BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENYESUAIAN DIRI
1. Definisi Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri sebagaimana dimaksudkan oleh Schneiders (1964) ialah:
“a process involving both mental and behavioral responses by which an
individual strive to cope successfully with inner needs, tensions, frustrations, and conflicts, and to effect a degree of harmony between these inner demands and those imposed on him by the objective world in which he lives.”
Sesuai dengan definisi di atas, maka pengertian penyesuaian diri menurut
Schneiders adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku pada
individu untuk menghadapi kebutuhan internal, ketegangan, frustrasi, serta
konflik-konflik. Penyesuaian diri nantinya berdampak pada keselarasan antara
tuntutan dari dalam diri individu dan lingkungan di sekitarnya (Schneiders, 1964).
Selaras dengan pernyataan Schneiders, penyesuaian diri menurut
Calhoun dan Acocella (1990) adalah sebuah interaksi yang kontinyu antara diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses
timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan lingkungannya.
Schneiders (1964) membagi penyesuaian diri ke dalam tiga sudut
pandang. Sudut pandang pertama adalah penyesuaian diri sebagai bentuk adaptasi
(adaptation) yang lebih menyoroti penyesuaian diri dalam hal fisik, fisiologis, dan
konformitas (conformity) dimana individu menyesuaikan diri agar sesuai dengan
norma yang ada di lingkungan dan menghindari penyimpangan perilaku, baik
secara moral, sosial, maupun emosional. Sudut pandang yang terakhir adalah
penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery) dimana individu mampu
untuk merencanakan dan mengorganisasikan suatu respon untuk mengatasi
konflik, kesulitan, dan rasa frustrasi yang dialami.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka yang dimaksud dengan
penyesuaian diri adalah sebuah proses yang meliputi respon mental dan perilaku
atas tuntutan yang berasal dari dalam diri seperti kebutuhan internal maupun
konflik, ketegangan, dan frustrasi. Selain itu, penyesuaian diri juga sebagai proses
timbal balik antara diri dan lingkungan sekitar.
2. Bentuk Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa ada empat macam bentuk
penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kontak
situasional respon, yaitu:
a. Penyesuaian diri personal
Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri
sendiri. Penyesuaian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Penyesuaian Diri Fisik dan Emosi
Dikatakan oleh Schneiders bahwa kesehatan fisik berhubungan erat
kesehatan emosi dan penyesuaian diri, yaitu: adekuasi emosi,
kematangan emosi, dan kontrol emosi.
2) Penyesuaian Diri Seksual
Merupakan kapasitas yang bereaksi terhadap realitas seksual
(impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah dan
perbedaan seks). Kapasitas tersebut memerlukan perasaan, sikap sehat
yang berkenaan dengan seks, kemampuan menunda ekspresi seksual,
orientasi heteroseksual yang adekuat, kontrol yang ketat dari pikiran dan
perilaku, identifikasi diri yang sehat.
3) Penyesuaian Moral dan Religi
Moralitas adalah kapasitas untuk memenuhi moral kehidupan secara
efektif dan bermanfaat yang dapat memberikan kontribusi ke dalam
kehidupan individu.
b. Penyesuaian Diri Sosial
Dikatakan Schneiders bahwa rumah, sekolah dan masyarakat merupakan
aspek khusus dari kelompok sosial. Hal ini berarti melibatkan pola-pola
hubungan diantara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral
diantara ketiganya.
c. Penyesuaian Diri Marital atau Perkawinan
Penyesuaian diri marital pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif
dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab, hubungan dan harapan yang
d. Penyesuaian Diri Jabatan atau Vokasional
Berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis dimana kesuksesan
dalam penyesuaian diri akademik akan membawa keberhasilan seseorang di
dalam penyesuaian diri karir atau jabatan.
3. Indikator Penyesuaian Diri yang Normal
Istilah “penyesuaian yang normal” yang dikemukakan oleh Schneiders
(1964) mengarah kepada perilaku yang umum dan tidak memiliki kesulitan serta
karakteristik negatif yang diasosiasikan dengan respon maladjustive dan
abnormal. Berikut ini merupakan indikator dari penyesuaian diri yang normal
menurut Schneiders (1964).
a. Tidak adanya emosi yang berlebihan.
Individu dapat merespon suatu situasi atau permasalahan dengan tenang dan
terkontrol yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan mencari jalan
keluarnya. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak memiliki emosi, yang mana
mengindikasikan abnormalitas, tapi lebih mengarah kepada kendali diri yang
positif.
b. Tidak adanya mekanisme psikologis.
Penyesuaian diri yang normal juga dikarakteristikkan dengan tidak adanya
mekanisme psikologis. Melakukan pendekatan secara langsung terhadap
permasalahan atau konflik dinilai sebagai respon yang lebih normal
dibandingkan dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti
c. Tidak adanya rasa frustrasi.
Perasaan frustrasi dapat mempersulit individu untuk berperilaku secara
normal terhadap suatu situasi atau permasalahan. Individu yang merasa
frustrasi akan menemui kesulitan dalam mengorganisasikan pemikiran,
perasaan, motif, serta perilakunya secara efektif.
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri.
Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri sangat bertolak
belakang dengan mekanisme psikologis. Dasar dari kemampuan manusia
ketika berpikir dan mempertimbangkan permasalahan, konflik, dan frustrasi
merupakan sebuah penyesuaian yang normal. Sebaliknya, ketiadaan dari
karakteristik-karakteristik ini merupakan pertanda sulitnya melakukan
penyesuaian.
e. Mampu untuk belajar.
Penyesuaian yang normal dikarakteristikkan dengan pembelajaran
berkelanjutan yang menghasilkan perkembangan dari kualitas personal yang
diperlukan di kehidupan sehari-hari.
f. Memanfaatkan pengalaman masa lalu.
Penyakit mental, seperti neurotik dan kenakalan, dikarakteristikkan oleh
ketidakmampuan untuk belajar dari masa lalu. Sebaliknya, penyesuaian yang
normal memerlukan pembelajaran dari masa lalu.
g. Sikap yang realistis dan objektif.
Sikap yang realistis dan objektif merupakan sesuatu yang didasari oleh
memungkinkan individu untuk menyadari situasi, permasalahan, atau
keterbatasan diri sebagaimana mestinya. Kemampuan untuk memandang diri
sendiri secara realistis dan objektif merupakan pertanda jelas dari sebuah
kepribadian dengan penyesuaian yang normal.
Berdasarkan penjabaran mengenai indikator-indikator di atas, maka yang
individu yang dikatakan telah melakukan penyesuaian diri yang normal adalah
inidividu yang tidak memiliki emosi yang berlebihan, pertahanan psikologis,
perasaan frustrasi, rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar,
memanfaatkan pengalaman masa lalu, serta bersikap realistis dan objektif. Di lain
pihak, karakteritik yang negatif diasosiasikan dengan perlikau maladjustive.
Schneiders (1964) menjelaskan semakin banyak respon-respon yang
memenuhi indikator ini, semakin tinggi tingkat penyesuaiannya. Lebih lanjut
Schneiders juga menjelaskan bukan hanya jumlah penyesuaiannya yang
menentukan tingkat penyesuaian seseorang, tetapi juga kualitas dari penyesuaian
tersebut. Menentukan penyesuaian merupakan hal yang relatif, tergantung pada
kapasitas seseorang dalam menghadapi masalah yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
4. Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) menjabarkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi penyesuaian diri seseorang. Faktor-faktor ini merupakan yang
berasal secara biologis dari dalam diri individu maupun lingkungan di sekitar
a. Kondisi fisik
Kondisi fisik merupakan kesatuan jasmaniah individu yang merupakan
bawaan lahir yang terdiri dari hereditas, susunan syaraf, sistem kelenjar, otot,
dan sebagainya. Kondisi fisik yang baik dapat mengarah kepada penyesuaian
diri yang baik. Bagi individu yang menderita cacat fisik ataupun penyakit
kronis akan sedikit menghambat proses penyesuaian diri.
b. Perkembangan dan Kematangan
Tingkat perkembangan dan kematangan individu yang berbeda-beda akan
membutuhkan penyesuaian diri yang berbeda pula. Kematangan intelektual,
sosial, moral, dan emosi dapat mengarah kepada penyesuaian diri yang baik.
c. Determinan Psikologis
Yang termasuk di dalam determinan psikologis merupakan pengalaman, hasil
belajar, determinasi diri, konsep diri, frustrasi, dan konflik. Semua hal ini
akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Pengalaman, baik yang baik
maupun yang buruk, akan berpengaruh terhadap penyesuaian diri. Begitu pula
dengan proses belajar yang dapat membantu individu untuk memahami
hal-hal apa saja yang membantunya dalam menyesuaikan diri.
d. Lingkungan
Lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat juga memberikan pengaruh
terhadap penyesuaian diri. Kekohesifan maupun permasalahan dalam
keluarga memberi dampak dalam penyesuaian diri individu. Sedangkan
lingkungan sekolah berpengaruh terhadap penyesuaian diri karena di sinilah
Konsistensi nilai, sikap, peraturan, dan moral yang dianut dalam masyarakat
akan diidentifikasi oleh individu sehingga juga dapat mempengaruhi
penyesuaian diri.
e. Agama dan budaya
Agama berkaitan erat dengan budaya. Agama memberikan sumbangan
nilai-nilai dan keyakinan yang sangat mendalam sehingga mempengaruhi tujuan,
kestabilan, serta keseimbangan hidup individu.
Berdasarkan penjabaran di atas, kita dapat melihat bahwa faktor
pendukung penyesuaian diri meliputi area personal dan sosial. Faktor personal
seperti kondisi fisik, psikologis, dan kematangan perkembangan. Faktor sosial
seperti lingkungan, agama, dan budaya.
5. Karakteristik Penyesuaian Diri yang Baik
Schneiders (1964) mengatakan individu yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik adalah yang memiliki respon-respon yang matang, efisien,
memuaskan, dan juga baik (wholesome). Baik (wholesome) memiliki arti respon
penyesuaiannya sesuai dengan lingkungan, dalam hubungan kemasyarakatan, dan
juga dalam hubungan dengan Tuhan.
Individu yang memiliki penyesuaian yang baik juga merupakan seseorang
yang memiliki keterbatasan namun dapat diatasi dengan kepribadian dan kapasitas
dirinya; telah belajar bagaimana berinteraksi dengan dirinya dan lingkungan
dengan cara yang dewasa, baik, efisien, dan memuaskan; dan mampu mengatasi
perilaku symptomatis. Dengan kata lain, individu yang menyesuaikan diri dengan
baik relatif tidak mengalami gejala-gejala seperti kecemasan yang kronis, obsesi,
fobia, tidak mampu untuk membuat keputusan, dan gangguan psikosomatis
lainnya yang mengganggu moral, sosial, keyakinan, dan pekerjaan dari individu
tersebut.
Lebih lanjut, Schneiders mengklasifikasikan kriteria penyesuaian diri
yang baik ke dalam 16 poin sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan pemahaman diri sendiri.
2. Objektivitas dan penerimaan diri.
3. Kendali dan perkembangan diri.
4. Integrasi personal.
5. Tujuan yang baik dan terarah.
6. Perspektif yang adekuat.
7. Selera humor.
8. Tanggung jawab.
9. Kematangan respon.
10. Pengembangan kebiasaan diri yang baik.
11. Mampu beradaptasi.
12. Bebas dari respon simtomatis atau cacat.
13. Mampu berinteraksi dan menaruh minat terhadap orang lain.
14. Keluasan minat dalam bekerja dan bermain.
15. Kepuasan dalam bekerja dan bermain.
6. Penyesuaian Diri Lansia
Setiap tahap perkembangan mewajibkan individu untuk melakukan
penyesuaian diri, baik itu terkait kondisi fisik maupun psikologis. Hal ini tak
terkecuali bagi lansia. Terdapat berbagai kriteria dalam menilai penyesuaian diri
yang dilakukan oeh lansia. Empat kriteria di bawah ini merupakan yang paling
umum menurut Hurlock (1996).
a. Kualitas pola perilaku
Penyesuaian diri yang baik pada diri lansia hendaknya sesuai dengan teori
aktivitas (activity theory) dimana teori ini menjelaskan jika seharusnya pria
dan wanita tetap beraktivitas di masa tuanya sebagaimana yang ia lakukan di
masa muda ataupun mencari aktivitas pengganti apabila sudah pensiun,
terlibat masalah keuangan, maupun pindah ke lingkungan baru. Penyesuaian
diri yang buruk adalah penyesuaian diri yang karakteristiknya seperti teori
pelepasan teori (disengagement theory). Teori mengatakan bahwa individu
lebih memilih untuk membatasi kegiatannya baik secara sukarela maupun
tidak. Penyesuaian diri yang baik juga dapat terlihat dalam diri lansia jika ia
mampu menyesuaikan diri di masa mudanya.
b. Perilaku emosional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lansia lebih apatis dalam kehidupan dan
juga kurang responsif. Lansia juga sulit untuk mengekspresikan perasaan
kasih sayang kepada orang lain. Di lain sisi, perasaan emosional lansia
semakin kuat sehingga lansia sangat mudah untuk marah. Dibandingkan
untuk menyalurkan emosi mereka sehingga mereka menjadi cemas dan
tertekan dalam waktu yang lama.
c. Kepribadian
Banyak yang mengatakan semakin tua seseorang maka ia akan bertingkah
seperti anak-anak. Sebenarnya pola kepribadian yang terbentuk di masa tua
merupakan manifestasi dari sifat yang sudah ada di dalam diri dan kemudian
menjadi semakin tampak di masa tua karena adanya tekanan-tekanan di hari
tua.
d. Derajat kepuasan atau kebahagiaan
Kriteria yang dipakai untuk mengukur kebahagiaan lansia adalah rentang
antara keadaan diri yang sebenarnya (real selves) dan keadaan pribadi yang
ideal (ideal selves). Jika jarak di antara keduanya kecil, maka lansia akan
memandang kehidupannya sebagai suatu hal yang memuaskan dan
memberikan kebahagiaan. Namun jika terdapat perbedaan yang cukup besar
di antara keduanya, maka lansia akan memandang kehidupannya dengan
kekecewaan dan ketidakbahagiaan.
Kebahagiaan lansia di masa tua juga dipengaruhi oleh “Tiga A Kebahagiaan”
(Three A’s of Happiness) yaitu acceptance (penerimaan), affection (kasih
sayang), dan achievement (pencapaian). Bila seseorang tidak mampu
memenuhi salah satu dari ketiga hal tersebut, kecil kemungkinan bagi lansia
untuk bisa bahagia di masa tuanya. Barrett (dalam Hurlock 1996)
lansia dalam menghadapi masa pensiun dan memandangnya sebagai masa
kejayaan (the golden years).
Tidak semua penyesuaian diri yang dilakukan lansia merupakan
penyesuaian diri yang baik. Ada beberapa kriteria yang menunjukkan penyesuaian
diri lansia yang buruk. Namun terlebih dahulu kita akan membahas penyesuaian
diri yang baik menurut Hurlock (1996), kemudian diikuti oleh kriteria
penyesuaian diri yang buruk.
Penyesuaian Diri yang Baik
1. Minat yang kuat dan beragam
2. Kemandirian dalam hal ekonomi, yang memungkinkan untuk hidup mandiri
3. Membangun hubungan sosial dengan segala umur dan tidak terbatas pada
orang-orang lanjut usia saja
4. Kenikmatan kerja yang menyenangkan dan bermanfaat tetapi tidak
memerlukan banyak biaya
5. Berpartisipasi dalam organisasi kemasyarakatan
6. Kemampuan untuk memelihara rumah tanpa mengerahkan terlalu banyak
tenaga fisik
7. Kemampuan untuk menikmati berbagai kegiatan masa kini tanpa menyesali
masa lampau
8. Mengurangi kecemasan terhadap diri sendiri maupun orang lain
9. Menikmati kegiatan dari hari ke hari walaupun aktivitas tersebut dilakukan
10. Menghindari kritik dari orang lain, terutama dari orang yang lebih muda
11. Menghindari kesalahan khususnya tentang kondisi tempat tinggal dan
perlakuan dari orang lain
Penyesuaian Diri yang Buruk
1. Kurang memiliki minat dan kurang berpartisipasi dalam lingkungan
2. Menarik diri dalam dunia khayalan
3. Selalu mengenang masa lalu
4. Selalu cemas karena didorong perasaan menganggur
5. Kurang bersemangat dan produktivitas rendah
6. Menganggap bahwa melakukan suatu aktvitas berarti membuang waktu
7. Merasa kesepian karena hubungan dalam keluarga sangat kaku
8. Terisolasi secara geografis
9. Tinggal di panti jompo maupun bersama anak yang telah dewasa
10. Selalu mengeluh dan mengkritik sesuatu
11. Menolak mengikuti kegiatan orang-orang lansia karena menganggapnya
membosankan.
B. LANSIA
1. Definisi Lansia
Usia tua merupakan tahap akhir dalam rentang kehidupan manusia.
Budaya dan agama sangat berpengaruh dalam menentukan usia seseorang
sehingga definisi untuk seseorang yang lanjut usia merupakan suatu hal yang
Dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2007), peneliti membagi istilah lansia
ke dalam tiga bagian, yaitu young old, old old, dan oldest old. Ketiga istilah ini
secara kronologis dibagi berdasarkan kelompok usia dan jenis kegiatan yang
dilakukan para lansia. Young old merujuk kepada seseorang yang berumur 65-74
tahun yang biasanya masih beraktivitas dengan aktif. Istilah old old diberikan
kepada seseorang yang berusia 75-84 tahun, kemudian istilah oldest old merujuk
kepada seseorang yang berusia 85 tahun ke atas dan biasanya memiliki kesulitan
untuk beraktivitas sehari-hari.
Levinson (dalam Colarusso & Nemiroff, 1981) mendeskripsikan masa
paruh baya mulai dari usia 40 hingga 60 tahun dimana masa ini merupakan
periode aktualisasi serta masa untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Selanjutnya masa dewasa akhir yang dimulai dari usia tujuh puluhan yang
digambarkan sebagai masa kemunduran, namun juga merupakan masa dimana
muncul kebijaksanaan melalui pengalaman dari konflik antara keinginan dan
moral, antara diri sendiri dan orang lain, dan antara individu dan masyarakat.
Secara kronologis, usia tua dimulai dari usia enam puluh tahun. Hurlock
(1996) membagi tahap lansia ke dalam dua bagian; usia lanjut dini bagi seseorang
yang berusia enam puluh tahun, dan usia lanjut bagi seseorang yang berusia tujuh
puluh tahun ke atas. Usia lanjut dini merupakan peralihan dari masa dewasa
madya menuju masa dewasa akhir. Selanjutnya, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (2012) serta Komisi Nasional Lanjut Usia (2010)
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka individu yang tergolong ke
dalam usia lanjut adalah yang berusia 60 tahun ke atas dimana masa dewasa akhir
atau lansia diidentikkan dengan masa kemunduran dan juga kebijaksanaan yang
didapatkan dari pengalaman semasa hidup.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Tugas perkembangan menurut Havighurst (dalam Lindgren, 1959) adalah
permasalahan atau situasi yang pada umumnya muncul di suatu rentang
kehidupan individu. Jika individu berhasil melakukan tugas perkembangannya,
maka ia juga akan berhasil di dalam kehidupannya. Namun jika ia gagal, maka ia
akan merasa tidak bahagia, tidak memiliki harapan, mendapat penolakan dari
masyarakat, dan sulit untuk melakukan tugas perkembangan di tahap berikutnya.
Pada tahap perkembangan dewasa akhir, tugas perkembangan yang harus
dilakukan lansia adalah proses penyesuaian baik terhadap diri maupun lingkungan
di sekeliling lansia. Havighurst (dalam Hurlock, 1996) menguraikan beberapa
tugas perkembangan pada masa lansia, di antaranya:
a. Penyesuaian diri terhadap menurunnya kondisi fisik dan kesehatan.
b. Penyesuaian diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya penghasilan
keluarga.
c. Menyesuaikan diri dengan kehilangan pasangan hidup.
d. Membentuk hubungan dengan orang yang seusia.
Dengan segala perubahan yang dialami oleh lansia, lansia perlu melakukan
penyesuaian diri terhadap diri dan lingkungannya. Menurunnya kondisi fisik dan
kesehatan pada lansia menuntut lansia agar melakukan perubahan dan perbaikan
peran baik di dalam maupun di luar rumah. Kondisi ini juga berdampak terhadap
kehidupan sosial lansia dimana penurunan kondisi fisik lansia cenderung
menghambat lansia dalam aktivitas sosial yang dulu pernah dilakukan. Pada usia
lanjut, orang tua akan berpisah dengan anak-anaknya. Selain perpisahan dengan
anak, lansia juga harus menyesuaikan diri terhadap kepergian pasangan, baik
karena perceraian maupun kematian. Untuk menghindari rasa kesepian dari
serangkaian peristiwa yang umum terjadi pada lansia, membentuk hubungan
sosial dengan teman sebaya merupakan cara yang paling baik untuk
meningkatkan kesejahteraan lansia (Hurlock, 1996).
C. PERCERAIAN
1. Definisi Perceraian
Jika pernikahan merupakan suatu peristiwa yang membahagiakan, maka
perceraian menurut Landis dan Landis (1960) adalah sebuah peristiwa tidak
bahagia yang berlawanan dengan pernikahan. Perceraian merupakan perpisahan
dari suami dan istri sebagai akhir dari rusaknya pernikahan (Burgess & Locke,
1960). Perceraian merupakan cara yang legal untuk mengakhiri pernikahan dan
sebagai pengumuman ke masyarakat luas bahwa suami dan istri yang telah
perceraian merupakan suatu peristiwa legal yang tidak bahagia yang menandakan
berakhirnya suatu hubungan suami istri.
2. Perceraian di Masa Lansia
Perceraian juga dialami oleh individu yang memasuki ataupun yang sudah
berada di masa lansia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hal-hal yang
menjadi penyebab perceraian lansia. Gottman dan Levenson (dalam Cavanaugh &
Blanchard-Fields, 2006) mengembangkan dua model yang memprediksi
perceraian yang dibagi menjadi early divorce dan later divorce. Perceraian yang
digolongkan ke dalam early divorce adalah pernikahan yang berusia sekitar 7
tahun. Emosi negatif yang ditunjukkan ketika pasangan memiliki masalah
dikatakan dapat memprediksi perceraian di usia awal pernikahan. Di lain pihak,
perceraian yang digolongkan ke dalam later divorce jika anak pertama sudah
berusia 14 tahun. Kurangnya emosi positif ketika pasangan berdiskusi dikatakan
dapat memprediksi perceraian.
Dilihat dari ilmu sosiologi, meningkatnya perceraian di masa lansia
disebabkan oleh fenomena baby boomers yang mencapai puncaknya pada tahun
1970 hinggan 1996-an (Brown dan Lin, 2012). Dari sini dapat diketahui bahwa
jumlah lansia yang bercerai akan semakin meningkat seiring dengan semakin
banyaknya jumlah lansia akibat fenomena baby boomers.
Di Indonesia, penyebab perceraian di masa lansia menurut Direktorat
Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Badan Kependudukan dan Keluarga
pasangan suami dan istri. Selain itu pertambahan usia juga secara alami dapat
menurunkan kondisi fisik maupun psikologis lansia. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya ketegangan di antara suami dan istri yang membuat mereka tidak dapat
menerima pendapat satu sama lain sehingga timbulah perceraian.
Berdasarkan penjelasan di atas, penyebab terjadinya perceraian di usia
lansia menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers
sehingga meningkatkan jumlah lansia. Sedangkan dari sisi psikologis faktor
penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta kemunduran
kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya permasalahan pada
pasangan.
3. Penyebab Perceraian
Perceraian dapat bermula dari beberapa permasalahan di dalam
pernikahan yang terjadi sejak lama. Permasalahan yang timbul merupakan
manifestasi dari konflik dan ketegangan yang lebih mendalam. Burgess dan Locke
(1960) menjelaskan beberapa permasalahan dalam pernikahan, dimana jika
dibiarkan terlalu lama akan berujung pada perceraian. Dalam studi yang dilakukan
oleh Burgess dan Locke (1960), pria dan wanita mengalami permasalahan
pernikahan yang berbeda. Pria umumnya memiliki permasalahan pernikahan di
area hubungan percintaan dengan pasangan, seks, perdebatan yang berlangsung
sejak lama, campur tangan dari pihak keluarga pasangan, masalah keuangan,
minuman keras, dan tidak adanya teman. Sama halnya dengan pria, wanita juga
pasangan, seks, perdebatan dengan pasangan, tidak memiliki teman, serta
kesulitan keuangan dan memiliki perilaku yang kurang diterima masyarakat.
Burgess dan Locke (1960) juga melakukan studi terhadap permasalahan
pernikahan kepada pasangan yang telah bercerai. Subjek pria mengatakan mereka
mengalami kesulitan pernikahan karena hubungan seks yang tidak memuaskan,
tidak memiliki anak, campur tangan dari keluarga pasangan, perdebatan dengan
pasangan, dan kurang memiliki teman. Sedangkan bagi wanita, permasalahan
yang terjadi selama ia pernah menikah adalah penyakit menular seksual, tidak
adanya dukungan, minuman keras, perjudian, dan suami yang ditahan di penjara.
Burgess dan Locke (1960) menjabarkan beberapa faktor yang dapat
menimbulkan konflik di dalam pernikahan, yaitu:
a. Genic and Psychogenic Tensions
Genic dan psychogenis tensions ini sering disebut juga dengan
ketidaksesuaian tempramen. Hal ini dapat berkembang dari suami dan istri
yang memiliki tempramen yang sama ataupun berbeda. Ketidaksesuaian
tempramen yang dimilliki pasangan dapat mengarah kepada konflik
pernikahan, bahkan perceraian.
b. Budaya
Konflik pernikahan dapat bermula dari budaya. Di dalam pernikahan, suami
dan istri pasti memiliki kebiasaan yang beragam dalam berbicara, bersikap,
berpikir, dan dalam nilai yang dimiliki pasangan tersebut. Semua hal tersebut
tanpa sadar tercipta sejak awal pernikahan. Faktor yang mempengaruhinya
c. Peran Sosial
Konflik dalam keluarga dapat muncul ketika anggota keluarga memiliki
status dan peran sosial yang berbeda. Perbedaan ini akan menciptakan konflik
dalam keluarga jika dianggap lebih penting melebihi pendidikan, agama, dan
kemampuan intelektual.
d. Ekonomi
Sikap pasangan terhadap keuangan dapat memprediksi munculnya konflik di
dalam pernikahan atau tidak. Pasangan hendaklah memiliki kesamaan sikap
dalam melihat tujuan dan peran ekonomi di dalam keluarga. Jika terjadi
perbedaan dalam tujuan menggunakan uang, maka kemungkinan terjadinya
konflik akan lebih besar.
e. Kasih Sayang dan Hubungan Seksual
Konflik antara suami dan istri dapat muncul ketika keduanya tidak mampu
mengekspresikan rasa kasih sayang dan kepuasan dalam hubungan seksual.
Dalam hubungan seksual, konflik tidak akan muncul jika pasangan memiliki
sikap yang sama dalam tujuan melakukan hubungan seksual, misalnya
dengan sama-sama berpikir bahwa hubungan seksual adalah hanya untuk
kegiatan prokreasi atau kegiatan hiburan. Namun jika pasangan memiliki
pandangan yang berbeda, maka akan timbul konflik.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa penyebab perceraian
dapat dilihat melalui perspektif gender. Selain itu perceraian juga terjadi karena
perbedaan tempramen, budaya, sosial, ekonomi, atau hanya karena sudah tidak
4. Dampak Perceraian
Perceraian tidak menghilangkan masalah. Masih ada dampak yang
ditimbulkan setelah bercerai. Dampak dari perceraian lebih traumatik
dibandingkan dengan kematian karena sebelum dan sesudah perceraian akan
timbul rasa sakit dan tekanan emosional dalam diri seseorang. Dampak lainnya
adalah cela sosial yang diberikan oleh masyarakat. Perceraian juga memberikan
pengaruh kepada anak-anak. Mereka akan merasa malu karena merasa berbeda.
Hal ini dapat merusak konsep diri anak. Lebih lengkapnya, berikut penjabaran
mengenai masalah yang umum dihadapi pria dan wanita setelah bercerai oleh
Hurlock (1996):
a. Masalah ekonomi. Setelah bercerai, baik istri maupun suami mengalami
kurangnya pendapatan keluarga karena harus menghidupi dua rumah tangga.
Seringkali istri harus bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
b. Masalah praktis. Suami dan istri melakukan pekerjaan rumah tangga
bersama-sama. Namun setelah bercerai mereka harus mengerjakan semua
rutinitas terebut masing-masing.
c. Masalah psikologis. Individu akan merasa tidak menentu dan identitasnya
“kabur” setelah bercerai. Hal ini khususnya terjadi pada wanita karena selama
menikah identitasnya sangat tergantung pada suaminya.
d. Masalah emosional. Setelah perceraian akan timbul rasa bersalah, kemarahan,
benci, dendam, dan cemas mengenai hari ke depannya, sehingga
e. Masalah sosial. Permasalahan sosial biasanya terjadi kepada wanita karena
kehidupan sosialnya hanya terbatas kepada sanak saudara dan teman dekat
saja. Kehidupan sosial pria lebih baik dibandingkan wanita, walaupun ia akan
merasa tersisih juga.
f. Masalah kesepian. Pria akan merasa lebih kesepian dibandingkan wanita,
khususnya di hari libur. Hal ini karena pria biasa menyerahkan urusan
anak-anak kepada istrinya pada saat-saat seperti itu.
g. Masalah pembagian tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak. Masalah
penyesuaian diri akan timbul pada orang tua dan anak setelah pembagian hak
asuh. Terlebih lagi jika kedua orang tua mendapatkan hak asuh. Bila hak asuh
jatuh di salah satu pihak (ayah atau ibu), maka ia akan menghadapi
permasalahan yang berhubungan dengan anak yang tidak patuh dan tanggung
jawab.
h. Masalah seksual. Bercerai dapat menyebabkan aktivitas seksual terhenti. Cara
untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menikah kembali. Jarak antara
bercerai dan menikah kembali relatif lebih panjang pada wanita dibandingkan
dengan pria.
i. Masalah perubahan konsep diri. Rasa kebencian akan timbul setelah bercerai,
tidak peduli siapa yang menyebabkan perceraian terjadi. Perasaan ini akan
selalu mewarnai konsep diri mereka yang dapat mengarah kepada perubahan
kepribadian.
Lebih lanjut, Landis dan Landis (1960) mengungkapkan enam masalah
a. Seseorang harus menerima dirinya sendiri setelah perceraian. Rasa tidak
aman dan tidak percaya terhadap orang lain timbul setelah bercerai. Hal ini
hanya akan menambah masalah.
b. Menyesuaikan diri setelah terkejut secara emosional akibat perceraian.
c. Perubahan dalam kehidupan sosial.
d. Permasalahan keuangan yang umumnya terjadi pada pria dan wanita. Wanita
harus mencari dukungan finansial baru setelah perceraian. Sedangkan pria
harus tetap menghidupi anak dan istrinya meskipun telah bercerai.
e. Bagi wanita, ia harus mengatur kembali seluruh hidupnya setelah bercerai.
f. Permasalahan emosional.
5. Penyesuaian Perceraian
Penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan
penyesuaian pernikahan. Hal ini dikarenakan penyesuaian pernikahan dilakukan
secara bersama-sama oleh dua individu sedangkan penyesuaian perceraian hanya
dilakukan oleh satu individu saja (Landis & Landis, 1960).
Penyesuaian terhadap perceraian dapat berbeda antara pria dan wanita;
anak muda dan orang tua; dan antara seseorang yang menjalani pernikahan dalam
waktu yang singkat atau lama. Penyesuaian terhadap perceraian akan lebih mudah
bagi orang yang berusia muda. Penyesuaian pernikahan nantinya akan berbeda
antara seseorang yang mendapatkan hak asuh anak dan yang tidak mendapatkan
akibat perceraian, penyesuaian perceraian akan dirasa lebih sulit (Burgess &
Locke, 1960).
Selanjutnya, Burgess dan Locke (1960) dan DeGenova (2008) juga
mengemukakan beberapa penyesuaian yang bisa dilakukan setelah bercerai.
Penyesuaian-penyesuaian ini dibagi ke dalam delapan kategori, seperti:
a. Mengatasi trauma akibat perceraian.
Perceraian merupakan peristiwa yang dapat mengganggu secara emosional
akibat kehilangan pasangan secara tiba-tiba. Perasaan trauma lebih besar
ditunjukkan oleh pihak yang tidak berinisiatif memulai perceraian. Berbicara
dengan orang lain merupakan suatu cara untuk melampiaskan emosi setelah
bercerai. Dalam studi yang dilakukan oleh Locke, wanita-wanita yang
bercerai lebih memilih tinggal di lingkungan yang sama dan saling berbagi.
b. Mengatasi sikap dari masyarakat.
Masyarakat memandang perceraian sebagai suatu kegagalan moral ataupun
kegagalan seseorang dalam mempertahankan rumah tangganya. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, kini perceraian dianggap sebagai suatu hal
yang wajar. Bagi orang-orang yang memandang perceraiannya dalam cara
yang positif, maka mereka akan cenderung cepat untuk menyesuaikan diri.
Lain halnya dengan individu yang memandang perceraiannya sebagai hal
yang negatif, maka ia cenderung akan membutuhkan waktu yang lebih lama
c. Kesepian dan penyesuaian kembali di kehidupan sosial.
Kesepian akan sangat terasa bagi pihak yang tidak mendapatkan hak asuh
anak. Membangun hubungan sosial dengan orang lain dapat memberikan
dukungan dan juga membantu individu untuk menyesuaikan diri setelah
bercerai. Selain itu, menikah kembali juga dapat membantu penyesuaian.
Bagi individu yang tidak menikah kembali, maka akan merasa kesepian.
Penyesuaian setelah bercerai juga terasa lebih sulit bagi orang yang lebih tua,
terutama wanita. Wanita yang bercerai di atas 40 tahun memiliki kesulitan
keuangan bagi dirinya sendiri serta anak-anaknya.
d. Penyesuaian terhadap hak asuh anak.
Perceraian dapat mengurangi kedekatan antara anak dan orang tua yang tidak
mendapatkan hak asuh anak. Ibu, sebagai pihak yang lebih sering diberi hak
asuh anak, pada umumnya masih mengizinkan mantan pasangan untuk
mengunjungi anak-anaknya. Jika ibu puas dengan keputusan hak asuh anak
ini, maka kesejahteraan anak akan semakin meningkat.
e. Keuangan
Masalah keuangan umumnya dialami oleh wanita, terlebih jika ia
mendapatkan hak asuh anak. Meskipun sudah diatur oleh pengadilan, tetapi
pada kenyataannya masih banyak wanita yang tidak diberi bantuan finansial
dari mantan suaminya.
f. Mengatur kembali tanggung jawab dan peran kerja
Bagi pihak yang mendapatkan hak asuh anak, maka ia harus menyesuaikan
harus bekerja lebih keras untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri serta
anak-anak. Sebagai konsekuensinya, waktu untuk berkumpul dengan anak
akan menjadi lebih sedikit.
g. Berhubungan dengan mantan pasangan
Banyak pasangan yang masih menyimpan kemarahan kepada mantan
pasangan bahkan setelah bertahun-tahun bercerai. Padahal jika hubungan
dengan mantan pasangan masih terjaga, maka kedua pihak akan mendapatkan
keuntungan di antaranya menjaga hubungan dengan anak atau mendapatkan
dukungan finansial. Semakin buruk hubungan dengan mantan pasangan,
maka akan semakin sulit untuk menyesuaikan diri.
f. Menikah kembali
Seseorang yang telah bercerai dapat menemukan kepuasan dan penyesuaian
setelah bercerai dengan cara menikah kembali. Pernikahan kembali dapat
membuat seseorang melupakan pernikahannya terdahulu.
h. Interaksi dengan keluarga
Keluarga dapat membantu penyesuaian setelah bercerai dengan cara
memberikan dukungan. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam meminta
dukungan dari orang tua atau keluarga. Pria umumnya bergantung pada
keluarga sesaat setelah bercerai dan periode yang dibutuhkan wanita dalam
bergantung pada keluarganya lebih lama dibandingkan dengan pria.
Wanita lebih suka menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan
sering menjaga hubungan dengan keluarga mantan pasangan dibandingkan
dengan pihak yang tidak mendapatkan hak asuh.
i. Pindah ke lokasi baru
Pindah ke lokasi baru dapat menjadi salah satu bentuk penyesuaian. Biasanya
di awal perceraian seseorang akan pindah ke rumah orang tuanya, lalu
kemudian pindah ke tempat baru dan meninggalkan teman-temannya. Hal ini
dilakukan untuk melupakan kenangan bersama mantan pasangan.
Dampak dari perceraian tidak hanya mempengaruhi individu namun juga
orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya. Untuk itu penyesuaian
perceraian tidak hanya meliputi aspek personal, tetapi juga sosial. Walaupun
melakukan penyesuaian terhadap perceraian lebih sulit dibandingkan dengan
penyesuaian pernikahan, tetapi hal ini akan terasa lebih mudah jika didukung oleh
lingkungan sekitar individu.
D. PENYESUAIAN DIRI LANSIA PASCA BERCERAI
Perceraian yang terjadi di masa lansia dapat dijelaskan dari sudut pandang
sosiologis maupun psikologis. Penyebab terjadinya perceraian di usia lansia
menurut ilmu sosiologis adalah terjadinya fenomena baby boomers sehingga
meningkatkan jumlah lansia (Brown & Lin, 2012). Sedangkan dari sisi psikologis
faktor penyebabnya adalah kurangnya emosi positif ketika menikah serta
kemunduran kondisi fisik dan psikologi yang mengarah pada timbulnya
permasalahan pada pasangan (Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan
Perceraian tersebut pun berdampak terhadap permasalahan emosional dan
sosial lansia (Hurlock, 1996; Burgess & Locke, 1960). Perceraian tentu saja
berpengaruh pada tugas perkembangan lansia dalam menyesuaikan diri terhadap
hubungan sosial dengan teman sebaya dan peran sosial yang dimilikinya.
Setelah perceraian terjadi, individu hendaklah melakukan penyesuaian.
Penyesuaian diri dapat membantu individu untuk menyelaraskan tuntutan dari
dalam diri individu dan lingkungan sekitarnya. Tidak mampu menyesuaikan diri
dapat mengarahkan seseorang berperilaku maladjustive seperti frustrasi maupun
munculnya konflik mental (Schneiders, 1964).
Burgess dan Locke (1960) serta Hurlock (1996) mengemukakan
penyesuaian-penyesuaian yang banyak berfokus pada penyesuaian personal dan
sosial, seperti misalnya mengatasi rasa trauma, mengatur keuangan, dan
melakukan penyesuaian baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Berinteraksi dengan keluarga dapat memberikan lansia dukungan. Selain itu
berbicara dengan orang lain dinilai Locke (dalam Burgess & Locke, 1960) sebagai
suatu cara lansia untuk meluapkan perasaan kepada orang lain.
Penyesuaian diri didukung oleh beberapa faktor, di antaranya faktor
kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, dan agama
serta budaya (Schneiders, 1964). Faktor-faktor ini dapat berpengaruh terhadap
penyesuaian diri lansia. Faktor lingkungan dapat membantu lansia untuk
meningkatkan kualitas pola perilaku lansia dimana penyesuaian diri lansia yang
baik adalah jika lansia terlibat dalam berbagai kegiatan (activity theory). Selain itu
untuk mengatur perilaku emosionalnya. Bagi lansia yang memandang poositif
perceraiannya maka akan lebih mudah untuk melakukan penyesuaian (Burgess &
Locke, 1960).
Seluruh faktor penyesuaian diri di atas mengarah kepada indikator
penyesuaian diri yang normal. Schneiders (1964) mengemukakan indikator dari
individu yang mampu melakukan penyesuaian diri adalah tidak memiliki emosi
yang berlebihan, tidak mempunyai pertahanan psikologis, tidak ada perasaan
frustrasi, berpikir rasional dan mampu mengarahkan diri, mampu untuk belajar
dan memanfaatkan pengalaman, serta bersikap realistis dan objektif. Sikap yang
realistis merupakan faktor penunjang kebahagiaan lansia seperti yang
E. DINAMIKA PENELITIAN