• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF CLIMATE ON THE INCIDENT OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) IN MEDAN

THESIS

BY

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAFRIDA HANIM SARAGIH 117032179/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(4)

Judul Tesis : PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Syafrida Hanim Saragih

NIM : 117032179

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S )

Ketua Anggota

( dr. Taufik Ashar, M.K.M )

Dekan,

( Dr. Drs. Surya Utama, M.S )

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 30 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.K.M

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH KEADAAN IKLIM TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(Syafrida Hanim Saragih 117032179/IKM

(7)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis. Faktor yang memengaruhi penyakit DBD adalah faktor iklim. Prevalensi DBD di Indonesia menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap kejadian DBD di Kota Medan. Metode penelitian ini adalah studi ekologi komparasi multi group. Objek penelitian adalah seluruh data iklim kota Medan yang tercatat di Stasiun Klimatologi Sampali Medan dan data kasus DBD yang tercatat di bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan. Analisis data menggunakan uji regresi linier ganda.

Hasil penelitian menunjukkan variabel iklim di Kecamatan Medan Barat yaitu temperatur udara (p=0,000),variabel iklim di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu temperatur udara (p=0,012), kelembaban udara (p=0,007) memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD. Sedangkan tidak ada variabel iklim di Kecamatan Medan Tuntungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. Di Kecamatan Medan Barat variabel curah hujan (p=0,447), kelembaban udara (p=0,058), kecepatan angin (p=0,165), di Kecamatan Medan Perjuangan variabel curah hujan (p=0,871), kecepatan angin (p=0,875) yang tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD.

Variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Barat adalah kecepatan angin dengan nilai koefisien (Exp.β) -2,943. Di Kecamatan Medan Perjuangan kelembaban udara dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,512.

Disarankan kepada Program Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, agar melaksanakan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada bulan Mei, Juni, Juli di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan mengingat pada bulan tersebut kejadian Demam Berdarah Dengue meningkat.

(8)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease which is caused by dengue virus and infected through Aedes aegypti mosquitoes; this kind of mosquitoes is mostly found in the tropical and subtropical regions. One of the factors which cause hemorrhagic fever is climate. The prevalence of DHF in Indonesia ranks second to ten of inpatient illness in hospitals.

The aim of the research was to analyze the influence of climate on the incidence of DHF in Medan. The research used comparative ecology study of multi group method. The object of the research was all climatologic data in Medan listed in Sampali Climatology Station Medan and the data of DHFcases found in the field of Controlling Health Problems at Healthy Department of the city of Medan. The data were analyzed by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that the variable of air temperature (p=0.000) in Medan Barat Subdistrict and the variables of air temperature (p=0.012) and humidity (p=0.007) in Medan Perjuangan Subdistrict had influence on the incident of DHF, while there was no variable of climate in Medan Tuntungan Subdistrict which influenced the incident of DHF. The variables of rainfall (p=0.447), humidity (p=0.058) and the velocity of wind (p=0.165) in Medan Barat Subdistrict and the variables of rainfall (p=0.871) and the velocity of wind (p=0.875) in Medan Perjuangan Subdistrict did not have any influence on the incident of DHF.

The result of dominant variable showed that the influence on the incident of DHF in Medan Barat Subdistrict was velocity of wind with coefficient value (Exp.β) of -2.943. The variable which had the most dominant influence on the incident of DHF in Medan Perjuangan Subdistrict was humidity with coefficient value (Exp.β) of 0.512.

Is suggested to Program Operation Problem Healthy Department of the city Medan, executing activity Eradication of Den Mosquito (PSN) in May, June, July in District of Medan Baratt, Medan Perjuangan and Medan Tuntungan remember the in occurence of Dengue mount.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Keadaan Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan” tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam Tesis ini masih terdapat banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S dan dr. Taufik Ashar, M.K.M selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk membimbing penulis sehingga penulisan tesis ini selesai.

Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Ir. Indra Chahaya, M.Si dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. Ir. Manat Panggabean Selaku Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi Kelas I Sampali Medan yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. drg. Hj. Usma Polita Nasution, MKes Selaku Kepala Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah berperan dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan tesis ini.

7. dr. Erna Ningsih selaku Kepala Puskesmas Sei Rampah yang telah memberi izin kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

8. Kedua orang tua tercinta ayahanda M. Saragih dan Ibunda Aliyah yang senantiasa memberi perhatian dukungan serta doa selama penulis dalam masa pendidikan dan dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dan rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat angkatan 2011.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran serta masukan yang mendukung. Harapan penulis, semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Syafrida Hanim Saragih dilahirkan di Desa Bantan pada tanggal 31 Mei 1985, anak kedua dari pasangan Ayahanda M. Saragih dan Ibunda Aliyah. Anak ke 2 dari 3 bersaudara dr. Elviana Saragih dan Lely Saragih AMKeb.Memulai pendidikan di SD Negeri No.104314 Kp. Bantan lulus tahun 1996, melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Martebing Dolok Masihul lulus tahun 2000, melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Dolok Masihul lulus tahun 2003. Kemudian melanjutkan pendidikan di Akademi Kebidanan Deli Husada Deli Tua Medan selesai tahun 2006, tahun 2007 melanjutkan ke pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara selesai tahun 2010. Selanjutnya meneruskan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana tahun 2011 sampai sekaraang.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Hipotesis ... 7

1.5.Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 9

2.1.1. Definisi ... 9

2.1.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue... 9

2.2. Vektor Penularan DBD ... 13

2.2.1. Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti ... 14

2.2.2. Taksonomi dan Morfologi ... 14

2.2.2.1. Taksonomi ... 14

2.2.2.2. Morfologi ... 15

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk ... 16

2.2.4. Etiologi ... 18

2.2.5. Manifestasi Klinis DBD ... 18

2.2.6. Gejala Demam Berdarah Dengue ... 19

2.2.7. Mekanisme Penularan... 20

2.2.8. Patogenesis dan Patofisiologi... 23

2.2.8.1. Patogenesis ... 23

2.2.8.2. Patofisiologi ... 24

2.2.9. Gambaran Klinis ... 24

(13)

2.2.11. Pengendalian Vektor... 26

2.3. Ekologi Vektor ... 27

2.3.1. Faktor Host (Penjamu) ... 29

2.3.2. Faktor Lingkungan ... 29

2.4. Bionomik Vektor ... 29

2.5. Nyamuk sebagai Vektor ... 33

2.6. Faktor yang Memengaruhi Penularan DBD ... 34

2.7. Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypty ... 35

2.8. Iklim Lingkungan ... 37

2.8.1. Definisi ... 37

2.8.2. Unsur Iklim ... 39

2.8.3. Iklim dan Kejadian Penyakit ... 43

2.8.4. Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan ... 44

2.8.4.1. Curah Hujan dengan Demam Berdarah Dengue ... 47

2.8.4.2. Kelembaban dengan Demam Berdarah Dengue ... 48

2.8.4.3. Kecepatan Angin dengan Demam Berdarah Dengue ... 48

2.8.4.4. Temperatur dengan Demam Berdarah Dengue ... 49

2.9. Kerangka Teori ... 50

2.10. Kerangka Konsep ... 52

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 53

3.1. Jenis Penelitian ... 53

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 53

3.3. Objek Penelitian ... 54

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.4.1. Pengumpulan Data Iklim ... 54

3.4.2. Pengumpulan Data Kasus Demam Berdarah Dengue 55 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 55

3.6. Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 61

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 61

(14)

4.1.2. Kecamatan Medan Perjuangan ... 62

4.1.3. Kecamatan Medan Tuntungan ... 62

4.2. Hasil Analisis Univariat ... 63

4.2.1. Iklim Kecamatan Medan Barat ... 63

4.2.2. Iklim Kecamatan Medan Perjuangan ... 66

4.2.3. Iklim Kecamatan Medan Tuntungan ... 69

4.3. Analisa Bivariat ... 73

4.3.1. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Barat per tahun (2010-2012) ... 73

4.3.2. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Perjuangan per tahun (2010-2012) ... 76

4.3.3. Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur Udara, Kelembaban Udara, Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tuntungan per tahun (2010-2012) ... 80

4.4. Analisa Multivariat ... 82

BAB 5. PEMBAHASAN ... 87

5.1. Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan Tahun 2010-2012... 87

5.2. Pengaruh Iklim terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue ... 87

5.2.1. Pengaruh Curah Hujan terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012... 89

5.2.2. Pengaruh Temperatur Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012 ... 93

5.2.3. Pengaruh Kelembaban Udara terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2010-2012 ... 96

(15)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1. Kesimpulan ... 101

6.2. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Kekuatan Hubungan Dua Variabel Secara Kualitatif ... 58 4.1 Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012... 73 4.2. Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 76 4.3. Hasil Analisis Hubungan Iklim (Curah Hujan, Temperatur

Udara, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2010-2012 ... 80 4.4. Pengaruh Keadaan Iklim Lingkungan terhadap Kejadian Demam

Berdarah Dengue di Kota Medan ... 83 4.5. Pengaruh Variabel Independen (Temperatur Udara dan

Kecepatan Angin) terhadap Variabel Dependen (Kejadian Demam Berdarah Dengue) di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 84 4.6. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda Pengaruh Temperatur Udara

dan Kecepatan Angin terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 84

4.7. Pengaruh Variabel Independen (Kelembaban Udara) terhadap Variabel Dependen (Kejadian Demam Berdarah Dengue) di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 85 4.8. Hasil Analisis Regresi Linier Ganda Pengaruh Kelembaban

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011… ... 12

2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2012 ... 13

2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 18

2.4. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue ... 21

2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue ... 23

2.6. Kerangka Teori ... 52

2.7. Kerangka Konsep ... 53

4.1. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 63

4.2. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 63

4.3. Gambaran Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 64

4.4. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 65

4.5. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 65

4.6. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 66

4.7. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 67

(18)

4.9. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 68 4.10. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan

Perjuangan Tahun 2010-2012 ... 69 4.11. Gambaran Curah Hujan di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun

2010-2012 ... 69 4.12. Gambaran Temperatur Udara di Kecamatan Medan Tuntungan

Tahun 2010-2012 ... 70 4.13. Gambaran Kelembaban Udara di Kecamatan Medan Tuntungan

Tahun 2010-2012 ... 71 4.14. Gambaran Kecepatan Angin di Kecamatan Medan Tuntungan Tahun

2010-2012 ... 71 4.15. Gambaran Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Medan

Tuntungan Tahun 2010-2012... 72 4.16. Gambaran Temperatur Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue di

Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 75 4.17. Gambaran Kelembaban Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue

di Kecamatan Medan Barat Tahun 2010-2012 ... 78 4.18. Gambaran Kelembaban Udara dan Kasus Demam Berdarah Dengue

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

(20)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis. Faktor yang memengaruhi penyakit DBD adalah faktor iklim. Prevalensi DBD di Indonesia menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap kejadian DBD di Kota Medan. Metode penelitian ini adalah studi ekologi komparasi multi group. Objek penelitian adalah seluruh data iklim kota Medan yang tercatat di Stasiun Klimatologi Sampali Medan dan data kasus DBD yang tercatat di bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan. Analisis data menggunakan uji regresi linier ganda.

Hasil penelitian menunjukkan variabel iklim di Kecamatan Medan Barat yaitu temperatur udara (p=0,000),variabel iklim di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu temperatur udara (p=0,012), kelembaban udara (p=0,007) memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD. Sedangkan tidak ada variabel iklim di Kecamatan Medan Tuntungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD. Di Kecamatan Medan Barat variabel curah hujan (p=0,447), kelembaban udara (p=0,058), kecepatan angin (p=0,165), di Kecamatan Medan Perjuangan variabel curah hujan (p=0,871), kecepatan angin (p=0,875) yang tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD.

Variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Barat adalah kecepatan angin dengan nilai koefisien (Exp.β) -2,943. Di Kecamatan Medan Perjuangan kelembaban udara dengan nilai koefisien (Exp.β) 0,512.

Disarankan kepada Program Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan, agar melaksanakan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada bulan Mei, Juni, Juli di Kecamatan Medan Barat, Medan Perjuangan dan Medan Tuntungan mengingat pada bulan tersebut kejadian Demam Berdarah Dengue meningkat.

(21)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease which is caused by dengue virus and infected through Aedes aegypti mosquitoes; this kind of mosquitoes is mostly found in the tropical and subtropical regions. One of the factors which cause hemorrhagic fever is climate. The prevalence of DHF in Indonesia ranks second to ten of inpatient illness in hospitals.

The aim of the research was to analyze the influence of climate on the incidence of DHF in Medan. The research used comparative ecology study of multi group method. The object of the research was all climatologic data in Medan listed in Sampali Climatology Station Medan and the data of DHFcases found in the field of Controlling Health Problems at Healthy Department of the city of Medan. The data were analyzed by using multiple linear regression tests.

The result of the research showed that the variable of air temperature (p=0.000) in Medan Barat Subdistrict and the variables of air temperature (p=0.012) and humidity (p=0.007) in Medan Perjuangan Subdistrict had influence on the incident of DHF, while there was no variable of climate in Medan Tuntungan Subdistrict which influenced the incident of DHF. The variables of rainfall (p=0.447), humidity (p=0.058) and the velocity of wind (p=0.165) in Medan Barat Subdistrict and the variables of rainfall (p=0.871) and the velocity of wind (p=0.875) in Medan Perjuangan Subdistrict did not have any influence on the incident of DHF.

The result of dominant variable showed that the influence on the incident of DHF in Medan Barat Subdistrict was velocity of wind with coefficient value (Exp.β) of -2.943. The variable which had the most dominant influence on the incident of DHF in Medan Perjuangan Subdistrict was humidity with coefficient value (Exp.β) of 0.512.

Is suggested to Program Operation Problem Healthy Department of the city Medan, executing activity Eradication of Den Mosquito (PSN) in May, June, July in District of Medan Baratt, Medan Perjuangan and Medan Tuntungan remember the in occurence of Dengue mount.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, sering muncul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan menimbulkan kepanikan di masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil P2PL, 2005). Demam Berdarah Dengue/Dengue hemorrhagic fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti yang banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis (Rahayu dkk, 2012).

Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas (Widoyono, 2008). Virus dengue endemis dibeberapa Negara yakni India, Sri Lanka, Thailand, Myanmar dan Indonesia. Di Negara tersebut ditemukan ke empat tipe virus yakni Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Yatim, 2007).

(23)

menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua (Soegijanto, 2006).

Demam Berdarah Dengue pertamakali dilaporkan pada tahun 1968 melalui pelabuhan Surabaya (Sutanto, dkk 2008). Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar keberbagai daerah sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit DBD (Depkes, 2007). Angka kejadian DBD meningkat dan menyebar keseluruh daerah kabupaten di wilayah Republik Indonesia termasuk kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Timor-timur. Pada pengamatan selama kurun waktu 20-25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD, angka KLB penyakit DBD diestimasikan setiap lima tahun dengan angka kematian tertinggi pada tahun 1968 awal ditemukan kasus DBD dan angka kejadian penyakit DBD tertinggi pada tahun 1988 (Soegijanto, 2006).

(24)

Hampir seluruh kota propinsi sudah terjangkit penyakit DBD dan hampir tiap tahun terjadi wabah meskipun bergantian dari satu kota ke kota lain (Yatim, 2007). Salah satunya adalah Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah kabupaten/kota yang terjangkit DBD ada 22 kab/kota tahun 2008, tahun 2009 ada 22 kab/kota, tahun 2010 ada 22 kab/kota dan tahun 2011 ada 23 kab/kota. Jumlah kasus DBD di Sumatera Utara tahun 2011 sebanyak 5.987 kasus, jumlah kasus meninggal 78 kasus, Case Fatality Rate (CFR) 1,30% dan Incidence Rate (IR) 45,64 per 100.000 penduduk

(Ditjen P2PL, 2012).

Berdasarkan data Ditjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes RI (2012), menyatakan bahwa tahun 2010 penyakit Demam Berdarah Dengue menempati urutan kedua dari sepuluh penyakit rawat inap di Rumah Sakit dengan rincian penderita laki-laki sebanyak 30.232 kasus (proporsi kasus 51,14%), perempuan sebanyak 28.883 kasus (proporsi kasus 48,86%), 325 kasus meninggal dan CFR 0,55%. Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2005 sebanyak 91.089 kasus dengan Incidance Rate (IR) tertinggi di Propinsi DKI Jakarta yaitu 296,87/ 100.000

penduduk dan terendah Propinsi Maluku Utara yaitu 0,1/ 100.000 penduduk sedangkan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) tertinggi di Propinsi Riau sebesar 4,82% (Profil P2PL, 2005).

(25)

dengan 9 kasus meninggal (CFR 1,5%). Tahun 2004, KLB Demam Berdarah Dengue dengan IR 36,68/100.000 penduduk dengan kematian 14 kasus (CFR 1,89%).

Kota Medan merupakan daerah endemis DBD hal ini didukung oleh data penyakit DBD yang semakin meningkat setiap tahunnya. Berikut data keadaan penyakit DBD di Kota Medan untuk tiga tahun yaitu Januari 2010 sampai Desember 2012, pada tahun 2010 kasus DBD sebanyak 3.122 kasus diantaranya 22 kasus meninggal (CFR 0,70%) dengan IR 148/100.000 penduduk, tahun 2011 jumlah kasus sebanyak 2.384 kasus diantaranya 18 kasus meninggal (CFR 0,75%) dengan IR yaitu 113,65/100.000 penduduk dan tahun 2012 jumlah kasus sebanyak 1.202 kasus diantaranya 5 kasus meninggal (CFR 0,40%) dengan IR yaitu 53,82/100.000 penduduk.

Sesuai target RPJM Depkes, indikator Incidance Rate (IR) DBD adalah sebesar 5 per 100.000 penduduk dan untuk Case Fatality Rate (CFR) sebesar < 1% (Subdis P2M Dinkes Prop.SU dan Profil Kesehatan Kab/Kota, 2010). Untuk Incidance Rate DBD Kota Medan adalah 5 per 10.000 penduduk (Dinas Kesehatan

Kota Medan, 2010).

(26)

tahun 2011 sebanyak 124 kasus dan tahun 2012 sebanyak 38 kasus. Kecamatan Medan Tuntungan jumlah kasus DBD tahun 2010 sebanyak 189 kasus, tahun 2011 sebanyak 113 kasus dan tahun 2012 sebanyak 78 kasus (PMK Dinas Kesehatan Kota Medan).

Banyak faktor yang mempengaruhi DBD antara lain faktor hospes (host), lingkungan (environtment) dan faktor virus itu sendiri. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptability) dan respons imun. Faktor lingkungan meliputi kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk), jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit (Soegijanto, 2006). Iklim dan musim merupakan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi. Iklim dan variasi musim dapat mempengaruhi kehidupan agen penyakit, reservoir dan vektor (Chandra, 2005).

Brisbois dan Ali (2010) menyatakan bahwa penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Menurut Chandra (2012) variasi musim juga mempengaruhi penyebaran penyakit melalui arthropoda. Contoh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes selama musim penghujan

karena musim tersebut merupakan saat terbaik bagi nyamuk untuk berkembang biak. Wabah penyakit dengue terjadi diakhir tahun sampai awal tahun depan yaitu September sampai Maret.

(27)

vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan semakin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama (Dini dkk, 2010). Habitat vektor DBD di Indonesia dipengaruhi oleh musim penghujan dan tersedianya air di pemukiman. Musim hujan dengan frekuensi hujan yang tinggi akan meningkatkan jumlah habitat vektor. Sehingga pada musim hujan kemungkinan jumlah kasus penyakit DBD akan meningkat (Fathi dkk, 2005).

Bahaya perubahan variabilitas iklim terkait kesehatan diantaranya temperatur dan curah hujan yang ekstrim, peningatan banjir dan kekeringan, perubahan distribusi vektor penyakit (vector borne diseases), peningkatan malnutrisi dan peningkatan bencana terkait iklim. Variabilitas iklim dapat berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit yang ditularan vektor (ICCSR, 2010 dalam Adriyani, 2012).

Menurut Wijayanti (2008), diperkirakan suhu akan meningkat 30C pada tahun 2100, maka akan terjadi peningkatan proses penularan penyakit oleh nyamuk dua kali lipat. Peningkatan penyebaran penyakit terkait dengan perubahan iklim terjadi karena semakin banyak media, lokasi dan kondisi yang menduung perkembangbiakan bibit penyakit dan media pembawanya. Selain suhu, curah hujan yang lebat juga meningkat hingga 3% per tahun. Perubahan tersebut mempengaruhi pola kehidupan nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus yaitu masa perkembangbiakan nyamuk dewasa menjadi lebih lama.

(28)

karakteristik dan siklus hidup Arthropoda, pola hubungan Arbovirus dan transmisi Arthropoda ke host vertebrata.

Berdasarkan survai awal di Stasiun Klimatologi Sampali Medan bahwa Kota Medan mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum 23,6-24,40C dan suhu maksimum berkisar antara 30,2-32,50C. Kelembaban udara 78-82%, kecepatan angin rerata 0,42 m/detik, curah hujan per bulan 230,3 mm.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh keadaan iklim (curah hujan, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin) terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh keadaan iklim meliputi curah hujan, temperature udara, kelembaban udara dan kecepatan angin terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan serta upaya yang akan dilakukan untuk mengatasinya.

1.4Hipotesis

(29)

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan informasi dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pengaruh keadaan iklim lingkungan terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.5.2 Bagi Instansi Pemerintahan yang terkait dan berwenang (Dinas Kesehatan Kota Medan). Sebagai bahan masukan dan informasi dalam perencanaan dan evaluasi program dalam upaya pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Medan.

1.5.3 Bagi Masyarakat

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi

Menurut WHO (2005), definisi Demam Berdarah Dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi seperti sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan, leukopenia, trombositopenia (100.000 sel per mm3 atau kurang).

Menurut Depkes (2005), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl),

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

2.1.2 Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di

(31)

kering misalnya India, Ae. aegypti merupakan vektor perkotaan dan populasinya secara khas berfluktuasi bersama air hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Pada negara lain di Asia Tenggara yang curah hujannya melebihi 200 mm/tahun, populasi Ae. aegypti ternyata lebih stabil dan ditemukan di daerah perkotaan, pinggiran kota

dan daerah pedesaan karena kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia, Myanmar dan Thailand kepadatan nyamuk mungkin lebih tinggi di daerah pinggiran kota daripada di daerah perkotaan (WHO, 2005).

Distribusi Ae. aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ketinggian merupakan faktor yang terpenting untuk membatasi penyebaran nyamuk Ae. aegypti. Ini biasanya ditemukan di atas ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (kurang dari 500 meter) memiliki tingkat kepadatan nyamuk sedang sampai berat. Sementara daerah pegunungan (di atas 500 meter) memiliki populasi nyamuk yang rendah. Di negara-negara Asia Tenggara ketinggian 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas bagi penyebaran Ae. aegypti. Di bagian dunia lain spesies ini dapat ditemukan di wilayah yang jauh lebih tinggi misalnya di Colombia sampai mencapai 2200 meter (WHO, 2005).

Ae. aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk

arbovirus (arthropod-borne viruses) karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies mempunyai distribusi geografisnya masing-masing namun

(32)

dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).

Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia walaupun spesies ini ditemukan

di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan. Penyebaran Ae. aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan larva Ae. aegypti terbawa melalui transportasi (Sutanto dkk, 2008).

Menurut Soedarmo (2009), Arthropoda akan menjadi sumber infeksi selama hidupnya sehingga selain menjadi vektor virus tersebut juga menjadi hospes reservoir virus itu. Penyelidikan ekologi di Malaysia membuktikan bahwa sejenis kera liar di hutan merupakan reservoir virus dengue (Soedarmo, 2009). Demam dengue dapat terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah nyamuk Ae. aegypti sedangkan di daerah pedesaan nyamuk Aedes albopictus namun tidak jarang kedua spesies tersebut dijumpai baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Hewan primata merupakan sumber infeksi Dengue di daerah hutan (Soedarto,2007).

(33)
[image:33.612.118.509.114.311.2]

Gambar 2.1. Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011 Sumber : (Bidang PMK, DKK Medan)

(34)
[image:34.612.166.468.115.307.2]

Gambar 2.2. Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012

Sumber :(Bidang PMK DKK Medan)

Kasus Demam Berdarah Dengue pada tahun 2012 di Kecamatan Medan Perjuangan dengan Incidance Rate berada di warna kuning range IR 5 sampai 10/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Barat berada pada warna biru range IR 11 sampai 16/10.000 penduduk, Kecamatan Medan Tuntungan berada pada warna merah dengan range IR 16 sampai 37/10.000 penduduk.

2.2 Vektor Penularan DBD

Vektor utama penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah nyamuk Ae. Aegypti. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling penting sementara

spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis anggota kelompok Aedes scutellaris dan Aedes (Finlaya) nives juga merupakan sebagai vektor sekunder.

(35)

walaupun mereka merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, epidemi yang ditimbulkannya tidak separah yang diakibatkan oleh Ae. aegypti (WHO, 2005). 2.2.1 Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti

a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih,

b. Berkembangbiak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC, tempayan drum, barang-barang penampung air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung dan lain-lain,

c. Jarak terbang ± 100 meter,

d. Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters‘ (menggigit beberapa orang karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat),

e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008). 2.2.2 Taksonomi dan Morfologi

2.2.2.1 Taksonomi

Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan nyamuk Ae. aegypti dalam klasifikasi animalia adalah sebagai berikut :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes

(36)

2.2.2.2. Morfologi

1. Telur : berbentuk ellips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki alat pelampung dan di letakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Seekor nyamuk betina meletakkan rata-rata 100 butir tiap kali bertelur (Sutanto dkk, 2008).

2. Larva : tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada thorax belum begitu jelas dan corong pernafasan belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan perut (abdomen) (Soegijanto, 2006).

(37)

dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat pupa sejajar dengan bidang permukaan air. Menetas dalam 1-2 hari menjadi nyamuk.

4. Dewasa/imago : tubuhnya tersusun dari tiga bagian yaitu kepala, dada dan perut. Terdapat tiga pasang tungkai pada toraks, terdapat sayap pada toraks (1-2 pasang) atau tidak ada, memiliki sepasang antena, memiliki mata majemuk dan atau mata tunggal, respirasi melalui stigma atau spirakel, organ reproduksinya terdapat pada ujung abdomen, alat mulut terdiri atas satu pasang mandible (rahang), satu pasang maksila, sebuah labrum (bibir atas) dan labium/bibir bawah (Sembel, D.T.,2009).

Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-penghisap (pierching-sucking) dan lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan /phytophagus (Soegijanto, 2006). Pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa memerlukan waktu sekitar 9 hari (Sutanto, 2008).

2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk

(38)

generasi pertahun yang lainnya bisa mempunyai beberapa generasi selama musim dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Mereka sangat bergantung pada iklim dari kondisi lingkungan lokal terutama suhu dan curah hujan.

Menurut Wijaya (2010) pada awal dan akhir musim penghujan, setelah hujan turun akan timbul genangan-genangan kecil air seperti ban-ban bekas, kaleng bekas,vas bunga bekas, bak yang sudah tidak terpakai lagi. Genangan-genangan air biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk Ae.aegypti betina untuk meletakkan telur-telurnya. Telur Ae.aegypti yang belum sempat menetas pada musim penghujan sanggup bertahan terhadap kekeringan pada musim panas selama beberapa bulan. Pada awal musim penghujan telur-telur ini akan digenangi air kemudian menetas menjadi larva yang mengakibatkan peningkatan kasus Demam Berdarah Dengue sering terjadi pada awal musim penghujan.

(39)
[image:39.612.199.440.114.288.2]

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006) 2.2.4 Etiologi

Menurut Sembel (2009) yang mengutip dari Harwood dan James (1979), Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda tetapi sangat dekat satu dengan yang lain yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 dari genus Flavivirus. Keempat serotipe virus dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

2.2.5 Manifestasi Klinis DBD

Masa inkubasi dengue pada manusia sekitar 4-5 hari. Gejala keluhan awal dengue tidak spesifik berlangsung sekitar 1-5 hari berupa demam ringan, sakit kepala

(40)

Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor yaitu demam tinggi, fenomena hemorragis, sering hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan

adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DHF (WHO, 1999). Walaupun umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari Ae. aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya 3-10 hari (Sutanto, 2008).

2.2.6 Gejala Demam Berdarah Dengue

Menurut Sembel (2009) mengemukakan gejala-gejala fase akut Demam Berdarah Dengue sebagai berikut :

a. Gejala awal : demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot, gatal-gatal pada persendian, rasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, muntah-muntah.

b. Gejala fase akut : status seperti terguncang (shock-like state) berkeringat banyak (diaphoretic), keringat basah. Ketidaktenangan (restlessness) yang diikuti dengan gejala yang lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan kulit (petechiae), bintik-bintik darah di bawah kulit (ecchymosis), ruam (rash).

Menurut WHO (1995), tanda dan gejala klinis DBD adalah sebagai berikut : a. Gejala klinis : demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari, manifestasi

perdarahan (uji tourniquet, perdarahan spontan berbentuk peteke, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena), hepatomegali,

(41)

b. Laboratorium : Trombositopeni (< 100.000 sel/ml), hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% dibandingkan fase konvalesen).

Menurut WHO (1995) Demam Berdarah Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever diklasifikasikan menjadi empat tingkatan keparahan dimana derajat III dan IV dianggap Sindrom Syok Dengue (DSS). Adanya trombositopenia dengan disertai hemokonsentrasi membedakan derajat I dan II dari DHF dan DF (Dengue Fever).

Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non spesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif dan/atau mudah memar.

Derajat II : Perdarahan spontan selain manifestasi pasien pada Derajat I, biasanya pada bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lain.

Derajat III : Gagal sirkulasi dimanifestasikan dengan nadi cepat dan lemah serta penyempitan tekanan nadi atau hipotensi dengan adanya kulit dingin dan lembab serta gelisah.

Derajat IV : Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terukur. 2.2.7 Mekanisme Penularan

Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Ae.aegypti. Sewaktu menggigit untuk menghisap darah virus berkembangbiak di dalam kelenjar liur dipangkal belalai nyamuk. Virus hidup dan berkembang subur di dalam darah manusia. Keadaan ini disebut viremia yaitu berkembang virus di dalam darah (Yatim, 2007).

(42)

selanjutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung pada kondisi lingkungan sekitarnya (WHO, 1999). Sebagai reaksi tubuh melawan benda asing didalam tubuh timbul panas badan yang secara alami maksudnya untuk melebarkan lumen pembuluh darah untuk mempercepat aliran darah hingga zat penangkal yang secara normal ada di dalam darah bisa segera memusnahkan benda asing tersebut (Yatim, 2007).

Menurut Soegijanto (2006), virus ditularkan ke manusia melalui kelenjar saliva nyamuk kemudian virus bereplikasi dalam organ target, virus menginfeksi sel

[image:42.612.133.525.447.645.2]

darah putih dan jaringan limfatik, virus dilepaskan dan bersikulasi dalam darah manusia, virus yang ada dalam darah tertelan nyamuk kedua virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam perut nyamuk lainnya menginfeksi kelenjar saliva dan virus bereplikasi dalam kelenjar saliva. Berikut bagan kejadian infeksi virus dengue (Gambar 2.4) :

(43)

Jika nyamuk Ae. aegypti menggigit penderita demam berdarah maka virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk, virus berkembangbiak dan menyebar ke

seluruh tubuh bagian nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain. Di dalam tubuh manusia virus berkembangbiak dalam system retikuloendotelial dengan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan

(44)
[image:44.612.124.524.116.422.2]

Gambar 2.5. Bagan Spektrum Demam Berdarah Dengue (WHO, 2005)

2.2.8 Patogenesis dan Patofisiologi 2.2.8.1 Patogenesis

(45)

tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit, saluran pencernaan (muntah darah, berak darah), saluran pernafasan (mimisan, batuk darah) dan organ vital (jantung, hati, ginjal) yang sering mengakibatkan kematian (Widoyono, 2008).

2.2.8.2 Patofisiologi

Menurut WHO (2004), Patofisiologi Demam Berdarah Dengue ada dua perubahan yang terjadi yaitu :

a. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemia dan syok. Demam Berdarah Dengue memiliki ciri yang unik karena

kebocoran plasma khusus ke arah rongga pleura dan peritoneum selain itu periode kebocoran cukup singkat (24-48 jam).

b. Hemostasis abnormal terjadi akibat vaskulopati, trombositopenia sehingga terjadi berbagai jenis manifestasi perdarahan.

2.2.9 Gambaran Klinis

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas tiga fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase Febris : demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada

beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, infeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda

(46)

b. Fase Kritis : terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.

c. Fase Pemulihan : bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik (Sudjana, 2010).

2.2.10 Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen bilamana diperlukan (Chen dkk, 2009 ). Pengobatan yang spesifik untuk DBD tidak ada karena obat terhadap virus dengue belum ada. Oleh karena itu prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah

penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes, 2005). Menurut Soedarto (2007), sampai saat ini untuk virus dengue tidak ada obat yang spesifik untuk memberantasnya. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi akibat perdarahan atau syok dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita serta terapi simtomatis untuk mengurangi gejala dan keluhan penderita. Menurut Soegijanto

(47)

obat baru yang dapat mencegah proses pembekuan darah dan obat antibiotika generasi baru yang masih dapat mengatasi resistensi kuman. Penatalaksanaan kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan dan kasus DBD yang dianjurkan rawat tinggal yaitu kasus DBD derajat I dan II. Sedangkan kasus DBD derajat III dan IV merupakan kasus DBD dengan penyulit.

2.2.11 Pengendalian Vektor DBD

Menurut Sukowati (2010), Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit Demam Berdarah (DB)/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan yaitu dengan pengendalian vektornya. Beberapa metode pengendalian vektor di tingkat pusat dan di daerah adalah :

1) Manajemen Lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.

2) Pengendalian Biologis merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis tersebut adalah dari kelompok bakteri yang mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus thuringiensis serotipe H 14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs), predator seperti ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan cupang) dan cylop (Copepoda).

(48)

4) Partisipasi Masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah melakukan 3 M Plus atau Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

5) Perlindungan Individu untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dengan menggunakan repellent, pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk, baju lengan panjang, memasang kelambu saat tidur, memasang kawat kasa. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent (obat nyamuk bakar) dan repellent oles.

6) Peraturan Perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DB/DBD. Seluruh Negara mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya (Sukowati, 2010).

2.3 Ekologi Vektor

(49)

sebagai ekosistem alam dimana subsistem yang terkait dalam ekosistem ini adalah virus, nyamuk Ae. aegypti, manusia, lingkungan fisik dan lingkungan biologi (Depkes, 2007).

a. Virus dengue. Virus ini termasuk dalam genus Flavivirus dari family Flaviviridae terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4.

b. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor yang menularkan virus dengue melalui gigitan nyamuk dari orang sakit ke orang sehat.

c. Manusia merupakan sebaran inang (organisme dimana mendapatkan makanan) untuk penyakit DBD.

d. Lingkungan fisik meliputi :

1) Tempat Penampungan Air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah sebagai tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti.

2) Ketinggian tempat, dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Ae. aegypti.

3) Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan kelembaban udara terutama untuk daerah pantai.

4) Kecepatan angin juga mempengaruhi pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging.

(50)

2.3.1 Faktor Host (Penjamu)

WHO (2005), virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata yang lebih rendah. Manusia merupakan reservoir utama virus di wilayah perkotaan. Penelitian yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa bangsa kera juga dapat terinfeksi dan kemungkinan merupakan penjamu reservoir walaupun signifikansi epidemiologi dan observasi tersebut tetap dibuktikan. Strain virus dengue dapat tumbuh dengan baik pada kultur jaringan insecta dan sel mamalia setelah diadaptasikan.

2.3.2 Faktor lingkungan

Lingkungan adalah kondisi atau faktor yang berpengaruh yang bukan bagian dari agen maupun penjamu tetapi mampu menginfeksi agen penjamu. Lingkungan dalam penelitian ini meliputi lingkungan fisik (curah hujan, kecepatan angin, kelembaban dan temperatur/suhu udara). Kualitas dan kuantitas berbagai komponen lingkungan yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agen ke host (Soemirat, 2005).

2.4 Bionomik Vektor

(51)

1) Perilaku Makan

Menurut Sutanto (2008), Ae. aegypti sangat antropofilik (menghisap darah manusia), walaupun ia bisa makan dari hewan (zoofilik). Menurut Achmadi (2011), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telur yang didapatkannya dari darah. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor-faktor yang berbeda. Semakin hangat suhu dan semakin tinggi kelembaban sekitar host ditambah dengan gerakan host dan perbedaan warna disekitar mereka akan lebih mempermudah nyamuk untuk mendekati host dan menghisap darahnya demi kelangsungan keturunannya. Sumber darah secara epidemiologis adalah penting karena beberapa mikroorganisme patogen dan parasit yang menyebabkan penyakit dihubungkan dengan host tertentu. Nyamuk yang mencari makan pada burung dan/atau host mamalia dan juga pada manusia disebut perilaku mencari makan oportunistik.

(52)

2) Perilaku Istirahat

Ae. aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembap dan tersembunyi

dalam rumah atau bangunan termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil maupun di dapur (Achmadi, 2008). Tempat istirahat nyamuk ada yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, adapula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman, kandang binatang, tempat-tempat dekat tanah atau tempat-tempat-tempat-tempat yang agak tinggi (Sutanto, 2008). 3) Jarak Terbang

Menurut Achmadi (2011), Nyamuk betina dari berbagai spesies dapat terbang tidak lebih dari 100 meter dari habitat larva, sementara yang lain bergerak dengan jarak 1-5 km, seperti Oc. Vigilax nyamuk yang umum ditemukan pada pesisir rawa asin dapat terbang melebihi 50 km, nyamuk Culex annulirostris dapat terbang 5-10 km. Sutanto (2008), Penyebaran nyamuk Ae. aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah tetapi tampaknya terbatas sampai jarak 100 meter dari lokasi kemunculan. Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan.

4) Lama Hidup

(53)

mikroorganisme yang bersangkutan apakah parasit atau virus serta habitat nyamuk seperti suhu lingkungan. Lazimnya 1-2 minggu. Menurut WHO (2004) Nyamuk Ae. aegypti dewasa memiliki rerata lama hidup hanya 8 hari. Selama musim hujan saat masa bertahan hidup lebih panjang risiko penyebaran virus semakin besar. Menurut Sutanto (2008) umur nyamuk dewasa betina di alam bebas rerata 10 hari sedangkan di laboratorium mencapai dua bulan.

5) Kepadatan Musiman

Sebagian besar spesies nyamuk menunjukkan pola kepadatan musiman dengan fluktuasi yang dihubungkan dengan kondisi meteorologi. Banyak spesies yang bersifat musiman dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pertengahan musim panas dan tidak ada pada musim dingin sedangkan di Negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun. Faktor terpenting yang menentukan kepadatan populasi nyamuk dewasa adalah produksi larva seperti keberadaan habitat air dan makanan larva. Suhu dan kelembaban juga menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi (2011).

(54)

(Depkes,2005). Tergantung dari iklim, beberapa nyamuk bereproduksi sepanjang tahun. Sebagian besar cenderung menghabiskan masa hidup pada kondisi yang berlawanan pada musim dingin atau selama musim kemarau dalam keadaan tidur atau istirahat (Achmadi, 2011).

Menurut Michael (2006) yang dikutip oleh Achmadi (2010) bahwa perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya. Faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan PSN serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin membaiknya transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

2.5 Nyamuk sebagai Vektor

(55)

2.6 Faktor yang Memengaruhi Penularan Demam Berdarah Dengue

a) Umur nyamuk atau longevity, nyamuk betina berumur rerata 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembangbiak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain.

b) Peluang kontak dengan manusia.

c) Frekuensi menggigit seekor nyamuk. Nyamuk mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (Soedarmo, 2009).

d) Keberadaan manusia di sekitar nyamuk.

e) Kepadatan nyamuk. Umur nyamuk serta pertumbuhan dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan dianggap kondusif berkisar antara 25-300C dan kelembaban 60-80% (Bruce dalam Susanna 2005). Kalau populasi nyamuk terlalu banyak sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi binatang atau manusia di sekitar tidak ada maka kepadatan nyamuk akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah cukup padat maka akan meningkatkan kapasitas vektorial yakni kemungkinan tertular akan lebih besar (Achmadi, 2008).

(56)

menjadi imago (Daryono, 2004). Suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik. Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda (Achmadi, 2008).

2.7 Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Ae. aegypti

Nyamuk berasal dari kategori insecta yang dikenal sebagai Ordo Diptera atau hewan bersayap dua. Dalam diptera, seluruh nyamuk berasal dari kelompok Famili yang dikenal sebagai Culicidae yaitu dengan rentang karakter yang mirip dikelompokkan dalam Subfamili misalnya Culicinae dan Anophelinae, dengan Genus Anopheles dalam subfamili Anophelinae dan Aedes, Culex dan Ochelerotatus pada subfamili Culicinae (MCAA, 2006 dalam Achmadi 2011). Menurut Sutanto dkk (2008) Nyamuk termasuk kelas insecta, ordo diptera dan famili culicidae. Arthropoda mempunyai empat tanda morfologi yang jelas yaitu badan beruas-ruas,

umbai-umbai yang juga beruas-ruas, eksoskelet dan bentuk badan simetris bilateral. Arthropoda memiliki sistem pencernaan, pernapasan (trakhea), saraf (otak dan

ganglion), peredaran darah (terbuka) dan sistem reproduksi. Nyamuk adalah arthropoda yang menyebabkan penyakit (parasit) pada manusia dan binatang

(57)

populasi suatu jenis insecta pada suatu waktu merupakan hasil antara pertemuan dua faktor tersebut.

1) Faktor dalam

a) Kemampuan berkembangbiak dipengaruhi oleh keperidian (natalitas) yaitu besarnya kemampuan suatu jenis insecta untuk melahirkan keturunan baru. Sedangkan fekunditas adalah kemampuan yang dimiliki oleh insecta betina untuk memproduksi telur.

b) Perbandingan kelamin pada umumnya 1:1, akan tetapi karena pengaruh tertentu baik faktor dalam maupun faktor luar seperti keadaan musim dan kepadatan populasi maka perbandingan kelamin ini dapat berubah.

c) Sifat mempertahankan diri. Untuk mempertahankan hidup insecta memiliki alat/kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari serangan musuh.

d) Siklus hidup merupakan suatu rangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor insecta selama pertumbuhannya sejak menjadi telur sampai menjadi dewasa (imago).

e) Umur imago umumnya memiliki umur yang pendek. Misalnya Ae. aegypti memiliki umur sepuluh hari.

2) Faktor luar (faktor fisik, faktor makanan dan faktor hayati)

(58)

maksimum 450C. Suhu 20-30 0C dengan kelembaban > 60 % merupakan suhu ideal bagi kehidupan nyamuk. Diperkirakan apabila suhu meningkat 30C maka akan terjadi proses penularan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebanyak dua kali lipat (Achmadi, 2011). b) Kelembaban/hujan. Kelembaban yang dimaksud adalah kelembaban

tanah, udara dan tempat hidup insecta dimana merupakan faktor penting yang mempengaruhi distribusi dan perkembangan insecta. c) Cahaya/warna/bau. Beberapa aktivitas insecta dipengaruhi oleh

responnya terhadap cahaya sehingga timbul jenis insecta yang aktif pada pagi, siang, sore atau malam hari. Cahaya matahari dapat mempengaruhi aktivitas dan distribusi lokalnya.

d) Angin berperan dalam membantu penyebaran insecta terutama insecta yang berukuran kecil. Selain itu angin juga mempengaruhi kandungan air dalam tubuh insecta karena angin mempercepat penguapan dan penyebaran udara (Jumar, 2000).

2.8 Iklim Lingkungan 2.8.1 Definisi

(59)

Menurut National Research Council US (2001) yang dikutip Achmadi (2008), Iklim adalah rerata cuaca pada suatu wilayah tertentu. Rerata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi di permukaan bumi. Cuaca lebih menggambarkan variasi beberapa kondisi variabel secara harian seperti cuaca cerah, mendung, panas dan lain-lain. Sedangkan musim merupakan kondisi harian dalam kurun waktu tertentu misalnya musim kemarau, musim hujan, musim peralihan dan semuanya ini disebut iklim.

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Ketinggian permukaan daratan Propinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar hanya beberapa meter dari permukaan laut beriklim cukup panas bisa mencapai 33,9 0C sebagian daerah berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai 13,4 0C. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, curah hujan 800-4000 mm/tahun dan penyinaran matahari 43%. Propinsi Sumatera Utara memiliki musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua musim itu diselingi oleh musim pancaroba (BLH Propinsi Sumatera Utara, 2010).

(60)

penyebaran/distribusi DBD. Menurut Achmadi (2008), akibat suhu global yang semakin panas maka mengakibatkan makin cepatnya perkembangbiakan nyamuk, pendeknya masa kematangan parasit dalam nyamuk, angka gigitan (biting rate) rerata juga meningkat dan meningkatnya kegiatan reproduksi nyamuk.

2.8.2 Unsur Iklim

Menurut Kartasapoetra (2008) unsur-unsur iklim adalah sebagai berikut : a. Curah hujan

(61)

10-12 hari akan berubah menjadi nyamuk (Achmadi, 2010). Curah hujan merupakan salah satu variabel meteorologi yang dapat digunakan sebagai early warming “ pengendalian nyamuk. Curah hujan memiliki pengaruh yang

lebih signifikan (Prihatnolo,2009).

Menurut Achmadi (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian DBD di Kalimantan Timur (2005-2009) kemungkinan karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembangbiak. Berdasarkan pengamatan terhadap ICH yang dihubungkan dengan kenaikan jumlah kasus DBD maka pada daerah dengan ICH tinggi perlu kewaspadaan sepanjang tahun sedangkan daerah yang terdapat musim kemarau maka kewaspadaan terhadap DBD dimulai saat masuk musim hujan.

(62)

bersama air. Akan tetapi kebanyakan air seperti banjir dan hujan deras yang terus menerus dapat berbahaya pada beberapa insecta. Kelembaban juga berpengaruh pada kemampuan bertelur dan pertumbuhan insecta (Jumar, 2000). Kelembaban mempengaruhi usia nyamuk, masa kawin, penyebaran, kebiasaan makan dan kecepatan virus bereplikasi. Pada kelembaban tinggi umumnya nyamuk hidup lebih lama dan cepat menyebar. Oleh karena itu, nyamuk mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk makan pada orang yang terinfeksi dan menularkan virusnya kepada orang lain (Promprou, 2005 dalam Adriyani, 2012). Nyamuk dapat bertahan pada kelembaban 60-80% (Rumbiak, 2006).

(63)

Menurut Sintorini (2012) yang mengutip dari Gubler (2001) bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap masa inkubasi ekstrinsik nyamuk. Masa inkubasi ekstrinsik nyamuk dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban, tingkat veremia pada manusia dan galur virus. Peningkatan suhu akan mempersingkat masa inkubasi ekstrinsik dan meningkatkan transmisi. Suhu yang meningkat sampai 340C akan mempengaruhi suhu air pada tempat perindukan nyamuk yang selanjutnya berpengaruh terhadap penetasan telur menjadi larva secara lebih cepat (Chistophers, 1960 dalam Sintorini 2012). Suhu lingkungan dengan kelembaban yang tinggi di musim kemarau akan mempengaruhi bionomik nyamuk seperti perilaku menggigit, perilaku perkawinan, lama menetas telur nyamuk (Achmadi, 2008).

d. Kecepatan angin merupakan gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) yang seragam dari arah yang horizontal (Kartasapoetra, 2008). Angin berpengaruh terhadap jarak terbang nyamuk. Kecepatan angin kurang dari 8,5 km/jam tidak mempengaruhi aktivitas nyamuk dan aktivitas nyamuk akan terpengaruh oleh angin pada kecepatan mencapai 8,05 km/jam (2,2 m/detik) atau lebih. Bila kecepatan angin 11-14 meter/detik atau 25-31 mil/jam atau 22-28 knots per jam akan menghambat penerbangan nyamuk (Sitio, 2008).

(64)

angka insiden DBD selama tahun 1997-2000. Menurut Achmadi (2011), kecepatan arah angin, curah hujan dan suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam rangka perkembangbiakan nyamuk terutama nyamuk Aedes di perkotaan.

2.8.3 Iklim dan Kejadian Penyakit

(65)

Menurut Soemirat (2005) iklim berpengaruh terhadap agent hidup di lingkungan dalam terlaksananya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum baik temperatur, kelembaban, zat hara dan lain-lain. Agen tidak hidup juga dipengaruhi oleh temperatur, keberadaan cairan dan zat lain disekitarnya yang menentukan ia berada dalam bentuk senyawa seperti apa dalam valensi berapa. Iklim juga berpengaruh terhadap media transmisi penyakit misalnya vektor akan berkembangbiak dengan optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua tersedia dalam jumlah yang optimum untuk kehidupannya. Pada keadaan optimum nyamuk akan cepat sekali berubah dari fase telur menjadi fase dewasa misalnya 7 hari atau kurang. Iklim juga berpengaruh terhadap host beserta peilakunya misalnya mortalitas dan morbiditas bervariasi atas dasar iklim, penyakitpun banyak yang musiman. Iklim berpengaruh terhadap media transmisi penyakit misalnya vektor akan berkembangbiak dengan optimum apabila suhu, kelembaban, zat hara semua tersedia dalam jumlah yang optimum untuk kehidupannya.

2.8.4 Dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan

(66)

suhu udara yang menyebabkan masa inkubasi nyamuk semakin pendek. Dampaknya nyamuk malaria dan demam berdarah akan berkembangbiak dengan cepat. Balita, anak-anak dan lanjut usia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Terbukti tingginya angka kematian yang disebabkan oleh malaria 1-3 juta/tahun dimana 80% nya adalah balita dan anak-anak (Meiviana dkk, 2004). Pola iklim yang terganggu menyebabkan efek tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan penyakit perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih, penyakit malaria, Demam Berdarah dengue, chikungunya dan penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti leptospirosis. Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius di daerah dunia dengan penduduk miskin. Terdapat sejumlah penyakit yang diprediksi prevalensinya akan meningkat sebagai akibat perubahan iklim (Keman, 2007). WHO (2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang sangat besar kemungkinan karena perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya wabah. Penyakit diare merupakan penyebab signifikan kesakitan dan kematian secara global. Kesakitan dan kematian penyakit diare berhubungan dengan pemakaian air yang tidak memenuhi syarat kesehatan serta hygiene dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai.

(67)

temperatur 10C di musim kemarau dan meningkat 12% untuk setiap peningkatan temperatur 10C di musim hujan. Di Fiji, studi pada hal yang sama menunjukkan adanya peningkatan kasus bulanan 3% untuk setiap peningkatan temperatur per 10C.

Menurut Keman (2007) di negara maju dilaporkan adanya kasus keracunan di bulan-bulan panas. Salmonella adalah penyebab pada kasus keracunan makanan di England dan Wales dengan jumlah 30.000 - 40.000 kasus per tahun. Bakteri salmonella tumbuh pada makanan pada temperatur ambient dan menunjukkan hubungan linier sampai teratur di atas 7-80C. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi distribusi populasi serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan diri (Patz, 2006). Nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue hanya berkembangbiak pada daerah tropis yang temperaturnya lebih dari

160C dan pada ketinggian kurang dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Namun sekarang nyamuk tersebut telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.000-2.195 meter di atas permukaan laut. Perluasan persebaran ini akan meningkatkan risiko terjangkitnya penyakit DBD di suatu daerah yang belum pernah terjangkit.

(68)

dan morbiditas dikatakan bervariasi atas dasar iklim dan penyakitpun banyak yang musiman. Tidak hanya penyakit atau agennya yang dipengaruhi musim tetapi ternyata manusia juga berperilaku sesuai dengan musim yang ada. Iklim sampai saat ini belum bisa dikelola yang dapat hanya dimonitor dan diprediksi sehingga orang dapat mengambil tindakan preventif apabila diperlukan (Soemirat, 2005).

2.8.4.1 Curah Hujan dengan Demam Berdarah Dengue

Menurut Iriani (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan curah hujan akan meningkatkan kejadian DBD di Kota Palembang. Curah hujan dapat meningkatkan transmisi penyakit yang ditularkan oleh vektor dengan cara memacu proliferasi tempat berkembangbia

Gambar

Gambar 2.1.  Peta Kasus DBD di Kota Medan Tahun 2010 dan 2011
Gambar 2.2.  Peta Kasus DBD di Kota Medan Jan-Sept Tahun 2012
Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Ae. aegypti (Soegijanto, 2006)
Gambar 2.4. Bagan Kejadian Infeksi Virus Dengue (Soegijanto, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh adalah curah hujan perbulan dan pertahun tidak berhubungan dengan kasus DBD di Kota Medan, sedangkan kecepatan angin, kelembaban udara,

Untuk mengetahui hubungan unsur iklim dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) pada daerah kasus tertinggi dan terendah di Kota Padang tahun

Penelitian ini bersifat retrospektif dan merupakan studi deskriptif , untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan dan kelembaban

udara dengan kasus DBD di kota Sukabumi di tahun 2010-2015, tetapi tidak ada hubungan yang signifi ­ kan antara faktor iklim (curah hujan, dan kelembaban) dengan tingkat kejadian

Kesimpulan yang diperoleh adalah curah hujan perbulan dan pertahun tidak berhubungan dengan kasus DBD di Kota Medan, sedangkan kecepatan angin, kelembaban udara,

Kesimpulan yang diperoleh adalah curah hujan perbulan dan pertahun tidak berhubungan dengan kasus DBD di Kota Medan, sedangkan kecepatan angin, kelembaban udara,

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes dan ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan curah hujan, kecepatan angin, kelembaban, dan suhu udara dengan kejadian penyakit DBD.. Diperlukan kerjasama