• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYESUAIAN DIRI SISWA PENYANDANG TUNAGRAHITA (STUDI KASUS DI SMP PENYIMBANG BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYESUAIAN DIRI SISWA PENYANDANG TUNAGRAHITA (STUDI KASUS DI SMP PENYIMBANG BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Kata kunci:bimbingan konseling, penyesuaian diri, tunagrahita

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENYESUAIAN

DIRI SISWA PENYANDANG TUNAGRAHITA

(STUDI KASUS DI SMP PENYIMBANG BANDARLAMPUNG TAHUN 2013/2014)

Oleh SUSI NOVIANTI

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah “apakah faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita? Dan seperti apakah keterbatasan siswa penyandang tunagrahita?” Tujuan penelitian ini untuk menguraikan dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri dan memperoleh gambaran keterbatasan siswa penyandang tunagrahita.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah satu orang siswa penyandang tunagrahita. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Hasil analisis data dari studi kasus menggunakan teknik model Miles dan Huberman.

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Susi Novianti dilahirkan di Bandarlampung tanggal 01 November 1988, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Heriyanto dan Ibu Maryati.

Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Gajah Mada tahun 1994, Sekolah Dasar (SD) Negeri 3 Rawa Laut tahun 2000, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bandar Lampung tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Bandar Lampung tahun 2006.

Tahun 2006, bekerja sebagai pengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) dan di Optik Aini sebagai Staf Marketing. Dan di tahun 2007, terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (FKIP Unila) melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN).

(7)

Kerohanian pada tahun 2008 s.d 2009 dan Wakil Sekretaris Umum tahun 2009 s.d 2010 di Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan (HIMAJIP). Tahun 2010 s.d 2011 menjabat sebagai Ketua Umum FORMABIKA.

Berperan aktif sebagai Anggota Bidang Pengembangan di Tim Kerja Dakwah (TKS) SMA N 3 Bandarlampung pada tahun 2007 s.d 2012 dan Sekretaris Umum di Tim Kerja Dakwah (TKS) SMP N 23 Bandarlampung pada tahun 2008 s.d 2010.

(8)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah Dengan memanjatkan rasa syukur kepada Illahi Robbi, sebuah karya yang sangat sederhana ini

dipersembahkan untuk:

Bapak, Emak, Kakak, Adik tersayang, Sahabat-sahabat tercinta dan Anak-anak Didik teristimewa

Terimakasih atas kasih sayang dan cintanya yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan sehingga

(9)

MOTO

“Khairunnas anfa’uhum linnas”

artinya

Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling

banyak mamfaat bagi orang lain.”

(10)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri Siswa Penyandang Tunagrahita (Studi Kasus Di SMP Penyimbang

Bandarlampung Tahun 2013/2014)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan, FKIP Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung

2. Bapak Drs. Baharuddin Risyak, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Lampung

3. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si. selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling sekaligus selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktunya untuk bimbingan selama penulisan skripsi ini

(11)

5. Ibu Ranni Rahmayanthi Z, S.Pd., M. A. selaku dosen penguji utama terima kasih atas kesediannya memberikan bimbingan, saran dan kritik yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs. Muswardi Rosra, M.Pd selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, yang telah mendidik dan semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat bagi kehidupan penulis di masa depan.

8. Bapak dan Ibu staf dan karyawan FKIP Unila, terimakasih atas bantuannya selama ini dalam menyelesaikan segala keperluan administrasi penulis.

9. Ibu Elok, selaku Kepala SMP Penyimbang Bandar Lampung Ibu Danti, Ibu Ina, Ibu Reni beserta guru lainnya, siswa, subjek penelitian, staf tata usaha dan nenek yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini

10.Kedua orang tuaku, Bapak Heriyanto dan Ibu Maryati terima kasih atas doa, nasehat, kesabaran, perhatian dalam menemani setiap perkembanganku. 11.Kakak-kakak dan adikku (Mas Adi, Mas Uki, Meita Sari) terima kasih atas

motivasi dan bantuan yang diberikan setiap waktu.

(12)

dan pengalaman yang luar biasa.

14.Sahabat perjuangan di FORMABIKA Kak Ridho, Putu, Nurul, Riki, Ari, Tubagus, Asep, Oci, Yunis, Titis, Nadia terima kasih bersama kalian membuatku semakin mencintai profesi ini.

15.Tim Aisi khususnya S3 di TKS SMA N 3 Bandarlampung dan TKS SMP N 23 Mbak Octa, Mbak Ade, Upi, Ike, Eka, Mbak Dian, Lili, Ade, Ardi, Dina, Ista, Ardian, Desi, Andika, Rico, Ratna dan Purwanti terima kasih kalian mengajarkan keistiqomahan dan perjuangan dakwah yang tak terhenti.

16.Keluarga YCHI SNETS Lampung Bang Zul, Bu Nila, Bu Shinta, Mbak Arum, Uni Diana, Erin, Bee, Kantie, Sisil, Taufik, Irul, Tian, Mbak Wisni, Deka terimakasih atas pembelajaran, kebersamaan dan pengalaman yang kita lalui bersama dengan anak-anak spesial kita

17.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih.

Demikian ucapan terima kasih kepada semua pihak, hanya Allah SWT yang dapat membalas dan memberi rahmat-Nya atas segala usaha dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Bandarlampung, Oktober 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Fokus Penelitian 4

A. Bimbingan dan Konseling 7

1.Pengertian Bimbingan dan Konseling 7 2.Tujuan Bimbingan dan Konseling 9 3.Fungsi Bimbingan dan Konseling 10 4.Kegiatan Bimbingan dan Konseling 12 5.Penyesuaian Diri Dalam Bimbingan dan Konseling 16

B. Penyesuaian Diri 16

1. Pengertian Penyesuaian Diri 16

2. Penyesuaian Diri yang Baik 17

3. Proses Penyesuaian Diri 19

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri 22

C. Anak Tunagrahita 29

1. Pengertian Tunagrahita 29

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Sedang 30 3. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita 32 4. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita 33 5. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita 33 6. Emosi, Penyesuaian Sosial, dan Kepribadian Anak

(14)

B.Tempat dan Waktu 39

C.Subjek Penelitian 39

D.Teknik Pengumpulan Data 40

E. Instrumen Penelitian 42

F. Analisis Data 43

G.Uji Keabsahan Data Penelitian 47

H.Prosedur Penelitian 49

1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri Siswa Penyandang Tunagrahita 72

1.1Kondisi fisik 72

1.2Kepribadian 75

1.3Pendidikan 82

1.4Lingkungan 87

1.5Agama serta budaya 94

2. Keterbatasan Siswa Penyandang Tunagrahita 97

2.1Keterbatasan Intelegensi 97

2.2Keterbatasan Sosial 103

2.3Keterbatasan Penggunaan Bahasa 107 V. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan 110

B.Saran 110

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kisi-kisi Wawancara dan Observasi 112

2. Pedoman Wawancara 115

3. Transkip Verbatim Wawancara 120

4. Ringkasan Perbandingan Antar Subjek Mengenai Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri 173 5. Ringkasan Perbandingan Antar Subjek Mengenai Keterbatasan Siswa

Penyandang Tunagrahita 182

6. Tabel Kategorisasi dan Koding Tema Wawancara Mengenai

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri 187 7. Tabel Kategorisasi dan Koding Tema Wawancara Mengenai

Keterbatasan Siswa Penyandang Tunagrahita 200

8. Hasil Observasi 211

9. Identitas Subjek dan Keluarga 221

10. Catatan Riwayat Tumbuh Kembang Anak 222 11. Laporan Hasil Pemeriksaan Psikologi 229

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak tunagrahita merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus, anak tunagrahita sedang mengalami gangguan dalam perkembangan mental. Gangguan tersebut diakibatkan karena tingkat kecerdasan yang rendah, anak tunagrahita sedang memiliki intelegensi 30-50. Menurut Moh. Efendi (2009:90): Anak tunagrahita sedang (mampu latih) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak mampu didik.

Gangguan perkembangan tersebut akan berpengaruh terhadap aspek kehidupannya. Anak tunagrahita mengalami keterbatasan dalam perilaku adaptif seperti berhubungan dengan orang lain dan terwujud selama periode perkembangan. Istilah perilaku adaptif diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya. Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan.

(18)

berbelit-belit. Di sisi lain anak tunagrahita dalam kesehariannya merupakan bagian dari anggota masyarakat dan selalu dituntut dapat berprilaku sesuai dengan norma- norma yang berlaku dilingkungannya. Kondisi tersebut mengakibatkan anak tunagrahita mendapat label tertentu dari masyarakat seperti; anak gila, anak stress, anak bodoh dan lain-lain.

Pendidikan merupakan bagian yang sangat penting. Melalui pendidikan yang dikelola dengan baik dan melahirkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dan kualitas yang tinggi. Pembinaan dan pengembangan pendidikan perlu terus dikembangkan dan diwujudkan melalui proses berkesinambungan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 menyebutkan bahwa:

“Semua warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pendidikan ini berarti bahwa negara tanpa kecuali, baik yang normal maupun yang mengalami gangguan perkembangan baik fisik, mental, emosi, sosial ataupun perilaku.“

Pendidikan yang diselenggarakan bagi anak-anak berkelainan di Indonesia telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.0491/U/1992 tentang pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik, yang menyandang kelainan fisik, mental, perilaku, dan sosial.

(19)

3

Anak tunagrahita sulit berprilaku sosial yang baik dengan lingkungannya, oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Masalah keterasingan adalah ancaman yang sangat nyata bagi mereka di sekolah. Masalah sosial bagi anak tunagrahita bukan sesuatu yang secara otomatis mudah dilakukan, hal ini mengingat ketunaan yang dialami anak tunagrahita tentu tidak lepas dari berbagai kesulitan yang mengikutinya berkaitan dengan proses penyesuaian sosial anak tunagrahita.

Maka pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan terhadap anak luar biasa, khususnya guru harus memiliki dedikasi yang tinggi, pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan luar biasa bagi anak tunagrahita. Guru sangat memegang peranan yang cukup penting bagi siswa penyandang tunagrahita yaitu membimbing anak didiknya ke arah perkembangan yang positif. Guru harus menggunakan cara yang tepat dalam usaha mencapai tingkat kemampuan yang optimal, sehingga mendekati derajat kemampuan anak biasa pada umumnya. Gerungan (2004:59) menyatakan bahwa:

“Individu senantiasa berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Itu artinya individu selalu berusaha menyesuaikan diterima di lingkungannya. Apabila individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka individu tersebut akan terkucilkan dari lingkungannya.”

(20)

tugas-tugas perkembangannya mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian diri yang baik dalam keseluruhan hidupnya sehingga siswa tersebut dapat merasa bahagia, harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif. Namun sebaliknya apabila gagal, maka siswa akan mengalami ketidakbahagian atau kesulitan dalam kehidupannya.

Dengan demikian dapat dirasakan perlunya kajian yang lebih mendalam mengenai penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita. Kajian ini akan dikemas dalam bentuk studi kasus agar peneliti dapat lebih mendalami fenomena penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita di sekolah.

B. Fokus Penelitian

Masalah dalam penelitian ini adalah mengenai penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam pembahasan penelitian ini, maka fokus penelitian dalam penelitian ini yaitu

“faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang

tunagrahita.”

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita?

(21)

5

D. Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1) Mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita

2) Memperoleh gambaran mengenai keterbatasan siswa penyandang tunagrahita

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengembangan keilmuan di bidang pendidikan khususnya bidang bimbingan dan konseling dalam hal penanganan masalah penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita.

b. Mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam bidang penelitian kualitatif khususnya studi kasus.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam mengambil suatu kebijakan yang tepat sasaran dan efektif dalam mengatasi masalah penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita.

(22)

yang lebih efektif dalam mengatasi penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita.

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini berjudul “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian

Diri Siswa Penyandang Tunagrahita (Studi Kasus Di Smp Penyimbang Bandarlampung Tahun 2013/2014)”. Maka berikut ini uraian teori yang menyangkut tentang: a) bimbingan dan konseling, b) penyesuaian diri dan c) anak tunagrahita.

A. Bimbingan dan Konseling

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling a. Pengertian Bimbingan

Rochman Natawidjaja dalam Sukardi (2002: 19) menyatakan:

“Bimbingan dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan supaya individu tersebut dapat memahami dirinya sendiri, sehingga ia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Bimbingan membantu individu mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai makhluk sosial.”

Selanjutnya Donald G. Mortensen dan Alan M. Schmuller dalam Juntika (2006: 7) menyatakan:

(24)

Dari pendapat diatas dapat diartikan bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan secara berkesinambungan agar individu (dalam hal ini disebut peserta didik) yang dibimbing dapat mengarahkan dirinya, membuat pilihan untuk dirinya dan mengembangkan kemampuan dirinya sendiri sebagai makhluk sosial sesuai dengan tuntutan lingkungan. Dengan pemberian layanan bimbingan dapat membantu peserta didik mencapai tugas-tugas perkembangannya secara optimal.

b. Pengertian Konseling

Rochman Natawidjaja dalam Sukardi (2002:21) mendefinisikan bahwa:

“Konseling merupakan suatu jenis layanan yang merupakan begian terpadu dari bimbingan. Konseling dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara dua individu, dimana yang seorang (yaitu konselor) berusaha membantu yang lain (yaitu klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada waktu yang akan datang.”

Selanjutnya Prayitno (2004:105) mendefinisikan konseling adalah

(25)

9

peserta didik agar mampu mengambil keputusan yang penting atas masalah yang dihadapinya dan bertanggung jawab secara penuh atas konsekwensi dari keputusan yang telah diambilnya tersebut.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa bimbingan dan konseling di sekolah adalah proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor atau pembimbing kepada seorang klien atau peserta didik secara berkesinambungan, agar dapat menentukan pilihan-pilihan untuk menyesuaikan diri, memahami diri, mengoptimalkan diri, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah serta mencapai kemampuan yang optimal untuk memikul tanggung jawab atas keputusan yang telah diambil untuk dirinya sendiri.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling

Menurut Sukardi. (2002: 28) tujuan umum dari layanan bimbingan dan konseling adalah sesuai dengan tujuan pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 1989 (UU No. 2/1998) yaitu terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang cerdas, yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

(26)

belajar dan karier (sekarang meliputi aspek pribadi, soaial, karier, belajar, keluarga dan kehidupan agama berdasarkan BK Pola 17 Plus).

Tujuan khusus bimbingan konseling juga dapat diartikan sebagai penjabaran dari tujuan umumnya, yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahannya.

3. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Pelayanan bimbingan konseling mengemban sejumlah fungsi yang hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling untuk mencapai hasil sebagaimana yang terkandung dalam masing-masing fungsi. Sukardi. (2002: 26) mengemukakan bahwa fungsi layanan bimbingan dan konseling dapat dikelompokkan menjadi:

a. Fungsi pencegahan

Layanan bimbingan dan konseling dapat berfungsi pencegahan artinya merupakan usaha mencegah terhadap timbulnya masalah. Dalam fungsi pencegahan ini layanan yang diberikan berupa bantuan bagi para siswa agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangannya.

b. Fungsi pemahaman

(27)

11

guru pembimbing, (2) Pemahaman tentang lingkungan siswa (termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan sekolah), terutama oleh siswa sendiri, orang tua, guru dan guru pembimbing, dan (3) Pemahaman tentang lingkungan yang lebih luas (termasuk di dalamnya informasi pendidikan, jabatan/pekerjaan/karier, dan informasi budaya/nilai-nilai) terutama oleh siswa.

c. Fungsi perbaikan

Walaupun fungsi pencegahan dan pemahaman telah dilakukan, namun mungkin saja siswa masih menghadapi masalah-masalah tertentu. Disinilah fungsi perbaikan berperan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan terpecahkannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami oleh siswa.

d. Fungsi pemeliharaan dan pengembangan

Fungsi ini berarti bahwa layanan bimbingan dan konseling yang diberikan dapat membantu para siswa dalam memelihara dan mengembangkan keseluruhan pribadinya secara mantap, terarah dan berkelanjutan. Dalam fungsi ini hal-hal yang dipandang positif dijaga. Dengan demikian, siswa dapat memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan kondisi yang positif dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.

(28)

kondisi pembelaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan atau kepentingan pendidikan/perkembangan yang dialami klien pelayanan bimbingan dan konseling.

Fungsi-fungsi tersebut diatas diwujudkan melalui terselenggarakannya berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk mencapai hasil sebagaimana terkandung di dalam masing-masing fungsi tersebut. Setiap layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang dilaksanakan harus secara langsung mengacu kepada satu atau lebih fungsi-fungsi agar hasil-hasil yang hendak dicapai secara jelas dapat diidentifikasi dan dievaluasi.

4. Kegiatan Bimbingan dan Konseling

Untuk mewujudkan tujuan dan merealisasikan fungsi yang hendak dicapai tentunya bimbingan konseling melakukan suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh konselor sekolah sebagai pelaksananya. Wujud penyelenggaraan kegiatan bimbingan konseling di sekolah terhadap peserta didik yakni melalui bidang-bidang bimbingan yang selanjutnya dilaksanakan lewat berbagai layanannya. Sebanyak enam bidang bimbingan dan sembilan layanan bimbingan dan konseling yang termuat dalam BK Pola 17 Plus adalah sebagai berikut:

a. Bidang bimbingan:

(29)

13

memiliki fokus pengembangan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya, yakni:

1. Bidang pengembangan pribadi, membantu individu menilai kecakapan, minat, bakat, dan karakteristik kepribadian diri sendiri untuk mengembangkan diri secara realistik,

2. Bidang pengembangan sosial, membantu individu menilai dan mencari alternatif hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya atau dengan teman sebaya atau dengan lingkungan sosial yang lebih luas,

3. Bidang pengembangan kegiatan belajar, membantu individu dalam kegiatan belajarnya dalam rangka mengikuti jenjang dan jalur pendidikan tertentu dan/atau dalam rangka menguasai sesuatu kecakapan dan keterampilan tertentu

4. Bidang pengembangan karier, membantu individu dalam mencari dan menetapkan pilihan serta mengambil keputusan berkenaan dengan karier tertentu, baik karier di masa depan maupun karier yang sedang dijalaninya,

5. Bidang pengembangan kehidupan berkeluarga, membantu individu dalam mencari dan menetapkan serta mengambil keputusan berkenaan dengan rencana perkawinan dan/atau kehidupan berkeluarga yang dijalaninya,

6. Bidang pengembangan kehidupan beragama, membantu individu dalam memantapkan diri berkenaan dengan perilaku keberagamaan menurut agama yang dianutnya.

b. Jenis layanan bimbingan dan konseling:

Berbagai jenis layanan dan kegiatan perlu dilakukan sebagai wujud penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sasaran layanan, yaitu peserta didik. Jenis layanan dan kegiatan tersebut perlu terselenggara sesuai dengan keenam bidang bimbingan yang telah diuraikan diatas. Sejumlah layanan bimbingan dan konseling tersebut diantaranya menurut Sukardi (2008: 60-68) :

(30)

dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru.

2. Layanan informasi, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik dan pihak-pihak lain yang dapat memberikan pengaruh yang besar kepada peserta didik (terutama orang tua) dalam menerima dan memahami informasi (seperti informasi pendidikan dan jabatan) yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan sehari-hari sebagai pelajar, anggota keluarga, dan masyarakat.

3. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat (misalnya penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan, atau program studi, program pilihan, magang, kegiatan ekstrakurukuler) sesuai dengan potensi, bakat, minat serta kondisi pribadinya.

(31)

15

5. Layanan konseling perseorangan, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan konselor dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahannya.

6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama dari konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari-hari baik individu ataupun pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik memperoleh kesempatan untuk pengentasan dan pembahasan permasalahan yang dihadapinya melalui dinamika kelompok.

(32)

9. Layanan mediasi, yakni layanan konseling yang memungkinkan permasalahan atau perselisihan yang dialami klien dengan pihak lain dapat terentaskan dengan konselor sebagai mediator.

5. Penyesuaian Diri Dalam Bimbingan dan Konselingl

Penelitian ini membahas penyesuaian diri siswa yang mencakup pada bimbingan pribadi sosial. Bimbingan pribadi sosial merupakan salah satu bidang layanan bimbingan yang ada di sekolah. Menurut Syamsu Yusuf (2006: 11) menyatakan bahwa

“Bimbingan sosial-pribadi adalah bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah sosial-pribadi. Yang tergolong dalam masalah-masalah sosial-pribadi adalah masalah hubungan dengan sesama teman, dengan dosen, serta staf, permasalahan sifat dan kemampuan diri, penyesuaian diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan

penyelesaian konflik.“

B. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (Ali & Asrori, 2009: 173), membahas tentang penyesuaian diri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas (conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery).

(33)

17

mempertahankan diri secara fisik (self-maintenance atau survival). Oleh sebab itu, jika penyesuaian diri hanya diartikan sama dengan usaha mempertahankan diri maka hanya selaras dengan keadaan fisik saja, bukan penyesuaian dalam arti psikologis.

Penyesuaian diri sebagai usaha konformitas, menyiratkan bahwa di sana individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baik secara moral, sosial maupun emosional. Sedangkan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery), yaitu kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respons dalam cara-cara tertentu sehingga konflik-konflik, kesulitan dan frustasi tidak terjadi. Dari pengertian yang dikemukakan di atas, penyesuaian diri adalah usaha mengubah diri sesuai dengan keadaan diri, keinginan diri dan masyarakat. Sehingga dapat menjalin hubungan dengan lingkungannya karena ia dapat diterima oleh lingkungannya.

2. Penyesuaian Diri yang Baik

(34)

sehat itu adalah gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk melihat atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri itu dikatakan baik.

Orang yang dipandang mempunyai penyesuaian diri yang baik adalah individu yang telah belajar bereaksi terhadap dirinya dan lingkungannya dengan cara-cara yang matang, efisien, memuaskan dan sehat, serta dapat mengatasi konflik mental, frustasi, kesulitan pribadi dan sosial tanpa mengembangkan perilaku simptomatik dan gangguan psikosomatik yang mengganggu tujuan-tujuan moral, sosial, agama dan pekerjaan. Orang seperti itu mampu menciptakan dan mengisi hubungan antarpribadi dan kebahagiaan timbal balik yang mengandung realisasi dan perkembangan kepribadian secara terus-menerus.

Kriteria keberhasilan penyesuaian diri menurut Pandangan alferd adler (dalam Fudyartanta, 2013) untuk mencapai sukses sebagai manusia dalam lingkungan sekitar sosial adalah peranan yang besar, berasal dari perasaan diri. Terutama untuk sukses sebagai manusia di lingkungan sekitar sosial berasal dari perasaan inferioritas (rasa rendah diri)

1. Inferioritas yaitu perasaan rendah diri itu kompleks dan ternyata berasal dari perbuatan diri yang terbentuk akibat perbuatan atau ketidakmampuan untuk bicara atau lebih spesifik seperti secara fisik kurang tangkas, kurang tinggi, atau kurang terampil secara akademik.

(35)

19

2. Gaya hidup adalah mencerminkan kepribadian seseorang, artinya jika kita mengerti akan tujuan hidup seseorang, maka kita akan mengerti arah yang akan ia ambil, dan hal ini merupakan kepribadian individu yang bersangkutan (Rychlak, 1981)

3. Minat sosial adalah perasaan akan adanya kesatuan dengan orang lain, rasa menyatu dan mempunyai lingkungan.

Penyesuaian diri secara positif pada dasarnya merupakan gejala perkembangan yang sehat, penyesuaian diri yang positif menurut Hariyadi (1997: 105-106) ditandai oleh :

1. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya 2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di

luar dirinya secara objektif

3. Kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luar dirinya

4. Kemampuan bertindak secara dinamis, luwes dan tidak kaku, sehingga menimbulkan rasa aman, tidak dihantui oleh kecemasan dan ketakutan

5. Rasa hormat pada sesama manusia dan mampu bertindak toleran 6. Bersifat terbuka dan sanggup menerima umpan balik

7. Memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi

8. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, serta selaras dengan hak dan kewajibannya.

Dari serangkaian pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa individu dikatakan mampu menyesuaikan diri secara baik jika individu dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan tuntutan dari lingkungan sekitarnya, serta mampu mengatasi segala hambatan yang dihadapi.

3. Proses Penyesuaian Diri

(36)

a. Motivasi dan proses penyesuaian diri

Faktor motivasi dapat dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuaian diri. Motivasi, sama halnya dengan kebutuhan, perasaan, dan emosi merupakan kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidakseimbangan dalam organisme. Ketegangan dan ketidakseimbangan merupakan kondisi yang tidak menyenangkan karena sesungguhnya kebebasan dari ketegangan dan keseimbangan dari kekuatan-kekuatan internal lebih wajar dalam organisme apabila dibandingkan dengan kedua kondisi tersebut.

Ini sama dengan konflik dan frustasi yang juga tidak menyenangkan, berlawanan dengan kecenderungan organisme untuk meraih keharmonisan internal, ketenteraman jiwa, dan kepuasan dari pemenuhan kebutuhan dan motivasi. Respons penyesuaian diri, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya organisme untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara keseimbangan yang lebih wajar. Kualitas respons, apakah itu sehat, efisien, merusak, atau patologis ditentukan terutama oleh kualitas motivasi, selain juga hubungan individu dengan lingkungan.

b. Sikap terhadap realitas dan proses penyesuaian diri

(37)

21

diperlukan bagi proses penyesuaian diri yang sehat. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan, dan semaunya sendiri, semuanya itu sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri dengan realitas.

c. Pola dasar dan proses penyesuaian diri

Dalam penyesuaian diri sehari-hari terdapat suatu pola dasar penyesuaian diri. Misalnya seorang anak membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya yang selalu sibuk. Dalam situasi itu, anak akan frustasi dan berusaha menemukan pemecahan yang berguna mengurangi ketegangan antara kebutuhan akan kasih sayang dengan frustasi yang dialami. Boleh jadi, suatu saat upaya yang dilakukan itu mengalami hambatan. Akhirnya dia akan beralih kepada kegiatan lain untuk mendapat kasih sayang yang dibutuhkannya, misalnya dengan mengisap-isap ibu jarinya sendiri.

Sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip penyesuaian diri yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungannya. Maka proses penyesuaian diri menurut Sunarto (dalam Ali & Asrori, 2009: 178) dapat ditujukan ke dalam sepuluh hal.

1. Individu di satu sisi merupakan dorongan keinginan untuk memperoleh makna dan eksistensi dalam kehidupannya dan di sisi lain mendapat peluang atau tuntutan dari luar dirinya sendiri. 2. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di

luar dirinya secara objektif sesuai dengan pertimbangan yang rasional.

3. Mampu bertindak sesuai dengan potensi yang ada dan kenyataan objektif di luar dirinya.

(38)

5. Bertindak sesuai dengan potensi-potensi positif sehingga dapat menerima dan diterima lingkungan.

6. Hormat kepada sesama manusia dan mampu bertindak toleran, serta dapat mengerti dan menerima keadaan orang lain meskipun sebenarnya kurang serius dengan keadaan dirinya.

7. Sanggup merespons frustasi, konflik, dan stres secara wajar, sehat, dan profesional.

8. Sanggup bertindak secara terbuka dan menerima kritik dan tindakannya.

9. Dapat bertindak sesuai dengan norma yang dianut oleh lingkungannya serta selaras dengan hak dan kewajibannya. 10. Secara positif ditandai oleh kepercayaan terhadap diri sendiri,

orang lain, dan segala sesuatu di luar dirinya sehingga tidak pernah merasa tersisih dan kesepian.

Simpulan dari pernyataan-pernyataan di atas yaitu setidaknya proses penyesuaian diri melibatkan tiga unsur. Tiga unsur tersebut adalah: motivasi, sikap terhadap realitas, dan pola dasar penyesuaian diri.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri

Menurut Scheneiders (dalam Ali dan Asrori, 2009: 181-189) setidaknya ada lima faktor yang dapat mempengaruhi proses penyesuaian diri yaitu: 1. Kondisi Fisik

Kondisi fisik berpengaruh kuat terhadap proses penyesuaian diri. Aspek-aspek berkaitan kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri remaja sebagai berikut;

a. Hereditas dan konstitusi fisik

(39)

23

pribadi, sifat, atau kecenderungan berkaitan dengan konstitusi fisik maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri.

b. Sistem utama tubuh

Sistem utama tubuh memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri adalah sistem syaraf, kelenjar dan otot. Sistem syaraf yang berkembang dengan normal dan sehat merupakan syarat mutlak bagi fungsi-fungsi psikologis agar dapat berfungsi maksimal yang akhirnya berpengaruh baik pula kepada penyesuaian diri individu. Dengan kata lain, fungsi yang memadai dari sistem syaraf merupakan kondisi umum yang diperlukan bagi penyesuaian diri yang baik.

c. Kesehatan fisik

(40)

2. Kepribadian

Unsur–unsur kepribadian yang penting pengaruhnya terhadap penyesuaian diri adalah; (a) Kemauan dan kemampuan untuk berubah, (b) Pengaturan diri, (c) Realisasi diri dan (d) Intelegensi. Masing-masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut;

a. Kemauan dan kemampuan untuk berubah

Kemauan dan kemampuan untuk berubah merupakan karakteristik kepribadian yang pengaruhnya sangat menonjol terhadap proses penyesuaian diri. Sebagai suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku, sikap dan karakteristik sejenis lainnya. Oleh sebab itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan dan kemampuan untuk merespon lingkungan, semakin besar kemungkinannya untuk mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri.

b. Pengaturan diri

(41)

25

c. Realisasi diri

Kemampuan pengaturan diri mengimpilkasikan potensi dan kemampuan ke arah realisasi diri. Proses penyesuaian diri dan pencapaian hasilnya secara bertahap sangat erat kaitannya dengan perkembangan kepribadian. Jika perkembangan kepribadian berjalan normal sepanjang masa kanak-kanak dan remaja, di dalamnya tersirat potensi laten dalam bentuk sikap, tanggungjawab, penghayatan nilai-nilai, penghargaan diri dan lingkungan serta karakteristik lainnya menuju pembentukan kepribadian dewasa. Semua itu, unsur-unsur penting yang mendasari realisasi diri.

d. Intelegensi

Kemampuan pengaturan diri sesungguhnya muncul tergantung pada kualitas dasar lainnya yang penting peranannya dalam penyesuaian diri, yaitu kualitas intelegensi. Tidak sedikit, baik buruknya penyesuaian diri seseorang ditentukan oleh kapasitas intelektualnya atau intelegensinya. Intelegensi sangat penting bagi perolehan perkembangan gagasan, prinsip dan tujuan memainkan peranan penting dalam proses penyesuaian diri.

3. Pendidikan a. Belajar

(42)

diperlukan bagi penyesuaian diri yang menyerap kedalam proses individu melalui proses belajar.

b. Pengalaman

Ada dua pengalaman yang mempengaruhi individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang memiliki nilai signifikan terhadap proses penyesuaian diri, yaitu (1) pengalaman yang menyehatkan, (2) pengalaman traumatik. Pengalaman yang menyehatkan adalah peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu bahkan dirasa mengenakan, mengasyikan dan aman mengulanginya kembali. Adapun pengalaman traumatik adalah peristiwa-peristiwa yang dialami oleh individu dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat tidak mengenakan, menyedihkan atau bahkan sangat menyakitkan sehingga individu tersebut sangat tidak ingin peristiwa itu terulang kembali. Individu yang mengalami pengalaman traumatik akan cenderung ragu-ragu, kurang percaya diri, gamang, rendah diri, atau bahkan merasa takut ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

c. Latihan

(43)

27

jarang sesorang yang sebelumnya memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang baik dan kaku, tetapi karena melakukan latihan secara sungguh-sungguh, akhirnya lambat laun menjadi bagus dalam sikap penyesuaian diri dengan lingkungan baru.

d. Determinan diri

Berkaitan erat dengan penyesuaian diri adalah bahwa sesungguhnya individu itu sendiri harus menentukan dirinya sendiri untuk melakukan penyesuaian diri. Ini menjadi penting karena determinasi diri merupakan faktor yang sangat kuat yang digunakan untuk kebaikan dan keburukan, untuk mencapai penyesuaian diri yang tuntas, atau bahkan untuk merusak dirinya sendiri.

4. Lingkungan

Faktor lingkungan berpegaruh terhadap penyesuaian diri meliputi; a. Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga merupakan lingkungan utama yang sangat penting atau bahkan tidak ada yang lebih penting dalam kaitannya dengan penyesuaian diri individu.

b. Lingkungan sekolah

(44)

umumya, sekolah dipadang sebagai media yang sangat berguna untuk memengaruhi kehidupan dan perkembangan intelektual, sosial, nilai-nilai, sikap dan moral siswa.

c. Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat juga menjadi faktor yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan penyesuaian dirinya. Kenyataan menunjukan kecenderungan ke arah penyimpangan perilaku dan kenakalan remaja sebagai salah satu bentuk penyesuaian diri yang tidak baik, berasal dari pengaruh lingkungan masyarakat.

Lingkungan Menurut Urie Brofenbrenner (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menyatakan bahwa:

“Lingkungan bersifat stratifikasi yakni berlapis-lapis dari yang terdekat sampai terjauh. Ia mengistilahkan sebagai suatu sistem mikro, meso, ekso, makro dan krono.

(1) Sistem Mikro ialah sistem lingkungan yang memberikan kesempatan seorang anak dapat menjalin komunikasi secara langsung dengan orang-orang terdekat seperti keluarga (orangtua dan saudara kandung),

(2) Sistem Meso ialah sistem lingkungan sosial yang terdiri dari 2 atau lebih sistem mikro seperti interaksi antarkeluarga, interaksi antarsekolah, interaksi antar teman sebaya. Seorang anak yang dapat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru di sekolah, cenderung akan merasa puas, percaya diri, bangga, dan mengembangkan kepribadian yang positif dibandingkan dengan anak yang gagal dalam menyelesaikan tugas pekerjaan rumah dari gurunya,

(3) Sistem Ekso ialah sistem lingkungan sosial yang secara tidak langsung memberi pengaruh langsung terhadap perkembangan seorang anak,

(45)

29

istiadat, kepercayaan yang berlaku dalam suatu wilayah negara tertentu,

(5) Sistem krono ialah sistem yang berhubungan dengan dimensi waktu yang berpengaruh pada taraf kestabilan dan perubahan dalam kehidupan anak. Hal ini berhubungan dengan kondisi kerusuhan , bencana alam, masa perang, krisis sosial dan ekonomi gelombang migrasi dan

sebagainya.”

5. Agama serta budaya

Agama berkaitan erat dengan faktor budaya. Agama memberikan sumbangan nilai-nilai, keyakinan, praktik-praktik yang memberi makna sampai mendalam, tujuan, kesimbangan dan kestabilan dalam hidup individu. Faktor agama memiliki sumbangan yang berarti terhadap perkembangan penyesuaian diri individu. Selain agama budaya juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan individu hal ini terlihat jika dilihat dari adanya karakteristik yang diwariskan kepada individu melaui berbagai media satu diantaranya lingkungan sekolah.

C. Anak Tunagrahita

1. Pengertian Tunagrahita

(46)

Anak tunagrahita atau dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut.

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Sedang

Menurut Soemantri, S (2010) Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Ada beberapa karakteristik umum tunagrahita yang dapat kita pelajari, yaitu:

a. Keterbatasan Intelegensi

(47)

31

Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau belajar dengan membeo.

b. Keterbatasan Sosial

Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan.

Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.

c. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya

Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama.

(48)

pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir, perlu menggunakan pendekatan yang konkret.

Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan yang membedakan yang benar dan yang salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.

3. Perkembangan Fisik Anak Tunagrahita

Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita itu ada yang tertinggal jauh dengan anak normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak normal. Di antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal ialah fungsi perkembangan jasmani dan motorik. Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagtahita tidak secepat perkembangan anak normal sebagaimana banyak ditulis orang.

(49)

33

1984). Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama.

4. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita

Suppes (1947) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Messen, Conger, dan Kagan (1974) menjelaskan bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu: 1) persepsi, 2) memori, 3) permunculan ide-ide, 4) evaluasi, 5) penalaran.

Proses-proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, simbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Para peneliti bidang ini tertarik pada perubahan urutan proses kognitif yang dihubungkan dengan umur dan pengalaman. Ahli-ahli psikologi perkembangan berusaha untuk memahami mekanisme perubahan kognitif pada berbagai perkembangan kognitif.

5. Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita

Bahasa didefinisikan oleh Myklebust (1955) sebagai perilaku simbolik mencangkup kemampuan mengikhtisarkan, mengikatkan kata-kata dengan arti dan menggunakannya sebagai simbol untuk berpikir dan mengekspresikan ide, maksud dan perasaan.

(50)

yang berhubungan secara langsung dengan pengalaman. Secara umum perkembangan bahasa meliputi lima tahap perkembangan, seperti berikut:

1. Inner Language

Inner language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep-konsep sederhana, seperti anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara satu objek dengan objek lainnya. Tahap berikut dari perkembangan inner language adalah anak dapat memahami hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan dapat bermain dengan mainanya dalam situasi yang bermakna. Contohnya menyusun perabot di dalam rumah-rumahan. Bentuk yang lebih kompleks dari perkembangan inner language ini adalah mentranformasikan pengalaman ke dalam simbol bahasa.

2. Receptive language

(51)

35

pembentukan konsep-konsep sederhana menjadi tergantung kepada pemahaman dan receptive language.

3. Expressive language

Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif. Menurut Myklebust expressive language berkembang setelah pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu tahun. Perkembangan bahasa erat kaitanya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga akan terhambat.

Anak tunagrahita pada umumnya tidak bisa menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari banyak menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada CA yang sama, anak tunagrahita pada umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu, anak tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan bicara (expressive auditory language).

(52)

anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.

Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman. Kanak-kanak dan penyesuaian sosial merupakan proses yang saling berkaitan. Kepribadian sosial mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi dengan lingkungan. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri sangat besar pengaruhnya terhadap kepribadian.

(53)

37

Kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab sosial menurut ukuran norma sosial tertentu, dan bersifat kondisi sesuai dengan tahap perkembangannya disebut perilaku adaptif. Perilaku adaptif anak tunagrahita dapat ditinjau dari tujuh area, diantaranya:

1) Terhambat dalam perkembangan keterampilan sensorimotor; 2) Terhambat dalam keterampilan komunikasi;

3) Terhambat dalam keterampilan menolong diri; 4) Terhambat dalam sosialisasi;

5) Terhambat dalam mengaplikasikan keterampilan akademik dalam kehidupan sehari-hari;

6) Terhambat dalam menilai situasi lingkungan secara tepat; dan 7) Terhambat dalam menilai keterampilan sosial.

Meyerson (dalam Cruickshank:1980) berpendapat bahwa:

“Pertama, kelainan dari segi fisik saja tidak dapat dipandang sebagai suatu masalah sosial anak berkelainan. Kedua, kelainan dapat dipandang sebagai suatu ketunaan yang merupakan variasi fisik yang kurang menguntungkan, baik penilaian yang diberikan oleh masyarakat maupun yang diberikan oleh penderita itu sendiri atas kecacatannya.”

(54)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Model Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan model penelitian studi kasus. Pendekatan kualitatif adalah penelitian data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Menurut Bogdan dan Tylor (dalam Tohirin 2012) penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita. Dengan pendekatan ini peneliti dapat mengenal subyek secara pribadi dan lebih dekat. Ini dapat terjadi karena adanya pelibatan secara langsung dengan subyek di lingkungan subyek, baik lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah. Pelibatan langsung ini akan dapat mengeksplorasi diri subyek, situasi, kondisi, dan peristiwa yang berkaitan dengan penyesuaian diri.

(55)

39

pencarian data secara lengkap untuk selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan. Creswell (dalam Herdiansyah 2010) menyatakan bahwa

“Studi kasus adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu sistem yang berbatas (bounded system) pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya akan konteks. Studi kasus adalah suatu model penelitian kualitatif yang terperinci tentang individu atau suatu unit sosial tertentu selama

kurun waktu tertentu. “

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan bentuk studi kasus intrinsik (intrinsic case study). Herdiansyah (2010) menyatakan bahwa studi kasus intrinsik dilakukan untuk memahami secara lebih baik dan mendalam tentang suatu kasus tertentu. Peneliti telah menggali lebih dalam mengenai penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Penyimbang Bandar Lampung tahun ajaran 2013/2014. Beralamat di jalan Teuku Umar Gang Suci, Kedaton, Bandarlampung. Penelitian berlangsung dari tanggal 5 Oktober 2013 hingga 10 Januari 2014.

C. Subyek Penelitian

(56)

kronologis 17 tahun dengan usia mental 7 tahun, 4) Mampu berkomunikasi verbal, dan 5) Memiliki masalah dalam penyesuaian diri..

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara semiterstruktur, observasi partisipatif dan studi dokumentasi.

1. Wawancara

Menurut Gorden (dalam Herdiansyah 2010) mendefinisikan wawancara merupakan percakapan antara dua orang yang salah satunya bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi untuk suatu tujuan tertentu. Dalam penelitian kualitatif wawancara menjadi metode pengumpulan data yang utama. Sebagian besar data diperoleh melalui wawancara. Untuk mendukung pencarian data dalam penelitian ini menggunakan jenis wawancara semiterstruktur, dimana jenis wawancara ini termasuk dalam kategori wawancara mendalam (indepth interview), dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur, peneliti menggunakan pedoman wawancara bersifat umum yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput.

2. Observasi

(57)

41

kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan. Penelitian ini menggunakan jenis observasi partisipatif.

Dalam hal ini, seorang peneliti dituntut untuk sebanyak-banyaknya mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan fokus masalah yang diteliti. Observasi yang dilakukan mampu melihat perilaku siswa penyandang tunagrahita dalam penyesuaian diri di sekolah. Menurut Herdiansyah (2010) Teknik observasi digunakan untuk melihat atau mengamati perubahan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penilaian atas perubahan tersebut. Metode ini digunakan sebagai pendukung dan pelengkap dalam pengumpulan data untuk mengamati dan mencatat fenomena permasalahan penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita.

Teknik observasi yang digunakan adalah behavioral checklist yang merupakan suatu metode dalam observasi yang mampu memberikan keterangan mengenai muncul atau tidaknya perilaku yang diobservasi

dengan memberikan tanda cek (√) jika perilaku yang diobservasi muncul.

(58)

dengan hanya membawa kertas kosong untuk mencatat perilaku yang khas, unik dan penting yang dilakukan oleh subjek penellitian.

Dalam metode anecdotal record, observer mencatat dengan teliti dan merekam perilaku-perilaku yang dianggap penting dan bermakna. Catatan tersebut harus selengkap mungkin sesuai dengan kejadian yang sebenarnya tanpa mengubah kronologisnya. Dalam metode anecdotal record peneliti juga dapat menafsirkan makna dari perilaku yang muncul, menurut pendapat dan sudut pandang peneliti sepanjang penafsiran dan makna menurut peneliti berfungsi sebagai pendukung dari makna yang sebenarnya.

3. Studi Dokumentasi

Teknik pengumpulan data terakhir yang dilakukan oleh peneliti adalah studi dokumentasi. Menurut Herdiansyah (2009) studi dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisa dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi dokumentasi untuk mendapatkan gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung oleh subjek yang bersangkutan.

E. Instrumen Penelitian

(59)

43

dalam penelitian ini. Peneliti sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penelitiannya, berhasil menjadi satu dengan subjek penelitian beserta lingkungan sosialnya dan kepercayaan telah diraihnya dengan baik. Tetapi di sisi lain peneliti tetap sedang melakukan penelitian. Tidak dapat dipisahkan antara fungsi peneliti sebagai instrumen dan sebagai peneliti itu sendiri.

Keberhasilan penelitian terletak pada keterampilan dan kecakapan peneliti untuk menggali informasi dan menginterpretasikan informasi serta membina kedekatan (rapport) dengan subjek dan informan. Peneliti juga mengevaluasi jalannya penelitian yang dilakukan untuk tetap pada jalur tujuan yang diinginkan dan tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan metodologis yang benar.

F. Analisa Data

(60)

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Miles dan Huberman. Teknik analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman terdiri atas empat tahapan yang akan dilakukan yaitu :

1. Pengumpulan data

Proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan sebelum penelitian pada saat penelitian, dan bahkan di akhir penelitian. Idealnya, proses pengumpulan data sudah dilakukan ketika penelitian masih berupa konsep atau draf. Bahkan, Creswell (dalam Herdiansyah, 2010) menyarankan bahwa peneliti kualitatif sebaiknya sudah berfikir dan melakukan analisis ketika penelitian kualitatif baru dimulai. Intinya adalah proses pengumpulan data pada penelitian kualitatif tidak memiliki segmen atau waktu tersendiri, melainkan sepanjang penelitian yang dilakukan proses pengumpulan data dapat dilakukan. Pengumpulan data dapat berupa coretan, catatan peneliti, hasil pengamatan, hasil wawancara karena hasil dari aktivitas tersebut adalah data yang akan menunjang hasil penelitian.

2. Reduksi data

(61)

45

diformat menjadi bentuk verbatim wawancara. Hasil observasi dan temuan dilapangan diformat menjadi tabel hasil observasi, hasil studi dokumentasi diformat menjadi skrip analisis dokumen.

3. Display data atau penyajian data

Setelah semua data telah diformat berdasarkan instrumen pengumpul data dan telah berbentuk tulisan (script), langkah selanjutnya adalah melakukan display data. Pada prinsipnya, display data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang jelas (yang sudah disusun alurnya dalam tabel akumulasi tema) ke dalam suatu matriks kategorisasi sesuai tema yang sudah dikelompokkan dan dikategorikan.

Kemudian tema tema tersebut dipecah kedalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana yang disebut dengan subtema yang diakhiri dengan memberikan kode (coding) dari subtema tersebut sesuai dengan verbatim wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Jadi secara urutan akan ada tiga tahapan dalam display data yaitu : kategori tema, subkategori tema, dan proses pengodean. Ketiga tahapan tersebut saling terkait satu sama lain.

4. Mengambil kesimpulan/verifikasi

(62)

diajukan sebelumnya dan mengungkap “what” dan “how” dari temuan

penelitian tersebut.

Kesimpulan dalam rangkaian analisis data kualitatif menurut model Miles dan Huberman secara esensial berisi tentang uraian dari seluruh subkategorisasi tema yang tercantum pada tabel kategorisasi dan pengodean yang sudah terselesaikan disertai dengan quote verbatim wawancaranya. Artinya data yang diperoleh berupa transkrip dikutip langsung dan diinterprestasikan berdasarkan teori pendukung yang telah ada, tanpa mengurangi arti sesungguhnya dari apa yang diungkapkan oleh informan.

Jika dapat disimpulkan terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan dalam tahap kesimpulan/verifikasi. Pertama, menguraikan subkategori tema dalam bentuk tabel kategorisasi dan pengodean disertai dengan quote verbatim wawancaranya. Kedua, menjelaskan hasil temuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan aspek/ komponen/ faktor/ dimensi dari central phenomenon penelitian. Ketiga, membuat kesimpulan dari temuan tersebut dengan memberikan penjelasan dari jawaban pertanyaan penelitian yang diajukan

(63)

47

G. Uji Keabsahan Data Penelitian

Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keterandalan (reliabilitas). Sebuah penelitian merupakan kerja ilmiah, untuk melakukannya mutlak dituntut secara objektivitas, untuk memenuhi kriteria ini dalam sebuah penelitian maka validitas dan reliabilitas harus dipenuhi jika tidak maka proses penelitian itu perlu dipertanyakan keilmiahannya. Tidak terkecuali model studi kasus dalam penelitian kualitatif keabsahan datanya pun harus di uji dengan beberapa teknik. Moleong (dalam Iskandar, 2008) menyatakan bahwa untuk menetapkan keabsahan data dalam penelitian kualitatif diperlukan beberapa teknik pemeriksaan antara lain :

1. Objektivitas (Confirmability)

Objektivitas bermakna sebagai proses kerja yang dilakukan untuk mencapai kondisi obyektif. Adapun kriteria objektivitas jika memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Desain penelitian dibuat secara baik dan benar b) Fokus penelitian tepat

c) Kajian literatur yang relevan

d) Instrumen dan cara pendataan yang akurat

e) Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan fokus permasalahan penelitian

f) Analisis data dilakukan secara benar

g) Hasil penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan 2. Kesahihan internal (Credibility)

(64)

tepat. Penjaminan keabsahan data melalui kesahihan internal dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa kriteria teknik pemeriksaan yaitu :

a) Perpanjangan pengamatan

Menurut Moleong (dalam Iskandar, 2008) bahwa peneliti adalah instrumen itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam proses pengumpulan data. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Kemudian dengan adanya perpanjangan pengamatan peneliti dapat menguji ketidakbenaran informasi yang diperoleh.

b) Meningkatkan ketekunan pengamatan

Dalam penelitian kualitatif ketekunan pengamatan peneliti sangat diperlukan untuk menemukan ciri-ciri fenomena atau gejala sosial dalam situasi yang sangat relevan sehingga peneliti dapat memusatkan perhatian secara rinci dan mendalam.

c) Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap suatu data.

(65)

49

3. Kesahihan eksternal (Transferability)

Menurut Danim (dalam Iskandar, 2008) kriteria kesahihan eksternal meminta peneliti kualitatif untuk menghasilkan penelitian yang dapat mendeskripsikan rekonstruksi realita secara lengkap dan detail sebagaimana dikonstruksikan oleh responden penelitiannya. Dengan cara seperti diatas memungkinkan orang lain untuk mengenali situasi tempat penelitian baru yang memiliki kesamaan dengan situasi tempat penelitian. Apabila pembaca dapat memperoleh informasi yang jelas tentang temuan penelitian, maka dapat dikatakan data penelitian tersebut sudah memenuhi kriteria kesahihan eksternal.

4. Keterandalan (Defendenbility)

Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama sekali lagi. Dalam metodelogi penelitian pendidikan dan sosial Iskandar (2008) menerangkan bahwa untuk menguji dan tercapai keterandalan atau reliabilitas data penelitian, jika dua atau beberapa kali penelitian dengan fokus masalah yang sama diulang penelitiannya dalam suatu kondisi yang sama dan hasil yang esesnsialnya sama, maka dikatakan memiliki reliabilitas (keterandalan) yang tinggi.

H. Prosedur Penelitian

(66)

Sistematis memiliki makna bahwa di dalam suatu proses penelitian harus terdapat prosedur yang jelas dalam pelaksanaannya.

1. Penelitian ini dimulai dengan tahap persiapan yang diawali dengan perumusan masalah dan memunculkan pertanyaan penelitian baik pertanyaan utama maupun pertanyaan tambahan Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: apakah faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita? Dan pertanyaan tambahannya yaitu seperti apakah keterbatasan siswa penyandang tunagrahita?

2. Setelah itu peneliti mulai terjun ke lapangan tempat penelitian. Peneliti mulai mengumpulkan data yang relevan mengenai penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita dengan terlebih dahulu mencari calon subjek. Pertimbangan dalam pemilihan subjek dengan kriteria sebagai berikut; 1) Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis subjek menyandang

tunagrahita sedang,

2) Memiliki kemampuan kognitif yang terbatas dengan skor IQ 42 pada Skala Binet,

3) Memiliki usia kronologis 17 tahun dengan usia mental 7 tahun, 4) Mampu berkomunikasi verbal, dan

5) Memiliki masalah dalam penyesuaian diri.

(67)

51

Peneliti mengenal subjek sejak dua tahun terakhir di klinik terapi Anak berkebutuhan khusus Special Need Theraphy Service (SNETS) Lampung di bawah naungan Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI). Melalui data yang direkomendasikan guru subjek saat duduk di kelas VI di SDN 1 Labuhan Ratu. Data tersebut merupakan daftar siswa yang mengalami kesulitan belajar. Selain itu, Guru dan wali kelas menceritakan pengalaman mengajar dan hasil prestasi belajar yang menurun. Setelah proses pendataan, WH diterima mendapat pelayanan terapi gratis di SNETS.

Kegiatan diawali dengan melakukan assessment pada WH oleh psikolog dan memberikan program yang dibutuhkan WH oleh case manager. Dari hasil assessment terdapat beberapa anak lain dengan hasil diagnosis mengalami gangguan tunagrahita. Namun, tidak semua siswa penyandang tunagrahita dipilih menjadi subyek melainkan melalui kriteria yang telah dibuat. Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dan menjalin hubungan dengan subjek dan informan penelitian. Peneliti melalukan pre-elementary dengan wawancara dan observasi yang berkaitan dengan penyesuaian diri subjek.

(68)

1. Wawancara semi terstruktur

Dalam penelitian ini, wawancara menjadi teknik pengumpulan data yang utama pencarian data. Jenis wawancara yang digunakan yaitu semiterstruktur, dimana jenis wawancara ini termasuk dalam kategori wawancara mendalam (indepth interview). Data yang diperoleh melalui wawancara berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri dan keterbatasan siswa sebagai penyandang tunagrahita. Indikator yang akan diungkap dalam faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri siswa penyandang tunagrahita meliputi:

1. Kondisi fisik yaitu kesehatan fisik

2. Kepribadian yang meliputi kemauan yang kuat untuk berubah, pengaturan diri dan realisasi diri

3. Pendidikan yang meliputi proses belajar, latihan, pengalaman 4. Lingkungan diantaranya lingkungan rumah dan sekolah 5. Agama serta Budaya

Referensi

Dokumen terkait

Berbicara faktor lingkungan sebagai variabel yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Faktor keluarga,

- Data mengenai faktor-faktor internal yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam perkawinan, yaitu faktor perkembangan dan kematangan serta faktor determinan psikologis

Secara singkat diketahui bahwa subyek pensiunan mampu melakukan penyesuaian diri secara positif (tepat) selama faktor-faktor tersebut menciptakan kondisi yang kondusif yaitu :

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses yang melibatkan kemampuan individu untuk dapat mengatasi kebutuhan baik yang berasal

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu pada proses penyesuaian diri dan penyesuaian sosial lebih mengarah pada pekerjaannya, bagaimana meningkatkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara konsep diri dan penyesuaian diri dengan

Karena penyesuaian diri itu sendiri tidak bisa dikatakan baik atau buruk maka kita tidak dapat mendefinisikannya dengan sangat sederhana, yaitu suatu proses

Religiusitas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di sekolah memiliki peran penting dalam penyesuaian diri remaja sebagai siswa dalam