• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan (Kasus TPI Cituis, Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten)"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

This research is focused on social representations about fish auction center in fisher community. Social representation is a psychosocial assessment that refers to the outcome and the process of a common sense. Conceptually, the fish auction center is provided by the government to assist the fishers in selling their fishes. The goals of fish auction center are to increase the fishers’ income, as the price controler, and as a place for fishers to selling their fishes. But the goals were not necessarily making the fishers utilize fish auction center optimally. In fact, many fishers prefer to utilize the broker instead of fish auction center. Thus interesting to examine about how the social representation that fishers had about the fish auction center, find out whether there is any relationship between the characteristics of the fishers, the characteristics of fish auction center and the presence of broker with the fishers’ social representations. This is an explanatory research that also looking for words that represent fish auction center in fishers’ way of thought. The words will elaborate the fishers’ common sense about fish auction center.

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup17.504 pulau, 6.000 diantaranya berpenduduk. Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08' LU hingga 11°15' LS, dan dari 94°45' BT hingga 141°05' BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009), luas total wilayah Indonesia adalah 7,7 juta km2 terdiri dari 1,9 juta km2 daratan, 2,3 juta km2 laut nusantara, 0,8 juta km2 laut teritorial dan 2,7 juta km2 perairan ZEE.

Jumlah penduduk Indonesia menurut data statistik pada tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa. Nyaris seluruhnya (95,9 persen) berdiam di kawasan yang berada dalam jarak 100 km dari garis pantai. Pantai Indonesia yang terentang sepanjang 95.180,8 km adalah terpanjang kelima di dunia. Di sepanjang garis pantai inilah terdapat daerah pesisir.

Daerah pesisir memiliki ciri khas sosial budaya dan ekonomi tersendiri. Kekhasan daerah pesisir adalah hasil dari interaksi penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir dapat kita sebut sebagai masyarakat pesisir. Salah satu komponen dari masyarakat pesisir adalah nelayan. Jumlah masyarakat pesisir di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan sekitar 16.420.000 jiwa, sekitar 4.015.320 jiwa diantaranya adalah nelayan. Data yang bersumber dari Kementrian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa persentase masyarakat pesisir yang hidup di bawah garis kemiskinan (berdasarkan

Poverty Headcount Index) masih tinggi, yaitu sebesar 32,14 persen atau sekitar 5.254.400 jiwa.

(3)

kesejahteraan nelayan (Satria, 2009). Salah satu hal yang menarik adalah nelayan justru banyak mengalami masalah dalam pengembangan usahanya. Pengembangan usaha nelayan salah satunya sangat bergantung kepada keberadaan pasar (konsumen), untuk memiliki pasar yang sudah tetap adalah salah satu kesulitan yang dihadapi nelayan. Kesulitan tersebut membuat nelayan yang telah bekerja keras menangkap ikan, kadang tetap saja memiliki pendapatan yang kecil. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa mereka akan mendapat pendapatan yang besar, walaupun hasil tangkapan mereka berlimpah. Jika ikan yang mereka tangkap tidak segera disalurkan kepada konsumen maka ikan tersebut dapat menjadi busuk dan malah menjadi sia-sia.

Sistem ijon adalah cara yang banyak dipilih nelayan untuk menjamin hasil tangkapan mereka terjual. Namun sistem ini lebih banyak merugikan nelayan karena penetapan harga lebih cenderung bersifat sepihak, sehingga harga yang berlaku lebih rendah dari harga pasar. Di lain pihak, harga ikan pada tingkat konsumen relatif tinggi karena panjangnya mata rantai pemasaran. Oleh karena itu untuk mewujudkan harga yang wajar dan menguntungkan bagi nelayan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan sekaligus memberikan pasar yang pasti bagi nelayan dalam menjual hasil tangkapannya, pemerintah memberi bimbingan dan dorongan agar hasil tangkapan nelayan dijual melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Tempat Pelelangan Ikan pada dasarnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah karena termasuk kepada kewenangan otonomi daerah, sehingga pada tiap daerah dapat ditemukan TPI dengan sistem yang agak berbeda satu sama lain. Berdasarkan UU No 31 tahun 2004, disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membangun dan membina prasarana perikanan (pelabuhan perikanan dan saluran irigasi tambak) (Pramitasari, 2005).

(4)

disebabkan oleh tidak dapat dicapainya tujuan dari TPI, yaitu dalam meningkatkan pendapatan nelayan, mengendalikan harga ikan, dan sebagai tempat nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapannya.Tidak berjalannya fungsi TPI ini diduga karena banyak nelayan yang tetap mengandalkan keberadaan tengkulak, sehingga mengabaikan keberadaan TPI. Tengkulak dianggap sebagai jaminan sosial ekonomi yang sudah umum bagi nelayan. Keberadaan TPI harus bersaing dengan keberadaan tengkulak yang dapat dikatakan telah menjadi suatu tradisi dalam masyarakat nelayan.

Berdasarkan latar belakang di atas, menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai bagaimana representasi sosial nelayan terhadap TPI, mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara karakteristik nelayan, karakteristik TPI dan keberadaan tengkulak dengan representasi sosial tentang TPI yang dimiliki oleh nelayan, dan mencari tahu tentang ada atau tidaknya hubungan antara representasi sosial yang dimiliki nelayan dengan tingkat pemanfaatan TPI pada nelayan. Pengkajian terhadap representasi sosial tentang TPI pada nelayan ini terkait dengan teori tentang representasi sosial yaitu representasi sosial dapat merubah perlaku seserang, atau dengan kata lain representasi sosial dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Representasi sosial yang berbeda akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula. Hal ini disebabkan setiap individu memiliki representasi yang berbeda mengenai suatu obyek.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan?

2. Bagaimana hubungan karakteristik nelayan responden dengan representasi sosial nelayan tentang TPI Cituis?

(5)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan responden. 2. Menganalisis hubungan karakteristik nelayan responden dengan representasi

sosial tentang TPI Cituis.

3. Menganalisis hubungan faktor eksternal (karakteristik TPI dan interaksi nelayan-tengkulak) dengan representasi sosial tentang TPI Cituis.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Peneliti, penelitian ini diharapkan mampu menjadi pembelajaran dalam memahami kehidupan nelayan terutama dalam bidang representasi sosial mereka.

2. Masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penambah pengetahuan mengenai representasi sosial nelayan.

3. Civitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literature dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan representasi sosial.

(6)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Representasi Sosial

Representasi sosial merupakan suatu teori yang dirintis oleh pemikiran seorang peneliti Psikologi Sosial, Serge Moscovici, sehingga teori representasi sosial berada di bawah teori besar psikologi sosial. Menurut Hollander (1981)

dalam Pidarta (2007), psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu.

Jodelet (2005) dalam Putera dkk (2009) menjelaskan istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran umum (common sense). Pikiran umum adalah cara berpikir „rasional‟ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari (Putera dkk, 2009). Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik (central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik

(periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core.

(7)

Sesuai dengan pernyataan Abric (1989) sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan (2010):

“... Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa tingkah laku para subyek ataupun kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situai tersebut. ...” (Abric, 1989, seperti dikutip Padjaitan 2010).

Kesimpulannya adalah representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut.

a. Fungsi Representasi Sosial

Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) menyebutkan bahwa representasi sosial memiliki dua fungsi sekaligus, antara lain:

1. Representasi sosial berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya.

2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran sosial mereka, dan sebagai kode untuk menamai serta mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejahteraan individu dan kesejarahan kelompoknya.

(8)

b. Pembentukan Representasi Sosial

Menurut Moscovici (1984) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan

objectifying.

1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.

2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut.

c. Pengukuran Representasi Sosial

Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa metode, di antaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Dalam Wagner dan Hayes (2005) sebagaimana dikutip oleh Johar (2011) dikatakan bahwa pada percobaan, variabel percobaan yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) dalam Johar (2011) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata, representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek.

(9)

kata-kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Pada penelitian ini, responden hanya diminta untuk menyebutkan minimal satu kata yang dianggap paling mewakili objek penelitian, yaitu TPI Cituis. Hal ini dilakukan karena responden menemukan kesulitan ketika diminta untuk menyebutkan lima kata untuk mewakili TPI Cituis. Skala Likert digunakan untuk mengukur elemen sikap dan keyakinan dalam representasi sosial.

2.1.2 Nelayan

Menurut Imron (2003) sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau pun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi. Berikut adalah tingkatannya:

1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada kebutuhan sendiri (subsisten), nelayan ini mengalokasikan hasil jual tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk pengembangan skala usaha.

(10)

tersebut karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar.

3. Commercial-fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dan dicirikan dengan status tenaga kerja yang beragam, dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan lebih modern sehingga diperlukan keahlian tersendiri dalam pengoperasiannya.

4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah:

a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju;

b. Secara relatif lebih padat modal;

c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikan serderhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan

d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Hanson (1984) dalam Amanah dkk (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah.

2.1.3 Tempat Pelelangan Ikan

(11)

bangunan tempat transaksi penjualan ikan; (c) ada yang mengkoordinasi prosedur lelang/penjualan; (d) mendapat izin dari instansi yang berwenang (Dinas Perikanan/Pemerintah Daerah).

TPI merupakan pusat dari seluruh kegiatan perikanan, yang mengumpulkan semua hasil tangkapan untuk dijual melalui sistem lelang (Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Yunizar, 1989. Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989) mengatakan bahwa secara umum pelelangan ikan diartikan sebagai suatu metode transaksi di pusat produksi yang diselenggarakan di TPI antara nelayan dan bakul dengan tujuan agar dapat diperoleh harga yang wajar serta pembayaran secara tunai kepada nelayan.

Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997; 902/Kpts/PL.420/9/97; 03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang penyelengaraan tempat pelelangan ikan, bahwa yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat (Pramitasari, 2005).

a. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan

Fungsi TPI menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1985) sebagaimana dikutip Yunizar (1989) adalah sebagai:

1.Tempat pelelangan;

2.Tempat menyortir, mencuci, dan menimbang sebelum ikan dilelang; 3.Tempat pengepakkan sebelum ikan dikirim ke daerah pemasaran.

TPI pada hakekatnya adalah pasar induk dari segi institusi. Manfaat dari pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Adi (1995) adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan;

(12)

3. Sebagai sarana melepaskan ketergantungan nelayan kepada pemilik modal dan penghapusan sistem ijon;

4. Sebagai sarana pembinaan mutu hasil perikanan sekaligus pengaturan harga yang layak bagi konsumen;

5. Sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah yang sekaligus dapat melakukan fungsi kontrol terhadap penghimpunan dan penggunaan dana retribusi.

Pada pelaksanaan pelelangan ikan juga terdapat hambatan-hambatan, berikut adalah hambatan pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989), antara lain:

1. Belum dilakukannya sistem lelang dengan penawaran terbuka dan bebas, sehingga banyak merugikan nelayan;

2. Administrasi pengelolaan dan pengawasan pelelangan belum berjalan sempurna;

3. Petugas-petugas TPI umumnya masih belum memiliki persyaratan (job qualification) untuk pelaksanaan tugasnya;

4. Pelelangan ikan banyak didominasi oleh pedagang-pedagang ikan yang juga adalah tengkulak-tengkulak atau pelepas uang;

5. Praktek-praktek penjualan ikan di tengah laut masih banyak terjadi;

6. Hasil tangkapan nelayan kecil, sering tidak dijual di TPI karena adanya pembatasan jumlah minimal ikan yang boleh dilelang;

7. Pembayaran harga ikan kepada nelayan tidak secara tunai;

8. KUD sebagai pelaksana pelelangan ikan kebanyakan belum mampu melaksanakan tugasnya terutama untuk menjamin berlangsungnya penawaran secara bebas dan terbuka;

9. Sarana-sarana pemasaran seperti: penyediaan es, cool box, cool room, dan sebagainya, khususnya di PPI banyak yang belum memadai;

(13)

b. Karakteristik Tempat Pelelangan Ikan

Tempat Pelelangan Ikan idealnya memiliki fasilitas yang baik agar dapat mendukung fungsinya secara optimal. Sarana seperti tempat penyediaan es, cool box, dan cool room seharusnya telah dapat terpenuhi mengingat fokus dari TPI adalah ikan yang merupakan komoditas yang cepat rusak. Kelengkapan fasilitas pada suatu TPI adalah karakter dari masing-masing TPI, karena ternyata tidak semua TPI telah memiliki fasilitas yang memadai. Karakter lain yang dapat dilihat pada suatu TPI adalah letaknya. TPI yang baik adalah TPI yang letaknya berdekatan dengan PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) sehingga ketika nelayan pulang dari melaut dapat langsung membawa hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini tentu saja akan sangat mengefisienkan waktu dan tenaga para nelayan.

TPI adalah tanggung jawab dari pemerintahan daerah sehingga dapat terjadi perbedaan kebijakan antara TPI yang satu dengan TPI yang lainnya atau bergantung kepada kebijakan pemerintahan daerah tempat TPI tersebut berdiri. Dengan demikian kebijakan yang berlaku pada suatu TPI dapat dikategorikan sebagai karakteristik TPI. Perbedaan kebijakan ini dapat terlihat misalnya pada pengimplementasian biaya retribusi dan sistem lelang yang belaku.

2.1.4 Hubungan Patron-Klien

Salah satu ciri dari masyarakat nelayan adalah adanya hubungan patron-klien. Ikatan patron-klien muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan nelayan akan jaminan atas kelancaran kegiatan pencarian nafkah mereka. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan menjalin sebuah hubungan patron-klien dengan seorang tengkulak. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria, 2002).

(14)

Scot (1972) dalam Layn (2008) menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.

Ketidakseimbangan pertukaran pada hubungan patron-klien dapat dengan mudah ditemukan. Ketidakseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan. Namun dalam pandangan individu yang terlibat dalam hubungan patron-klien pertukaran yang mereka lakukan dapat saja dianggap seimbang. Gouldner (1977) dalam Layn (2008) menyatakan bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut denga heteromorphic reciprocity.

Menurut Mulyadi (2007), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang secara konseptual disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil, ternyata belum optimal. Kendala yang dihadapi TPI dalam mengundang nelayan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia ternyata terjadi karena alasan sosiologis di mana nelayan telah menjalin hubungan dengan tengkulak dalam suatu hubungan patron-klien, yaitu tengkulak memberikan fasilitas kredit kepada nelayan. Sebaliknya nelayan memiliki kewajiban untuk menjual hasil tengkapannya kepada tengkulak.

2.2 Kerangka Pemikiran

(15)

pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat usia dan tingkat pengalaman. Faktor eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini berasal dari TPI sendiri yaiu karakteristik dari TPI Cituis dan faktor eksternal lain yang berasal dari kehidupan sosial ekonomi nelayan, yaitu hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan. Karakteristik TPI yang diduga dapat mempengaruhi representasi sosial nelayan terhadap TPI, antara lain: kelengkapan fasilitas, letak, sistem lelang, sistem retribusi dan pegawai dari TPI tersebut. Tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan dapat dilihat dari frekuensi mengikuti kegiatan lelang, persentasi jumlah ikan yang dilelang dari hasil tangkapan, dan kegiatan yang diikuti nelayan di TPI selain dari kegiatan lelang.

(16)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang menggunakan alat tangkap gardan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus.

2. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang berstatus nelayan buruh, nelayan perorangan dan nelayan juragan.

3. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendapatan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

Faktor Eksternal

Tingkat Pemanfaatan TPI oleh Nelayan Faktor Internal

Karakteristik Nelayan: 1. Jenis alat tangkap 2. Status nelayan 3. Tingkat pendapatan 4. Tingkat pendidikan 5. Tingkat

pengalaman 6. Tingkat usia

Karakteristik TPI: 1. Fasilitas TPI

2. Letak TPI 3. Sistem retribusi 4. Sistem lelang

Representasi Sosial tentang TPI pada Nelayan

Elemen: 1. Informasi

2. Sikap 3. Opini 4. Keyakinan Tingkat interaksi dengan

tengkulak (hubungan patron-klien)

Keterangan Gambar:

(17)

4. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendidikan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

5. Terdapat hubungan positif nyata pada pengalaman nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

6. Terdapat hubungan positif nyata pada usia nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

7. Terdapat hubungan negatif nyata pada tingkat interaksi nelayan dengan tengkulak terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran

Berdasarkan variabel-variabel yang terdapat pada kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik Nelayan adalah berbagai karakter yang terdapat pada responden dan bersifat personal.

1) Usia adalah jawaban responden tentang lama hidup responden sampai ketika diwawancarai. Usia dikategorikan menjadi tiga kategori yang mengurutkan tingkat usia responden dari yang paling muda hingga yang paling tua. Berikut batasan pada tiap kategori:

a. Muda = -½ standar deviasi (x < 32 tahun) Skor = 0 b. Sedang = - ½ standar deviasi ≤ x ≤ + ½ standar deviasi

(32 ≤ x ≤ 40 tahun) Skor = 1

c. Tua = +½ standar deviasi (x > 40 tahun) Skor = 2 2) Tingkat pendidikan adalah jawaban responden tentang pendidikan terakhir

yang telah mereka capai. Kategorinya adalah sebagai berikut: a. tidak sekolah

(18)

Namun pada saat penelitian, tingkat pendidikan responden tidak terlalu heterogen dehingga pengkategoriannya diubah sesuai data yang terkumpul saat penelitian, yaitu:

a. Tidak sekolah Skor = 0

b. SD Skor = 1

c. > SD Skor = 2

3) Tingkat pendapatan adalah jawaban responden tentang jumlah uang yang mereka dapatkan dari hasil menangkap ikan setiap bulannya. Kategorinya adalah:

a. Rendah (x < Rp 755.000,00) Skor = 0

b. Sedang (Rp 755.000,00 ≤ x ≤ Rp 1.111.000,00) Skor = 1

c. Tinggi (x > Rp 1.111.000,00) Skor = 2

4) Status nelayan adalah jawaban responden tentang kedudukan mereka sebagai seorang nelayan. Kategori yang digunakan adalah:

a. Anak Buah Kapal (ABK) b. Nakhoda

c. Juragan

5) Jenis alat tangkap adalah jawaban responden tentang alat yang mereka gunakan ketika menangkap ikan. Jenis alat tangkap dikategorikan sesuai dengan hasil dari pengumpulan data, yaitu:

a. Pancing b. Gardan c. Jaring rampus d. Jaring apollo e. Payang

6) Pengalaman adalah jawaban responden tentang lamanya mereka berkecimpung sebagai nelayan. Kategorinya adalah:

a. Rendah (x < 16 tahun) Skor: 0

b. Sedang (16 ≤ x ≤ 24 tahun) Skor: 1

(19)

2. Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu nelayan, yang terdiri dari karakteristik TPI dan tingkat interaksi dengan tengkulak.

 Karakteristik TPI adalah jawaban responden tentang berbagai informasi tentang TPI Cituis yang mereka ketahui, meliputi:

1) Fasilitas TPI adalah kelengkapan sarana yang ada pada TPI Cituis.

2) Letak TPI adalah jarak yang harus ditempuh nelayan untuk mencapai TPI dari pendaratan ikan.

3) Sistem retribusi adalah sistem penarikan uang yang wajib dilakukan TPI kepada nelayan anggota lelang.

4) Sistem lelang adalah aturan main yang berlaku dalam kegiatan lelang.

 Tingkat interaksi dengan tengkulak adalah jawaban responden tentang seberapa sering mereka melakukan perjanjian dengan tengkulak. Kategorinya adalah:

a. Selalu Skor: 0

b. Kadang-kadang Skor: 1

c. Tidak pernah Skor: 2

Variabel faktor eksternal juga diukur melalui pendekatan kualitatif.

3.Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman nelayan tentang TPI. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Informasi adalah segala pengetahuan mengenai TPI yang dimiliki responden, diukur dengan melihat tingkat pengetahuan tentang variabel karakteristik TPI, kategorinya adalah:

a. Rendah (x < 4) b. Sedang (4 ≤ x ≤ 7) c. Tinggi (x > 7)

2) Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari responden terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam TPI, kategorinya adalah:

(20)

c. Positif (x > 10)

3) Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh responden mengenai TPI Cituis, kategorinya adalah:

a. Negatif (x < 8) b. Netral (8 ≤ x ≤ 9) c. Positif (x > 9)

(21)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Pemilihan lokasi penelitian melalui pendekatan

purposive. Desa Surya Bahari dipilih karena pada lokasi ini terdapat TPI Cituis. TPI Cituis adalah objek dari representasi sosial nelayan yang dikaji pada penelitian ini. Berikut adalah batas-batas Desa Surya Bahari, yaitu: (1) Sebelah Utara: Perairan Kepulauan Seribu; (2) Sebelah Selatan: Desa Buaran Wangah; (3) Sebelah Timur: Desa Kramat; (4) Sebelah Barat: Desa Karang Serang.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (unpublished), TPI Cituis adalah salah satu TPI yang masih aktif dalam kegiatan pelelangan ikan di daerah Kabupaten Tangerang. TPI Cituis ini merupakan milik pemerintah Kabupaten Tangerang yang pengelolaannya oleh koperasi, yaitu KUD Mina Samudera. Pengumpulan data dilakukan pada periode Maret-April 2011. Pengolahan data dan hasil penelitian dilakukan pada periode Mei-September 2011.

3.2 Teknik Pemilihan Responden

(22)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survai dengan bentuk penelitian eksplanatory (penelitian penjelasan). Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), pada penelitian eksplanatory dilakukan penjelasan mengenai hubungan-hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian terhadap hipotesa. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Proses penyusunan instrumen penelitian mengenai representasi sosial tentang TPI pada nelayan dilakukan melalui beberapa cara, antara lain:

1. Kuesioner: menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup untuk mengetahui karakteristik, pengetahuan dan pendapat responden dalam representasi sosial dan tingkat pemanfaatan TPI oleh responden. Selain itu, pada kuesioner jugadigunakan beberapa teknik berikut:

a. Teknik asosiasi kata: instruksi disampaikan secara lisan dan dituliskan juga dalam kuesioner. Partisipan diminta untuk menyebutkan kata yang terlintas di benak mereka ketika mendengar kata TPI Cituis. Partisipan juga diminta untuk menjelaskan arti dan maksud asosiasi kata yang telah mereka tuliskan dalam kuesioner. Teknik pengukuran ini dapat menjelaskan representasi mental yang ada dalam sebuah masyarakat mengenai sebuah obyek tertentu, dalam hal ini adalah makna dari TPI Cituis. Dalam wawancara responden juga diminta untuk menyebutkan kata yang dianggap dapat mewakili tengkulak, sehingga didapatkan hasil asosiasi kata berupa tipologi-tipologi representasi sosial tentang TPI dan tengkulak.

(23)

2. Wawancara mendalam: untuk mengetahui informasi-informasi yang berkaitan dengan TPI, hubungan patron-klien yang terjadi, dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian.

3. Studi literatur: untuk mendapatkan data yang bersifat data sekunder seperti gambaran umum lokasi penelitian, data kependudukan, dan data lain yang terkait dengan penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data digunakan beberapa teknik analisis data, yaitu: 1. Tabel frekuensi digunakan untuk analisis data primer, yaitu deskripsi

karakteristik nelayan dan tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan.

2. Pengolahan data menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 16.0. Program SPSS 16.0 digunakan untuk melakukan uji Korelasi Spearman dan uji Chi-Square. Uji Korelasi Spearman digunakan untuk mengukur hubungan antara tingkat pendapatan, tingkat pengalaman, tingkat usia, tingkat pendidikan dan tingkat interaksi nelayan-tengkulak dengan representasi sosial pada responden. Uji Chi-Square digunakan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan representasi sosial pada nelayan yang berbeda status dan jenis alat tangkap.

 Apabila hasil uji menunjukkan nilai probabilitas < 0,05 maka terdapat perbedaan representasi sosial antara responden yang memiliki karakteristik berbeda. Jika nilai probabilitas > 0,05 maka tidak terdapat perbedaan representasi sosial antara responden yang memiliki karakteristik berbeda.  Ada atau tidak adanya korelasi pada hasil uji korelasi Spearman dapat

(24)

3. Tabulasi silang digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel yang memiliki hubungan.

(25)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Desa Surya Bahari 4.1.1 Keadaan Geografis

Desa Surya Bahari terletak di Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Menurut data monografi dari Pemerintahan Desa, Luas wilayah Desa Surya Bahari adalah 272 Ha. Secara geografis, Desa Surya Bahari berada pada koordinat 03o46‟51” N Latitude dan 98o42‟44” E Longitude. Desa Surya Bahari berbatasan dengan beberapa wilayah, berikut wilayah perbatasannya: (1) Sebelah utara Desa Surya Bahari berbatasan dengan Laut Jawa,

(2) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Buaran Mangga, (3) Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sukawali, dan (4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Serang.

Orbitasi atau jarak dari pusat pemerintahan desa/kelurahan dengan Ibukota Provinsi Banten sejauh 110 km, dengan Ibukota Kabupaten Tangerang sejauh 25 km dan berjarak 14 km dari Ibukota Kecamatan Pakuhaji.

4.1.2 Kependudukan

a. Jumlah Penduduk Desa Surya Bahari

Desa Surya Bahari terdiri dari enam dusun, yaitu: Dusun Cituis I, Dusun Cituis II, Dusun Rawasaban III, Dusun Rawasaban IV, Dusun Rawasaban BTN, dan Dusun Encle-Sugri. Keenam dusun tersebut terdiri dari 6 Rukun Warga dan 18 Rukun Tetangga. Pemukiman Desa Surya Bahari tersebar sepanjang jalan raya yang menghubungkan beberapa desa.

(26)

b. Tingkat Pendidikan

Menurut tingkat pendidikannya, mayoritas penduduk Desa Surya Bahari berpendidikan minimal hingga pada tingkat Sekolah Dasar. Berdasarkan data yang berasal dari Pemerintahan Desa Surya Bahari tahun 2011, dapat diketahui bahwa hanya 2.081 jiwa dari keseluruhan jumlah penduduk yang tercatat telah mengecap pendidikan, 912 orang diantaranya adalah lulusan SD, selanjutnya 567 orang merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu terdapat sebanyak 345 orang penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Untuk kategori pendidikan tinggi, hanya terdapat 2 orang diantaranya yang merupakan lulusan akademi (D3) dan 5 orang yang merupakan lulusan S1. Tabel 1 menunjukkan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan masyarakat Desa Surya Bahari.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Surya Bahari, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang Tahun 2011.

No Jenis Pendidikan Jumlah

(Jiwa)

Persentase (%)

1. Tidak tamat SD/MI Sederajat 250 12,0

2. Tamat SD/MI Sederajat 912 43,8

3. Tamat SMP/MTs Sederajat 567 27,3

4. Tamat SMA/MA Sederajat 345 16,6

5. Tamat Akademi/Sederajat 2 0,1

6. Tamat Sarjana/Sederajat 5 0,2

Jumlah 2081 100,0

Sumber: Data Monografi Desa Surya Bahari, 2011

(27)

c. Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk Desa Surya Bahari sebagian besar adalah sebagai nelayan dengan jumlah 2.750 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Surya Bahari memiliki ketergantungan yang besar terhadap sektor perikanan. Selain itu, penduduk Desa Surya Bahari juga bekerja pada sektor-sektor lainnya secara rinci akan dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 2. Komposisi Penduduk Desa Surya Bahari Menurut Mata Pencaharian Tahun 2011.

Sumber: Data Monografi Desa Surya Bahari, 2011

Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa mata pencaharian terbesar ada di sektor perikanan atau lebih spesifik lagi terdapat pada sektor perikanan tangkap yaitu sebagai nelayan. Mata pencaharian dominan selanjutnya adalah pekerjaan di sektor perdagangan dan pertanian. Banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian menyebabkan masih banyaknya areal persawahan di daerah ini. Berdasarkan sumber monografi Desa Surya Bahari, penduduk yang masuk ke dalam golongan angkatan kerja adalah sebanyak 3.683 orang, namun yang tercatat sebagai penduduk yang memiliki mata pencaharian adalah sebanyak 3.458 orang, sedangkan 150 orang penduduk tercatat sebagai pengangguran kentara dan 75 orang lainnya sebagai pengangguran tidak kentara.

d. Kondisi Sosial-Ekonomi

Masyarakat di Desa Surya Bahari rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk bekerja

No Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1. Petani 45 1,30

2. Penggarap 100 2,90

3. Buruh Tani 75 2,17

4. Nelayan 2750 79,50

5. Pedagang 300 8,68

6. Industri Kecil 100 2,90

7. Buruh Industri 45 1,30

8. Pertukangan 16 0,47

9. Pegawai Negeri Sipil 8 0,23

10. Pensiunan PNS 1 0,03

11. Perangkat Desa 18 0,52

(28)

dibandingkan untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Kebanyakan nelayan telah menekuni pekerjaannya semenjak usia sekolah, hal ini membuat tingginya tingkat putus sekolah di kalangan nelayan.

Keberadaan jalan raya yang menjadi penghubung antara Desa Surya Bahari dengan desa lainnya membuat akses ke Desa Surya Bahari seharusnya menjadi hal yang mudah. Namun keberadaan kendaraan angkutan umum yang terbatas membuat akses ke Desa Surya Bahari agak sulit, terutama jika sudah lewat sore hari. Memanfaatkan jasa ojeg motor menjadi satu-satunya cara untuk mengakses Desa Surya Bahari jika hari sudah sore. Kesulitan transportasi tersebut tidak menjadikan Desa Surya Bahari sepi akan aktivitas. Salah satu aktivitas yang masih dapat ditemukan selepas sore hari adalah aktivitas yang dilakukan oleh para nelayan, beberapa nelayan bahkan baru mulai melaut ketika hari sudah malam.

Keadaan sosial masyarakat nelayan di Desa Surya Bahari tidak jauh beda dengan keadaan sosial masyarakat nelayan di desa pesisir lainnya. Hubungan patron-klien masih dapat dengan mudah ditemukan, terutama pada nelayan yang merupakan penduduk asli Desa Surya Bahari. Hampir seluruh nelayan tersebut memiliki hubungan dengan tengkulak atau dalam bahasa lokal disebut langgan. Langgan biasanya telah dikenal baik oleh nelayan, sehingga hubungan patron-klien yang terjadi terkesan lebih akrab. Selain nelayan yang merupakan penduduk asli, di Desa Surya Bahari juga terdapat banyak nelayan pendatang yang akhirnya menjadi penduduk tetap ataupun hanya menjadi penduduk musiman. Daerah asal dari nelayan pendatang ini beragam, misalnya dari: Brebes, Indramayu, dan Cirebon.

4.2 Keadaan Umum TPI Cituis

(29)

Tabel 3. Jumlah Produksi dan Raman TPI Cituis Selama Tahun 2010.

Bulan Produksi (Kg) Raman (Rp)

Januari 69.652 373.579.000

Februari 51.112 255.159.000

Maret 55.742 302.218.000

April 58.053 351.461.000

Mei 71.862 419.168.000

Juni 87.249 484.002.000

Juli 80.264 480.699.000

Agustus 78.394 484.843.000

September 46.337 295.745.000

Oktober 77.295 459.273.000

November 54.199 307.855.000

Desember 53.558 322.164.000

Total 783.717 4.516.166.000

Sumber: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus KUD Mina Samudra, 2011

Jenis alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di sekitar TPI Cituis adalah jaring gardan, jaring rampus, jaring apollo, payang dan pancing. Masing-masing alat tangkap memiliki operasional penangkapan ikan yang berbeda.

Tabel 4. Jenis Ikan Dominan yang Mendarat di PPI Cituis selama Tahun 2010. Jenis Ikan Dominan Jumlah Produksi

(ton)

Nilai Produksi (rupiah)

Kurisi/Kuniran 10 470.000.000

Biji Nangka 5 189.000.000

Pari 4,5 265.000.000

Kembung 2,5 390.000.000

Kuwe 2,2 361.000.000

Sumber: PPI Cituis 2010

(30)

memiliki spesialisasi dalam menangkap suatu jenis ikan tertentu, misalnya alat tangkap jaring gardan lebih banyak menangkap ikan jenis pari dan kurisi/kuniran, sedangkan jaring rampus lebih banyak menangkap ikan jenis kembung.

[image:30.595.115.511.287.571.2]

TPI Cituis merupakan salah satu fasilitas fungsional yang dimiliki oleh PPI Cituis. Agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, TPI Cituis didukung oleh beberapa fasilitas, seperti gedung lelang, tempat penjemuran ikan, instalasi air tawar, instalasi listrik, SPDN (tangki BBM), pos keamanan, toko, dan balai pertemuan nelayan (BPN). Selain fasilitas yang langsung dikelola oleh KUD Mina Samudera, terdapat beberapa fasilitas lain yang mendukung kegiatan nelayan di sekitar TPI, berikut tabel yang menunjukkan rincian fasilitas tersebut.

Tabel 5. Fasilitas-Fasilitas di Sekitar TPI Cituis.

No Fasilitas Kapasitas Pemanfaatan Kondisi

1 Areal Daratan Pelabuhan 5000 m2 dimanfaatkan Baik

2 Jetty 215 m dimanfaatkan Baik

3 Dinding Penahan Tanah 80 m dimanfaatkan Baik

4 Jalan 200 m dimanfaatkan Baik

5 Drainase 5000 m2 dimanfaatkan Baik

6 Tempat Pelelangan Ikan 400 m2 dimanfaatkan Rusak

7 Lampu Suar 1 unit dimanfaatkan baik

8 Penampung/tangki air 1.000 l dimanfaatkan Baik

9 Sumber air 2 unit dimanfaatkan Baik

10 Daya listrik 1200 watt dimanfaatkan Baik

11 SPBN 16.000 l dimanfaatkan rusak

berat

12 Syahbandar 60 m2 dimanfaatkan baik

13 Tempat Parkir 400 m2 dimanfaatkan baik

14 Balai Pertemuan Nelayan 300 m2 dimanfaatkan baik

15 Koperasi 150 m2 dimanfaatkan baik

Sumber: PPI Cituis, 2010

KUD Mina Samudera sebagai pihak pengelola TPI memiliki empat bidang usaha, yaitu:

(31)

b. Unit Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN): unit ini merupakan kerja sama antara KUD dengan PT. Pertamina (Persero).

c. Unit Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cituis: unit yang merupakan kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang.

(32)

BAB IX

PENUTUP

9.1 Kesimpulan

1. Hasil asosiasi kata menunjukkan bahwa nelayan di Desa Surya Bahari menganggap kata yang paling tepat untuk mewakili TPI Cituis adalah „lelang‟, yang berarti sesuai dengan fungsi pokok dari TPI. Kata berikutnya yang dianggap mewakili adalah kata „pasar‟. Hal ini dikarenakan di sekitar TPI terdapat banyak pembeli lelang atau bakul yang langsung menjual ikan yang telah dibelinya kepada masyarakat umum, sehingga suasana seperti pasar ikan sangat terasa di sekitar tempat pelelangan.

2. Karakteristik responden memiliki keterkaitan dengan representasi sosial tentang TPI yang mereka miliki. Jenis alat tangkap merupakan karakteristik responden yang memiliki keterkaitan cukup besar dengan representasi sosial. Responden yang telah memanfaatkan TPI umumnya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang TPI karena mereka dapat mendapatkan informasi lebih banyak dibandingkan responden yang tidak memanfaatkan TPI. Informasi tersebut dapat mereka peroleh dari hasil berinteraksi dengan pihak TPI. Selanjutnya, status responden juga memiliki kaitan dengan representasi sosial. Responden yang berstatus sebagai juragan memiliki representasi sosial yang lebih baik mengenai TPI Cituis.

3. Tingkat pengetahuan tentang karakteristik TPI Cituis terbukti memiliki hubungan nyata dengan beberapa aspek representasi sosial yang dimiliki responden, yaitu sikap dan keyakinan mereka. Tingkat interaksi antara responden dengan tengkulak ternyata tidak memiliki hubungan yang nyata dengan representasi sosial terhadap TPI pada responden.

9.2 Saran

(33)

2. Pihak TPI diharapkan dapat menyederhanakan proses yang harus dilalui nelayan ketika ingin meminjam uang, agar nelayan tidak merasa kesulitan ketika ingin meminjam uang.

(34)

BAB V

KARAKTERISTIK NELAYAN DAN KONTEKS

SITUASIONAL TPI

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Jenis Alat Tangkap

Nelayan di Desa Surya Bahari terbagi atas beberapa kelompok nelayan berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan, yaitu: jaring rampus, jaring apollo, payang, gardan dan pancing. Alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah pancing. Hampir semua nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing adalah nelayan yang berasal dari penduduk setempat (lokal), sedangkan nelayan yang menggunakan alat tangkap selain pancing, kebanyakan merupakan nelayan pendatang. Nelayan lokal lebih memilih untuk mempergunakan alat tangkap pancing karena dianggap tidak memerlukan modal yang besar jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Ukuran dari kapal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus adalah 2-5 Gross Ton (GT), gardan 5-20 GT, pancing 2-3 GT, payang 2-3 GT, dan jaring apollo 2-5 GT. Persentase responden berdasarkan alat tangkapnya, didominasi oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing (50.0 persen). Nelayan pancing di Desa Surya Bahari memang belum memanfaatkan keberadaan TPI, mereka selalu menyalurkan hasil tangkapnya kepada tengkulak.

Tabel 6. Persentase Responden Berdasarkan Alat tangkap.

Alat Tangkap n (orang) n (%)

Pancing 20 50,0

Gardan 4 10,0

Jaring Rampus 11 27,5

Jaring Apollo 4 10,0

Payang 1 2,5

Jumlah 40 100,0

(35)

agak jauh jika dibandingkan dengan nelayan harian, bahkan dapat mendekati daerah Lampung. Pada kapal nelayan babangan harus ada persediaan es agar ikan hasil tangkapan dapat tetap segar walaupun harus berada di kapal untuk beberapa hari.

5.1.2 Status Responden

[image:35.595.98.516.62.809.2]

Status nelayan di Desa Surya Bahari dibagi menjadi tiga berdasarkan atas peran masing-masing nelayan dalam kegiatan melaut, yaitu: juragan, nakhoda dan anak buah kapal (ABK) . Persentase responden berdasarkan statusnya didominasi oleh nelayan yang berstatus sebagai ABK (65,0 persen), karena jumlah nelayan yang berstatus sebagai ABK memang lebih banyak jika dibandingkan dengan nelayan yang berstatus sebagai nakhoda maupun juragan.

Tabel 7. Persentase Responden Berdasarkan Status.

Status n (orang) n (%)

ABK 26 65,0

Nakhoda 2 5,0

Juragan 12 30,0

Jumlah 40 100,0

(36)

Sebagian besar responden menggunakan alat tangkap milik orang lain ketika melaut. Hal ini karena banyaknya responden yang berstatus sebagai ABK. Nelayan ABK memang biasanya tidak memiliki alat tangkap, sehingga mereka bergabung dengan nelayan yang memiliki alat tangkap ketika melaut.

Tabel 8. Persentase Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Alat Tangkap.

Status Kepemilikan Alat Tangkap n (orang) n (%)

Milik sendiri 12 30,0

Milik orang lain 28 70,0

Jumlah 40 100,0

Peran sebagai pemilik kapal atau modal melaut biasanya tidak hanya dilakoni oleh satu orang saja. Dalam masyarakat pesisir sangat mudah ditemui hubungan kerja sama yang disebut sebagai hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien adalah hubungan yang sering terjadi dalam upaya pemenuhan modal untuk melaut. Pihak yang berperan sebagai patron biasa disebut sebagai langgan

atau tengkulak. Seorang tengkulak memberikan dana yang dimilikinya kepada juragan untuk modal, modal ini dapat berjumlah penuh maupun hanya sebagiannya saja. Besarnya modal yang akan diberikan oleh tengkulak disesuaikan dengan kebutuhan dari pihak peminjam. Hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan ini akan dibahas lebih lanjut pada subbab berikutnya.

5.1.3 Tingkat Pendapatan

Pendapatan seorang nelayan sangat bergantung kepada faktor alam, sehingga besarnya tidak dapat ditetapkan. Pada penelitian ini digunakan jumlah pendapatan yang paling sering didapatkan responden dalam sebulan. Untuk mengkategorikan pendapatan responden menjadi kategori rendah, sedang dan tinggi maka digunakan batasan yang diperoleh berdasarkan pendapatan rata-rata dari semua responden.

Tabel 9. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan.

Tingkat Pendapatan n (orang) n (%)

Rendah (x < Rp 755.000,00) 29 72,5

Sedang (Rp 755.000,00 ≤ x ≤ Rp 1.111.000,00) 10 25,0

Tinggi (x > Rp 1.111.000,00) 1 2,5

(37)

Setelah dikategorikan, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Responden yang berpendapatan rendah adalah nelayan yang berstatus sebagai ABK. Pendapatan responden yang berstatus sebagai ABK memang lebih rendah dari responden yang berstatus sebagai nakhoda dan juragan. Responden yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah nelayan juragan.

5.1.4 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan nelayan di Desa Surya Bahari dapat dikategorikan masih rendah. Pendidikan memang belum begitu dianggap penting oleh nelayan di Surya Bahari. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya anak nelayan yang putus sekolah, mereka sudah ikut melaut sedari SD. Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikannya, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu hanya mencapai tingkat sekolah dasar. Responden yang memiliki pendidikan cukup tinggi yaitu tingkat SMA merupakan pencilan.

Tabel 10. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Tingkat Pendidikan n (orang) n (%)

Tidak Sekolah 6 15,0

SD 33 82,5

> SD 1 2,5

Jumlah 40 100,0

Rendahnya tingkat pendidikan pada masyarakat nelayan di Desa Surya Bahari disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran untuk bersekolah. Banyak dari nelayan yang telah memulai pekerjaannya sedari usia sekolah dasar. Dari hasil pengamatan di lapangan, dana pendidikan bukan faktor satu-satunya dari kurangnya kesadaran para nelayan akan pendidikan. Faktor lainnya adalah adanya anggapan bahwa bersekolah hanya akan membuang-buang waktu saja, sehingga mereka memilih untuk bekerja sebagai nelayan karena dapat menghasilkan uang meskipun tidak banyak.

(38)

“Penghasilan bersih saya minimal satu juta, sekali ngelaut, tapi kalau lagi bagus ya bisa sampai enam juta... saya punya empat orang anak, yang paling tua sekolahnya cuma sampai SD, ya sekarang paling kerjaannya bantu-bantu aja di rumah.” (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan)

5.1.5 Pengalaman

[image:38.595.89.517.92.816.2]

Pengalaman responden diukur berdasarkan lamanya responden menjadi nelayan. Variabel pengalaman responden dikategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi. Persentase responden berdasarkan pengalamannya hampir merata di semua kategori, responden dengan tingkat pengalaman rendah adalah responden yang paling banyak, yaitu mencapai 40,0 persen.

Tabel 11. Persentase Berdasarkan Tingkat Pengalaman.

Tingkat Pengalaman (tahun) n (orang) n (%)

Rendah (x < 16) 16 40,0

Sedang (16 ≤ x ≤ 24) 10 25,0

Tinggi (x > 24) 14 35,0

Jumlah 40 100,0

Pengalaman selama kira-kira 35 tahun adalah pengalaman paling lama yang dimiliki beberapa responden, sedangkan pengalaman yang paling singkat adalah responden yang telah menjadi nelayan selama 5 tahun.

5.1.6 Usia

Pada saat wawancara berlangsung, usia responden berkisar dari umur 19 hingga 50 tahun. Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah nelayan yang masih muda, yaitu berkisar pada usia 30 tahun. Persentase responden yang berusia kurang dari 31 tahun mencapa 37,5 persen. Persentase yang sama besar menunjukkan responden yang berusia antara 31 hingga 41 tahun.

Tabel 12. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Usia.

Tingkat Usia (tahun) n (orang) n (%)

Rendah (x < 31) 15 37,5

Sedang (31 ≤ x ≤ 41) 15 37,5

Tinggi (x > 41) 10 25,0

(39)

5.2 Konteks Situasional TPI Cituis 5.2.1 Fasilitas TPI

TPI Cituis adalah salah satu TPI yang masih berfungsi dengan baik di kawasan Kabupaten Tangerang. Fasilitas yang disediakan TPI Cituis dapat dikategorikan cukup lengkap. Beberapa fasilitas yang terdapat di TPI Cituis adalah: gedung TPI, balai pertemuan nelayan, mess karyawan, pos jaga, guest house, tempat peribadatan, warung serba ada, toko sarana penangkapan, solar packed dealer nelayan (SPDN) dan koperasi.

Gedung TPI Cituis memiliki bangunan seluas 290,62 m2. Di dalam gedung ini terdapat kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola, toilet dan ruang lelang. Luas ruang lelang adalah 206,64 m2 dan jumlah luas ruangan lainnya (kantor, ruang peralatan, tempat kasir, ruang juru tulis, mushola, toilet) adalah 83,98 m2.

Tempat lelang yang berfungsi ketika penelitian dilakukan letaknya memang agak jauh dari tempat pendaratan ikan. Rencananya pelaksanaan lelang akan segera dipindahkan ke tempat lelang yang baru, dengan letak yang lebih dekat ke tempat pendaratan. Tempat lelang yang baru sudah berdiri, kira-kira 100 meter dari tempat lelang yang dulu, namun tempat ini belum dapat difungsikan karena terkendala pelabuhan kapal yang dangkal. Pendangkalan ini membuat kapal tidak bisa berlabuh karena jika dipaksakan dapat menyebabkan lambung kapal kandas.

5.2.2 Letak TPI

TPI Cituis terletak di dalam kompleks pemukiman penduduk Dusun Cituis I, Desa Surya Bahari. Letak TPI Cituis yang berada di tengah pemukiman nelayan ini membuat letaknya sangat mudah untuk diakses nelayan. Keberadaan jalan yang menghubungkan TPI Cituis dengan jalan raya lintas desa juga membuat TPI Cituis mudah diakses dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat.

(40)
[image:40.595.113.452.105.600.2]

nelayan di sekitar TPI Cituis, baik yang memanfaatkan TPI maupun tidak. Namun keadaan sungai yang sempit, kotor dan rawan pendangkalan membuat nelayan tidak begitu nyaman ketika harus menambatkan kapalnya.

Gambar 2. Denah Lokasi TPI Cituis

Pendangkalan dasar sungai dapat menyebabkan lambung kapal menjadi kandas atau pun bocor jika nelayan tidak berhati-hati saat melabuhkan kapalnya. Pengelola sungai tersebut adalah Dinas Perhubungan Kabupaten Tangerang, bukan TPI Cituis. TPI Cituis sendiri belum menyediakan fasilitas kolam tambat labuh untuk mendukung kegiatan nelayan yang akan mengikuti lelang.

5.2.3 Sistem Lelang

(41)

yang harus dibayar oleh calon anggota aktif adalah sebesar Rp 10.000,00 per bulan. Anggota baru wajib memenuhi pembayaran simpanan wajib yang jumlahnya sama dengan simpanan wajib yang telah dibayarkan anggota lama, yaitu terhitung dari tahun 2000, lalu selanjutnya anggota tersebut cukup membayar simpanan wajib sebesar Rp 10.000,00. Simpanan wajib yang harus dipenuhi anggota koperasi yang baru bergabung pada bulan Agustus tahun 2011 adalah Rp 1.280.000,00 dengan rincian perhitungan sebagai berikut:

Simpanan Wajib = Rp 10.000,00 x (jumlah bulan dari Januari 2000-Agustus 2011)

= Rp 10.000,00 x 128 = Rp 1.280.000,00

Hingga saat ini masih ada beberapa orang yang tercatat sebagai anggota aktif KUD Mina Samudera namun masih belum dapat memenuhi simpanan wajib. Simpanan wajib ini bersifat rutin sehingga setiap bulannya harus dibayar. Bagi nelayan yang ingin meminjam uang di USP Swamitra maka akan dilakukan penyeleksian oleh pihak USP, selain itu karena KUD Mina Samudera bekerja sama dengan Bank Bukopin, maka terdapat syarat-syarat tertentu yang berasal dari pihak bank dan harus dipenuhi oleh anggota aktif yang mau meminjam uang di USP Swamitra.

5.2.4 Sistem Retribusi

Besar retribusi yang ditarik oleh TPI Cituis mengikuti peraturan tentang penarikan retribusi yang telah diatur dalam Perda No. 18-19, yaitu 3 persen bagi pembeli dan 2 persen bagi nelayan. Dana retribusi yang ditarik dari pihak pelelang (nelayan) akan dialokasikan sebesar 1,4 persen untuk penyelenggara dan 0,6 persen untuk dana sosial. Dana sosial tersebut kemudian akan digunakan sebagai bantuan untuk nelayan pada musim paceklik maupun bantuan bagi nelayan yang sedang mengalami musibah. Bantuan ini dapat diterima oleh nelayan yang telah ikut serta dalam kegiatan pelelangan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden:

(42)

5.3 Hubungan Patron-Klien pada Responden

Hubungan patron-klien merupakan hubungan yang sudah tidak asing lagi untuk para nelayan, begitupun dengan nelayan yang bertempat tinggal di sekitar TPI Cituis. Hubungan patron-klien yang terjadi antara nelayan dengan tengkulak dapat dengan mudah ditemukan. Sebuah hubungan patron-klien dapat terbentuk ketika nelayan membutuhkan sejumlah dana untuk modal melaut. Tengkulak biasanya dapat dengan mudah dapat memberikan pinjaman kepada nelayan tanpa memerlukan jaminan. Kepercayaan adalah landasan utama yang digunakan nelayan dan tengkulak dalam menjalankan hubungan ini.

Setelah uang didapatkan oleh nelayan dari tengkulak maka secara otomatis terjalin sebuah ikatan antara nelayan dan tengkulak. Ikatan ini selanjutnya membentuk beberapa pola interaksi antara nelayan dengan tengkulak. Pada pola interaksi ini terdapat aturan tidak tertulis yang harus ditaati kedua belah pihak. Beberapa bentuk dari pola interaksi yang terjadi antara nelayan dan tengkulak, antara lain:

1. Nelayan harus menyerahkan hasil tangkapannya kepada tengkulak. Hasil tangkapan ini kemudian akan diikutsertakan ke dalam kegiatan lelang oleh tengkulak yang bersangkutan. Komisi sebesar 2,5-5 persen akan langsung dipotong oleh tengkulak dari hasil pelelangan tersebut.

2. Nelayan harus menjual beberapa jenis ikan tertentu kepada tengkulak. Jenis ikan yang biasanya diharuskan dijual kepada tengkulak adalah cumi dan corak. 3. Nelayan harus menjual seluruh hasil tangkapannya kepada tengkulak. Pada

pola ini tengkulak berperan sebagai pembeli. Tengkulak biasanya lebih kuat dalam posisi menentukan harga.

Tabel 13. Persentase Responden Berdasarkan Penyaluran Hasil Tangkap.

Penyaluran Hasil Tangkap n (orang) n (%)

TPI 5 12,5

Tengkulak 20 50,0

TPI dan Tengkulak 15 37,5

Jumlah 40 100,0

(43)
(44)

BAB VI

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG TPI CITUIS

Representasi sosial tentang TPI Cituis pada nelayan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) representasi sosial tentang TPI, dan (2) representasi sosial tentang tengkulak. Representasi sosial pada responden terbagi ke dalam beberapa tipologi. Tipologi ini ditentukan dengan mengacu kepada hasil asosiasi kata yang dilakukan oleh responden. Responden memberikan beberapa kata yang dianggap dapat mewakili TPI Cituis untuk mengetahui representasi sosial mereka tentang TPI Cituis, responden diminta melakukan hal yang sama untuk mengetahui representasi sosial mereka tentang tengkulak. Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Pada bab ini juga akan dibahas mengenai elemen-elemen representasi sosial pada tiap tipologi.

6.1 Tipologi Representasi Sosial tentang TPI Cituis

(45)

Kata-kata yang disebutkan oleh responden menunjukkan bagaimana cara mereka memaknai TPI dengan mengaitkannya kepada obyek-obyek yang telah dianggap lebih sederhana dan familiar. Proses pengenalan dan pengaitan suatu obyek tertentu dalam pikiran individu inilah yang disebut sebagai anchoring. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.

Gambar 3. Perbandingan Frekuensi Responden pada Tiap Tipe Representasi Sosial Terhadap TPI

Kata „lelang‟ disebutkan oleh semua responden, hal ini menunjukkan bahwa responden memang sudah akrab dengan fungsi TPI Cituis sebagai tempat lelang. Ketika wawancara dilakukan, peneliti dapat mengetahui bahwa responden lebih banyak menggunakan kata „lelang‟ sebagai kata ganti dari TPI Cituis, sehingga didapatkan kesan bahwa „lelang‟ adalah nama dari sebuah lembaga fungsional (kata benda), bukan sebuah kata kerja. Kata „pasar‟ disebutkan oleh 9 orang responden untuk memaknai TPI Cituis, disamping kata „lelang‟. Kata „pasar‟ muncul pada karakteristik responden tertentu, yaitu didominasi oleh responden yang berstatus sebagai juragan.

“Di TPI (Cituis) itu banyak yang ngeteng, jadi seperti tempat ngeteng.” (Bapak DJ, 37 tahun, nelayan gardan).

Kegiatan ngeteng atau menjual ikan secara eceran dapat dengan mudah ditemukan di sekitar TPI Cituis. Kegiatan ini terjadi karena banyaknya pihak

bakul atau pembeli ikan hasil lelangan yang langsung menjual kembali ikan yang telah dibelinya. Jika dilihat secara sekilas kegiatan ini membuat TPI Cituis terlihat seperti area pasar ikan.

31 (77,5%)

9 (22,5%)

0 10 20 30 40

Lelang Pasar dan Lelang

(46)

Munculnya kata „pasar‟ untuk merepresentasikan TPI Cituis sejalan dengan makna dari TPI menurut Biro Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1993), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat).

Tabel 14. Perbandingan Karakteristik Responden pada Tipologi Representasi Sosial Terhadap TPI.

Karakteristik Responden Tipologi I (Lelang) n = 31

Tipologi II (Pasar dan Lelang)

n = 9

orang % Orang %

Status ABK 25 80,6 1 11,0

Nakhoda 2 6,5 0 0,0

Juragan 4 12,9 8 88,9

Tingkat Usia < 31 tahun 12 38,7 3 33,3

31- 41 tahun 11 35,5 4 44,4

> 41 tahun 8 25,8 2 22,2

Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah 4 12,9 2 22,2

SD 26 83,9 7 77,8

> SD 1 3,2 0 0,0

Tingkat Pendapatan

Rendah 24 77,4 5 55,6

Sedang 7 22,6 3 33,3

Tinggi 0 0,0 1 11,1

Alat Tangkap

Pancing 20 64,5 0 0,0

Gardan 2 6,5 2 22,2

Jaring Rampus 7 22,6 4 44,4

Jaring Apollo 1 3,2 3 33,3

Payang 1 3,2 0 0,0

Tingkat Pengalaman

Rendah 13 41,9 3 33,3

Sedang 7 22,6 3 33,3

Tinggi 11 35,5 3 33,3

Penyaluran Hasil Tangkap

TPI 2 6,5 3 33,3

TPI dan Tengkulak 9 29,0 6 66,7

[image:46.595.108.513.226.742.2]
(47)

Karakteristik responden yang dominan adalah yang frekuensinya paling banyak, dapat diketahui bahwa pada tiap tipologi memiliki karakteristik respondennya masing-masing. Status responden yang dominan pada tipologi I adalah ABK, yaitu mencapai 80,6 persen dari 31 responden. Pada tipologi II, status juragan merupakan status yang paling dominan, yaitu sebanyak 88,9 persen dari 9 orang responden. Tingkat usia dominan pada tipologi I adalah kurang dari 31 tahun, sedangkan pada tipologi II adalah antara 31 hingga 41 tahun. Perbedaan selanjutnya adalah mengenai penggunaan alat tangkap oleh responden pada tiap tipologi. Responden pada tipologi I, mayoritas adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing (64,5 persen), sedangkan pada tipologi II, alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jaring rampus (44,4 persen), kemudian disusul oleh jaring apollo (33,3 persen). Responden pada tipologi I juga didominasi oleh nelayan yang lebih memilih menyalurkan hasil tangkapnya kepada tengkulak (64,5 persen). Pada tipologi II, didominasi oleh nelayan yang memanfaatkan TPI dan tengkulak untuk penyaluran hasil tangkapnya (66,7 persen).

(48)

6.1.1 Representasi Sosial pada Tipologi I: Lelang a. Elemen Representasi Sosial: Sikap

Sikap responden terhadap TPI mayoritas berada pada kategori netral, yaitu mencapai 20 responden (64,5 persen). Dari data kuesioner diketahui bahwa sikap netral ini menunjukkan apa yang responden rasakan terhadap TPI. Keberadaan TPI ternyata dianggap biasa saja oleh responden. Responden yang memiliki sikap negatif tercatat mencapai 9 responden atau 29,0 persen. Responden yang memiliki sikap negatif adalah responden yang memang dalam kesehariannya tidak memanfaatkan TPI Cituis. Meskipun demikian, sebagian besar responden memiliki skor yang cukup baik ketika ditanyakan sikapnya kepada pegawai TPI, hal ini menunjukkan bahwa sikap responden kepada pegawai TPI dapat dikatakan positif. Responden menganggap pegawai TPI Cituis ramah terhadap nelayan. Faktor lain yang mendorong munculnya sikap positif tersebut adalah memang pada kenyataan pegawai TPI Cituis banyak yang berasal dari warga sekitar atau dapat dikatakan bahwa responden telah mengenal para pegawai TPI Cituis.

Gambar 4. Perbandingan Sikap Responden Terhadap TPI dengan Sikap Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang)

Sikap nelayan terhadap tengkulak pada tipologi ini, cenderung bersikap netral (51,6 persen), sedangkan 48,4 persen responden lainnya memiliki sikap yang positif terhadap tengkulak. Tidak adanya sikap negatif terhadap tengkulak menunjukkan bahwa memang responden masih mempercayai kinerja tengkulak. Mereka mengaku bahwa tidak begitu keberatan dengan konsekuensi yang harus mereka terima setelah membuat perjanjian dengan tengkulak. Pada Tipologi ini terlihat bahwa responden yang memaknai TPI dengan kata „lelang‟ memiliki

9 (29,0%) 20 (64,5%) 2 (6,5%) 0 (0%) 16 (51,6%) 15 (48,4%) 0 10 20 30

negatif netral positif

Sikap pada Tipologi I: Lelang

(49)

kecenderungan untuk bersikap netral terhadap TPI dan memiliki sikap yang lebih positif terhadap tengkulak. Responden pada tipologi ini memang hanya mengenal TPI secara umum, yaitu hanya sebagai tempat lelang.

b. Elemen Representasi Sosial: Keyakinan

Mayoritas responden memiliki keyakinan yang netral terhadap TPI. Keyakinan yang netral ini muncul sejalan dengan sikap yang dimiliki responden pada tipologi ini. Responden tidak memiliki ekspektasi yang terlalu banyak kepada TPI Cituis. Pada umumnya responden merasa keberadaan TPI berguna, yaitu untuk membantu pendistribusian hasil tangkapan mereka, namun mereka tidak begitu berharap bahwa dengan melelangkan hasil tangkapnya di TPI dapat menambah penghasilan mereka.

Gambar 5. Perbandingan Keyakinan Responden Terhadap TPI dengan Keyakinan Responden Terhadap Tengkulak (Tipologi I: Lelang) Nelayan menilai, banyak program yang ditawarkan KUD Mina Samudera, sebagai pengelola TPI Cituis, yang dianggap masih sulit untuk direalisasikan. Salah satu unit usaha yang dimiliki KUD adalah Unit Simpan Pinjam SWAMITRA, namun dari hasil wawancara masih banyak responden yang merasa

Gambar

Tabel 5. Fasilitas-Fasilitas di Sekitar TPI Cituis.
Tabel 7. Persentase Responden Berdasarkan Status.
Tabel 11. Persentase Berdasarkan Tingkat Pengalaman.
Gambar 2. Denah Lokasi TPI Cituis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peran perempuan nelayan buru untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga terdiri dari: Peran domestik; 1) memasak, responden melakukan kegiatan memasak antara 2 - 3 kali dalam satu hari;

Hasil penelitian menunjukkan implementasi fungsi dari TPI Oeba dalam proses pelelangan ikan belum dilaksanakan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2021 dimana