PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS DAN PUPUK KANDANG
DALAM BENTUK BIASA DAN BRIKET TERHADAP
PERTUMBUHAN SUKUN (Artocarpus communis Forst)
PADA LAHAN MARGINAL
SKRIPSI
Oleh:
FEHNI AL ASY’ARY HRP
071202019
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Kompos dan Pupuk Kandang dalam Bentuk Biasa dan Bentuk Briket terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst) pada Lahan Marginal
Nama : Fehni Al asy’ary Harahap
NIM : 071202019
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Budi Utomo, SP, MP Dr. Ir. Yunasfi, M. Si Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
FEHNI AL ASY’ARY: Pengaruh Pemberian Kompos dan Pupuk Kandang
dalam Bentuk Biasa dan Briket terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst). Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI.
Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor internal (sel) dan eksternal (salah satunya adalah air). Kekurangan air mengakibatkan terhentinya pertumbuhan karena terganggunya aktivitas fisiologis maupun morfologis tanaman khususnya pada lahan kering yang identik dengan kurangnya air. Salah satu media yang dapat menyimpan air adalah pupuk organik dan salah satu bentuk modifikasi pupuk organik agar dapat lebih tahan lama dalam menyimpan air yaitu dengan pemadatan (briket). Metode ini diharapkan mampu menahan air dan mensuplainya ke tanaman dalam waktu yang lebih lama serta menjadikan lebih efisien. Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi pengaruh pemberian pupuk kompos dan pupuk kandang yang diaplikasi dalam bentuk biasa dan briket terhadap pertumbuhan sukun (Artocarpus communis Forst). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011 di Desa Hutaimbaru Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok non faktorial dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diamati adalah tinggi, diameter, dan jumlah daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk dengan briket tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun bibit. Rata rata pertambahan tinggi bibit sukun tertinggi adalah P11 (pupuk kompos briket 1 kg) sebesar 8.67 cm dan rata rata pertambahan tinggi bibit sukun terendah adalah P0 (kontrol) sebesar 3.33 cm. Rata rata pertambahan diameter bibit sukun terbesar P11 (pupuk kompos briket) sebesar 0.21 cm dan rata rata terendah yaitu P0 (kontrol) sebesar 0 cm. Rata rata pengamatan jumlah daun bibit sukun terbesar adalah P6 (pupuk kandang briket 1.5 kg) dan P8 (pupuk kompos biasa 1 kg) sebesar 5.33, serta rata rata pengamatan jumlah daun terendah adalah P0 (kontrol) sebesar 1.33.
Kata kunci : Pupuk organik, Pupuk Briket, Sukun (Artocarpus communis Forst),
ABSTRACT
FEHNI AL ASY’ARY: Effect of Compost and dung in the form of Ordinary and Briquettes Against Growth Breadfruit (Artocarpus communis Forst). Under Academic Supervisor of BUDI UTOMO and YUNASFI
Plant growth is the result of a complex interaction between internal factors (cell) and external (one of which is water). Water shortages will lead to atrophy due to disruption of physiological and morphological activity, especially in dry land crops are loaded with the lack of water. One of media that can store water is fertilization, ie organic fertilizer and one modified form of organic fertilizer to be more durable in storing water that is by compaction (briquettes). This method is expected to hold water and supply it to plants preformance longer time and make them more efficient. The purpose of this study to detect the influence of compost and manure are applied preformance and the usual form of briquettes on the growth of breadfruit (Artocarpus communis Forst). The research was conducted in March through May 2011 in the village Hutaimbaru, Halongonan district, northern district of Padang Lawas using non-factorial randomized block design with 13 treatments and 3 replications. The parameters analyzed were height, diameter, and number of leaves.
The results showed that with briquettes of fertilizer application did not provide tangible effect on the growth of height, diameter and number of leaves of seedlings. Average high accretion is highest P11 breadfruit seeds (1 kg compost
briquettes) of 8.67 cm and average height increment breadfruit seedlings lowest P0 (control) is 3.33 cm. Average increase in diameter of the largest breadfruit
seedlings P11 (compost briquettes) is 0.21 cm and an average low of P0 (control)
of 0 cm. Average observation largest number of leaves of breadfruit seedlings is P6 (1.5 kg manure briquettes) and P8 (regular compost fertilizer 1 kg) of 5.33, and
the average number of observations of the lowest leaf is P0 (control) is 1.33..
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 14 Maret 1989 dari Ayah
Aswan Fahri Harahap dan Ibu Agustina Farida Lubis. Penulis merupakan anak
kedua dari lima bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 112149 Rantau Selatan dan
lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Muhammadiyah 35
Rantau Selatan dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2007 penulis lulus dari SMA
Negeri 1 MATAULI Pandan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan,
Departemen Kehutanan.
Penulis melaksanakan Praktik pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di
hutan mangrove Pulau Sembilan, Pangkalan Susu dan hutan dataran rendah Aras
Napal, Kabupaten Langkat Sumatera Utara pada tanggal 8 sampai 19 Juni 2009.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Garut Perum
Perhutani unit III Jawa Barat pada tanggal 2 Januari sampai 2 Februari 2011.
Penulis melaksanakan penelitian mulai bulan Maret sampai Mei 2011 di Desa
Hutaimbaru Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara Provinsi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.
Judul dari skripsi ini adalah “Pengaruh Pemberian Kompos dan Pupuk
Kandang dalam Bentuk Biasa dan Briket terhadap Pertumbuhan Bibit Sukun
(Artocarpus communis Forst) pada Lahan Marginal”. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada orangtua penulis yang telah membimbing,
mendidik dan memberikan motifasi serta mendukung penulis dalam doa dan
materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi
pembimbing Dr. Budi Utomo, SP. MP dan Dr. Ir. Yunasfi, M. Si selaku anggota
yang terus membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan berbagai pihak
yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi mahasiswa kehutanan.
DAFTAR ISI
Hipotesis Penelitian ... 5
Manfaat Penelitian ... 5
TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis ... 6
Karakteristik Lahan Kritis ... 6
Rehabilitasi Lahan ... 7
Metode Rehabilitasi Lahan 1.Pupuk Kandang ... 9
2.Pupuk Kompos ... 9
Penggunaan Briket Pupuk ... 11
Fungsi Air Bagi Tanaman ... 11
Kebutuhan Air Suatu Tanaman ... 12
Hubungan Tanaman dan Air Tanah ... 13
Pengaruh Stres Air Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Organ Tanaman... 14
Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Sifat Fisik Tanah, Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Tanaman ... 16
Taksonomi Sukun ... 17
Karakteristik Sukun ... 17
Kegunaan Tanaman Sukun ... 18
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 19
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 21
Bahan dan Alat ... 21
Metode Penelitian ... 21
Prosedur Penelitian 1.Penyiapan Bahan Tanaman ... 23
2.Pembuatan Briket Pupuk ... 23
3.Perhitungan Kadar Air ... 23
4.Aklimatisasi ... 24
5.Persiapan Lubang Tanam ... 24
6. Penanaman di Lapangan ... 24
7.Parameter Penelitian... 25
Diameter Bibit ... 25
Jumlah Daun... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan Suhu dan Kelembaban ... 28
Pertambahan Tinggi Bibit Sukun (cm) ... 28
Pertambahan Diameter Bibit Sukun (cm) ... 31
Pengamatan Jumlah Daun Bibit Sukun (helai) ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39
Saran ... 39
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Kandungan Unsur Hara dalam Kompos... 10
2. Perbandingan Komposisi Kandungan Gizi Sukun
dengan Beberapa Bahan Pangan Lainnya dalam 100 gram...18
3. Data suhu dan kelembaban dari pengamatan 1 hingga pengamatan 6……... 27
4. Data pertambahan tinggi bibit sukun (cm)……….. 27
5. Data pertambahan diameter bibit sukun (cm)………. 31
6. Data pengamatan rata-rata jumlah daun bibit sukun (helai)……… 34
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Peta tipe iklim di Kabupaten Tapanuli Selatan………. 20
2. Rata-rata pertambahan tinggi bibit sukun……… 28
3. Rata-rata tinggi bibit sukun tiap pengamatan... 29
4. Rata-rata perbandingan tinggi antar perlakuan... 30
5. Rata-rata pertambahan diameter bibit sukun... 31
6. Rata-rata diameter bibit sukun tiap pengamatan... 32
7. Rata-rata perbandingan diameter antar perlakuan... 33
8. Rata-rata jumlah daun bibit sukun... 34
9. Rata-rata jumlah daun bibit sukun tiap pengamatan... 35
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Penghitungan kadar air... 48
2. Data Pertambahan Tinggi Bibit Sukun... 49
3. Data Pertambahan Diameter Bibit Sukun... 51
4. Data Pengamatan Jumlah Daun Bibit Sukun... 53
5. Foto Pembuatan Briket Pupuk... 55
ABSTRAK
FEHNI AL ASY’ARY: Pengaruh Pemberian Kompos dan Pupuk Kandang
dalam Bentuk Biasa dan Briket terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst). Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI.
Pertumbuhan tanaman merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor internal (sel) dan eksternal (salah satunya adalah air). Kekurangan air mengakibatkan terhentinya pertumbuhan karena terganggunya aktivitas fisiologis maupun morfologis tanaman khususnya pada lahan kering yang identik dengan kurangnya air. Salah satu media yang dapat menyimpan air adalah pupuk organik dan salah satu bentuk modifikasi pupuk organik agar dapat lebih tahan lama dalam menyimpan air yaitu dengan pemadatan (briket). Metode ini diharapkan mampu menahan air dan mensuplainya ke tanaman dalam waktu yang lebih lama serta menjadikan lebih efisien. Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi pengaruh pemberian pupuk kompos dan pupuk kandang yang diaplikasi dalam bentuk biasa dan briket terhadap pertumbuhan sukun (Artocarpus communis Forst). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2011 di Desa Hutaimbaru Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara yang menggunakan Rancangan Acak Kelompok non faktorial dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diamati adalah tinggi, diameter, dan jumlah daun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk dengan briket tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah daun bibit. Rata rata pertambahan tinggi bibit sukun tertinggi adalah P11 (pupuk kompos briket 1 kg) sebesar 8.67 cm dan rata rata pertambahan tinggi bibit sukun terendah adalah P0 (kontrol) sebesar 3.33 cm. Rata rata pertambahan diameter bibit sukun terbesar P11 (pupuk kompos briket) sebesar 0.21 cm dan rata rata terendah yaitu P0 (kontrol) sebesar 0 cm. Rata rata pengamatan jumlah daun bibit sukun terbesar adalah P6 (pupuk kandang briket 1.5 kg) dan P8 (pupuk kompos biasa 1 kg) sebesar 5.33, serta rata rata pengamatan jumlah daun terendah adalah P0 (kontrol) sebesar 1.33.
Kata kunci : Pupuk organik, Pupuk Briket, Sukun (Artocarpus communis Forst),
ABSTRACT
FEHNI AL ASY’ARY: Effect of Compost and dung in the form of Ordinary and Briquettes Against Growth Breadfruit (Artocarpus communis Forst). Under Academic Supervisor of BUDI UTOMO and YUNASFI
Plant growth is the result of a complex interaction between internal factors (cell) and external (one of which is water). Water shortages will lead to atrophy due to disruption of physiological and morphological activity, especially in dry land crops are loaded with the lack of water. One of media that can store water is fertilization, ie organic fertilizer and one modified form of organic fertilizer to be more durable in storing water that is by compaction (briquettes). This method is expected to hold water and supply it to plants preformance longer time and make them more efficient. The purpose of this study to detect the influence of compost and manure are applied preformance and the usual form of briquettes on the growth of breadfruit (Artocarpus communis Forst). The research was conducted in March through May 2011 in the village Hutaimbaru, Halongonan district, northern district of Padang Lawas using non-factorial randomized block design with 13 treatments and 3 replications. The parameters analyzed were height, diameter, and number of leaves.
The results showed that with briquettes of fertilizer application did not provide tangible effect on the growth of height, diameter and number of leaves of seedlings. Average high accretion is highest P11 breadfruit seeds (1 kg compost
briquettes) of 8.67 cm and average height increment breadfruit seedlings lowest P0 (control) is 3.33 cm. Average increase in diameter of the largest breadfruit
seedlings P11 (compost briquettes) is 0.21 cm and an average low of P0 (control)
of 0 cm. Average observation largest number of leaves of breadfruit seedlings is P6 (1.5 kg manure briquettes) and P8 (regular compost fertilizer 1 kg) of 5.33, and
the average number of observations of the lowest leaf is P0 (control) is 1.33..
PENDAHULUAN
Latar BelakangPemanfaatan sumberdaya alam yang berupa hutan, tanah dan air sebagai
salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaik-baiknya
berdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal, yang
dapat memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial secara seimbang, namun
kenyataanya saat sekarang ini kondisi tersebut telah banyak mengalami perubahan
ke arah yang cenderung negatif. Sumberdaya lahan yang notabene merupakan
pusat dari aktifitas manusia merupakan salah satu sumberdaya yang telah dan
terus mengalami kondisi tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen
RLPS, luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia pada tahun 1999/2000 yaitu
seluas 23.242.881 dimana 35 % berada dalam kawasan hutan, dan 65% berada di
luar kawasan hutan. Sedangkan upaya rehabilitasi lahan kritis dari tahun 1999 s/d
2002 yaitu seluas 1.700.861 ha namun yang terealisasi hanya seluas 701.944 ha.
Penurunan kualitas maupun kuantitas sumber daya hutan di Indonesia
akhir-akhir ini telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Penebangan dan
penggarapan kawasan hutan dengan tanpa terkendali di hampir semua wilayah
telah memusnahkan sebagian besar pepohonan dan flora lain yang kehidupannya
(tempat dan sumber energinya) bergantung kepada keberadaan hutan sebagai
suatu ekosistem yang stabil. Jumlah hutan yang semakin sedikit jelas
mengakibatkan sumber daya alam hayati di dalamnya berkurang. Selain itu,
degradasi sumber daya hutan telah berdampak buruk pada lingkungan secara
makro. Keadaan iklim yang tidak menentu menyebabkan cuaca sulit untuk ditebak
longsor akibat curah hujan yang tidak dapat ditampung secara maksimal oleh
hutan (Rauf, 2009).
Dampak buruk pada lingkungan secara makro tersebut menyebabkan lahan
menjadi tandus (kurang subur). Tidak adanya vegetasi pada lahan juga
menyebabkan daya serap tanah terhadap air menjadi rendah, sehingga hanya
sedikit jenis tanaman yang dapat bertahan hidup pada kondisi kritis tersebut. Hal
ini juga menyebabkan banyak areal lahan yang tidak produktif sehingga
menurunnya hasil pertanian pada areal tersebut yang secara tidak langsung
berdampak buruk pada nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat,
sebab terjadi ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan sumber pangan
masyarakat dari hasil pertanian yang semakin besar dengan jumlah ketersediaan
produksi pangan yang semakin menurun.
Untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan upaya rehabilitasi lahan
kritis. Rehabilitasi lahan kritis ini dimaksudkan untuk memulihkan kesuburan
tanah, sehingga lahan dapat berfungsi kembali secara optimal dan dapat
berimplikasi terhadap pemanfaatan lahan untuk kesejahteraan, dan kelestarian
daya dukung lingkungan berdasarkan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial.
Salah satu metode digunakan untuk merehabilitasi lahan yaitu dengan
pemupukan, pupuk merupakan suatu zat berupa unsur hara yang ditambahkan ke
dalam tanah yang bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman dan
meningkatkan kesuburan tanah, terlebih pada kondisi lahan marginal, pemberian
pupuk merupakan salah satu cara untuk mengembalikan lahan agar dapat
berfungsi kembali. Menurut Kusuma dkk. (2006) pemberian pupuk organik pada
merupakan salah satu komponen budidaya yang ramah lingkungan. Pupuk
organik, baik pupuk kandang maupun kompos dapat memperbaiki struktur tanah,
menaikkan kondisi kehidupan biologi dalam tanah, mengandung zat makanan
bagi tanaman serta mampu membantu tanaman untuk menaikkan daya serap tanah
terhadap air, dimana air merupakan komponen penting dan sangat berfungsi bagi
pertumbuhan tanaman, khususnya air tanah yang digunakan oleh tumbuhan
sebagai bahan pertumbuhan melalui proses fotosintesis. Air diserap tanaman
melalui akar bersama dengan unsur hara yang larut di dalamnya, kemudian
diangkut melalui pembuluh xylem (Lakitan, 1996).
Cara umum yang biasa digunakan dalam proses pemupukan yaitu dengan
aplikasi secara langsung, namun ada juga yang melakukannya dengan pemadatan
(briket) terlebih dahulu sehingga akan terbentuk pupuk. Pemadatan dimaksudkan
agar tampilan lebih efisien tanpa mengurangi fungsi dari pupuk tersebut.
Hal lain yang penting dalam usaha rehabilitasi lahan selain metode
pemanfaatan lahan yang digunakan yang tidak kalah perannya adalah pemilihan
jenis tanaman. Jenis pohon yang ditanam untuk rehabilitasi lahan kritis harus
memiliki nilai adaptasi yang tinggi, tidak memerlukan syarat tumbuh yang banyak
dan memiliki pertumbuhan yang cepat. Dalam hal ini sukun (Artocarpus
communis) merupakan salah satu jenis tanaman yang cocok ditanam untuk
rehabilitasi lahan kritis. Selain itu, sukun juga merupakan jenis tanaman yang
dapat dijadikan sebagai alternatif penggganti bahan makanan yang dapat
memberikan solusi terhadap kondisi pangan yang saat ini sedang menjadi
permasalahan yang banyak mengundang perhatian. Menurut Hendalastuti dan
yang dipilih dalam kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Selain memiliki akar yang kuat dan tajuk yang lebar yang dapat mengurangi laju
erosi, sukun juga merupakan salah satu alternatif tanaman sumber pangan.
Sukun termasuk tanaman yang kompleks, jika dilihat dari sifat kayu sukun
merupakan jenis tanaman yang memiliki kualitas kayu yang baik, secara ekologi
sifat sukun tergolong tanaman yang mudah tumbuh baik pada kondisi basah
namun dapat pula tumbuh pada kondisi yang kurang air (lahan kering). Menurut
Koswara (2006) sukun merupakan tanaman tahunan yang tumbuh baik pada lahan
kering dengan tinggi pohon dapat mencapai 10 m atau lebih.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk merehabilitasi lahan pada suatu
areal yang curah hujannya sedikit dilakukan dengan pemupukan yang dapat
menahan air sehingga lebih tahan tehadap situasi kekeringan serta sukun yang
notabene merupakan tumbuhan yang mampu hidup pada kondisi kering sehingga
akan di peroleh suatu kondisi yang efektif terhadap pemberian pupuk dalam upaya
rehabilitasi lahan kritis terutama pada kondisi kekeringan. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pupuk kandang dan
pupuk kompos secara biasa dan briket yang terbaik dalam menahan air dan
Hipotesis Penelitian
Pemberian pupuk kandang dan pupuk kompos dengan berbagai dosis
melalui cara biasa dan dengan cara briket berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan bibit sukun (Artocarpus communis Forst).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi untuk
pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis dengan
penerapan pupuk yang efesien terhadap pertumbuhan tanaman serta mengetahui
tentang berapa lama tingkat toleransi (daya hidup) dan pertumbuhan bibit sukun
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Lahan KritisPengertian lahan kritis menurut Dephut (2009) yaitu suatu lahan baik yang
berada di dalam maupun di luar kawasan hutan yang telah mengalami kerusakan,
sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan
atau yang diharapkan. Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan
sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata
air). Menurunnya fungsi tersebut akibat dari penggunaan lahan yang kurang atau
tidak memperhatikan teknik konservasi tanah sehingga menimbulkan erosi, tanah
longsor dan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air dan lingkungan.
Luas lahan kritis di Indonesia berdasarkan data Direktorat PDAS, Ditjen
RLPS (2006), berupa lahan kritis (agak kritis, kritis dan sangat kritis) adalah
seluas 77.806.880,78 Ha, sedangkan yang prioritas untuk ditangani adalah lahan
dalam kategori sangat kritis dan sangat kritis seluas 30.196.799,92 Ha. Sedangakn
untuk wilayah Sumatera Utara luas lahan kritis berdasarkan data (Dephut, 2007)
yaitu seluas 6.745.587,5 ha sedangakan untuk lahan sangat kritis seluas
19.002.250,3 ha.
Karakteristik Lahan Kritis
Salah satu karakteristik lahan kritis ialah lahan yang kondisinya
mengalami cengkraman kekeringan akibat laju erosi yang tinggi maupun
intensitas curah hujan tahunan yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan tanah
yang berfungsi sebagai media penyimpan air yang terkandung di dalamnya tidak
dapat berfungsi maksimal sehingga berimplikasi terhadap pertumbuhan tanaman
pengusahaan lahan kering, yaitu: 1) erosi (terutama bila lahan miring dan tidak
tertutup vegetasi secara rapat), 2) kesuburan tanah (umumnya rendah sebagai
akibat dari proses erosi yang berlanjut) dan 3) ketersediaan air (sangat terbatas
karena tergantung dari curah hujan). Aspek lainnya adalah makin menurunnya
produktifitas lahan sehingga berpengaruh terhadap vegetasi yang berada pada
ruang lingkupnya. Ciri utama lahan kritis ialah gundul, berkesan gersang, dan
bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya
berbukit atau berlereng curam. Tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh
tingginya tingkat kemasaman tanah, kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya
kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik,
tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap
erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang
yang mendominasinya dengan sifat-sifat lahan padang alang-alang memiliki pH
tanah relatif rendah sekitar 4,8-6,2, mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan
rizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya
tanaman, terdapat reaksi alelopati dari akar rimpang alang-alang yang
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada lahan tersebut. Masalah utama yang
dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi
masam dan miskin unsur hara.
Rehabilitasi Lahan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Dephut (2006), adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan
lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung
Pada prinsip penerapannya upaya pemulihan lahan telah banyak dilakukan
dengan variasi metode, baik secara vegetatif, mekanis maupun konvensional yang
kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu agar lahan tersebut dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Salah satu cara untuk memulihkan
fungsi lahan agar berfungsi kembali yaitu dengan pemberian bahan organik
(pemupukan), cara ini berkaitan dengan peningkatan kesuburan tanah melalui
kandungan unsur hara yang diketahui sangat penting terhadap proses pertumbuhan
tanaman.
Menurut Syukur dan Harsono (2008), fungsi penting bahan organik antara
lain memperbaiki struktur tanah dan daya simpan air, mensuplai nitrat, sulfat, dan
asam organik untuk menghancurkan material, mensuplai nutrisi, meningkatkan
KPK dan daya ikat hara, serta sebagai sumber karbon, mineral, dan energi bagi
organisme. Keuntungan pupuk NPK antara lain nutrisi tinggi, mengandung unsur
kompleks, sesuai pada tanah marginal, dan dapat bersifat slow release. Stockdale
dkk. (2001) dalam Melati dan Wisdiyastuti (2005) menyatakan beberapa sumber
hara yang dapat digunakan dalam sistem pertanian organik adalah bahan organik
yang berasal dari pupuk kandang, pupuk hijau, limbah pertanian, pupuk hayati,
dan limbah rumah tangga/perkotaan. Sumber hara yang juga diperkenankan dalam
sistem pertanian organik adalah bahan galian tambang berupa kapur, batuan
fosfat, bio-super (campuran batuan dan mikroorganisme yang membantu proses
Metode Rehabilitasi Lahan dengan Bahan Organik 1. Pupuk Kandang
Sebagian besar masyarakat umumnya mengartikan pupuk kandang adalah
hasil akhir pembuangan (kotoran) hewan dan telah banyak diaplikasikannya
dalam kegiatan bercocok tanam. Pupuk kandang merupakan hasil samping yang
cukup penting, terdiri dari kotoran padat dan cair dari hewan ternak yang
bercampur sisa makanan, dapat menambah unsur hara dalam tanah.
Menurut Arsyad (1989) menyatakan bahwa bahan organik yang telah
lapuk mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air yang tinggi. Sementara
Musnamar (2002), bahan organik mempunyai kemampuan menyerap air 80-90%
dari berat totalnya.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah terutama pada tanah yang
mempunyai kadar liat yang tinggi dapat memperbaiki struktur tanah yang menjadi
lebih lemah, distribusi ruang pori menjacli lebih merata dan kapasitas memegang
air meningkat. Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya
unsur hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah
yang dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot
volume total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air.
2. Pupuk Kompos
Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan
atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganisme yang bekerja di
dalamnya. Bahan – bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan,
rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang
pemberian kompos dapat memperbaiki struktur tanah. Pada tanah pasiran,
pemberian kompos dapat meningkatkan daya ikat partikel tanah. Sedangkan pada
tanah yang berat dapat mengurangi ikatan partikel tanah sehingga strukturnya
menjadi remah. Kompos dapat meningkatkan kapasitas menahan air, aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah dan ketersediaan unsur hara tanah. Selain itu,
kompos juga dapat menyediakan sumber energi bagi aktifitas organisme tanah
baik makro maupun mikro yang berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah
melalui proses peningkatan humus.
Tabel 1. Kandungan Unsur Hara dalam Kompos
Unsur Hara Jumlah
Nitrogen (N) 1,33 %
Sumber : Nan Djuarni, Kristian dan Budi (2005) dalam Suhut dan Salundik ( 2006)
Penggunaan Briket Pupuk
Salah satu bentuk aplikasi pupuk selain dengan penggunaan secara
langsung ialah dengan metode pemadatan (briket). Penggunaan pupuk briket pada
lahan yang marginal dapat meningkatkan kadar bahan organik tanahnya, serta
dapat meningkatkan kapasitas menyimpan air. Menurut Herawady (2004),
pemberian briket kompos serta air dapat memperbaiki sifat fisik tanah serta
mampu menyimpan air jika dicampurkan ke dalam media tumbuh. Sementara
menurut Annafi (2004), briket orgaik (kompos dan kandang) selain dapat
digunakan sebagai media tanam dan pupuk organik juga dapat menjadi alternatif
pemberian kompos terhadap tanah dan tanaman, jika di digunakan pada lahan
lahan marginal, dapat meningkatkan bahan organik tanahnya dan dapat
meningkatkan kapasitas menyimpan air.
Fungsi Air Bagi Tanaman
Air merupakan faktor penting untuk pertumbuhan tanaman. Air berfungsi
sebagai penyusun tubuh tanaman, pelarut dan medium reaksi biokimia, medium
transport senyawa, memberikan turgor bagi sel, bahan baku fotosintesis dan
menjaga suhu tanaman supaya konstan, evaporasi air untuk mendinginkan
permukaan (Gardner dkk., 1991).
Air adalah komponen utama tanaman hijau. Kandungan air bervariasi
antara 70-90%, tergantung pada umur, spesies jaringan tertentu dan lingkungan.
Air dibutuhkan untuk bermacam-macam fungsi tanaman seperti:
1. Sebagai komponen sel terbesar
2. Pelarut unsur hara dan media transportasi
3. Media yang baik untuk reaksi biokimia
4. Rektan pada beberapa reaksi metabolisme, misalnya fotosintesis
5. Pembentuk struktur sel melalui pengaturan tekanan turgor, misalnya daun
6. Media pergerakan gamet dalam peristiwa pembuahan
8. Pengatur pergerakan tumbuhan karena keluar-masuknya air, misalnya
pergerakan diurnal, pembukaan dan penutupan stomata dan bunga mekar.
9. Pengatur pemanjangan sel dan pertumbuhan
10.Menstabilkan suhu
11.Penting dalam proses evolisi, baik tumbuhan di daerah kering (xerofit),
sedang (mesofit) dan lembab (hidrofit).
(Gardner dkk., 1991).
Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman dapat didefenisikan sebagai jumlah air yang
diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui evapotranspirasi tanaman
yang sehat, tumbuh pada sebidang tanah yang luas dengan kondisi tanah yang
tidak mempunyai kendala (kendala lengas tanah dan kesuburan tanah) dan
mencapai potensi produksi penuh pada kondisi lingkungan tumbuh tertentu
(Sumarno, 2004).
Tumbuhan memerlukan sumber air yang tetap untuk tumbuh dan
berkembang, karena adanya kebutuhan air yang tinggi dan pentingnya air. Setiap
kali air menjadi terbatas, pertumbuhan berkurang dan biasanya berkurang pula
hasil panen tanaman budidaya. Jumlah hasil panen ini dipengaruhi oleh genotif
yang kekurangan air dan tingkat perkembangan (Gardner dkk., 1991).
Kekurangan air tanaman terjadi karena ketersediaan air dalam media
tidak cukup dan transpirasi yang berlebihan atau kombinasi kedua faktor tesebut.
Di lapangan walaupun di dalam tanah air cukup tersedia, tanaman dapat
mengalami cekaman (kekurangan air). Hal ini terjadi jika kecepatan absorpsi tidak
Respon tanaman terhadap kekeringan dapat diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu tanaman yang menghindari kekeringan (drought avoiders) dan tanaman
yang mentoleransi kekeringan (drought tolerators). Tanaman yang menghindari
kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia maksimum antara
lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun.
Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau
mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensivitas
stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup
penyesuaian osmotik (Sinaga, 2008).
Hubungan Tanaman dan Air Tanah
Air merupakan komponen utama dalam tumbuhan, dimana air menyusun
60-90% dari berat daun. Jumlah air yang dikandung tiap tanaman berbeda-beda,
hal ini bergantung pada habitat dan jenis spesies tumbuhan tersebut (Fitter dan
Hay, 1981).
Air yang tersedia dalam tanah adalah selisih antara air yang terdapat pada
kapasitas lapang dan titik layu permanen. Cekaman kekeringan pada tanaman
disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air
yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju evapotranspirasi melebihi laju
absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air oleh akar tanaman dipengaruhi oleh
laju transpirasi, sistem perakaran dan ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996).
Jika kadar air tanah di daerah perakaran rendah, akar tumbuhan akan
mengabsorbsi air secepatnya pada tanah lapisan atas. Begitu tanah mulai
ke lapisan bawah. Dengan cara demikian secara progresif akar menyerap air
tersedia (Hakim dkk., 1986).
Pada dasarnya, semua tanaman, pada tingkatan tertentu mempunyai
resistensi terhadap cekaman air. Yang dimaksud dengan resistensi terhadap
cekaman air adalah berbagai cara yang dilakukan oleh tanaman agar tetap dapat
tumbuh dengan baik pada kondisi kekurangan air. Tanaman resisten terhadap
cekaman air karena protoplasmanya mempunyai toleransi dehidrasi sehingga
terjadinya dehidrasi tidak menyebabkan kerusakan yang tetap (permanent) dan
dapat juga disebabkan oleh protoplasmanya mempunyai struktur atau ciri
fisiologis yang dapat menghindari atau menunda tingkatan pengeringan
(desication) yang mengakibatkan kematian tanaman (Islami dan Utomo, 1995).
Pengaruh Stres Air Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Organ Tanaman
Menurut Haryati (2000) stres air dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan organ tanaman antara lain:
a. Pembelahan dan pembesaran sel
Pengaruh yang paling penting dari kekeringan yaitu pengurangan luas
daun permukaan fotosintesis (source) karena 2 faktor, yaitu adanya penurunan
proses perluasan daun dan karena terlalu awalnya terjadi proses penuaan
(senence) pada daun. Stres air yang sedikit saja, beberapa bars -1 sampai -3
menyebabkan lambat atau berhentinya pembelahan dan pembesaran sel
b. Perangkat fotosintesis
Pengaruh stres air terhadap proses fotosintesis bisa juga melalui pengaruh
pada kandungan dan organisasi klorofil dalam kloroplas di dalam jaringan atau sel
yang aktif berfotosintesis. Stres air dapat menurunkan kandungan klorofil daun.
c. Sistem reproduksi
Sistem reproduksi tanaman menentukan kapasitas sink tanaman tersebut.
Pengaruh lingkungan terhadap sistem reproduksi (pembungaan, pembuahan,
pengisian biji atau buah) juga memiliki pengaruh terhadap sink. Stres air (tanpa
irigasi) memperlambat munculnya bunga yang akibatnya memperpendek periode
pengisian biji sehingga meningkatkan kandungan air dalam biji.
d. Layu dan menggulungnya daun
Respon terhadap adanya stres air ini dapat diamati secara visual. Adanya
respon layu dan menggulungnya daun berarti terhambatnya fotosintesis baik
karena menutupnya stomata dan karena berkurangnya luas permukaan fotosintetis.
Stres air (kekeringan) pada tanaman dapat disebabkan oleh dua hal yaitu
kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan
oleh daun, dimana laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar
tanaman, walaupun keadaan air tanah cukup (jenuh). Stres air pada tanaman dapat
terjadi pada keadaan air tanah tidak kekurangan (Haryati, 2000).
Rendahnya ketersediaan hara pada keadaan kekeringan menunjukkan
bahwa kekeringan mengurangi ketersediaan hara bagi tanaman. Hal ini
ditunjukkan oleh menurunnya total serapan hara tanaman. Jika konsentrasi hara
padahal kekeringan menghambat pertumbuhan, berarti total serapan hara menjadi
berkurang. Jika konsentrasi menurun, maka ketersediaan hara tanah lebih
dihambat daripada pertumbuhan. Hal ini dapat terjadi bila sebagian besar hara
berada pada permukaan tanah (lapisan tanah) yang menjadi kering, sedangkan
akar tanaman memperoleh air (untuk pertumbuhan) dari lapisan yang lebih dalam
(Haryati, 2000).
Pengaruh Pemberian Bahan Organik terhadap Sifat Fisik Tanah, Evapotranspirasi dan Pertumbuhan Tanaman
Bahan organik adalah bagian dari tubuh tanah yang merupakan suatu
sistem yang kompleks dan dinamis, berasal dari sisa tanaman dan hewan yang
mengalami perubahan bentuk secara terus menerus. Perubahan tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor fisik, kimia serta biologi.
Pengaruh pemberian bahan organik terhadap sifat fisik tanah mencakup :
(1) memperbaiki dan membantu pembentukan struktur tanah yang baik, (2)
meningkatkan porositas tanah, (3) memperbaiki drainase tanah, (4) meningkatkan
kapasitas menahan air, (5) menjaga kelembaban tanah, (6) meningkatkan
kemampuan infiltrasi tanah, dan (7) menurunkan erobilitas tanah (Herawady,
2004).
Peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah
dan permukaan air ke udara disebut evaporasi. Peristiwa penguapan air dari
tanaman disebut transpirasi, dan jika keduanya terjadi bersama sama disebut
evapotranspirasi.
Kehilangan air pada tanah dapat dikurangi dengan menambahkan bahan
organik. Bahan organik mampu meningkatkan kemampuan meretensi air tanah
Pertumbuhan tanaman saat dimulai dari kecambah hingga dewasa
dipengaruhi oleh bahan organik. Sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam tanah
mampu merangsang pertumbuhan kecambah tanaman. Bahan organik yang
terdekomposisi mampu melepas unsur hara dan asam asam yang membantu
pertumbuhan. Asam-asam tersebut mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman.
Humus yang bersal dari bahan organik terdekomposisi sempurna bila terlarut
dalam air akan mengeluarkan enzim yang mampu merangsang pertumbuhan
tanaman ( Herawady, 2004).
Taksonomi Sukun
Sukun (A. communis) adalah tumbuhan dari genus Artocarpus dalam
famili Moraceae yang banyak terdapat di kawasan tropika seperti Malaysia dan
Indonesia. Ketinggian tanaman ini bisa mencapai 20 meter (Dephut, 1998).
Taksonomi tanaman sukun dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivision : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Subclass : Hamamelidae
Ordo : Urticales
Family : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus communis Forst
Karakteristik Sukun
Tanaman sukun memiliki kulit kayu berserat kasar, dan semua bagian
tanaman bergetah encer. Daunnya lebar, bercagap menjari dan berbulu kasar.
Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting, tetapi masih
dalam satu pohon (berumah satu). Bunga jantan berbentuk tongkat panjang yang
biasa disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai pendek yang biasa
disebut babal seperti pada nangka. Bunga betina ini merupakan bunga majemuk
sinkarpik seperti pada nangka. Kulit buah bertonjolan rata sehingga tidak jelas
yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik tersebut (Sunarjono, 1998).
Syarat Tumbuh Sukun
Tanaman sukun dapat tumbuh dan dibudidayakan pada berbagai jenis
tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian kurang lebih
600 m dari permukaan laut. Sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit
maupun curah hujan yang tinggi antara 1800 – 2250 mm per tahun dengan
kelembaban 60% – 80%, namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup
banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh lebih baik di
tempat yang lebih panas, dengan temperatur antara 150C – 380C (Irwanto, 2006).
Kegunaan Tanaman Sukun
Kegunaan dari tanaman sukun adalah sebagai berikut:
1. Buahnya dapat digunakan sebagai bahan makananan pokok (cadangan
Tabel 2. Perbandingan Komposisi Kandungan Gizi Sukun dengan Beberapa Bahan Pangan Lainnya dalam 100 gram
Jenis Bahan Pangan
Energi (Kal)
Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)
2. Bunganya dapat diramu sebagai obat. Bunganya juga dapat menyembuhkan
sakit gigi.
3. Daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak, dan dapat juga diramu sebagai
obat, yaitu menurunkan tekanan darah.
4. Kayu sukun tidak terlalu keras tapi kuat, elastis dan tahan rayap, digunakan
sebagai bahan bangunan antara lain mebel, partisi interior, papan selancar dan
peralatan rumah tangga lainnya. Serat kulit kayu bagian dalam dari tanaman
muda dan ranting dapat digunakan sebagai material serat pakaian.
(Irwanto, 2006).
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Padang Lawas Utara adalah salah satu
kabupaten ini adalah2 dan memiliki 9
kecamatan dimana salah satu kecamatannya adalah kecamatan Halongonan
tepatnya desa Hutaimbaru yang merupakan lokasi penelitian dilaksanakan. Padang
berbagai kecamatan, sehingga perlu dilakuan suatu tindakan yang dapat
menjadikan lahan tersebut dapat berfungsi dengan baik (Pramono, 2002).
Secara astronomis lokasi penelitian berada pada 010 38’ 28,5’’ LU dan
0990 53’ 28,6’’BT. Daerah ini memiliki topografi dataran sampai bergelombang
dan berbahan induk batuan sedimen halus hingga kasar dan jenis tanahnya
sebagian besar adalah ultisol. Berdasarkan curah hujan pada tahun 1994 hingga
2000 memperlihatkan bahwa curah hujan tahunan berkisar 1077 mm hingga 3400
mm dengan bulan basah mulai dari September hingga mei. Menurut klasifikasi
Oldmen, daerah ini termasuk beriklim tipe C1 yaitu jumlah bulan basah (>200
mm) adalah 4-5 bulan dan jumlah bulan kering (>100 mm) adalah 7-8 bulan.
(Pramono, 2002).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan Mei
2011. Penelitian ini dilaksanakan di desa Hutaimbaru, kecamatan Halongonan,
kabupaten Padang Lawas Utara, serta perhitungan kadar air pupuk di
Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Universitas
Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, jangka sorong,
penggaris, pita ukur, alat tulis, pisau cutter, timbangan, cetakan kempa, ember,
panic, kompor, mug, oven , digital thermo-hygro meter dan kamera. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bibit tanaman sukun (A. communis Forst)
umur 3 bulan, label, kompos, pupuk kandang, tepung kanji, dan air.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
nonfaktorial dengan perlakuan yakni:
Dosis : P0 = 0 kg (Kontrol)
P1 = 0,5 kg (Pupuk Kandang)
P2 = 1 kg (Pupuk Kandang)
P3 = 1,5 kg (Pupuk Kandang)
P4 = 0,5 kg (Kompos)
P5 = 1 kg (Kompos)
P7 = 0,5 kg (Briket Pupuk Kandang)
P8 = 1 kg (Briket Pupuk Kandang)
P9 = 1,5 kg (Briket Pupuk Kandang)
P10 = 0,5 kg (Briket Kompos)
P11 = 1 kg (Briket Kompos)
P12 = 1,5 kg (Briket Kompos)
Dilakukan sebanyak 3 kali ulangan sehingga didapat jumlah bibit sukun
sebanyak 78 bibit.
Model linear rancangan acak kelompok non faktorial yang digunakan
dalam percobaan ini adalah:
Yij= µ + τi+ βj+ Єij
Keterangan:
Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j yang mendapat perlakuan
pemberian pupuk ke-i
µ = Nilai rataan
τi = Pengaruh pemberian pupuk ke-i
βj = Pengaruh ulangan (kelompok) ke-j
Єij = Galat percobaan pada ulangan ke-j dalam perlakuan pemberian pupuk
ke-i
Apabila Anova berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjutan
berdasarkan uji jarak DMRT (Duncan’s Multiple Range Test)
Prosedur Penelitian
1. Penyiapan Bahan Tanaman
Bibit tanaman sukun yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari
peangkar bibit tanaman sukun cv. Pati nutseri yang berada di daerah Tanjung
Morawa Kabupaten Deli Serdang. Bibit sukun ini merupakan hasil perbanyakan
vegetatif stek akar. Bibit yang dibawa merupakan bibit yang telah diseleksi
sehingga memiliki umur yang seragam (umur 3 bulan) dan memiliki kesehatan
serta keadaan fisik bibit yang sama baiknya.
2. Pembuatan Briket Pupuk
Proses awal pembuatan briket ialah pemasakan tepung kanji yang
dijadikan sebagai perekat, kanji dimasukkan dalam panci kemudian ditambahkan
air dengan perbandingan 1 : 7, setelah terbentuk perekat, pupuk kandang dan
kompos yang akan dijadikan briket diambil dan dicampur dengan perekat dengan
perbandingan 7 : 1, kemudian diaduk hingga merata. Setelah itu, pupuk yang telah
diaduk dilakukan proses penyetakan, kemudian dilakukan pengempaan yang
bertujuan untuk memperkuat rekatan antara pupuk dan bahan perekat. Tahap akhir
pembuatan pupuk briket ini yaitu pengeringan alami di bawah sinar matahari
hingga pupuk benar benar kering.
3. Perhitungan Kadar Air
Pupuk organik dalm bentuk biasa dan briket di hitung kadar airnya dengan
menggunakan rumus :
KA = Berat awal – Berat oven / Berat awal x 100%
Dimana pupuk ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1050 C
4. Aklimatisasi
Aklimatisasi yang dimaksud adalah penyesuaian bibit terhadap lokasi
baru yang hampir sama dengan lokasi penelitian. Tanaman diletakkan pada tempat
yang tidak langsung terkena sinar matahari kemudian disiram dengan perlakuan
normal. Kegiatan ini dilakukan selama kurang lebih satu minggu dan setelah itu
dipindahkan ke lapangan untuk selanjutnya melakukan kegiatan penelitian.
5. Persiapan Lubang Tanam
Sebelum melakukan kegiatan penanaman, terlebih dahulu melukukan
pembuatan lubang tanman. Lubang tanam digali dengan ukuran 30 x 30 cm dan
kedalaman 30 cm. Penanamn dilakukan dengan pembuatan jalur, dimana setiap
jalur terdapat dua lobang tanamam yang akan digunakan.
6. Penanaman di Lapangan
Kegiatan di lapangam meliputi penanaman bibit sukun (A. communis)
dengan sistem jalur dan tiga kali pengulangan, dimana setiap jalur ditanam
sebanyak dua bibit, hal ini bertujuan untuk mengatasi masalah kemungkinan
terjadinya eror lapangan. Bibit ditanaman sesuai dengan perlakuan masing masing
yaitu baris 1 tanpa perlakuan (kontrol), baris 2 pupuk kandang 0.5 kg, baris 3
pupuk kandang 1 kg, baris 4 pupuk kandang 1.5 kg, baris 5 briket kandang 0.5 kg,
baris 6 briket kandang 1 kg, baris 7 briket kandang 1.5, baris 8 pupuk komos 0.5
kg, baris 9 pupuk kompos 1 kg, baris 10 pupuk kompos 1.5 kg, baris 11 briket
kompos 0.5 kg, baris 12 briket kompos 1 kg, baris 13 briket kompos 1.5 kg.
Briket yang akan digunakan terlebih dahulu direndam selama kurang
bibit yang ditanam. Setelah ditanam, bibit disiram selama 1 minggu pagi dan sore,
hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko stress bibit serta berkaitan dengan
proses adaptasi terhadap lingkungan. rumah kaca meliputi penerapan perlakuan
yang telah ditentukan pada masing-masing satuan percobaan yaitu penyiraman.
7. Parameter Penelitian
Pengamatan terhadap parameter dilakukan setiap dua minggu sekali
selama 3 bulan, dimana parameter yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tinggi Bibit
Pengambilan data parameter tinggi tanaman dilakukan sejak hari pertama
mulai penelitian. Pengukuran ini menggunakan pita ukur dan penggaris.
Pengukuran tinggi yang dilakukan adalah 1 cm di atas titik awal pertumbuhan
tunas, dan pada titik tersebut diberi tanda untuk memudahkan pengukuran dan
menghindari kesalahan pengukuran.
Diameter Bibit
Pengambilan data diameter dilakukan dua minggu sekali, dimana
pengukuran tersebut dilakukan sejak hari pertama mulai penelitian. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran diameter yang
dilakukan adalah 1 cm di atas titik awal pertumbuhan tunas, dan pada titik
tersebut diberi tanda untuk memudahkan pengukuran dan menghindari kesalahan
Jumlah Daun
Penghitungan jumlah daun juga dimulai pada hari pertama penelitian.
Kemudian perhitungan berikutnya dilakukan pada akhir penelitian. Daun yang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perhitungan Suhu dan KelembabanHasil pengamatan lapangan diperoleh data suhu dan kelembaban sebagai
berikut:
Tabel 3. Data suhu dan kelembaban dari pengamatan 1 hingga pengamatan 6
Pengamatan Total Rata-rata
Pertambahan Tinggi Bibit Sukun (cm)
Tinggi merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam mengamati
pertumbuhan bibit. Rata-rata pertambahan tinggi bibit sukun dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4. Data pertambahan tinggi bibit sukun (cm)
Perlakuan Rata-rata pertambahan tinggi bibit
sukun (cm)
Gambar 2. Rata-rata Pertambahan Tinggi Bibit Sukun Keterangan:
P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Berdasarkan Gambar 2 tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan
tertinggi adalah perlakuan P7 yaitu 7.67 cm, sedangkan rata rata pertambahan
tinggi yang paling rendah adalah perlakuan P0 yaitu 3.33 cm. Berikut grafik
Gambar 3. Rata-Rata Tinggi Bibit Sukun Tiap Pengamatan Keterangan:
P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Berdasarkan Gambar 3, seluruh bibit memperlihatkan pertambahan tinggi
hingga akhir pengamatan. Setiap perlakuan hanya menunjukkan pertambahan
tinggi rata rata 1-3 cm pada tiap minggu pengamatan. Laju pertambahan tinggi
bibit pada tiap minggu pengamatan yang paling signifikan adalah P7 kemudian P10
dan P9, sedangkan laju pertambahan tinggi bibit yang rendah adalah P0.
Jika dilihat rata-rata pertumbuhan antar perlakuan, menunjukkan bahwa
pertumbuhan bibit dibandingkan dengan cara biasa, namun seluruh perlakuan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar berikut:
Gambar 4. Rata-rata perbandingan tinggi bibit sukun antar perlakuan
Dari Gambar 4 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan tinggi
terbaik adalah pupuk kompos biasa yaitu 7.67 cm, sedangkan pupuk kompos
briket adalah 7.00 cm. Hal yang sama juga terjadi pada perlakuan pupuk kandang,
dimana nilai rata-rata pertumbuhan tinggi bibit dengan pupuk kandang biasa lebih
baik yaitu 6.00 cm dibandingkan perlakuan pupuk kandang briket yaitu 4.78 cm.
Pertambahan Diameter Bibit Sukun (cm)
Hasil pengamatan rata-rata pertambahan diameter bibit sukun disajikan
Tabel 5. Data pertambahan diameter bibit sukun (cm)
Perlakuan Rata-rata pertambahan diameter bibit
sukun (cm)
Kontrol 0.000a
Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg 0.097ab
Pupuk Kandang Biasa 1 kg 0.157ab
Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg 0.097ab
Pupuk Kandang Briket 0.5 kg 0.107ab
Pupuk Kandang Briket 1 kg 0.107ab
Pupuk Kandang Briket 1.5 kg 0.137ab
Kompos Biasa 0.5 kg 0.127ab
Kompos Biasa 1 kg 0.203ab
Kompos Biasa 1.5 kg 0.120ab
Kompos Briket 0.5 kg 0.153ab
Kompos Briket 1 kg 0.287b
Kompos Briket 1.5 kg 0.210b
Total 1.802
Rata-rata pertambahan diameter bibit sukun juga disajikan dalam bentuk
gambar sebagai berikut :
Keterangan: P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan perbedaan tingkat
pertambahan diameter pada masing-masing perlakuan. Nilai pertambahan
diameter terbesar adalah P11 yaitu 0.29 cm dan nilai terendah yaitu kontrol sebesar
0 cm yang berarti tidak mengalami pertambahan diameter. Berikut Gambar rata-
rata pertambahan diameter setiap pengamatan :
Keterangan: P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa laju pertambahan diameter bibit
sukun tiap pengamatan berbeda beda. Rentang pertumbuhan diameter setiap
pengamatan berkisar antara 0.01 cm – 0.22 cm. Laju pertambahan diameter bibit
pada tiap minggu pengamatan yang paling signifikan adalah P11 kemudian P8 lalu
P2, sedangkan laju pertambahan diameter bibit yang rendah adalah P0 dimana tidak
terjadi pertambahan diameter.
Berikut ini nilai rata-rata pertambahan diameter bibit sukun antar
perlakuan:
Dari Gambar 7 tersebut menunjukkan perbedaan nilai rata-rata antar
perlakuan, dimana nilai terbesar adalah pada perlakuan pupuk kompos briket yaitu
0.17 cm dibandingkan dengan pupuk kompos biasa sebesar 0.15 cm. Hal ini
memang terlihat nyata jika dilihat secara grafis, namun berdasarkan pengolahan
analisis data bahwa pemberian pupuk dengan cara briket tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit sukun.
Pengamatan Jumlah Daun Bibit Sukun
Hasil pengamatan rata rata jumlah daun disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 6. Data pengamatan rata-rata jumlah daun bibit sukun (helai)
Perlakuan Rata-rata pengamatan rata-rata
jumlah daun bibit sukun (helai)
Kontrol 1.33a
Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg 3.33ab
Pupuk Kandang Biasa 1 kg 3.33 ab
Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg 4.00 ab
Pupuk Kandang Briket 0.5 kg 4.00 ab
Pupuk Kandang Briket 1 kg 3.67 ab
Pupuk Kandang Briket 1.5 kg 5.33b
Kompos Biasa 0.5 kg 4.67 b
Kompos Biasa 1 kg 5.33 b
Kompos Biasa 1.5 kg 4.67 b
Kompos Briket 0.5 kg 4.00ab
Kompos Briket 1 kg 4.33b
Kompos Briket 1.5 kg 4.00ab
Total 51.99
Hasil pengamatan jumlah daun bibit sukun juga disajikan dalam bentuk
Gam
bar 8. Rata-rata jumlah daun bibit sukun
Keterangan: P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Berdasarkan Gambar 8 di atas dapat dilihat rata-rata jumlah daun
menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai rata-rata jumlah daun tertinggi adalah P6
dan P8 yaitu 5.33 sedangkan nilai rata rata terendah ialah P0 (kontrol) yaitu 1.33.
Gambar 9. Rata-rata jumlah daun bibit sukun tiap pengamatan
Keterangan: P0= kontrol
P1 = Pupuk Kandang Biasa 0.5 kg P2 = Pupuk Kandang Biasa 1 kg P3 = Pupuk Kandang Biasa 1.5 kg P4 = Pupuk Kandang Briket 0.5 kg P5 = Pupuk Kandang Briket 1 kg P6 = Pupuk Kandang Briket 1.5 kg P7 = Pupuk Kompos Biasa 0.5 kg P8 = Pupuk Kompos Biasa 1 kg P9 = Pupuk Kompos Biasa 1.5 kg P10 = Pupuk Kompos Briket 0.5 kg P11 = Pupuk Kompos Briket 1 kg P12 = Pupuk Kompos Briket 1.5 kg
Berdasarkan Gambar 9 di atas, menunjukkan bahwa rata rata jumlah daun
bibit sukun memiliki nilai yang beragam. Pada pengamatan ke 5 seluruh
perlakuan menunjukkan grafik yang cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh
faktor cuaca yang sangat ekstrim dimana berdasarkan hasil pengamatan suhu dan
Berikut gambar perbandingan rata rata jumlah daun antar perlakuan :
Gambar 10. Rata-rata perbandingan jumlah daun antar perlakuan
Berdasarkan gambar 10 di atas menunjukkan nilai rata-rata jumlah antar
perlakuan terbesar adalah pupuk kompos biasa sebesar 4.89 dan yang terendah
adalah tanpa perlakuan (kontrol) sebesar 1.33. Hal ini menunjukkan bahwa
perlakuan memberi pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Akan tetapi pemberian
pupuk dengan cara briket tidak memberikan pengaruh nyata jika dibandingkan
dengan pemberian pupuk cara biasa.
Pembahasan
Berdasarkan beberapa paramater yang diamati, menunjukkan nilai
tertinggi dari parameter tinggi bibit adalah pupuk kompos biasa 0.5 kg (P7) yaitu
7.67 cm, sedangkan pupuk kompos 0.5 kg dengan cara briket (P10) adalah 7.33
cm. Hal serupa juga terjadi pada pupuk kandang dimana nilai rata pertumbuhan
pupuk kandang dengan cara biasa 1.5 kg (P3) lebih baik yaitu 7.00 cm dibanding
menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik dengan cara briket tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit sukun
dibandingkan pemberian dengan cara biasa. Hal ini terjadi karena orientasi dari
proses pembriketan pupuk tersebut adalah nilai jumlah sedangkan dalam proses
pembuatan briket faktor yang dititikberatkan adalah kerapatan, dimana kerapatan
sangat dipengaruhi oleh berat benda dengan volume benda tersebut, sehingga
pengaruh terhadap pengaplikasiannya juga akan sangat berpengaruh. Selain faktor
kerapatan, pemberian pupuk dengan cara briket tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan bibit sukun didukung pula oleh faktor pengaruh tekanan
yang berdampak pada kebaradaan pori pupuk briket. Proses pembuatan pupuk
briket dengan metode konvensional memberikan perbedaan yang signifikan
terhadap proses teknis serta sifat fisik briket. Dengan tekanan yang terlalu besar
mengakibatkan briket mengalami tekanan yang besar pula sehingga pori pori pada
briket yang berfungsi sebagai saluran suplai air menjadi kecil, akibatnya proses
suplai air ke tanaman menjadi terhambat.
Nilai pertambahan diameter terbesar adalah P11 yaitu 0.29 cm dan nilai
terendah yaitu kontrol yang tidak mengalami pertambahan diameter. Hal ini
dikarenakan kondisi lingkungan yang ekstrim dengan suhu yang lebih dari 400 C
mengakibatkan tumbuhan cepat kehilangan air sehingga pertumbuhan menjadi
tetap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irwanto (2006) bahwa tanaman sukun
tumbuh lebih baik di tempat yang lebih panas, dengan temperatur antara 150C –
380C.
Lahan tempat dilakukannya penelitian ini adalah lahan marginal atau lahan
sangat mendominasi dalam mempengaruhi proses pertumbuhan sehingga proses
pertumbuhan begitu lambat. Dapat dilihat dari data bahwa pertambahan diameter
bibit sukun hanya berkisar 0.01-0.22 cm. Pernyataan ini sesuai dengan Dephut
(2006) salah satu karakteristik lahan kritis ialah lahan yang kondisinya mengalami
cengkraman kekeringan akibat laju erosi yang tinggi maupun intensitas curah
hujan tahunan yang sangat rendah. Hal ini menyebabkan tanah yang berfungsi
sebagai media penyimpan air yang terkandung di dalamnya tidak dapat berfungsi
maksimal sehingga berimplikasi terhadap pertumbuhan tanaman yang juga
menjadi tidak maksimal.
Pengamatan rata rata jumlah daun tertinggi yaitu P6 dan P8 yaitu 5.33
sedangkan nilai rata rata terendah ialah kontrol yaitu 1.33. Daun merupakan aspek
penting dalam proses fotosintesis yang menghasilkan zat yang dibutuhkan
tumbuhan dalam proses pertumbuhan, sementara sinar matahari juga merupakan
komponen penting dalam proses fotosintesis yang didukung pula oleh keberadaan
air. Intensitas cahaya yang sedikit tidak memberikan dampak optimal terhadap
proses fotosintesis, namun intensitas cahaya yang terlalu besar juga tidak baik
dalam proses fotosintesis karena akan dapat merusak pigmen-pigmen daun.
Kondisi di lapangan ditemukan fakta bahwa temperatur yang tinggi serta
ketersediaan air tidak mendukung sehingga mengakibatkan laju fotosintesis
menjadi lambat. Pada kontrol, rata rata pertambahan jumlah daun hanya 1.33,
paling rendah diantara perlakuan yang lai. Hal ini disebabkan oleh faktor
ketersedian air yang merupakan asapek penting dalam proses fotosintesis,
sementara pada perlakuan P6 hingga P8 memperoleh rata rata pertambahan jumlah
penyimpan air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fitter dan Hay (1981),
kekurangan air akan mengganggu aktivitas fisiologis maupun morfologis,
sehingga mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Defisiensi air yang terus
menerus akan menyebabkan perubahan irreversible (tidak dapat balik) dan pada
gilirannya tanaman akan mati
Pengamatan jumlah daun bibit sukun memiliki nilai yang beragam. Pada
pengamatan ke 5 seluruh perlakuan menunjukkan grafik yang codong menurun.
Hal ini diakibatkan oleh faktor cuaca yang sangat ekstrim dimana berdasarkan
hasil pengamatan suhu dan kelembaban pada pengamatan ke 5 yaitu 46.8 0C dan
kelembaban 36% . Hal ini mengakibatkan pigmen daun banyak yang rusak dan
akhirnya menggugurkan daun sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan.
Pernyataan di atas sesuai dengan Haryati (2000) yang menyatakan bahwa respon
terhadap adanya stres air ini dapat diamati secara visual. Adanya respon layu dan
menggulungnya daun berarti terhambatnya fotosintesis baik karena menutupnya
stomata dan karena berkurangnya luas permukaan fotosintesis.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontrol, pupuk
kandang biasa, pupuk kandang dengan cara briket, kompos biasa dan kompos
dengan cara briket. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stockdale dkk. (2001) dalam
Melati dan Wisdiyastuti (2005) menyatakan beberapa sumber hara yang dapat
digunakan dalam sistem pertanian organik adalah bahan organik yang berasal dari
pupuk kandang, pupuk hijau, limbah pertanian, pupuk hayati, dan limbah rumah
tangga/perkotaan.
Berdasarkan data rata-rata perbandingan antar perlakuan, dari parameter
7.67 cm, lebih tinggi dibandingkan pupuk kompos briket sebesar 7.00 cm,
sedangkan pupuk kandang biasa juga lebih tinggi daripada pupuk kandang briket
yaitu masing-masing sebesar 6.00 cm dan 4.78 cm. Dari data penambahan
diameter diperoleh bahwa nilai rata-rata pertambahan diameter bibit tanpa
perlakuan sebesar 0 cm, pupuk kandang biasa sebesar 0.12, dimana lebih tinggi
dari pupuk kandang briket sebesar 0.10 cm. Namun, kompos briket lebih besar
penambahan diameter dibanding dengan kompos biasa yaitu masing-masing
sebesar 0.17 cm dan 0.15 cm. Dari data perbandingan jumlah daun antar
perlakuan diketahui bahwa pupuk kandang biasa dan pupuk kandang briket
memiliki nilai rata-rata yang sama yaitu 3.55, sedangkan pupuk dan kompos biasa
lebih tinggi dibandingkan pemberiaan pupuk dengan cara briket yaitu 4.89 dan
4.11. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pemberian perlakuan lebih baik
daripada kontrol. Hal ini dikarenakan adanya penambahan bahan organik ke
dalam tanah yang berfungsi sebagai media penyuplai air dan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman. Sesuai dengan pernyataan Musnamar (2002), bahan organik
mempunyai kemampuan menyerap air 80-90% dari berat totalnya. Penambahan
bahan organik ke dalam tanah terutama pada tanah yang mempunyai kadar liat
yang tinggi dapat memperbaiki struktur tanah yang menjadi lebih lemah,
distribusi ruang pori menjacli lebih merata dan kapasitas memegang air
meningkat. Pemberian pupuk kandang selain dapat menambah tersedianya unsur
hara, juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Beberapa sifat fisik tanah yang
dapat dipengaruhi pupuk kandang antara lain kemantapan agregat, bobot volume
total ruang pori, plastisitas dan daya pegang air. Pernyataan di atas didukung pula
mikroorganisme di dalam tanah dan ketersediaan unsur hara tanah. Selain itu,
kompos juga dapat menyediakan sumber energi bagi aktifitas organisme tanah
baik makro maupun mikro yang berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanPemberian pupuk dengan cara briket tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit sukun.
Saran
Setelah dilakukan evaluasi ternyata pengaruh tekanan serta kerapatan
dalam proses pembuatan briket sangat diperlukan sehingga untuk penelitian
selanjutnya dapat diterapkan agar pemberian briket memberikan pengaruh nyta
DAFTAR PUSTAKA
Annafi, Z. 2004. Pengaruh Waktu Penggunaan Briket Kompos Terhadap Sifat Fisika Tanah dan Pertumbuhan Jagung Manis Pada Pengolahan Minimum Latosol Sindang Barang. Skripsi. IPB. Bogor
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 1998. Buku Pedoman Kehutanan Indonesia. Jakarta
___________ . 2006. Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Diakses dari
___________ . 2007. Luas Lahan Kritis di Sumatera Utara. Diakses dari
___________ . 2009. Lahan Kritis. Diakses dari Kritis.Htm. (1/1/2011)
Direktorat Jendral RLPS. 2006. Ikhtisar lahan Kritis Akhir Pelita dan Rehabilitasi. Diakses dari http:www.google_Bab_3.PDF.htm (1/1/2011)
Fitter , A. H dan Hay. R. K. M. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Gardner, P. F. R., B. Pearce, dan R.L. Mitcell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian
Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsudin, dan J. S. Baharsyah. UI Press. Jakarta
Hakim, N., Nyapka, Y.M, Lubis, A.M, Nugroho, G. Saul, R. Diha, A. Hong, B.G. dan Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung
Haryati, S. S. 2000. Fisiologi Cekaman. EdisiRevisi. Jurusan Agronomis. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor
Haryati. 2003. Pengaruh Cekaman Air Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman. Program Studi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian USU. Medan