DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Muhammad, Abdulkadir, 1998. Hukum Pengangkutan Niaga (Buku Kelima),
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
__________________,1998 Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti
Nasution, M.N, 2008 Manajemen Transportasi, Bogor: Ghalia Indonesia
Pramono, Hari, Sution Usman dan Djoko Prakoso, 1990. Hukum Pengangkutan di
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Purba, Hasim, 2005. Hukum Pengangkutan di Laut, Medan: Pustaka Bangsa Press
Purwosutjipto, H.M.N, 1995. Pengertian Pokok hukum Dagang Indonesia;
Hukum Pengangkutan, Jakarta: Djambatan
Siahaan, N.H.T, 2005 Hukum Konsumen, Jakrta: Panta Rei
Soekanto, Soejono, 1984 Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Press
Subekti, R, 1985 Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa
_________, 1994. Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXVI, Jakarta: PT.
Intermasa
Sunggono, Bambang, 2007 Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Suriaatmadja, Toto Thohir, 2005 Pengangkutan Kargo Udara, Bandung: Pustaka
Bani Quraisy
Uli, Sinta, 2006 Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport
Angkutan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, Medan: USU Press
B. Peraturan Perundang-undangan
________, KUH Dagang
________, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
________, Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 9 Tahun 2010 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional
________, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Yang Berjadwal Dalam Negeri.
________, SKEP/2765/XII/2010 tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personal Pesawat Udara dan Barang Bawaan Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara dan Orang Perorangan.
C. Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
D. Website
Asas Pengangkutan yang Bersifat Perdata, sebagaimana yang di muat dalam eprints.undip.ac.id/16310/1/AHMAD_ZAZILI.pdf.
Fifi, “Undang-Undang Penerbangan”, 2009, sebagaimana yang dimuat dalam
Asas Pengangkutan yang Bersifat Perdata, sebagaimana yang di muat dalam eprints.undip.ac.id/16310/1/AHMAD_ZAZILI.pdf.
Pelaku Angkutan Udara Niaga, sebagaimana yang dimuat dalam http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/20758/3/Chapter%20II.pdf .
BAB III
PENYELENGGARAAN PENGANGKUTAN PENUMPANG PEYANDANG CACAT, LANJUT USIA, ANAK-ANAK, ATAU ORANG SAKIT
MELALUI UDARA
A.Pengertian Pengangkutan dan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-anak, Atau Orang Sakit
Asal mula kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang berarti
mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan dapat
disimpulkan sebagai suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke
tempat lain.31
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, bahwa pengangkutan adalah perjanjian
timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut
mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang
dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.32
Menurut Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi tentang
pengangkutan, yaitu Pengangkutan meliputi tiga dimensi pokok yaitu:
Pengangkutan sebagai usaha (business); Pengangkutan sebagai perjanjian
(agreement); dan pengangkutan sebagai proses (process).33
31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 69.
32
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia; Hukum
Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 1995, hal. 2
33
Hasim Purba mendefinisi pengangkutan adalah sebagai kegiatan
pemindahan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui
angkutan darat, angkutan perairan maupun angkutan udara dengan menggunakan
alat angkutan.34
Definisi lain tentang pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu
pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu
tempat ke tempat lain. Sedangkan pihak lain menyanggupi akan membayar
ongkosnya.35
Pengangkutan didefinisikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari
tempat asal menuju tempat tujuannya. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses
pengangkutan tersebut merupakan gerakan dari tempat asal, dimana kegiatan
angkutan itu dimulai, ke tempat tujuan, dan ke mana kegiatan pengangkutan
diakhiri.36
Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-benda
maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai
dan meninggikan maanfaat serta efisien.37
Pengangkutan dapat diartikan sebagai perpindahan tempat, baik mengenai
benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak dibutuhkan dalam
rangka mencapai dan meninggikan manfaat serta efisien.38
34
Hasim Purba, op.cit, hal. 4
35
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Internasional. Jakarta, 1985, hal. 1
36
M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal. 3.
37
Angkutan Udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk
mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari
satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.39
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penumpang adalah
orang yang mengikatkan diri dengan membayar sejumlah biaya untuk diangkut
sehingga dapat digolongkan sebagai objek dan subjek dalam sebuah
pengangkutan, maka penumpang harus memiliki kriteria. Kriteria penumpang
antara lain:
Terselenggaranya suatu pengangkutan udara dalam kegiatan penerbangan
komersil tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya penumpang. Penumpang
merupakan salah satu aset terpenting yang patut untuk diperhitungkan bagi pihak
maskapai penerbangan untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu,
penumpang yang menggunakan jasa penerbangan perlu dilindungi hak-haknya.
40
1) Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian;
2) Membayar biaya angkutan;
3) Pemegang dokumen angkutan.
Demikian juga halnya dengan istilah pengangkutan penumpang yang
untuk penumpang penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, atau orang sakit,
demikianlah istilah penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit, yang sampai
38
Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan Darat dan Angkutan Udara, Medan, USU Press, 2006, hal. 20.
39
Pasal 1 ayat (13), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
40
sekarang masih digunakan orang untuk menyebut sekelompok masyarakat yang
memiliki gangguan, kelainan, kerusakan, atau kehilangan fungsi organ tubuhnya.
Sebutan semacam itu bukan hanya dipakai oleh sebagian anggota masyarakat saja,
akan tetapi, pemerintah pun juga secara resmi menggunakan istilah tersebut.
Hal ini dapat dilihat dengan berlakunya Convention on the Rights of Person with
Disabilities yang menggunakan istilah Person with Disability (orang dengan
kecacatan), pemerintah Indonesia menggunakan istilah Penyandang Disabilitas
untuk menyebut kelompok ini sebagaimana tertuang dalam ratifikasi UU No. 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Person with
Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Dengan
meratifikasi konvensi tersebut, maka pemerintah Indonesia diwajibkan untuk
melakukan penyesuaian, termasuk penyediaan aksesibilitas dan sistem
kelembagaan disabilitas pada setiap sarana publik yang diselenggarakan oleh
negara.
Di dalam penjelasan UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas dinyatakan bahwa setiap
penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam,
tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi,
kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan
orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan
pelayanan sosial dalam rangka kemandirian serta dalam keadaan darurat.41
a) Penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang
dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah dan memiliki pas
masuk pesawat (boarding pass).
Adapun pengertian penumpang yang terkait dengan penyandang
disabilitas, lanjut usia, anak-anak, atau orang sakit yang disebutkan dan
dinyatakan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang
Standar Pelayanan Penumpang kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal
Dalam Negeri, yaitu:
42
b) penumpang dengan kebutuhan khusus adalah penumpang karena
kondisi fisiknya dan/atau permintaan khusus penumpang yang
memerlukan fasilitas dan perlakuan khusus, seperti penyandang
disabilitas, lanjut usia, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
43
c) Penyandang disabilitas adalah penumpang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang
dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat
41
42
Pasal 1 angka 5, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
43
menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan
efektif berdasarkan kesamaan hak.44
d) Lanjut usia adalah penumpang dengan usia di atas 60 (enam puluh)
tahun.45
e) Orang sakit adalah penumpang yang karena kondisi kesehatannya
membutuhkan fasilitas tambahan antara lain oxygen mask, kursi roda
dan/atau stretcher, yang dalam hal ini dibatasi tidak berlaku untuk
penumpang dengan penyakit menular sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.46
Selanjutnya, dalam angkutan udara penumpang pada umumnya adalah
orang dewasa, anak-anak usia 2-12 tahun, dan bayi yang usianya dibawah 2 tahun.
anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang sakit berhak mendapatkan
pelayanan perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara.
B.Peraturan-Peraturan Yang Berkaitan Dengan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-anak, Atau Orang Sakit
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk memenenuhi
hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka pelayanan publik. Hal ini sebagaimana
terdapat dalam konstitusi negara Republik Indonesia yang dituangkan ke dalam
UUD 1945 Amandemen, yakni pada Pasal 34 ayat (3) yang menyatakan bahwa
44
Pasal 1 angka 7, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
45
Pasal 1 angka 8, Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
46
“negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang
layak.”47
1. Pasal 1 angka 33 UU No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, bandar
udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas
tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan
lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat
perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok
dan fasilitas penunjang lainnya.
Berdasarkan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 Amandemen tersebut
diatas, bahwa negara diamanatkan untuk melindungi segala hak-hak warganya
yakni hak untuk memperoleh mengakses transportasi serta hak untuk dijamin
keselamatannya selama menggunakan jasa transportasi termasuk juga hak untuk
menuntut kembali perolehan ganti rugi.
Perlindungan pada penumpang dengan disabilitas juga diatur dalam UU
No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Jadi, penyandang disabilitas sebagai
pengguna jasa penerbangan perlu dijamin keselamatan dan keamanan dirinya
selama menggunakan jasa. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 33, 48 dan 49,
yaitu:
2. Pasal 1 angka 48 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
menyatakan bahwa Keselamatan Penerbangan adalah suatu keadaan
terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah
47
udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi
penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
3. Pasal 1 angka 49 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
menyatakan bahwa keamanan penerbangan adalah suatu keadaan yang
memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan
hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia,
fasilitas, dan prosedur.
Jelas berdasarkan uraian yang tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa
penyandang disabilitas sebagai pengguna jasa penerbangan juga perlu dijamin
keselamatan serta keamanan dirinya selama menggunakan jasa penerbangan.
Ketentuan mengenai pelayanan bagi penumpang dengan disabilitas tertera
pada Pasal 134 UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Aturan dimasukkan
dalam bab khusus mengenai Pengangkutan untuk Penyandang Cacat, orang lanjut
usia, anak-anak dan atau orang sakit. Pasal 134 UU No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan menyatakan :48
a. pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
Ayat (1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua
belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan
berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan
udara niaga.
Ayat (2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
48
b. penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari
pesawat udara;
c. penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di
pesawat udara;
d. sarana bantu bagi orang sakit;
e. penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di
pesawat udara;
f. tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan
penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang
sakit; dan
g. tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan
keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan
sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat,
lanjut usia, dan orang sakit.
Ayat (3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.
Pada penjelasan Pasal 134 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, diterangkan pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus bagi
penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit dimaksudkan agar mereka
juga dapat menikmati pelayanan angkutan dengan layak. Yang dimaksud dengan
“fasilitas khusus” dapat berupa penyediaan jalan khusus di bandar udara dan
sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang
sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur. Yang dimaksud
dengan “penyandang cacat”, antara lain, penumpang yang menggunakan kursi
roda karena lumpuh, cacat kaki, dan tuna netra. Tidak termasuk dalam pengertian
“orang sakit” dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.49
1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
Dari penjelasan Pasal 134 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan dipahami istilah untuk penyandang cacat atau disabilitas dipisahkan
dari orang sakit yang memang tidak dapat disetarakan. Mengenai hak penyandang
disabilitas untuk mendapatkan perlakuan atau fasilitas khusus dari pihak
maskapai. Mereka dijamin untuk fasilitas khusus yang layak tanpa perlu tanda
tangan surat keterangan sakit.“
Berdasarkan Pasal 134 (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
bahwa penyandang cacat, orang lanjut usia, anak-anak di bawah usia 12 (dua
belas) tahun dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan
dan fasilitas khusus dari badan usaha angkutan udara niaga. Sedangkan pada Pasal
134 (1) UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, disebutkan fasilitas apa saja
yang minimal didapatkan oleh penyandang disabilitas, lansia, anak-anak dan
orang sakit selama menggunakan jasa maskapai penerbangan. Hal-hal tersebut
antara lain:
2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat
udara;
49
3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat
udara;
4. Sarana bantu bagi orang sakit;
5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;
6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak dan/atau orang sakit;
7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang
dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia dan orang sakit.
Selanjutnya, dalam Pasal 134 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan ditegaskan bahwa “pemberian perlakuan dan fasilitas khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.” Pemberian
fasilitas khusus tersebut tidak dapat dikenakan biaya tambahan oleh pihak
maskapai penerbangan. Oleh karena itu, pihak maskapai harus memahami fasilitas
tersebut sebagai hak yang setara sebagai pelanggan maskapai.
C.Pengawasan Terhadap Pengangkutan Penumpang dan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-anak, Atau Orang Sakit
Penyandang cacat, anak-anak di bawah usia 12 tahun, dan/atau orang sakit
berhak mendapatkan pelayanan perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha
angkutan udara. Dalam angkutan udara penumpang umumnya adalah orang
dewasa, anank-anak usia 2-12 tahun, dan bayi yang usianya dibawah 2 tahun.
Total penumpang juga harus dipilih menjadi penumpang yang memerlukan
Penanganan penumpang yang mengalami gangguan kejiwaan harus
didampingi orang yang bertanggung jawab dan mampu mengatasi gangguan
kejiwaan penumpang tersebut secara medis.
Wanita hamil dengan usia kehamilan 7 (tujuh) bulan atau lebih harus
disertai dengan surat keterangan dokter yang menyatakan dapat melakukan
perjalanan dengan pesawat udara.
Orang sakit yang memerlukan perawatan khusus harus disertai dengan
surat keterangan dokter dan didampingi oleh orang yang bertanggung jawab;
dann anak-anak di bawah umur 8 (delapan) tahun harus didampingi oleh orang
yang bertanggung jawab.
Pasal yang tertuang dalam undang-undang maupun turunannya (tentang
pelayanan khusus terhadap penumpang) adalah merupakan hak bagi pengguna
jasa dan kewajiban bagi penyedia jasa angkutan udara niaga. Hak dan kewajiban
tersebut harus menjadi kesepakatan kedua belah pihak ketika sebuah perjanjian
pengangkutan udara niaga dimulai (pada saat tiket dibayar).
Penyedia dan pengguna jasa angkutan udara niaga harus saling memahami
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana telah diatur melalui undang
undang dan turunannya. Prosedur pelayanan kepada penumpang (dalam status
cacat/tuna netra) wajib disusun dalam ”Standard Operating Procedure”/SOP
Badan Usaha Angkutan Udara niaga, agar tercipta kepuasan pelanggan dan
kepuasan pelayanan timbal balik.
Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus tidak dipungut biaya tambahan.
orang yang bertanggung jawab dan mampu mengatasi gangguan jiwa secara
medis begitu juga wanita hamil dengan usia kandungan 7 bulan dan orang sakit
yang memerlukan perawatan khusus harus disertai surat dokter.
Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam memberikan
pelayanan wajib memiliki standar operasional prosedur (Standard Operating
Procedure/SOP) sekurang-kurangnya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Standar operasional prosedur (Standard Operating Procedure / SOP)
wajib diserahkan kepada Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan untuk
mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan.
Persetujuan atau penolakan Standar operasional prosedur (Standard Operating
Procedure /SOP) diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
permohonan diterima secara lengkap dan dilakukan verifikasi.
Dalam setiap perubahan standar operasional prosedur (Standard Operating
Procedure / SOP) wajib melapor dan mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal
Kementerian Perhubungan. Permohonan perubahan standar operasional prosedur
(Standard Operating Procedure / SOP) wajib disampaikan secara lengkap oleh
badan usaha angkutan udara niaga beIjadwal kepada Direktur Jenderal paling
lama 60 (enam puluh) hari kerja sebelum pelaksanaan perubahan SOP.
Persetujuan atau penolakan Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan
diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan standar
operasional prosedur (Standard Operating Procedure / SOP) diterima secara
pengawasan terhadap pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (Standard
Operating Procedure /SOP) dapatdilakukan berdasarkan :
1. laporan penerapan standar pelayanan sebagaimana SOP yang telah
ditetapkan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal;
2. laporan pelaksanaan hasil pengawasan inspektur angkutan udara danl
atau Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
3. laporan danjatau keluhan badan usaha bandar udara, dan pengguna jasa
angkutan udara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penilaian dan pengawasan
terhadap pelaksanaan Peraturan ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal
Kementerian Perhubungan. Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan
mengumumkan hasil penilaian pelaksanaan standar pelayanan badan usaha
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PADA PENGANGKUTAN PENUMPANG PENYANDANG CACAT, LANJUT USIA, ANAK-ANAK, DAN/ATAU ORANG SAKIT MELALUI UDARA PADA PT. GARUDA INDONESIA
(PERSERO), TBK
A.Persyaratan Dalam Pengangkutan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-Anak, dan/atau Orang Sakit Melalui Udara oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk
Pelayanan pengangkutan adalah merupakan hak bagi pengguna jasa dan
kewajiban bagi penyedia jasa angkutan udara niaga. Hak dan kewajiban tersebut
harus menjadi kesepakatan kedua belah pihak ketika sebuah perjanjian
pengangkutan udara niaga dimulai (pada saat tiket dibayar).
Penyedia dan pengguna jasa angkutan udara niaga harus saling memahami
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana telah diatur melalui undang
undang dan turunannya. Prosedur pelayanan kepada penumpang (dalam status
cacat/tuna netra) wajib disusun dalam ”Standard Operating Procedure”/SOP
Badan Usaha Angkutan Udara niaga, agar tercipta kepuasan pelanggan dan
kepuasan pelayanan timbal balik.50
Persayaratan dalam pengangkutan penumpang oleh PT. Garuda Indonesia
(Persero), Tbk mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49
Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan
Udara Niaga Yang Berjadwal Dalam Negeri tertera standar pelayanan penumpang
50
bagi penumpang dengan kebutuhan khusus. PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk
memberikan pelayanan tambahan secara khusus yang telah disediakan
diperuntukkan bagi penumpang disabilitas, lansia, anak-anak dan/atau orang
sakit.51
Standar Pelayanan tambahan yang disediakan PT. Garuda Indonesia
(Persero), Tbk untuk penumpang dengan kebutuhan khusus meliputi52
1. standar pelayanan sebelum penerbangan (pre-flight);
:
2. standar pelayanan selama penerbangan (in-flight); dan
3. standar pelayanan setelah penerbangan (post-flight).
Standar pelayanan tambahan sebelum penerbangan (pre-jlight) bagi
penumpang dengan kebutuhan khusus terdiri dari:53
a. informasi penerbangan;
Standar pelayanan informasi penerbangan bagi penumpang dengan
kebutuhan khusus adalah adanya informasi penerbangan yang benar
dan jelas bagi calon penumpang dengan kebutuhan khusus melalui
media publikasi yang mudah diperoleh mengenai :
1) fasilitas yang tersedia di bandar udara asal dan tujuan untuk
penumpang dengan kebutuhan khusus; dan
51Ibid.
2) fasilitas yang disediakan oleh badan usaha angkutan udara PT.
Garuda Indonesia (Persero), Tbk untuk penumpang dengan
kebutuhan khusus.
b. check-in;
Setiap penumpang dengan kebutuhan khusus pada saat melakukan
proses reservasi tiket dan proses check-in, wajib memberitahukan
kebutuhan fasilitas tambahan kepada petugas badan usaha angkutan
udara PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk. Standar pelayanan
check-in bagi penumpang dengan kebutuhan khusus, diantaranya :
1) tersedianya petugas yang ditempatkan oleh badan usaha angkutan
udara oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk yang membantu
penumpang dengan kebutuhan khusus melakukan proses check-in;
dan
2) memberikan prioritas check-in terlebih dahulu:
a) Penumpang wanita hamil;
b) Penumpang lanjut usia;
c) Penumpang penyandang disabilitas; dan
d) Penumpang orang sakit.
c. proses menuju ke ruang tunggu;
Standar pelayanan proses menuju ke ruang tunggu bagi penumpang
dengan kebutuhan khusus diantaranya tersedianya fasilitas (antara lain
kursi roda) dan petugas yang ditempatkan oleh badan usaha angkutan
mengarahkan penumpang dengan kebutuhan khusus dari check-in
counter menuju ke ruang tunggu.
d. boarding.
Standar pelayanan boarding bagi penumpang dengan kebutuhan
khusus, diantaranya:
1) pemberian prioritas serta tersedianya petugas yang ditempatkan
oleh badan usaha angkutan udara PT. Garuda Indonesia (Persero),
Tbk untuk membantu penumpang dengan kebutuhan khusus dari
ruang tunggu sampai dengan naik ke pesawat;
2) tersedianya fasilitas kemudahan untuk menuju ke pesawat dan naik
ke pesawat bagi penumpang dengan kebutuhan khusus (misalnya
dengan menggunakan kursi roda atau electric car).
Dalam tiap-tiap penerbangan komersil PT. Garuda Indonesia (Persero),
Tbk yang diterbangkan bahwa jumlah total penumpang disabilitas dan anak-anak
UM (Unaccompanied Minor) hanya boleh diangkut sebanyak-banyaknya 10%
(sepuluh persen) dari total kapasitas pesawat udara yang digunakan per
penerbangan. Hal ini sesuai sebagaimana yang tertera pada Pasal 57 ayat (2)
Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar
Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Yang Berjadwal
Dalam Negeri.54
PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk memberikan pelayanan terhadap
anak-anak yang melakukan penerbangan tanpa pendamping (Unaccompanied
Minorj) paling sedikit memuat :55
a) tersedianya petugas yang mendampingi anak-anak yang melakukan
penerbangan tanpa pendamping (UM) sejak proses pre jlight sampai
kepada proses injlight, termasuk transit;
b) adanya berita acara serah terima untuk setiap tahapan prosesnya; dan
c) adanya pelabelan tanda UM pada penumpang UM dan pada bagasi
kabin dan tercatat.
d) Anak-anak dengan usia dibawah 6 (enam) tahun dalam melakukan
penerbangan wajib didampingi oleh orang dewasa yang bertanggung
jawab penuh.
Persayaratan penerbangan di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk
terhadap wanita hamil maka PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk mewajibkan
bagi setiap wanita hamil untuk memiliki surat rekomendasi terbang dari dokter
dan memberikan surat pernyataan. Hal ini sebagaimana tertuang pada Pasal 57
ayat (5) Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang Standar
Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Yang Berjadwal
Dalam Negeri.
Bagi penumpang yang menggunakan jasa penerbangan PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk yang menggunakan oxygen mask dan J atau stretcher
diwajibkan didampingi oleh orang yang bertanggung jawab dan memiliki surat
rekomendasi terbang dari dokter. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal
57 ayat (6) Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 49 Tahun 2012 tentang
Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Yang
Berjadwal Dalam Negeri.
Standar pelayanan tambahan ketika selama penerbangan (in-flight) bagi
penumpang dengan kebutuhan khusus terdiri dari:56
1) fasilitas dalam pesawat;
Fasilitas dalam pesawat bagi penumpang dengan kebutuhan khusus,
meliputi:
a) tempat duduk;
Fasilitas tempat duduk dikenakan biaya tambahan oleh PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk dalam hal:
1. tambahan tempat duduk untuk penumpang sakit yang
pengangkutannya dalam posisi tidur dan penumpang dengan
ukuran tubuh besar.
2. penggunaan stretcher di dalam pesawat disesuaikan dengan
fasilitas pesawat.
b) bagasi tercatat;
Fasilitas bagasi bagi penumpang angkutan udara PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk dengan kebutuhan khusus dapat membawa
kursi roda manual pribadi yang ditempatkan sebagai bagasi tercatat
tanpa dikenakan biaya.
c) informasi petunjuk keselamatan dan keamanan penerbangan.
Fasilitas informasi petunjuk keselamatan dan keamanan
penerbangan, yaitu; tersedianya buku petunjuk keselamatan dan
keamanan penerbangan dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh
penumpang dengan kebutuhan khusus.
Standar pelayanan tambahan setelah penerbangan (post-flight) bagi
penumpang dengan kebutuhan khusus terdiri dari :
1. proses turun pesawat;
Proses turun pesawat bagi penumpang dengan kebutuhan khusus, yaitu
tersedianya petugas yang mendampingi penumpang dengan kebutuhan
khusus untuk turun daripesawat.
2. transit atau transfer,
Transit atau transfer bagi penumpang dengan kebutuhan khusus, yaitu;
tersedianya petugas yang ditunjuk oleh badan usaha angkutan udara PT.
Garuda Indonesia (Persero), Tbk yang dapat berkomunikasi dan
membantu penumpang dengan kebutuhan khusus menuju ke transit
atau transfer counter serta ke ruang tunggu untuk keberangkatan
berikutnya sertatersedianya fasilitas (antara lain wheelchairi yang
disediakan oleh badan usaha angkutan udara PT. Garuda Indoensia
untuk bagi penumpang dengan kebutuhan khusus menuju ke transit
atau transfer counter.
Pengambilan bagasi tercatat bagi penumpang dengan kebutuhan khusus,
yaitu; tersedianya petugas yang ditunjuk oleh badan usaha angkutan
udara PT. Garuda Indoensia yang membantu penumpang dengan
kebutuhan khusus untuk pengambilan bagasi tercatat.
4. penanganan keluhan penumpang.
Penanganan keluhan penumpang dengan kebutuhan khusus, yaitu:
tersedianya petugas badan usaha angkutan udara PT. Garuda Indoensia
yang dapat berkomunikasi dan membantu penumpang dengan
kebutuhan khusus dalam penyampaian keluhan.
B.Prosedur Pengangkutan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-Anak, dan/atau Orang Sakit Melalui Udara Oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk
Berdasarkan Pasal 464 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang
menyatakan bahwa “pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan
pelaksanaan UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan
UU ini”, kegiatan penunjang penerbangan dan Bandar udara diatur dalam
keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/47/III/2007
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Usaha Kegiatan Penunjang Bandar Udara dan
Kegiatan Penerbangan.
Undang-Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan
1. Melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak izin diterbitkan dengan mengoperasikan
minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai
dengan lingkup usaha atau kegiatannya.
2. Memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu.
3. Mematuhi ketentuan wajib angkut penerbangan sipil, dan ketentuan
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai
pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga
yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi.
5. Melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar
suku agama, ras, antar golongan, serta strata ekonomi dan sosial.
6. Menyerahkan laporan kegiatan laporan kegiatan angkutan udara
termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan, setiap bulan
paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri.
7. Menyerahkan laporan kinerja keunangan yang telah diaudit oleh
kantor akuntan public terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat
neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun
paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Menteri.
8. Melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atas
pemilik badan hukum angkutan udara niaga, domisili badan usaha
angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat kepada Menteri.
Dalam menentukan tanggung jawab pengangkut diperlukan beberapa
persyaratan maupun prosedur, dengan demikian tidak semua kerugian penumpang
dapat dimintakan ganti rugi, hanya kerugian-kerugian yang memenuhi persyaratan
atau prosedur saja yang akan diganti rugi. Ketentuan prosedur harus ada serta
persyaratan-persyaratan harus dipenuhi hubungannya dengan kegiatan
pengangkutan udara jika dikaitkan dengan prisip tanggung jawab mutlak (strict
liability), maka hal tersebut tidak diperlukan sebab dalam prinsip tanggung jawab
mutlak, bahwa pengangkut selalu bertanggung jawab terhadap kerugian yang
dialami penumpang yang terjadi selama berada di dalam pesawat udara atau pada
saat embarkasi atau disembarkasi, kecuali terhadap hal-hal yang ditegaskan di
dalam undang-undang atau konvensi.57
Perlindungan penumpang angkutan udara pada dasarnya membicarakan
soal kepentingan hukum. Bagaimana hak-hak dan kewajiban penumpang
angkutan udara maupun pihak perusahaan angkutan udara diakui dan diatur di
dalam hukum serta bagaimana pula penegakannya dalam praktik. Hukum
perlindungan konsumen harus dimaknai sebagai keseluruhan peraturan hukum Memperlakukan atau melayani penumpang secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif. Memberi kesempatan yang sama kepada para penumpang
dalam memperoleh hak-haknya. Menjamin mutu pelayanan berdasarkan ketentuan
prosedur standar mutu pelayanan yang berlaku. Memberikan kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan jasa pelayanan angkutan udara kepada para penumpang.
57
yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban penumpang angkutan udara dan
perusahaan angkutan udara yang timbul dalam usahanya dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing subjek hukum
Mengenai perlindungan hukum terhadap penumpang yang sakit dan
mendadak sakit ketika dalam pengangkutan udara terkait dengan ketiadaan tenaga
medis ini, maka maskapai atau pihak pengangkut yang bersangkutan terikat dalam
prinsip presumption of liability, dimana pihak pengangkut maupun pihak yang
merasa dirugikan dapat saling memberikan pembuktian.
Setiap penumpang yang karena alasan kondisi kesehatan fisik, dan
permintaan khusus dapat dilakukan pemeriksaan khusus di ruangan yang telah
disediakan. Unit penyelenggara bandar udara dan badan usaha bandar udara harus
menyediakan ruangan untuk pemeriksaan penumpang khusus dengan alasan
kondisi kesehatan fisik, dan permintaan khusus. 58
Penumpang yang menggunakan alat bantu gerak/jalan harus dilakukan
pemeriksaan secara manual. Penumpang yang tidak dapat berdiri dari kursi roda
harus dilakukan pemeriksaan dalam posisi duduk secara manual. Alat bantu yang
dipakai oleh penumpang berupa kursi roda atau kereta bayi dapat melewati Setiap penumpang yang menggunakan kursi roda, dan penumpang yang
menggendong dengan alat atau menggunakan kereta bayi harus diperiksa secara
manual. Setiap penumpang yang menggendong bayi dalam pelukannya, harus
diperiksa celah antara bayi dan penumpang secara manual.
samping alat gawang detektor logam (Walk Through Metal Detector / WTMD)
dan alat gendong bayi diperiksa melalui mesin x-ray.
C.Tanggung Jawab PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk Pada Pengangkutan Penumpang Penyandang Cacat, Lanjut Usia, Anak-Anak, dan/atau Orang Sakit Melalui Udara
Kewajiban utama pengangkut udara adalah mengangkut penumpang atau
barang serta menerbitkan dokumen pengangkut setelah memperoleh pembayaran
biaya pengangkutan dari calon penumpang. Jadi, penumpang atau pemilik barang
yang telah lebih dahulu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian
pengangkutan yang telah disepakati maka mendapatkan prioritas utama untuk
diangkut.
Prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan
terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut,
yaitu sebagai berikut:59
1. Prinsip tanggungjawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau
liability based on fault principle);
bahwa dalam menentukan tanggung jawab pengangkutan di dasarkan
pada pandangan bahwa yang membuktikan kesalahan pengangkut
adalah pihak yang dirugikan atau penggugat. Unsur-unsur untuk
59
menjadikan suatu perbuatan melanggar hukum dapat dituntut ganti rugi,
yaitu antara lain:
a) adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat;
b) perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya;
c) adanya kerugian yang diderita akibat kesalahan tersebut.
Makna dari “perbuatan melawan hukum,” tidak hanya perbuatan aktif
tetapi juga perbuatan pasif, yaitu meliputi tidak berbuat sesuatu dalam
hal yang seharusnya menurut hukum orang yang harus berbuat.
Penetapan ketentuan pasal 1365 BW ini memberi kebebasan kepada
penggugat atau pihak yang dirugikan untuk membuktikan bahwa
kerugian itu timbul akibat perbuatan melanggar hukum dari tergugat.
Sedangkan aturan khusus mengenai tanggung jawab pengangkut
berdasarkan prinsip kesalahan biasanya ditentukan dalam UU yang
mengatur masing-masing jenis pengangkutan
2. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of
liability principle);
menurut prinsip ini tergugat dianggap selalu bersalah kecuali tergugat
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau dapat
mengemukakan hal-hal yang dapat membebaskan dari kesalahan. Jadi
dalamprinsip ini hampir sama dengan prinsip yang pertama, hanya saja
beban pembuktian menjadi terbalik yaitu para tergugat untuk
3. Prinsip tanggungjawab mutlak (no fault, atau strict liability, absolute
liability principle).
Menurut prinsip ini, bahwa pihak yang menimbulkan kerugian dalam
hal ini tergugat selalu bertanggung jawab tanpa melihat ada atau tidak
adanya kesalahan atau tidak milihat siapa yang bersalah atau suatu
prinsippertanggungjawaban yang memandang kesalahan sebagai suatu
yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya
ada atau tidak ada. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung
jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian bagi
penumpang atau pengirim barang.
Perusahaan pegangkutan bertanggung jawab memberikan pelayanan yang
layak kepada penumpangnya, baik penumpang tersebut merupakan penumpang
penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit. Pelayanan yang
layak oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk sebagai perusahaan pengagkut
adalah pelayanan dalam batas kelayakan sesuai dengan standar opersional yang
telah ditetapkan.
Tanggung jawab PT. Garuda Indoesia memberikan pelayanan
pengangkutan kepada penumpang penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak,
dan/atau orang sakit berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan
PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk, dimana pelayanan tersebut dalam batas
kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan pengangkut PT. Garuda
Indonesia (Persero), Tbk, yakni; penyediaan pelayanan khusus penumpang
menyediakan tempat maupun fasilitas secara khusus untuk penumpang
penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit.
Penumpang penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit
berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas secara khusus dari
PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk, yaitu:
1. Pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
2. Penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat
udara;
3. Penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat
udara;
4. Sarana bantu bagi orang sakit;
5. Penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;
6. Tersedianya personel yang dapat berkomunikasi dengan penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak dan/atau orang sakit;
7. Tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan
penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang
dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia dan orang sakit.
8. Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus tidak dipugut biaya
tambahan.
Berdasarkan Pasal 179 UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang
menyatakan bahwa pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam
PT. Garuda Indoesia berkewajiban untuk mengasuransikan penumpangnya yang
merupakan sebagai tanggung jawabnya sebagai perusahaan pengakut sesuai
dengan pengaturan hukum yang diatur oleh UU No. 1 tahun 2009 tetang
Penerbangan.
Besarnya pertanggungan asuransi yang menjadi tanggung jawab PT.
Garuda terhadap penumpangnya sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah
gati kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170 UU No.
BAB V PENUTUP A.Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan pada pembahasan hasil penulisan
penelitian ini, yaitu:
1. Penumpang udara penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau
orang sakit diatur pengaturannya didalam UU No. 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan. Bahwa telah ditentukan ketentuan persyaratan
penumpang udara penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau
orang sakit hal ini dikarenakan penumpang udara penyandang cacat,
lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit adalah merupakan bagian
dari warga negara yang mempunyai hak dan kedudukan dengan warga
negara pada umumnya.
2. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur
tentang prosedur pengangkutan udara kepada penumpang penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit, maka perusahaan
pengangkutan udara harus memperlakukan atau melayani penumpang
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Memberi kesempatan
yang sama kepada para penumpang dalam memperoleh hak-haknya.
Menjamin mutu pelayanan berdasarkan ketentuan prosedur standar
3. Bahwa dari dua pihak yaitu pihak penyelenggara prasarana angkutan
udara dan pengguna jasa angkutan udara, diantaranya telah
menimbulkan suatu ketentuan perbuatan hukum atas dasar adanya
kesepakatan diantara keduanya ketentuan yang mewajiban dari pihak
penyelenggara prasarana angkutan udara untuk mengasuransikan
tanggung jawabnya dan ketentuan tentang adanya kewajiban untuk
memberikan pembuktian sebagai pengguna jasa pengangkutan udara
adalah dari pihak pengguna jasa.
B.Saran
Adapun yang menjadi saran pada pembahasan hasil penulisan penelitian
ini, yaitu:
1. Regulasi-regulasi yang ada mengenai pelayanan pengangkutan
udara khususnya pengangkutan udara untuk penyandang cacad,
lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit belum memberikan
pelayanan yang layak serta optimal untuk itu masih diperlukan
perbaikan-perbaikan terhadap seluruh regulasi yang terkait
pengaturan tentang pelayanan pengangkutan untuk penyandang
cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit..
2. Perlunya pengawasan dari pihak pemerintah Indonesia terhadap
penyedia jasa angkutan udara untuk memeriksa dan mengawasi
setiap prosedur maupun seliuruh mekanisme pengangkutannya
kepada penumpapangnya yang diangkut menggunakan pesawat
3. Perlunya untuk setiap perusahaan pengangkutan udara untuk dan
memberitahukan serta menjelaskan secara khusus jasa pelayanan
pengangkutan yang akan diberikan dan digunakan kepada calon
penumpang penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau
orang sakit dan demi tercipta rasa kepastian dan kepuasan bagi
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN A. Pengaturan Hukum Pengangkutan Udara
Pengaturan mengenai pengangkutan udara secara internasional sejatinya
telah diatur di Perjanjian Internasional yang berupa Konvensi dan Protokol yang
mana telah ditandatangani oleh beberapa Negara yang hadir dan menyetujui
kesepakatan Konvensi dan Protokol tersebut.
Setiap Negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional,
memiliki hak untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negaranya, tak terkecuali Indonesia yang juga termasuk di dalamnya. Peraturan
hukum tersebut dapat mencakup pengaturan operasi pengangkutan udara nasional
maupun internasional yang berasal atau ke negara tersebut.
Hukum pengangkutan udara merupakan bagian dari hukum udara yang
pengaturannya sudah ada sejak masa pemerintahan Belanda di Indonesia.
Beberapa peraturan yang berlaku bagi pengangkutan udara, antara lain sebagai
berikut:8
1) Undang-Undang nomor 83 Tahun 1958 (LN. 1958-1959), tentang
Penerbangan. Undang-Undang ini mengatur tentang larangan
penerbangan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat-pesawat udara,
surat tanda kelaikan dan kecakapan terbang, Dewan penerbangan, dan
lain-lain;
8
2) Luchtverkeersverrordening (S. 1936-425), yang mengatur lalu lintas
udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat
yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain;
3) Verordening Toezicht luchtvaart (S. 1936-426), yang merupakan
peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain
pengawasan atas personal penerbangan, syarat-syarat jasmani, surat
tanda kecakapan sebagai ahli mesin dan ahli radio, pengawasan atas
materiil/penerbangan;
4) Luchtvaartquarantine Ordonantie (S. 1939-149, jo. S. 1939-150) yang
mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan
disebarkannya penyakit menular oleh penumpang-penumpang pesawat
terbang;
5) Luchtverveorordonnantie (S. 1939-100), pengaturan ini merupakan
Ordonansi Penerbangan, yang mengatur pengankutan penumpang,
bagasi dan pengangkutan barang serta pertanggungjawaban
pengangkutan udara.
Peraturan pokok mengenai penerbangan setelah dikeluarkannya beberapa
peraturan tersebut, dirangkum dalam Ordonansi Pengangkutan Udara
(Luchtverveorordonnantie. S. 1939-100). Ordonansi Pengangkutan Udara ini telah
sesuai dengan Perjanjian Warsawa9
9
Perjanjian Warsawa adalah perjanjian yang bertujuan untuk mempersatukan beberapa ketentuan dalam hal pengangkutan udara internasional, dibuat di Warsawa pada 12 Oktober 1929 yang diberlakukan Indonesia tanggal 29 September 1933. (sebagaimana yang dimuat dalam Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, Hari Pramono, ibid, hal. 56)
yang merupakan hukum khusus terhadap
pengangkutan udarra tetapi tidak semua pengangkutan udara tunduk pada
ordonansi ini.10
Pengangkutan udara yang tidak tunduk pada Ordonansi Pengangkutan
Udara ini yaitu, pengangkutan udara tanpa bayaran yang tidak diselenggarakan
oleh suatu perusahaan pengangkutan udara, pengangkutan udara yang
diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara sebagai suatu
percobaan pertama berhubung dengan maksud untuk mengadakan line
penerbangan teratur, pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar
biasa yakni menyimpang dari usaha yang normal dari suatu perusahaan
penerbangan, pengangkutan pos dan paket melalui udara yang dilaksanakan atas
permintaan dari atau atas nama penguasa yang berwenang, dan pengangkutan
udara yang dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang militer Pabean dan Polisi.11
Pada tahun 1992, seluruh pengaturan mengenai penerbangan yang pernah
berlaku di Indonesia digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 1992 (LNRI Tahun 1992 No. 53) tentang Penerbangan yang
selanjutnya disingkat UUPU yang berlaku mulai tanggal 17 September 1992.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 didasari oleh suatu keadaan
dimana dunia penerbangan telah mengalami perkembangan yang sangat pesat,
sehingga undang-undang yang telah ada dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman. Sebagaimana dinyatakan dalam mukadimah penjelasannya
yang menyatakan “Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional
10Loc.Cit.
11Ibid
serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang Undang
Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan, perlu diganti dengan Undang
Undang ini, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata dalam satu kesatuan.” Dengan
lahirnya undang-undang ini maka Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958
Tentang Penerbangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.12
Pada tahun 2009, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan yang menggantikan UUPU. Namun, UUPU tersebut
dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ini. Undang-undang ini total memuat
466 pasal dan mengatur berbagai aspek penerbangan dengan sangat mendetail.
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut tentunya memberi
pengaruh yang tidak sedikit pada dunia transportasi udara, terutama disisi bisnis
angkutan udara.13
Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang
dikualifikasikan menjadi asas yang bersifat publik, dan asas yang bersifat
perdata.
B. Asas dan Tujuan Pengangkutan Udara
14
12
Asas Pengangkutan yang Bersifat Perdata, sebagaimana yang di muat dalam eprints.undip.ac.id/16310/1/AHMAD_ZAZILI.pdf, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.
Asas yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan
13
Fifi, “Undang-Undang Penerbangan”, 2009, sebagaimana yang dimuat dalam
14
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti,
yang berlaku dan berguna bagi semua pihak yaitu pihak-pihak dalam
pengangkutan, pihak ketiga yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak
pemerintah (penguasa). Asas-asas yang bersifat publik pada pelaksanaan
pengangkutan, adalah:
a) Asas manfaat, setiap pengangkutan harus dapat memberikan nilai guna
yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan
rakyat, dan pengembangan perikehidupan yang berkeimbangan bagi
warga negara;
b) Usaha bersama dan kekeluargaan, penyelenggaraan usaha
pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi
bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan
masyarakat dan dijiwwai semangat kekeluargaan;
c) Adil dan merata, penyelenggaraan pengangkutan harus dapat
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan
masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d) Keseimbangan, penyelenggaraan pengangkutan harus dengan
keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara
kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu
dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e) Kepentingan umum, penyelenggaraan pengangkutan harus lebih
f) Keterpaduan, pengangkutan harus merupakan kesatuan yang bulat dan
utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra mauun
antar moda pengangkutan;
g) Kesadaran hukum, pemerintah wajib menegakkan dan menjamin
kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara
Indonesia agar selalu sadar dan taat kepada hukum dalam
penyelenggaraan pengangkutan;
h) Percaya pada diri sendiri, pengangkutan harus berlandaskan pada
kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan
kepribadian bangsa;
i) Keselamatan penumpang, pengangkutan penumpang harus disertai
dengan asuransi kecelakaan
Asas-asas perdata yang ada pada pengangkutan dikarenakan pengangkutan
diadakan dengan perjanjian antara pihak-pihak. Tiket/karcis penumpang dan
dokumen angkutan lainnya merupakan tanda bukti telah terjadi perjanjian antara
pihak-pihak.15
Asas-asas pengangkutan yang bersifat perdata adalah:
16
1) Konsensual, pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis,
sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk
menyatakan bahwa perjanjiat itu sudah terjadi atau sudah ada harus
dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan;
15Ibid
, hal. 18
16
2) Koordinatif, pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan
setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi
yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan
perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan
penumpang/pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian
pemberian kuasa;
3) Campuran, pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis
perjanjian, yaitu pemberian kuasa, penyimpanan barang, dan
melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan
ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan;
4) Pembuktian dengan dokumen, setiap pengangkutan selalu dibuktikan
dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak
ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku
umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa
tiket/karcis penumpang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
merumuskan asas-asas pengangkutan secara umum kedalam asas penerbangan
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil
dan merata, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, kepentingan umum,
berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, dan
kenusantaraan. 17
Menurut ketentuan Pasal 3 UUPU, pengangkutan dengan pesawat udara
bertujuan untuk:18
a) Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman,
cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan berdaya guna dengan
biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;
b) Mengutamakan dan melindungi penerbangan nasional;
c) Menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan
nasional;
d) Sebagai pendorong, penggerak, dan penunjang pembangunan nasional;
e) Mempererat hubungan antar bangsa.
C. Jenis-Jenis Penyelenggaraan Angkutan Udara
Pengelompokan jenis-jenis angkutan udara pada umumnya merujuk pada
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yaitu
angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga. Angkutan udara niaga
adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut biaya.19
17
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
18
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hal. 27
19
Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 1 ayat (14)
Angkutan Udara
Niaga dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Milik Swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas ataupun Koperasi yang memiliki
status sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.20
1) Angkutan udara niaga dalam negeri adalah adalah kegiatan angkutan
udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke
bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin
usaha angkutan udara niaga;
Angkutan udara niaga terbagi atas dua klasifikasi, yaitu:
2) Angkutan udara niaga luar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga
untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri
ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan sebaliknya.21
Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk
melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang
usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara. Sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
bahwa:
1) Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau
badan usaha Indonesia lainnya.
20
Pelaku Angkutan Udara Niaga, sebagaimana yang dimuat dalam http://repository.usu. ac.id/bitstream/123456789/20758/3/Chapter%20II.pdf , diakses pada tanggal 1 Oktober 2014
21
2) Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
a) angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);
b) angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan
personel pesawat udara; atau
c) angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya
bukan usaha angkutan udara niaga.
Selain angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, terdapat
jenis angkutan udara lain, yakni; angkutan udara perintis adalah merupakan
kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute
penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah
yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum
menguntungkan.22
Berdasarkan objek angkutannya, angkutan udara dapat mengangkut
orang/penumpang (passanger) dan barang (cargo). Sesuai dengan penelitian
skripsi ini yang membahas mengenai penumpang, maka perlu untuk diketahui
bahwa pengaturan mengenai penumpang secara umum tidak diatur. Namun,
dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang
yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan dirinya yang diangkut.
Sehingga, penumpang mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek, karena dia
adalah pihak dalam perjanjian, dan sebagai objek karena dia adalah muatan yang Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh
Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
niaga nasional berdasarkanperjanjian dengan Pemerintah.
22Ibid
diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus
mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat perjanjian (Pasal
1320 KUH Perdata).23
1) Adanya kata sepakat antara para pihak yang akan mengadakan
perjanjian.
D. Perjanjian Pengangkutan Udara
Berdasarkan bunyi Pasal 1313 KUHPerdata, bahwa yang dimaksud
dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang/lebih. Maksudnya ialah bahwa
perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum oleh seseorang atau lebih
mengikatkan diri untuk melakukan prestasi atau kontra prestasi. Jadi, perjanjian
tersebut berisi tentang perikatan.
Perikatan merupakan suatu hubungan hukum dimana satu pihak timbul
kewajiban dan dipihak lain timbul hak. Sahnya suatu perjanjian adalah
sebagaimana diatur oleh Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
2) Cakap untuk membuat perjanjian.
3) Mengenai hal tertentu.
4) Adanya sebab yang halal.
Perikatan yang lahir karena undang-undang disebabkan karena suatu
perbuatan yang diperbolehkan adalah timbul jika seseorang melakukan suatu
pembayaran yang tidak diwajibkan. Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan
suatu perikatan yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar untuk
23
menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan meletakkan kewajiban di pihak
lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.24
Perjanjian pengangkutan menimbulkan akibat hukum bagi pelaku usaha
dan penumpang sebagai hal yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik dikenal sebagai pembeda/pembagian
perjanjian karena menimbulkan hak dan kewajiban para pihak maka perjanjian
pengangkutan disebut perjanjian timbal balik, yaitu konsumen mendapat hak
layanan pengangkutan dengan kewajiban membayar biaya pengangkutan, Hukum perjanjian sebagaimana yang tertuang dalam KUHPerdata
menganut asas kebebasan berkontrak, yakni dituangkan pada Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai UU bagi mereka yang membuatnya, hal ini mengandung makna bahwa
setiap orang boleh membuat perjanjian apa saja asal tidak bertentangan dengan
UU, disamping menganut “asas kebebasan berkontrak” juga menganut “asas
konsensualisme/konsensualitas.” sebagai mana dinyatakan pada Pasal 1320 KUH
Perdata. Maksudnya: bahwa perjanjian itu sudah dianggap lahir sejak terjadinya
kata sepakat.
Perjanjian pengangkutan merupakan timbal balik dimana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dari
dan ke tempat tujuan tertentu, dan pengiriman barang membayar biaya/ongkos
angkutan sebagaimana yang disetujui bersama.
24
penyelenggara angkutan, memperoleh hak menerima pembayaran jasa
pengangkutan dengan kewajiban menyelenggarakan pelayanan angkutan.
Undang-undang pengangkutan menentukan bahwa pengangkutan baru
diselenggarakan setelah biaya pengangkutan dibayar terlebih dahulu. Akan tetapi,
di samping kekuatan UU Pengangkutan, Perjanjian pengangkutan biasaanya
meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas, yaitu kegiatan memuat,
membawa, dan menurunkan/membongkar, kecuali apabila dalam perjanjian
ditentukan lain.25
Subjek hukum yaitu pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam
proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, subjek hukum
merupakan pendukung hak dan kewajiban. Dikatakan subjek hukum, yaitu:
Perjanjian pengangkutan udara adalah suatu perjanjian antara seorang
pengangkut udara dan pihak penumpang atau pihak pengirim udara, dengan
imbalan bayaran atau suatu prestasi lain. Dapat dikatakan, suatu perjanjian
pengangkutan udara harus terdapat beberapa unsur diantaranya adanya para pihak
atau subjek hukum, adanya alat atau sarana pengangkut, adanya prestasi yang
harus dilaksanakan oleh pengangkut, kemudian adanya kewajiban membayar
ongkos atau biaya pengangkutan.
26
a. Pihak pengangkut.
b. Pihak penumpang.
c. Pihak pengirim.
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Buku Kelima, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 41.
26
d. Pihak penerima kiriman.
Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara juga dalam UU No. 1 Tahun 2009
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang perjanjian baik mengenai
pengertiannya ataupun mengenai cara-cara mengadakan serta sahnya perjanjian
pengangkutan udara. Perjanjian pengangkutan merujuk pada syarat-syarat sahnya
perjanjian pengangkutan, dengan demikian perjanjian pengangkutan udara
mempunyai sifat consensus artinya adanya kata sepakat antara para pihak
perjanjian pengangkutan dianggap ada dan lahir.
Perjanjian ini mengikat pihak pengangkut (misal; maskapai penerbangan)
dan pihak terangkut (penumpang maupun benda). Biasanya perjanjian
pengangkutan udara berupa standart contract, dimana klausula atau aturan-aturan
telah dibuat oleh pihak pengangkut.27
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut
dan pengirim sama tinggi atau koordinasi (geeoordineerd), tidak seperti dalam
perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau
kedudukan subordinasi (gesubordineerd). Mengenai sifat hukum perjanjian
pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :28
1) Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan
pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim
membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan atas
ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.
27
http://catatansurya09.blogspot.com/2013/04/hukum-pengangkutan-udara_15.html
28
2) Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan
berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH
Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617 KUH
Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan
pemborongan ).
3) Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran
yakni perjanjian melakukan pekerjaan (pelayanan berkala) dan
perjanjian penyimpana (bewaargeving).
Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan
tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian
kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya
suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus)
diantara para pihak. Dengan kata lain perjanjian pengangkutan bersifat
konsensuil.
Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen
yang disebut denga surat muatan (vracht brief) seperti dimaksud dalam pasal 90
KUHD. Demikian juga halnya dalam pengangkutan pengangkutan melalui laut
terdapat dokumen konosemen, yakni; tanda penerimaan barang yang harus
diberikan pengangkut kepada pengirim barang.
Dokumen-dokumen yang tersebut diatas, bukan merupakan syarat mutlak
tentang adanya perjanjian pengangkutan. Tidak adanya dokumen tersebut tidak
membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada sebagaimana yang telah
merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan. Dari uraian tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.29
Pasal 1338 : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang ditentukan oleh UU Persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
Pada dasarnya, perjanjian tidak harus dibuat secara tertulis, kecuali
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Perjanjian yang dibuat secara
lisan/tidak tertulis pun tetap mengikat para pihak, dan tidak menghilangkan, baik
hak dan kewajiban dari pihak yang bersepakat. Namun, untuk kemudahan
pembuktian, acuan bekerjasama dan melaksanakan transaksi, sebaiknya dibuat
secara tertulis. Hal ini juga dimaksudkan, agar apabila terdapat perbedaan
pendapat dapat kembali mengacu kepada perjanjian yang telah disepakati.
Suatu persetujuan wajib dilakukan dengan iktikad baik bagi mereka yang
melakukannya, dan karenanya sifat mengikat dari persetujuan tersebut adalah
pasti dan wajib. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal
1339 KUHPerdata, yang menyatakan:
Pasal 1339 : Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan, atau