TESIS
MODEL SOSIALISASI NILAI KEBANGSAAN
MELALUI PELAJARAN KEWARGANEGARAAN
DI SMA MUHAMMADIYAH 1 GRESIK
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN GELAR MAGISTER SOSIOLOGI
OLEH SUJUD
NIM: 201110270211038
PROGRAM STUDI MAGISTER SOSIOLOGI
DIREKTORAT PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama : Sujud
NIM : 201110270211038
Program Studi : Magister Sosiologi
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa: 1. Tesis dengan judul: terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian ataupun keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
2. Apabila ternyata di dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur PLAGIASI, saya besedia TESIS ini digugurkan dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Tesis ini dapat dijadikan sumnber pustaka yang merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Malang, 31 Oktober 2013 Yang menyatakan
1. Pendekatan Dan Jenis
4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….49
.A. Gambaran Umum Obyek
Penelitian...49
1. Gambaran Umum Gresik
………...49
2. Gambaran Sosiologi Kegiatan Muhammadiyah Gresik Dibidang Pendi
dikan
……….54
4. Sejarah SMA Muhammadiyah Gresik……… 70
5. Kurikulum SMA Muhammadiyah 1 Gresik ………73
Bisri, Mustofa & Vindi, Elisa, 2008, Kamus Lengkap Sosiologi,Yogyakarta: Panji
Pustaka
Budiyanto (2006). Kewarganegaraan: Menumbuhkan Nasionalisme dan Patriotisme.
Jakarta: Erlangga Beilharz, Raho, 2005, Teori-Teori Sosial; Yogyakarta:
Prestasi Pelajar
Budiarjo, Miriam (1982). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional (2006). Kurikulum Kewarganegaraan. Jakarta:
Pusat Kurikulum.
Description: Hakikat Pancasila Sebagai Dasar Negara Rating: 4.5 Reviewer
Fadly, A. (2011). Teori Fungsional Struktural. Tersedia di [3 November2012].
Gatara, Sahid AA dan Dzulkiah Said (2007). Sosiologi Politik. Bandung: CV.
Pustaka Setia
Hamid, Said dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan
Johnson, D.P. (Tanpa Tahun). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta:
Gramedia.
Kalijernih, Freddy K, 2009. Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan, Bandung, Widya Aksara Press.
Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum.Karakter Bangsa. Jakarta:
Huntington, Samuel dan Nelson, Juan M dalam Damsar (2010). Pengantar Sosiologi
Muhibbun, Syah,2010: Psikologi Belajar, Raja Wali pers, Jakarta :
Mustakim (2011): Matahari Terbit di Kota Wali. Gresik MUHI Press.
Nasikun, 1988, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Rajawali
Nazir, Muhammad, 2011: Metode Penelitian, Ghalia Indonesia
Nursa, Adman l, 2004: Strategi Memenangkan Pemilu: Sebuah Pendekatan Baru
Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Paul Johnson, Doyle. 1986. Teori Klasik dan Modern Jilid II. Jakarta: PT Gramedia
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2010. Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Social Post Modern. Bantul: Kreasi Wacana
Ritzer, G. dan Goodman, D. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada
Media.
Ritzer, George, 1980, Sosiologi, Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Judul
Asli: Sociology A Multiple Paradigm Science), Boston: Allyn and Bacon
Ritzer, George & J. Goodman, Douglas, 2009, Teori Sosiologi, Yogyakarta: Kreasi
Wacana
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J (2008). Teori Sosiologi Modern. Jakarta
Kencana
S. Suriasumantri, Jujun,1998: Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta.
Pustakan Sinarharapan
http : // jalius12.wordpress.com / 2010 / 06 / 17/ pengertian-sosialisasi /
http : / / harrisanggara.blogspot.com / 2010 / 11 / pengertian -
sosialisasi html
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/1…
http://dedihendriana.wordpress.com/2007/…
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia begitu lama berjuang untuk suku atau daerahnya
masing-masing. Mereka belum terbuka, bahwa perjuangan melawan cengkeraman
penjajah asing selama berpuluh bahkan beratus tahun. Jika dianalisis secara
mendalam, maka penyebab utama dari kelemahan bangsa Indonesia, adalah
bersumber pada rendahnya tingkat pendidikan bangsa Indonesia pada masa itu.
Pendidikan yang rendah menyebabkan kemampuan mengembangkan
teknologi persenjataan pun lemah, sehingga kalah jauh dari persenjataan
milik penjajah. Pendidikan yang rendah, juga menyebabkan kepemimpinan
perjuangan hanya bergantung pada kharisma seorang pemimpin, yang
ketika ia meninggal perjuangan pun terputus karena tidak ada kader yang
melanjutkan perjuangannya. Pendidikan yang rendah, menyebabkan
wawasan berfikir pun menjadi sempit. Wawasan yang sempit menjadi
penyebab para pejuang hanya berfikir dapat dilakukan secara bersama-sama.
Rasa kebangsaan atau nasionalisme sampai akhir abad ke-19 masih belum tumbuh.
Ketika sebagian kecil bangsa Indonesia sudah mulai bersentuhan dengan
pendidikan modern pada pertengahan abad ke-19, sedikit demi sedikit, terbuka
2
jumlahnya masih terbatas itu rasa kebangsaan atau nasionalisme
dankesadaran untuk bersatu dalam perjuangan mulai muncul dandisebarluaskan.
Pendidikan ternyata begitu besar pengaruhnya untuk membuka fikiran dan
kesadaran akan rasa persatuan, rasa kebangsaan, dan rasa kecintaan pada tanah
air. Kalangan terdidiklah yang mampu merintis rasa kebangsaan atau nasionalisme
ini pada masa Kebangkitan Nasional 1908. Di awal abad ke-20, dapat dikatakan
fase pertama tumbuhnya nasionalisme bangsa Indonesia, kaum terdidik lebih
menegaskan rasa nasionalisme itu pada Sumpah Pemuda 1928, serta semakin
mengukuhkannya melalui Proklamasi Kemerdekaan 1945. Saat-saat yang sangat
penting di sekitar Proklamasi Kemerdekaan, adalah ditetapkannya Pancasila
sebagai dasar negara bagi negara kebangsaan Republik Indonesia. Pancasila
yang saat itu merupakan kesepakatan politik yang luhur dari berbagai
komponen bangsa mampu mewadahi nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme
dan nilai-nilai dasar lainnya.
Di era global sekarang ini, ketika kita sekarang sudah
memasuki seratus tahun Kebangkitan Nasional dan enam puluh delapan tahun
merdeka, beberapa pertanyaan pun muncul, apakah pendidikan masih relevan
untuk menjaga perannya dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
Pancasila? Apakah Pancasila dapat menumbuhkan, memelihara, dan
meningkatkan rasa kebangsaan atau nasionalisme? Dan strategi apakah yang tepat
untuk menginternalisasikan nilai-nilai dasar Pancasila dan nasionalisme pada
masa sekarang ini?
Setelah enam puluh delapan tahun merdeka dan seratus tahun
3
berkaitan dengan upaya implementasi nilai-nilai dasar Pancasila dan
nasionalisme pada bangsa Indonesia.
Pertama, nilai-nilai Pancasila sepertinya masih belum membumi, masih belum
diamalkan secara baik oleh bangsa Indonesia. Pancasila seakan hanya
menjadi simbol saja, tanpa terimplementasi secara nyata baik pada tataran
kehidupan kenegaraan maupun pada tataran kehidupan masyarakat. Kedua,
kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda pada era globalisasi
ini mendapat pengaruh yang sangat kuat dari nilai-nilai budaya luar, sehingga
mulai banyak sikap dan perilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Ketiga, nilai-nilai nasionalisme pun oleh sebagian pihak dipandang
mengalami erosi pada saat ini, terutama di kalangan generasi muda (Triantoro,
2008). Keempat, berkembangnya paham keagamaan yang tidak memandang
penting nasionalisme
Dalam pertimbangan tentang perlunya kebijakan nasional
pembangunan karakter bangsa didasarkan adanya permasalahan yang sedang
dihadapi bangsa saat ini yaitu : (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai
Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa,(2) Keterbatasan perangkat kebijakan
terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila. (3) Bergesernya nilai-nilai
etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (4) Memudarnya kesadaran
terhadap nilai-nilai budaya bangsa. (5) Ancaman disintegrasi bangsa. (6)
Melemahnya kemandirian bangsa. Dengan kata lain seperti dikatakan Gumilar
Rusliwa Somantri, kita sedang tengah mengalami anomie atau “kekosongan”
Grundnorm yang menjadi rujukan berdirinya negara bangsa yang tunggal dan
4
kemerdekaan menjadi norma dasar, ikut terpuruk bersama jatuhnya rezim Orde
Baru”
PKn Sebagai Pendidikan Karakter
Masalah di atas yang belum terpecahkan. Koentjaraningrat (1974)
dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, menyatakan sedikitnya ada
lima mentalitas negatif bangsa Indonesia: (1) meremehkan mutu; (2) cenderung
mencari jalan pintas (menerabas) (misalnya. : main belakang, orang dalam, semua
bisa diatur, satu meja satu amplop, urusan diselesaikan dengan damai,pen.); (3) tidak
percaya diri; (4) tidak berdisiplin (misalnya.: jam karet, vonis dapat ditentukan di
belakang meja, membuang sampah sembarangan, lebih takut kepada polisi
daripada kepada peraturan, terlambat dalam mengerjakan banyak hal,
tawuran, sidang pleno di DPR tak pernah lengkap,pen.); dan (5) mengabaikan
tanggung jawab (misalnya. : tidak amanah, khianat, korupsi massal,
penyalahgunaan kekuasaan). Sedangkan Muchtar Lubis (1986) menyatakan
bahwa ciri negatif manusia Indonesia: (1) hipokritis alias munafik; (2) segan dan
enggan bertanggung jawab; (3) berjiwa feodal; (4) masih percaya takhyul; (5) artistik;
(6) memiliki watak yang lemah; (7) bukan economic animal.
Belum terpecahkannya masalah karakter, menjadikan Indonesia
belum beranjak mencapai kemajuan yang mensejahterakan rakyat. Sebagai
bangsa yang pernah dijajah negara kapitalis-imperialis yang menindas dan
menyengsarakan justru Indonesia tidak mampu keluar dari sistem ekonomi
kapitalis yang tidak berkeadilan ini. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Kerakyatan)
5
tegas ditentukan pasal 33 UUD 1945, justru tidak dijalankan. Ini menunjukkan
adanya krisis kepercayaan diri, kemandirian dan nasionalisme yang sangat
rendah. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang
ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”
Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa
pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Sistem ekonomi kapitalis (neo-liberalisme) memberikan lahan yang
subur bagi berkembangnya pragmatisme, individualisme dan materialisme. Hal
ini berdampak pada berkembangnya sikap dan perilaku politik transaksional dan
kartel. Sikap dan perilaku politik yang demikian, politik dijadikan komoditas untuk
memperoleh keuntungan kekuasaan dan material yang sebesar-besarnya bagi diri
dan kelompoknya. Kemudian ketika ada penyimpangan yang dialakukan
diantara mereka, diatasi dengan cara saling menutupi.
Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia
berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan
estetika. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku
(karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi insan kamil. Karakter Bangsa adalah kualitas perilaku
kolektif kebangsaan yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman,
rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati,
olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
6
Indonesia yang khas-baik yang tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa,
karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara Indonesia yang berdasarkan
nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal
Ika, dan komitmen terhadap NKRI.7 Pendidikan karakter rakyat menurut Bung
Hatta, adalah: mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab.
PKn sebagai pendidikan karakter merupakan salah satu misi yang
harus diemban. Misi lain adalah sebagai pendidikan politik/pendidikan
demokrasi, pendidikan hukum, pendidikan HAM, dan bahkan sebagai
pendidikan anti korupsi. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain, mata pelajaran
PKn dan Agama memiliki posisi sebagai ujung tombak dalam pendidikan karakter.
Maksudnya dalam kedua mata pelajaran tersebut pendidikan karakter harus
menjadi tujuan pembelajaran. Perubahan karakter peserta didik merupakan usaha
yang disengaja/direncakan (instructional effect), bukan sekedar dampak
ikutan/pengiring (nurturant effect). Hal ini dapat ditunjukkan bahwa komponen
PKn adalah pengetahuan, ketrampilan dan karakter kewarganegaraan. Dengan kata
lain tanpa ada kebijakan pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam berbagai
mata pelajaran, PKn harus mengembangkan pendidikan karakter. Lebih-lebih
dengan adanya kebijakan pengembangan pendidikan karakter yang
terintegrasi, ini merupakan tantangan untuk menunjukan bahwa PKn sebagai ujung
tombak yang tajam pendidikan karakter.
PKn sebagai pendidikan karakter dapat dikenali dari konsep, tujuan,
fungsi, tuntutan kualifikasi dan keunikan PKn.. PKn (Civic Education) adalah
pembelajaran yang mengugah rasa ingin tahu dan kepercayaan (trust) terhadap
7
sebagaimana mengatur partisipasi politik. PKn “merupakan mata pelajaran
yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga
Negara yang memiliki karakter berbangsa dan bernegara.
Bidang pendidikan kewarganegaraan (pkn) memiliki kaitan dengan
Pancasila dalam hal tujuan dari pendidikan kewarganegaraan Indonesia. Secara
umum tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah terbentuknya warga negara
yang baik (good citizen) yang tentu saja berbeda menurut konteks negara yang
bersangkutan, warga negara yang baik di Indonesia adalah warga negara yang
patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama,
demokratis, ... Pancasila sejati. Tujuan pendidikan kewarganegaraan menurut
Keputusan Presiden RI No. 145 tahun 1965, adalah “…melahirkan
warganegara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spirituil maupun materiil
dan yang berjiwa Pancasila Pendidikan kewarganegaraan dalam wujud mata
pelajaran PMP bertujuan membentuk manusia Pancasilais, sedangkan
dalam wujud mata pelajaran PPKn bertujuan membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yaitu yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD NRI 1945.
Pemetaan yang dilakukan Freddy Kalidjernih (2007: 12) juga menunjukkan
bahwa fokus pendidikan kewarganegaraan di Indonesia pada tahun 1964, 1968,
1975, 1984, dan 1994 adalah pembentukan manusia Pancasila. Pendidikan
kewarganegaraan dalam wujudnya yang sekarang yaitu mata pelajaran PKn
8
yang diamanatkan Pancasila dan UUD NRI 1945 (Permendiknas No 22 tahun
2006).
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pemahaman tersebut di
atas, maka proses sosialisasi nilai kebangsaan melalui pelajaran PKn di SMA
Muhammadiyah 1 Gresik sangat menarik untuk diteliti, karena itu penulis
menyusun tesis dengan judul Model Sosialisasi Nilai Kebangsaan di SMA
Muhammadiyah1 Gresik dijadikan Pembelajaran penanaman nilai melalui
Standar Kompetensi Budaya Politik dan Budaya Demokrasi Indonesia
memberikan pengalaman dan wawasan yang sangat luas dan sangat berharga
terhadap siswa tentang niali-nilai kebangsaan. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap perilaku siswa tentang pemahaman nilai-nilai kebangsaan dan
nasionalisme.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang didapat diuraian adalah Bagaimana
model sosialisasi nilai-nilai kebangsaan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui model
sosialisasi niali-nilai kebangsaan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik?
D. Manfaat Penelitian
9
Penelitian ini dapat berguna sebagai salah satu khasana kajian
Sosiologi, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan terutama Sosialisasi
nilai-nilai kebangsaan di sekolah yang merupakan salah satu agen perubahan .
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu
usaha untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam tentang praktik sosialisasi
nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda sehingga pola pemebelajaran para siswa
didasarkan pada pendidikan karakter berbangsa yang cerdas, rasional dan tidak
menyesatkan dapat dikembangkan. Wal hasil penanaman sikap integritas terhadap
generasi muda dapat dialakukan dan demokrasi akan berkembang sesuai dengan