• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi ekologi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi ekologi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015"

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

Rizki Amalia 1111101000030

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

ii Skripsi, Maret 2015

Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

STUDI EKOLOGI PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013-2015

185 halaman, 2 gambar, 2 bagan, 13 tabel, 16 grafik, 4 peta, 6 lampiran

ABSTRAK

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Incidence rate (IR) Kota Tangerang Selatan dalam 5 tahun terakhir melebihi target IR secara nasional. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kasus DBD adalah faktor lingkungan (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit DBD dan mengetahui hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 menggunakan desain ecological study dimana populasinya adalah semua kasus di seluruh Puskesmas yang ada wilayah Kota Tangerang Selatan. Data berasal dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, BPS Kota Tangerang Selatan dan BMKG Ciputat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara spasial sebaran kasus DBD yang tinggi lebih banyak ditemukan di Puskesmas dengan angka bebas jentik tinggi (≥95%), rumah sehat tinggi (≥80%) dan kepadatan penduduk tinggi (>200 jiwa/ha). Sedangkan, secara temporal menunjukkan penurunan kasus DBD selama 3 tahun terakhir. Hasil uji statistik korelasi menunjukkan hubungan kuat secara signifikan antara faktor iklim dengan kejadian DBD, kecuali kecepatan angin.

Incidence rate DBD pada tahun 2013-2015 di wilayah kerja Puskesmas bagian Selatan Kota Tangerang Selatan masih tinggi. Pencegahan yang dilakukan adalah peningkatan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) melalui ‘3M Plus’ dan mengajak peran serta masyarakat agar aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan terkait breeding place nyamuk Aedes aegypti.

Kata Kunci: Spasial, Temporal, Sistem Informasi Geografis, Demam Berdarah Dengue, Korelasi, Iklim

(4)

iii Undergraduated Thesis, March 2015 Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015

185 pages, 2 pictures, 2 bagan, 13 tables, 16 graphs, 4 maps, 6 attachments ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is still higher than the national target. The determinants of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density).

This research is aim to determine the distribution of the disease spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.

Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200 inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3 years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for the wind speed.

Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes aegypti.

(5)

i Undergraduate, Maret 2015

Rizki Amalia, NIM: 1111101000030

ECOLOGICAL STUDY OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN THE CITY OF SOUTH TANGERANG YEAR 2013-2015

184 pages, 9 tables, 4 maps, 16 graphs, 3 bagan, 2 picture, 6 attachment ABSTRACT

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is one of the diseases a health problem in Indonesia. Incidence of DHF in South Tangerang City within the last 5 years is still more than the national target (≤ 51 per 100.000 population). The determinants of increase in dengue cases are environmental factors (temperature, humidity, rainfall, wind speed, larva-free numbers, house healthy and population density).

This research is aim to determine the distribution of the disease spatialtemporal of DHF and to determine of the relationship between air temperature, humidity, rainfall rain and wind speed with DHF in South Tangerang City in 2013-2015 using ecological study which populations are all cases in all health centers of South Tangerang City area. The data collected comes from Health Department of South Tangerang City, the Central Statistics Agency South Tangerang City, and Meteorology, Climatology and Geophysics of Ciputat.

Results of this research showed that spatially analysis is the distribution of DHF cases is high are more prevalent with rate of larva-free is high (≥95%), high percentage of healthy house (≥80%) and high population density (> 200 inhabitants/ha). Temporally analysis showed decrease in dengue cases over the last 3 years. Results of statistical test of correlation shows that there are significantly strong relationship between climate factors and incidence of dengue, except for the wind speed.

Incidence of DHF at 2013-2015 years by the working area of community health centers in South of South Tangerang City is high. Prevention of dengue disease is necessary to increase the movement of mosquito nest elimination of DHF through ‘3M Plus’ and invites community participation to be proactive in maintain a healthy environment which related to the breeding place of Aedes aegypti.

(6)
(7)
(8)

vi Nama : Rizki Amalia Jenis Kelamin : Perempuan

TTL : Jakarta, 30 November 1993 No. Telp : 082113047625

Alamat : Jl. Sankis No.23 RT004/010 Perum. Depok Jaya Agung, Pancoran Mas, Kota Depok 16435

Email : eshimizudani407@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN

1997-1999 : TK Tunas Bangsa 1999-2005 : SD Negeri Beji I Depok 2005-2008 : SMP Negeri 13 Depok 2008-2011 : MA Negeri 7 Jakarta Selatan

2011-sekarang : Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

(9)

vii

Puji syukur kehadirat Alah SWT , Dzat Yang maha Berkehendak, sehingga atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Ekologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memnuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dalam Peminatan Epidemiologi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Atas semua bimbingan, bantuan, dukungan, perhatian serta do’a, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph. D sebagai Ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M. Kes sebagai penanggungjawab peminatan Epidemiologi dan pembimbing skripsi I, terima kasih banyak Ibu telah sabar dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan masukan, arahan, bimbingan, motivasi dan dorongan semangat selama penyusunan skripsi ini juga memberikan saya ridho untuk bisa maju sidang skripsi.

(10)

viii

5. Bapak Azib dan Ibu Ima selaku administrasi kemahasiswaan yang telah membantu mengurus berkas yang dibutuhkan untuk bisa maju sidang skripsi ini dan wisuda.

6. Bapak kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian di institusi ini.

7. Bapak Supriyadi selaku kepala seksi P2P Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Bapak Nicko selaku seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan Ibu Putri selaku pemegang Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan telah meluangkan waktunya sewaktu saya membutuhkan data, telah memberikan masukan dan pencerahan.

8. Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan yang telah mengizinkan peneliti memiliki laporan Kecamatan Dalam Angka Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2015.

9. Badan Meteorologi dan Klimatologi Geologi Ciputat yang telah mengizinkan peneliti memiliki laporan iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin) Tahun 2010-2015.

(11)

ix

memberikan kasih sayang, dorongan semangat serta pesan terakhirnya sebelum beliau tiada yaitu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12. Kakak (Mas Ito), kakak ipar (Mba Nada), keponakan (Zainka) juga yang tersayang telah memberikan bantuan moral, material dan doa serta dorongan semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Adik (Devi V.), Dina, Rini, Pipi (Putri A.), Dea, PW (Putri W.), Kemal, Upit (Nur Fitri A.),Wulan, Kak Bayu, Kak Zata dan juga Kak Nida yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini dan juga doa, dorongan semangat dan masukannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 14. Komunitas Epidemiologi 2011 dan juga Epidemiologi 2013 yang telah

memberikan doa dan dorongan semangatnya.

15. Sahabat “Genk Remponkz” yang selalu kompak sejak semester 1 yang telah memberikan dukungan moral, materil, doa serta dengan sabarnya terus-menerus mengingatkan penulis agar menyelesaikan skripsi ini.

16. Seluruh teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(12)

x

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila masih banyak terdapat kekuranagn dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang hendak mengembangkan maupun mendalami topic bahasannya. Semoga Alloh SWT. berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Amin ya Rabbal’alamin.

Jakarta, 08 Maret 2016

(13)

xi

DAFTAR SINGKATAN

DBD : Demam Berdarah Dengue WHO : World Health Organization ABJ : Angka Bebas Jentik

IR : Incidence Rate

SIG : Sistem Informasi Geografis Jumantik : Juru Pemantauan Jentik KLB : Kejadian Luar Biasa PJB : Pemantauan Jentik Berkala PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk

PSN-DBD : Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue

3M Plus : Menutup, Mengubur, Menguras juga pemeliharaan ikan pemakan jentik, tidak menggantung pakaian, penggunaan abate,

penggunaan repellent, kelambu

(14)

xii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI………. i

ABSTRAK………..……….. ii

ABSTRACT………..……… iii

LEMBAR PERSETUJUAN………..…………..…… iv

LEMBAR PENGESAHAN……….… v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……… vi

KATA PENGANTAR………..…… vii

DAFTAR SINGKATAN……….. xi

DAFTAR ISI………..….. xii

DAFTAR BAGAN... xvi

DAFTAR GAMBAR……… xvi

DAFTAR GRAFIK………. xvi

DAFTAR TABEL……… xvii

DAFTAR PETA……….. xviii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah………... 7

C. Pertanyaan Penelitian……….... 8

D. Tujuan Penelitian……….. 9

E. Manfaat Penelitian………... 11

(15)

xiii

1. Definisi DBD……… 14

2. Etiologi DBD……… 14

3. Gejala DBD……….. 15

4. Vektor DBD………... 16

5. Mekanisme Penularan DBD………. 19

B. Epidemiologi Deskriptif……… 21

1. Orang………. 21

2. Tempat………... 22

3. Waktu……… 22

C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)……….. 23

1. Host (Pejamu)………... 24

2. Agent……… 28

3. Environment (Lingkungan)……….. 29

D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS)………. 41

1. Definisi SIG………... 41

2. Kegunaan SIG………... 42

E. Analisis Spasial……….… 43

1. Definisi Analisis Spasial……….…. 43

2. Manfaat Analisis Spasial………. 46

3. Teknik Analisis Overlay……….. 46

F. Kerangka Teori………. 46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 51

A. Kerangka Konsep……….…. 51

B. Definisi Operasional……….… 55

(16)

xiv

B. Lokasi, Waktu dan Populasi Penelitian………... 60

C. Manajemen Data……… 60

1. Cara Pengumpulan Data……….………..… 60

2. Instrumen Penelitian………. 61

3. Pengolahan Data……….……….. 63

A. Distribusi Kejadian Penyakit DBD……… 70

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang……… 70

2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat……….. 72

3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu………... 76

B. Distribusi Angka Bebas Jentik Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……… 79

C. Distribusi Rumah Sehat Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……….. 84

D. Distribusi Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah Kerja Puskesmas……. 90

E. Gambaran Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan………. 97

1. Gambaran Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan ………. 97

2. Gambaran Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan………….. 98

3. Gambaran Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan ……… 99

4. Gambaran Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan ……… 99

F. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Faktor Iklim di Kota Tangerang Selatan……… 100

1. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan ………... 101

(17)

xv

4. Korelasi Kejadian Penyakit DBD dengan Kecepatan Angin di Kota

Tangerang Selatan ……… 106

BAB VI PEMBAHASAN………. 108

A. Keterbatasan Penelitian……….. 108

B. Distribusi Kejadian Penyakit DBD……… 109

1. Distribusi Kejadian DBD Menurut Orang……… 109

2. Distribusi Kejadian DBD Menurut Tempat……….. 112

3. Distribusi Kejadian DBD Menurut Waktu………... 114

C. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Fisik………. 116

D. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Biologi……. 128

E. Distribusi Kejadian Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan Non-Fisik…. 131 BAB VII PENUTUP………....… 133

A. Simpulan……… 133

B. Saran……….. 135

DAFTAR PUSTAKA………... 139

(18)

xvi

Bagan 2.2 Teori Simpul………. 50

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Vektor Nyamuk Aedes aegypti………..……… 17 Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti……… 19

DAFTAR GRAFIK

Grafik 5.1 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………... 71 Grafik 5.2 Distribusi Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………... 72 Grafik 5.3 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan IR DBD

Per 100.000 Penduduk Tahun 2013-2015……….... 73 Grafik 5.4 Distribusi Kasus DBD Menurut Tahun di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015……….. 77 Grafik 5.5 Distribusi Kasus DBD Menurut Bulan di Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013-2015……….…. 78 Grafik 5.6 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Angka

Bebas Jnetik Tahun 2013-2015………... 80 Grafik 5.7 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Rumah

Sehat Tahun 2013-2015………... 86 Grafik 5.8 Jumlah Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Berdasarkan Kepadatan

(19)

xvii

Tabel 4.2 Ukuran Epidemiologi Pada Variabel Penelitian……… 66 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi ABJ di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang

Selatan Tahun 2013-2015………. 79 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……… 85 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………... 91 Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015….. 97 Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban Udara di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015………... 98 Tabel 5.6 Distribusi Curah Hujan di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015…. 99 Tabel 5.7 Distribusi Kecepatan Angin di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015………... 100 Tabel 5.8 Hasil Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……….. 101 Tabel 5.9 Hasil Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian DBD di

Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-2015……….… 103 Tabel 5.10 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian DBD di Kota

Tangerang Selatan Tahun 2013-2015………. 105 Tabel 5.11 Hasil Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian DBD di

(20)

xviii

Selatan Tahun 2013-2015………... 74 Peta 5.2 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Angka Bebas

Jentik di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun

2013-2015………... 81

Peta 5.3 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Rumah Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun 2013-

2015………..……….. 87 Peta 5.4 Distribusi Spatialtemporal Incidence Rate DBD dengan Kepadatan

Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas di Kota Tangerang Selatan Tahun

(21)

1 A. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat internasional dan merupakan penyakit yang dapat berpotensi kematian, khususnya di negara-negara tropis dan sub tropis. Dalam dekade terakhir, penyebaran kasus Dengue oleh nyamuk Aedes aegypti banyak tersebar luas baik di perkotaan maupun pedesaan dan menyebabkan tingginya kasus yang membutuhkan rawat inap dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 70% Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan daerah yang paling serius terkena dampak dari DBD (WHO, 2011). Hingga saat ini, WHO memperkirakan sebanyak 50 sampai 100 juta orang terinfeksi Dengue setiap tahunnya, termasuk sebanyak 500.000 kasus DBD, 22.000 kematian dimana sebagian besar terjadi pada anak-anak (WHO, 2015; CDC, 2015). Pada tahun 2013, kasus Dengue terjadi di Florida (salah satu negara di Amerika) dan Yunan, Provinsi Cina. Dengue terus berlanjut hingga sampai negara-negara Amerika Selatan, yaitu Honduras, Costa Rica dan Meksiko.

(22)

(sanofi, 2014). Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia tercatat sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010). Indonesia merupakan negara hiperendemis Dengue dimana ke-empat serotipe virus Dengue sudah tersebar di 34 provinsi. Setelah Indonesia, hiperendemis Dengue diikuti oleh negara Vietnam, Thailand, Philipina dan Malaysia (Fullerton et al, 2014).

Pada tahun 2014, Incidence Rate (IR) atau angka kesakitan DBD di Indonesia sebesar 39,8% per 100.000 penduduk dimana 3 provinsi dengan Incidence Rate (IR) DBD tertinggi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur (234,29 per 100.000 penduduk) Provinsi Bali (206 per 100.000 penduduk) dan Provinsi Kepulauan Riau (202,08 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2015). Ketiga provinsi tersebut tidak mencapai indikator menurunnya angka kesakitan menjadi ≤ 51 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).

Beberapa Provinsi yang telah mencapai indikator, salah satunya Provinsi Banten dengan IR sebesar 13,88 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015). Namun, di dalam Provinsi Banten juga terdapat beberapa kabupaten/kota endemis DBD salah satunya, yaitu Kota Tangerang Selatan (Kemenkes RI, 2014).

(23)

tahun 2015, setelah ditelusuri berdasarkan wilayah kerja puskesmas masih ditemukan sebanyak 9 dari 25 puskesmas yang memiliki angka IR DBD > 51 per 100.000 penduduk dimana angka IR DBD tertinggi mencapai 311 per 100.000 penduduk, yaitu pada Puskesmas Setu (P2P Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2015).

Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Dalam teori simpul oleh Achmadi (2014), terdapat 5 macam simpul yaitu simpul 1 (penderita penyakit DBD), simpul 2 (vektor nyamuk Aedes aegypti infektif virus Dengue), simpul 3 (karakteristik masyarakat yang berisiko menderita penyakit DBD), simpul 4 (dampak kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia) dan simpul 5 (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, rumah sehat, angka bebas jentik dan kependudukan) (Achmadi, 2014).

(24)

tinggi, maka kelembaban udara juga tinggi. Kedua hal tersebut dapat mempengaruhi jumlah vektor nyamuk dan umur vektor nyamuk yang menyebabkan penularan DBD masih terus terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue dan Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian DBD.

Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata suhu udara dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 27,7ºC. Suhu udara dapat mempengaruhi perkembangan virus Dengue dalam tubuhnya dan frekuensi menggigit ke beberapa orang. Penelitian yang dilakukan oleh Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam laporan BMKG Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata kecepatan angin dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 4 knot. Semakin tinggi kecepatan angin, maka semakin sulit nyamuk untuk terbang sehingga penularan DBD tidak menyebar luas. Penelitian oleh Dini (2010) menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan insiden DBD.

(25)

lebih dari sama dengan 95% mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD dengan cara 3M di lingkungan sekitarnya belum optimal sehingga kasus DBD masih sering terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Sunardi (2007) secara spasial menunjukkan bahwa kasus DBD lebih banyak pada wilayah dengan tingkat ABJ kurang dari 95%.

Dalam laporan BPS Kota Tangerang Selatan didapat bahwa rata-rata kepadatan penduduk dalam kurun waktu 3 (tiga) terakhir adalah 232, 2 jiwa/ha. Kepadatan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan penularan kasus DBD. Nyamuk memiliki kemampuan terbang hingga 100 m, namun dengan penduduk yang padat, nyamuk tidak perlu terbang sejauh itu sehingga peluang besar untuk nyamuk Aedes aegypti menggigit pada banyak orang dapat memberikan dampak penyebaran kasus DBD dengan cepat (Hairani, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah lain.

(26)

Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis spatialtemporal (ruang dan waktu) dengan tools sistem informasi geografis (SIG) secara geografis dalam layer peta untuk melihat sebaran kejadian DBD berdasarkan rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan. Analisis spatialtemporal ini dapat mengetahui adanya faktor keruangan (rumah sehat, ABJ dan kepadatan penduduk) yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit DBD dari waktu ke waktu selanjutnya. Selain itu juga dapat membantu mengetahui daerah mana saja yang endemis DBD.

(27)

telah diprioritaskan dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD.

B. Rumusan Masalah

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, yaitu penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk DBD sehingga berpotensi terhadap peningkatan kejadian DBD (IR DBD terus berada > 51 per 100.000 penduduk) dan penularan penyakit DBD. Secara geografis, wilayah Indonesia beriklim tropis dimana beberapa wilayah sudah menjadi endemis DBD karena banyak tempat yang cocok untuk perkembangbiakan vektor nyamuk Aedes aegypti.

Faktor lingkungan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang tidak baik (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin, rumah sehat), lingkungan biologi (angka bebas jentik < 95%) dan lingkungan non-fisik (kepadatan penduduk yang tinggi). Faktor lingkungan fisik dan biologi dapat mempengaruhi perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor nyamuk Aedes aegypti, sedangkan faktor lingkungan non-fisik dapat mempengaruhi persebarluasan penularan penyakit DBD.

(28)

untuk mengetahui distribusi spatialtemporal kejadian DBD berdasarkan angka bebas jentik, rumah sehat dan kepadatan penduduk. Analisis data spasial dilakukan dengan memanfaatkan tools Sistem Informasi Geografis (SIG). Selain itu, peneliti juga melakukan uji statistik korelasi bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dengan kejadian DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

2. Bagaimana distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

3. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

4. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

(29)

6. Bagaimana distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

7. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

8. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

9. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

10. Bagaimana kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015?

D. Tujuan

1. Tujuan Umum

(30)

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

b. Untuk mengetahui distribusi faktor iklim (suhu udara, kelembaban udara, curah hujan dan kecepatan angin), faktor kepadatan penduduk, faktor angka bebas jentik dan faktor rumah sehat berdasarkan orang, tempat dan waktu di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

c. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

d. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan angka bebas jentik (ABJ) di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

e. Untuk mengetahui distribusi spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan persentase rumah sehat di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

(31)

g. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan suhu udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

h. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kelembaban udara di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

i. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan curah hujan di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

j. Untuk mengetahui kekuatan hubungan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015.

E. Manfaat

1. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan

a. Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pembuat kebijakan mengenai gambaran distribusi spatialtemporal kasus DBD sehingga dapat melihat daerah endemis DBD dan juga daerah yang berpotensi terjadi KLB DBD di wilayah Kota Tangerang Selatan.

(32)

c. Hasil penelitian dapat membantu bagi pengambil keputusan dalam intervensi penyakit DBD pada daerah rawan DBD yang telah diprioritaskan berdasarkan hasil distribusi spatialtemporal di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015, baik berupa advokasi, penyuluhan kesehatan lingkungan, fogging fokus, peningkatan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), penggalakkan kegiatan PSN 3M Plus maupun lainnya.

2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kota Tangerang Selatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada BMKG Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian penyakit DBD berkaitan dengan faktor iklim di Kota Tangerang Selatan. 3. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Tangerang Selatan

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan kepada BPS Kota Tangerang Selatan mengenai kejadian penyakit DBD berkaitan dengan faktor kependudukan di Kota Tangerang Selatan.

4. Masyarakat Kota Tangerang Selatan

Hasil penelitian dapat memberikan infromasi dan menambah wawasan kepada masyarakat mengenai kejadian penyakit DBD dan pencegahan penyakit DBD di Kota Tangerang Selatan.

5. Peneliti Lain

(33)

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu kesehatan.

F. Ruang Lingkup Peneliti

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan menggunakan desain studi ekologi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan spasial dan tools sistem informasi geografis (SIG) bertujuan untuk mengetahui spatialtemporal penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kepadatan penduduk, angka bebas jentik dan rumah sehat. Selain itu, peneltian ini juga bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan kejadian DBD dengan suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin di Kota Tangerang Selatan tahun 2013-2015 dengan uji statistik korelasi.

(34)

14

A. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 1. Definisi DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infektif oleh virus Dengue. Penyakit DBD yang ditularkan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang dapat ditemukan di seluruh dunia. Nyamuk yang sudah terinfeksi virus Dengue akan menjadi infektif selama hidupnya (CDC, 2015).

2. Etiologi DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue. Terdapat empat jenis serotype virus Dengue yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Semua jenis serotype virus Dengue ini ditemukan di Indonesia dan menunjukkan bahwa DEN-3 merupakan virus Dengue yang paling luas distribusinya terhadap DBD berat disusul DEN-1, DEN-2 dan DEN-4 (Kemenkes RI, 2013).

(35)

proteksi-silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotype (hiperendemisitas) dapat terjadi (Gama & Betty, 2010; Kemenkes RI, 2013).

3. Gejala DBD

Umumnya DBD ditandai demam 2-7 hari disertai dengan manisfestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya homokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Akan tetapi, dapat juga disertai gejala yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri otot dan tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata (Kemenkes RI, 2013).

Menurut World Health Organization (WHO), seseorang dikatakan positif DBD apabila ditandai beberapa gejala antara lain (1) demam atau adanya riwayat demam pada saat sekarang, (2) trombositopeni; hitung platelet sama atau kurang dari 100 x 103/cu mm (Standar Internasional sama atau kurang dari 100 x 109/L), (3) manifestasi perdarahan seperti tes torniquet positif, petechiae atau fenomena perdarahan yang jelas dan (4) berkurangnya plasma karena meingkatnya permeabilitas vaskuler. Selain itu juga adanya kenaikan hematokrit sebesar 20 % dibandingkan dengan nilai normal atau ditemukannya efusi pleural atau efusi abdomen dengan pemeriksaan ultrasonografi, tomografi ataupun sinar-X (Chin, 2012).

(36)

a. Derajat I: ringan, bila demam mendadak 2-7 hari disertai gejalaklinik lain dan manifestasi perdarahan paling ringan yaitu tes torniquet yang positif.

b. Derajat II: sedang, dengan gejala lebih berat daripada derajat I,disertai manifestasi perdarahan kulit, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena.

c. Derajat III: berat, terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.

d. Derajat IV: berat sekali, penderita syok berat, tensi tidak terukur dan nadi tidak dapat diraba.

4. Vektor DBD

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (daerah urban), sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural) yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Soedarto, 1990). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dibandingkan nyamuk Aedes albopictus (Ditjen P2M & PL, 2007).

a. Ciri-ciri nyamuk vektor DBD

(37)

aegypti dengan Aedes albopictus dapat dibedakan yaitu pada bagian torak keduanya. Torak pada nyamuk Aedes aegypti terdapat warna putih dan berbentuk bulat, sedangkan torak pada nyamuk Aedes albopictus berbentuk garis lurus (Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.1

Vektor nyamuk Aedes aegypti

Sumber: Kemenkes RI, 2013

(38)

b. Tempat berkembangbiak nyamuk vektor DBD

Tempat perindukan yang disenangi nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Nyamuk ini tidak dapat berkembangbiak di selokan atau got atau kolam yang berhubunagn langsung dengan tanah (Nisa, 2007). Di Indonesia, nyamuk Aedes aegypti tersebar luas, baik di kota maupun di desa kecuali di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut (Suroso dan Umar, 2004). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan menjadi (Kemenkes RI, 2013):

1) Tempat penampuangan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi atau WC dan ember.

2) Tempat penampuangan air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti tempat minum burung, vas bunga, kulkas atau dispenser, barang-barang bekas (contoh, botol, plastik, ban, kaleng, dll).

(39)

c. Siklus hidup nyamuk vektor DBD

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti terdiri dari 4 bentuk, yaitu telur – jentik (larva) – pupa – nyamuk dewasa. Stadium telur hingga sampai menjadi pupa berlangsung di dalam air. Umumnya telur menetas menjadi jentik (larva) dalam waktu ±2 hari setelah telur tersebut terendam air. Stadium jentik (larva) biasanya berlangsung selama 6-8 hari dan stadium kepompong (pupa) berlangsung antara 2-8 hari. Pertumbuhan telur hingga sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama 9-10 hari. umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Kemenkes RI, 2013).

Gambar 2.2

Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti

Sumber: Kemenkes RI, 2013 5. Mekanisme Penularan DBD

(40)

sumber agen penyakit (simpul 1) yaitu nyamuk Aedes aegypti menggigit orang yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya.

Kemudian, vektor penular (simpul 2) yaitu nyamuk Aedes aegypti infektif virus Dengue yang dapat menularkan virusnya ke tubuh orang yang sehat. Virus Dengue masuk bersama darah yang dihisapnya (Suroso dan Umar, 2004). Nyamuk akan menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita dan tetap infektif selama hidupnya dan potensial menularkan virus Dengue kepada manusia lain (Ginanjar, 2004). Virus yang telah dihisap akan masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembangbiak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk, sebagian besar berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam waktu 1 minggu, jumlah virus dapat mencapai puluhan sampai ratusan ribu dan siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain. Sebelum menghisap darah host (pejamu) baru, air liur dari kelenjar nyamuk dikeluarkan setelah alat tusuk nyamuk (probobis) menemukan kapiler agar darah yang dihisap tidak membeku. Pada saat itulah, virus Dengue ditularkan atau dipindahkan ke orang lain bersama air liur nyamuk tersebut (Suroso dan Umar, 2004).

(41)

menderita DBD meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Akan tetapi, apabila orang dengan kekebalan tubuh yang lemah terhadap virus Dengue, maka akan muncul gejala DBD seperti demam ringan bahkan demam berat, yaitu demam tinggi disertai perdarahan, syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya (Simpul 4).

Penyakit DBD merupakan penyakit berbasis lingkungan dengan perkembangbiakan nyamuk yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitarnya sehingga berpotensi adanya kontak antara nyamuk infektif virus Dengue dengan manusia dan menularkan virus tersebut. Adapun kondisi lingkungan tersebut antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan non-fisik (Achmadi, 2014; Suroso dan Umar, 2004).

B. Epidemiologi Deskriptif 1. Orang

(42)

umur mengakibatkan peluang terinfeksinya virus Dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti berbeda (Hairani, 2009).

Selain itu, kerentanan tubuh terhadap virus Dengue tidak dapat dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Tidak semua orang yang telah digigit nyamuk yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya akan jatuh sakit DBD. Hal ini bergantung dari sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh orang tersebut (Hairani, 2009).

2. Tempat

Dalam penyelidikan epidemiologi, variabel tempat dapat digunakan untuk mengetahui distribusi geografis dari suatu penyakit sehingga dapat dilakukan perencanaan pelayanan kesehatan dan dapat mengetahui faktor penyebab dari suatu penyakit. Adapun variabel tempat yang biasa digunakan adalah kelurahan, kecamatan, kabupaten kotamadya, propinsi, perkotaan dan pedesaan (Asmara, 2009).

Berdasarkan hasil studi epidemiologi, outbreak DBD umumnya terjadi pada daerah yang kondisinya optimal untuk transmisi virus Dengue, yaitu daerah tropis dan subtropis dengan iklim dan temperatur yang optimal bagi habitat nyamuk Aedes aegypty. Di daerah tersebut juga ditemukan endemik berbagai tipe virus Dengue dalam waktu yang bersamaan (Djunaedi, 2006).

3. Time (waktu)

(43)

pendek atau epidemi (jam, hari, minggu, dan bulan), perubahan secara siklus dimana terjadi perubahan angka kesakitan yang berulang-ulang (beberapa hari, beberapa bulan/musiman, tahunan, beberapa tahun) dan fluktuasi jangka panjang atau disebut juga secular trends (bertahun-tahun, puluhan tahun) (Asmara, 2009).

Epidemi demam berdarah Dengue (DBD) di negara-negara yang memiliki 4 musim berlangsung pada musim panas walaupun ditemukan kasus DBD yang sporadis pada musim dingin. Sedangkan, di negara-negara kawasan Asia Tenggara epidemi DBD terjadi pada musim hujan. Penyebaran penyakit DBD di Indonesia saat ini tidak mengenal waktu, tiap bulan ditemukan adanya laporan kasus DBD meskipun jumlah kasusnya tidak sebanyak kasus pada bulan di musim hujan. Epidemi DBD yang berlangsung pada musim hujan ini berkaitan erat dengan kelembaban yang tinggi. Kelembaban yang tinggi tersebut merupakan lingkungan yang optimal bagi masa inkubasi (dapat mempersingkat masa inkubasi) dan juga dapat meningkatkan aktivitas vektor dalam menularkan virus Dengue (Djunaedi, 2006).

C. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)

(44)

1. Penyakit muncul karena ketidakseimbangan antara agent (penyebab) dan host (manusia)

2. Keadaan keseimbangan bergantung pada sifat alami dan karakteristik agent dan host (individu/kelompok)

3. Karakteristik agent dan hostakan mengadakan interaksi. Dalam interaksi tersebut akan berhubunan langsung pada keadaan alami dari lingkungan (lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis)

Keseimbangan ketiga faktor berhubungan dengan teori ekosistem (Vanleeuwen, 1999). Berikut ini penjelasan terkait host, agent dan environment dari Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD):

1. Host (Pejamu)

Faktor host adalah suatu kondisi yang mempengaruhi risiko keterpajanan dan kerentanan seseorang terhadap penyakit. Adapun kondisi tersebut antara lain faktor-faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, komposisi genetik dan ras. Faktor umur adalah salah satu faktor host yang paling penting karena dapat mempengaruhi suatu risiko keterpajanan dan status imunologik (Arias, 2009).

a. Umur

(45)

Aktivitas pada kelompok umur tersebut juga lebih sering bermain atau sekolah dimana selama beberapa jam atau hampir seharian berada di dalam kondisi dan waktu yang meingkatkan risiko untuk terkena gigitan nyamuk penular DBD.

Faktor pola curah hujan yang tidak menentu dan aktivitas usia produktif di lingkungan luar juga dapat menyebabkan orang dewasa ikut terkena DBD. Siregar (2004) mengatakan bahwa DBD dapat menyerang semua golongan umur, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat terdapat kecenderungan kenaikan proporsi penderita DBD pada orang dewasa. Semua umur dan kelompok sosial masyarakat dapat berisiko tertular virus Dengue melalui gigitan nyamuk (Yatim, 2007). Penyakit DBD menyerang pada semua kelompok umur disebabkan penularan DBD yang terjadi tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah dan tempat kerja (Kemenkes RI, 2010).

b. Jenis kelamin

(46)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Syumarta, Hanif dan Rustam (2014) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak pada laki-laki (54,8%) daripada perempuan (45,2%) dengan rasio perbandingan masing-masing sebesar 1,21:1. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) menunjukkan bahwa penderita DBD lebih banyak pada laki-laki (53,8%) daripada perempuan (42,34%). Dalam penelitian tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD. Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Wahyono dkk (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD (OR=1,80; 95% CI; 1,07-3,01).

c. Status gizi

Penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Asep (2012) menunjukkan bahwa status gizi berhubungan secara signifikan dengan infeksi virus Dengue (Pvalue = 0,004; OR=1,250; 95% CI: 1,297-3,955). Orang dengan status gizi tidak normal akan lebih mudah mendapatkan infeksi virus Dengue dan terjadi penularan dibanding orang dengan status gizi normal.

d. Pengetahuan

(47)

dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumekar (2005) menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan responden dengan keberadaan jentik (Pvalue = 0,35) sehingga secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kejadian DBD.

e. Pekerjaan

Penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung, Halim dan Koto (2011) di Kecamatan Matur Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat menunjukkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,04). Pekerjaan seperti petani, perkebunan tebu menyebabkan seseorang mudah tergigit nyamuk Aedes aegypti karena bekerja di lingkungan luar rumah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Nizal MG et al (2012) menunjukkan tidak terdapat hubungan secara signifikan antara pekerjaan dengan DBD (Pvalue = 0,309).

f. Perilaku 3M

(48)

hubungan antara perilaku 3M Plus dengan kejadian luar biasa (KLB) DBD (Pvalue = 0,03).

2. Agent

Sumber penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Achmadi, 2014):

a. Sumber penyakit alamiah, misal proses pembusukan yang terjadi karena proses alamiah.

b. Hasil kegiatan manusia, seperti industri, knalpot kendaraan bermotor.

Sumber penyakit yang mengeluarkan dan mengandakan mikroorganisme patogen adalah penderita penyakit menular, misal mikroorganisme TBC, HIV/AIDS adalah penderita penyakit yang bersangkutan. Sumber penyakit menular juga dapat berupa binatang (reservoir), yaitu binatang tempat berkembangbiaknya agen penyakit, meski binatang yang bersangkutan tidak menderita sakit, misal penyakit Japanese Encephalitis dengan babi (reservoir). Sumber penyakit binatang ini biasanya ditransmisikan oleh binatang lainnya, misal nyamuk yang mengigit manusia (Achmadi, 2014).

(49)

2009). Virus DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. Virus DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal (Yuswulandari, 2010).

3. Environment (Lingkungan)

Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaksi antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk, salah satu variabel kependudukan seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, keturunan, kepadatan penduduk, budaya dan sebagainya. Secara garis besar, kejadian penyakit terjadi karena dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel-variabel lingkungan (Achmadi, 2014).

(50)

lingkungan yang mengandung agen penyakit) dan simpul 5 (variabel lain yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut seperti iklim, topografi) (Achmadi, 2014). Berikut penjelasaan masing-masing simpul:

Bagan 2.1

Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) (Achmadi, 2014)

Simpul

a. Simpul 1: Sumber Penyakit

Agen penyakit dalam simpul 1 adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan melalui media perantara. Dalam hal kejadian DBD, virus Dengue (Arthrophod borne virus) merupakan agent penyakit DBD. Virus ini berukuran 5

Variabel lain seperti iklim, topografi, dll

(51)

kecil (50nm) dan memiliki RNA tunggal. Genome (rangkaian kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 pasangan basa dan tiga gen protein struktural (Kemenkes RI, 2013).

Terdapat 4 serotipe virus antara lain DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Dari keempat virus tersebut, DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat di Indonesia. Host (manusia) yang telah terinfeksi oleh salah satu virus dari keempat virus tersebut akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan (Kemenkes RI, 2013).

b. Simpul 2: Media Transmisi Penyakit

Media transmisi penyakit dalam simpul ke-2 adalah komponen lingkungan yang terdiri atas 5 komponen antara lain udara ambient, air baik dikonsumsi maupun keperluan lainnya, tanah/ pangan, binatang/ serangga penular/ vektor dan manusia melalui kontak langsung. Apabila agen penyakit tidak terdapat di dalam media transmisi, maka tidak berpotensi penyakit. Binatang atau vektor penular dikatakan memiliki potensi dan menjadi media transmisi jika di dalamnya terdapat virus (Achmadi, 2014)

(52)

RI, 2013). Nyamuk yang paling sering menimbulkan terjadinya penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti yang berwarna hitam kecoklatan dengan bintik-bintik putih pada bagian kepala, torak, abdomen dan kaki (Ditjen P2M & PL, 2007; Kemenkes RI, 2013).

c. Simpul 3: Perilaku Pemajanan (Behavioral Exposure)

Menurut Achmadi (1987) hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dalam konsep disebut perilaku pemajanan atau behavioral exposure (Achmadi, 2014). Dalam kejadian DBD, beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa perilaku 3M Plus berhubungan dengan kejadian DBD (Afriza dan Nasriati, 2012; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011). Selain dari faktor perilaku, faktor dari host sendiri seperti umur, jenis kelamin, status gizi, pengetahuan, pekerjaan juga berhubungan dengan DBD (WHO, 2009; Wahyono dkk, 2010; Hakim dan Asep, 2012; Hasan, Alfiah dan Nurbaya, 2013; Hutagalung, Halim dan Koto, 2011).

d. Simpul 4: Kejadian Penyakit

(53)

Akan tetapi, dalam kejadian penyakit DBD ini outcome nya adalah angka Incidence Rate (IR) DBD.

e. Simpul 5: Variabel Supra Sistem

Simpul ke-5 ini adalah variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keempat simpul seperti variabel iklim, topografi, temporal dan suprasystem (Achmadi, 2014).

1) Suhu udara

Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, suhu memiliki hubungan erat dengan siklus perkembangan nyamuk dan berpengaruh langsung terhadap perkembangan parasit di dalam tubuh vektor nyamuk. Rata-rata suhu optimum untuk perkembangbiakan vektor berkisar antara 25°C-27°C dan memerlukan rata-rata selama 12 hari. Pada suhu di atas suhu optimum (32°C-35°C) siklus hidup untuk vektor nyamuk Aedes menjadi lebih pendek dengan rata-rata selama 7 hari, potensi frekuensi feeding lebih sering, ukuran tubuh nyamuk menjadi lebih kecil dari ukuran normal sehingga nyamuk bergerak lebih agresif. Perubahan tersebut dapat menimbulkan risiko penularan menjadi 3 kali lipat lebih tinggi (Kemenkes RI, 2012).

(54)

Costa et al (2010) di Brazil menunjukkan terdapat hubungan antara suhu dengan DBD. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa variasi suhu dapat berdampak pada kegiatan reproduksi dan kelangsungan hidup nyamuk Aedes aegypti. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Dini, Fitriany dan Wulandari (2010) di Kabupaten Serang tahun 2007-2008 menunjukkan tidak ada hubungan antara suhu udara dengan kejadian DBD (Pvalue = 0,321; r = 0,212).

2) Kelembaban udara

(55)

3) Curah hujan

Dalam Permenkes No.35 Tahun 2012, curah hujan dapat mempengaruhi umur vektor nyamuk. Curah hujan tinggi dan terus menerus dapat mengakibatkan lingkungan menjadi banjir yang menyebabkan breeding places hanyut. Hal ini dapat membantu mengurangi populasi nyamuk. Akan tetapi, curah hujan yang sedang dalam waktu panjang akan menambah breeding places sehingga berisiko terhadap meningkatnya populasi vektor nyamuk (Kemenkes RI, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Sintorini (2007) di DKI Jakarta menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara curah hujan dengan DBD. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mu-Jean Chen et al (2012) di Taiwan tahun 1994-2008 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara curah hujan dengan penyakit Dengue (Pt-test = 0,0212; CI 1,53-2,52).

4) Kecepatan angin

(56)

menentukan kecepatan angin adalah km/jam atau knot (1 knot = 0,5148m/det = 1,854 km/jam) (Neiburger, 1995 dalam Ernyasih, 2012).

Kecepatan angin secara tidak langsung dapat mempengaruhi suhu udara dan kelembaban. Sedangkan, secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan terbang vektor nyamuk. Menurut Brown (1983) nyamuk Aedes aegypti mempunyai jarak terbang sejauh 50-100 mil atau 81-161 km (Fitriyani, 2007). Kecepatan angin 11-14 m/detik dapat menghambat aktivitas terbang nyamuk sehingga menyebabkan penyebaran vektor juga terbatas (Vanleeuwen, 1999).

(57)

5) Kepadatan Vektor

Semakin tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan penyakit DBD (WHO, 2000 dalam Fathi, Keman dan Wahyuni, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Devriany (2012) di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2011 menunjukkan ada hubungan antara angka bebas jentik (ABJ) dengan tingkat endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nalole (2010) secara spasial di Gorontalo bahwa terdapat hubungan antara ABJ dengan tingkat endemisitas DBD. 6) Rumah Sehat

(58)

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan kesehatan rumah tinggal sebagai berikut:

a) Bahan bangunan

(1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain: debu total kurang dari 150 µg/m2, asbestos

kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan.

(2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.

b) Komponen dan penataan ruangan

(1) Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

(2) Dinding rumah memiliki ventilasi, sedangkan kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan

(3) Langit-langit rumah mudah dibersihkan

(4) Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya

c) Pencahayaan

(59)

dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

d) Kualitas udara

(1) Suhu udara nyaman antara 18 – 30ºC (2) Kelembaban udara 40 – 70%

e) Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas lantai.

f) Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.

g) Penyediaan air

Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/ orang/hari.

h) Pembuangan Limbah

(1) Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah.

(60)

i) Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8m2 dan dianjurkan tidak

untuk lebih dari 2 orang tidur.

Dalam penelitian Farahiyah dan Setiani (2014) di Kabupaten Demak menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan IR DBD. Penelitian Zainudin (2003) menyatakan bahwa negara Mali, Volta, Ghana, Togo memiliki penyimpanan air domestik dengan menggunakan air yang besar sehingga ditemukan kejadian DBD yang tinggi di negara tersebut. Penelitian oleh Wahyono (2010) menyatakan bahwa kondisi lingkungan rumah pada kelompok penderita DBD adalah lebih dari 20% dengan pencahayaan di dalam rumah dan ventilasi yang cukup atau kurang, lebih dari 5% rumah terdapat jentik pada kontainer di dalam rumah dan lebih 20% dengan atap rumah asbes.

7) Kepadatan Penduduk

(61)

daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan kepadatan penduduk (Kemenkes RI, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Arsunan dkk (2013) di Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2014) di Kecamatan Karangmalang Kabupaten Sragen menunjukkan secara spasial terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa kasus DBD di desa/ kelurahan tinggi dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan wilayah lain. Akan tetapi, terdapat penelitian yang menunjukkan sebaliknya. Penelitian yang dilakukan oleh Syahrifa, Kaunang dan Ottay (2015) di Minahasa Selatan menunjukkan tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan DBD.

D. Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System

(GIS)

1. Definisi SIG

(62)

yang bekerja bersama secara efektif untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Marjuki, 2014).

Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem yang dapat mendukung dalam pengambilan keputusan dan mampu mengintegrasikan deksripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di suatu lokasi. Adapun input SIG dapat berasal dari data hasil survei lapangan, data klimatologi, data demografi, data sosial ekonomi (Charter & Agtrisari, 2004 dalam Farahiyah dkk, 2014). 2. Kegunaan SIG

Keunggulan utama dari SIG yaitu dapat melihat, memahami, menginterpretasikan, menampilkan data spasial dalam banyak cara yang memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial dalam bentuk peta, globe, laporan dan grafik. Penggunaan SIG dapat membantu dalam pemecahan masalah dengan cara menampilkan data menggunakan cara yang mudah dipahami dan hasilnya mudah disebarluaskan (Marjuki, 2014).

(63)

dapat menggambarkan distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola atau model penyebaran penyakit, distribusi unit-unit pelayanan kesehatan (misal, jumlah tenaga medis (Prahasta, 2005). Secara garis besar kegunaan SIG yaitu kemampuan pengukuran (measurement), pemetaan (mapping), pemantauan (monitoring) dan pemodelan (modeling) (Marjuki, 2014).

E. Analisis Spasial

1. Definisi Analisis Spasial

Analisis spasial dapat diartikan sebagai teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti dan mengeksplorasi data dari perspektif keruangan (Kemenristek, 2013). Analisis spasial adalah bagian manajemen penyakit berbasis wilayah yang menguraikan data penyakit secara geografi yang berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, kasus penyakit dan hubungan antar variabel tersebut (Achmadi, 2005). Menurut Bailey (2001), data yang dapat digunakan dalam analisis spasial dibagi menjadi empat, sebagai berikut:

a. Data agregat, data yang dikumpulkan dari hasil sensus atau administrasi seperti status ekonomi, sosial, jumlah kasus dan lain-lain.

(64)

c. Data geostatistik, data yang dikumpulkan secara langsung dengan sampel di lokasi pengambilan data.

d. Data yang diukur terus menerus seperti iklim, curah hujan dan lain-lain.

Menurut Lawson (2006), epidemiologi spasial merupakan salah satu cabang ilmu epidemiologi yang fokus pada analisis distribusi

geografis atau keruangan kejadian penyakit. Kata “spasial” mengartikan

sesuatu yang dibatasi oleh ruang, komunikasi dan atau transformasi, sedangkan data spasial merupakan data yang menunjuk posisi dari obyek di muka bumi (Ruswanto, 2010). Data spasial adalah data yang bereferensi geografis atas representasi obyek di bumi. Data spasial dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu antara lain ekonomi, sosial, kesehatan, meteorologi, klimatologi serta alam dan lingkungan.

Data spasial adalah data yang memuat informasi “lokasi”, tidak hanya

“apa” yang diukur tetapi juga menunjukkan lokasi dimana data itu

berada (Banerjee, 2004 dalam Faiz, 2013). Analisis data spasial dapat fokus pada hubungan antara variabel atribut atau pada dimensi ruang dan waktu atau kombinasi dari atribut dan ruang atau ruang-waktu (Chakkaravarthy, Vincent & Ambrose, 2011).

(65)

peta tujuan khusus, menghasilkan gambaran penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema yang diinginkan. Peta-peta tematik menekankan pada variasi penggunaan ruangan dari distribusi geografis, baik berupa fenomena fisika seperti iklim, kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan. Dengan demikian, semua data dan informasi yang ada di peta merupakan representasi dari obyek di muka bumi (Pfeiffer dkk, 2008 dalam Faiz, 2013).

Sistem informasi geografis dapat berfungsi memetakan distribusi spasial berbagai penyakit dan variasinya atas ruang dan waktu. Analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis memiliki berbagai kemampuan antara lain (Prahasta, 2005):

a. Memasukkan dan mengumpulkan data geografi b. Mengintegrasikan data geografi

c. Memeriksa, mengedit data geografi

d. Menyimpan dan memanggil kembali data geografi e. Mempresentasikan atau menampilkan data geografi f. Mengelola data geografi

g. Memanipulasi data geografi h. Menganalisa data geografi

(66)

2. Manfaat Analisis Spasial

Manfaat analisis spasial tergantung dari fungsi yang dilakukan (Kemenristek, 2013). Penggunaan analisis spasial dalam penelitian kesehatan menurut Rosli et al. (2010) dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur pola kejadian penyakit yang dapat memberikan wawasan epidemiologi penyakit (Puspitasari, 2011). Selain itu, analisis spasial dapat dimanfaatkan sebagai early warning system atau sistem kespadaan dini (SKD) dengan memperhitungkan faktor-faktor lingkungan yang sangat berperan dalam pengamatan penyakit berbasis vektor (Indriani, Fuad & Kusnanto, 2011).

3. Teknik Analisis Overlay

Teknik overlay merupakan salah satu jenis analisis spasial yang memiliki fungsi dan penggunaan yang berbeda dibandingkan jenis analisis spasial lainnya. Teknik overlay merupakan bagian terpenting dari analisis spasial. Teknik overlay, yaitu menggabungkan beberapa unsur spasial menjadi unsur spasial yang baru. Dengan kata lain, teknik overlay didefinisikan sebagai operasi spasial yang menggabungkan layer geografik yang berbeda untuk mendapatkan informasi baru (Kemenristek, 2013).

F. Kerangka Teori

1. Simpul 1: Sumber Penyakit

(67)

Dalam kejadian penyakit DBD, penderita DBD dimana hasil laboratorium mengatakan positif terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya merupakan sumber penyakit.

2. Simpul 2: Media transmisi

Penyakit DBD tidak dapat menular melalui air, tanah atau pangan, udara ataupun kontak langsung dengan orang lain. Penyakit DBD hanya dapat ditularkan melalui vektor nyamuk yang di dalamnya terdapat virus Dengue yaitu Aedes aegypti. Demam berdarah Dengue tidak dapat menular apabila hanya digigit oleh nyamuk Aedes aegypti dan tidak terdapat virus Dengue. Penyakit DBD dapat tertular melalui proses dari nyamuk Aedes aegypti menghisap darah penderita DBD yang terdapat virus Dengue di dalam tubuhnya, kemudian memindahkannya ke orang lain (orang sehat) saat menggigit orang tersebut.

3. Simpul 3: Perilaku pemajanan

Berdasarkan usia, semua usia dapat terkena penyakit DBD meskipun sebagian banyak terjadi pada usia anak. Status gizi atau imunitas seseorang dapat menentukan apakah akan mudah sakit atau dapat bertahan terhadap virus Dengue yang telah masuk di dalam tubuhnya. Perilaku 3M Plus yang merupakan faktor perilaku berisiko terhadap DBD telah dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa terdapat hubungan dengan kejadian DBD.

4. Simpul 4: Kejadian penyakit

(68)

nyamuk tersebut mengigit orang lain dan memindahkan virus Dengue ke dalam tubuhnya. Apabila orang tersebut dengan status gizi atau imunitas yang tidak baik, maka gejala khas akan muncul. Gejala khas DBD yang muncul dan diperkuat hasil laboratorium hingga sampai dirawat di rumah sakit atau di rumah, maka penderita ini termasuk dalam segmen pertama (akut). Apabila penderita menunjukkan gejala tidak jelas, khas dan spesifik DBD tetapi diperkuat hasil laboratorium maka orang tersebut dapat dikatakan positif terkena DBD dan hal ini termasuk dalam segmen kedua (subklinik). Penderita dengan gejala tidak jelas, baik secara laboratoris maupun klinis tetapi dalam sewaktu-waktu dapat menimbulkan KLB DBD maka hal ini termasuk dalam segmen terakhir (samar). Secara garis besar, dalam kejadian DBD outcomenya adalah angka incidence rate (IR) DBD.

5. Simpul 5: Variabel Supra Sistem

(69)
(70)

Bagan 2.2

(71)

51 A. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, tidak semua variabel yang terdapat dalam kerangka teori diteliti. Desain studi dalam penelitian ini adalah studi ekologi dimana unit analisisnya adalah populasi sehingga variabel yang bersifat individu tidak diteliti. Adapun variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik, lingkungan non-fisik dan lingkungan biologi. Berikut penjelasan terkait variabel yang diteliti dalam penelitian ini:

1. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang dapat memberikan peluang sebagai habitat perkembangan vektor nyamuk Aedes aegypti sehingga dapat berkembang dan terus meningkat. Adapun variabel yang diteliti, antara lain suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, kecepatan angin dan rumah sehat.

Gambar

Gambar 2.1 Vektor nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes agypti
tabel yang berisi informasi deskripstif seperti kependudukan (Suseno &
table, Statistik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Model fungsi transfer merupakan suatu model peramalan deret waktu berganda yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh curah hujan dan suhu udara terhadap jumlah penderita

Analisis uji regresi linear sederhana digunakan untuk menguji korelasi faktor iklim antara lain curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan lama penyinaran matahari terhadap

udara dengan kasus DBD di kota Sukabumi di tahun 2010-2015, tetapi tidak ada hubungan yang signifi ­ kan antara faktor iklim (curah hujan, dan kelembaban) dengan tingkat kejadian

Model fungsi transfer merupakan suatu model peramalan deret waktu berganda yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh curah hujan dan suhu udara terhadap jumlah penderita

perubahan iklim (suhu, curah hujan, dan kelembaban), kepadatan penduduk, serta indikator potensial penularan. Sampel penelitian ini adalah 10 Desa endemis DBD

Penelitian ini bersifat retrospektif dan merupakan studi deskriptif , untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan dan kelembaban

Demam Berdarah Dengue semakin menyebar seiring dengan perubahan iklim seperti tingginya curah hujan di bulan-bulan tertentu sepanjang tahun, suhu udara optimum, kelembaban

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan