• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Corporate Governance, Leverage dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pengaruh Corporate Governance, Leverage dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE DAN PROFITABILITAS TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA

PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

OLEH

ROHANS RIVALDO 080503245

PROGRAM STUDI STRATA-1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Tuhan penulis panjatkan, karena dengan kasih karunia dan anugerahNya penulis dapat menyelesaikan tugas sarjana ini. Tugas sarjana ini merupakan salah satu syarat akademis yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk menyelesaikan studi di Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara.

Tugas sarjana ini berjudul “Analisis Pengaruh Corporate Governance, Leverage dan Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Adapun latar belakang penulis mengangkat judul ini adalah penulis ingin lebih mengetahui praktek penerapan good corporate governance di perusahaan – perusahaan di Indonesia dalam menghindari tindakan manajemen laba, dan penulis ingin lebih mengetahui seberapa jauh efektivitas leverage dan profitabilitas dalam mencegah tindakan manajemen laba.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak selama pelaksanaan tugas sarjana ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis merasa perlu mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, S.E., M.Ec., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

(3)

3. Bapak Drs. Firman Syarif, S.E., M.Si, Ak., selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi dan Ibu Dra. Mutia Ismail, S.E., M.M., Ak., selaku Sekretaris Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. Rina br Bukit, S.E., Ak., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah begitu sabar memberikan waktu, saran, dan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sri Mulyani, MBA., Ak. selaku Dosen Pembaca Penilai.

6. Kedua orang tuaku tercinta, Papi dan Mami dan para saudaraku (Kakakku Yenny dan Febrina, dan Abangku Henry) atas doa, perhatian, kesabaran dan dukungan moril maupun materil yang diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, September 2013

Penulis,

(4)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE DAN PROFITABILITAS TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN

MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen dan komite audit) dan juga leverage dan profitabilitas terhadap manajemen laba. Manajemen laba diukur dengan discretionary accruals menggunakan Model Jones yang dimodifikasi.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu perusahaan pada kategori manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sampel yang digunakan sebanyak 103 perusahaan pada kategori manufaktur dengan periode tahun 2011 melalui metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan adalah regresi OLS (Ordinary Least Square) dengan tingkat signifikansi 5%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Secara parsial, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

(5)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF INFLUENCE OF CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE AND PROFITABILITY TO THE EARNING MANAGEMENT IN

MANUFACTURING COMPANIES LISTED ON INDONESIAN STOCK EXCHANGE

The purpose of this research is to analyze the influence of corporate governance (institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proportion, and audit committee) and also leverage and profitability to the earnings management. Earnings management is measured by discretionary accruals using Modified Jones Method.

This study uses secondary data were taken from the manufacturing companies which are listed in Bursa Efek Indonesia. 103 manufacturing companies selected as study samples on the period of 2011 based on purposive sampling method. The analytical method for this study uses The Ordinary Least Square Regression in the significance level of 5%.

The result show that simultanoeusly institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proportion, audit committee composition, leverage and profitability have no significant influence to the earning management. Partially, institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proprotion, audit committee composition, leverage, and profitability have no significant influence to the earning management.

(6)

DAFTAR ISI

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.5 Kepemilikan Institusional ... 31

2.1.6 Kepemilikan Manajerial ... 32

2.1.7 Komisaris Independen ... 33

2.1.8 Komite Audit ... 35

2.1.9 Leverage ... 37

2.1.10 Profitabilitas ... 39

2.2 Penelitian Terdahulu ... 40

(7)

2.4 Hipotesis ... 47

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional Variabel ... 55

3.1.1 Variabel Dependen ... 55

3.5.1 Statistik Deskriptif ... 67

3.5.2 Uji Asumsi Klasik ... 67

3.5.2.1 Identifikasi Data Outlier ... 68

3.5.2.2 Uji Heteroskedastisitas ... 68

3.5.2.3 Uji Normalitas ... 69

3.5.2.4 Uji Multikolonieritas ... 69

3.5.2.5 Uji Autokorelasi ... 69

3.5.3 Ordinary Least Squares ... 70

3.5.4 Pengujian Hipotesis ... 71

3.6.3.1 Koefisien Determinasi (R2) ... 71

3.6.3.2 Uji Statistik F (Uji secara Simultan) ... 71

3.6.3.3 Uji Statistik t (Uji secara Parsial) ... 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Penelitian ... 73

4.2 Analisis Data ... 74

4.2.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 74

(8)

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 96

4.3.1 Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba ... 96

4.3.2 Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba ... 97

4.3.3 Proporsi Komisaris Independen Terhadap Man Laba ... 97

4.3.4 Komposisi Komite Audit Terhadap Manajemen Laba .... 98

4.3.5 Leverage Terhadap Manajemen Laba ... 99

4.3.6 Profitabilitas Terhadap Manajemen Laba ... 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 101

5.2. Keterbatasan ... 101

5.3 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104

(9)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Penelitian Terdahulu ... 41

3.1 Sampel Penelitian ... 61

4.1 Sampel Penelitian ... 73

4.2 Statistik Deskriptif ... 74

4.3 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov ... 79

4.4 Hasil Uji Multikolinearitas ... 80

4.5 Hasil Besaran Korelasi Antar Variabel ... 81

4.6 Uji Heteroskedastisitas Dengan Uji Park ... 83

4.7 Kriteria Korelasi Durbin Watson (DW) ... 84

4.8 Hasil Uji Autokorelasi dengan Durbin Watson ... 85

4.9 Hasil uji Runs Test ... 86

4.10 Pengujian Hipotesis ... 87

4.11 Koefisien Determinasi ... 89

4.12 Uji F ... 91

(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual ... 45

4.1 Grafik Histogram ... 77

4.2 Grafik Normal P-Plot ... 78

4.3 Grafik Scatterplot ... 82

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

A Tabulasi Good Corporate Governance ... 107

B Tabulasi Leverage dan Profitabilitas ... 114

C Tabulasi Manajemen Laba ... 121

i Hasil pengujian statistik deskriptif ... 127

(12)

ABSTRAK

ANALISIS PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE DAN PROFITABILITAS TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN

MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh corporate governance (kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen dan komite audit) dan juga leverage dan profitabilitas terhadap manajemen laba. Manajemen laba diukur dengan discretionary accruals menggunakan Model Jones yang dimodifikasi.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu perusahaan pada kategori manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sampel yang digunakan sebanyak 103 perusahaan pada kategori manufaktur dengan periode tahun 2011 melalui metode purposive sampling. Metode analisis yang digunakan adalah regresi OLS (Ordinary Least Square) dengan tingkat signifikansi 5%.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Secara parsial, kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

(13)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF INFLUENCE OF CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE AND PROFITABILITY TO THE EARNING MANAGEMENT IN

MANUFACTURING COMPANIES LISTED ON INDONESIAN STOCK EXCHANGE

The purpose of this research is to analyze the influence of corporate governance (institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proportion, and audit committee) and also leverage and profitability to the earnings management. Earnings management is measured by discretionary accruals using Modified Jones Method.

This study uses secondary data were taken from the manufacturing companies which are listed in Bursa Efek Indonesia. 103 manufacturing companies selected as study samples on the period of 2011 based on purposive sampling method. The analytical method for this study uses The Ordinary Least Square Regression in the significance level of 5%.

The result show that simultanoeusly institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proportion, audit committee composition, leverage and profitability have no significant influence to the earning management. Partially, institutional ownership, managerial ownership, independent commissioners’s proprotion, audit committee composition, leverage, and profitability have no significant influence to the earning management.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan keuangan merupakan suatu cerminan dari suatu kondisi perusahaan, karena di dalam laporan keuangan terdapat informasi – informasi yang dibutuhkan oleh pihak – pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Laporan keuangan juga menunjukkan seberapa besar kinerja manajemen dan merupakan sumber dalam mengevaluasi kinerja manajemen. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur kinerja manajemen adalah laba. Dengan adanya penilaian kinerja manajemen tersebut dapat mendorong timbulnya perilaku menyimpang dari pihak manajemen perusahaan, yang salah satu bentuknya adalah manajemen laba (earning management). Manajemen laba (earnings management) adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan dan menurunkan laba (Beneish, 2001).

(15)

bila manajer sering berusaha menonjolkan prestasinya melalui tingkat keuntungan atau laba yang dicapai. Sebagai imbasnya, tidak jarang pula manajemen perusahaan melakukan manajemen laba untuk mencapai tingkat keuntungan atau laba yang ditargetkan perusahaan.

Manajemen laba dapat terjadi ketika manajer diberi keleluasaan untuk memilih metode akuntansi yang akan digunakan dalam mencatat dan mengungkapkan informasi keuangan privat yang dimilikinya. Selain itu perilaku manipulasi ini juga terjadi karena adanya asimetri informasi (information asymetri) yang tinggi antara manajemen dan pihak lain yang tidak mempunyai sumber, dorongan, atau akses yang memadai terhadap informasi untuk memonitor tindakan manajer (Richardson, 1998). Untuk mengatasi terjadinya tindakan manajemen laba, maka perusahaan perlu menerapkan mekanisme corporate governance dalam sistem pengendalian dan pengelolaan perusahaan.

(16)

hal tersebut dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Karena azas corporate governance mengedepankan transparansi dalam pelaporan keuangannya. Maka hal tersebut akan menyulitkan manajer untuk melakukan tindakan manajemen laba. Dengan demikian kinerja yang dilaporkan oleh manajer mampu merefleksikan keadaan ekonomi yang sebenarnya dari perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) dalam pengelolaan perusahaan yang baik, perusahaan harus mendasarkan pengelolaannya sesuai dengan azas Good Corporate Governance yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accoutanbility), pertanggungjawaban (responbility), kemandirian (independency), dan kewajaran (fairness). Transparansi, berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas, dengan mendorong optimalisasi peran dewan direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya dan fungsinya secara professional. Kewajaran, dengan memaksimalkan upaya perlindungan hak dan perlakuan adil kepada seluruh shareholders tanpa kecuali. Responbilitas, dengan mendorong optimalisasi peran stakeholders dalam mendukung program – program perusahaan.

Good corporate governance memiliki beberapa indikator yang berupa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen dan komposisi komite audit.

(17)

dan memiliki pendanaan yang besar. Dengan keberadaannya yang cukup penting, investor institusional diyakini dapat mengurangi tindakan manajemen laba karena investor institusional melakukan pengawasan yang efektif terhadap manajemen. Dalam penelitian Junaidi (2007) disimpulkan bahwa kepemilikan institusional menunjukkan pengaruh negatif terhadap manajemen laba namun tidak signifikan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka (2007) yang menyatakan kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen diharapkan dapat mengurangi perilaku opportunistic manajer. Dalam penelitian Muh. Arief Ujiyantho dan Bambang Agus Pramuka (2007) disimpulkan bahwa kepemilikan manajerial menunjukkan pengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba.

(18)

independen berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan Nasution dan Setiawan (2007) menghasilkan proporsi komisaris independen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap manajemen laba. Hasil berbeda ditunjukkan pada penelitian Eka Sefiana (2009) yang menyimpulkan bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba.

Komite audit memiliki peranan penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga terciptanya sistem pengawasan perusahaan yang memadai dan menilai pelaksanaan good corporate governance di perusahaan. Komite audit dibentuk untuk memeriksa pertanggungjawaban keuangan direksi perusahaan kepada para pemegang saham. Diharapkan dengan pelaksaanaan audit ini, dapat mengurangi perilaku oppurtunistic para manajer seperti manajemen laba. Penelitian Junaidi (2007) membuktikan bahwa komposisi komite audit berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan Nasution dan Setiawan (2007) menyimpulkan bahwa komposisi komite audit berpengaruh negatif namun signifikan terhadap manajemen laba. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Eka Sefiana (2009) dan Djamaluddin (2012) yang menyimpulkan bahwa komposisi komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

(19)

sehingga pemilik akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi agar perusahaan tersebut tidak terancam di likuidasi. Jika suatu perusahaan terancam di likuidasi maka tindakan yang mungkin dapat dilakukan manajemen dengan segera adalah manajemen laba. Dengan melakukan manajemen laba, kinerja perusahaan tersebut akan tampak baik di mata pemegang saham dan publik walaupun perusahaannya dalam keadaan terancam di likuidasi. Dalam penelitian Agnes Utari Widyaningdyah (2001) disimpulkan bahwa leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Beda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ary Irsyad (2008) yang menyimpulkan bahwa leverage tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktek perataan laba (manajemen laba).

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Laba sering kali menjadi ukuran kinerja perusahaan, dimana ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi berarti dapat disimpulkan bahwa kinerja perusahaan tersebut baik dan juga sebaliknya. Dalam penelitian Muhammad Ary Irsyad (2008) disimpulkan bahwa profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktek perataan laba (manajemen laba).

(20)

tidak ada kesamaan variabel secara menyeluruh antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya hasil yang berbeda – beda dari penelitian sebelumnya. Maka oleh sebab itu, peneliti melakukan penelitian dengan variabel – variabel berupa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komite audit, leverage, profitabilitas dan manajemen laba (earning management). Penulis juga mengambil sampel pada perusahaan manufaktur yang tercatat pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian yang diambil tahun 2011. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan judul yang sesuai untuk penelitian ini adalah “ANALISIS PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE, LEVERAGE DAN PROFITABILITAS TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap manajemen laba? 2. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap manajemen laba ? 3. Apakah proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen

laba ?

(21)

5. Apakah leverage berpengaruh terhadap manajemen laba ? 6. Apakah profitabilitas berpengaruh terhadap manajemen laba ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menyelidiki praktek manajemen laba yang dilakukan perusahaan – perusahaan manufaktur di Indonesia. Sedangkan bukti empirisnya adalah memperoleh bukti empiris tentang pengaruh kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komposisi komite audit, leverage dan profitabilitas terhadap manajemen laba. 1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak, yaitu :

1. Bagi Pembaca

Untuk menambah wawasan dan informasi yang berkaitan dengan praktek manajemen laba pada perusahaan di Indonesia dan mengetahui betapa pentingnya penerapan good corporate governance di perusahaan – perusahaan.

2. Bagi Investor

(22)

3. Bagi Manajemen

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada manajemen untuk menghindari manajemen laba yang dapat merugikan pribadi dan perusahaan di mata publik dan dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan.

4. Bagi Peneliti Berikutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan tambahan referensi bagi peneliti berikutnya.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)

Dalam memahami corporate governance dapat digunakan perspektif keagenan sebagai dasar pemikiran. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal). Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan dengan baik, maka principal akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada agent. Hubungan inilah yang disebut dengan teori keagenan. Pemisahan dalam teori keagenan ini menandakan principal tidak lagi terlibat dalam pengelolaan perusahaan karena telah dialihkan kepada agent. Pihak principal hanya bertindak sebagai pengawas dengan memonitor kinerja perusahaan melalui laporan yang diberikan oleh agent. Namun, adanya pemisahan antara principal dan agent cenderung menimbulkan konflik keagenan yang didasarkan pada adanya perbedaan kepentingan. Principal dan agent sama – sama berusaha memaksimumkan kesehjateraannya masing – masing.

(24)

manusia tersebut sebagai manusia akan cenderung bersifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadi dan hal ini memicu terjadinya konflik keagenan. Teori ini memiliki asumsi bahwa tiap – tiap individu semata – mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Pihak agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi dan kontrak kompensasi. Sebaliknya, pihak principal termotivasi untuk mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang terus meningkat. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda dalam suatu perusahaan dimana masing – masing berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki.

(25)

mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. Selanjutnya, residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran principal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agent dan keputusan principal.

Timbulnya manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Agent sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan dengan principal. Agent berkewajiban memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan kepada principal. Informasi yang diberikan dapat melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Namun, pada kenyataannya agent terkadang tidak menyampaikan informasi akuntansi yang mencerminkan keadaan sebenarnya. Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu timbulnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry).

Asymmetric information adalah informasi yang tidak seimbang yang disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agent yang berakibat dapat menimbulkan dua permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan – tindakan agent (Emirzon, 2007). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa permasalahan yang dimaksud adalah :

a. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal – hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.

(26)

Asimetri informasi (information asymmetry) antara principal dan agent dapat memberikan kesempatan kepada manajer (agent) untuk melakukan tindakan manajemen laba yang dapat merugikan pemilik (principal). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Richardson (1998) yang dikutip dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Hal ini berarti apabila agent memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan principal maka kecenderungan agent untuk berbuat curang dengan melakukan tindakan manajemen laba demi kepentingan pribadinya akan semakin tinggi.

(27)

2.1.2. Laporan Keuangan

Laporan keuangan pada dasarnya adalah proses pencatatan dari transaksi – transaksi keuangan yang terjadi selama satu periode pembukuan perusahaan. Laporan keuangan juga menjadi alat komunikasi antara manajemen dengan pihak luar perusahaan tentang data keuangan atau aktivitas perusahaan selama periode tertentu. Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2007), laporan keuangan merupakan bagian dari pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal (yang disajikan dalam berbagai cara seperti misalnya arus kas atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Menurut Kieso dan WeyGandt (2007) laporan keuangan yang disusun oleh manajemen terdiri dari:

1. Neraca

Neraca adalah laporan keuangan yang sistematis menyajikan posisi keuangan perusahaan pada saat (tanggal) tertentu. Laporan ini dibuat untuk menyajikan informasi keuangan mengenai aktiva, kewajiban, dan modal perusahaan. Neraca disajikan berdasarkan likuiditas dan fleksibilitas finansial perusahaan, yang dapat dipakai sebagai dasar untuk membuat perkiraan terhadap keadaan – keadaan keuangan perusahaan di masa yang akan datang. Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban tepat waktu yang telah ditetapkan. Sedangkan fleksibilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh dana.

2. Laporan Laba/Rugi

Laporan Laba/Rugi adalah laporan keuangan yang secara sistematis menyajikan hasil usaha perusahaan dalam periode waktu tertentu. Laporan laba rugi menyediakan informasi mengenai penentuan profitabilitas, nilai investasi, dan kelayakan kreditatau kemampuan perusahaan melunasi pinjaman yang diperlukan investor dan kreditur untuk membantu mereka memprediksi jumlah, penetapan waktu dan kepastian dari arus kas masa depan.

3. Laporan Arus Kas

(28)

kas selama satu periode tertentu. Laporan arus kas menyajikan secara sistematis informasi tentang penerimaan dan pengeluaran kas selama satu periode tertentu berdasarkan aktivitas operasi, investasi dan pendanaan.

4. Laporan Perubahan Ekuitas

Laporan perubahan ekuitas adalah laporan keuangan yang secara sistematis menyajikan informasi mengenai perubahan ekuitas perusahaan akibat operasi perusahaan dan transaksi dengan pemilik pada suatu periode tertentu.

Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan ekonomi oleh para pengguna laporan keuangan apabila informasi yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut memenuhi karakteristik kualitatif informasi akuntansi. Dalam Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.2 mengenai Qualitative Characteristic of Accounting Information, terdapat dua hal yang menjadi kualitas primer dalam suatu laporan keuangan, yaitu relevansi (relevance) dan keandalan (reliability) (Kieso dan Weygandt, 1992). Dalam Ghozali dan Chariri (2007) seperti yang dikutip dalam Djamaluddin (2012) bahwa terdapat empat karakteristik kualitatif informasi keuangan. Karakteristik tersebut antara lain :

1. Dapat dipahami (Understandability)

Hal ini berarti bahwa kualitas penting yang terdapat dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk segera dapat dipahami oleh pemakai. Dalam hal ini, pemakai diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari.

2. Relevan (Relevance)

Informasi dikatakan relevan apabila informasi tersebut memiliki manfaat, sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan oleh pemakai laporan keuangan.

3. Keandalan (Reliability)

Informasi harus dapat diuji kebenarannya, netral, dan menggambarkan keadaan secara wajar sesuai peristiwa yang digambarkan.

4. Daya Banding (Comparability)

(29)

Informasi dalam laporan keuangan harus disajikan dengan memadai untuk memungkinkan dilakukannya sebuah prediksi kondisi keuangan, arus kas, dan profitabilitas perusahaan di masa depan. Informasi dalam laporan keuangan tentunya harus disesuaikan dengan kepentingan pengguna laporan keuangan. Diharapkan dengan semakin transparan informasi yang disajikan oleh suatu perusahaan ditambah dengan semakin nyatanya penerapan good corporate governance akan meningkatkan keberhasilan bisnis dalam dunia usaha secara berkesinambungan juga dapat digunakan untuk memahami bisnis pada suatu perusahaan.

2.1.3.Manajemen Laba

2.1.3.1. Defenisi Manajemen Laba

(30)

Manajemen laba atau yang sering disebut dengan earning management adalah tindakan campur tangan manajemen dalam proses pelaporan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri. Earning management merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan (Setyawati, 2000).

Banyak penelitian lain yang dilakukan peneliti dalam membahas manajemen laba. Salah satu diantaranya adalah Schipper (1989) dalam Belkaoui (2004) melihat manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja dalam proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan pribadi, yang dapat dilakukan melalui pemilihan metode – metode akuntansi dalam GAAP (General Accepted Accounting Principles) ataupun dengan cara menerapkan metode – metode yang ditentukan dengan cara tertentu. Copeland (1968 : 10) seperti yang dikutip dalam Utami (2005) mendefenisikan manajemen laba sebagai “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Hal ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajemen.

(31)

2.1.3.2. Alasan Melakukan Manajemen Laba

Manajemen laba sebagai sebagai suatu fenomena dipengaruhi oleh berbagai macam alasan yang menjadi pendorong timbulnya fenomena tersebut. Terdapat beberapa alasan yang mempengaruhi manajemen laba (earning management).

Menurut Suryani yang dikutip dalam Djamaluddin (2012) bahwa ada beberapa faktor yang dapat memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba, yaitu :

1. Rencana Bonus (Bonus Scheme)

Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.

2. Kontrak Utang Jangka Panjang (Debt Convenant)

Menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan kepada waktu pelanggaran perjanjian utang maka para manajer akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang

3. Motivasi Politik (Political Motivations)

Menyatakan bahwa perusahaan – perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba terutama pada saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah

4. Motivasi Perpajakan (Taxation Motivations)

Menyatakan bahwa perpajakan merupakan salah satu motivasi mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Tujuannya adalah dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar.

5. Pergantian CEO (Chief Executive Officer)

Biasanya CEO yang mendekati masa pensiun atau masa kontraknya menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima. Hal yang sama akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya adalah menghindarkan diri dari pemecatan sehingga mereka cenderung untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan.

6. Penawaran Saham Perdana (Initital Public Offering)

(32)

merupakan sumber informasi yang sangat penting. Informasi ini penting karena dapat dimanfaatkan sebagai sinyal kepada investor potensial terkait dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor maka manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan.

2.1.3.3. Pola Manajemen Laba

Menurut Scott (1997), ada empat pola yang digunakan dalam manajemen laba, yaitu :

1. Taking a bath

Manajemen melakukan metode taking a bath dengan mengakui biaya – biaya dan kerugian periode yang akan datang pada periode berjalan ketika pada periode berjalan terjadi keadaan buruk yang tidak menguntungkan.

2. Income Minimization

Manajer melakukan praktek manajemen laba berupa income minimization dengan mengakui secara lebih cepat biaya – biaya, seperti biaya pemasaran, riset dan pengembangan, ketika perusahaan memperoleh profit yang cukup besar dengan tujuan mengurangi perhatian politis.

3. Income Maximization

Manajer kemungkinan memaksimumkan laba bersih yang dilaporkan untuk tujuan bonus. Perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang mungkin juga akan memaksimumkan akan memaksimumkan pendapatan dengan tujuan agar kreditur masih memberikan kepercayaan pada perusahaan tersebut.

4. Income Smoothing

Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.

2.1.3.4. Teknik Manajemen Laba

Menurut Scott dalam Gumanti (2001) bahwa ada tiga cara yang dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba pada laporan keuangan, yaitu :

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi

(33)

tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain – lain. 2. Mengubah metode akuntansi

Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Contoh : mengubah metode depresiasi aktiva tetap. Dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Beberapa orang menyebutnya rekayasa jenis ini sebagai manipulasi keputusan operasional (Fischer dan Rozenzweig, 1995 ; Bruns dan Merchant, 1990). Contoh : rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain : mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian sampai periode akuntansi berikutnya (Daley dan Vigeland, 1993), mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode akuntansi berikutnya mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah dipakai, dan lain – lain.

Umumnya penelitian tentang manajemen laba (earning management) menggunakan pengukuran berbasis akrual (accrual-based measure) dalam mendeteksi ada tidaknya manipulasi. Salah satu dari pendekatan accruals adalah pendekatan tersebut berpotensi untuk mengungkap cara – cara untuk menurunkan atau menaikkan keuntungan, karena cara – cara tersebut kurang mendapat perhatian untuk diketahui pihak luar (outsiders). Transaksi akrual terdiri dari :

a. Transaksi non-discretionary

Transaksi non-discretionary adalah transaksi yang dicatat dengan menggunakan metode tertentu, atau manajemen diharapkan konsisten dalam menggunakan metode tersebut. Misalnya : metode depresiasi dan metode pencatatan persediaan.

b. Transaksi discretionary

(34)

Misalnya : penentuan cadangan kerugian piutang, menggeser pendapatan masa depan ke pendapatan sekarang. Secara garis besar, Gumanti (2001) menyatakan bahwa menggunakan transaksi discretionary accruals memungkinkan manajemen dapat manajemen laba.

2.1.3.4.1. Non Discretionary Accrual (NDA)

Hal ini berkaitan dengan metode kebijakan akuntansi dimana ada kebebasan bagi perusahaan untuk memilih kebijakan akuntansi sepanjang tidak menyimpang dari Standar Akuntansi Keuangan. Pemilihan metode kebijakan akuntansi dapat berupa metode penyusutan aktiva maupun metode penilaian persediaan.

Saat pengakuan pendapatan dan pengeluaran, maka perusahaan dapat secara bebas menentukan kapan mereka mengakui pendapatan dan pengeluaran. Berikut contoh non-discretionary accrual seperti yang dikutip dalam Fransiska (2003) :

1. Pada akhir tahun buku perusahaan mengetahui bahwa suatu piutang tertentu tidak dapat ditagih. Perusahaan dapat melakukan pencatatan kapan piutang tersebut dihapuskan, pada periode buku sekarang atau pada tahun berikutnya.

2. Rekayasa menaikkan akrual (laba) antara lain dapat dilakukan dengan cara mempercepat pengakuan pendapatan, misalnya perusahaan mencatat pengiriman barang pesanan sebagai penjualan (sekalipun sebenarnya dalam perjanjian, biaya angkut menjadi tanggungan penjual, yang berarti sebenarnya, menurut prinsip akrual, sebelum pesanan tersebut sampai ke tangan konsumen, pengiriman pesanan tersebut belum dapat diakui sebagai laba)

(35)

atau perbedaan estimasi tersebut akan menghasilkan nilai akhir (laba) yang sedikit berbeda.

4. Perusahaan menunda pelaporan biaya – biaya tertentu untuk mendapatkan laba yang lebih besar/kecil. Biaya – biaya tersebut antara lain :

a. Biaya penelitian dan pengembangan (research and Development cost)

b. Biaya perawatan mesin dan peralatan (repair and maintenance cost)

c. Biaya pemasaran dan iklan (marketing and advertising expense) Menurut Fransiska (2003), NDA dihitung dengan rumus :

NDAit = Median (TAtIND) Dimana :

NDAit = Non Discretionary Accrual pada tahun ke t

TAtIND = Total Accrual (Perusahaan IPO maupun non IPO) pada tahun ke t

2.1.3.4.2. Discretionary Accrual

Yang dimaksud dengan discretionary accrual adalah komponen – komponen akrual yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan manajer. Penggunaan discretionary accrual sebagai proxy earning management selain mengacu pada penelitian Dechow et. al (1996) yang dikutip Fransiska (2003) juga dikarenakan discretionary accrual saat ini telah dipakai secara luas menguji hipotesis earning management.

Contoh Discretionary Accrual yang dilakukan oleh perusahaan (Fransiska, 2003) :

1. Memperpanjang masa manfaat aktiva tetap yang sudah habis. Masa manfaat dari suatu aktiva tetap yang sudah habis, tetap disusutkan pada tahun – tahun berikutnya

(36)

Indikasi bahwa telah terjadi manajemen laba ditunjukkan oleh koefisien DA yang positif. Sebaliknya jika DA negatif berarti tidak ada indikasi bahwa manajemen telah melakukan upaya untuk menaikkan keuntungan melalui income – increasing discretionary accrual.

Cara menghitung DAt (Discretionary Accrual pada perusahaan i pada tahun ke t) dengan menggunakan rumus :

DAt = TAt – NDAit Dimana :

DAt = Discretionary Accrual pada tahun ke t TAt = Total accrual pada tahun t

NDAit = Non Discretionary Accrual pada tahun ke t

Praktek manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen ini dapat diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring untuk menghindari manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen dan menyelaraskan ketidaksejajaran kepentingan principal dan agent. Mekanisme yang dianggap dapat digunakan untuk membatasi tindakan tersebut adalah good corporate governance.

2.1.4. Good Corporate Governance

2.1.4.1. Defenisi Good Corporate Governance

(37)

“A set of rules that define the relationship between shareholder,

managers, creditors, the government, employees, and other internal

and external stakeholders in respect to their rights and responbilities”.

Sesuai dengan defenisi diatas, Cadbury Comittee mendefenisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengelolaan perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak – hak dan kewajiban mereka. Maka dari defenisi ini dapat disimpulkan bahwa setiap pihak dalam perusahaan diberikan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan dan keefektifan dari pelaksanaan corporate governance dilihat dari seberapa jauh masing – masing pihak menerapkannya dalam perusahaan.

Malaysian High Level Finance Committee on Good Corporate

(38)

Organization for Economic Coorperation and Development (2004) mendefenisikan corporate governance sebagai berikut :

Corporate governance is the system by which business corporation are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of rights and responbilities among different participants in the corporation, such as board, the managers, shareholders, and other stakeholders, and spells out the rules and procedure for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance”

Sesuai dengan defenisi diatas, menurut Organization for Economic Co-orperation and Development (OECD), corporate governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. Corporate governance mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap kehidupan perusahaan, termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer dan semua stakeholdersnya. Corporate governance juga mengetengahkan ketentuan dan prosedur yang harus diperhatikan dewan pengurus dan dewan direksi dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan kehidupan perusahaan. Intinya adalah corporate governance menurut Organization for Economic Co-orperation and Development (OECD) mengacu pada pembagian kewenangan antara semua pihak yang menentukan arah dan performance suatu perusahaan.

(39)

2.1.4.2. Prinsip Good Corporate Governance

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 1999 (direvisi pada tahun 2004) telah menerbitkan dan mempublikasikan OECD Principles of corporate governance untuk membantu mengevaluasi dan meningkatkan kerangka hukum, institusional dan regulatori corporate governance dan memberikan pedoman dan saran – saran untuk pasar modal, investor, perusahaan, dan pihak – pihak lain yang memiliki peran dalam pengembangan corporate governance. Prinsip – prinsip yang dikemukakan oleh OECD (2004) yang dikutip dalam Nur Hidayah Sulyanti (2011) yaitu :

1. Memastikan dasar bagi kerangka corporate governance yang efektif (Ensuring The Basis for an Effective Corporate governance Framework).

Kerangka corporate governance harus meningkatkan pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secaran jelas mengartikulasikan pembagian kewajiban dan pengawas, regulator dan otoritas pelaksanaan yang berbeda.

2. Hak – hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci (The Rights of Shareholders and Key Ownership Functions).

Kerangka corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi penggunaan hak – hak pemegang saham.

3. Persamaan perlakuan bagi pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders).

Kerangka corporate governance harus memastikan persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh penggantian kembali secara efektif atas pelanggaran hak – hak mereka.

4. Peranan shareholder dalam corporate governance (The Role of Stakeholders in Corporate governance).

Kerangka corporate governance harus mengakui hak – hak stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui mutual agreement dan mendorong kerjasama aktif antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan kemakmuran, pekerjaan, dan perusahaan yang memiliki sustainable.

5. Pengungkapan dan transparansi (Disclosure and Transparency)

(40)

yang material menyangkut korporat, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan pengelolaan perusahaan.

6. Kewajiban dewan (The Responbilities of the Board)

Kerangka corporate governance harus memastikan pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, dan akuntabilitas dewan kepada perusahaan dan pemegang saham. 2.1.4.3. Azas Good Corporate Governance

Komite Nasional Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia. Pedoman good corporate governance merupakan panduan bagi perusahaan dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik good corporate governance kepada pemangku kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance) menyusun azas – azas good corporate governance, diantaranya seperti Transparency, Accountability, Responsibility, Independency dan Fairness (TARIF) adalah sebagai berikut (seperti yang dikutip dalam Okta Rezika Praditia, 2010) :

1. Transparansi (Transparency)

Transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung pada kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator – indikator yang sama. Penyampaian informasi kepada publik secara terbuka, benar, kredibel dan tepat waktu akan memudahkan untuk menilai kinerja dan resiko yang dihadapi perusahaan.

Praktek yang dikembangkan dalam rangka transparansi diantaranya perusahaan diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi – transaksi penting yang terkait dengan perusahaan, resiko – resiko yang dihadapi dan rencana atau kebijakan perusahaan (corporate action) yang akan dijalankan. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk menyampaikan kepada seluruh pihak struktur kepemilikan perusahaan serta perubahan – perubahan yang terjadi.

2. Akuntabilitas (Accountability)

(41)

perusahaan. Akuntabilitas diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi masalah keagenan yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta pengendaliannya oleh komisaris. Oleh karena itu, akuntabilitas dapat diterapkan dengan mendorong seluruh organ perusahaan menyadari tanggung jawab, wewenang dan hak kewajibannya.

Praktek – praktek yang diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan dewan komisaris, memberikan jaminan perlindungan kepada pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi. Pengangkatan komisaris independen merupakan bentuk implementasi prinsip akuntabilitas, dengan tujuan untuk meningkatkan pengendalian oleh pemegang saham terhadap kinerja perusahaan. 3. Responbilitas (Responbility)

Responbilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas yang mengatur mekanisme pertanggung jawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak – pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai dalam good corporate governance yaitu mengakomodasi kepentingan pihak – pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya.

Responbilitas juga berkaitan dengan kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap ketentuan yang ada akan menghindarkan dari sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi moral masyarakat akibat dilanggarnya kepentingan mereka.

4. Independensi (Independency)

Untuk melancarkan pelaksanaan azas good corporate governance, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing – masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5. Kewajaran (Fairness)

Prinsip ini menekankan pada jaminan perlindungan hak – hak para pemegang saham, termasuk hak – hak pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing serta perlakuan yang setara terhadap semua investor. Praktek kewajaran ini juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan pemegang saham khususnya pemegang saham minoritas dari praktek kecurangan (fraud) dan praktek – praktek insider trading.

2.1.4.4. Manfaat Penerapan Corporate Governance

(42)

manajemen terhadap shareholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Gunarsih, 2003). Good corporate governance memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balance di perusahaan.

Menurut Listyorini (2001) yang dikutip dalam Nur Hidayah Sulyanti (2011) bahwa adanya beberapa manfaat dalam penerapan good corporate governance yaitu antara lain :

1. Meningkatkan efisiensi produktivitas

Hal ini dikarenakan seluruh individu dalam perusahaan memiliki komitmen untuk memajukan perusahaan. Semua individu di perusahaan pada setiap level dan departemen akan berusaha menyumbang segenap kemampuannya untuk kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar mencari keuntungan secara pribadi atau kelompok. Dengan demikian tidak terjadi pemborosan yang diakibatkan penggunaan sumber daya perusahaan yang dipergunakan untuk kepentingan pihak – pihak tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan.

2. Meingkatkan kepercayaan publik

Publik dalam hal ini dapat berupa mitra baik sebagai investor, pemasok, pelanggan, kreditur, pemerintah maupun konsumen akhir. Bagi investor dan kreditur, penerapan good corporate governance adalah suatu hal yang dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelepasan dana investasi maupun kreditnya. Jadi kreditur dan investor akan merasa lebih aman karena perusahaan dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan kepentingan semua pihak dan bukan hanya pihak tertentu saja.

3. Menjaga kelangsungan hidup perusahaan (Going Concern) 4. Dapat mengukur target kinerja perusahaan

(43)

2.1.4.5. Faktor Keberhasilan Penerapan Good Corporate Governance Menurut Irmala Sari (2010) bahwa keberhasilan penerapan good corporate governance memiliki prasyarat tersendiri. Ada dua faktor yang memegang peranan, yakni eksternal dan internal.

1. Faktor Eksternal

Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan good corporate governance.

Diantaranya :

a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.

b. Dukungan pelaksanaan good corporate governance dari sektor publik/lembaga pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan good governance dan clean governance yang sebenarnya.

c. Terdapatnya contoh pelaksanaan good corporate governance yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standar pelaksanaan good corporate governance yang efektif dan professional. Dengan kata lain semacam brenchmark (acuan).

d. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan penerapan good corporate governance terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik dimana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating perusahaan dalam penerapan good corporate governance.

2. Faktor Internal

Faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan good corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud antara lain :

a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan good corporate governance dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.

b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan good corporate governance.

c. Manajemen pengendalian resiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah – kaidah standar good corporate governance.

d. Terdapatnya sistem audit yang efektif di dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin terjadi.

(44)

sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.

2.1.5. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara pemilik (principal) dan manajer (agent). Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan strategis sehingga tidak mudah percaya pada tindakan manipulasi laba. Juniarti dan Sentosa (2009) menyatakan bahwa investor institusional memiliki kemampuan yang lebih baik untuk memonitor tindakan manajemen dibandingkan dengan investor individual.

(45)

perusahaan. Tindakan monitoring ini dapat menjamin kemakmuran bagi pemegang saham.

Schleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa investor institusional memiliki peran yang cukup penting dalam penegakan praktek good corporate governance dalam suatu perusahaan, dimana investor institusional secara independen mengawasi tindakan manajemen dan memiliki voting power untuk mengadakan perubahan pada saat manajemen sudah dianggap tidak efektif lagi dalam hal pengelolaan perusahaan.

2.1.6. Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme good corporate governance (GCG) untuk mengurangi masalah keagenan karena perbedaan kepentingan yang terjadi antara pemilik dan manajer. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu menyatukan kepentingan antara manajer dan pemilik, yang berarti semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan tersebut. Adanya kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat menjadi salah satu upaya dalam mengurangi masalah keagenan dan menyelaraskan kepentingan antara manajer dan pemilik.

(46)

langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian dari konsekuensi pengambilan keputusan yang salah. Sehingga manajer akan jauh lebih berhati – hati dalam pengambilan keputusan.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan saham manajerial dalam suatu perusahaan, maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri. Sehingga diasumsikan bahwa masalah keagenan akan berkurang jika manajer adalah sekaligus pemilik dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan jika manajemen memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri.

2.1.7. Komisaris Independen

(47)

independen maka laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih berintegritas dan reliable, karena di dalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak pihak – pihak diluar manajemen perusahaan.

Komisaris mempunyai peran penting dalam aktivitas pengawasan perusahaan. Komisaris independen dapat bertindak menjadi penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal, mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasehat kepada manajemen (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).

Kriteria komisaris independen menurut FCGI (2002) yang diadopsi dari kriteria otoritas bursa efek Australia tentang Outside Directors :

1. Komisaris independen bukan merupakan anggota manajemen.

2. Komisaris independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan.

3. Komisaris independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu.

4. Komisaris independen bukan merupakan penasehat professional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut.

5. Komisaris independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut.

6. Komisaris independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok selain sebagai komisaris perusahaan tersebut.

(48)

menguntungkan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2000 dalam FCGI, 2002).

Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya komisaris independen memiliki peranan yang sama dengan komisaris yaitu menjamin pelaksanaan strategis perusahaan, mengawasi manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan, serta terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya komisaris independen merupakan suatu mekanisme independen (netral) mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan.

Sesuai keputusan Direksi Bursa Efek Jakarta No. Kep-339./BEJ/07-2001 butir C mengenai board governance yang terdiri dari Komisaris Independen, Komite Audit dan Sekretaris Perusahaan bahwa untuk mencapai good corporate governance, jumlah komisaris independen yang harus terdapat dalam perusahaan sekurang – kurangnya 30% dari seluruh anggota dewan komisaris (Emirzon, 2007).

2.1.8. Komite Audit

(49)

mengidentifikasi hal – hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris. Dengan demikian, hasil pengungkapan laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan dapat memiliki tingkat kehandalan atau reliabilitas yang tinggi.

Berdasarkan penjabaran Buchalter dan Yokomoto (2003), sejak tahun 1940, isu pembentukan komite audit dimulai dari SEC (Securities and Exchange Comission). SEC telah mengetahui bahwa komite audit memiliki fungsi yang penting dalam memastikan keakuratan pelaporan keuangan pada perusahaan publik. Pada tahun 1970, NYSE meminta board of director dari perusahaan – perusahaan tercatat di bursa untuk menjadi komite audit. Pada tahun 1980-an, nasdaq dan AMEX menuntut hal yang sama pada perusahaan – perusahaan yang tercatat di bursa tersebut. Pada Februari 1999, komite audit mendapatkan perhatian setelah sebuah komite yang terdiri dari perwakilan NYSE, Nasdaq, perusahaan – perusahaan publik dan kantor akuntan publik menerbitkan Report and Recommendations of Blue Ribbon Committee on Improving Effecttivenessof

(50)

Di Indonesia, Keputusan Ketua Bapepam Kep-29/PM/2004 menjadi panduan utama dalam pembentukan komite audit yang mengatur tentang fungsi dan tanggung jawab komite audit. Seperti yang dikutip dalam Nasution dan Setiawan (2007), tugas komite audit yang diatur dalam Kep-29/PM/2004 antara lain :

1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya.

2. Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang – undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan. 3. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor

internal.

4. Melaporkan kepada komisaris berbagai resiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen resiko oleh direksi.

5. Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada dewan komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emitmen.

6. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan rahasia perusahaan.

Ukuran komite audit dijelaskan dalam keputusan Direksi BEJ nomor : KEP-399/BEJ/07-2001 Peraturan Pencatatan Efek Nomor 1-A Huruf C, yaitu keanggotaan komite audit sekurang – kurangnya terdiri dari tiga orang anggota, seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak eksternal yang independen dimana sekurang – kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi.

2.1.9. Leverage

(51)

hutang. Semakin tinggi rasio leverage berarti semakin tinggi pula proporsi pendanaan perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Dengan tingginya rasio leverage menunjukkan bahwa perusahaan tidak solvable, artinya total hutangnya lebih besar dibandingkan dengan total asetnya. Dengan tingkat rasio leverage yang tinggi, hal ini akan memicu kekhawatiran dari investor. Karena jika suatu perusahaan memiliki hutang yang tinggi, dikhawatirkan perusahaan tersebut tidak dapat melunasi kewajibannya tepat waktu dan hal ini yang dapat menyebabkan suatu perusahaan dapat di likuidasi. Dengan demikian, tingkat leverage perusahaan menggambarkan resiko keuangan perusahaan.

Berdasarkan teori agensi (agency theory) yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling (1976), perusahaan dengan proporsi hutang yang tinggi dalam struktur pemodalannya akan mempunyai biaya pengawasan (monitoring cost) yang lebih besar. Biaya pengawasan (monitoring cost) ini timbul karena kepentingan pemilik dalam perusahaan tersebut untuk mengawasi tindakan manajemen dalam mengelola dana dan fasilitas yang diberikan oleh pemilik untuk menjalankan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan informasi yang memadai bagi pemilik, pemegang saham dan kreditur.

(52)

penelitian ini, peneliti menggunakan debt to total asset ratio dalam mengukur tingkat leverage.

2.1.10. Profitabilitas

Salah satu faktor utama yang menentukan kesehatan suatu perusahaan adalah perolehan laba yang dicapai perusahaan dalam periode tertentu. Untuk mengetahui seberapa baik keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba diperlukan suatu ukuran. Ukuran yang digunakan adalah profitabilitas. Profitabilitas merupakan gambaran dari kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan. Karena profitabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (laba) bagi perusahaan. Semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu perusahaan, maka semakin menunjukkan kinerja manajemen suatu perusahaan tersebut baik, dan juga sebaliknya.

(53)

mempengaruhi penggunaan hutang yang dilakukan oleh perusahaan. Ketika profitabilitas meningkat maka tingkat hutang perusahaan akan menurun dan sebaliknya jika profitabilitas perusahaan menurun maka hutang perusahaan akan meningkat.

Untuk mengukur tingkat profitabilitas perusahaan, dapat dilakukan dengan menggunakan rasio profitabilitas. Rasio ini memberikan gambaran mengenai perubahan finansial perusahaan dari tahun ke tahun. Rasio profitabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Terdapat dua rasio profitabilitas yang sering digunakan dalam mengukur efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba, yaitu Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE). Return On Assets (ROA) diukur dengan membagi antara laba bersih setelah pajak (net income after tax) dengan total aset. Sedangkan Return On Equity (ROE) diukur dengan membagi antara laba bersih setelah pajak (net income after tax) dengan ekuitas (total modal sendiri). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Return On Assets (ROA) dalam mengukur tingkat profitabilitas.

2.2. Penelitian Terdahulu

(54)

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Hasil Penelitian

(55)
(56)
(57)

berpengaruh

(58)

Kepemilikan Institusional Kepemilikan Manajerial Proporsi Komisaris

Independen Komposisi Komite

Audit Leverage Profitabilitas

berpengaruh secara signifikan terhadap perataan laba. (4)

Leverage tidak bepengaruh secara signifikan terhadap

manajemen laba Sumber : Data diolah oleh penulis (2013)

2.3.Kerangka Konseptual

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ada tidaknya serta kuat lemahnya hubungan antara variabel dependen berupa manajemen laba dengan variabel independen berupa kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, proporsi komisaris independen, komite audit, leverage dan profitabilitas. Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa good corporate governance serta leverage dan profitabilitas dapat membatasi manajemen laba.

Berdasarkan tinjauan pustaka, penelitian terdahulu yang sudah diuraikan, maka kerangka konseptual ini dapat digambarkan pada gambar berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

(59)
(60)

reliable. Keempat, komite audit. Dengan keberadaan komite audit, maka manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen akan dapat dikurangi. Dan dengan semakin banyaknya jumlah auditor independen dalam suatu komite audit akan mempersulit manajemen dalam melakukan manajemen laba.

Variabel independen yang lain adalah leverage dan profitabilitas. Pertama, leverage. Dengan adanya tingkat hutang (leverage) yang dimiliki oleh perusahaan, diharapkan hal tersebut memacu manajer untuk fokus meningkatkan kinerjanya. Namun, dengan leverage yang tinggi yang dimiliki oleh suatu perusahaan, dapat memaksa manajemen untuk melakukan tindakan manajemen laba. Kedua, profitabilitas. Profitabilitas merefleksikan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Profitabilitas erat kaitannya dengan kinerja. Oleh sebab itu manajer dituntut agar meningkatkan kinerjanya dalam meningkatkan profitabilas perusahaan. Sehingga, hal ini diharapkan dapat mengurangi tindakan manejemen laba yang dilakukan oleh manajer.

2.4.Hipotesis

2.4.1.Hubungan Antar Variabel

(61)

keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai dengan kepentingan pihak manajemen (Ujiantho dan Pramuka, 2007).

Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Peningkatan aktivitas pengawasan oleh investor institusional didasari oleh keinginan mereka untuk meningkatkan tanggung jawab manajemen. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen.

(62)

H1 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2.4.1.2. Hubungan antara Kepemilikan Manajerial dengan Manajemen

laba

Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer perusahaan. Motivasi yang berbeda akan menghasilkan besaran manajemen laba yang berbeda, seperti antara manajer yang juga sekaligus sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham. Hal ini sesuai dengan sistem pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria: (a) perusahaan yang dipimpin oleh manajer dan pemilik (owner-manager); dan (b) perusahaan yang dipimpin oleh manajer dan non pemilik (non owners-manager). Dua kriteria ini akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepemilikan seorang manajer akan ikut menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang di terapkan pada perusahaan yang mereka kelola. Secara umum dapat dikatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba (Gideon 2005 dalam Ujiyantho dan Pramuka, 2007).

(63)

Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dan discretionary accruals sebagai ukuran manajemen laba.

H2 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2.4.1.3. Hubungan antara Proporsi Komisaris Independen dengan

Manajemen Laba

Fama dan Jensen (1983) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang memiliki good corporate governance.

Beasley (1996) yang dikutip dalam Eka Sefiana (2009) menyarankan bahwa masuknya dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan meningkatkan efektivitas dewan tersebut dalam mengawasi manajemen untuk mencegah kecurangan laporan keuangan. Hasil penelitiannya juga melaporkan bahwa komisaris independen lebih penting keberadaannya untuk mengurangi kecurangan dalam pelaporan keuangan, daripada kehadiran komite audit.

Gambar

Tabel 2.1
Kerangka KonseptualGambar 2.1
Tabel 3.1
Tabel 4.1 Sampel Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ctrl+F2 untuk mengak ti fk an modus tampilan Print Preview ... Jika kamu merasa yakin dengan tata letak lembar kerjamu dan akan langsung mencetak, klik tombol Offi ce , lalu

Hal ini ditunjukkan dari nilai hasil tes yang diberikan pada siklus I pertemuan I Aktivitas belajar IPA siswa kelas III di atas menunjukkan hasil prosentase

2) Mengetahui  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  menyelesaikan  suatu  bagian 

[r]

Because a number of twin pairs were discordant for major depression (n 5 12), we examined the mean cortisol in the unaffected twins compared with twin pairs in which neither twin had

Given that follow-up studies of ADHD children have yielded ambiguous results, more work is also needed to evaluate the long-term outcome of ADHD children. These studies should

Outstanding Kewajiban pada Bank Lain pada Triwulan III mengalai penurunan dibandingkan dengan posisi Juni 2016. Selain penurunan dari sisi Arus Kas Keluar, penurunan NCO selama

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayah yang telah dilimpahkan oleh-Nya sehingga penulis dapakrit menyelesaikan Tugas