• Tidak ada hasil yang ditemukan

Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Garamata : Sebuah Gerakan Nativistik Di Dataran Tinggi Karo"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : WIFKY NORISTA E. KARO-KARO NIM : 090706010

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

Nama : Wifky Norista E. Karo-karo

NIM : 090706010

Diketahui oleh:

Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,

untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO

Yang diajukan oleh :

Nama : Wifky Norista E. Karo-Karo

NIM : 090706010

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing,

Tanggal 27 Juli 2013

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum NIP 195707161985031003

Ketua Departemen Sejarah,

Tanggal 27 Juli 2013

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 19640922198903001

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum

NIP. 19640922198903001

(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal : 27 Juli 2013

Hari : Sabtu

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A

NIP. 195110131976031001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum (---)

2. Dra. Nurhabsyah, M.Si (---)

3. Drs.Wara Sinuhaji, M.Hum (---)

4. Drs. Samsul Tarigan (---)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

UCAPAN TERIMA KASIH

ABSTRAK

DAFTAR ISTILAH

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4Tinjauan Pustaka ... 6

1.5Metode Penelitian ... 9

BAB II SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO 2.1Domisili Orang Karo ... 12

2.2Sistem Kekerabatan Orang Karo ... 16

2.3 Sistem Kepercayaan ... 20

(7)

BAB III GERAKAN NATIVISME GARAMATA

3.1Garamata ... 26

3.2 Masuknya Belanda Ke Dataran Tinggi Karo ... 33

3.3Nativisme ... 36

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata ... 39

3.5Perlawanan Nativisme Garamata ... 43

BAB IV DATARAN TINGGI PASCA PERJUANGAN GARAMATA 4.1 Akhir Perjuangan Garamata ... 57

4.2 Eksistensi Pemena ... 63

4.3 Struktur Pemerintahan ... 66

4.4 Pendidikan dan Ekonomi ... 70

4.5 Kepemilikan Tanah ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat

dan berkatnya kepada kita, terutama kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk penyelesaian studi sarjana

pada Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul GARAMATA : SEBUAH GERAKAN NATIVISTIK DI DATARAN TINGGI KARO. Penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis masih mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

Penulis

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan, dan kasih sayang sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimaksih kepada orang-orang

yang telah memberi bantuan berupa tenaga, pikiran, arahan dan bimbingan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih penulis ucapkan kepada yang penulis hormati dan penulis kasihi :

1. Kepada nenek bayang yang paling penulis cintai Prudentia Sebayang yang selalu ada

memberi semangat dan telah membesarkan penulis. Kedua orang tua yang sangat penulis

kasihi bapak Logan Karo-Karo dan ibunda terkasih ibu Roslina Munthe, AM.keb. yang

telah membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh cinta, terima kasih atas

segalanya. Kepada adik-adik tersayang Harry Swandi Karo-Karo dan Ongky Alexander

Karo-Karo, kepada sepupu tersayang Lidya Tarigan, Amd. yang juga selalu

menyemangati dan memberi saran serta mama,mami,pak tua,bik tua yang telah mau

bekerjasama membantu penulis dalam menyelesaikan studi.

2. Kepada bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, beserta

Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A., Pembantu Dekan II Drs Samsul Tarigan,

dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. atas fasilitas yang penulis

peroleh di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara Medan sampai penulis

(10)

3. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya USU yang telah memberi nasehat dan saran, juga kepada ibu Dra. Nurhabsyah,

M.si. sebagai Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Kepada ibu Dra. Nurhamida, M.A sebagai dosen Penasehat Akademik penulis yang

selalu memberi nasehat dan saran-saran kepada penulis.

5. Terimakasih banyak juga penulis haturkan kepada bapak Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum.

selaku pembimbing skripsi saya atas segala arahan, bantuan, nasehatnya pada penulis

dalam penulisan skripsi ini. Bapak adalah guru sekaligus ayah yang berperan membentuk

mental yang kuat pada penulis.

6. Terimaksih juga pada semua Bapak dan Ibu Dosen Departemen Sejarah khususnya yang

telah membagi ilmunya pada penulis selama mengikuti studi di kampus tercinta USU,

semoga ilmu yang diberikan pada penulis dapat penulis manfaatkan dengan baik.

Terimakasih juga buat Bang Ampera selaku Tata Usaha Departemen Sejarah FIB atas

bantuannya dalam urusan di kampus.

7. Terimakasih juga penulis sampaikan pada seluruh informan yang membantu penulis

dalam penelitian ini, Ir. Perdana Ginting, Ir. Brontak Bangun, Ny. Payung Bangun, Saksi

Bangun, Banta Sembiring, Tandingen Gurusinga dan seluruh pegawai Yayasan Garamata

yang telah bersedia membantu dan dengan tangan terbuka menerima penulis dalam

berdiskusi serta membagi pengalaman kepada penulis tentang penelitian penulis.

8. Kepada keluarga besar KMK Fakultas Ilmu Budaya atas doa dan dukungannya kepada

penulis.

9. Kepada seluruh teman-teman Mahasiswa Sejarah USU, terkhusus stambuk 2009 : Roni

(11)

Dara mama, Toti, Sinta, Mifany, Roventina, Rona, Ita, Humala, Gian, Sigmer, Duo

Saddam, Muklis, Andri, Philip, Saut, Swandi, Andi, Adinova, Rijal, dan Poli.

Terimakasih untuk semua kebahagiaan dan kekonyolan yang kita lakukan semasa kuliah,

tidak akan pernah penulis lupa akan semuanya.

10.Terimakasih yang terkhusus saya ucapkan kepada pria yang sangat saya cintai dan kasihi

Roni Franata Tarigan untuk segala cinta yang menjadi motivasi, semangat, bantuan, yang

tak henti-hentinya kamu berikan selama ini. Terimakasih juga kepada bengkila terkasih

bapak Tavip Tarigan untuk nasihat dan bantuan mobil “alpard” merah yang disediakan

untuk membantu penelitian ini serta kepada bibi tercinta Herawati Bangun dan Sri Ulina

Bangun untuk segala nasihat dan sarannya.

Dengan rasa bahagia yang sangat mendalam penulis mengucapkan terimakasih untuk semua

pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini tidak luput dari

kekurangan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2013

(12)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang gerakan nativistik yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo terhadap kedatangan kolonial Belanda. Perlawanan muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap pengaruh baru yang mengkhawatirkan tergesernya dan memudarnya nilai-nilai sosial, budaya, tatanan kehidupan lama yang telah kondusif. Terutama religi pemena yang saling berkaitan satu sama lain dengan adat-istiadat dan sistem kekerabatan, pemena merupakan kepercayaan leluhur masyarakat Karo, dikhawatirkan akan tergeser dengan datangnya pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda. Demikian juga halnya dengan sistem kepemilikan tanah, tanah merupakan lahan bertani yang menopang perekonomian masyarakat Karo Dataran Tinggi dikhawatirkan akan berubah serta pemanfaatannya akan dialihkan menjadi lahan perkebunan. Pendidikan dengan nilai barat dikhawatirkan pula akan mengikis minat akan pengetahuan aksara Karo. Seluruh kekhawatiran ini akhirnya mendorong Garamata melakukan perlawanan yang disebut dengan perlawanan nativistik.

(13)

DAFTAR ISTILAH

Anak Beru : Penerima Dara

Aras : Bagian dangkal sungai

Begu Kuta : Roh dari seseorang yang sudah meninggal dalam suatu desa

Begu Jabu : Roh dari seseorang yang sudah meninggal dalam suatu keluarga

Buat- buaten : Sedang diusahai

Daliken si telu : Tiga kekerabatan

Dibata Ni Idah : Tuhan yang terlihat

Devide Et Impera : Politik adu domba

Ercibal : Meletakkan sesajian

Gancih Abu : Pernikahan menggantikan saudara yang meninggal

Guru Si baso : Dukun

Kalimbubu : Pemberi Dara

Kesain : bagian dari desa

Kuta : Desa

Landshcap : Daerah taklukan

Mama : Paman

Mate Sada Wari : Meninggal tiba-tiba

Merga : Marga yang diperoleh dari ayah

Merga Silima : Marga orang Karo yang terdiri dari lima

Namo : Bagian dalam sungai

Nativisme : paham yang menjunjung tinggi nilai yang sudah ada terdahulu

Niktik Wari : Melihat hari baik berdasarkan penanggalan Karo

Opporttuitteits beginsel : Pengampunan secara umum bagi pemberontak Belanda

(14)

Pajuh-pajuhen : Tempat meletakkan sesaji

Pemena : Kepercayaan tradisional Karo

Penghulu : Pemimpin daerah

Perumah Begu : Upacara memanggil arwah orang meninggal

Pur-pur Sage : Upacara perdamaian

Senina : Satu marga ataupun sub-marga

Si Manteki Kuta : Pendiri sebuah desa

Singuda : Bungsu

Sintua : Sulung

Tuah Kalimbubu : Berkah dari pemberi dara

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang gerakan nativistik yang dilakukan oleh Garamata di Dataran Tinggi Karo terhadap kedatangan kolonial Belanda. Perlawanan muncul sebagai akibat dari penolakan terhadap pengaruh baru yang mengkhawatirkan tergesernya dan memudarnya nilai-nilai sosial, budaya, tatanan kehidupan lama yang telah kondusif. Terutama religi pemena yang saling berkaitan satu sama lain dengan adat-istiadat dan sistem kekerabatan, pemena merupakan kepercayaan leluhur masyarakat Karo, dikhawatirkan akan tergeser dengan datangnya pengaruh agama Kristen yang dibawa oleh kolonial Belanda. Demikian juga halnya dengan sistem kepemilikan tanah, tanah merupakan lahan bertani yang menopang perekonomian masyarakat Karo Dataran Tinggi dikhawatirkan akan berubah serta pemanfaatannya akan dialihkan menjadi lahan perkebunan. Pendidikan dengan nilai barat dikhawatirkan pula akan mengikis minat akan pengetahuan aksara Karo. Seluruh kekhawatiran ini akhirnya mendorong Garamata melakukan perlawanan yang disebut dengan perlawanan nativistik.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada abad ke-19 Belanda sudah menguasai Sumatera Timur dan telah menjadikan wilayah

ini menjadi lahan perkebunan. Daerah Deli dan Langkat telah dijadikan dan dimanfaatkan

menjadi lahan perkebunan. Pada saat Belanda telah menguasai Langkat dan Deli,

bangsal-bangsal perkebunan tembakau milik Belanda banyak yang dibakar oleh orang-orang Karo terkait

dengan Perang Sunggal. Perbuatan ini membuat orang-orang Karo dianggap tidak beradab oleh

Belanda, dan memunculkan niat mereka mengubah sikap tidak beradab ini dengan melaksanakan

misi kristenisasi, sekaligus pasifikasi wilayah kekuasaan Belanda ke Dataran Tinggi Karo

menjelang awal abad ke 2O.

Pasifikasi wilayah Kolonial dan intervensi ini terjadi berketepatan saat terjadinya konflik

bersaudara antara Pa Mbelgah Purba dari desa Rumah Kabanjahe dengan Pa Pelita Purba dari

desa Lau Cih (Katepul) sedang berlangsung. Pada saat konflik terjadi Pa Pelita meminta bantuan

pada Belanda. Dengan dalih ingin membantu mendamaikan, maka Belanda ikut campur dalam

persoalan ini.

Masih terkait dengan konflik antara Pa Mbelgah dengan Pa Pelita, Garamata pun ikut

terseret dalam arus orbit konflik dengan Belanda. Sistem kekerabatan yang telah terjalin sebagai

hubungan anak beru dengan kalimbubu, membuat posisi Garamata sebagai kalimbubu merasa

berkewajiban terlibat dalam masalah yang sedang dialami anak berunya sesuai aturan dalam

sistem kekerabatan orang-orang Karo.

Selain dari konflik yang terjadi antara dua bersaudara marga Purba ini, Garamata juga

(17)

berada di Langkat dan Deli. Di wilayah tersebut, tanah yang selama ini telah dimanfaatkan

sebagai lahan bertani untuk mencari nafkah telah diambil alih dan dijadikan oleh Belanda

menjadi lahan perkebunan, sehingga mereka kehilangan tanah sebagai tempat bertani.

Garamata khawatir hal yang sama dengan di Langkat dan Deli akan terjadi di Dataran

Tinggi Karo. Namun, selain kekhawatiran tersebut Garamata juga khawatir dan mulai terusik

dengan masuknya Kristenisasi melalui kedatangan seorang Pendeta yang bernama Guillaume.

Agama Kristen dianggap oleh beliau akan mampu merusak tatanan sistem kepercayaan

tradisional orang Karo yang telah membudaya,yaitu religi pemena. Demikian pula halnya dengan

pendidikan, pendidikan dengan nilai-nilai Barat yang mulai diperkenalkan ke tengah masyarakat

Karo dianggap dapat merusak nilai-nilai dan sistem pendidikan lama.

Terusik dan khawatir bahwa nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Karo di Dataran

Tinggi akan berubah akibat pengaruh yang dibawa oleh Kolonial Belanda, Garamata kemudian

melakukan gerakan sosial nativistik dengan menantang kedatangan Belanda.

Garamata melihat niat pasifikasi wilayah kolonial serta misi kristenisasi ini tentu akan

mengusik kenyamanan aliran Pemena dan sistem kekerabatan yang sudah berurat dan berakar

sesuai adat istiadat karo. Hal inilah motivasi lain menyebabkan kenapa Garamata melakukan

perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Garamata adalah sosok yang kuat, berwibawa dan kharismatik, namun dari sosoknya yang

kuat, berwibawa dan kharismatik tersebut, ada perjuangan penting yang tidak boleh terlupakan,

yakni tentang perjuangannya mempertahankan kepercayaan dan religi pemena, sistem

kekerabatan dan adat istiadat. Perjuangan dalam mempertahankan pemena tersebut merupakan

(18)

terutama religi pemena, untuk mempertahankan tradisi dan kultur masyarakat Karo di Dataran

Tinggi.

Pemena dahulu juga sempat dinamai dengan perbegu, namun setelah Belanda masuk ke

Dataran tinggi Karo dengan misi keagamaan di samping misi pasifikasi wilayah Kolonial, maka

ada stigma negatif yang dilekatkan oleh Belanda pada perbegu. Penganutnya disebut sebagai

orang yang memelihara setan, ”begu ganjang” dan lain-lain yang berkonotasi negatif. Hal ini

dilakukan agar pemeluk pemena mau meninggalkan kepercayaannya dan memeluk agama

kristen. Saat stigma negative terhadap perbegu mulai dilekatkan, terlalu banyak tekanan yang

didapat oleh orang-orang Karo sehingga akhirnya diganti kembali namanya menjadi pemena.

Garamata adalah salah satu penganut pemena dan sangat mempertahankan aliran

kepercayaannya. Saat Belanda masuk ke Dataran Tinggi Karo dengan misi kristenisasi, maka

Garamata merasa kepercayaan dan adat istiadat serta kekerabatan mereka mulai terusik dan

terancam disintegrasi. Perjuangan mempertahankan pemena, merupakan bagian penting dalam

perjuangannya sebagai sebuah gerakan nativistik, yang tidak boleh dilupakan. Bagaimana

Garamata dalam mempertahankan eksistensi kepercayaan dan sistem sosial serta kekerabatannya

akan penulis jadikan sebagai objek dalam penulisan skripsi ini dengan judul GARAMATA :

Sebuah Gerakan Nativistik di Dataran Tinggi Karo.

Atas dasar inilah tentunya akan dikaji lebih mendalam serta lebih terperinci lagi tentang

apa saja bentuk-bentuk nativistik yang dilakukan oleh Garamata terhadap pemerintah kolonial

Belanda, sehingga kita dapat melihat proses perubahan sosial dan budaya yang terjadi di

(19)

1.2 Rumusan Masalah

Sebelum membuat sebuah tulisan ada baiknya dibuat batasan atau rumusan masalah yang

hendak kita teliti. Hal ini dimaksudkan sebagai landasan utama agar dapat lebih mudah untuk

mencari data-data yang dibutuhkan dalam penyelesaian tulisan ini. Dengan adanya rumusan

masalah yang tersusun baik, maka penulisan sebuah karya tulis akan lebih terarah dan tersusun

secara sistematis. Sebaliknya rumusan tersebut akan mempermudah penelitian dalam upaya

menghasilkan penulisan yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan dalam

masalah-masalah sebagai berikut :

1. Apa latar belakang Garamata mempertahankan pemena ?

2. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Garamata?

3. Bagaimana akhir eksistensi pemena itu sendiri dalam diri Garamata dan

masyarakat Karo?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan

ini, maka selanjutnya kita akan dapat memahami mengenai hal yang menjadi tujuan penelitian

ini, serta manfaat yang didapatkan dari hasil penelitian ini. Untuk itu adapun tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui latar belakang Garamata mempertahankan religi pemena.

2. Mengetahui bentuk-bentuk perlawanan Garamata.

3. Mengetahui eksistensi pemena dalam diri Garamata sampai akhir hayatnya.

(20)

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi literatur yang bermanfaat bagi dunia

pendidikan terutama dalam bidang ilmu sejarah.

2. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti berikutnya, terutama

bahan untuk mengakumulasi tentang objek tersebut terutama tentang Garamata

3. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami

gerakan Nativistik di dataran Tinggi Karo.

1.4Tinjauan Pustaka

Dalam setiap penulisan karya ilmiah sangat diperlukan keakuratan data, sehingga

menonjolkan sisi objektifitas data. Untuk itu, penting bagi penulis menggunakan beberapa

referensi ataupun literatur yang mendukung keberadaan sebuah fakta yang dapat dijadikan

pedoman penulisan tentunya. Untuk memperoleh hasil yang objektif seperti yang diharapkan,

maka selayaknya pula penulis menggunakan sumber yang berkaitan dengan objek. Dalam hal ini

penulis menggunakan beberapa buku panduan dasar yang menimbulkan gagasan, konsep, teori

dan mengarah pada pembentukan hipotesa serta sumber informasi atau pendukung tulisan yang

akan dibuat.

Brahma Putro, dalam Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman (1995) mengatakan bahwa

pemena dahulu sempat disebut perbegu. Dalam buku tersebut juga dituliskan tentang sejarah

penyebutan perbegu dari segi sejarah menurut pandangannya. Dari sisi sejarah yang

diungkapkan oleh beliau adalah logis bila ada kemungkinan pemena punya keterkaitan yang

sangat dekat dengan Hindu. Dalam agama Hindu ada dikenal sebuah sekte yang disebut sekte

Ciwa. Sekte Ciwa mempunyai dasar ajaran yakni kitab Weda Smtri yang ditulis oleh Maharesi

(21)

sudah dipengaruhi oleh sekte Ciwa, popularitas Maharesi Brgu menonjol dan diyakini

sepenuhnya di daerah Karo sehingga nama Brgu dikeramatkan menjadi nama

perbegu/sipelebegu.1

Ir. Brontak Bangun dan Ir. Perdana Ginting dalam bukunya yang berjudul Kiras Bangun

(Garamata)Pahlawan Nasional Dari Tanah Karo. Dalam buku tersebut dituliskan bagaimana

tentang kehidupan Garamata, tetapi masa kecilnya tidak banyak dibahas dalam buku ini, selain

itu dari buku ini juga dapat diketahui bagaimana Garamata mendapat pendidikan bahasa Melayu,

namun beliau lebih banyak diajari oleh ayahnya tentang adat istiadat orang-orang Karo.2

Ir. Perdana Ginting dalam bukunya yang berjudul Kiras Bangun (Garamata) Melawan

Penjajahan Belanda di Tanah Karo dan Aceh menuliskan tentang bagaimana proses perjuangan

Garamata dalam melawan penjajahan Belanda dengan melintasi provinsi dan agama sampai ke

Aceh. Buku ini dengan jelas menguraikan perjuangan Garamata dalam menolak kedatangan

Belanda, serta bagaimana Garamata mampu menggalang kekuatan lintas provinsi.3

Ir. Perdana Ginting dalam tulisannya yang berjudul Hasil Seminar Nasional Perjuangan

Kiras Bangun (Garamata) Melawan Penjajah Di Tanah Karo juga menuliskan tentang

bagaimana perjuangan Garamata di Dataran Tinggi Karo, namun berbeda dengan buku yang

ditulis beliau terdahulu, buku ini sebenarnya merupakan kumpulan hasil makalah seminar

tentang Garamata. Pada seminar tersebut diundang pula sejarawan- sejarawan dari berbagai

lembaga dan universitas, seperti Taufik Abdullah, T. Ibrahim Alfian, Payung Bangun, T.

1 Brahma Putro, Sejarah Karo Dari Zaman Ke Zaman Jilid I, Medan : Ulih Saber, 1998, hal. 35.

2

Brontak Bangun dan Perdana Ginting, Kiras Bangung (Garamata) Pahlawan Nasional dari Tanah Karo, Bekasi : Kesaint Blanck, 2008, hal. 16.

3

(22)

Luckman Sinar, Jadiaman Perangin-angin, dan Thalib Akhbar. Dalam seminar ini terungkap pula

bagaimana pandangan tokoh agama tentang sosok Garamata. Buku ini sangat membantu penulis

dalam penyelesaian tulisan ini karena memberi banyak informasi tentang Garamata.

Drs. Tridah Bangun dalam bukunya yang berjudul Adat Istiadat Karo menyebutkan bahwa

orang Karo mempunyai kepercayaan leluhur yang mempunyai fokus kepercayaan terhadap tendi.

Orang Karo disebutkan mengenal tendi sebagai sesuatu yang mampu melindungi manusia yang

masih hidup. Tendi orang yang sudah meninggal disebut begu.4

4

Tridah Bangun, Adat Istiadat Karo : Jakarta, Yayasan Merga Silima, 1990,hal. 24

Persoalan tentang dibata ni idah

adalah persolan yang terkait dengan adat istiadat, yakni tentang sistem kekerabatan rakut si telu.

Dalam sistem kekerabatan ini, posisi kalimbubu merupakan posisi yang paling dihormati sebagai

dibata ni idah.

Michael Adas dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil Tokoh dan Gerakan Milenarian

Menentang Kolonialisme Eropa. Buku ini berisi tentang kisah perjuangan melawan

kolonialisme Eropa yang ingin mengubah keadaan yang sudah tertata baik pada suatu Negara

dan memasukkan budaya baru. Buku ini membantu saya dalam memahami apa yang sebenarnya

membuat gerakan nativisme melakukan perlawanan terhadap nilai-nilai baru yang dianggap

dapat merusak nilai-nilai dan tatanan lama yang telah kondusif sebagai sebuah peradaban

(23)

1.5Metode Penelitian

Metode penelitian adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan sebagai suatu patron

teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah dimana suatu proses berupa

aturan-aturan yang dikonsep untuk membantu secara efektif untuk mendapatkan kebenaran

sejarah.5

5

Louis Gooschalk, Mengerti Sejarah( terjemahan Nugroho Notosusanto). Jakarta : UI PRESS, 1986, hal. 143

Penulisan sejarah deskriptif-analitis harus melalui tahapan demi tahapan. Dalam metode

sejarah ada empat tahapan yang harus dilakukan : pertama heuristik (pengumpulan sumber);

kedua verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sejarah); ketiga interpretasi (analisis, sintesis)

keempat adalah historiogafi (penulisan).

Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, pengumpulan sumber-sumber yang

terkait dengan objek penelitian dari berbagai sumber penelitian kepustakaan (library research)

dan penelitian lapangan (field research). Sumber tersebut merupakan sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber primer dapat dibagi dua, yang pertama berupa dokumentasi dan arsip-arsip

dan yang kedua adalah sumber lisan berupa wawancara yang langsung terhadap orang yang

paham terhadap objek tulisan.

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi). Setelah semua yang dibutuhkan terkumpul,

dilanjutkan dengan kritik sumber. Artinya keabsahan sumber dipertanyakan melalui pendekatan

intern dan ekstern. Dalam pendekatan intern yang harus dilakukan adalah menelaah dan

memverifikasi kebenaran dari “dalam”, yaitu isi dari sumber atau fakta sumber, baik yang

bersifat tulisan (buku,artikel,laporan dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara dan

(24)

Kritik ekstern dilakukan dengan cara memverifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek

“luar” dari sumber sejarah. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan

yang menjurus ke arah objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keaslian dan

keobjektifannya, tanpa ada subjektifitas dalam hasil penulisan.

Langkah ketiga yang dilakukan adalah interpretasi, setelah data dikritik maka penulis

melakukan penafsiran atau penganalisisan terhadap hasil dan kritik sumber. Proses interpretasi

bertujuan untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber, walaupun kita ketahui tidak akan

dapat dihilangkan sepenuhnya, interpretasi ini dapat dikatakan sementara sebelum penulis

membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Tahap yang terakhir adalah historiografi, tahapan ini berisi tentang penulisan, pemaparan

atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap penelitian sejarah yang telah dilakukan.

Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan menganalisis

setiap data dan fakta untuk mendapatkan penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi

juga merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah.6

Ketika menganalisis berbagai peristiwa dan fenomena masa lalu, sejarawan menggunakan

konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan dengan objek kajian. Hal ini

dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik

ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling berkaitan antara satu dengan yang Layaknya penelitian ilmiah, hasil

penulisan penelitian sejarah hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses

penelitian, sejak dari awal (heuristik) sampai pada tahapan akhir yaitu penarikan kesimpulan,

sehingga dapat dikatakan penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis.

6

(25)

lain.7 Berdasarkan penelitian sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitian yang

berlangsung sesuai dengan mekanisme yang dipergunakannya atau tidak, apakah sumber dan

data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki keabsahan yang memadai atau tidak,

jadi dengan penelitian sejarah itu akan dapat ditentukan mutu penelitian dan penulisan sejarah itu

sendiri.8

7

Kuntowijiyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : Bentang Budaya, 1995,hal. 95

(26)

BAB II

STRUKTUR SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT KARO

2.1 Domisili Orang Karo

Jauh sebelum kedatangan Belanda, orang-orang Karo sudah bermukim dan mendiami

sebagian besar daerah Sumatra Timur, wilayah ini belakangan kita kenal telah berubah menjadi

Provinsi Sumatra Utara. Pada awalnya orang-orang Karo mendiami wilayah pegunungan yang

kita kenal sebagai Dataran Tinggi Karo.

Bentuk Dataran Tinggi Karo mirip sebuah kuali yang sangat besar, wilayahnya dikelilingi

oleh pegunungan dengan ketinggian 140 sampai 1400 m di atas permukaan laut, terhampar

disepanjang pegunungan Bukit Barisan serta terletak di antara koordinat 20050’ L.U, 3019’ L.S,

97055’-98038’B.T. Di antara gunung-gunungnya yang terkenal adalah : di sebelah Utara adalah

Gunung Barus, Pinto, Sibayak, Simole dan Sinabung ; di sebelah Selatan ada Gunung Sibuaten

dan dari semuanya tersebut terdapat dua gunung berapi yaitu Gunung Sibayak dan Sinabung.9

9

Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi dan Enterpreneurship Masyarakata Karo Pasca Revolusi, Medan : USU Press, 2004,hal. 29

Kondisi Geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dan dua Gunung Berapi, menjadikan

wilayah ini subur oleh zat-zat yang berasal dari Gunung tersebut. Kondisi tanah yang subur

memungkinkan masyarakat Karo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai petani

dengan bercocok tanam. Hasil dari pengolahan pertanian dimanfaatkan untuk pemenuhan

(27)

Kendati pada awalnya mendiami pegunungan yang memiliki kesuburan tanah yang

memungkinkan menanam berbagai tanaman untuk kebutuhan hidup, namun ternyata hasil dari

alam pegunungan itu saja tidak mampu memenuhi segala kebutuhan hidup masyarakat Karo di

Dataran Tinggi. Terdesak oleh kebutuhan yang tidak mampu dipenuhi dengan mengandalkan

hasil yang mampu diproduksi oleh wilayah tempat tinggalnya menyebabkan orang-orang Karo

dari Dataran Tinggi turun ke daerah pantai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada awalnya

interaksi yang dilakukan oleh orang-orang Karo dari gunung semata untuk melakukan barter

terhadap kebutuhan yang tidak mampu dihasilkan, terutama garam. Lambat laun akhirnya

interaksi ini membuat munculnya pemukiman baru sepanjang jalur pegunungan ke daerah pantai

seiring perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk, sehingga secara evolutif mereka

mulai menetap di sepanjang jalur pantai Barat kemudian ke Timur.

Melalui proses yang panjang akhirnya orang-orang Karo gunung tersebar kebeberapa

wilayah. Adapun akhirnya wilayah yang didiami oleh orang-orang Karo dimulai dari Sipispis

sekitar Tebing Tinggi sebelah Utara menyusuri pantai sampai ke Langkat, kemudian ke Selatan

daerah Kabupaten Karo sekarang, dan Tiga Lingga (Kabupaten Dairi sekarang) terus ke

Simalungun Atas lalu menyambung kembali ke Sipispis.10

10

Tridah Bangun dan Hendri Chairuddin, Kilap Sumagan: Sebuah Biografi Slamat Ginting , Jakarta: Haji Mas Agung, 1994, hal. 8

Termasuk di sepanjang Kali Alas dan

Karo Baluren, jalan niaga ke pantai Barat sebelum jalur niaga ke pantai Timur ramai pada

pertengahan abad ke 18.

Gambaran tentang domisili orang Karo yang menyebar juga digambarkan oleh J.H Neuman

dalam sebuah bukunya. Dikatakan oleh J.H Neuman adapun wilayah pemukiman mereka adalah

(28)

“wilayah yang didiami oleh suku-suku Karo dibatasi sebelah Timur oleh

pinggiran jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan

kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu bila

memasuki wilayah Langkat), di sebelah Barat dibatasi oleh Gunung Sinabung dan

di sebelah Utara wilayah meluas sampai ke dataran rendah Deli dan Serdang.”11

a.Kabupaten Karo

Jadi masyarakat Karo, sebelum kedatangan Belanda sudah tersebar luas ke beberapa

wilayah. Bukan hanya di Dataran Tinggi Karo yang kita kenal dengan Kabupaten Karo sekarang

ini, namun menyebar luas ke wilayah lain yang disebut masyarakat Karo dengan Taneh Karo.

Taneh Karo bagi orang Karo mempunyai makna sebagai tanah yang didiami oleh orang-orang

Karo.

Belakangan setelah merdeka dan dengan telah terstrukturnya wilayah dengan baik,

maka domisili orang Karo sekarang ini berada pada beberapa wilayah pemerintahan

sebagai berikut :

b. Kabupaten Dairi, yakni : Kecamatan Tanah Pinem dan Kecamatan Tiga Lingga

c.Kabupaten Deli Serdang, yakni : Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba,

Kecamatan Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Sibolangit, Kecamatan

Pancur Batu, Kecamatan Namo Rambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru,

Kecamatan STM Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan

Kecamatan Sibiru-biru.

11

(29)

d. Kabupaten Langkat, yakni : Kecamatan Batang Serangan, Kecamatan Bahorok,

Kecamatan Selapin, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai, Kecamatan Sungai Bingai,

dan Kecamatan Stabat.

e.Sebagian kecil Kabupaten Aceh Tenggara, yakni Kecamatan Lau Sigala-gala dan

Kecamatan Simpang Simadan.

f.Sebagian daerah Kotamadya Medan

2.2 Sistem Kekerabatan Suku Karo

Indonesia yang terhampar luas dari Sabang hingga ke Merauke memiliki etnis dan budaya

yang heterogen Setiap suku di Indonesia sudah tentu mempunyai kebudayaan masing-masing.

Banyak para ahli yang telah mendefenisikan pengertian tentang kebudayaan. Seorang ahli

kebudayaan yang bernama Van Peursen menyebutkan, “kebudayaan meliputi segala manifestasi

dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti misalnya : Agama,

Filsafat, Ilmu Pengetahuan, Tata Negara dan lain sebagainya”.12

Ahli lain yang bernama CH. Usman juga menyebutkan pendapatnya tentang kebudayaan.

Ia menyebutkan bahwa kebudayaan adalah segala hasil pemikiran dan usaha manusia yang dapat

dikenali paling sedikit mempunyai tiga wujud, yakni : kompleks gagasan, konsep dan pikiran

manusia, kemudian kompleks aktivitas yang dapat diamati sebagai interaksi manusia dalam

masyarakat yang kemudian disebut sebagai sistem sosial serta wujud sebagai benda yang dapat

diraba, seperti misalnya bangunan dan peralatan.13

12

Tridah Bangun, Op.Cit.hal. 1

13

(30)

Terlepas dari banyaknya pendapat ahli yang memberikan pengertian dan pandangan dari

kebudayaan, namun pada dasarnya bahwa kebudayaan itu merupakan hasil karya manusia yang

sudah bisa diterima secara umum oleh masyarakat dan dipakai sebagai sebuah acuan. Budaya

suatu kelompok masyarakat menunjukkan bagaimana tata cara dan tingkah laku mereka untuk

mematuhi norma maupun kaidah-kaidah serta aturan-aturan konvensional yang telah berproses.14

Atau telah menjadi tradisi dalam kurun waktu yang lama dan diwariskan secara turun temurun,

demikian juga tentang tinggi rendahnya budaya masyarakat, tercermin dalam materi-materi

budaya mereka yang ada.15

Selain merga silima seperti yang sudah disebutkan di atas, masyarakat Karo juga saling

terikat satu sama lain dalam sebuah sistem yang dikenal dengan kekerabatan

Dari pemikiran-pemikiran ini dapat pula kita pahami bahwa masyarakat Karo juga

memiliki kebudayaan yang diterima oleh masyarakatnya untuk dipakai sebagai acuan hidup.

Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut berupa sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan ini

muncul erat kaitannya dengan keberadaan lima marga di masyarakat Karo. Adapun kelima

marga tersebut adalah : Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Perangin-angin. Kelima

marga ini masih memiliki masing-masing sub-marga tersendiri

Walaupun suku Karo memencar secara meluas diberbagai wilayah dan tempat yang

berbeda namun secara esensi budaya mereka sama. Salah satunya adalah sistem kekerabatan

yang mengikat dan mempertautkan satu sama lain. Sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo

dikenal dengan nama merga silima, Rakut Sitelu dan tutur si waluh . Segala aspek dalam sistem

kekerabatan pada masyarakat Karo berkaitan dengan Marga.

14

Wara Sinuhaji, Op.Cit. hal. 31

15

(31)

Rakut Sitelu terdiri dari Senina, Anak Beru dan Kalimbubu.

1. Senina

Senina secara singkat dapat diartikan memiliki posisi yang sama (sekundulen). Namun

senina secara lebih luas lagi sebenarnya merupakan orang-orang yang mempunyai

hubungan marga ataupun sub marga yang sama, yang mempunyai hubungan marga atau

sub marga ibu juga sama yang disebut senina sepemeren, serta yang mempunyai marga

ataupun sub marga istri yang sama yang disebut senina separibanen.

2. Anak Beru

Anak Beru pengertiannya dalam masyarakat Karo boleh diartikan sebagai pengambil dara

atau anak perempuan. Namun anak beru secara lebih luas

sebenarnya merupakan keluarga yang anak laki-lakinya sudah menikahi anak perempuan

keluarga tertentu.

Anak Beru terbagi ke dalam beberapa kelompok seperti:

a. Anak Beru Ampu : yaitu pria yang menikahi anak perempuan dari satu

keluarga.

b. .Anak Beru Ipupus : yaitu anak dari saudara perempuan ayah kita ataupun anak

dari turang (saudara perempuan)

c. Anak Beru Cekoh Baka : yaitu anak dari anak beru ipupus yang menikahi anak

pamannya.

d. Anak Beru Cekoh Baka Tutup : yaitu anak dari Anak Beru Cekoh Baka yang

(32)

3.Kalimbubu

Kalimbubu adalah posisi yang paling dihormati dalam sistem kekerabatan orang Karo,

bahkan kalimbubu itu disebutkan juga sebagai Dibata ni Idah ( Tuhan Yang Terlihat).

Kalimbubu inilah yang juga terkait dengan apa yang ada dalam kepercayaan suku Karo

yang kita kenal dengan sebagai pemena. Kalimbubu mempunyai pengertian yang sangat

luas dan terbagi atas beberapa kelompok namun secara umum boleh kita artikan sebagai

keluarga yang anak perempuannya akan diambil anak beru menjadi menantu dirumahnya.

Adapun beberapa kelompok kalimbubu adalah sebagai berikut : kalimbubu simada dareh,

kalimbubu iperdemui, kalimbubu bapa, kalimbubu nini, kalimbubu tua, dan puang

kalimbubu.

Kemudian tutur si waluh. Tutur si waluh sendiri masih sangat berkaitan dengan adanya

lima marga tersebut. tutur si waluh terdiri dari sembuyak, senina, separibanen, sipemeren, anak

beru, anak beru menteri, kalimbubu dan puang kalimbubu.

2.3 Sistem Kepercayaan

Jauh sebelum kedatangan agama-agama modern saat ini, masyarakat Karo telah memiliki

religi sebagai sebuah kepercayaan. Adapun sistem kepercayaan tersebut dikenal dengan nama

pemena atau perbegu.

Pemena adalah budaya dalam bentuk kepercayaan sebaliknya kepercayaan adalah yang

segala aspeknya terdiri dari budaya. Secara etimologis pemena berarti yang pertama. Sesuai

dengan namanya pemena itu sendiri adalah sebuah kepercayaan yang pertama sekali ada dan

(33)

Berkaitan dengan pemena, bahwa religi ini sering dikaitan dengan agama Hindu, namun

terlepas dari itu semua, pada kehidupan masyarakat Karo pemena diterima dan diyakini penuh

sebagai sebuah kepercayaan pada masyarakat Karo. Tidak pernah jelas kapan tepatnya aliran

kepercayaan pemena masuk ke tengah-tengah kehidupan suku Karo serta belum pernah

ditemukan bukti yang akurat menyebutkan bahwa aliran kepercayaan pemena ini dibawa oleh

siapa, namun yang jelas bahwa pemena pernah menjadi kepercayaan suku Karo sebelum agama

samawi atau Islam dan Nasrani berpengaruh dan merubah total kepercayaan mereka.

Kepercayaan pemena merupakan kepercayaan yang meyakini adanya kekuatan diluar

kekuatan manusia, walau tidak terlihat namun bisa dirasakan. Kekuatan tersebut berasal dari

begu kuta dan begu jabu, bukan kepada Tuhan.Begu Kuta adalah roh-roh dari orang yang sudah

meninggal di kampung yang ditempati masyarakat tersebut. Sedangkan Begu Jabu adalah

roh-roh dari keluarga kita yang sudah meninggal dunia. Roh dari orang yang sudah meninggal

tersebut dipercayai akan menjaga manusia yang masih hidup dalam melakoni perjalanan

kehidupannya. Kekuatan terbesar diyakini berasal dari roh manusia yang meninggal karena suatu

kejadian, tanpa melalui proses sakit terlebih dahulu. Dalam bahasa Karo roh ini disebut dengan

begu mate sada wari.

Manusia yang masih hidup, apabila ingin berhubungan dengan kekuatan roh-roh tersebut

haruslah melalui seorang dukun, yang dikenal dengan sebutan Guru Sibaso. Melalui Guru Sibaso

dilakukan ritual perumah begu (memanggil roh orang yang sudah meninggal). Perumah begu

biasa dilakukan saat sehari setelah seseorang meninggal dunia atau bisa juga dilakukan pada

(34)

Roh dari orang yang meninggal dipercaya masih hidup, dekat dengan manusia yang hidup,

walaupun di alam yang sudah berbeda. Berawal dari kepercayaan ini, maka pada setiap

perkampungan orang Karo, ada dibuat semacam tempat untuk meletakkan sesaji sebagai

persembahan. Tradisi ini dalam masyarakat Karo dikenal dengan nama ercibal. Tempat untuk

memberi sesaji yang dibuat pada setiap perkampungan itu dinamai pajuh-pajuhen.

Pajuh-pajuhen biasanya dilakukan di bawah pohon beringin, dan dalam masyarakat Karo dikenal

dengan nama batang jabi-jabi. Alasan mengapa pohon beringin dijadikan sebagai tempat

pajuh-pajuhen, karena pohon beringin disimbolkan sebagai kehidupan bahagia setelah kematian yang

belakangan dikenal penganutnya sebagai surga. Akarnya sebagai tempat duduk menyandar

(kundul-kundul), daunnya sebagai tempat jolah-jolah (ayunan). Simbol lain yang memakai

tumbuhan adalah penyimbolan tentang kehidupan yang sangat menyiksa setelah kematian yang

belakangan dikenal dengan sebutan neraka. Penyimbolan neraka dalam konteks kepercayaan ini

memakai simbol pohon jeruk purut (rimo mukur).

Dan bentuk lain dari adanya kepercayan orang-orang Karo akan kehidupan roh yang sudah

meninggal adalah dengan membawakan makanan ke kuburan orang yang sudah meninggal,

terutama pada hari keempat setelah seseorang meninggal dunia.

Sementara kaitan pemena dengan sistem kekerabatan dalam suku Karo tersebut bisa terlihat

dalam penempatan kalimbubu sebagai Tuhan yang dapat dilihat. Perlakuan istimewa tersebut

dapat kita lihat saat seorang bayi lahir, maka harus dilakukan proses potong rambut yang

dilakukan oleh kalimbubu dalam hal ini adalah mama (paman). Tradisi potong rambut oleh

pamannya dimaksudkan agar si bayi tersebut dapat berkat dari pamannya, bukan dari Tuhan

seperti yang diyakini agama modern saat ini. Terlihat jelas bahwa dalam pemena siapa yang

(35)

Tradisi lain terlihat adalah saat musim panen tiba. Sebagai contoh, bila ada sebuah keluarga

mempunyai tanaman padi, maka saat padi tersebut sudah dipanen, maka padi yang telah menjadi

beras harus terlebih dahulu dibawa kerumah kalimbubu beserta lauknya yang biasanya adalah

ayam. Tradisi ini juga dimaksudkan agar pada saat menanam padi berikutnya padi akan berbuah

banyak karena diberkati oleh kalimbubu atau dalam bahasa karo dikenal dengan sebutan tuah

kalimbubu.

2.4 Sistem Pemerintahan dan Sistem Kepemilikan Tanah Pra-Kolonial

Sebelum Belanda masuk ke Dataran Tinggi Karo, masyarakat Karo sudah mampu

menjalankan kehidupan dengan aturan pemerintahan yang didasarkan atas aturan adat-istiadat.

Sebuah desa biasa didirikan oleh satu marga tertentu. Marga yang mendirikan desa dikenal

sebagai si manteki kuta. Pada saat marga tertentu membuka desa baru, biasanya turut serta

membawa anak beru dan kalimbubu. Anak berunya tersebut dikenal dengan nama anak beru

kuta.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, maka di sebuah desa pada masyarakat Karo akan

dipimpin oleh yang pertama mendirikannya atau simanteki kuta. Pemimpin sebuah desa disebut

juga dengan pengulu kuta. Pengulu kuta kemudian dibantu oleh anak beru kuta dan

kalimbubunya dalam melangsungkan jalannya roda pemerintahan sebuah desa.

Apabila si pengulu kuta telah tutup usia, maka digantikan oleh putranya. Namun uniknya

dalam masyarakat karo, ada sebuah aturan yang disebut dengan sintua-singuda (sulung-bungsu).

Konsep sintua-singuda ini maksudnya adalah apabila ayah mereka yang merupakan pengulu

(36)

pengulu kuta tersebut, namun apabila anak tertua tersebut ada halangan yang menjadikan dia

tidak dapat mengambil alih tampuk pemerintahan, maka yang menggantikannya bukan anak

yang diurutan tengah. Yang menggantikan posisi yang seharusnya diduduk i oleh anak yang

paling besar atau sulung adalah anak yang bungsu.

Di posisi lain ada pula masyarakat yang tidak masuk ke dalam kategori keluarga simanteki

kuta. Mereka ini adalah orang-orang yang datang setelah desa dibuka. Kelompok ini terbagi atas

dua, yakni ginemgem dan rayap derip. Kedua kelompok ini adalah rakyat biasa yang merupakan

pendatang. Ginemgem adalah pendatang yang punya hubungan dengan kelompok simanteki kuta

melalui proses perkawinan, sedangkan rayap derip merupakan pendatang yang sama sekali tidak

mempunyai hubungan dengan kelompok simanteki kuta.

Pemerintahan diatur secara hirarki, mulai dari pemimpin dari simanteki kuta sampai rakyat

biasa yakni kelompok ginemgem dan rayap derip. Sama halnya dengan masa sekarang, hukum

dalam masyarakat Karo juga ada, namun tetap berdasar pada adat-istiadat. Pada tiap-tiap desa

dibuat semacam balai yang dipakai untuk tempat bermusyawarah mengambil sebuah keputusan

atau untuk membicarakan hukuman apa yang akan diberikan pada seorang penduduk desa yang

melakukan kesalahan. Untuk memenuhi setiap kebutuhan bersama, misalnya pembuatan balai,

maka anggarannya berasal dari hasil “patungan” seluruh penduduk. “patungan” biasa diambil

dari hasil panen penduduk.

Persoalan seputar kepemilikan tanah juga diatur berdasarkan adat-istiadat. Tanah dalam

masyarakat Karo identik dengan marga artinya tanah dimiliki oleh marga-marga yang

(37)

merupakan penyebutan bagi hunian yang lebih kecil dari desa. Desa adalah merupakan bentuk

hunian dari kesain yang semakin berkembang.

Tanah dimanfaatkan sebagai lahan untuk memproduksi segala sesuatu untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk marga pendatang biasa diberi lahan oleh simanteki kuta

dengan luas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pula. Tanah yang diberikan oleh

simanteki kuta pada masyarakat pendatang di luar kelompoknya dikenakan semacam sewa tanah

(38)

BAB III

GERAKAN NATIVISME GARAMATA

3.1 GARAMATA

Kiras Bangun adalah putera dari Tanda Bangun dan dilahirkan oleh ibu berberu Ginting.

Kiras Bangun akrab dengan nama panggilan sehari-hari Pa Ngapit Bangun alias Pa Garamata,

lahir pada 1852, di Batu Karang, sebuah desa yang sekarang termasuk Kecamatan Payung,

Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara, beliau bersaudara 6 orang. Garamata memiliki 14

orang anak yang dilahirkan oleh enam orang istri yang terdiri dari tujuh orang anak laki-laki dan

tujuh orang anak perempuan.

Dalam sistem kekerabatan dan adat-istiadat Karo dalam tradisi pemena, sistem perkawinan

poligami bukanlah merupakan hal yang tabu. Setiap pria Karo, jarang kita temukan beristri satu

orang. Salah satu tujuan pernikahan poligami adalah untuk memperluas hubungan kekerabatan.

Demikian juga halnya dengan Garamata, beliau memiliki lebih dari satu istri, yakni enam orang.

Adapun keenam istri dan anak dari Garamata adalah sebagai berikut :

a.Br. Ginting yang berasal dari desa Berastepu

b.Simpar br. Sebayang yang berasal dari desa Gunung. Simper br. Sebayang mempunyai

tiga orang anak yakni: Terupung br. Bangun, Rancap Bangun, dan Koda Bangun

c.Br. Ginting yang berasal dari desa Juhar, dan mempunyai tiga orang anak, yaitu: Batang

(39)

d.Kerja br. Ginting yang berasal dari desa Guru Benua. Kerja br. Ginting mempunyai

empat orang anak, yaitu: Releng br. Bangun, Sunggelit br. Bangun, Perentahen br.

Bangun, dan Payung Bangun

e.Sepit br. Sinulingga yang berasal dari desa Bintang Meriah. Sepit br. Sinulingga

mempunyai tiga orang anak, yaitu : Solong br. Bangun, Joman br. Bangun, dan Nembah

Bangun.

f.Selat br. Ginting yang berasal dari desa Juhar. Selat br. Ginting hanya mempunyai satu

orang anak yang bernama Langgar Bangun.

Kiras Bangun dengan nama populer Garamata, adalah warga Karo bermarga Bangun,

marga Bangun adalah pendiri desa Batukarang, dalam suku Karo disebut juga sebagai merga si

manteki kuta atau disebut sebagai pengulu di kampung. Pada masa mudanya, Garamata dikenal

sebagai seorang anak muda yang energetik, suka bertualang dan berkelana. Di luar dan di tanah

kelahirannya, Garamata dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang arif dan bijaksana, ia

sering terlibat dalam runggun (musyawarah dalam pengambilan keputusan) serta sering

dipanggil untuk terlibat sebagai juru damai bila ada orang-orang yang terlibat konflik di desanya

Batukarang maupun di desa-desa lain yang ada di Dataran Tinggi Karo bahkan lebih luas

daripada itu, Garamata juga sering menjadi juru damai dalam beberapa perselisihan yang terjadi

di Lembah Alas dan Karo Baluren, demikian juga ke Tanah Langkat dan Deli.

Garamata pernah menyelesaikan beberapa perselisihan seperti: antara Merga Kembaren

dengan Penghulu Buluh Duri di Kutabangun, antara Penghulu Mardinding, Pa Najam Sembiring

dengan Panglima Hasan dari Aceh, demikian juga pertikaian masyarakat desa Gunung dengan

masyarakat desa Pergendangen, beliau juga pernah mencegah serangan Panglima Layang Perbesi

(40)

Kutabuluh, serta mendamaikan perselisihan antara Penghulu Buluh Naman dengan Urung

Suka.16

Semasa hidupnya Garamata berjuang melawan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi

Karo. Garamata menolak kedatangn Belanda karena pada saat ia melakukan perjalanan ke daerah

Sumatera Timur seperti Deli dan Langkat,beliau menyaksikan bagaimana Belanda menguasai

daerah tersebut. Ia melihat sendiri bagaimana rasa tidak enaknya dijajah dan dikuasi bangsa lain

di wilayah kita sendiri. Garamata juga pernah menyaksikan perang Sunggal yang terkait dengan Bila dilihat dari kearifannya dalam menyelesaikan setiap konflik-konflik yang terjadi pada

orang-orang disekitarnya, maka bisa diterima akal sehat bila dikatakan pada masa itu Garamata

adalah seorang tokoh yang kharismatik yang disegani semua orang, sehingga banyak orang

menginginkan beliau menjadi menantunya, walupun beliau telah memiliki istri. Hal ini terlihat

dari riwayat pernikahan Garamata yang mempunyai istri sebanyak enam orang, keenam istrinya

tersebut berasal dari desa-desa yang berbeda pula.

Dari hasil pernikahan yang dilakukan Garamata sebanyak enam kali posisinya secara tidak

langsung menjadikannya lebih kuat dalam meningkatkan hubungan kekerabatan dengan lebih

banyak keluarga. Enam istri dalam masyarakat Karo berarti Garamata menjadi anak beru dalam

enam keluarga inti, dalam pengertian memiliki hubungan kekerabatan yang sangat luas menurut

adat-istiadat Karo.

Selain jalinan kekeluargaan yang luas, Garamata juga dikenal sebagai orang yang sangat

mencintai ilmu pengetahuan, ketika masih muda Garamata pernah mengecap pendidikan dengan

belajar bahasa Melayu di Binjai, demikian juga dengan fasih sekali beliau menguasai aksara dan

tulisan Karo.

16

(41)

penguasaan tanah. Pada saat perang Sunggal terjadi, orang-orang Karo yang datang dari Dataran

Tinggi Karo juga terlibat. Keterlibatan orang-orang dari Dataran Tinggi Karo inilah nantinya

yang menjadi salah satu latar belakang kedatangn Belanda yang mendapat perlawanan dari

Garamata. Sosok Garamata akhirnya dikenal lebih luas setelah perjuangannya melawan Belanda.

Pada abad ke 19, saat Belanda sudah menguasai beberapa daerah di Sumatera Timur seperti

Deli dan Langkat serta memanfaatkan daerah tersebut menjadi lahan perkebunan. Tanah pada

saat itu diserahkan secara mudah oleh residen Riau yang saat itu membawahi Sumatera Timur.

Sultan Deli saat itu menyerahkn daerah Mabar sampai ke hulu Delitua. Pembukaan perkebunan

ini terbilang sukses sehingga diupayakan intensifikasi yang tentunya membutuhkan modal yang

besar yang termasuk di dalamnya wilayah yang lebih luas pula. Terkait dengan inilah pada saat

itu Sultan Deli kembali memberi konsesi tanah kepada pihak perkebunan Belanda, konsesi tanah

ini meliputi wilayah Sunggal. Tindakan pemberian konsesi tanah oleh Sultan Deli ini membuat

suasana menjadi panas. Rakyat marah terhadap tindakan tersebut sehingga melakukan

perlawanan yang dikenal dengan Perang Sunggal yang meletus pada tanggal 15 Mei 1872 dan

berkelanjutan selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, atau dikenal juga dengan batak war atau

perang selimin.

Perang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman dengan melibatkan seorang panglima perangnya

yang bernama pengulu Djumaraja Surbakti yang berasal dari Dataran Tinggi Karo, perang

dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal milik Belanda serta rumah-rumah para

administratur dan asisten Belanda, sehingga menyebabkan orang-orang Belanda harus

mengungsi, tetapi pada tanggal 20 Januari 1895 Datuk Badiuzzaman dan adiknya ditangkap dan

dibuang ke Cianjur setelah sebelumnya dipenjarakan di Bengkalis Riau.17

17

(42)

Rasa primordial dan hubungan kekerabatan yang masih kuat adalah alasan menyebabkan

orang-orang Karo dari Dataran Tinggi Karo merasa perlu membantu saudaranya yang berada di

Sunggal, maka perlawanan saat itu dilanjutkan dengan cara bergerilya. Kelanjutan perlawanan

ini yang menyebabkan Belanda berpikir bagaimana cara menaklukkan dan untuk mengubah

sikap orang di Dataran Tinggi Karo tersebut yakni dengan cara memasukkan misi kristenisasi

disamping misi pasifikasi wilayah.

Misi kristenisasi serta pasifikasi wilayah Kolonial ini terjadi berketepatan ketika konflik

bersaudara antara Pa Mbelgah Purba dari desa Rumah Kabanjahe dengan Pa Pelita Purba dari

desa Lau Cih (Katepul) sedang berlangsung. Pada saat konflik terjadi Pa Pelita meminta bantuan

pada Belanda, karena merasa terdesak dan tidak mampu melawan Pa Pelita yang sudah

membawa Belanda, maka Pa Mbelgah meminta bantuan kepada kalimbubunya Garamata dari

desa Batu Karang . Dalam adat istiadat karo posisi kalimbubu itu adalah posisi Dibata ni idah

(Tuhan yang terlihat), bila pihak kalimbubu mendapat masalah, maka anak beru punya

kewajiban membantu kalimbubu demikian juga sebaliknya. Dalam hal ini, Garamata sebagai

kalimbubu merga Purba wajib membantu Pa Mbelgah Purba. Sistem kekerabatan inilah yang

melibatkan Garamata terlibat di dalam konflik dan melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Selain daripada kewajiban secara adat istiadat dalam hubungan kekerabatan, Garamata

antusias memberi bantuan pada Pa Mbelgah Purba karena Garamata melihat ada niat

tersembunyi dari bantuan yang Belanda berikan terhadap Pa Pelita Purba. Garamata melihat niat

pasifikasi wilayah Belanda serta misi kristenisasi di balik bantuan tersebut. Kedatangan Belanda

dengan misi kristenisasi dianggap oleh Garamata akan mengusik kenyamanan aliran pemena dan

sistem kekerabatan yang sudah ada dan berakar sesuai adat istiadat Karo, hal inilah yang

(43)

Sebenarnya jauh sebelum peristiwa Perang Sunggal dan kedatangan Belanda ke Dataran

Tinggi Karo yang dibawa oleh Pa Pelita, pada tahun 1873 Belanda sudah mulai melihat dan

melirik daerah tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan pengiriman tiga pendeta Belanda yaitu

Heine, Johansen dan Mohri.18

3.2Masuknya Belanda ke Dataran Tinggi Karo

Keinginan sampai ke Dataran Tinggi Karo akhirnya lebih intens

pada saat setelah terjadi perang Sunggal yang melibatkan orang-orang Karo gugung dan

mendapat jalan setelah adanya konflik bersaudara antar Pa Pelita dengan Pa Mbelgah yang

sama-sama bermarga Purba.

Selama menolak kedatangan Belanda, Garamata menghimpun kekuatan dari daerah-daerah

lain diluar Batukarang seperti dari daerah Urung Lima Senina yang meliputi desa Batu Karang,

Jandi Meriah, Nari Gunung, Penampen dan Selandi.

Sebelum Belanda datang dan menduduk i wilayah Sumatra Timur, daerah ini telah lebih

awal dikenal sebagai sebuah tempat yang subur. Masyarakat di Sumatra Timur, terutama

orang-orang Karo dan Simalungun telah menjadikan pertanian sebagai tonggak perekonomiannya

dengan menanami tanaman palawija, padi, lada dan tembakau.19

18

Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal. 26

19

Brahma Putro, Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman jilid I,Medan, Ulih Saber, 1979, hal. 81

Dalam rangka penetration

pasifiquenya di wilayah Nusantara, Belanda sudah lama terlebih dahulu menduduki Batavia

sebelum datang ke Sumatra Timur. Politik penetration pasifiquenya dilakukan dalam sebuah

misi untuk mengisi kekosongan kas dan membangun negaranya yang pada saat itu sedang

terpuruk, Belanda terpaksa melakukan intensifikasi perdagangaan dan eksploitasi hasil bumi di

(44)

Pada pertengahan abad ke 19 Belanda telah berhasil membuat Sultan Deli yang pada saat

itu Mahmud Perkasa Alam menandatangani pernyataan tanda takluk kepada Belanda. Kekuasaan

Belanda di Sumatra Timur semakin bertambah kuat setelah penandatanganan perjanjian takluk

juga diikuti oleh Sultan Serdang Basyaruddin. Penandatanagan ini secara otomatis juga

menjadikan wilayah taklukan Serdang menjadi kekuasaan Belanda. Setelah penguasaan itu

menyusul pula ditaklukkannya beberapa wilayah lain seperti : Asahan pada tanggal 2 Maret

1886, Langkat pada tanggal 21 Oktober 1885, Bilah pada tanggal 11 Agustus 1862, Kota Pinang

pada tanggal 2 Oktober 1864. Pada tanggal 15Mei 1873, Tamiang, Langkat, Deli Serdang,

Batubara, Asahan, Panai dan Bilah, Digabungkan menjadi satu wilayah Residen Sumatra Timur

yang berkedudukan di Bengkalis.20

Di daerah Deli, terdapat empat wilayah kekuasaan yang dikuasai dan mengikuti hukum

orang Karo yang dikenal dengan sebutan Urung, adapun pemerintahan keempat Urung tersebut

adalah Sunggal, Sinembah, Sukapiring dan Hamparan Perak.

Wilayah yang sudah ditaklukkan kemudian sebagian dimanfaatkan menjadi lahan

perkebunan tembakau oleh Nienheuys. Hasil dari penanaman tembakau ternyata sangat

memuaskan. Mutu tembakau Deli mempunyai kualitas luar biasa dan sangat menguntungkan

karena sangat laku di pasar Eropa. Keberhasilan ini mendorong Nienheuys untuk melakukan

intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan tembakau tersebut.

21

20

Brontak Bangun dan Perdana Ginting. Op.Cit. hal 21

21

Ibid. hal. 23

Seperti yang kita ketahui, pendiri

desa dalam masyarakat Karo, dikenal dengan nama si manteki kuta yang artinya orang pertama

(45)

dianggap sebagai identitas diri, pengaturan masalah kepemilikan tanah bukanlah pemerintah

yang berwenang, namun pembuka kampung tadi.

Terkait dengan intensifikasi dan ekstensifikasi yang dilakukan Belanda terhadap

perkebunannya, maka Sultan Deli melakukan perjanjian dengan Belanda dan menyerahkan

wilayah yang berada pada koridor penguasaan adat-istiadat Karo tersebut. Hal tersebut tentu saja

berlawanan dengan aturan kepemilikan tanah yang diatur oleh orang Karo.

Tindakan pemberian tanah oleh Sultan Deli inilah yang menjadi latar belakang terjadinya

perlawan yang dilakukan oleh orang-orang Karo. Perlawanan ini dikenal sebagai perang Sunggal

yang terjadi pada tahun 1872. Pada saat perang Sunggal terjadi, atas nama solidaritas

orang-orang Karo turun dari Dataran Tinggi Karo untuk terlibat dalam peperangan melawan Belanda.

Perlawanan dilakukan dengan membakari bangsal-bangsal Belanda. Peperangan secara terbuka

akhirnya berakhir juga setelah pimpinan perangnya, yakni Datuk Kecil, Datuk Jalil dan Sulung

Barat dijebak dan akhirnya berhasil ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Jawa. Kendati

pemimpinnya sudah diasingkan, namun perlawanan masih dilakukan oleh orang-orang Karo

dengan cara bergerilya.

Perlawanan secara bergerilya tetap dilakukan oleh orang-orang Karo untuk mengganggu

aktivitas yang dilakukan Belanda dalam perkebunannya. Untuk menghentikan perlawanan ini

Belanda berusaha menaklukkan orang-orang Karo dengan melakukan misi kristenisasi. Dengan

menyebarkan agama harapan mereka secara otomatis diajari moral dan ajaran agama yang tidak

membenarkan kekerasaan ataupun peperangan. Cara tersebut juga dianggap Belanda punya

potensi untuk menghentikan serangan secara bergerilya yang dilakukan oleh orang Karo yang

(46)

Tujuan melakukan kristenisasi serta dan sekaligus pasifikasi wilayah menuju di Dataran

Tinggi Karo yang direncanakan oleh Belanda akhirnya terbuka dan menemukan titik terang.

Pada tahun1897 terjadi sebuah pertikaian Pa Pelita Purba dengan saudaranya. Pertikaian inilah

menjadi suatu kesempatan baik bagi penetration pasifique Belanda.

3.3 Nativisme

Dalam ruang lingkup tatanan kehidupan masyarakat luas maupun kecil sudah pasti akan

terdapat kebiasaan, adat-istiadat dan norma-norma yang dipedomani sebagai aturan kehidupan

bersama. Aturan-aturan ini dipedomani sebagai warisan sosial budaya yang mengikat sebagai

konvensi di tengah-tengah masyarakat, karena memang sudah tumbuh kondusif dalam waktu

relatif lama dan mendarah daging sehingga sangat sulit lepas dari orang-orang yang telah

memahaminya dan menganutnya. Pembaharuan terhadap nilai lama apalagi nilai yang datang

dari luar pasti akan menimbulkan konflik dan mendapat perlawanan dari pihak yang khawatir

akan terjadi perubahan tersebut. Gerakan Nativistik semacam inilah yang dilakukan oleh

Garamata di Dataran Tinggi Karo ketika Belanda memperluas kekuasaannya di Sumatera Timur.

Beliau sungguh khawatir akan terjadi perubahan sosial masyarakatnya jika kolonial Belanda

dibiarkan masuk menggantikan tatanan sosial kehidupan yang lama.

Pemberontakan terhadap kekuasaan, atau perlawanan yang dilakukan oleh sekelompok

masyarakat terhadap kelompok yang melakukan penetrasi sosial budaya terjadi karena khawatir

nilai-nilai lama akan disintegrasi. Tokoh-tokoh nativisme semacam Garamata tentunya tidak

diam, beliau memobilisasi rakyatnya untuk melakukan perlawanan sekaligus menentang

(47)

Garamata, tentunya terjadi karena Belanda memasukkan pengaruhnya, terutama nilai kristiani

yang merusak religi pemena dan kekhawatiran disintegrasi sosial budaya lain seperti pendidikan

dan adat-istiadat, demikian pula bergesernya kepemilikan tanah di Dataran Tinggi Karo.

Datangnya pengaruh asing memang sering mendapat perlawanan karena akan merusak

tatanan yang sudah mapan di tengah kehidupan sebuah masyarakat. Ada beberapa kasus

pemberontakan seperti yang dilakukan Garamata di Indonesia juga terjadi di negara-negara

belahan dunia lain seperti misalnya yang terjadi di Selandia Baru, di India Tengah dan Timur, di

Afrika dan ditempat lainnya. Pemberontakan-pemberontakan seperti ini terjadi pada umunya

dilatar belakangi oleh hal yang relatif sama, yakni penolakan pengaruh yang mampu merubah

sistem sosial budaya yang sudah menjadi tradisi dan hidup di tengah masyarakat secara turun

temurun dan sudah mapan. Masyarakat berontak dan melakukan perlawanan karena menganggap

hal baru tersebut tidak sesuai dan selaras dengan yang sudah ada sebelumnya.

Ada beberapa macam gerakan tipikal ini terjadi, dalam beberapa kasus pemberontakan ada

seorang pemimpin yang secara terorganisir menghimpun kekuatan rakyat melawan dengan

memberi motivasi kenabian, pemberontakan tipikal ini menjanjikan bahwa ada suatu

kebahagiaan yang akan diperoleh melalui datangnya seorang Nabi, yang akan menyelamatkan

dan membebaskan mereka dari tekanan-tekanan pihak asing dan musuh. Gerakan yang bersifat

kenabian seperti ini dikenal dengan nama gerakan Millenarian

Dalam bentuk tipikal lain, pemberontakan terjadi karena penolakan akan pengaruh asing

yang merusak tatanan kehidupan lama disebut dengan gerakan nativistik. Gerakan ini muncul

saat sekelompok orang merasa mendapat gangguan dan tekanan dari pihak asing yang membawa

(48)

akan kehilangan sistem nilai yang sudah dianut dan akan bergesernya sistem sosial lama

menimbulkan konflik dan perlawanan yang menjurus ke arah pemberontakan.

Nativisme tidaklah menempatkan seorang tokoh menjadi seorang nabi ataupun

mempercayai bahwa akan tiba saatnya seorang figur penyelamat untuk menyelamatkan serta

mengubah nasib manusia yang mendapat tekanan dari pihak asing. Gerakan Nativisme di Karo

adalah perlawanan murni tanpa ada atribut kenabian, dilakukan oleh seorang tokoh pejuang

bernama Garamata. Beliau menolak datangnya Belanda ke Dataran Tinggi Karo karena khawatir

akan bergesernya nilai sosial dan budaya asli orang Karo akibat pengaruh masuknya Belanda.

Religi pemena yang mengandung makna amat dalam kaitannya kepada roh leluhur, sistem

kekerabatan, dan simbol-simbol mistis merupakan sasaran perubahan yang dikhawatirkan

Garamata. Perubahan hukum adat, termasuk didalamnya sistem kepemilikan tanah adalah

ketakutan yang mendorong Garamata memobilisasi rakyat dan kerabatnya melakukan

perlawanan dan penolakan kedatangan Belanda ke Dataran Tinggi Karo. Berbeda dengan

pelawanan Ratu Adil yang terjadi di beberapa wilayah. Konsep perlawanan Ratu Adil juga

menentang pada sebuah penetrasi, namun Ratu Adil menjanjikan sosok yang akan datang

sebagai penyelamat, sperti kasus Perang Diponegoro. Hal inilah yang membedakan suatu

gerakan nativistik dengan gerakan millenarian.

3.4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Nativisme Garamata

Sebelum Belanda melancarkan penetration pasifiquenya ke Dataran Tinggi Karo, di sebuah

(49)

dikenal dengan nama popular Garamata. Beliau disebut Garamata menurut keterangan dari sanak

saudaranya apabila Garamata sedang marah, maka matanya selalu akan berubah menjadi merah.

Sebagai tokoh adat sekaligus merupakan marga pendiri dan turunan pengulu Batukarang,

semasa mudanya beliau sudah sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah lain baik yang

dihuni oleh orang-orang yang bersuku Karo maupun yang diluar suku Karo, terutama Tanah

Alas, Pakpak dan Gayo. Perjalanan Garamata sampai juga ke beberapa wilayah di Sumatra

Timur yang belakangan dijadikan perkebunan oleh Belanda. Pada saat beliau mempelajari

bahasa Melayu di Binjai, dia sudah menyaksikan bagaimana orang-orang Karo sudah kehilangan

tanah yang telah dijadikan perkebunan. Demikian juga tentang perlakuan mereka terhadap kuli

kontrak yang tenaganya dieksploitasi untuk kepentingan perusahaan perkebunan.

Kegemarannya dalam melakukan perjalanan ke beberapa wilayah menjadikan Garamata

sarat dengan pengalaman dan memahami apa yang telah terjadi di wilayah ini ketika Belanda

sudah mendudukinya. Garamata juga melihat bagaimana tidak enaknya menjadi budak di tanah

sendiri serta diatur oleh bangsa lain yang merupakan pendatang sekaligus penajajah.

Oleh karena itu ketika Belanda datang ke Dataran Tinggi Karo dibawa oleh Pa Pelita

Purba, beliau sebagai kalimbubu Pa Mbelgah keberatan akan campur tangan Belanda tersebut,

karena dinilai memanfaatkan situasi pertikaian. Antusias Garamata melakukan perlawanan

sebenarnya bukan murni karena sistem kekerabatan, namun lebih dari itu sebenarnya penolakan

atas kedatangan Belanda. Garamata mulai membaca strategi yang dipakai oleh Belanda ketika

mengutus pendeta yang bernama Guillaume datang ke Kabanjahe dengan misi mengkristenkan

orang Karo agar dapat ”dijinakkan” dan ditaklukkan.

Garamata adalah seorang tokoh masyarakat, sebagai tokoh adat beliau mengetahui persis

Referensi

Dokumen terkait

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

Keberadaan penduduk lokal (Suku Karo) yang dikenal memiliki nilai adat istiadat yang kental dan pembuka wilayah Kelurahan Tiga Binanga (Host Population), bisa menerima kedatangan

Parmalim awalnya merupakan gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno suku Batak Toba yang terancam dengan masuknya agama baru yang

Hasil penelitian diperoleh bahwa Masyarakat di Kabupaten Karo dalam melaksanakan Gadai Tanah masih menganut sistem adat, hal tersebut dipengaruhi oleh adat istiadat dari

Keterangan: Salah satu faktor pendukung keharmonisan umat beragama Kristen dengan umat beragama Islam adalah adat istiadat suku Karo... Keterangan: Wawancara bersama Ibu

Beberapa faktor yang mendukung keharmonisan umat beragama di Kelurahan Tigabinanga, yakni kuatnya pengaruh adat istiadat Karo, adaptasi sosial masyarakat pendatang, toleransi

Penulisan skripsi tentang “Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen” yang berada di Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo

Kedudukan anak laki laki dan perempuan suku batak karo dalam sistem pembagian harta warisan dalam budaya adat pada masyarakat desa Manuk Mulia, sistem kekerabatan bersifat patrilineal