KARAKTERISTIK ANAK AUTIS
DI YAYASAN ANANDA KARSA MANDIRI (YAKARI) MEDAN
Oleh:
DINDA SARTIKA F J 060100188
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARAKTERISTIK ANAK AUTIS
DI YAYASAN ANANDA KARSA MANDIRI (YAKARI) MEDAN
Karya Tulis Ilmiah
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Kelulusan
Sarjana Kedokteran
Oleh:
DINDA SARTIKA F J NIM: 060100188
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan
Nama : Dinda Sartika F. J NIM : 060100188
Pembimbing Penguji
(dr. Zairul Arifin, Sp.A, DAFK) (dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes)
Medan, 1 Desember 2009 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan ketidakmampuan penderita dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan secara emosional dengan orang lain sehingga muncul gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, pola kesukaan dan sikap yang tidak normal. Selain tidak mampu bersosialisasi, anak autis juga tidak dapat mengendalikan emosinya. Ciri penderita autis sangat bervariasi, oleh karena itu penting untuk diketahui gambaran karakteristik autis sebenarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan.
Desain penelitian ini adalah penelitian survey deskriptif. Subjek penelitian berjumlah 29 orang yang didiagnosa dokter sebagai anak penderita autis yang menjalani terapi di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan. Data penelitian didapat dengan melakukan observasi langsung yang didampingi terapis dari yayasan tersebut. Selanjutnya data dianalisa dengan menggunakan program SPSS 17.
Dari penelitian ini diperoleh disribusi karakteristik dengan perincian: gangguan interaksi sosial yang paling banyak muncul yaitu ketidakmampuan anak untuk berempati dan mengekspresikan emosi sebanyak 19 anak (65,5%); gangguan berkomunikasi yang paling banyak muncul yaitu ketidakmampuan anak berbicara sesuai dengan tahap perkembangannya sebanyak 25 anak (86,2%); gangguan tingkah laku yang paling banyak muncul yaitu ketidakmampuan anak menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya sebanyak 13 anak (44,8%).
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan anak mengalami gangguan berkomunikasi.
ABSTRACT
Autism is a form of pervasive development disorder marked with the disability of the patient in communicating and interacting emotionally with another person, which lead to a disability in social interactions, communications, preferences, and abnormal behavior. Besides the social disability, autistic child also has an uncontrolled emotion. Autism has various features, so it is crucial to know the actual characteristic of the child with autism. The objective of this study is to know the characteristics of the child with autism in Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan.
The study used decriptive survey design. The subjects were 29 children diagnosed with autism by the clinical practitioner who were undergoing therapy in Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan. The data will be collected by direct observation with the therapist guidance. The collected datas will firther analyzed using SPSS 17 program.
The study showed distribution of the autism characteristic as described: the dominant disorders in social interaction are inability to show emphaty and express emotion in 19 children (65,5%); the dominant disorder in communication is inability to speak according to their developmental step in 25 children (86,2%); the dominant disorder in behavior is inability to use toys according to their function in 13 children (44,8%).
From the study, we can conclude that most children have communication disorder.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmad dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini,
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Karya tulis ilmiah ini berjudul “Karakteristik Anak Autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak dr. Zairul Arifin, Sp.A, DAFK selaku Dosen Pembimbing yang
telah banyak memberi arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya
tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Bapak dr. Wisman Dalimunthe, Sp.A selaku Dosen Penasehat Akademik
yang telah membimbing penulis dalam mengikuti perkuliahan di Fakultas
Kedokteran USU.
4. Bapak/Ibu dosen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) FK USU yang telah
memberikan panduan, tanggapan dan saran kepada penulis sehingga
proposal penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Fahri Wandika selaku Pelaksana Harian di Yayasan Ananda Karsa
Mandiri (YAKARI) Medan yang telah memberikan izin dan banyak
bantuan kepada penulis dalam melakukan proses pengumpulan data di
lokasi penelitian.
6. Terima kasih yang tiada tara penulis persembahkan kepada Ibunda dan
Ayahanda tercinta, Hj. Rismawati Tanjung dan H. Anwar Jambak yang
mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan pendidikan.
7. Kakak dan abang-abang tersayang, Devi Prita Dina, S.T, Dodi Ichwan,
S.Sos dan Rahmad Saleh, S.STP, M.Si yang selalu memotivasi penulis
dalam menyelesaikan pendidikan.
8. Seluruh sahabat-sahabat penulis atas kebersamaan yang tanpa disadari
telah memberikan dukungan moril kepada penulis.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis
selama ini, penulis ucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan imbalan pahala yang sebasar-besarnya.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat
berguna bagi kita semua.
Medan, November 2009
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan ………. i
Abstrak ... ii
Abctract ... iii
Kata Pengantar ………... iv
Daftar Isi ……….. vi
Daftar Tabel ……… viii
Daftar Lampiran ... ix
BAB 1 PENDAHULUAN ………. 1
1.1. Latar Belakang ………... 1
1.2. Rumusan Masalah ………. 2
1.3. Tujuan Penelitian ………... 2
1.4. Manfaat Penelitian ………. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 4
2.1. Autis ………... 4
2.1.1 Defenisi ……….. 4
2.1.2 Etiologi ……….. 4
2.1.3 Manifestasi Klinik ………. 8
2.1.4 Penentuan Diagnosa ……….. 10
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 12
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ………. 12
3.2. Defenisi Operasional ………. 12
BAB 4 METODE PENELITIAN ……… 15
4.1. Rancangan Penelitian ………. 15
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 15
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ………. 15
4.4. Metode Pengumpulan Data ……….... 15
4.5. Metode Analisis Data ……… 16
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 17
5.1. Hasil Penelitian ... 17
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 17
5.1.2. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis berdasarkan Sosiodemografi ... 17
5.1.2. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis berdasarkan Latar Belakang Orang Tua ... 19
Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi ... 20
5.1.5. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku ... 21
5.1.6. Distribusi Proporsi Umur berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Interaksi Sosial ... 22
5.1.7. Distribusi Proporsi Umur berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi ... 24
5.1.8. Distribusi Proporsi Umur berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku ... 25
5.2. Pembahasan ... 27
5.2.1. Anak Penderita Autis Berdasarkan Sosiodemografi ... 27
5.2.1.1. Umur ... 27
5.2.1.2. Jenis Kelamin ... 28
5.2.1.3. Suku Bangsa ... 28
5.2.1.4. Agama ... 28
5.2.2. Anak Penderita Autis Berdasarkan Latar Belakang Orang Tua... 28
5.2.3. Anak Penderita Autis BerdasarkanAda Tidaknya Gangguan Interaksi Sosial... 29
5.2.4. Anak Penderita Autis BerdasarkanAda Tidaknya Gangguan Berkomunikasi... 30
5.2.5. Anak Penderita Autis BerdasarkanAda Tidaknya Gangguan Tingkah Laku ... 31
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 34
6.1. Kesimpulan ... 34
6.2. Saran ... 35
DAFTAR PUSTAKA ……… 36
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Kriteria Diagnostik DSM IV-TR untuk gangguan austik .……….. 10
5.1. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan
Sosiodemografi ... 18
5.2. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Latar
Belakang Orang Tua ... 19
5.3. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada
Tidaknya Gangguan Interaksi Sosial ... 20
5.4. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada
Tidaknya Gangguan Berkomunikasi ... 21
5.5. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada
Tidaknya Gangguan Tingkah Laku ... 21
5.6. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya
Gangguan Interkasi Sosial ... 23
5.7. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya
Gangguan Berkomunikasi ... 24
5.8. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar riwayat hidup
Kuesioner
Surat Izin Penelitian
Surat Tanda Telah Melakukan Penelitian
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autis merupakan gangguan perkembangan pervasif yang paling sering
terjadi, ditandai dengan ketidakmampuan penderita dalam berkomunikasi
dan menjalin hubungan secara emosional dengan orang lain (Halgin, 1997).
Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang
menyebabkan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan
pola sikap yang tidak normal sebagai karakteristik mereka. Selain tidak
mampu bersosialisasi, anak-anak penyandang autis juga tidak dapat
mengendalikan emosinya (Veskarisyanti, 2008).
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai
belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen
sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9
kasus autis per harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada
60.000 - 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan
prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang
mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan
dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara
10 anak menderita autis. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga
saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang autis namun
diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150 –200 ribu orang.
Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat
(Judarwanto, 2008).
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan
autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan
oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autis
disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan
yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada
usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik
anak-anak penyandang autis (Judarwanto, 2008).
Yang menarik, autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat yakni
mereka yang memiliki orang tua dengan latar belakang sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan yang sangat beragam. Ini membuat para pakar semakin
menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak sehingga penelitian
tentang autis semakin pesat dan berkembang (Judarwanto, 2006).
Pusat terapi untuk menangani gangguan autis di Kota Medan sudah cukup
banyak. Alasan peneliti mengambil Yayasan Ananda Karsa Mandiri adalah
karena perizinan untuk penelitian hanya diberikan oleh pusat terapi ini.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran
karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda Karsa Mandir
(YAKARI) Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. untuk mengetahui distribusi proporsi anak-anak penderita autis
berdasarkan sosiodemografi (umur, jenis kelamin, suku bangsa,
2. untuk mengetahui distribusi proporsi anak-anak penderita autis
berdasarkan latar belakang orang tua (pekerjaan, pendidikan).
3. untuk mengetahui distribusi proporsi anak-anak penderita autis
berdasarkan ada tidaknya gangguan dalam interaksi sosial.
4. untuk mengetahui distribusi proporsi anak-anak penderita autis
berdasarkan ada tidaknya gangguan berkomunikasi.
5. untuk mengetauhi distribusi proporsi anak-anak penderita autis
berdasarkan ada tidaknya gangguan tingkah laku.
6. untuk mengetahui perbedaan proporsi umur berdasarkan ada
tidaknya gangguan dalam interaksi sosial.
7. untuk mengetahui perbedaan proporsi umur berdasarkan ada
tidaknya gangguan berkomunikasi.
8. untuk mengetahui perbedaan proporsi umur berdasarkan ada
tidaknya gangguan tingkah laku.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. sebagai sarana informatif yang menggambarkan berbagai karakteristik
anak-anak penderita autis sehingga meningkatkan wawasan baik peneliti
maupun pembaca tentang anak-anak autis tersebut.
2. sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan dalam memberikan penanganan
bagi anak autis sesuai dengan karakteristiknya dan bahan masukan bagi
Departemen Pendidikan Nasional dalam membuat sistem pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan anak autis.
3. sebagai wadah pengaplikasian ilmu dalam pengembangan penelitian dan
diharapkan dapat menambah perbendaharaan pustaka dalam bidang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Autis
2.1.1. Definisi
Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang
ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya
(Veskarisyanti, 2008). Schreibman (1988) dalam McLaughlin (2002) juga
menjelaskan bahwa autis disebut juga ”the ultimate learning disability”
karena mereka mempunyai kesulitan besar dalam pemahaman bahasa dan
interaksi sosial.
Istilah autis berasal dari kata “auto” yang berarti berdiri sendiri.
Istilah ini diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard
pada tahun 1943 karena melihat anak autis memiliki perilaku aneh, terlihat
acuh dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan-akan hidup
dalam dunia yang berbeda (Davidson, 2006).
2.1.2. Etiologi
Beragam etiologi telah dipaparkan para peneliti. Tapi penyebab
pasti autis belum sepenuhnya jelas. Adapun beberapa teori yaitu:
a. Teori Psikoanalitik
Walaupun teori modern dari autis diduduki oleh faktor biologis yang
diduga mempunyai pengaruh kuat sebagai penyebab kelainan, teori
psikoanalitik lebih dahulu dikenal (Herbert, 2002).
Teori yang paling dikenal adalah teori yang dikemukakan oleh Bruto
Bettelheim (1967), yang sangat banyak menangani anak-anak autis. Asumsi
dasarnya adalah autis sangat mirip dengan apati dan keputusasaan yang
dialami oleh para penghuni kamp-kamp konsentrasi Jerman dalam Perang
berpendapat bahwa balita telah menolak orang tuanya dan merasakan
perasaan negatif mereka. Si bayi melihat bahwa tindakannya hanya
berdampak kecil pada perilaku orang tua yang tidak responsive. Maka, si
anak meyakini bahwa ia tidak memiliki dampak apa pun pada dunia,
kemudian menciptakan “benteng kekosongan” autis untuk melindungi
dirinya dari penderitaan dan kekecewaan (Davidson, 2006).
b. Genetik
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa laki-laki 3-4 kali berisiko lebih
tinggi dari wanita. Sementara risiko autis jika memiliki saudara kandung
yang juga autis sekitar 3 %. Studi lain menunjukkan, saudara kembar dengan
jenis kelamin yang sama tapi merupakan monozigotik, mempunyai risiko
300 kali lebih besar dari pada dizigotik (Yoder, 2004).
Lotspeich (1993) dan Steefenburg (1991) dalam Trottier (1999)
menerangkan, bukti genetik dari laporan beberapa kasus menunjukkan
adanya variasi dari keabnormalitasan kromosom. Piven (1994) menerangkan
lebih lanjut, abnormalitas yang paling sering terjadi yaitu duplikasi pada
kromosom 15 dan kromosom seks. Bagian 15q dari kromosom yang didapat
secara maternal ditemukan paling banyak berpengaruh pada individu yang
menderita autis. Bagian ini juga terlibat dalam basis genetik dari disleksia,
salah satu gambaran klinis spektrum autis. Bahkan akhir-akhir ini, gen ini
dilaporkan ikut berpartisipasi dalam pengkodean gen 3-gamma–
aminobutyric acid (GABA)-A receptor subunits (Trottier, 1999).
Kelainan dari gen pembentuk metalotianin disebut-sebut juga
berpengaruh pada kejadian autis. Metalotianin adalah kelompok protein
yang merupakan mekanisme kontrol tubuh terhadap tembaga (Cu) dan seng
(Zn). Fungsi lain yaitu perkembangan sel saraf, detoksifikasi logam berat,
pematangan saluran cerna, anti oksidan, dan penguat sistem imun. Disfungsi
metalotianin akan menghasilkan gambaran yang sering kita lihat pada
penderita autis seperti Leaky Gut Syndrome, pemecahan protein
kegagalan stimulasi pankreas oleh sekretin. Dapat juga memicu
ketidakmampuan tubuh untuk membuang logam berat dan kelainan sistem
imun. Teori ini juga dapat menerangkan penyebab lebih berisikonya
laki-laki dari pada wanita. Ini dikarenakan sintesis metalotionin ditingkatkan
oleh estrogen dan progesterone (Jepson, 2003).
c. Studi Biokimia dan Riset Neurologis
Menurut Klauk (1997) dalam Trottier (1999), autis sering dihubungkan
dengan kelainan metabolisme serotonin dan obat dengan target 5-HT
ditemukan efektif dalam meringankan gejala autis. Anderson (1997)
menerangkan, beberapa penelitian menemukan perbedaan pada level
neurotransmiter serotonin dan dopamine antara anak autis dengan anak yang
tidak autis, walaupun perbedaan ini tidak sepenuhnya jelas (Nolen, 2007).
Sementara Cook (1990) menjelaskan dari penelitian lain, ditemukan sekitar
sepertiga anak autis memiliki kadar serotonin yang tinggi di dalam darah
(hyperserotonemia) (Trottier, 1999), dan kadar serotonin yang tinggi
tersebut mempunyai korelasi dengan beberapa kebiasaan autis, seperti yang
diterangkan Kapperman, (1987) dalam Trottier (1999).
Penelitian menemukan adanya perbedaan ukuran dan morfologi
serebelum dari penderita autis. Dengan menggunakan MRI (Magnetic
Resonance Imaging), Courchesne (1991) menemukan hipoplasia dari lobus
VI dan VII pada anak autis. Kelainan ini dihubungkan dengan gangguan
mental pengalihan perhatian yang cepat pada penderita autis seperti yang
diterangkan (Trottier, 1999).
Minshew (1991) dalam Alloy (2004) melaporkan bahwa sekitar 50
persen penderita autis memiliki gambaran EEG yang abnormal. Pada studi
yang lebih baru menunjukkan bahwa anak autis memiliki penurunan
aktivitas EEG pada daerah frontal dan medial otak jika dibandingkan dengan
anak yag normal. Frith (2000) dalam Noelan (2007) juga menjelaskan hal
d. Toksisitas Merkuri
Secara fisiologis, keberadaan merkuri di tubuh dapat menimbulkan efek
yang merugikan. Merkuri akan berikatan dengan kelompok sulfidril pada
sejumlah protein yang menghasilkan penurunan fungsi enzim dan
kehilangan integritas struktur. Merkuri juga kemungkinan memberikan
kontribusi pada Leaky Gut dengan cara menghancurkan dinding mukosa
intestinal. Merkuri dapat mengganggu cell-mediated immunity yang
menghasilkan penurunan kemampuan dalam melawan infeksi virus dan
jamur. Hal ini menyebabkan autoimunitas yang menghasilkan anti-brain
antibodies. Ini menyebabkan atau bahkan memperparah defisiensi Seng (Zn)
dan inaktivasi enzim yang bertugas memecah casein dan gluten. Merkuri
mengubah kemampuan otak dalam apoptosis sel-sel otak. Hal ini
mempengaruhi kemampuan anti-oksidasi tubuh oleh pengurangan glutation
intraselular yang merupakan protein yang penting dalam pembersihan
toksin dari tubuh (Jepson, 2003).
Efek klinis terhadap CNS meliputi, gangguan perencanaan motorik,
pandangan mengabur, penurunan lapangan pandang, insomnia, iritabilitas,
tantrum, eksitabilitas, penarikan diri dari sosial, ansietas, gangguan memori
jangka pendek, kesulitan kemampuan verbal, dan kesulitan untuk
berkonsentrasi (Jepson, 2003).
e. Penggunaan antibiotik yang berlebihan
Peresepan antibiotik yang berlebihan adalah masalah yang tidak dapat
dipisahkan dari autis.dan sudah memicu timbulnya resistensi organisme
terhadap antibiotik sehingga organisme semakin sulit untuk dieradikasi
(Jepson, 2003). Selain itu, penggunaan antibibiotik yang berlebihan dapat
mengganggu keseimbangan mikroorganisme di tubuh (Herbert, 2002).
Anak-anak autis mempunyai masalah khusus pada keadaan ini karena pada
penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa anak-anak autis mempunyai
aktivitas T-helper 1 Lymphocyte yang rendah (Jepson, 2003). Hal yang sama
autis menunjukkan kelainan cell-mediated immunity termasuk kelainan
aktivasi sel T dan penurunan jumlah helper-inducer lymphocytes. Keadaan
ini menyebabkan rendahnya kemampuan untuk membersihkan organisme
yang berbahaya dan mengembalikan keseimbangan flora normal intestinal.
Ini dapat menghasilkan pertumbuhan jamur yang berlebihan dan bakteri
yang persisten di saluran cerna mereka. Organisme tersebut dapat
mengganggu proses pencernaan yang normal dan menghasilkan metabolit
yang berbahaya yang pada akhirnya berpengaruh pada kelakuan autis
(Jepson, 2003).
2.1.3. Manifestasi Klinis
Veskarisyanti (2008) menjelaskan gangguan perkembangan pada
anak autis muncul dalam bidang:
1. Komunikasi dimana muncul kualitas komunikasi yang tidak normal,
ditunjukkan dengan:
- kemampuan wicara yang tidak berkembang atau mengalami
keterlambatan.
- pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan
lingkungan sekitar.
- tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan
komunikasi dua arah dengan baik.
- anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton.
- bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.
2. Interaksi sosial yang mengalami gangguan yang ditunjukkan sebagai:
- anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah
yang tidak berekspresi.
- ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi
kesenangan dan melakukan sesuatu bersama-sama.
- ketidakmampuan anak untuk berempati, dan mencoba membaca
3. Perilaku anak yang ditunjukkan dengan ketertarikan yang sangat
terbatas dan banyak pengulangan terus-menerus dan stereotipik seperti:
- adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna,
misalnya kalau mau tidur harus cuci kaki dulu, sikat gigi, pakai
piyama, menggosokkan kaki di keset, baru mau naik ke tempat tidur.
Bila ada aktifitas di atas yang terlewat atau terbalik urutannya, maka
ia akan sangat terganggu dan menangis bahkan berteriak-teriak
minta diulang.
- Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada suatu pola
perilaku yang tidak normal, misalnya duduk dipojok sambil
menghamburkan pasir seperti air hujan, yang bisa dilakukannya
berjam-jam.
- Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti
menggoyang-goyang badan, geleng-geleng kepala.
4. Gangguan sensoris
- sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
sekalipun oleh orang tua mereka.
- bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
- senang mencium-cium, menjilat-jilat, menggigit-gigit mainan atau
benda-benda.
- Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
5. Pola bermain
- Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
- Tidak suka bermain dengan anak-anak sebayanya.
- Tidak bermain sesuai dengan fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik
lalu rodanya diputar-putar.
- Menyenangi benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda
sepeda.
- Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang
6. Emosi
- Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis
tanpa alasan yang jelas.
- Temper Tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak
diberikan keinginannya.
- Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti
dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati dan tidak mengerti
perasaan orang lain.
2.1.4. Penentuan Diagnosa
Kriteria diagnostik untuk gangguan autis menurut DSM-IV-TR
terdapat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 : Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk gangguan autis
A. Terdapat enam atau lebih dari kriteria (1), (2), dan (3) dengan minimal terdapat dua dari kriteria (1) dan masing-masing satu dari kriteria (2) dan (3):
(1) Kesulitan dalam interksi sosial yang terwujud dalam kriteria berikut (minimal dua):
- kesulitan yang tampak jelas dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah dan bahasa tubuh.
- lemah dalam mengembangkan hubungan yang tepat dengan anak-anak sebaya sesuai dengan tahap perkembangan.
- kurang berminat mencari dan melakukan hal-hal atau aktivitas bersama orang lain secara spontan.
- kurangnya respon sosial atau emosional.
(2) Kesulitan dalam komunikasi seperti terwujud dalam kriteria berikut (minimal satu):
- keterlambatan atau sangat kurangnya bahasa verbal tanpa upaya untuk menggantinya dengan gerakan nonverbal.
- pada mereka yang cukup mampu berbicara, kesulitan tampak jelas dalam kemampuan untuk mengawali atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.
- bahasa yang diulang-ulang atau membeo. - kurang bermain sesuai tahap perkembangannya.
(3) Perilaku atau minat yang diulang-ulang atau stereotipe, terwujud dalam kriteria berikut (minimal satu):
- tingkah laku yang stereotip dan repetitive, seperti: mengepak-ngepakkan tangan atau menjentikkan jari berulang-ulang.
- preokupasi yang tidak normal pada bagian-bagian tertentu dari suatu objek.
B. Keterlambatan atau keabnormalan fungsi (minimal satu) dari bidang berikut, berawal sebelum usia 3 tahun: interaksi sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau permainan imajinatif.
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
3.2. Definisi Operasional
• Penderita autis: penderita yang didiagnosa dokter menyandang penyakit
autis berdasarkan gejala-gejala yang ada.
• Umur: usia anak-anak penderita autis yang mengikuti program khusus di
Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, dikategorikan atas:
1. 2 – 5 tahun
Sosiodemografi:
• umur
• jenis kelamin
• suku bangsa
• agama
Latar belakang orang tua:
• pekerjaan
• pendidikan
Gangguan dalam interaksi sosial
Gangguan berkomunikasi
Gangguan tingkah laku Karakteristik Anak-Anak
2. 6 – 10 tahun
3. 10 – 13 tahun
4. 14 – 16 tahun
5. 17 – 20 tahun
• Jenis Kelamin: jenis kelamin anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, dikategorikan atas:
1. Laki-laki
2. Perempuan
• Suku Bangsa: ras atau etnik yang melekat pada anak penderita autis, didapat
biasanya berdasarkan
• Agama: kepercayaan yang dianut oleh penderita autis, dikategorikan
sebagai:
1. Islam
2. Kristen Protestan
3. Kristen Katolik
4. Hindu
5. Budha
• Pekerjaan: aktivitas utama yang dilaksanakan sehari-hari oleh seseorang
dalam hal ini orang tua dari anak-anak penderita autis baik di dalam rumah
maupun di luar rumah, dikategorikan atas:
1. PNS/POLRI/ABRI
2. Karyawan Perusahaan
3. Wiraswasta
4. Ibu Rumah Tangga
5. Pensiunan
• Pendidikan: tingkat/jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh dan
berhasil diselesaikan oleh seseorang dalam hal ini orang tua dari anak-anak
penderita autis, dikategorikan atas:
1. SD
2. SMP
4. Akademi/Diploma
5. Sarjana (S1, S2, S3)
• Gangguan dalam interksi sosial: gangguan kepribadian yang tidak fleksibel,
tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya.
• Gangguan berkomunikasi: disabilitas belajar pada anak yang gagal untuk
berkembang dalam bidang bahasa hingga ke tingkat yang sesuai dengan
tingkat intelektualnya (Davidson, 2006).
• Gangguan tingkah laku: gangguan perilaku yang tercermin adanya pola
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang memberikan gambaran
karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda Karsa Mandiri
(YAKARI) Medan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI)
Jalan Sei Putih No. 30 Kel. Merdeka Kec. Medan Baru Medan.
Waktu penelitian adalah Juni-September 2009
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah anak penderita autis yang mengikuti
program khusus di Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) kemudian
dari populasi akan diambil sebagai sampel penelitian dengan metode total
sampling.
4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer dimana data diambil
langsung oleh peneliti untuk mengetahui karakteristik anak-anak
penderita autis dengan mengamati anak-anak penderita autis
tersebut.
4.4.2. Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang kemudian
dibagikan kepada terapis yang menangani anak-anak penderita autis
di Yayasan Ananda Karsa Mandiri. Kemudian terapis mengisi
melalui observasi dan pengalamannya menangani anak-anak
penderita autis tersebut.
4.5. Metode Analisa Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan bantuan
komputer dan dianalisa secara statistik deskriptif menggunakan program
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Yayasan Ananda Karsa Mandiri (YAKARI) merupakan pusat penanganan
autis terpadu yang berada di jalan Sei Putih No. 30 Medan. YAKARI
mengkhususkan melakukan penanganan terpadu bagi anak autis, yang
dilakukan melalui tiga divisi utama, yaitu Divisi Medis yang
menyelenggarakan klinik khusus autis, Divisi Pendidikan yang
menyelenggarakan sekolah khusus autis dan Divisi Perkembangan yang
menyelenggarakan berbagai kegiatan, seminar, diskusi, sharing,
training/workshop, penyediaan obat-obatan, vitamin, supplemen, makanan
khusus diet autis dan alat bantu terapi.
Sekolah khusus YAKARI menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran
kepada anak-anak autis dalam bentuk layanan Individual Class dan Individual
Education Programme (IEP), dimana satu atau dua orang guru hanya
menangani satu anak dengan kurikulum khusus sesuai dengan kebutuhan
individu anak dengan berbagai program terapi antara lain terapi wicara, terapi
perilaku dan terapi okupasi/sensori integrasi dengan 13 orang guru dan 10
ruang kelas. Kegiatan belajar-mengajar berlangsung selama 120 menit yang
dilakukan setiap hari Senin sampai Jumat.
5.1.2. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Sosiodemografi
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi berdasarkan
Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Sosiodemografi
No. Sosiodemografi Anak Penderita Autis
N %
1. Umur: a. 2-5 tahun b. 6-10 tahun c. 10-13 tahun d. 14-16 tahun e. 17-20 tahun
10 9 7 1 2 34,5 31,0 24,1 3,4 6,9
Total 29 100
2. Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 22 7 75,9 24,1
Total 29 100
3. Suku Bangsa: a. Batak b. Jawa c. Tionghoa d. Lainnya 16 8 4 1 55,2 27,6 13,8 3,4
Total 29 100
4. Agama:
a. Islam
b. Kristen Protestan c. Kristen Katolik d. Budha e. Hindu f. Konhucu 16 8 2 3 0 0 55,2 27,6 6,9 10,3 0 0
Total 29 100
Berdasarkan tabel diatas, didapat diketahui bahwa kelompok umur yang
paling banyak adalah 2-5 tahun sebanyak 10 orang (34,5%), jenis kelamin
yang paling banyak yaitu laki-laki 22 orang (75,9%), suku bangsa yang
terbanyak adalah suku batak 16 orang (55,2%) , dan agama yang paling
5.1.3. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Latar Belakang Orang Tua
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi berdasarkan latar
[image:31.595.133.517.275.509.2]belakang orang tua antara lain:
Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Latar Belakang Oranr Tua
No. Latar Belakang Orang Tua Jumlah
N %
1. Pekerjaan:
a. PNS/POLRI/ABRI
b. Karyawan Perusahaan c. Wiraswasta
d. Ibu Rumah Tangga e. Pensiunan 9 8 12 0 0 31,0 27,6 41,4 0 0
Total 29 100
2. Pendidikan: a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Akademi/Diploma e. Sarjana (S1, S2, S3)
0 0 8 0 21 0 0 27,6 0 72,4
Total 29 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pekerjaan orang tua yang
paling banyak yaitu wiraswasta sebanyak 12 orang (41,4%), dan latar
pendidikan orang tua yang paling banyak yaitu Sarjana sebanyak 21 orang
(72,4%).
5.1.4. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan dalam Interaksi Sosial
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi berdasarkan ada
Tabel 5.3. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan dalam Interaksi Sosial
No. Gangguan Interasi Sosial Anak Penderita Autis
N %
1. Kontak mata saat berbicara: a. Ya b. Tidak 20 9 69 31
Total 29 100
2. Ekspresi wajah dan bahasa
tubuh yang sesuai: a. Ya b. Tidak 16 13 55,2 44,8
Total 29 100
3. Bermain dengan anak seusianya: a. Ya b. Tidak 13 16 44,8 55,2
Total 29 100
4. Berempati dan mengekspre-sikan emosi yang sesuai:
a. Ya b. Tidak 10 19 34,5 65,5
Total 29 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa anak yang melakukan kontak
mata sebanyak 20 orang (69%), anak yang tidak mampu mengekspresikan
wajah dan bahasa tubuh yang sesuai sebanyak 13 orang (44,8%), anak yang
tidak mau bermain dengan teman seusianya sebanyak 16 orang (55,2%), dan
anak yang tidak mampu berempati dan mengekspresikan emosi yang sesuai
sebanyak 19 orang (65,5%).
5.1.5. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi berdasarkan ada
Tabel 5.4. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
No. Gangguan Berkomunikasi Anak Penderita Autis
N %
1. Kebiasaan ekolalia: a. Ya b. Tidak 10 19 34,5 65,5
Total 29 100
2. Kemampuan berbicara sesuai dengan tahap perkembangan-nya: a. Ya b. Tidak 4 25 13,8 86,2
Total 29 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa anak yang menpunyai
kebiasaan ekolalia sebanyak 10 orang (34,5%) dan tidak mampu berbicara
sesuai dengan tahap perkembangannya sebanyak 25 orang (86,2%).
5.1.6. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi berdasarkan ada
tidaknya gangguan tingkah laku antara lain:
Tabel 5.5. Distribusi Proporsi Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku
No. Gangguan Tingkah Laku Anak Penderita Autis
N %
1. Kebiasaan atau ritual tertentu yang tidak normal yang harus dilakukan setiap hari:
a. Ya b. Tidak 12 17 41,4 58,6
Total 29 100
2. Menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya: a. Ya b. Tidak 16 13 55,2 44,8
[image:33.595.135.516.566.756.2]3. Memiliki perilaku temper tantrum:
a. Ya b. Tidak
11 18
37,9 62,1
Total 29 100
4. Kecenderungan menyakiti
diri sendiri: a. Ya b. Tidak
5 24
17,2 82,8
Total 29 100
5. Tingkah laku stereotipe dan repetitif:
a. Ya b. Tidak
8 21
27,6 72,4
Total 29 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa anak yang memiliki
kebiasaan atau ritual tertentu yang tidak normal yang harus dilakukan setiap
hari sebanyak 12 orang (41,4%), anak yang tidak mampu menggunakan
mainan sesuai dengan fungsinya sebanyak 13 orang (44,8%), anak yang
mempunyai kebiasaan temper tantrum yaitu sebanyak 11 orang (37,9%), anak
yang mempunyai kecenderungan menyakiti diri sendiri sebanyak 5 orang
(17,20%) dan anak yang memiliki tingkah laku stereotip dan repetitif
sebanyak 8 orang (27,6%).
5.1.7. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Interaksi Sosial
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi proporsi umur
Tabel 5.6. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan dalam Interaksi Sosial
No. Kelompok Umur
Gangguan Interaksi Sosial
KM EWB BM EE
√ X √ X √ X √ X
% % % % % % % %
1. 2-5 tahun 6
20,7 4 13,8 5 17,2 5 17,2 4 13,8 6 20,7 3 10,3 7 24,1
2. 6-10 tahun 9
31 0 0 7 24,1 3 10,3 7 24,1 2 6,9 4 13,8 5 17,2
3. 10-13 tahun 4
13,8 3 10,3 4 13,8 2 6,9 2 5 5 17,2 2 6,9 5 17,2
4. 14-16 tahun 1
3,4 0 0 0 0 1 3,4 0 0 1 3,4 1 3,4 0 0
5. 17-20 tahun 0
0 2 6,9 0 0 2 6,9 0 0 2 6,9 0 0 2 6,9
TOTAL 20 9 16 13 13 16 10 19
69 31 55,2 44,8 44,8 55,2 34,5 65,5
*Keterangan:
KM : kontak mata
EWB : ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang sesuai BM : bermain dengan anak seusianya
EE : berempati dan Mengekspresikan emosi yang sesuai
√ : Ya
X : Tidak
Berdasarkan tabel diatas, kelompok umur yang paling banyak menunjukkan
gangguan interaksi sosial adalah kelompok umur 2-5 tahun dimana yang tidak
melakukan kontak mata saat diajak bicara sebanyak 4 orang (13,8%), tidak
menunjukkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang sesuai sebanyak 5 orang
(17,2%), tidak bermain dengan anak seusianya sebanyak 6 orang (20,7%),
dan tidak mampu berempati dan menunjukkan emosi yang sesuai sebanyak 7
5.1.8. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi proporsi umur
[image:36.595.131.513.252.581.2]berdasarkan ada tidaknya gangguan berkomunikasi antara lain:
Tabel 5.7. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
No. Kelompok Umur
Gangguan Berkomunikasi
KE MB
√ X √ X
% % % %
1. 2-5 tahun 4
13,8 6 20,7 0 0 10 34,5
2. 6-10 tahun 3
10,3 6 20,7 2 6,9 7 24,1
3. 10-13 tahun 2
6,9 5 17,2 1 3,4 6 20,7
4. 14-16 tahun 0
0 1 3,4 1 3,4 0 0
5. 17-20 tahun 1
3,4 1 3,4 0 0 2 6,9
TOTAL 10 19 4 25
34,5 65,5 13,8 86,2
*Keterangan:
KE : Kebiasaan Ekolalia
MB : mampu berbicara sesuai dengan tahap perkembangannya
√ : Ya
X : Tidak
Berdasarkan tabel diatas, kelompok umur yang paling banyak menunjukkan
gangguan berkomunikasi adalah kelompok umur 2-5 tahun dimana untuk
kebiasaan ekolalia sebanyak 6 orang (20,7%), dan tidak dapat berbicara
5.1.9. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku
Hasil penelitian karakteristik anak-anak penderita autis di Yayasan Ananda
Karsa Mandiri (YAKARI) Medan, diperoleh distribusi proporsi umur
Tabel 5.8. Distribusi Proporsi Umur Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
*Keterangan:
RTN : Kebiasaan atau ritual tertentu yang tidak normal yang harus dilakukan MF : Menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya
TT : Memiliki perilaku temper tantrum MDS : Kecenderungan menyakiti diri sendiri SR : Tingkah laku stereotipe dan repetitif
√ : Ya
X : Tidak
No. Kelompok Umur
Gangguan Tingkah Laku
RTN MF TT MDS SR
√ X √ X √ X √ X √ X
% % % % % % % % % %
1. 2-5 tahun 4
13,8 6 20,7 6 20,7 4 13,8 2 6,9 8 27,6 1 3,4 9 31 1 3,4 9 31
2. 6-10 tahun 3
10,3 6 20,7 6 20,7 3 10,3 5 17,2 4 13,8 0 0 9 31 2 6,9 7 24,1
3. 10-13 tahun 3
10,3 4 13,8 4 13,8 3 10,3 2 6,9 5 17,2 2 6,9 5 17,2 4 13,8 3 10,3
4. 14-16 tahun 0
0 1 3,4 0 0 1 3,4 0 0 1 3,4 0 0 1 3,4 0 0 1 3,4
5. 17-20 tahun 2
6,9 0 0 0 0 2 6,9 2 6,9 0 0 2 6,9 0 0 1 3,4 1 3,4
TOTAL 12 17 16 13 11 18 5 24 8 21
Dari tabel diatas, kelompok umur yang paling banyak menunjukkan
gangguan tingkah laku sangat beragam. Kebiasaan atau ritual tertentu yang
tidak normal yang harus dilakukan setiap hari paling banyak pada kelompok
umur 2-5 tahun sebanyak 4 orang (13,8%), tidak menggunakan mainan sesuai
dengan fungsinya paling banyak pada kelompok umur 2-5 tahun sebanyak 4
orang (13,8%), memiliki perilaku temper tantrum paling banyak pada
kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 5 (17,2%), memiliki kecenderungan
menyakiti diri sendiri paling banyak pada kelompok umur 10-13 tahun dan
kelompok umur 17-20 tahun masing-masing sebanyak 2 orang (6,9%) dan
mempunyai tingkah laku stereotipe dan repetitif paling banyak pada
kelompok umur 10-13 tahun sebanyak 4 orang (13,8%).
5.2. Pembahasan
5.2.1. Anak Penderita Autis Berdasarkan Sosiodemografi
Hal-hal yang diamati berdasarkan sosiodemografi yaitu umur, jenis kelamin,
suku bangsa dan agama.
5.2.1.1. Umur
Proporsi umur yang tertinggi pada anak penderita autis adalah anak dengan
kelompok umur 2-5 tahun yaitu 34,5%. Sedangkan proporsi terendah pada
anak penderita autis adalah anak dengan kelompok umru 14-16 tahun yaitu
3,4% (tabel 5.1.).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Williams (2008),
dimana pada penelitian tersebut menunjukkan umur untuk anak autis yang
paling banyak berada pada rentang 2-5 tahun atau tepatnya usia 45 bulan.
Peneliti juga berasumsi, hal ini juga dikarenakan adanya kegiatan terapi yang
tidak mengikat dan memaksa. Artinya setelah beberapa waktu menjalani
terapi, dengan berbagai alasan orang tua menghentikan kegiatan terapinya di
Yayasan ini. Karena dari data yang didapat dari yayasan, lebih dari 50%
5.2.1.2. Jenis Kelamin
Proporsi jenis kelamin yang tertinggi pada anak penderita autis adalah anak
dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 75,9%. Sedangkan proporsi terendah
pada anak penderita autis adalah anak dengan jenis kelamin perempuan yaitu
24,1% (tabel 5.1.).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Williams (2008)
bahwa proporsi anak penderita autis berdasarkan jenis kelamin yang
terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 87,2%.
5.2.1.3. Suku Bangsa
Proporsi suku bangsa yang tertinggi pada anak penderita autis berdasarkan
suku bangsa adalah suku batak yaitu 55,2%. Sedangkan proporsi terendah
adalah suku lainnya dalam hal ini adalah suku gayo sebanyak 3,4% (tabel
5.1.).
Belum ada penelitian yang menunjukkan pengaruh suku bangsa terhadap
kejadian autis. Di Indonesia sendiri didapat hasil yang sangat beragam
tergantung lokasi penelitian.
5.2.1.4. Agama
Proporsi agama yang tertinggi pada anak penderita autis berdasarkan agama
adalah agama Islam yaitu 55%. Sedangkan proporsi terendah adalah agama
Budha sebesar 10% (tabel 5.1.).
Tidak pernah ada penelitian yang menyangkutkan agama terhadap kejadian
autis. Hasilnya pun pasti sangat beragam sesuai tempat dan lokasi penelitian.
5.2.2. Anak Penderita Autis Berdasarkan Latar Belakang Orang Tua
Hal-hal yang diamati berdasarkan latar bekalang orang tua yaitu pekerjaan
tua dari anak penderita autis adalah wiraswasta yaitu 41%. Sedangkan
proporsi terendah adalah PNS/POLRI/ABRI sebesar 10% (tabel 5.2.).
Terlihat bahwa kebanyak anak penderita autis kebanyakan berasan dari
kalangan ekonomi yang mapan. Memang belum ada penelitian yang khusus
membahas tentang ini. Hasil ini juga dapat dipengaruhi oleh lokasi penelitian
yang merupakan tempat terapi autis terpadu. Dengan biaya yang cukup tinggi,
tentunya hanya anak dari keluarga dengan ekonomi yang mapan yang mampu
mengikuti terapi ini.
Proporsi yang tertinggi pada pendidikan orang tua dari anak penderita autis
adalah Sarjana yaitu 72% (tabel 5.2.). Terlihat bahwa kebanyakan anak-anak
autis lahir dari orang tua dengan tingkat pendidikan yang baik.
5.2.3. Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Interaksi Sosial
Dalam gangguan interaksi sosial, hal-hal yang diamati adalah kontak mata
saat diajak bicara, ekspresi wajah dan tubuh yang sesuai, barmain dengan
anak seusianya, dan berempati dan mengekspresikan emosi yang sesuai.
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa anak yang melakukan kontak mata saat diajak
bicara sebanyak 69%, anak yang menunjukkan ekspresi wajah dan tubuh
yang sesuai sebanyak 55,2%, anak yang bermain dengan anak seusianya
sebanyak 44,8% dan anak yang berempati dan mengekspresikan emosi yang
sesuai sebanyak 34,5%.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil yang didapat oleh penelitian
sebelumnya. Hasil penelitian yang didapat oleh Volkmar (1995)
menyebutkan dari 100 anak penderita autis yang diamati, hanya 2% saja yang
melakukan kontak mata saat diajak bicara. Bahkan ada 50% anak yang sama
mungkin dikarenakan, anak autis yang dijadikan sampel penelitian telah
melakukan terapi yang intensif.
Sama dengan hasil penelitian ini, selain kontak mata, penelitian yang
dilakukan oleh Salomon (2008) juga menunjukkan bahwa anak autis
memiliki interaksi sosial yang buruk. Hal-hal yang diamati mencakup
bermain dengan teman sebaya, menggunakan bahasa non-verbal, kemampuan
bekerja sama dengan teman sebaya, berempati dan berbagi dengan sekitar
menunjukkan adanya regresi yang signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok pembanding yang merupakan anak non-autis.
5.2.4. Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Berkomunikasi
Berdasarkan ada tidaknya gangguan berkomunikasi, hasil yang didapat yaitu
anak yang memiliki kebiasaan ekolalia yaitu 34,4% dan anak yang mampu
berbicara sesuai dengan tahap perkembangannya hanya 13,8% (tabel 5.4.).
Paul (1987) dalam Davidson (2006), menjelaskan sekitar 50% anak penderita
autis tidak pernah belajar berbicara sama sekali. Namun pada mereka yang
belajar berbicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan termasuk ekolalia.
Namun hal ini dapat menghilang seiring kemampuan berbahasanya melalui
pelatihan yang intensif.
Penelitian yang dilakukan oleh Baird (2008), 30% anak menunjukkan
keterlambatan kemampuan berbicara sesuai dengan tahap perkembangannya
dan 8% dari 30% tersebut menunjukkan kemampuan berbahasa yang sangat
buruk.
Seperti yang dijelaskan oleh Paul (1987) dalam Davidson (2006), kelemahan
komunikasi dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada anak penderita
autis dan bukan sebaliknya. Meskipun demikian, sekalipun anak mereka telah
belajar berbicara sering kali kurang memiliki spontanitas verbal dan jarang
5.2.5. Anak Penderita Autis Berdasarkan Ada Tidaknya Gangguan Tingkah Laku
Berdasarkan ada tidaknya gangguan tingkah laku, hasil yang didapat yaitu
anak yang memiliki kebiasaan atau ritual tertentu yang tidak normal yang
harus dilakukan setiap hari yaitu 41,4%, anak yang mampu mengguanakan
mainan sesuai dengan fungsinya sebanyak 55,2%, anak yang mempunya
kebiasaan temper tantrum yaitu sebanyak 37,9%, anak yang mempunya
kecenderungan menyakiti diri sendiri sebanyak 17,20% dan anak yang
memiliki tingkah laku stereotip dan repetitif sebanyak 27,6% (tabel 5.5.).
Kebiasaan atau ritual yang tidak normal yang harus dilakukan setiap hari dan
akan sangat marah jika kebiasaan itu tidak dilakukan atau bahkan berubah,
merupakan kebiasaan anak yang sering muncul di awal masa sekolah yaitu
antara umur 6-10 tahun (Davidson, 2006). Pada penelitian kali ini, kebiasaan
yang terlihat saat observasi yaitu jongkok disudut kelas tiap jam 11 selama 10
menit, menjentik-jentikkan jari setiap mendengar dentingan jam yang
berbunyi setiap jam, menatap sangat lama kipas angin atau benda berputar
dan peneliti juga mendapat informasi dari terapis bahwa beberapa anak juga
mempunya kebiasaan menggosok gigi setiap jam 9 malam dan akan sangat
marah jika ternyata dia tahu dia belum gosok gigi padahal sudah lewat jam 9
malam.
Bauminger (2008) juga meneliti ketidakmampuan anak autis dalam
menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya dan mendapatkan hasil yang
tidak terlalu bermakna. Pada penelitian ini, saat observasi peneliti mendapat
ada 44,8% anak yang tidak mampu menggunakan mainan sesuai dengan
fungsinya misalnya saat diberikan sebuah crayon warna, anak tersebut
Perilaku temper tantrum dan kecenderungan menyakiti diri sendiri merupakan
gangguan tingkah laku yang paling meresahkan orang tua yang memiliki anak
penderita autis. Penelitian yang dilakukan oleh West (2009), menyebutkan
bahwa sekitar 17% anak autis mengalami depresi yang diungkapkan dengan
cara kecenderungan menyakiti diri sendiri dan adanya perilaku temper
tantrum. Atau dengan istilah yang lain, mereka menyebutnya dengan sebutan
mood disorder.
Beberapa penelitian sering menyebutkan bahwa adanya kebiasaan anak autis
berupa gerakan aneh yang diulang-ulang (stereotip dan repetitif) sering
diartikan sebagai gangguan neurologi (Williams, 2008). Hasil yang tidak
berbeda didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Goldman (2009),
dimana 44% anak mempunyai kebiasaan kebiasaan berupa gerakan-gerakan
aneh yang diulang-ulang dan harus dilakukan setiap hari. Namun penelitian
ini tidak menerangkan gerakan aneh seperti apa yang dimaksud. Pada
penelitian kali ini, saat observasi terlihat gerakan aneh tersebut berupa
menggerakkan kepala ke kiri terus menerus sesering mungkin dan
mengedip-ngedipkan mata.
5.2.6. Distribusi Umur Bedasarkan Gangguan Interaksi Sosial, Berkomunikasi dan Tingkah Laku
Dari tabel 5.6., tabel 5.7. dan tabel 5.8. dapat dilihat sebagian besar gangguan
berada pada kelompok umur 2-5 tahun. Untuk gangguan interaksi sosial dan
gangguan berkomunikasi, kelompok umur 2-5 tahun merupakan kelompok
paling banyak jumlahnya.
Hasil yang tidak berbeda didapatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Shumway (2009), dimana kebanyakan anak mulai terlihat gangguan dalam
berbahasa pada kelompok umur 2-5 tahun. Menurut penelitian ini, masa
rentang umur ini adalah saat yang sangat kritis untuk melakukan pemeriksaan
terhadap pola komunikasinya khususnya pada anak yang belum mengikuti
anak pada rentang umur ini, hampir selalu tidak melakukan kontak mata saat
berkomunikasi, bagi anak yang melakukannya pandangan seolah-olah
menembus terhadap apa yang dilihatnya (fokus pandangan tak terhingga).
Peneliti juga berasumsi, hasil ini dikarenakan anak pada kelompok umur ini
baru memulai terapi nya di sekolah khusus autis, sehingga gejala-gejala
masih muncul. Sedangkan pada kelompok umur yang lebih tinggi, anak-anak
tersebut telah lama menjalani terapi sehingga gejala terlihat lebih ringan.
Pada penelitian yang menghubungkan antara tingkah laku stereotip dan
kecenderungan menyakiti diri sendiri, oleh Gal E (2008) dikatakan bahwa
anak yang memiliki tingkah laku stereotip mempunyai kebiasaan yang lebih
besar untuk menyakiti diri sendiri. Hal yang sama didapatkan pada penelitian
ini dimana tingkah laku stereotip dan repetitif paling banyak pada kelompok
umur 10-13 tahun (13,8%). Sementara itu, dari 17,2% anak yang memiliki
kecenderungan menyakiti diri sendiri, 6,9 % diantaranya berada pada
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam
penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Distribusi proporsi anak penderita autis berdasarkan sosiodemografi yaitu
umur yang terbanyak adalah anak dengan kelompok umur 2-5 tahun
(34,5%), jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki (75,9%), suku
bangsa yang terbanyak adalah suku batak (55,2%), dan agama yang
terbanyak adalah agama Islam (55%).
2. Distribusi proporsi anak penderita autis berdasarkan latar belakang orang
tua yaitu pekerjaan orang tua yang tertinggi adalah wiraswasta (41%),
pendidikan orang tua dari anak penderita autis yang terbanyak adalah
Sarjana (72%).
3. Distribusi proporsi anak penderita autis berdasarkan ada tidaknya
gangguan interaksi sosial yaitu anak yang melakukan kontak mata saat
diajak bicara sebanyak 69%, anak yang menunjukkan ekspresi wajah dan
tubuh yang sesuai sebanyak 55,2%, anak yang bermain dengan anak
seusianya sebanyak 44,8% dan anak yang berempati dan
mengekspresikan emosi yang sesuai sebanyak 34,5%.
4. Distribusi proprsi anak penderita autis berdasarkan ada tidaknya
gangguan berkomunikasi yaitu anak yang memiliki kebiasaan ekolalia
yaitu 34,4% dan anak yang mampu berbicara sesuai dengan tahap
perkembangannya hanya 13,8%.
5. Distribusi proporsi anak penderita autis berdasarkan ada tidaknya
gangguan tingkah laku yaitu anak yang memiliki kebiasaan atau ritual
tertentu yang tidak normal yang harus dilakukan setiap hari yaitu 41,4%,
anak yang mampu mengguanakan mainan sesuai dengan fungsinya
sebanyak 37,9%, anak yang mempunya kecenderungan menyakiti diri
sendiri sebanyak 17,20% dan anak yang memiliki tingkah laku stereotip
dan repetitif sebanyak 27,6%.
6. Sebagian besar gangguan berada pada kelompok umur 2-5 tahun. Untuk
gangguan interaksi sosial dan gangguan berkomunikasi, kelompok umur
2-5 tahun merupakan kelompok paling banyak jumlahnya.
6.2. Saran
Dari seluruh proses penelitian yang telah dijalani oleh penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang
mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam
penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:
1. Penyakit autis merupakan penyakit yang belum terlalu dikenal
masyarakat luas. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan untuk lebih
mensosialisasikan penyakit autis untuk deteksi dini sehingga tercapai
penanganan yang maksimal.
2. Melalui hasil yang didapat dari penelitian ini, dengan beragamnya
karakteristik anak autis, diharapkan kepada Dinas Kesehatan untuk
dapat memberikan acuan dalam memberikan penanganan bagi anak
autis sesuai dengan karakteristiknya.
3. Penelitian ini hanya menggunakan 1 kali observasi, diharapkan pada
penelitian selanjutnya bisa melakukan observasi lebih dari 1 kali untuk
benar-benar melihat gejala-gejala yang ada yang mungkin tidak dapat
DAFTAR PUSTAKA
Alloy, L.B., Riskind, J.H., Manos, M.J., 2005. Abnormal Psychology: Current
Perspectives Ninth Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Association, American Psychiatric, 2000. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision, DSM-IV-TR. American
Psychiatric Association, Washington DC.
Bauminger, N., Marjorie, S., Anat, A., Kelly, H., Lilach, G., John, B., Sally, J. R.,
2008. Children with Autism and Their Friends: A Multidimensional Study of
Friendship in High-Functioning Autism Spectrum Disorders. Available
from:
Baird, G., Charman, T., Pickles, A., Chandler, S., Loucas, T., Meldrum, D.,
Carcani, R. I., Serkana, D., Simonof, E., 2008. Regression, developmental
trajectory and associated problems in disorders in the autism spectrum: the
SNAP study. Available from:
[Accesed 1 November 2009]
Davidson, G.C., Neale, J.M., and Kring, A.M., 2006. Psikologi Abnormal Edisi
ke-9. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Feigelman, S., 2008. Growth, Development, and Behavior. In: Kliegman, R.M.,
Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton, B.F.,. Nelson Textbook of Pediatrics
18th Edition. New York: Saunders Elsevier, 54-65.
Goldman, S., Cuiling, W., Miran, W. S., Paul, E. G., 2009. Motor Stereotypies in
Halgin, R.P., and Whitbourne, S.R., 1997. Abnormal Psychology: The Human
Expenence of Psychological Disorders. USA: Times Minor Higher
Education Group, Inc.
Jepson, B.M.D., 2003. Understanding Autism: The Physiological Basis and
Biomedical Intervention Options of Autism Spectrum Disorders, Children’s
Biomedical Center of Utah. Available from:
Judarwanto, W., 2008a. Deteksi Dini dan Skrining Autis. Available from:
February 2009].
________, 2008b. Pencegahan Autis Pada Anak. Available from:
2009
Noelan and Hoksema, 2007. Abnormal Psychology. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Perko, S., and McLaughlin, T.F., 2002. Autism: Characteristic, Causes, and some
Educational Intervention. International Journal of Special Education Vol
17. No.2. Available from:
[Accesed 22
March 2009].
Shumway, S., Amy, M. W., 2009. Communicative Acts of Children with Autosm
Spectrum Disorders in The Second Year of Life. Available from:
&sid=1&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD
&TS=1258548082&clientId=63928. [Accesed 23 October 2009]
Soetjiningsih, 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kkedokteran
EGC
Trottier, G., Srivastava, L. , Walker, C.D., 1999. Etiology of Infantile Autism: a
Review of Recent Advance in Genetic and Neurobiological Research.
Journal of Psychiatry and Neuroscience. Available from:
[Accesed 20 March 2009]
Veskarisyanti, G.A., 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif & Hemat: untuk Autis,
Hiperaktif, dan Retardasi Mental. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.
Volkmar, F. R., et al. 1995. An Evaluating of DSM-III Criteria for Infantile
Autism. Journal of the American Academy of Child Psychiatry. Available
from:
Willian, E., Kate, T., Helen, S., Alan, E., 2008. Prevalence and Characteristic oc
Autistic Spectrum Disorders in ALSPAC Cohort. Available from:
Yoder, K.E., 2004. Exploring Autism: the Search for a Genetc Etiology, Penn
State College of Medicine. Available from:
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dinda Sartika F J
Tempat/Tanggal Lahir : Sibolga/21Juni 1988
Agama : Islam
Alamat : Jl. D. I. Panjaitan No. 2 Medan
Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1994 lulus Taman Kanak-Kanak Aisyiyah
Sibolga
2. Tahun 2000 lulus SD Negeri No. 084089 Sibolga
3. Tahun 2003 lulus SMP Swasta Almuslimin Pandan
4. Tahun 2006 lulus SMA N 1 (PLUS) Matauli Pandan
Riwayat Pelatihan : 1. Seminar dan Workshop Resusitasi Jantung Paru
Otak (RJPO) TBM FK USU 2007
Riwayat Organisasi : 1. Anggota/Pengurus TIM BANTUAN MEDIS (TBM)
LEMBAR PENGAMATAN
1. Identitas Anak dan Keluarga
Data Diri Anak
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Suku Bangsa :
Data Diri Orang Tua
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Suku Bangsa :
Pekerjaan :
Pendidikan Terakhir :
2. Karakteristik yang diamati
A. Interaksi Sosial:
1. Apakah anak melakukan kontak mata saat diajak berbicara?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah anak memperlihatkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang
sesuai saat diajak berbicara?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah anak mau bermain dengan anak seusianya?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah anak mampu berempati dan mengekspresikan emosi yang
seharusnya pada teman ataupun orang lain?
B. Gangguan berbahasa dan berbicara:
1. Apakah anak mempunyai kebiasaan ekolalia (membeo atau mengulangi
apa yang kita ucapkan)?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah anak memiliki keterlambatan dalam hal berbicara dan berbahasa
sesuai tahap perkembangannya?
Umur Kemampuan
2-3 tahun Mampu menyusun kalimat dan
mempergunakan kata-kata saya, mampu
bertanya, mengerti kata-kata yang
ditujukan kepadanya
Ya Tidak
3-4 tahun Mampu menyebut namanya, jenis kelamin
dan umurnya dan banyak bertanya
Ya Tidak
4-5 tahun Dapat menyebut hari-hari dalam
seminggu, dapat mengulang cerita yang
baru didengarnya
Ya Tidak
5-6 tahun Mampu menggunakan kalimat yang
menujukan masa depan, misalnya: hal-hal
yang dilakukannya dan mampu
menceritakan cita-citanya
Ya Tidak
6-10 tahun Mampu mengulangi dengan tepat
kalimat-kalimat panjang dalam sebuah paragraf
atau cerita yang baru dibacanya
Ya Tidak
10-20 tahun Mampu mengekspresikan pikirannya
dengan bahasa dan artikulasi yang tepat
Ya Tidak
C. Gangguan Tingkah Laku:
1. Apakah anak mempunyai kebiasaan atau ritual tertentu yang tidak normal
yang harus selalu dilakukan tiap hari?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah anak mampu menggunakan mainan sesuai dengan fungsinya?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah anak memperlihatkan perilaku temper tantrum (mengamuk tak
terkendali) jika dilarang atau tidak diberi keinginannya?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah anak mempunyai kecenderungan menyakiti diri sendiri?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah anak punya tingkah laku stereotip dan repetitivef misalnya
mengepakkan tangan atau menjentikkan jari berulang-ulang?
D 2 6 - 10 tahun Laki-laki Islam Batak Karyawan Perusahaan Sarjana
D 3 6 - 10 tahun Laki-laki Islam Batak Wiraswasta Sarjana
D 4 17 - 20 tahun Laki-laki Kristen Protestan tionghoa PNS/POLRI/ABRI Sarjana
D 5 2 - 5 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak Karyawan Perusahaan Sarjana
D 6 2 - 5 tahun Perempuan Islam lainnya Karyawan Perusahaan Sarjana
D 7 6 - 10 tahun Perempuan Islam Batak PNS/POLRI/ABRI SMA
D 8 10 - 13 tahun Laki-laki Islam Jawa Karyawan Perusahaan Sarjana
D 9 2 - 5 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak Wiraswasta SMA
D 10 6 - 10 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak Karyawan Perusahaan Sarjana
D 11 10 - 13 tahun Laki-laki Islam Jawa PNS/POLRI/ABRI Sarjana
D 12 6 - 10 tahun Laki-laki Islam Jawa PNS/POLRI/ABRI Sarjana
D 13 2 - 5 tahun Laki-laki Islam Jawa PNS/POLRI/ABRI SMA
D 14 10 - 13 tahun Laki-laki Islam Batak Wiraswasta Sarjana
D 15 6 - 10 tahun Laki-laki Budha tionghoa Wiraswasta SMA
D 16 17 - 20 tahun Perempuan Budha tionghoa Wiraswasta Sarjana
D 17 6 - 10 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak PNS/POLRI/ABRI SMA
D 18 10 - 13 tahun Perempuan Islam Jawa Karyawan Perusahaan Sarjana
D 19 2 - 5 tahun Perempuan Islam Batak PNS/POLRI/ABRI Sarjana
D 20 2 - 5 tahun Laki-laki Kristen Katolik Batak Karyawan Perusahaan Sarjana
D 21 2 - 5 tahun Laki-laki Islam Jawa Wiraswasta Sarjana
D 22 2 - 5 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak Wiraswasta Sarjana
D 23 10 - 13 tahun Laki-laki Islam Jawa PNS/POLRI/ABRI Sarjana
D 24 6 - 10 tahun Laki-laki Budha tionghoa Wiraswasta Sarjana
D 25 10 - 13 tahun Laki-laki Kristen Protestan Batak Wiraswasta SMA
D 26 10 - 13 tahun Laki-laki Kristen Katolik Batak Wiraswasta SMA
D 2 Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak
D 3 Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak Tidak Tidak
D 4 Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya
D 5 Ya Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya
D 6 Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak Tidak