• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

MUHNI. Defecation Pattern and Study of the Types of Worm’s Eggs on Javan Porcupine’s (Hystrix javanica) Feces. Under direction of RISA TIURIA and SUPRATIKNO

Javan porcupine (Hystrix javanica) is an unique mammal with quills which cover it’s body. Javan porcupine has high potention as wildlife expectation, because it has many benefit both meat and quills. Unfortunately, it’s potention is not supported by sufficient information, especially about helminthiasis. Because of that, the aim of this research was to know the type of parasitic worm’s egg which can infect the Javan porcupine. This research also conducted to know the defecation pattern and morphology of Javan porcupine feces. The methods that used were identification and observation. Identification of helminthiasis on Javan porcupines was done by used a qualitative method (natif method, floatation method, and sedimentation method) and quantitative method (McMaster method). The observation was done on porcupines to know the defecation pattern and morphology of feces. Total samples of feces that used in this research were 10 samples. The feces which used on this research was picked up for about 3 hours after the porcupines defecation. The result showed that parasitic worms which identified in Javan porcupine’s feces were from strongyloid eggs (Strongyloides and Strongylus) and trichurid eggs (Trichuris). This helminthiasis may be caused by dietary contamination, cleaness of cages and individuals behavior. Defecation pattern of Javan porcupines were occurs in the morning, afternoon, and evening. Javan porcupine’s feces have a cylindrical shape, yellowish to dark green colour, and there was undigested food.

(2)

ABSTRAK

MUHNI. Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica) dibimbing oleh RISA TIURIA dan SUPRATIKNO

Landak Jawa (Hystrix javanica) adalah salah satu mamalia yang unik dengan duri-duri yang menutupi tubuhnya. Landak Jawa memiliki potensi yang tinggi sebagai ternak harapan, karena memiliki banyak manfaat baik daging maupun durinya. Tingginya potensi tersebut belum ditunjang dengan informasi yang memadai terutama mengenai kecacingan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui jenis telur cacing yang dapat menginfeksi Landak Jawa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja Landak Jawa. Penelitian ini melakukan identifikasi dan pengamatan terhadap tinja Landak Jawa. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui jenis telur cacing yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (metode natif, metode apung, dan metode sedimentasi) dan metode kuantitatif (metode McMaster). Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja pada Landak Jawa. Total sampel tinja yang diperiksa adalah 10 sampel dari lima ekor Landak Jawa yang berada di kandang Unit Rehabilitas dan Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tinja yang digunakan adalah tinja yang berumur tidak lebih dari 3 jam setelah landak defekasi. Cacing parasitik yang teridentifikasi dari tinja Landak Jawa berasal dari jenis telur strongyloid (Strongyloides dan Stongylus) dan trichurid (Trichuris). Kecacingan ini kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi pakan, kebersihan kandang, dan juga perilaku individu. Pola defekasi Landak Jawa terjadi pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Tinja Landak Jawa berbentuk silinder, berwarna kekuningan hingga hijau tua, dan masih terdapat sisa makanan yang belum tercerna secara sempurna.

(3)

POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING

PADA TINJA LANDAK JAWA (

Hystrix javanica)

MUHNI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

ABSTRACT

MUHNI. Defecation Pattern and Study of the Types of Worm’s Eggs on Javan Porcupine’s (Hystrix javanica) Feces. Under direction of RISA TIURIA and SUPRATIKNO

Javan porcupine (Hystrix javanica) is an unique mammal with quills which cover it’s body. Javan porcupine has high potention as wildlife expectation, because it has many benefit both meat and quills. Unfortunately, it’s potention is not supported by sufficient information, especially about helminthiasis. Because of that, the aim of this research was to know the type of parasitic worm’s egg which can infect the Javan porcupine. This research also conducted to know the defecation pattern and morphology of Javan porcupine feces. The methods that used were identification and observation. Identification of helminthiasis on Javan porcupines was done by used a qualitative method (natif method, floatation method, and sedimentation method) and quantitative method (McMaster method). The observation was done on porcupines to know the defecation pattern and morphology of feces. Total samples of feces that used in this research were 10 samples. The feces which used on this research was picked up for about 3 hours after the porcupines defecation. The result showed that parasitic worms which identified in Javan porcupine’s feces were from strongyloid eggs (Strongyloides and Strongylus) and trichurid eggs (Trichuris). This helminthiasis may be caused by dietary contamination, cleaness of cages and individuals behavior. Defecation pattern of Javan porcupines were occurs in the morning, afternoon, and evening. Javan porcupine’s feces have a cylindrical shape, yellowish to dark green colour, and there was undigested food.

(5)

ABSTRAK

MUHNI. Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica) dibimbing oleh RISA TIURIA dan SUPRATIKNO

Landak Jawa (Hystrix javanica) adalah salah satu mamalia yang unik dengan duri-duri yang menutupi tubuhnya. Landak Jawa memiliki potensi yang tinggi sebagai ternak harapan, karena memiliki banyak manfaat baik daging maupun durinya. Tingginya potensi tersebut belum ditunjang dengan informasi yang memadai terutama mengenai kecacingan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengetahui jenis telur cacing yang dapat menginfeksi Landak Jawa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja Landak Jawa. Penelitian ini melakukan identifikasi dan pengamatan terhadap tinja Landak Jawa. Identifikasi dilakukan untuk mengetahui jenis telur cacing yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif (metode natif, metode apung, dan metode sedimentasi) dan metode kuantitatif (metode McMaster). Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja pada Landak Jawa. Total sampel tinja yang diperiksa adalah 10 sampel dari lima ekor Landak Jawa yang berada di kandang Unit Rehabilitas dan Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tinja yang digunakan adalah tinja yang berumur tidak lebih dari 3 jam setelah landak defekasi. Cacing parasitik yang teridentifikasi dari tinja Landak Jawa berasal dari jenis telur strongyloid (Strongyloides dan Stongylus) dan trichurid (Trichuris). Kecacingan ini kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi pakan, kebersihan kandang, dan juga perilaku individu. Pola defekasi Landak Jawa terjadi pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Tinja Landak Jawa berbentuk silinder, berwarna kekuningan hingga hijau tua, dan masih terdapat sisa makanan yang belum tercerna secara sempurna.

(6)

POLA DEFEKASI DAN KAJIAN JENIS TELUR CACING

PADA TINJA LANDAK JAWA (

Hystrix javanica)

MUHNI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica) adalah karya

saya dengan arahan dari Dosen Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalan teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir : Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja

Landak Jawa (Hystrix javanica) Nama Mahasiswa : Muhni

NRP : B04070033

Disetujui

Pembimbing I Pembimbing II

drh. Risa Tiuria, MS. Ph.D drh. Supratikno, MSi. PAVet NIP. 19630430 198703 2 001 NIP. 19800510 200501 1 001

Diketahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini ialah Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica).

Terima kasih Penulis ucapkan kepada drh. Risa Tiuria, MS. Ph.D dan drh. Supratikno, MSi. PAVet. selaku Dosen Pembimbing. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D. PAVet. (K) selaku pemilik proyek penelitian. Disamping itu, ucapan terima kasih kepada Faizza Maililla Wulansari selaku teman penelitian dan teman-teman Gianuzy serta Pak Bayu dan Pak Eman yang telah membantu selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga kepada Bapak, Mama, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk menjadi referensi baru dalam ilmu kedokteran hewan.

Bogor, Oktober

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Muna pada tanggal 19 September 1989 dari ayah La Sajia, SP dan ibu Wa Damia. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1995 Penulis masuk ke SDN 2 Fongkaniwa dan lulus pada tahun 2001. Kemudian Penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Tongkuno dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan menengah ditempuh Penulis di SMAN 1 Tongkuno dan mendapatkan kelulusan pada tahun 2007. Pada Tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Selama mengikuti pendidikan di IPB, Penulis aktif di Himpunan Profesi Satwa Liar FKH.

(12)

DAFTAR ISI

Landak Jawa (Hystrix javanica) ... 3

Helminthologi ... 4

Penghitungan Jumlah Telur Cacing dengan Metode McMaster ... 12

Pemupukan ... 12

Pengamatan Pola Defekasi ... 13

Analisis Data ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Telur dan Larva Cacing Parasitik ... 14

Strongyloides sp ... 14

Strongylus sp ... 16

Trichuris sp ... 17

Kecacingan pada Landak Jawa ... 18

Pola Defekasi Landak Jawa ... 21

Morfologi Tinja Landak Jawa ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

Kesimpulan ... 24

Saran ... 24

(13)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Landak Jawa (Hystrix javanica) ... 4

2. Telur cacing genus Strongyloides... 16

3. Cacing genus Strongyloides... 16

4. Telur cacing genus Strongylus... 17

5. Larva cacing Strongylus... 18

6. Telur cacing Trichuris... 18

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Landak Jawa merupakan satwa endemik Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara. Tubuhnya tertutup oleh rambut-rambut yang keras dan tajam berwarna hitam kecoklatan dan coklat putih (Suyanto, 2002). Landak Jawa memiliki potensi yang tinggi sebagai ternak harapan untuk didomestikasikan oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara.

Potensi Landak Jawa sebagai ternak harapan dapat dilihat dari tingkat reproduksi yang cepat dan tinggi. Masa kebuntingan Landak Jawa adalah 2 bulan dengan jumlah anak 1 sampai 4 ekor, sehingga mudah untuk diternakkan (Grzimek, 1975). Selain itu, kandungan gizi dalam daging landak sangat baik untuk kesehatan manusia. Daging Landak Jawa memiliki kadar kolesterol yang rendah dan memiliki kandungan gizi yang dipercaya dapat menguatkan stamina dan menyembuhkan penyakit asma. Selain daging Landak Jawa, masyarakat Jawa Tengah memanfaatkan duri landak sebagai obat yang dipercaya dapat menyembuhkan sakit gigi. Duri Landak Jawa juga dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai bahan dekorasi alat rumah tangga (Sulistya, 2007).

Potensi yang tinggi dari Landak Jawa sebagai ternak harapan, belum ditunjang dengan data biologis yang memadai mengenai Landak Jawa terutama mengenai kecacingan. Informasi mengenai kecacingan pada Landak Jawa sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan landak dan mencegah kejadian penyakit pada landak terutama yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat menular pada hewan dan manusia). Adanya informasi ini, sangat bermanfaat dalam melakukan pengobatan untuk mengurangi dan membasmi cacing yang menginfeksi Landak Jawa.

(15)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi jenis telur cacing berdasarkan genus cacing yang ditemukan pada tinja Landak Jawa (Hystrix javanica). Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja Landak Jawa.

Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan informasi awal tentang jenis cacing parasit yang menginfeksi Landak Jawa. Selain itu, hasil penelitian juga dapat menambah referensi tentang cacing parasitik yang dapat menginfeksi Landak Jawa, pola defekasi Landak Jawa, dan morfologi tinja Landak Jawa yang saat ini belum diketahui.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Jawa (Hystrix javanica)

Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia

Famili : Hystricidae (Old World Porcupine) Genus : Hystryx

Subgenus : Acanthion Spesies : Hystrix javanica

Landak Jawa (Gambar 1) merupakan rodensia berukuran besar yang seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut keras yang disebut duri. Duri-duri tersebut tersebar di seluruh permukaan kulit dengan ukuran yang berbeda. Setengah bagian tubuh Landak Jawa pada daerah punggung hingga ekor memiliki duri yang lebih panjang dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Landak Jawa memiliki ukuran panjang tubuh 455 mm sampai 644 mm, panjang ekor 92 mm sampai 140 mm, panjang kaki belakang 82 mm sampai 94 mm, panjang telinga 32 mm sampai 57 mm dan bobot badan mencapai 5.900 gram sampai 10.760 gram (Suyanto, 2002).

(17)

Gambar 1 Landak Jawa (Hystrix javanica).

Helminthologi

Levine (1990) mengemukakan bahwa helminthologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helminth terbagi menjadi 3 kelas, yaitu nemathelminthes, platyhelminthes, dan acantocephala. Nemathelminthes terbagi dalam kelas nematoda yang berbentuk bulat memanjang dan terdiri dari cacing jantan dan cacing betina. Nematoda terdiri dari nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai organ tubuh (Gandahusada, 2000).

Platyhelminthes mempunyai badan yang pipih, tidak mempunyai rongga badan, dan biasanya bersifat hermaprodit. Platyhelminthes terbagi dalam kelas trematoda dan kelas cestoda. Cacing trematoda mempunyai bentuk seperti daun, badannya tidak bersegmen, dan mempunyai alat pencernaan. Cacing cestoda mempunyai badan yang berbentuk pita dan terdiri dari skoleks, leher, dan badan (strobila) yang bersegmen (proglotid) (Gandahusada, 2000).

(18)

1. Nemathelminthes

Nematoda

Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing nematoda memiliki ukuran, habitat, daur hidup, dan hubungan hospes parasit yang berbeda. Panjang nematoda dapat mencapai beberapa milimeter hingga melebihi satu meter. Terdapat sekitar 10.000 jenis nematoda yang hidup dalam segala jenis habitat mulai dari tanah, air tawar, dan air asin sampai tanaman dan hewan (Gandahusada, 2000).

Secara umum nematoda memiliki bentuk silinder, lonjong pada kedua ujung tubuh, tidak memiliki warna, tembus pandang, dan memiliki lapisan kutikula. Sistem pencernaan nematoda berupa tabung sederhana. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir dan selanjutnya menuju esofagus. Sistem ekskretori nematoda sangat primitif, terdiri dari kanal dalam setiap lateral cord bergabung pada lubangekskretori di bagian esofagus (Taylor et al., 2007).

(19)

Telur nematoda sangat berbeda baik ukuran dan bentuknya. Ketebalan kulit telur nematoda bervariasi dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dari kulit telur nematoda yaitu inner membran yang tipis, memiliki struktur lipid, dan impermeable. Lapisan berikutnya adalah middle layer yang memiliki struktur kuat, mengandung kitin yang kaku, dan memberikan warna kekuningan pada telur. Lapisan ketiga adalah outer membran yang berisi protein yang sangat kental dan lengket (Taylor et al., 2007).

Strongyloides spp.

Genus cacing ini berasal dari ordo Rhabditida dan famili Strongylidae yang terdiri dari beberapa spesies dan termasuk parasit pada hewan domestik. Produksi telur cacing sedikit tetapi memiliki ukuran yang besar dan kerabang yang tipis. Bagian esofagus dari cacing infektif tidak berbentuk rhabditiform tetapi berbentuk silinder. Strongyloides dapat berpenetrasi melalui kulit inang kemudian melewati darah ke paru-paru menuju trakea. Selanjutnya dari trakea Strongyloides menuju faring lalu berakhir di usus. Cacing yang bersifat parasit adalah cacing betina dewasa dan dicirikan dengan esofagus yang relatif panjang (Soulsby, 1986).

Chitwood dan Chitwood (1977) mengemukakan bahwa larva Strongyloides memiliki karakteristik tubuh sebagai berikut:

1. Tidak memiliki selubung ekor

2. Ekor larva pendek dan berbentuk kerucut 3. Memiliki tubuh yang kecil dan tipis 4. Kepala berbentuk bulat

5. Memiliki rongga tunggal bagian kranial yang mengelilingi kapsul bukal sementara.

Strongylus spp.

(20)

memiliki bursa yang berkembang dengan baik (Soulsby, 1986). Rongga bukal Strongylus spp. berukuran besar dan terletak di bagian kranial tubuh. Mulut dikelilingi oleh satu atau dua baris yang berbentuk seperti daun yang disebut dengan korona radiata (mahkota daun). Mahkota daun tersebut terdapat pada bagian eksternal yang mengelilingi mulut dan bagian internal yang terdapat pada dinding bagian dalam kapsul bukal (Bowman, 2003).

Trichuris spp.

Trichuris merupakan cacing yang berasal dari ordo Trichinellida dan famili Trichuridae yang pada masa dewasa memiliki bentuk tubuh seperti cambuk. Bagian kaudal cacing Trichuris mirip rambut dan melekat pada dinding usus besar, sedangkan bagian kranial cacing ini gemuk dan berbaring bebas di usus (Bowman, 2003).

Chitwood dan Chitwood (1977) mengemukakan bahwa jenis telur trichurid memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Mempunyai tiga membran, yaitu: lapisan protein bagian luar (mengandung pigmen yang memberikan warna kecoklatan), kerabang sejati bagian tengah (memiliki warna transparan), dan membran vitelin bagian dalam (memiliki granula).

2. Beberapa spesies memiliki operkulum yang sangat menonjol, baik di luar mantel protein bagian eksternal telur maupun di dalam rongga internal telur (Trichuris ovis).

3. Operkulum pada spesies lain memiliki panjang yang sesuai dengan ketebalan kutub dari amplop telur, sehingga memberi bentuk telur di bagian eksternal dan internal (Trichuris vulvis).

4. Bagian kulit kutikula di sepanjang sisi dari operkulum membentuk kerah.

2. Platyhelminthes

a. Trematoda

(21)

dan tidak mempunyai rongga tubuh. Trematoda memiliki sistem pencernaan sederhana, yaitu batil hisap kranial, pharinx, esofagus, dan sepasang usus buntu yang bercabang. Sistem ekskresi terdiri dari sejumlah besar sel api silia yang mendorong sisa produk metabolik di sepanjang sistem saluran. Sistem ekskresi terdiri dari sebuah kandung kemih bagian kaudal, sebuah sistem percabangan dari saluran pengumpul yang masuk ke dalam kandung kemih, dan sebuah sistem ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul tersebut. Trematoda memiliki sistem syaraf sederhana dan tidak memiliki sistem peredaran darah. Sistem reproduksinya hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al., 2007).

(22)

b. Cestoda

Cestoda atau cacing pita merupakan subfilum lain di dalam filum Plathyhelminthes. Cestoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ tersimpan di dalam jaringan parenkim (Levin, 1990). Selain itu, cestoda tidak memiliki saluran pencernaan, sehingga makanannya akan langsung diserap oleh dinding tubuhnya. Cestoda memiliki bentuk tubuh seperti pita dan panjang tubuh mencapai beberapa sentimeter sampai beberapa meter. Tubuhnya bersegmen dan setiap segmen berisi satu dan kadang-kadang dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuhnya panjang, pipih, dan terdiri dari tiga daerah, yaitu skolex, leher, dan badan yang bersegmen (strobila) (Taylor et al., 2007).

Kepala (skoleks) memiliki 2 sampai 4 alat penghisap yang memiliki rostelum. Rostelum merupakan penonjolan yang berada pada kepala dan dilengkapi kait untuk menempel pada dinding usus inang. Tepat di belakang skoleks terdapat leher pendek dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti badan atau strobila yang bersegmen (Levin, 1990).

(23)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Unit Rehabilitas dan Reproduksi (URR), Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Helminthologi, bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel dan pemeriksaan tinja dilakukan mulai bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011 di URR dan Laboratorium Helminthologi. Pengamatan pola defekasi dilakukan selama tiga minggu yaitu mulai tanggal 2 sampai 22 Agustus 2010 di URR.

Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan sampel tinja dari lima ekor Landak Jawa yang terdiri dari 1 ekor betina dan 4 ekor jantan. Sampel tinja untuk setiap landak diambil 2 kali dalam lima bulan, sehingga total sampel yang diambil adalah 10 sampel. Sampel diperoleh dengan mengambil tinja yang berumur tidak lebih dari tiga jam setelah landak defekasi. Sampel tinja juga diperoleh dengan cara mengambil langsung tinja segar dari rektum pada landak yang telah terbius. Sampel tinja yang diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik transparan. Setiap sampel tinja diberi identitas berupa nama atau kode setiap landak, kondisi tinja, tempat, dan tanggal pengambilan. Sampel-sampel tinja diolah dengan pendekatan kualitatif yaitu metode natif, pengapungan, sedimentasi, dan pendekatan kuantitatif yaitu metode McMaster.

Bahan dan Alat

(24)

Identifikasi Telur Cacing

a. Metode Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Metode ini dilakukan dengan mengambil sedikit tinja dengan lidi, kemudian diletakkan pada gelas obyek yang sudah diteteskan air. Tinja diratakan dengan lidi kemudian ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan perbesaran 100 kali dan 400 kali (Natadisastra dan Agus, 2009).

b. Metode Pengapungan

Metode ini bertujuan untuk menentukan keberadaan telur cacing nematoda atau cestoda yang tidak ditemukan pada metode natif. Tinja ditimbang 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas. Tinja di dalam gelas ditambahkan 58 ml larutan pengapung, lalu diaduk dan disaring. Campuran tinja yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai terbentuk meniskus cembung di atas permukaan tabung kemudian ditutup dengan gelas penutup tepat di atas meniskus dan dibiarkan 10 sampai 15 menit. Gelas penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas obyek kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran obyektif 100 kali dan 400 kali (Taylor et al., 2007).

c. Metode Sedimentasi

(25)

Penghitungan Jumlah Telur Cacing dengan Metode McMaster

Telur cacing yang terlihat pada perbesaran obyektif 100 kali dihitung dengan menggunakan alat hitung McMaster. Campuran tinja dengan larutan pengapung yang telah homogen diambil beberapa tetes sampai memenuhi kamar hitung, kemudian dibiarkan selama ± 3 sampai 5 menit lalu dihitung jumlah telur setiap jenis telur di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.

Penghitungan jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT): TTGT = n/bt x Vtotal/Vhitung

Keterangan :

n : Jumlah telur yang ditemukan dalam kamar hitung bt : Berat telur (gram)

Vtotal : Volume larutan pengapung + tinja (ml)

Vhitung : Volume campuran yang dimasukkan dalam kamar hitung (ml)

Pemupukan

(26)

Pengamatan Pola Defekasi

Pengamatan pola defekasi Landak Jawa dilakukan selama tiga minggu. Pengamatan ini dilakukan setiap tiga jam dalam sehari mulai pukul 06.00 sampai 21.00 WIB. Setiap landak defekasi dilakukan pengamatan terhadap morfologi tinja. Aspek yang diamati pada morfologi tinja adalah warna dan bentuk tinja.

Analisa Data

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telur dan Larva Cacing Parasitik

Hasil penelitian menunjukkan adanya telur cacing nematoda pada tinja Landak Jawa. Tabel 1 memperlihatkan kasus kecacingan tidak terjadi pada landak A dan B, akan tetapi kasus kecacingan terjadi pada landak C, D, dan E. Terdapat dua jenis telur yang teridentifikasi pada tinja Landak Jawa, yaitu jenis telur strongyloid dan trichurid. Jenis telur strongyloid ditemukan pada landak C, D, dan E, sedangkan jenis telur trichurid ditemukan pada landak C dan D. Setelah dilakukan pemupukan pada jenis telur strongyloid, teridentifikasi 2 genus cacing, yaitu Strongyloides dan Strongylus.

Tabel 1 Hasil pengukuran dan penghitungan telur cacing

Landak Genus Cacing Ukuran rata-rata

(µm) * Ukuran telur cacing pada hewan ruminansia dan kuda (Taylor et al., 2007).

Strongyloides sp.

(28)

Gambar 2 (A) Telur cacing Strongyloides dari tinja Landak Jawa, (B) Telur Strongyloides papillosus pada hewan ruminansia (FAO, 2011a).

(i) Perkembangan larva stadium satu, (ii) Kerabang telur.

Hasil pemeriksaan larva stadium tiga Strongyloides sp. memperlihatkan ukuran larva yang kecil, memiliki tubuh yang langsing dengan panjang tubuh 597 µm sampai 730.5 µm, dan memiliki panjang esofagus mencapai setengah dari total panjang tubuhnya (Gambar 3). Bagian kaudal tubuh terbentuk notched (percabangan) yang merupakan salah satu ciri khas dari Strongyloides spp.

Gambar 3 (A) Cacing Strongyloides dari hasil pemupukan tinja Landak Jawa, (B) Cacing Strongyloides (FAO, 2011b). (i) Esofagus, (ii) Percabangan ekor (notched).

i

ii

B A

100 µm

A B

i

ii

(29)

Berdasarkan ukuran dan karakteristik larva cacing Strongyloides yang teridentifikasi, sesuai dengan yang dijelaskan oleh Zajac dan Gary (2006) yaitu panjang dari esofagus setengah dari panjang tubuhnya, ujung ekor larva berbentuk kerucut yang terpotong pada bagian atasnya (Gambar 3ii), dan memiliki ukuran panjang 574 µm sampai 710 µm dan 524 µm sampai 678 µm.

Strongylus sp.

Hasil pemeriksaan telur cacing Strongylus memperlihatkan bentuk telur yang elips, mempunyai selubung yang tipis, mempunyai blastomer yang jelas dengan jumlah yang banyak, dan mempunyai ukuran panjang rata-rata 80.36 µm dan lebar rata-rata 35.45 µm (Gambar 4A). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Kassai (1999) kecuali pada bentuknya, yaitu berbentuk oval. Hal ini diduga telur tersebut merupakan jenis telur yang khas dari Landak Jawa.

Gambar 4 (A) Telur cacing Strongylus dari tinja Landak Jawa, (B) Telur cacing Strongylus sp. pada kuda (Bowman, 2003).

(i) Blastomer, (ii) Kerabang telur.

Larva Strongylus merupakan larva yang memiliki ukuran besar yaitu 980 µm, memiliki esofagus yang pendek, memiliki 16 sampai 32 sel usus tergantung spesies, dan sel usus berbentuk kubus

(

Zajac dan Gary, 2006). Hasil pemeriksaan larva cacing Strongylus memperlihatkan ukuran tubuh yang besar dengan rata-rata panjang tubuh mencapai 1.234 µm. Selain memiliki ukuran

i

ii

16µm

(30)

tubuh yang besar dan panjang, cacing ini memiliki sel usus yang berbentuk kubus (Gambar 5ii). Karakteristik dari genus cacing ini pun sesuai dengan yang dijelaskan oleh Zajac dan Gary (2006). Ukuran tubuh larva yang teridentifikasi pada tinja landak lebih besar dibandingkan dengan literatur. Hal ini diduga larva Strongylus yang teridentifikasi pada tinja Landak Jawa merupakan spesies khas dari Landak Jawa.

Gambar 5 (A) Larva cacing Strongylus dari hasil pemupukan tinja Landak Jawa, (B) Larva Strongylus edentatus (kiri) dan Strongylus vulgaris (kanan) pada kuda (Bowman, 2003).

(i) Bagian kepala larva Strongylus, (ii) Sel usus larva Strongylus yang berbentuk kubus, (iii) Bagian ekor dan selubung ekor larva

Strongylus.

Trichuris sp.

Hasil pemeriksaan telur cacing Trichuris memperlihatkan bentuk telur yang oval, dinding yang tebal, mempunyai operkulum, dan tidak mempunyai blastomer (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Kassai (1999) bahwa jenis telur trichurid mempunyai bentuk seperti lemon dengan dinding yang tebal dan mempunyai operkulum di kedua ujungnya. Telur Trichuris pada Landak Jawa memiliki ukuran panjang rata-rata 54.62 µm dan lebar rata-rata 24.44 µm.

Ukuran ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dijelaskan oleh Taylor et al. (2007) pada Tabel 1. Hal ini diduga larva Trichuris yang

terindentifikasi pada tinja Landak Jawa merupakan karakteristik khas dari parasit yang menginfeksi Landak Jawa.

iii i

ii

A B

(31)

Gambar 6 Telur cacing Trichuris.

(A) Telur cacing genus Trichuris dari tinja Landak Jawa, (B) Telur Trichuris vulvis pada anjing (Blugburn, 1999), skala 1:10.

Kecacingan pada Landak Jawa

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecacingan pada Landak Jawa dapat berupa umur, kondisi kandang, perlakuan kandang, perilaku individu, dan pakan (Noble dan Noble, 1989; Taylor et al., 2007). Semakin muda umur hewan semakin tinggi resiko hewan tersebut terinfeksi cacing. Hal ini disebabkan sistem kekebalan dari hewan muda belum optimal, sehingga sistem kekebalan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi cacing. Hewan tua memiliki tingkat resistensi atau kekebalan yang tinggi terhadap infeksi cacing. Hal ini terjadi akibat tubuh membentuk respon kekebalan setiap ada infeksi cacing yang masuk ke dalam tubuh inang (Noble dan Noble, 1989). Kondisi kandang juga mempengaruhi faktor kecacingan. Kandang yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung telur cacing atau larva cacing infektif dapat menjadi sumber kecacingan utama. Hal ini terkait dengan perilaku atau kebiasaan Landak Jawa seperti menggigit-gigit besi kandang. Besi-besi kandang tersebut bisa saja terkontaminasi telur cacing atau larva cacing yang berasal dari tinja.

Selain kondisi kandang, perlakuan kandang juga mempengaruhi kasus kecacingan. Landak dikandangkan secara individual sehingga memungkinkan tidak terjadi kontaminasi silang melalui tinja antara landak yang terinfeksi dan landak yang tidak terinfeksi. Pakan juga dapat mempengaruhi munculnya kasus kecacingan. Pakan yang diberikan pada landak terdiri dari sayur-sayuran dan buah-buahan. Pakan tersebut diduga telah terkontaminasi telur cacing atau larva melalui tanah saat di perkebunan. Tanah merupakan sumber infeksi utama

Operculum Kerabang

A B

(32)

penyebab kasus kecacingan. Sudardjat (2010) mengemukakan bahwa tanah yang mengandung larva infektif atau telur cacing infektif akan mencapai tumbuh-tumbuhan kemudian diingesti oleh inang dan akan menyebabkan inang terinfeksi.

Tabel 1 memperlihatkan bahwa sebanyak 5 ekor Landak Jawa hanya 3 ekor landak yang terinfeksi cacing, yaitu landak C, D, dan E. Landak C dan D terinfeksi cacing genus Strongyloides, Strongylus, dan Trichuris, sedangkan landak E hanya terinfeksi oleh cacing genus Strongyloides. Berdasarkan pengamatan dalam penelitian, landak C, D, dan E tidak ditemukan gejala klinis seperti diare, nafsu makan menurun, dan anoreksia.

Jumlah TTGT sangat bervariasi pada Landak Jawa. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain produksi telur tiap jenis cacing berbeda, banyaknya tinja yang dikeluarkan tiap hari oleh hewan selalu berbeda, dan produksi cacing tua dan cacing muda berbeda. Selain itu, jumlah TTGT juga dipengaruhi oleh rendahnya variasi jenis cacing yang ditemukan pada tinja. Rendahnya variasi jenis cacing disebabkan oleh cara pengambilan tinja yang tidak menyeluruh pada seluruh bagian tinja. Satu bolus tinja terdiri dari bagian kulit, tengah, dan dalam. Telur cacing yang ditemukan pada ketiga bagian tersebut dapat saja berbeda jenis satu sama lain. Pengaruh lain juga disebabkan oleh produksi telur harian tiap jenis cacing berbeda dan produksi telur dari satu jenis cacing pun berbeda antara pagi, siang, sore, dan malam (Kusumamihardja, 1995). Beberapa spesies Strongyloides dapat menyebabkan strongyloidosis yang bersifat zoonosis. Penyebab penyakit ini adalah Strongyloides stercoralis. Patologi klinis dari penyakit zoonosa ini adalah inflamasi kataral pada usus halus dan nekrosa pada mukosa. Hewan yang terinfeksi akan mengalami diare berdarah, dehidrasi, hingga kematian. Penyakit zoonosa ini dapat menular ke manusia melalui kontak langsung dengan tinja yang mengandung larva infektif Stongloides stercoralis (Koplan, 1996).

(33)

masuk ke dalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, di tempat ini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina hidup menempel pada sel-sel epitelium mukosa intestinum dan meletakkan telurnya terutama pada duodenum. Telur kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari inang melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform yang dapat menginfeksi inang yang sama atau inang yang berbeda. Larva rhabditiform ini dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan cacing dewasa betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa betina yang hidup bebas mengeluarkan telur dan melepaskan larva non infektif rhabditiform, kemudian dalam waktu 24-36 jam berubah menjadi larva infektif filariform. Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu. Setelah itu, larva menembus dinding usus atau menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan autoinfeksi (Koplan, 1996).

Infeksi oleh jenis cacing Strongyloides jarang terjadi kecuali pada kondisi lingkungan yang hangat dan lembab. Larva infektif dari jenis cacing ini rentan terhadap kondisi iklim yang ekstrim. Larva yang hidup pada kondisi lingkungan yang hangat dan lembab akan menghasilkan perkembangan larva infektif dalam jumlah yang besar (Cheng, 1973). Kandang Landak Jawa berada dalam suatu ruangan tertutup namun cahaya dapat masuk ke dalam ruangan tersebut melalui jendela yang terbuat dari kawat. Kondisi lingkungan dalam kandang Landak Jawa hangat dan cukup lembab sehingga cocok untuk daur hidup cacing Strongyloides.

Telur Strongylus dalam daur hidupnya jatuh ke tanah bersama tinja inang. Telur akan menetas dalam waktu satu sampai dua hari menjadi L1 dan akan berkembang menjadi L2, kemudian dalam beberapa hari larva tersebut akan berkembang menjadi L3 yang infektif. Larva ini akan bertahan selama beberapa bulan walaupun tidak makan. Larva ini pun mampu bertahan pada suhu dingin. Larva dari tanah akan naik ke tumbuh-tumbuhan atau sayur-sayuran dan akan dimakan oleh inang sehingga inang terinfeksi (Noble dan Noble, 1989).

(34)

tubuh inang ke tanah. Telur ini dapat tetap hidup di luar tubuh inang dalam beberapa bulan apabila terdapat pada tempat yang lembab dan akan mati pada kondisi tempat yang kering. Landak dapat terinfeksi karena memakan sayuran yang terkontaminasi oleh cacing Trichuris. Spesies cacing Trichuris pernah teridentifikasi pada landak bristle-spined (Chaetomys subspinosus) yaitu Trichuris opaca (Kuniy dan Brasileiro, 2004). Soulsby (1986) mengemukakan bahwa infeksi Trichuris spp. tidak memperlihatkan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Hewan yang berumur di atas 8 bulan akan memperlihatkan resistensi terhadap infeksi dan resistensi terhadap reinfeksi 2 sampai 3 minggu setelah infeksi pertama. Infeksi berat dan menahun terutama pada hewan muda dapat menimbulkan gejala seperti diare, disentri, anemia, dan kehilangan berat badan.

Pola Defekasi Landak Jawa

Pola defekasi Landak Jawa terjadi pada pagi hari, siang hari, dan malam hari. Pola defekasi yang paling sering terjadi adalah malam hari antara pukul 21.00 sampai 06.00. Interval defekasi landak adalah 1 hari sampai 14 hari. Pola defekasi landak dipengaruhi oleh diet, cairan, aktivitas, faktor psikologis, dan kondisi patologis.

(35)

gangguan sphingter anal. Kondisi ini dapat menyebabkan inkontinensia fekal (ketidakmampuan menahan fungsi pembuangan tinja) (Berman et al., 2009).

Morfologi Tinja Landak Jawa

Tinja Landak Jawa memiliki struktur yang mirip dengan tinja manusia (Gambar 7), yaitu berbentuk silinder, berwarna kuning kecoklatan hingga hijau tua, dan bertekstur kasar. Selain itu, dalam tinja landak masih ditemukan sisa makanan yang tidak tercerna secara sempurna.

Gambar 7 Berbagai bentuk dan warna tinja Landak Jawa.

(A) Tinja berbentuk silinder dengan warna hijau tua, (B) Tinja berbentuk silinder-silinder kecil yang saling menyatu dan berwarna kuning kecoklatan, (C) Tinja dengan bentuk silinder berwarna kekuningan.

Warna tinja dipengaruhi oleh adanya bilirubin dalam empedu. Bilirubin yang berasal dari hati dibawa ke kantung empedu, sehingga terjadi percampuran antara bilirubin dan cairan empedu. Hasil pencampuran tersebut kemudian dikeluarkan ke duodenum dan bercampur dengan bakteri. Warna bilirubin bervariasi tergantung keasaman lingkungannya. Bilirubin akan berwarna kuning atau oranye kecoklatan pada lingkungan yang asam. Jika kondisi lingkungan basa maka bilirubin akan berwarna coklat kehijauan hingga hitam. Warna inilah yang akan mendominasi warna tinja. Bilirubin yang dikeluarkan ke duodenum akan diubah terlebih dahulu menjadi sterkobilin. Sterkobilinlah yang akan membuat tinja berwarna kuning kecoklatan (Tapan, 2005). Selain itu, warna tinja juga dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi landak. Asmadi (2008)

(36)

mengemukakan bahwa hewan yang memakan sayur-saruyan akan memberi warna hijau tua pada tinja, sedangkan hewan yang memakan wortel akan memberi warna coklat pada tinja.

Bentuk tinja pada hewan dipengaruhi oleh komposisi jenis pakan. Hewan yang mengkonsumsi pakan yang mengandung banyak serat akan menghasilkan tinja yang besar dan lunak, sedangkan hewan yang mengkonsumsi pakan yang sedikit mengandung serat akan menghasilkan tinja yang kecil dan keras. Penyerapan cairan dalam usus besar juga memberi bentuk pada tinja. Penyerapan cairan isi usus yang baik akan menghasilkan tinja yang lunak, sedangkan penyerapan air yang kurang baik menyebabkan tinja menjadi keras dan kering (Berman et al., 2009).

(37)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jenis telur cacing yang ditemukan pada tinja Landak Jawa adalah jenis telur trichurid yang berasal dari genus cacing Trichuris dan jenis telur strongyloid yang berasal dari genus cacing Strongyloides dan Strongylus.

Pola defekasi Landak Jawa terjadi pada pagi hari, siang hari, dan malam hari dengan waktu yang paling sering terjadi defekasi adalah pada malam hari. Tinja Landak Jawa berbentuk silinder memiliki struktur yang kasar, berwarna coklat kekuningan hingga hijau tua, dan mengandung sisa tumbuhan yang belum tercerna secara sempurna.

Saran

1. Penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk menentukan spesies cacing yang menginfeksi Landak Jawa.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika Jakarta.

Berman A, Snyder S, Kozier B, Erb G. 2009. Kozier dan Erb: Buku Praktik Keperawatan Klinis. Ed. Ke-5. Meiliya E, Wahyuningsih E, Yulianti D, penerjemah; Damayanti R, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Kozier and Erb’s Techniques in Clinical Nursing,

Cheng TM. 1973. General Parasitology. London: Academic Press.

Chitwood B, Chitwood MB. 1977. Introduction to Nematology. London: University Park Press.

Duff A, Lawson A. 2004. Mammals of the World A Checlist. London: Yale University Press.

[FAO] Food and Agricultural Organisation. 2011a. The Rvc/Fao Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology [terhubung berkala] http://www.rvc. ac.uk/review/parasitology/RuminantEggs/Strongyloides.htm [30 April 2011].

[FAO] Food and Agricultural Organisation. 2011b. The Rvc/Fao Guide to Veterinary Diagnostic Parasitology[terhubung berkala] http://www.rvc. ac.uk/review/parasitology/RuminantL3/Strongyloides.htm [30 April 2011]. Gandahusada S, Ilahuda HD, Pribadi W. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.

Grzimek B. 1975. Grzimek’s Animal Life Ecyclopedia Vol. III: Mammals II. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Hendrix CM, Robinson E. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. 3rd Edition. China: Mosby Elsevier.

Kassai T. 1999. Veterinary Helminthology. Great Britain: Bath Pres

Koplan JP. 1996. Centers for Disease Control and Preventation. Atlanta: Unaids Press.

Kuniy, Brasileiro. 2006. Occurrence of helminths in bristle-spinedporcupine (Chaetomys subspinosus) [Abstrak]. Braz. J. Biol. 66(1B): 379

(39)

Levin ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gatot Ashadi, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Textbook Veterinery Parasitology.

Lyons KM. 1978. The Biology of Helminth Parasites. London: Edward Arnold. Natadisarta D, Agus R. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ

Tubuh yang Diserang. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi: Biologi parasit Hewan. Ed. Ke-5. Wardiarto, penerjemah. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Terjemahan dari: Parasitology: The Biology of Animal Parasites. 5th Edition.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1980. Binatang Hama. Jakarta: Balai Pustaka.

Soulsby EJL. 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Great Britain: Bailliere Tindall.

Sudardjat S. 2010. Epizootiologi Parasit Cacing dan Kausa Bakteria. Jakarta: Gita Pustaka.

Sulistya SJ. 2007. Ingin tambah stamina, cobalah sate landak. [terhubung berkala]. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0703/15/dar9. htm [14 Agustus 2011].

Suyanto A. 2002. Mamalia di Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Jakarta: Biodiversity Conservation Project.

Tapan E. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitilogy. 3rd Edition. Australia: Blackwell Publishing.

Tortora GJ, Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Phisiology. 11th Edition. USA: Wiley.

(40)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Landak Jawa merupakan satwa endemik Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara. Tubuhnya tertutup oleh rambut-rambut yang keras dan tajam berwarna hitam kecoklatan dan coklat putih (Suyanto, 2002). Landak Jawa memiliki potensi yang tinggi sebagai ternak harapan untuk didomestikasikan oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara.

Potensi Landak Jawa sebagai ternak harapan dapat dilihat dari tingkat reproduksi yang cepat dan tinggi. Masa kebuntingan Landak Jawa adalah 2 bulan dengan jumlah anak 1 sampai 4 ekor, sehingga mudah untuk diternakkan (Grzimek, 1975). Selain itu, kandungan gizi dalam daging landak sangat baik untuk kesehatan manusia. Daging Landak Jawa memiliki kadar kolesterol yang rendah dan memiliki kandungan gizi yang dipercaya dapat menguatkan stamina dan menyembuhkan penyakit asma. Selain daging Landak Jawa, masyarakat Jawa Tengah memanfaatkan duri landak sebagai obat yang dipercaya dapat menyembuhkan sakit gigi. Duri Landak Jawa juga dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai bahan dekorasi alat rumah tangga (Sulistya, 2007).

Potensi yang tinggi dari Landak Jawa sebagai ternak harapan, belum ditunjang dengan data biologis yang memadai mengenai Landak Jawa terutama mengenai kecacingan. Informasi mengenai kecacingan pada Landak Jawa sangat diperlukan untuk menjaga kesehatan landak dan mencegah kejadian penyakit pada landak terutama yang bersifat zoonosis (penyakit yang dapat menular pada hewan dan manusia). Adanya informasi ini, sangat bermanfaat dalam melakukan pengobatan untuk mengurangi dan membasmi cacing yang menginfeksi Landak Jawa.

(41)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi jenis telur cacing berdasarkan genus cacing yang ditemukan pada tinja Landak Jawa (Hystrix javanica). Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola defekasi dan morfologi tinja Landak Jawa.

Manfaat

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan informasi awal tentang jenis cacing parasit yang menginfeksi Landak Jawa. Selain itu, hasil penelitian juga dapat menambah referensi tentang cacing parasitik yang dapat menginfeksi Landak Jawa, pola defekasi Landak Jawa, dan morfologi tinja Landak Jawa yang saat ini belum diketahui.

(42)

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Jawa (Hystrix javanica)

Klasifikasi Landak Jawa menurut Duff dan Lawson (2004) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodentia

Famili : Hystricidae (Old World Porcupine) Genus : Hystryx

Subgenus : Acanthion Spesies : Hystrix javanica

Landak Jawa (Gambar 1) merupakan rodensia berukuran besar yang seluruh permukaan tubuhnya ditutupi oleh rambut keras yang disebut duri. Duri-duri tersebut tersebar di seluruh permukaan kulit dengan ukuran yang berbeda. Setengah bagian tubuh Landak Jawa pada daerah punggung hingga ekor memiliki duri yang lebih panjang dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Landak Jawa memiliki ukuran panjang tubuh 455 mm sampai 644 mm, panjang ekor 92 mm sampai 140 mm, panjang kaki belakang 82 mm sampai 94 mm, panjang telinga 32 mm sampai 57 mm dan bobot badan mencapai 5.900 gram sampai 10.760 gram (Suyanto, 2002).

(43)

Gambar 1 Landak Jawa (Hystrix javanica).

Helminthologi

Levine (1990) mengemukakan bahwa helminthologi adalah ilmu yang mempelajari parasit berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helminth terbagi menjadi 3 kelas, yaitu nemathelminthes, platyhelminthes, dan acantocephala. Nemathelminthes terbagi dalam kelas nematoda yang berbentuk bulat memanjang dan terdiri dari cacing jantan dan cacing betina. Nematoda terdiri dari nematoda usus yang hidup di rongga usus dan nematoda jaringan yang hidup di jaringan berbagai organ tubuh (Gandahusada, 2000).

Platyhelminthes mempunyai badan yang pipih, tidak mempunyai rongga badan, dan biasanya bersifat hermaprodit. Platyhelminthes terbagi dalam kelas trematoda dan kelas cestoda. Cacing trematoda mempunyai bentuk seperti daun, badannya tidak bersegmen, dan mempunyai alat pencernaan. Cacing cestoda mempunyai badan yang berbentuk pita dan terdiri dari skoleks, leher, dan badan (strobila) yang bersegmen (proglotid) (Gandahusada, 2000).

(44)

1. Nemathelminthes

Nematoda

Nematoda mempunyai jumlah spesies terbesar di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing nematoda memiliki ukuran, habitat, daur hidup, dan hubungan hospes parasit yang berbeda. Panjang nematoda dapat mencapai beberapa milimeter hingga melebihi satu meter. Terdapat sekitar 10.000 jenis nematoda yang hidup dalam segala jenis habitat mulai dari tanah, air tawar, dan air asin sampai tanaman dan hewan (Gandahusada, 2000).

Secara umum nematoda memiliki bentuk silinder, lonjong pada kedua ujung tubuh, tidak memiliki warna, tembus pandang, dan memiliki lapisan kutikula. Sistem pencernaan nematoda berupa tabung sederhana. Mulut nematoda dikelilingi oleh dua atau tiga bibir dan selanjutnya menuju esofagus. Sistem ekskretori nematoda sangat primitif, terdiri dari kanal dalam setiap lateral cord bergabung pada lubangekskretori di bagian esofagus (Taylor et al., 2007).

(45)

Telur nematoda sangat berbeda baik ukuran dan bentuknya. Ketebalan kulit telur nematoda bervariasi dan terdiri dari tiga lapisan. Lapisan dari kulit telur nematoda yaitu inner membran yang tipis, memiliki struktur lipid, dan impermeable. Lapisan berikutnya adalah middle layer yang memiliki struktur kuat, mengandung kitin yang kaku, dan memberikan warna kekuningan pada telur. Lapisan ketiga adalah outer membran yang berisi protein yang sangat kental dan lengket (Taylor et al., 2007).

Strongyloides spp.

Genus cacing ini berasal dari ordo Rhabditida dan famili Strongylidae yang terdiri dari beberapa spesies dan termasuk parasit pada hewan domestik. Produksi telur cacing sedikit tetapi memiliki ukuran yang besar dan kerabang yang tipis. Bagian esofagus dari cacing infektif tidak berbentuk rhabditiform tetapi berbentuk silinder. Strongyloides dapat berpenetrasi melalui kulit inang kemudian melewati darah ke paru-paru menuju trakea. Selanjutnya dari trakea Strongyloides menuju faring lalu berakhir di usus. Cacing yang bersifat parasit adalah cacing betina dewasa dan dicirikan dengan esofagus yang relatif panjang (Soulsby, 1986).

Chitwood dan Chitwood (1977) mengemukakan bahwa larva Strongyloides memiliki karakteristik tubuh sebagai berikut:

1. Tidak memiliki selubung ekor

2. Ekor larva pendek dan berbentuk kerucut 3. Memiliki tubuh yang kecil dan tipis 4. Kepala berbentuk bulat

5. Memiliki rongga tunggal bagian kranial yang mengelilingi kapsul bukal sementara.

Strongylus spp.

(46)

memiliki bursa yang berkembang dengan baik (Soulsby, 1986). Rongga bukal Strongylus spp. berukuran besar dan terletak di bagian kranial tubuh. Mulut dikelilingi oleh satu atau dua baris yang berbentuk seperti daun yang disebut dengan korona radiata (mahkota daun). Mahkota daun tersebut terdapat pada bagian eksternal yang mengelilingi mulut dan bagian internal yang terdapat pada dinding bagian dalam kapsul bukal (Bowman, 2003).

Trichuris spp.

Trichuris merupakan cacing yang berasal dari ordo Trichinellida dan famili Trichuridae yang pada masa dewasa memiliki bentuk tubuh seperti cambuk. Bagian kaudal cacing Trichuris mirip rambut dan melekat pada dinding usus besar, sedangkan bagian kranial cacing ini gemuk dan berbaring bebas di usus (Bowman, 2003).

Chitwood dan Chitwood (1977) mengemukakan bahwa jenis telur trichurid memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Mempunyai tiga membran, yaitu: lapisan protein bagian luar (mengandung pigmen yang memberikan warna kecoklatan), kerabang sejati bagian tengah (memiliki warna transparan), dan membran vitelin bagian dalam (memiliki granula).

2. Beberapa spesies memiliki operkulum yang sangat menonjol, baik di luar mantel protein bagian eksternal telur maupun di dalam rongga internal telur (Trichuris ovis).

3. Operkulum pada spesies lain memiliki panjang yang sesuai dengan ketebalan kutub dari amplop telur, sehingga memberi bentuk telur di bagian eksternal dan internal (Trichuris vulvis).

4. Bagian kulit kutikula di sepanjang sisi dari operkulum membentuk kerah.

2. Platyhelminthes

a. Trematoda

(47)

dan tidak mempunyai rongga tubuh. Trematoda memiliki sistem pencernaan sederhana, yaitu batil hisap kranial, pharinx, esofagus, dan sepasang usus buntu yang bercabang. Sistem ekskresi terdiri dari sejumlah besar sel api silia yang mendorong sisa produk metabolik di sepanjang sistem saluran. Sistem ekskresi terdiri dari sebuah kandung kemih bagian kaudal, sebuah sistem percabangan dari saluran pengumpul yang masuk ke dalam kandung kemih, dan sebuah sistem ekskresi yang terbuka ke dalam saluran pengumpul tersebut. Trematoda memiliki sistem syaraf sederhana dan tidak memiliki sistem peredaran darah. Sistem reproduksinya hermaprodit, kecuali famili Schistosomatidae (Taylor et al., 2007).

(48)

b. Cestoda

Cestoda atau cacing pita merupakan subfilum lain di dalam filum Plathyhelminthes. Cestoda tidak mempunyai rongga badan dan semua organ tersimpan di dalam jaringan parenkim (Levin, 1990). Selain itu, cestoda tidak memiliki saluran pencernaan, sehingga makanannya akan langsung diserap oleh dinding tubuhnya. Cestoda memiliki bentuk tubuh seperti pita dan panjang tubuh mencapai beberapa sentimeter sampai beberapa meter. Tubuhnya bersegmen dan setiap segmen berisi satu dan kadang-kadang dua set organ reproduksi jantan dan betina. Tubuhnya panjang, pipih, dan terdiri dari tiga daerah, yaitu skolex, leher, dan badan yang bersegmen (strobila) (Taylor et al., 2007).

Kepala (skoleks) memiliki 2 sampai 4 alat penghisap yang memiliki rostelum. Rostelum merupakan penonjolan yang berada pada kepala dan dilengkapi kait untuk menempel pada dinding usus inang. Tepat di belakang skoleks terdapat leher pendek dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti badan atau strobila yang bersegmen (Levin, 1990).

(49)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Unit Rehabilitas dan Reproduksi (URR), Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan di Laboratorium Helminthologi, bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel dan pemeriksaan tinja dilakukan mulai bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011 di URR dan Laboratorium Helminthologi. Pengamatan pola defekasi dilakukan selama tiga minggu yaitu mulai tanggal 2 sampai 22 Agustus 2010 di URR.

Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan sampel tinja dari lima ekor Landak Jawa yang terdiri dari 1 ekor betina dan 4 ekor jantan. Sampel tinja untuk setiap landak diambil 2 kali dalam lima bulan, sehingga total sampel yang diambil adalah 10 sampel. Sampel diperoleh dengan mengambil tinja yang berumur tidak lebih dari tiga jam setelah landak defekasi. Sampel tinja juga diperoleh dengan cara mengambil langsung tinja segar dari rektum pada landak yang telah terbius. Sampel tinja yang diambil dimasukkan ke dalam kantung plastik transparan. Setiap sampel tinja diberi identitas berupa nama atau kode setiap landak, kondisi tinja, tempat, dan tanggal pengambilan. Sampel-sampel tinja diolah dengan pendekatan kualitatif yaitu metode natif, pengapungan, sedimentasi, dan pendekatan kuantitatif yaitu metode McMaster.

Bahan dan Alat

(50)

Identifikasi Telur Cacing

a. Metode Natif

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Metode ini dilakukan dengan mengambil sedikit tinja dengan lidi, kemudian diletakkan pada gelas obyek yang sudah diteteskan air. Tinja diratakan dengan lidi kemudian ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan perbesaran 100 kali dan 400 kali (Natadisastra dan Agus, 2009).

b. Metode Pengapungan

Metode ini bertujuan untuk menentukan keberadaan telur cacing nematoda atau cestoda yang tidak ditemukan pada metode natif. Tinja ditimbang 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam gelas. Tinja di dalam gelas ditambahkan 58 ml larutan pengapung, lalu diaduk dan disaring. Campuran tinja yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai terbentuk meniskus cembung di atas permukaan tabung kemudian ditutup dengan gelas penutup tepat di atas meniskus dan dibiarkan 10 sampai 15 menit. Gelas penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas obyek kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran obyektif 100 kali dan 400 kali (Taylor et al., 2007).

c. Metode Sedimentasi

(51)

Penghitungan Jumlah Telur Cacing dengan Metode McMaster

Telur cacing yang terlihat pada perbesaran obyektif 100 kali dihitung dengan menggunakan alat hitung McMaster. Campuran tinja dengan larutan pengapung yang telah homogen diambil beberapa tetes sampai memenuhi kamar hitung, kemudian dibiarkan selama ± 3 sampai 5 menit lalu dihitung jumlah telur setiap jenis telur di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.

Penghitungan jumlah telur dalam tiap gram tinja (TTGT): TTGT = n/bt x Vtotal/Vhitung

Keterangan :

n : Jumlah telur yang ditemukan dalam kamar hitung bt : Berat telur (gram)

Vtotal : Volume larutan pengapung + tinja (ml)

Vhitung : Volume campuran yang dimasukkan dalam kamar hitung (ml)

Pemupukan

(52)

Pengamatan Pola Defekasi

Pengamatan pola defekasi Landak Jawa dilakukan selama tiga minggu. Pengamatan ini dilakukan setiap tiga jam dalam sehari mulai pukul 06.00 sampai 21.00 WIB. Setiap landak defekasi dilakukan pengamatan terhadap morfologi tinja. Aspek yang diamati pada morfologi tinja adalah warna dan bentuk tinja.

Analisa Data

(53)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telur dan Larva Cacing Parasitik

Hasil penelitian menunjukkan adanya telur cacing nematoda pada tinja Landak Jawa. Tabel 1 memperlihatkan kasus kecacingan tidak terjadi pada landak A dan B, akan tetapi kasus kecacingan terjadi pada landak C, D, dan E. Terdapat dua jenis telur yang teridentifikasi pada tinja Landak Jawa, yaitu jenis telur strongyloid dan trichurid. Jenis telur strongyloid ditemukan pada landak C, D, dan E, sedangkan jenis telur trichurid ditemukan pada landak C dan D. Setelah dilakukan pemupukan pada jenis telur strongyloid, teridentifikasi 2 genus cacing, yaitu Strongyloides dan Strongylus.

Tabel 1 Hasil pengukuran dan penghitungan telur cacing

Landak Genus Cacing Ukuran rata-rata

(µm) * Ukuran telur cacing pada hewan ruminansia dan kuda (Taylor et al., 2007).

Strongyloides sp.

(54)

Gambar 2 (A) Telur cacing Strongyloides dari tinja Landak Jawa, (B) Telur Strongyloides papillosus pada hewan ruminansia (FAO, 2011a).

(i) Perkembangan larva stadium satu, (ii) Kerabang telur.

Hasil pemeriksaan larva stadium tiga Strongyloides sp. memperlihatkan ukuran larva yang kecil, memiliki tubuh yang langsing dengan panjang tubuh 597 µm sampai 730.5 µm, dan memiliki panjang esofagus mencapai setengah dari total panjang tubuhnya (Gambar 3). Bagian kaudal tubuh terbentuk notched (percabangan) yang merupakan salah satu ciri khas dari Strongyloides spp.

Gambar 3 (A) Cacing Strongyloides dari hasil pemupukan tinja Landak Jawa, (B) Cacing Strongyloides (FAO, 2011b). (i) Esofagus, (ii) Percabangan ekor (notched).

i

ii

B A

100 µm

A B

i

ii

(55)

Berdasarkan ukuran dan karakteristik larva cacing Strongyloides yang teridentifikasi, sesuai dengan yang dijelaskan oleh Zajac dan Gary (2006) yaitu panjang dari esofagus setengah dari panjang tubuhnya, ujung ekor larva berbentuk kerucut yang terpotong pada bagian atasnya (Gambar 3ii), dan memiliki ukuran panjang 574 µm sampai 710 µm dan 524 µm sampai 678 µm.

Strongylus sp.

Hasil pemeriksaan telur cacing Strongylus memperlihatkan bentuk telur yang elips, mempunyai selubung yang tipis, mempunyai blastomer yang jelas dengan jumlah yang banyak, dan mempunyai ukuran panjang rata-rata 80.36 µm dan lebar rata-rata 35.45 µm (Gambar 4A). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Kassai (1999) kecuali pada bentuknya, yaitu berbentuk oval. Hal ini diduga telur tersebut merupakan jenis telur yang khas dari Landak Jawa.

Gambar 4 (A) Telur cacing Strongylus dari tinja Landak Jawa, (B) Telur cacing Strongylus sp. pada kuda (Bowman, 2003).

(i) Blastomer, (ii) Kerabang telur.

Larva Strongylus merupakan larva yang memiliki ukuran besar yaitu 980 µm, memiliki esofagus yang pendek, memiliki 16 sampai 32 sel usus tergantung spesies, dan sel usus berbentuk kubus

(

Zajac dan Gary, 2006). Hasil pemeriksaan larva cacing Strongylus memperlihatkan ukuran tubuh yang besar dengan rata-rata panjang tubuh mencapai 1.234 µm. Selain memiliki ukuran

i

ii

16µm

(56)

tubuh yang besar dan panjang, cacing ini memiliki sel usus yang berbentuk kubus (Gambar 5ii). Karakteristik dari genus cacing ini pun sesuai dengan yang dijelaskan oleh Zajac dan Gary (2006). Ukuran tubuh larva yang teridentifikasi pada tinja landak lebih besar dibandingkan dengan literatur. Hal ini diduga larva Strongylus yang teridentifikasi pada tinja Landak Jawa merupakan spesies khas dari Landak Jawa.

Gambar 5 (A) Larva cacing Strongylus dari hasil pemupukan tinja Landak Jawa, (B) Larva Strongylus edentatus (kiri) dan Strongylus vulgaris (kanan) pada kuda (Bowman, 2003).

(i) Bagian kepala larva Strongylus, (ii) Sel usus larva Strongylus yang berbentuk kubus, (iii) Bagian ekor dan selubung ekor larva

Strongylus.

Trichuris sp.

Hasil pemeriksaan telur cacing Trichuris memperlihatkan bentuk telur yang oval, dinding yang tebal, mempunyai operkulum, dan tidak mempunyai blastomer (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Kassai (1999) bahwa jenis telur trichurid mempunyai bentuk seperti lemon dengan dinding yang tebal dan mempunyai operkulum di kedua ujungnya. Telur Trichuris pada Landak Jawa memiliki ukuran panjang rata-rata 54.62 µm dan lebar rata-rata 24.44 µm.

Ukuran ini lebih kecil dibandingkan dengan yang dijelaskan oleh Taylor et al. (2007) pada Tabel 1. Hal ini diduga larva Trichuris yang

terindentifikasi pada tinja Landak Jawa merupakan karakteristik khas dari parasit yang menginfeksi Landak Jawa.

iii i

ii

A B

(57)

Gambar 6 Telur cacing Trichuris.

(A) Telur cacing genus Trichuris dari tinja Landak Jawa, (B) Telur Trichuris vulvis pada anjing (Blugburn, 1999), skala 1:10.

Kecacingan pada Landak Jawa

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecacingan pada Landak Jawa dapat berupa umur, kondisi kandang, perlakuan kandang, perilaku individu, dan pakan (Noble dan Noble, 1989; Taylor et al., 2007). Semakin muda umur hewan semakin tinggi resiko hewan tersebut terinfeksi cacing. Hal ini disebabkan sistem kekebalan dari hewan muda belum optimal, sehingga sistem kekebalan tidak dapat melindungi tubuh dari infeksi cacing. Hewan tua memiliki tingkat resistensi atau kekebalan yang tinggi terhadap infeksi cacing. Hal ini terjadi akibat tubuh membentuk respon kekebalan setiap ada infeksi cacing yang masuk ke dalam tubuh inang (Noble dan Noble, 1989). Kondisi kandang juga mempengaruhi faktor kecacingan. Kandang yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung telur cacing atau larva cacing infektif dapat menjadi sumber kecacingan utama. Hal ini terkait dengan perilaku atau kebiasaan Landak Jawa seperti menggigit-gigit besi kandang. Besi-besi kandang tersebut bisa saja terkontaminasi telur cacing atau larva cacing yang berasal dari tinja.

Selain kondisi kandang, perlakuan kandang juga mempengaruhi kasus kecacingan. Landak dikandangkan secara individual sehingga memungkinkan tidak terjadi kontaminasi silang melalui tinja antara landak yang terinfeksi dan landak yang tidak terinfeksi. Pakan juga dapat mempengaruhi munculnya kasus kecacingan. Pakan yang diberikan pada landak terdiri dari sayur-sayuran dan buah-buahan. Pakan tersebut diduga telah terkontaminasi telur cacing atau larva melalui tanah saat di perkebunan. Tanah merupakan sumber infeksi utama

Operculum Kerabang

A B

Gambar

Gambar 1 Landak Jawa (Hystrix javanica).
Gambar  2 (A) Telur cacing Strongyloides dari tinja Landak Jawa,
Gambar 4 (A) Telur cacing Strongylus dari tinja Landak Jawa,
Gambar 5 (A) Larva cacing Strongylus dari hasil pemupukan tinja Landak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Akta dibawah tangan memiliki nilai pembuktian yang sempurna sepanjang para pihak mengakuinya.Apabila para pihak melanggar ketentuan tertentu seperti yang tercantum

Keefektifan cendawan entomopatogen serangga untuk mengendalikan hama sasaran sangat tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, jenis hama

Di dalam struktur organisasi yang memadai, terlihat batasan-batasan wewenang dan pemberian tanggung jawab yang jelas untuk manajer, dimana anggaran yang disusun dapat disesuaikan

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa kegiatan pemantauan keimigrasian dan operasi lapangan yang berkaitan dengan penindakan keimigrasian yang terencana dengan baik dan sesuai

Skrining gizi adalah proses identifikasi karakteristik yang mempunyai hubungan dengan masalah gizi, sehingga dapat ditentukan status gizi pasien yang berguna

Hipotesis penelitian ialah (1) pelengkungan cabang dan taraf dosis pupuk kandang yang memberikan pengaruh pada transisi pertumbuhan vegetatif ke generatif tanaman jeruk keprok

Penjelasan pasal 2 ayat (2): yang dimaksudkan dengan pelayanan antara lain kesempatan memperoleh pendidikan dan kesehatan. Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang

PT NH Korindo Sekuritas Indonesia, its affiliated companies, employees, and agents are held harmless form any responsibility and liability for claims, proceedings, action,