebihan dapat mengganggu tidur rEM dan orang yang

mengkonsumsi alkohol sering mengalami mimpi buruk (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,

2004). Nikotin dalam jumlah banyak dapat menyebabkan agitasi. Kerusakan permanen

pada paru akibat menghisap rokok dapat menyebabkan hipoksia, hipoksia berkaitan

dengan meningkatnya kelelahan dan kebutuhan istirahat diselang aktivitas (Harkreader,

Hogan, & Thobaben, 2007). Lajambe, et al., (2005) menjelaskan bahwa konsumsi kafein

dalam dosis tinggi dapat melemahkan pertahanan tidur (pengurangan waktu tidur total

atau meningkatnya waktu terjaga) dan dapat mengurangi kedalaman tidur.

8. Diet dan Kalori

Makan makanan berat, berbumbu dan makan berat pada malam hari dapat

menyebabkan makanan tidak dapat dicerna yang akan mengganggu tidur (Potter & Perry,

2005). Kehilangan berat badan berkaitan dengan penurunan waktu tidur total,

terganggunya tidur dan bangun lebih awal. Sedangkan kelebihan berat badan akan

(55)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan suatu diagram sederhana yang menunjukkan

variabel dan hubungan antar variabel (Dahlan, 2008)

[image:55.595.116.510.310.432.2]

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian Intensitas nyeri luka Sectio

Caesarea

-ringan

-sedang

(56)
[image:56.595.106.518.181.742.2]

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel

Definisi

Operasional

Alat ukur

Hasil Ukur

Skala

1

Intensitas

nyeri

gambaran tentang

seberapa parah

nyeri yang

dirasakan oleh

individu

Alat

pengukur

nyeri,

Numeric

Rating Scale

(NRS)

1. Nyeri

ringan : jika

dalam rentang

0-<4

2. Nyeri

sedang:

jika

dalam

rentang

4-<7

3. Nyeri berat:

jika dalam

rentang 7-10

Ordinal

2

Kualitas

tidur

Kemampuan

individu untuk

tetap tertidur dan

untuk

mendapatkan

Kuisoner

Kualitas

Tidur

(KKT)

Dinilai sesuai

aspek

parameter tidur

menggunakan

deskriptif

(57)

jumlah tidur

REM dan NREM

yang tepat

statistik

dengan

nilai

terendah 7 dan

nilai tertinggi

(58)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Rancangan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui intensitas nyeri luka Sectio Caesarea dan kualitas tidur pasien pasca salin di RSUP Haji Adam Malik Medan. Variabel dalam

penelitian ini ada dua yaitu intensitas nyeri luka Sectio Caesarea, dan kualitas tidur pada pasien pasca salin dengan Sectio Caesarea.

4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti (Notoatmodjo,

2010). Populasi yang diambil dari penelitian ini adalah semua ibu yang telah menjani

Sectio Caesarea di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan data yang didapatkan,jumlah pasien Sectio Caesarea sepanjang tahun 2014 adalah 198 maka populasi perbulan sebanyak 16 orang

4.2.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dia

Gambar

Gambar 2.1 Verbal Descriptor Scale (VDS)
Gambar 2.4 Siklus Tidur Orang Dewasa
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
Tabel 3.1 Definisi Operasional
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara koping nyeri dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP H.. Adam Malik Medan dengan desain

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh terapi musik pilihan pasien terhadap nyeri pasca sectio caesarea.. Metode: Penelitian ini merupakan studi

Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intesitas Nyeri Pada Ibu Post Operasi Sectio Caesaria (SC) Di RSUP H.. Adam

menurut golongan darah pada pasien pasca luka di RSUP H..Adam Malik Medan. Universitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran intensitas nyeri pada pasien karsinoma nasofaring (knf) di RSUP H Adam Malik Medan.. Penelitian ini merupakan salah satu

menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: ” Karakteristik Nyeri Pasca Bedah pada Pasien Bedah Ortopedi Tulang Panjang di RSUP Haji Adam Malik Medan ”.. Skripsi ini dibuat

Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan pada Ny ”M” Post Seksio Sesarea Hari Ke II RS Bhayangkara Makassar dengan hasil nyeri luka Sectio Caesarea nyeri belum berkurang

Demikian penjelasan singkat tentang pelaksanaan penelitian ini, jika saudara sudah memahami dan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini, maka saudara dapat