• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pewarnaan Imunohistokimia S100 Pada Meningioma Di RSUP. H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pewarnaan Imunohistokimia S100 Pada Meningioma Di RSUP. H. Adam Malik Medan"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PEWARNAAN IMUNOHISTOKIMIA S100

PADA MENINGIOMA DI RSUP. H. ADAM MALIK

MEDAN

TESIS

PENELITI : GATOT AJI PRIHARTOMO

NIM : 077102002

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU BEDAH SARAF

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim, saya sampaikan rasa

syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat

menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

pendidikan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam bidang

Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini

dapat diselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan

terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr.

Sjahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) dan mantan rektor Prof. Dr.

Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H, Sp.A(K) yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister

Kedokteran Klinik di Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara Prof. DR. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

Medan, dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. Dr. Iskandar Japardi, Sp.BS(K) sebagai Kepala

Departemen Ilmu Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /

RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan

dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen Ilmu Bedah Saraf

FK.USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodingrat, Sp.BS(K) sebagai

(5)

sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam keahlian, maupun

pengetahuan umum lainnya.

Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodingrat, Sp.BS(K) sebagai

pembimbing utama tesis, Prof. Dr. Iskandar Japardi, Sp.BS(K) sebagai

pembimbing kedua tesis yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian

serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas

waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan

penulisan tesis ini.

Yang terhormat, dr. Sufida, Sp.A sebagai pembimbing dalam bidang

Patologi Anatomi tesis ini dan Laboratorium Patologi Anatomi Murni Teguh

Memorial Hospital sebagai salah satu tempat penelitian tesis ini.

Yang terhormat, Dr. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. penulis

menyampaikan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya atas bimbingan dan

bantuan di bidang metodologi penelitian dalam pengolahan data tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua

guru-guru di Departemen Ilmu Bedah Saraf FK.USU/RSUP. H. Adam Malik Medan,

Prof. Dr. Adril Arsyad Hakim, Sp.S, Sp.BS(K), Dr. dr. Ridha Dharma Jaya, Sp.BS, Dr.

dr. Rr. Suzy Indharthy, Sp.BS, M.Kes. yang telah memberikan bimbingan, ilmu

dan pengetahuan di bidang Ilmu Bedah Saraf yang bermanfaat bagi penulis di

kemudian hari.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda dr. H. Suparmono Sjoekoer, SpB dan

ibunda Hj. Lastini, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak

terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah

diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan,

dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suru tauladan yang

baik hingga menjadi landasan kokoh dalam menghadapi kehidupan. Yang

tercinta ayah mertua, Ir. H. Abdullah dan Ibu mertua Hj. Soraya yang selama ini

telah memberikan kasih sayang, bimbingan dan restu untuk selalu menuntut

(6)

ampunilah dosa kedua orang tua hamba serta sayangilah mereka sebagaimana

mereka menyayangi hamba sewaktu kecil, dan sayangi jualah kedua mertua

hamba sebagaimana mereka menyayangi hamba. Amin, amin, ya rabbal ‘alamin.

Kepada istriku tercinta, dr. Sylvia Sahfitri dan buah hati kami Keisya Alika

Syifa yang sangat kusayangi. Tiada kata yang lebih indah yang Papi sampaikan

selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan yang tiada

tara, cinta, kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian, doa dan dorongan

semangat yang tiada henti-hentinya kalian berikan untuk Papi, sehingga

pendidikan magister ini dapat selesai pada waktunya.

Kepada adik-adikku tercinta, Dadi Pribadi, S.Kom, Sheila, S.Ked dan Alya

Adelia, Mas mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak

henti-hentinya memberikan doa, bantuan serta dorongan semangat kepada Mas

selama menjalani pendidikan ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya

sebutkan satu persatu, yang telah memberikan doa dan dorongan semangat,

saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Yang tercinta teman-teman sejawat residen yang mengikuti pendidikan

Magister dan Spesialis yang telah bersama-sama, baik suka maupun duka, saling

membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat. Saya doakan semoga kita

semua diberikan kemudahan dan keberhasilan, sehingga ilmu yang kita dapat

selama pendidikan ini bisa kita pergunakan untuk menolong orang banyak, amin.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang setulus-tulusnya atas

segala kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga

segala doa, bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama

mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah

SWT, Yang Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, amin, amin ya rabbal

‘alamin.

Hormat saya,

(7)

DAFTAR ISI

(8)

Berbagai Gen Spesifik ... 13

3.8.Identifikasi Variabel ... 27

3.9.Defenisi Operasional ... 27

3.10.Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 28

BAB 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Hasil Penelitian ... 29

4.1.1.Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

4.1.2.Distribusi Berdasarkan Usia ... 29

4.1.3.Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 30

4.1.4.Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 31

4.1.5.Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor ... 31

4.1.6.Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 32

(9)

4.1.8.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33

4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia ... 33

4.1.10.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor 34

4.1.11.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO ... 35

4.1.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi ... 36

4.1.13.Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 37

4.2. Pembahasan ... 37

BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1. Simpulan ... 39

5.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(10)

DAFTAR SINGKATAN

SSP : Susunan Saraf Pusat

WHO : World Health Organization

EMA : Epithelial Membrane Antigen

GFAP : Glial Fibrilary Acidic Protein

MRI : Magnetic Resonance Imaging

Zn2+ : Zinc 2+

Cu2+ : Cuprum 2+

Ca2+ : Calcium 2+

RAGE : Receptor for Advanced Glycation Endproduct

IRMA : Immunoradiometric Assay

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay

CNS : Central Nervous System

TBI : Traumatic Brain Injury

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Grading Meningioma Menurut WHO ... 8

Tabel 2.2. Simpson Grading Sistem ... 11

Tabel 2.3. Anggota S100 Protein Family dan Lokasinya pada Berbagai Gen Spesifik ... 14

Tabel 2.4. Hubungan Antara Anggota S100 Protein Family dan Beberapa Jenis Kanker ... 18

Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 29

Tabel 4.2. Analisa Deskriptif Berdasarkan Usia ... 30

Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor ... 31

Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO ... 31

Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan JenisHistopatologi Tumor ... 32

Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor ... 32

Tabel 4.7. Distribusi Staining Intensity S100 dengan Meningioma ... 33

Tabel 4.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin ... 33

Tabel 4.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia ... 34

Tabel 4.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor ... 35

Tabel 4.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO ... 36

Tabel 4.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur Dimer Protein S100 ... 13

Gambar 2.2. Gen S100 yang Terdapat pada Kromosom 1q21 ... 15

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 22

(13)

ABSTRAK

Tujuan: Studi ini menjelaskan dan mendeskripsikan ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 pada meningioma.

Metode: Dari Pebruari 2010 sampai Pebruari 2013 diperoleh 31 spesimen sampel dari

31 pasien meningioma yang telah dilakukan operasi pengangkatan tumor di RSUP. H.

Adam Malik Medan. Spesimen ini sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar

hematoxylin eosin dan telah dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia Epithelial Membrane Antigene(EMA) sebagai meningioma. Slide yang representatif dibuat parafin blok dan selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Staining intensity (SI)

dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat

menyerap warna). Kemudian dilihat karakteristik jenis kelamin, usia, lokasi tumor,

grading meningioma World Health Organization (WHO), jenis histopatologi, dan rekurensi tumor dari spesimen meningioma yang mengekspresikan pewarnaan

imunohistokimia S100.

Hasil: Tiga puluh satu spesimen meningioma diklasifikasikan gradingnya menurut kriteria

WHO: benign 28/31 (90,3%), atypical 2/31 (6,5%) dan anaplastic 1/31 (3,2%). Ketiga

kriteria ini diklasifikasikan lagi menurut jenis histopatologinya. Meningothelial

meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 17/31 (54,8%).Dari

keseluruhan spesimen sampel, hanya 11/31 (35,5%) spesimen yang mengekspresikan

pewarnaan S100, sisanya 20/31 (64,5%) tidak mengekspresikan pewarnaan S100. Dari

11 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, meningioma benign

mengekspresikan 8/28 (28,6%) dan fibroblastic meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling kuat mengekspresikan S100 (+3).

Kesimpulan: Secara umum, hasil yang diperoleh dari studi ini sesuai dengan yang

dijelaskan oleh literatur sebelumnya. Namun perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan

jumlah sampel yang lebih banyak dan merata dari setiap grading meningioma agar dapat

dianalisis hubungan antara grading meningioma WHO dengan derajat ekspresi

(14)

ABSTRACT

Objective: This study explores and describe the S100 immunohistochemical staining in

meningioma.

Methods: From February 2010 to February 2013 obtained 31 sample specimens from 31

patients who had meningioma undergo tumor removal surgery in the Adam Malik

General Hospital Medan. This specimen has previously been carried out basic

hematoxylin eosin staining and was confirmed as meningioma by Epithelial Membrane

Antigene (EMA) imunohystochemistry staining. Representative slides are made of

paraffin blocks and then performed S100 immunohistochemical staining. Staining

intensity (SI) was score on scale 0-3 (from no staining to strong staining). Then viewed

the characteristics of gender, age, location of tumor, World Health Organization (WHO)

meningioma grade, histopathologic type, and tumor recurrence of meningioma

specimens that express S100 immunohistochemical staining.

Results: Thirty-one specimens of meningioma classified according to WHO criteria:

benign 28/31 (90.3%), atypical 2/31 (6.5%) and anaplastic 1/31 (3.2%). These three

criteria are classified according to histopathologic type. Meningothelial meningioma is

the most widely histopathological types 17/31 (54.8%). Of the overall sample specimens,

only 11/31 (35.5%) specimens expressed S100 immunohistochemical staining, the

remaining 20/31 (64.5%) did not express. Of the 11 specimens that express S100

staining, benign meningiomas express 8/28 (28.6%) and fibroblastic meningiomas are

the most strong S100 immunohistochemical staining( +3) between all the

Conclusion: In general, the results obtained from this study correspond by previous

literature. However, further studies need to be conducted with a large sample and

evenly from each meningioma grade in order to analyze the correlation between WHO

(15)

ABSTRAK

Tujuan: Studi ini menjelaskan dan mendeskripsikan ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 pada meningioma.

Metode: Dari Pebruari 2010 sampai Pebruari 2013 diperoleh 31 spesimen sampel dari

31 pasien meningioma yang telah dilakukan operasi pengangkatan tumor di RSUP. H.

Adam Malik Medan. Spesimen ini sebelumnya telah dilakukan pewarnaan dasar

hematoxylin eosin dan telah dikonfirmasi dengan pewarnaan imunohistokimia Epithelial Membrane Antigene(EMA) sebagai meningioma. Slide yang representatif dibuat parafin blok dan selanjutnya dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Staining intensity (SI)

dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak menyerap warna sampai yang paling kuat

menyerap warna). Kemudian dilihat karakteristik jenis kelamin, usia, lokasi tumor,

grading meningioma World Health Organization (WHO), jenis histopatologi, dan rekurensi tumor dari spesimen meningioma yang mengekspresikan pewarnaan

imunohistokimia S100.

Hasil: Tiga puluh satu spesimen meningioma diklasifikasikan gradingnya menurut kriteria

WHO: benign 28/31 (90,3%), atypical 2/31 (6,5%) dan anaplastic 1/31 (3,2%). Ketiga

kriteria ini diklasifikasikan lagi menurut jenis histopatologinya. Meningothelial

meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling banyak 17/31 (54,8%).Dari

keseluruhan spesimen sampel, hanya 11/31 (35,5%) spesimen yang mengekspresikan

pewarnaan S100, sisanya 20/31 (64,5%) tidak mengekspresikan pewarnaan S100. Dari

11 spesimen yang mengekspresikan pewarnaan S100, meningioma benign

mengekspresikan 8/28 (28,6%) dan fibroblastic meningioma merupakan jenis histopatologi yang paling kuat mengekspresikan S100 (+3).

Kesimpulan: Secara umum, hasil yang diperoleh dari studi ini sesuai dengan yang

dijelaskan oleh literatur sebelumnya. Namun perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan

jumlah sampel yang lebih banyak dan merata dari setiap grading meningioma agar dapat

dianalisis hubungan antara grading meningioma WHO dengan derajat ekspresi

(16)

ABSTRACT

Objective: This study explores and describe the S100 immunohistochemical staining in

meningioma.

Methods: From February 2010 to February 2013 obtained 31 sample specimens from 31

patients who had meningioma undergo tumor removal surgery in the Adam Malik

General Hospital Medan. This specimen has previously been carried out basic

hematoxylin eosin staining and was confirmed as meningioma by Epithelial Membrane

Antigene (EMA) imunohystochemistry staining. Representative slides are made of

paraffin blocks and then performed S100 immunohistochemical staining. Staining

intensity (SI) was score on scale 0-3 (from no staining to strong staining). Then viewed

the characteristics of gender, age, location of tumor, World Health Organization (WHO)

meningioma grade, histopathologic type, and tumor recurrence of meningioma

specimens that express S100 immunohistochemical staining.

Results: Thirty-one specimens of meningioma classified according to WHO criteria:

benign 28/31 (90.3%), atypical 2/31 (6.5%) and anaplastic 1/31 (3.2%). These three

criteria are classified according to histopathologic type. Meningothelial meningioma is

the most widely histopathological types 17/31 (54.8%). Of the overall sample specimens,

only 11/31 (35.5%) specimens expressed S100 immunohistochemical staining, the

remaining 20/31 (64.5%) did not express. Of the 11 specimens that express S100

staining, benign meningiomas express 8/28 (28.6%) and fibroblastic meningiomas are

the most strong S100 immunohistochemical staining( +3) between all the

Conclusion: In general, the results obtained from this study correspond by previous

literature. However, further studies need to be conducted with a large sample and

evenly from each meningioma grade in order to analyze the correlation between WHO

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Meningioma adalah suatu tumor jinak yang terjadi pada selaput otak

susunan saraf pusat. Meningioma berasal dari arachnoid cap cells, suatu lapisan

neuroektodermal yang membentuk lapis luar dari selaput araknoid dan vili

araknoid. Tumor ini terjadi sekitar 20% dari semua tumor primer intrakranial

dengan insiden yang telah dilaporkan sebesar 4,4 per 100.000 orang per tahun

dan terdiagnosis pada rata-rata penderita berumur 63 tahun (Marwin, 2010).

Meningioma merupakan tumor jinak dengan prognosis yang baik, pemahaman

akan sifat neurobiologis tumor akan mengakibatkan perbaikan umum pelayanan

kesehatan.

Sampai saat ini, ekspresi protein S100 diyakini hanya terbatas pada sel

glial dalam sistem saraf pusat (SSP). Namun, beberapa peneliti telah

menunjukkan distribusi protein S100 diluar SSP yaitu, protein S100 secara

immunohistokimia terlokalisasi dalam sel-sel stellata dari adenohipofisis, dalam

sel-sel satelit dorsal root ganglion dan medula adrenal, dalam melanosit dan

sel-sel di kulit, dalam sel-sel-sel-sel kondrosit dan sel-sel-sel-sel kelenjar getah bening retikular dan

spleen. Disisi lain, melanoma ganas, granular sel myoblastoma dan malignant

histiocytosis juga ditemukan mengandung protein S100 selain tumor glial dan

schwannoma. Dengan demikian, protein S100 tidak dianggap benar-benar

sebagai protein spesifik pada SSP, tetapi umumnya dipercaya bahwa sel-sel yang

disebutkan diatas, terlepas dari jaringan normal atau ganas, berasal dari

neuroektoderm dan mesenkim.

Ekspresi pewarnaan histokimia S100 pada meningioma tertentu tidak

terduga. Meningioma biasanya dianggap mewakili tumor yang timbul dari

meningen. Para embriolog menjelaskan bahwa sel dari leptomening berasal dari

neural crest, sedangkan sel-sel lain dari meningen adalah sel fibroblas yang

(18)

mudah untuk memahami mengapa meningioma memiliki berbagai penampilan

histologis, dan mengapa meningioma sering merupakan bagian dari displasia

herediter dari neural shets yang dikenal sebagai penyakit Von Recklinghausen

(Tabuchi, 1984).

Pewarnaan imunohistokimia S100 merupakan pewarnaan standar untuk

melanoma dan schwannoma. Pewarnaan imunohistokimia S100 cukup jarang

digunakan untuk menegakkan diagnosis meningioma. Penulis juga belum

mendapatkan suatu literatur yang spesifik menggambarkan karakteristik

meningioma (grade, jenis histopatologi dll.) dengan ekspresi pewarnaan S100.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut “Bagaimanakan gambaran/ekspresi

pewarnaan imunohistokimia S100 pada pasien meningioma di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100

pada meningioma

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik demografi (jenis kelamin dan usia) penderita

meningioma di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Pebruari 2010 –

Pebruari 2012.

2. Untuk mengetahui karakteristik penderita meningioma (lokasi tumor, grade

WHO, jenis histopatologi, rekurensi tumor) di RSUP H. Adam Malik Medan

(19)

3. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 pada penderita meningioma di RSUP H. Adam Malik

Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

4. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan jenis kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan

pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

5. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan usia di RSUP H. Adam Malik Medan pada

periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

6. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan lokasi tumor di RSUP H. Adam Malik Medan

pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

7. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan grade WHO di RSUP H. Adam Malik Medan

pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

8. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan jenis histopatologi di RSUP H. Adam Malik

Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

9. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan PTEI di RSUP H. Adam Malik Medan pada

periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

10. Untuk mengetahui karakteristik gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dengan rekurensi tumor di RSUP H. Adam Malik

Medan pada periode Pebruari 2010 – Pebruari 2012.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan gambaran/ekspresi pewarnaan imunohistokimia S100 pada

(20)

2. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi ilmiah dalam

penanganan meningioma dan akan bermanfaat untuk meningkatkan upaya

peningkatan kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang bedah saraf.

3. Sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya mengenai pewarnaan

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Meningioma

2.1.1. Sejarah dan Definisi

Meningioma adalah sebuah penamaan yang diberikan oleh Harvey

Cushing pada tahun 1922 untuk mendeskripsikan suatu tumor jinak pada selaput

otak susunan saraf pusat (Al-Rodhan dan Laws, 1991).

Pada abad 18 dan 19 meningioma hanya dapat terdiagnosa pada pasien

bila pasien tersebut mengalami perubahan pada tulang tengkorak yang

didekatnya, sehingga tampak pada inspeksi maupun palpasi. Hanya sedikit usaha

pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat lesi ini, dan hanya sedikit saja

yang menguntungkan pasien. Dari 13 operasi yang dilakukan antara tahun 1743

dan 1896, 9 pasien mengalami kematian.

Pada 1894 John Cleland, seorang profesor anatomy di Glasgow

menemukan bahwa dua tumor meningioma yang ditemukannya di ruang diseksi,

berasal dari arachnoid dan bukan duramater. Pada 1915 pendapat ini kembali

ditegaskan oleh Cushing dan Weed (Louis et al, 2000).

Tumor ini kemudian telah mendapatkan berbagai penamaan termasuk

fungoid tumor, sarcoma, cylindroma, endothelioma, dan fibroma. Cushing

mengajukan nama mengiothelioma sebagai usaha untuk menjelaskan tumor ini

berdasarkan jaringan yang terlibat. Cushing berusaha untuk menghindarkan

nama histologis karena pada saat tersebut komposisi tumor masih belum jelas,

dia juga berusahan menghindarkan penggunaan nama berdasar letak anatomis

karena tumor ini dapat terdapat pada daerah yang sangat bervariasi. Kemudian

Cushing lebih memilih untuk menggunakan nama meningioma (Chou dan Miles,

(22)

2.1.2. Epidemiologi

Pada penelitian di Rochester, Minnesota, Amerika Serikat, yang dilakukan pada

tahun 1935 hingga 1977, meningioma terdistribusi sebanyak 40%, tetapi

penelitian epidemiologi tahun 1985 di negara yang sama melaporkan 20% dari

tumor intrakranial adalah meningioma dengan insiden kejadian meningioma

yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia, sebesar 4,4 per

100.000 orang pertahun. Meningioma terdiagnosis pada rata-rata penderita

berumur 63 tahun (Marwin et al, 2010) dengan predominasi perempuan

terhadap laki-laki dengan rasio sebesar 2 : 1. Pada anak-anak, meningioma kerap

terjadi 1% hingga 4% dari semua tumor otak. Umur rata-rata pada saat

terdiagnosis adalah 11,6 tahun, dibandingkan dengan umur 6,3 tahun untuk

tumor-tumor intrakranial lainnya pada anak (Otsuka et al, 2004; Al-Mefty et al,

2011).

2.1.3. Patologi

Meningioma biasanya berbentuk globular dan berkapsul. Tumor ini

melekat pada dura dan dapat menekan jaringan otak yang berdekatan tanpa

menginvasinya. Walaupun invasi dura dan sinus biasa terjadi, meningioma

biasanya mudah dipisahkan dari pia mater (Al-Mefty et al, 2011). Meningioma

berasal dari lapisan neuroektodermal yang membentuk arachnoid cap cells, yang

membentuk lapisan luar dari selaput araknoid dan vili araknoid. Seiring dengan

pertambahan umur, kelompok-kelompok arachnoid cap cell akan menjadi lebih

jelas, membentuk whorls dan psammoma bodies yang identik dengan

meningioma (Psammos dalam bahasa Yunani memiliki pengertian ‘pasir’).

Meningioma memiliki tampilan mesenkimal (sel berbentuk spindle dan produksi

stroma kolagen) dan epitelial (sitologi bulat atau poligonal, adanya sejumlah

intracellular junctions, ekspresi epithelial membrane antigen (EMA) dan

fungsi-fungsi sekresi seperti kelenjar, yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis

membedakan meningioma dengan arachnoid cap cells matur (Marwin et al,

(23)

Pada gambaran struktur ultra yang tampak pada mikroskop elektron,

meningioma memiliki gambaran yang menyerupai vili arachnoid normal:

interdigitasi yang prominen dari membran plasma, filamen intermediate

sitoplasma yang sangat banyak dan secara imunohistokimia konsisten dengan

vimentin, dijumpainya hemidesmosome, dan deposit interselular fokal yang

terdiri dari material granular yang kaya elektron. Arachnoid dan sel meningioma

terhubung oleh epithelial cadhenrins (E-cadherins), yang merupakan molekul

adhesi yang tergantung Ca2+, dan keduanya mengekspresikan

gluotathione-independent prostaglandin D2 synthase.

Gambaran histologi meningioma meningothelial (syncytial) memiliki ciri

sel yang tersusun rapat dengan batas sitoplasma yang tidak jelas.

2.1.4. Klasifikasi

Pada tahun 2000, WHO mengklasifikasikan meningioma pada bagian

tumor-tumor dari susunan saraf pusat (Tumors of the nervous system) di bawah

bagian tumor dari meninges dan sub-bagian tumor dari sel-sel meningothelial.

WHO mengenal tiga derajat berdasarkan kriteria patologinya dan risiko rekurensi

serta pola pertumbuhannya (Al-Mefty et al, 2011).

Menurut klasifikasi WHO, meningioma dibagi menjadi 3 grade, yaitu

Jinak (Benign : Grade I), Atipikal (Atypical : Grade II), dan Ganas (Malignant :

Grade III). (Tabel 2.1). Meningioma meningothelial, meningioma fibrous

(fibroblastik), meningioma transisional, meningioma psammomatous,

meningioma angiomatosa, meningioma mikrokistik, meningioma sekretorik,

meningioma lymphoplasmacyte-rich, meningioma metaplastik diklasifikasikan

sebagai grade I. Meningioma chordoid, meningioma clear-cell, meningioma

atypical diklasifikasikan sebagai grade II. Meningioma papillary, meningioma

rhabdoid, meningioma anaplastik diklasifikasikan sebagai grade III. Distribusi

meningioma intrakranial adalah sebagai berikut: convexity (35%), para sagittal

(24)

infratentorial (13%), dan lain-lain (4%) (Otsuka, 2004; Louis, 2000; Marwin et al,

2010).

Lokasi umum meningioma primer dari urutan paling sering adalah

parasagital, cavernous, tubercullum sellae, lamina cribrosa, foramen magnum,

zona torcular, tentorium cerebelli, sudut serebelopontin, dan sinus sigmoid.

Meningioma dengan frekuensi lebih rendah dapat terjadi di medula spinalis,

intraventricular, orbita (optic nerve sheath dan foramina opticum), intraoseus

(tulang temporal petrosa), pineal, ekstrakalvaria, dan ektopik (cavum nasi, sinus

paranasal, glandula parotis, paru-paru, glandula adrenal, dan mediastinum (Chou

dan Miles, 1991; Otsuka, 2010).

Selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Bitzer et al (1998),

lokasi meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya pada

konveksitas, falx, sphenoid wing, frontobasal, temporobasal, supraselar,

tentorial, infratentorial, dan lainnya.

Berdasarkan pola pertumbuhannya, meningioma dapat tumbuh sebagai

suatu masa (en masse) atau tumbuh memanjang seperti karpet (en plaque).

Varian en plaque pada awalnya dideskripsikan oleh Cushing sebagai suatu

karakteristik tipikal meningioma sphenoid ridge, yang dapat juga disebut sebagai

hyperostosing en plaque meningiomas”. Deskripsi ini kemudian direvisi oleh

Bonnal pada tahun 1980, dengan tipe-tipe dari meningioma sphenoid ridge

adalah : en masse, invading en plaque, dan invading en masse. En masse adalah

meningioma globular klasik, meningioma invading en plaque didefinisikan

sebagai tumor berbentuk seperti karpet dengan adanya abnormalitas tulang,

sedangkan meningioma en masse didefinisikan sebagai bentuk antara dari en

masse klasik dan meningioma invading en plaque dengan perlekatan dura yang

(25)

Tabel 2.1. Grade meningioma menurut WHO (Louis, 2000)

Secara mikroskopis, meningioma fibroblastic menunjukkan gambaran sel

spindel yang memanjang dan tersusun berlapis-lapis. Stroma terdiri dari serat

reticulin dan kolagen. Meningioma transitional merupakan kombinasi tipe

meningothelial dan fibroblastic. Tipe ini memiliki ciri kumparan selular, yang

dipisahkan oleh sel spindel yang memanjang. Variasi pada histologi meningioma

dapat menunjukkan mutasi pada lokus genetik yang berbeda, dimana loss of

heterozytosity pada kromosom 22 lebih umum dijumpai pada tipe fibroblastic

dibanding varian meningothelial (Chou dan Miles, 1991).

Banyak varian meningioma lain yang telah dilaporkan termasuk

psammomatous, angiomatous, microcystic (humid), xanthomatous, lipoblastic,

myxoid (myxomatous), osteoblastic, chondroblastic, secretory, melanotic,

lymphofollicular, chordoid, hemangiopericytic, oncocytic, dan papillary. Tidak

semua istilah untuk varian ini digunakan pada saat ini.

Meningioma atypical berhubungan dengan angka rekurensi yang lebih

tinggi dan pertumbuhan yang lebih agresif. Kriteria yang digunakan untuk

mendiagnosa meningioma atipikal tidak tergantung pada subtipe meningioma.

Meningioma atipikal menunjukkan gambaran peningkatan aktifitas mitosis atau

tiga atau lebih gambaran berikut: peningkatan selularitas, sel kecil dengan rasio

(26)

tak berpola atau sheetlike growth, dan fokus nekrosis. Untuk varian ini,

peningkatan aktifitas mitosis telah dideskripsikan sebagai empat atau lebih

mitosis per 10 kali pembesaran kuat (high power field). (Otsuka, 2010).

Definisi pasti dari meningioma maligna dan anaplastik masih menjadi

perdebatan. Satu ciri khusus yang tidak diragukan lagi menjadi ciri meningioma

maligna adalah: metastasis ekstraneural jauh. Tempat tersering yang menjadi

metastase meningioma adalah liver, paru, pleura, dan lymph nodes.

Pemeriksaan epithelial membrane antigen (EMA) adalah positif pada 80%

meningioma. Hasil pewarnaan S-100 adalah cukup bervariasi. Meningioma juga

mengekspresikan marker untuk fibroblasts (vimentin) dan sel epitel (EMA dan

cytokeratins). Antileu7, merupakan antibody yang ditemuaka pada schwannoma,

tidak ditemukan pada meningioma. Glial fibrillary acidic protein (GFAP) juga

negatif pada meningioma. Meningioma meningothelial dan syncytial

mengekspresikan E-cadherin. (Talacchi et al, 2011).

2.1.5. Radiologi

Foto polos pada meningioma menunjukkan tiga temuan khas:

hyperostosis, peningkatan gambaran vaskularisasi, dan kalsifikasi. Pada CT non

kontras, meningioma secara tipikal menunjukkan gambaran isodense sampai

sedikit hyperdense. Kalsifikasi dapat dijumpai. Meningioma biasanya menyangat

kontras dengan homogen dan kuat. Tumor ini berbatas tegas dan biasanya

terletak pada struktur tulang atau pun dura. Manifestasi perubahan tulang yang

sering dijumpai adalah hyperostosis. Sekitar 15% meningioma benigna memiliki

gambaran yang tidak khas, termasuk nekrosis sentral atau dijumpainya kavitasi

kista (cystic meningioma). Edema peritumoral yang mengelilingi meningioma

bervariasi. Dura mater yang melekat dapat menunjukkan penyangatan kontras,

temuan ini dikenal sebagai dural tail.

Pada T1WI MRI, 60% meningioma adalah isointense dan 30% lainnya

sedikit hypointense dibandingkan dengan gray matter. Pada T2WI, tumor

(27)

Gambaran hyperintense pada T2WI mengindikasikan tingginya kandungan air,

sering dijumpai pada meningioma meningothelial, vaskular, atau yang agresif.

2.1.6. Terapi pembedahan dan rekurensi tumor

Terapi definitif satu-satunya untuk meningioma adalah reseksi bedah

total. Semakin sedikit tumor yang tersisa, akan memberikan kesempatan

rekurensi tumor yang lebih kecil. Pada 1957 Simpson memperkenalkan lima

tingkatan klasifikasi untuk reseksi bedah pada meningioma (Tabel 2.2.).

Tabel 2.2. Simpson Grading Sistem (Simpson, 1957)

GRADE DESCRIPTION 10 Years Recurrence

I Macroscopically complete tumor remofal with excision of the tumor’s dural attachment and any abnormal bone

9 %

II Macroscopically complete tumor removal with coagulation of its dural attachment

19%

III Macroscopicallay complete removal of the intradural tumor without resection of coagulation of its dural attachment or extradural extension

29%

IV Subtotal removal of the tumor 40% V Simple decompression of the tumor

Rekurensi untuk grade I adalah sekitar 10%; tumor dengan grade II

memiliki angka rekurensi dua kali lebih tinggi. Angka rekurensi tumor jauh lebih

tinggi sesuai dengan Simpson grade. Reseksi tumor yang menyertakan reseksi

tambahan pada dura mater sejauh 2 cm dikenal sebagai grade 0. Pada satu studi

disebutkan bahwa tidak dijumpai rekurensi pada pasien yang mendapatkan

reseksi dengan Simpson grade 0. (Talacchi et al, 2011)

2.1.7. Prognosis

Meningioma memiliki prognosis yang berbeda pada setiap klasifikasi atau

derajatnya. Invasi parenkim otak dan lokasi anatomi akan memengaruhi

(28)

pada ala sphenoidalis atau invasi struktur yang penting seperti sinus venosus

akan menimbulkan kesulitan dalam total removal dari tumor sehingga

menimbulkan angka rekurensi yang tinggi. Walaupun meningioma yang berbatas

tegas dapat diangkat secara keseluruhan, meningioma yang memiliki ekstensi ke

ruang subdural (10% kasus) akan sulit untuk direseksi seluruhnya, seperti pada

meningioma en plaque. Selain dari invasi parenkim dan lokasi anatomi, rekurensi

juga kerap terjadi pada meningioma yang memiliki profil ganas, seperti pada pola

hemangiopericytic atau papiler. Kriteria selular keganasan adalah adanya mitosis,

peningkatan selularitas, polimorfisme inti sel, dan nekrosis fokal. Indeks mitosis

yang tinggi juga salah satu aspek yang mengarah pada keganasan (Al-Mefty et al,

2011).

2.2. Protein S100

Anggota dari ‘S100 protein family’ merupakan protein multifungsional

dengan berbagai peran dalam proses selular. Protein S100 bekerja dengan

perantaraan ikatan kalsium, walaupun nampaknya Zn2+ dan Cu2+ juga memiliki

peranan dalam aktifitas biologis protein ini.

Anggota ‘S100 protein family’ yang paling banyak dipelajari adalah

protein S100B, yang memiliki aktifitas neurotropik (pada konsentrasi fisiologis)

atau neurotoksik (pada konsentrasi tinggi). Ekspresi protein ini baik pada serum

maupun pada pewarnaan imunohistokimia dijumpai pada berbagai kelainan

klinis. Ekspresi imunohistokimia protein ini telah secara umum dikenal sebagai

petanda untuk tumor schwannoma dan melanoma.

2.2.1. Struktur dan Fungsi Protein S100

S100 protein family’ memiliki subgrup lengan EF pengikat Ca2+. Protein

ini disebut S100 dikarenakan kelarutannya dalam ammonium sulfat pada pH

normal sebesar 100%. Protein ini pertama kali diidentifikasi oleh B.W.Moore

pada 1965 (Moore, 1965).

Protein S100 merupakan protein asam berukuran kecil, 10-12kDa, dan

(29)

region’ dengan panjang yang bervariasi dan juga domain N- dan C- terminal.

Berbeda dengan gen S100 yang sangat banyak terdapat pada vertebrata, protein

ini tidak dijumpai pada invertebrata. Sampai sekarang ini terdapat paling sedikit

25 protein yang telah teridentifikasi sebagai anggota S100 protein family, dimana

21 diantaranya memiliki gen pada kromosom lokus 1q21. Kelompok gen ini

dikenal sebagai kompleks diferensiasi epidermal (Marenholz, 2004; Donato,

2003).

Gambar 2.1. Struktur dimer protein S100. Protein S100 dapat dijumpai dalam

bentuk homodimer, heterodimer, dan oligodimer. Setiap monomer terdiri dari

dua lengan EF yang dihubungkan oleh hinge region (Heizmann, 2002).

2.2.2. Anggota dari S100 protein family dan lokasinya pada berbagai gen

spesifik

Keluarga protein S100 merupakan protein multifungsional yang

diekspresikan pada banyak jaringan. Interaksi protein S100 dengan berbagai

dengan berbagai protein efektor dalam sel berperan dalam berbagai proses

selular seperti kontraksi, motilitas, diferensiasi dan pertumbuhan sel, progresi

(30)

sitoskeleton, proteksi sel terhadap kerusakan sel oksidatif, fosforilasi protein dan

sekresi (Santamaria, 2006).

Variasi fungsi protein S100 ini nampaknya disebabkan oleh:

1. Diversifikasi yang luas pada anggota protein S100 (25 anggota pada

manusia)

2. Perbedaan ikatan metal ion yang berbeda-beda pada setiap protein S100

3. Distribusi ruang pada kompartemen intraselular spesifik atau

kompartemen ekstraselular

4. Kemampuan protein S100 untuk membentuk homodimer dan

heterodimer non kovalen, sehingga memungkinkan pertukaran subunit

S100

Protein S100 tidak memiliki kapasitas katalis intrinsik. Protein ini secara

umum memiliki cara kerja yang mirip dengan calmodulin dan troponin C, yang

mengalami perubahan struktur dan memodulasi aktifitas biologis melalui ikatan

kalsium (Ikura 1996).

Tabel 2.3. Anggota S100 protein familly dan lokasinya pada berbagai gen

(31)

Gambar 2.2. Gen S100 yang terdapat pada kromosom 1q21. Kebanyakan gen

S100 pada manusia terletak pada kompleks diferensiasi epidermal pada

kromosom 1q21, yang merupakan area yang rentan terhadap penyusunan

ulang. Protein S100B, S100P, S100Z dan S100G terletak pada kromosom 21q22,

4p16, 5q14 dan Xp22 (Heizmann, 2002).

S100B yang merupakan salah satu protein pada S100 protein family yang

paling banyak dipelajari, interaksi protein ini dengan RAGE (Receptor for

Advanced Glycation Endproduct) telah terdokumentasi (Donato, 2007; Donato et

al., 2008; Leclerc et al., 2009).

S100B secara spesifik terdapat dalam jumlah yang besar di otak dan

diekspresikan oleh astrosit, oligodendrosit, dan sel Schwann. Protein ini diduga

(32)

menghasilkan efek neurotropik dan neurotoksik yang tergantung pada

konsentrasinya pada sel neuron (Donato et al., 2008).

S100 juga mengaktifasi microglia, dan mungkin berperan dalam

patogenesis kelainan neurodegeneratif. S100B diekspresikan berlebih pada

astrositoma dan glioblastoma (Camby et al., 1999), schwannoma dan melanoma

(Salama et al., 2008).

2.2.3 Metode dan Pengukuran

Protein S100 dapat dideteksi dengan berbagai metoda analisa seperti

immunoradiometric assay (IRMA), mass spectroscopy, western blot, ELISA

(enzyme linked immunosorbent assay), electrohemiluminence dan PCR

kuantitatif, dapat mendeteksi perubahan ekspresi imunohistokimia atau pada

serum dengan sensitifitas tinggi, sehingga dapat menjadi alat ukur penting pada

diagnosa klinis (Sangtec Medical, 2000).

Protein S100B (homodimer dari subunitβ) memiliki berat molekul sebesar

21kD dan dikodekan dari lengan panjang kromosom 21 (21q22.3). Waktu paruh

dari S100B adalah sekitar 30 menit. Peningkatan kadar serum protein S100

secara persisten mengindikasikan adanya pelepasan secara terus menerus dari

jaringan yang terlibat. Protein S100 dieliminasi melalui ginjal (Wild, 2001).

Penyakit yang berhubungan dengan perubahan ekspresi protein S100

dapat diklasifikasikan dalam 4 kategori.

1. Kelainan Neurologis

Sebagaimana GFAP (glial fibrillary acidic protein), protein S100B

diproduksi oleh astrosit pada CNS, peningkatan ekspresi protein ini menandakan

adanya aktifitas astrosit (Steiner, 2007).

Protein S100B lebih tidak spesifik dibandingkan dengan GFAP, dimana

protein ini terdapat pada berbagai jenis sel neural. Efek autokrin protein ini pada

astrosit (upregulation dari IL-6, ekspresi TNF-alpha) dimediasi melalui interaksi

(33)

Sekresi S100B merupakan proses awal respon sel glia terhadap cedera

metabolik (kekurangan oksigen, serum, glukosa). Hubungan antara kondisi stress

(cedera otak, gangguan sawar darah otak, iskemik) dan kadara serum S100

nampaknya tergantung glucocorticoid (Scaccianoce, 2004).

Traumatic brain injuries (TBI) result in an increase in S100B levels in blood

and CSF.

Cedera otak traumatik akan mengakibatkan peningkatan kadar S100 pada

serum dan juga pada cairan serebrospinal. Setelah terjadinya cedera otak

traumatik, terjadi peningkatan konsentrasi S100B dan S100A1B pada 31% dan

48% pasien, tanpa hubungan yang signifikan dengan tanda dan gejala gangguan

kognitif.

S100B juga dihasilkan oleh jaringan ekstraserebral, terutama sel lemak

dan kondrosit, oleh karena itu interpretasi peningkatan kadar serum S100B

sebagai marker cedera otak harus dilakukan secara berhati-hati.

Kenaikan kadar serum S100B tergantung pada integritas sawar darah

otak. Oleh karena itu peningkatan dini S100 setelah cedera otak traumatik

berhubungan baik dengan gangguan sawar darah otak maupun ekspresi aktif dari

jaringan otak yang terlibat pada reaksi inflamasi sistemik.

Peranan S100 pada cedera otak merupakan bidang yang sedang diteliti

secara luas, beberapa studi menunjukkan indikasi bahwa S100B dapat

menurunkan cedera neuronal dan/atau berperan dalam proses perbaikan

neuron setelah cedera otak traumatik, memicu penyembuhan luka pada trauma

dan memiliki aktifitas tropik parakrin pada jaringan disekitarnya (Sedaghat,

2008).

2. Kelainan Neoplastik

Terdapat berbagai tumor yang menunjukkan ekspresi protein S100;

antara lain S100B, S100A2, S100A4, S100A6, dan S100P (Hsieh, 2003).

S100-RAGE signalling pathway memainkan peranan penting dalam

(34)

RAGE rendah akan mengalami akselerasi apoptosis, penurunan aktifasi NFκB dan

secara signifikan mengakibatkan gangguan proliferasi (Semov, 2005).

Peningkatan kadar S100A4 (metastasin) berhubungan dengan survival

rate yang rendah pada pasien dengan kanker payudara, dan pada tikus terbukti

menginduksi metastase. Peningkatan konsentrasi serum S100A4 juga ditemukan

pada tumor esofagus dan kolon, pankreas, paru, kandung kemih dan

berhubungan dengan hasil akhir yang lebih buruk dan aktifitas tumor yang lebih

agresif (Semov, 2005).

Terdapat sekresi S100B yang tinggi pada melanoma maligna, yang

berhubungan dengan stadium dan prognosa tumor. Kadar serum S100B

digunakan sebagai petanda untuk deteksi dini dan rekurensi tumor (Von, 1996).

Hubungan antara anggota S100 protein family dan beberapa jenis kanker

tampak pada tabel 2.4.

Tabel 2.4. Hubungan antara anggota S100 protein family dan beberapa jenis

kanker

Walaupun pada kebanyakan kasus peranan protein S100 pada kanker

masih belum diketahui dengan jelas, pola ekspresi spesifik protein ini dapat

(35)

gen supressor tumor p53 dan menghambat fosforilasi, sehingga mengakibatkan

down regulation p53 yang tergantung kalsium.

Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui peranan p53 wild type

pada neoplasma yang berhubungan dengan S100B melalui inhibisi interaksi p53

dan S100B.

Protein S100 lain menghasilkan efek berbeda terhadap aktifitas p53

(S100A2 memicu aktifitas transkripsi p53, dan sebagainya)

3. Kelainan Jantung

S100A1 secara spesifik diekspresikan dalam konsentrasi tinggi pada

miokardium mamalia, dimana protein ini memodulasi kontraktilitas jantung

melalui interaksi protein ini dengan filamen kontraktil dan dengan protein pada

retikulum sarkoplasma (Ehlermann, 2000).

Kombinasi Skala Koma Glasgow (<6 poin) dengan peningkatan

konsentrasi serum dari NSE (>65ng/mL) dan S100 (> 1.5μg/l) pada 48-72 jam setelah resusitasi kardiopulmonar pada pasien yang mengalami cardiac arrest,

merupakan faktor prediktor hasil akhir neurologis dan gangguan kognitif dengan

spesifitas 100% (sensitifitas 42%) (Ekmektzoglou, 2007; Grubb, 2007).

Peningkatan S100 sendiri meningkatkan risiko kematian dan persistent

vegetative state sebesar 12,6 kali lipat (Carrier, 2006).

4. Penyakit Inflamasi

S100A8, S100A9, dan S100Al2, diekspresikan secara predominan pada sel

fagosit dan berhubungan kuat dengan fungsi proinflamasi. Protein-protein ini

disekresikan terutma pada tempat inflamasi. Konsentrasi serum dari protein

S100 berhubungan dengan aktifitas penyakit inflamasi; seperti rheumatoid

arthritis, bronkhitis kronis, dan sistik fibrosis (Foell, 2004).

S100A7, S100A8, S100A9, dan S100A12 mengalami proses upregulation

pada lesi psoriasis aktif dan berbagai penyakit inflamasi epidermis lain,

(36)

Peningkatan kadar S100B pada urin yang ditemukan pada bayi baru lahir

dengan gangguan pertumbuhan dalam rahim pada minggu pertama sesudah

kelahiran berhubungan dengan tingkat kerusakan otak. Kadar S100B

berhubungan dengan derajat gangguan neurologis bayi tersebut (Florio, 2006).

2.2.4. S100 dan Meningioma

Marker diagnostik meningioma terpenting adalah imunoreaktifitas

membaran terhadap EMA (Epithelial Membrane Antigen) (Abramovich, 1999;

Burger 2007)

Dari subtipe dasar meningioma, pewarnaan imunohistokimia EMA

mungkin lebih jelas pada tipe meningothelial dan transisional dibandingkan pada

tipe fibrous.

Sekitar 20% meningioma reaktif terhadap pewarnaan S100, dimana

meningioma tipe fibrous merupakan varian yang paling reaktif terhadap

pewarnaan ini. (Burger, 2007; Sav 2010)

Dari semua anggota keluarga S100, hanya ekspesi S100A5 yang

berhubungan dengan nilai prognostik signifikan terhadap rekurensi tumor.

Analisa regresi Cox menunjukkan nilai prognostik yang signifikan ini independen

terhadap usia pasien. Kombinasi dari usia pasien dan pewarnaan S100A5

memungkinkan identifikasi kelompok pasien yang memiliki risiko tinggi

mengalami rekurensi tumor. Hancq S et al menyimpulkan bahwa S100A5

mungkin memiliki peranan terhadap rekurensi meningioma grade I WHO yang

telah direseksi total (Hancq, 2004).

Dijumpainya protein S100 pada beberapa tipe meningioma bukan

merupakan hal yang tidak terduga. Spesimen baru meningioma kadang-kadang

menunjukkan jejak atau reaksi positif terhadap protein S100 pada

microcomplement fixation assay.

Meningioma secara umum dianggap merupakan tumor yang berasal dari

(37)

berasal dari sel neural crest embryo, sementara sel meningen lain adalah

fibroblast yang berasal dari jaringan mesenkim disekitarnya. Penjelasan ini

memudahkan pengertian mengapa meningioma memiliki berbagai tampilan

histologi, dan mengapa meningioma sering menjadi bagian kelainan displasia sel

selubung saraf yang dikenal sebagai penyakit von Recklinghausen

(Neurofibromatosis tipe I).

Alasan mengapa distribusi protein S100 yang berbeda diantara subgrup

meningioma belum dapat dimengerti sepenuhnya. Peneliti menduga sel glia yang

terletak berdekatan dengan meningioma mungkin terlibat dalam pembentukan

tumor dan mengalami stimulasi untuk proliferasi oleh sel tumor. Namun

tampaknya teori ini tidak sesuai dengan sifat meningioma yang tumbuh lambat,

globular, dan sangat jarang menginfiltrasi jaringan otak.Teori lain menyebutkan

meningioma yang berasal dari prekursor non neuronal mungkin mensintesa

protein S100 de novo sebagai akibat ekspresi gen yang berubah menjadi maligna.

Teori ini juga memiliki kelemahan karena kenyataannya meningioma adalah

tumor yang secara biologis bersifat jinak.

Teori histogenesis menjelaskan bahwa meningioma terdiri dari berbagai

tumor dengan berbagai histogenesis yang berbeda. Meningioma yang

menunjukkan ekspresi protein S100 dapat berasal baik dari komponen

neuroectodermal maupun mesenkim.

Beberapa penulis menduga bahwa beberapa sel pada pachymeninx

mungkin dapat mensekresikan protein S100, karena studi imunohistokimia

sebelumnya gagal menunjukkan protein S100 disekresikan oleh leptomeninx.

(Tabuchi, 1984)

Pewarnaan imunohistokimia S100 yang positif dijumpai pada 40%

meningioma chordoid. Reaktifitas terhadap S100 mungkin dapat

(38)

2.3. Kerangka Konseptual

Gambar 2.3. Kerangka konsep penelitian

Ekspresi S100 pada meningioma 1. Karakteristik Jenis Kelamin

2. Karakteristik Usia

3. Karakteristik Lokasi Tumor 4. Karakteristik grade WHO 5. Karakteristik Jenis

Histopatologi

(39)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif

yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan gambaran/ekspresi pewarnaan

imunohistokimia S100 dari pasien yang sebelumnya telah terdiagnosis sebagai

penderita meningioma di RSUP HAM pada perioda Pebruari 2010 - Pebruari

2013.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan laboratorium

patologi anatomi RS. Murni Teguh, Medan, Sumatera Utara, dilaksanakan mulai

bulan Juni – Juli 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi target adalah penderita meningioma

Populasi terjangkau adalah penderita meningioma yang menjalani operasi

pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi. Sampel diambil dengan tekhnik total sampling, yaitu seluruh spesimen

meningioma dari pasien-pasien meningioma intrakranial dan spine yang telah

menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan dari

Pebruari 2010 – Pebruari 2013, dengan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan

sesuai dengan gambaran meningioma. Dalam periode ini diperoleh total sampel

(40)

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Penderita tumor intrakranial dan spine yang menjalani operasi untuk

pengangkatan masa tumor, dengan hasil pemeriksaan histopatologi sesuai

dengan gambaran meningioma.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang menderita tumor intrakranial dan/atau spine selain

meningioma.

3.5. Persetujuan / Informed Consent

Sampel diambil dari spesimen yang telah dilakukan blok parafin oleh

seorang patologist dari pasien-pasien yang telah terdiagnosis menderita

meningioma sehingga tidak membutuhkan informed consent.

3.6. Etika Penelitian

Penelitian ini juga disetujui oleh Komite Etis Kesehatan dari Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.7. Cara Kerja dan Alur Penelitian

3.7.1. Cara Kerja

Sampel

Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah

dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu

meningioma dari Pebruari 2010 – Pebruari 2013 dikumpulkan dan dilakukan

pencatatan data-data pasien yang diperoleh dari rekam medik pasien dan

assessmen departemen bedah saraf. Data yang dicatat meliputi jenis kelamin,

(41)

Pewarnaan imunohistokimia S100

Proses pewarnaan memakan waktu selama ± 270 menit dengan rincian

sebagai berikut:

• Blok parafin dari spesimen meningioma dipotong dengan microtome

dengan ketebalan 3 micron

• Slide hasil potongan microtome dipanaskan pada hotplate dengan suhu

60 0

• Dehidrasi dengan alkohol absolut, 80% dan 70% selama 2 menit C selama 60 menit

• Kemudian slide dibilas dengan air mengalir (keran) selama 2 menit

• Bilas lagi dengan aquades selama 5 menit

• Masukkan slide kedalam TRS yang sudah dihangatkan

• Masukkan kedalam microwave samsung TDS dengan kondisi sebagai

berikut: 800 watt panaskan selama 2,5-3 menit dan 100 watt panaskan

selama 10 menit

• Setelah itu dinginkan slide selama 20 menit

• Slide dibilas lagi dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

• Kemudian bloking dengan DAKO FLEX Peroxidase selama 5 menit

• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

• Antibodi primer selama 20-60 menit

• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

DAKO FLEX HRP selama 20 menit

• Bilas dengan wash buffer (WB)/PBS-T selama 5 menit

DAKO FLEX DAB + SUBSTRAT selama 5 menit

• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit

• Hematoxylin selama 2 menit

• Bilas dengan air mengalir (keran) selama 5 menit

• Dihidrasi dengan alkohol 70%, 80% dan absolut selama 2 menit

• Xylene 2 kali selama 2 menit

Mounting medium dan coverslip

(42)

Penilaian staining intensity (SI)

Staining intensity dinilai dengan melakukan pengamatan slide dibawah

mikroskop dengan interpretasi sebagai berikut:

• Pewarnaan negatif (0) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali.

• Pewarnaan positif satu (+1) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat <25% jaringan tumor yang menyerap warna

• Pewarnaan positif dua (+2) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat 25-75% jaringan tumor yang menyerap warna.

• Pewarnaan positif tiga (+3) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat >75% jaringan tumor yang menyerap warna. (Samson W, 2004)

3.7.2. Alur Penelitian

Seluruh spesimen blok parafin meningioma yang sebelumnya telah

dilakukan pewarnaan dasar hematoxylin-eosin dan dikonfirmasi sebagai suatu

meningioma dilakukan pewarnaan imunohistokimia S100. Setelah dilakukan

pewarnaan, staining intensity (SI) dihitung skornya dari skala 0-3 (dari yang tidak

(43)

Gambar 3.1. Bagan alur penelitian

3.8. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Mengioma Nominal

Variabel tergantung Skala

Pewarnaan histokimia S100 Ordinal

3.9. Definisi Operasional

• Meningioma adalah tumor yang berasal dari arachnoid cap cell yang

terdapat pada selaput arachnoid yang melapisi seluruh permukaan otak

(Louis et al, 2000).

• S-100 adalah suatu famili protein calcium – binding, dimerik, berat

molekul 9 – 13 kDa. S100A1 (α) dan S-1OOB (β) merupakan spesies

senyawa protein pertama ditemukan oleh Moore pada tahun 1965 dari

preparat jaringan otak sapi. Nama S100 karena substrat larut 100% dalam

larutan ammonium sulfat (Kilby et al., 1996, Smith and Shaw 1998, Korfias

et al., 2006).

Meningioma

S100

Pewarnaan Negatif /

Negative Staining

(44)

• Pewarnaan negatif (0) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

jaringan tumor tidak menyerap warna sama sekali.

• Pewarnaan positif satu (+1) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat <25% jaringan tumor yang menyerap warna

• Pewarnaan positif dua (+2) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat 25-75% jaringan tumor yang menyerap warna.

• Pewarnaan positif tiga (+3) adalah apabila pada gambaran mikroskopis

terdapat >75% jaringan tumor yang menyerap warna. (Samson W, 2004)

3.10. Rencana Pengolahan dan Analisa Data

Data medis dan demografis dianalisa secara deskriptif dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi atau diagram dan persentase untuk data kategori dan data

(45)

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian diambil dari bulan Pebruari 2010 sampai dengan bulan

Pebruari 2013. Dalam kurun waktu tersebut diperoleh 31 spesimen dari dari

pasien-pasien meningioma intrakranial dan spinal yang telah menjalani operasi

pengangkatan tumor di RSUP. H. Adam Malik Medan dengan hasil pemeriksaan

histopatologi jaringan sesuai dengan gambaran meningioma. Dari spesimen

meningioma yang telah dilakukan blok parafin tersebut dilakukan pewarnaan

imunohistokimia S100. Pemeriksaan imunohistokimia EMA juga dilakukan pada

spesimen-spesimen ini untuk lebih memastikan diagnosis meningioma. Hasil

lengkap data penderita dapat dilihat pada lampiran.

4.1.1 Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin

Setelah dilakukan pendataan dan memasukkan data tersebut ke dalam

tabel, didapatkan sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak

dibandingkan dengan sampel laki-laki, dimana sampel perempuan sebanyak 20

(64,5%) kasus dan laki-laki sebanyak 11 (35,5%) kasus.

Tabel 4.1. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-Laki 11 35,5

Perempuan 20 64,5

Total 31 100.0

4.1.2. Distribusi Berdasarkan Usia

Setelah dilakukan analisis deskriptif terhadap usia didapati bahwa mean

adalah 42 ± 9,77 tahun dengan nilai minimal 19 tahun dan maksimal 69 tahun.

(46)

Terhadap sampel dilakukan klasifikasi usia berdasarkan dekade

kehidupan. Kejadian meningioma memiliki frekuensi kejadian terbanyak pada

kelompok usia 40 – 49 tahun sebanyak 13 (41,9%) kasus. Sedangkan frekuensi

kejadian yang paling sedikit ada pada kelompok usia 60-69 sebanyak 1 (3,2%)

kasus

Tabel 4.2. Analisis Deskriptif Berdasarkan Usia

Nilai

Mean 42,00

Median 42,00

Std. Deviation 9,774

Minimum 19

Maximum 69

Kelompok Usia n %

20 – 29 4 12,9

30 – 39 8 25,8

40 – 49 13 41,9

50 – 59 5 16,2

60 – 69 1 3,2

Total 31 100.0

4.1.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor

Terhadap sampel dilakukan klasifikasi berdasarkan lokasi terjadinya

meningioma. Setelah dilakukan tabulasi diperoleh frekuensi terbanyak adalah

pada konveksitas dan parasagital meningioma dengan masing-masing 8 (25,8%)

(47)

Tabel 4.3. Distribusi Berdasarkan Lokasi Tumor

Lokasi Tumor n %

Convexity 8 25,8

Parasagital 8 25,8

Sphenoid Ridge 2 6,5

Falx 1 3,2

Tuberculum Sellae 3 9,7

Foramen Magnum 1 3,2

Petroclival 1 3,2

Enplaque 1 3,2

Olfactory groove 1 3,2

Spine 3 9,7

Posterior Fossa 2 6,5

Total 31 100.0

4.1.4. Distribusi Berdasarkan Grade WHO

Berdasarkan grade WHO, diperoleh frekuensi terbanyak adalah tipe

meningioma benign sebanyak 28 (90,3%) kasus. Diikuti oleh atypical sebanyak 2

(6,5%) kasus dan anaplastic sebanyak 1 (3,2%) kasus.

Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Grade Tumor

Grade WHO n %

Benign 28 90,3

Atypical 2 6,5

Anaplastic 1 3,2

Total 31 100.0

4.1.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor

Berdasarkan jenis histopatologi tumor, diperoleh frekuensi terbanyak

(48)

transitional meningioma 3 (15%) kasus, fibroblastic meningioma 2 (10%) kasus,

dan atypical meningioma 1 (5%) kasus.

Tabel 4.5. Distribusi Berdasarkan Jenis Histopatologi Tumor

Jenis Histopatologi n %

Meningothelial 17 54,8

Fibroblastic 4 12,9

Psammomatous 2 6,5

Transitional 4 12,9

Secretory 1 3,2

Atypical 2 6,5

Anaplastic 1 3,2

Total 31 100.0

4.1.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor

Berdasarkan rekurensi tumor, didapati 4 (12,9%) orang penderita yang

mengalami rekurensi meningioma.

Tabel 4.6. Distribusi Berdasarkan Rekurensi Tumor

Rekurensi n %

Ya 4 12,9

Tidak 27 87,1

Total 31 100.0

4.1.7. Distribusi Staining Intensity S100 pada Meningioma

Dari seluruh sampel meningioma yang diberi pewarnaan imunohistokimia

S100, didapatkan hasil 20 sampel (64,5%) memiliki SI 0 atau tidak menyerap

warna, 7 sampel meningioma (22,6%) memiliki SI +3, 1 sampel meningioma

(49)

Tabel 4.7. Distribusi Staining Intensity S100 pada Meningioma

4.1.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari jenis kelamin laki-laki, 5 orang tidak menunjukan intensitas

pewarnaan pada protein S100, 3 orang menunjukkan intensitas pewarnaan +1

dan 3 orang lainnya menunjukkan intensitas pewarnaan +3. Sedangkan jenis

kelamin perempuan, 15 orang tidak menunjukkan intensitas pewarnaan protein

S100, 1 orang menunjukkan intensitas pewarnaan +2 dan 4 lainnya menunjukkan

intensitas pewarnaan +3.

Tabel 4.1.8. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Kelamin

SI Pewarnaan S100 Total

0 +1 +2 +3

4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia

Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan usia diperoleh hasil dari 4

kasus kelompok umur 20-29, 1 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan,

dan 3 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Pada kelompok usia 30-39,

5 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, 2 kasus menunjukkan

(50)

sedang. Pada kelompok usia 40-49, 11 kasus tidak menunjukkan intensitas

pewarnaan, dan 2 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Pada

kelompok usia 50-59, 3 kasus tidak menunjukkan intensitas pewarnaan, dan 2

kasus menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Sedangkan pada kelompok usia

60-69, 1 orang menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit.

Tabel 4.1.9. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Usia

SI Pewarnaan S100 Total

0 +1 +2 +3

4.1.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor

Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan lokasi tumor diperoleh

data dari 8 kasus meningioma convexity yang tidak menunjukkan intensitas

pewarnaan sebanyak 6 kasus, yang menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit

sebanyak 1 kasus dan yang paling kuat intensitas pewarnaannya sebanyak 1

kasus. Pada meningioma parasagital, dari total 8 kasus yang tidak menunjukkan

intensitas pewarnaan sebanyak 6 kasus dan yang menunjukkan intensitas

pewarnaan sedikit sebanyak 2 kasus. Dua kasus sphenoid ridge meningioma,

semuanya menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Satu kasus falx meningioma

juga menunjukkan intensitas pewarnaan kuat. Tiga kasus meningioma

tuberculum sella, tidak ada yang menunjukkan intensitas pewarnaan. Satu kasus

foramen magnum dan petroclival meningioma menunjukkan intensitas

(51)

menunjukkan intensitas pewarnaan kuat, 1 kasus menunjukkan intensitas

pewarnaan sedang dan 1 kasus lagi menunjukkan intensitas pewarnaan kuat dan

dari 2 kasus posterior fossa meningioma keduanya tidak menunjukkan intensitas

pewarnaan S100.

Tabel 4.1.10. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Lokasi Tumor

SI Pewarnaan S100 Total

0 +1 +2 +3

4.1.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO

Setelah dilakukan cross tabulation antara SI dan grade WHO diperoleh

data dari 28 kasus meningioma benign, 20 kasus tidak menunjukkan intensitas

pewarnaan S100, 1 kasus menunjukkan intensitas pewarnaan yang sedikit, 1

kasus menunjukkan intensitas pewarnaan sedang dan 6 kasus menunjukkan

intensitas pewarnaan kuat. Dari 2 kasus atypical meningioma, keduanya

menunjukkan intensitas pewarnaan sedikit dan dari 1 kasus anaplastic

(52)

Tabel 4.1.11. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Grade WHO

SI Pewarnaan S100 Total

0 +1 +2 +3

Grade WHO Benign 20 1 1 6 28

Atypical 0 2 0 0 2

Anaplastic 0 0 0 1 1

Total 20 3 1 7 31

4.1.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi

Dari semua sampel meningioma, hanya 11 (35,48%) sampel yang

menunjukkan intensitas pewarnaan terhadap protein S100. Dari semua jenis

histopatologi hanya fibroblastic, secretory dan atypical meningioma yang

menunjukkan intensitas pewarnaan yang kuat (+3) terhadap protein S100.

Tabel 4.12. Distribusi Staining Intensity S100 Berdasarkan Jenis Histopatologi

SI Pewarnaan S100 Total

0 +1 +2 +3

Histopatolo

gi

Meningothelial 15 1 0 1 17

Fibroblastic 0 0 0 4 4

Psammomatou

s

2 0 0 0 2

Transitional 3 0 1 0 4

Secretory 0 0 0 1 1

Atypical 0 2 0 0 2

Anaplastic 0 0 0 1 1

Gambar

Tabel 2.1. Grade meningioma menurut WHO (Louis, 2000)
Tabel 2.2. Simpson Grading Sistem (Simpson, 1957)
Gambar 2.1. Struktur dimer protein S100. Protein S100 dapat dijumpai dalam bentuk homodimer, heterodimer, dan oligodimer
Tabel 2.3.  Anggota S100 protein familly  dan lokasinya pada berbagai gen
+7

Referensi

Dokumen terkait

P53 merupakan tumor supressor gene yang dianggap sebagai pelindung gen (policeman of the genome). Apabila gen p53 mengalami mutasi maka defek genetik yang tidak mematikan,

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi Cross Sectional analitik untuk mengukur kadar FGF-2 serum pada penderita meningioma intrakranial, dilanjutkan dengan

Penjadwalaan dalam penelitian ini, permasalahan yang dibahas adalah pewarnaan simpul graf untuk penjadwalan jam kerja karyawan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yaitu

Saya sampaikan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam

Mutasi p53 telah ditemukan pada lebih dari setengah kasus keganasan pada manusia.Walaupun ‘p53 pathway’ telah dikenal baik dalam patogenesis keganasan tersebut, penarannya dalam

In vivo mitochondrial p53 translocation triggers a rapid first wave of cell death in response to DNA damage that can precede p53 target gene activation.. p63 and p73 are required

Ectopic pituitary adenoma berupa tumor di mukosa nasofaring yang seluler dan tidak berkapsul, dengan epitel permukaan yang masih intak. Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan hasil

pada Angiofibroma Nasofaring Juvenile dengan Menggunakan Pemeriksaan Imunohistokimia di RSUP