RINGKASAN
Nina Indah Kumalasari. E14063399. PERBANDINGAN SIFAT FISIK
TANAH LINTASAN SEPEDA GUNUNG DAN TANAH HUTAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT. Dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr.
Lintasan sepeda gunung sepanjang 7,2 km dibuat di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dalam kerangka strategi pengembangan HPGW sebagai tempat eko-wisata olah raga. Pembuatan dan penggunaan lintasan sepeda gunung secara intensif diduga dapat menyebabkan perubahan sifat fisik tanah akibat pemadatan tanah, dan selanjutnya dapat meningkatkan laju dan jumlah aliran dan erosi permukaan. Aliran permukaan dan erosi permukaan dapat menyebabkan masalah lain seperti sedimentasi di bagian hilir dan banjir.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisik tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan, dan mengetahui laju dan jumlah aliran dan erosi permukaan di lintasan sepeda gunung HPGW.
Pengumpulan dan analisis data dilaksanakan dari Oktober 2010 sampai dengan Maret 2011 di HPGW, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data yang dikumpulkan terdiri dari letak, luas, dan kemiringan lintasan sepeda gunung, jenis penutupan lahan, sifat fisik tanah, curah hujan harian, laju dan jumlah aliran, dan muatan sedimen.
Letak, luas, dan kemiringan lahan dianalisis dari pemetaan lintasan sepeda gunung, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis dengan cara overlaying hasil pemetaan dengan peta kontur, jenis penutupan lahan, dan jenis tanah HPGW. Jenis penutupan lahan dianalisis dari peta jenis penutupan lahan. Sifat fisik tanah dianalisis melalui analisis contoh tanah di laboratorium, kecuali kepadatan tanah diukur di lapangan.
Contoh tanah diambil dengan menggunakan ring sample tanah dan kepadatan tanah diukur dengan penetrometer. Sifat fisik tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan dianalisis untuk setiap kelas kemiringan 8-15%, 15-25%, 25-40% dan > 40%. Curah hujan harian diukur dengan pengukur hujan otomatis. Jumlah aliran dan muatan sedimen diukur dengan menggunakan plot erosi berukuran (1 m x 0,6 m). Curah hujan, aliran dan muatan sedimen diukur setiap hari selama 30 hari hujan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisik tanah lintasan sepeda dan tanah hutan tidak berbeda nyata. Kelas bahaya erosi di lintasan sepeda gunung termasuk kelas ”sangat ringan”, masih dalam batas aman. Volume aliran dan erosi permukaan tertinggi terjadi di lintasan sepeda gunung dengan kemiringan 15-25%, yaitu masing-masing sebesar 143.228,88 m³/ha/tahun dan 206,74 ton/ha/tahun. Total aliran dan erosi permukaan di lintasan sepeda gunung sebesar
187.424,42 m³/ha/tahun dan 302,59 ton/ha/tahun.
ABSTRACT
Nina Indah Kumalasari. E14063399. A Comparison of Physical Properties of Mountain Bike Track and Forest Soils at Gunung Walat University Forest, Sukabumi District, West Java Province. Supervised by Dr. Ir. Hendrayanto. M. Agr.
Mountain bike track as along as 7.2 km was developed in Gunung Walat University Forest (GWUF) It was a part of development stragies of GWUF through sport-eco-tourism. Contruction and intensive utilization of mountain bike track in GWUF possibly cause changes in soil physical properties due to soil compaction, and increase the rate and amount of surface run-off and erosion.
The objectives of this research are to analyze the physical properties of mountain bike track and forest soils, and to know the rate and amount surface run-off and erosion on mountain bike track in GWUF.
Data collection and analysis were conducted from October 2010 until March 2011. The collected data consists of mountain bike tracks location, length, wide, area and slope steepness, types of land cover, soil physical properties, rainfall, surface run-off amount and rate, and sediment load.
The location, length, wide, area, and slope steepness of mountain bike track were analyzed from mountain bike track mapping, overlaying with contour, land cover types, and soil types maps of GWUF using Geographic Information System software. Soil physical properties were analyzed through analysis of soil samples in the laboratory, except for the soil compactness was measured directly in the field using penetrometer.
Soil samples were taken using the ring samples from mountain track bike track as well as forest soil at difference slope steepness, namely 8—15%, 15— 25%, 25—40%, and >40%. Daily rainfall were measured using an automatic rain gauge. Amount of surface run-off and sediment loads were measured using erosion plot size of 1 m x 0.6 m. Rainfall, surface run-off and sediment load data are collected every day, during 30 days of rain events.
The results of this research showed that the physical properties of soils of mountain bike track and forest were not different significantly. Surface run-off and erosion on mountain bike track were in the level of ”very low” hazard class. It means the rate of erosion was in the threshold of safe criteria. The highest surface run-off and erosion occures on the slope of 15-25%, those are 143.228,88 m³/ha/year and 206,74 ton/ha/year, respectively. Surface run-off and erosion are 187.424,42 m³/ha/year and 302,59 302,59 ton/ha/year, respectively.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lintasan sepeda gunung sepanjang 7,2 km dibuat di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW) dalam kerangka Strategi Pengelolaan HPGW
mengembangkan eko-wisata melalui kegiatan olah raga sepeda gunung bertaraf
internasional. Kegiatan ini, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu, serta jasa
lingkungan didedikasikan sebagai media tridharma dan alternatif untuk
memperkuat sumber pendanaan dan pengelolaan serta pemantauan dampak
lingkungan sebagai akuntabilitas publik terhadap timbulnya dampak lingkungan
akibat penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan dan penyelenggaraan kegiatan
pengelolaan hutan dan penyelenggaraan tridharma (Fahutan IPB 2009).
Pembuatan lintasan sepeda gunung mengakibatkan terbukanya permukaan
tanah, terutama akibat hilangnya tumbukan bawah dan serasah, dan penggunaan
secara intensif dapat menyebabkan pemadatan tanah. Pengaruh lebih lanjut dapat
meningkatkan jumlah dan laju aliran dan erosi permukaan, sedimentasi, dan banjir
di bagian hilir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengurangan
penutupan lahan oleh vegetasi dan perubahan sifat fisik tanah menyebabkan
peningkatan jumlah dan laju aliran dan erosi permukaan. Hamilton dan King
(1993) mengulas dampak perubahan hutan dan tiindakan koservasi terhadap hasil
air.
Dampak penggunaan lahan termasuk penggunaan hutan sebagai lintasan
sepeda gunung dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti luas penggunaan,
intensitas perubahan, dan penggunaan lahan. Oleh karena itu, penelitian mengenai
tingkat perubahan dan intensitas penggunaan untuk lintasan sepeda gunung
terhadap sifat fisik dan limpasan permukaan serta erosi di HPGW perlu dilakukan.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisik tanah lintasan sepeda
gunung dan tanah hutan, dan mengetahui tingkat bahaya erosi lintasan sepeda
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pengelola HPGW
untuk mengelola dampak yang mungkin timbul dari pembuatan dan penggunaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan
bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur,
porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan
dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air
maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim et al.
1986).
2.1.1 Tekstur Tanah
Menurut Hardjowigeno (2007), kelas tekstur tanah menunjukkan
perbandingan butir-butir pasir (0,005—2 mm), debu (0,002─0,005 mm), dan liat (< 0,002 mm) di dalam fraksi tanah halus. Tekstur menentukan tata air, tata udara,
kemudahan pengelolaan, dan struktur tanah. Penyusun tekstur tanah berkaitan erat
dengan kemampuan memberikan zat hara untuk tanaman, kelengasan tanah,
perkembangan akar tanaman, dan pengelolaan tanah. Berdasarkan persentase
perbandingan fraksi – fraksi tanah, maka tekstur tanah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu halus, sedang, dan kasar. Makin halus tekstur tanah
mengakibatkan kualitas tanah semakin menurun karena berkurangnya kemampuan
tanah dalam menghisap air.
Tanah lempung dan debu memiliki ciri-ciri berukuran halus, biasanya
berbentuk seperti mika dan liat bila lembab dan memiliki daya serap (air, gas,
hara, dan garam laut) tinggi. Selain itu, lempung dan debu dalam tanah
menentukan kehalusan teksturnya serta gerakan air dan udara.
Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara
tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar
sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya
tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit
menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam
reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).
2.1.2 Retensi Air Tanah
Retensi air tanah atau kelengasan tanah adalah keadaan yang memberikan
volume air (cairan) yang tertahan di dalam pori-pori sistem tanah sebagai akibat
adanya hubungan antara massa air dengan jarah tanah (adesi) dan sesama massa
tanah (kohesi). Salah satu hal yang mempengaruhi pasokan air pada tanaman
adalah kelengasan tanah dan tetapan lengas tanah yaitu kapasitas lapang.
Kapasitas lapang merupakan kandungan air yang tersekap oleh sistem tanah
setelah laju gerakan air ke bawah banyak berkurang (Purwowidodo 2002).
Istilah yang digunakan dalam menentukan jumlah air tersedia bagi tanaman
menurut Hardjowigeno (2007), yaitu:
1. Kapasitas kandungan air maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat
ditampung oleh tanah setelah hujan besar turun (tanah jenuh air). Jika terjadi
penambahan air lebih lanjut, akan terjadi penurunan air gravitasi yang bergerak
terus ke bawah (pF=0 atau 0,01 Bar),
2. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan
jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik
gravitasi (pF 2,7 atau 1/3 Bar),
3. Air tersedia merupakan banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih
antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi kadar air pada titik layu
4. Titik layu permanen merupakan kandungan air tanah dimana akar-akar
tanaman mulai tidak mampu menyerap air dari tanah, sehingga tanaman
menjadi layu (pF 4,2 atau 15 Bar).
Banyaknya kandungan air dalam tanah berhubungan erat dengan besarnya
tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Besarnya tegangan air menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air tersebut di
dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, atmosfir, cm air, dan pF. Berikut
beberapa satuan yang digunakan untuk menyatakan tingkat energi air tanah
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Satuan tingkat energi air tanah
Tinggi unit kolom air (cm) Nilai pF Tekanan atmosfir Bar
10 1 0,001 0,010
Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi oleh tekstur dan struktur
tanah. Tanah bertekstur halus menahan air lebih banyak dibandingkan dengan
tanah bertekstur kasar. Oleh karena itu tanah pasir umumnya lebih mudah
kekeringan daripada tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi kekurangan air
ataupun kelebihan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno
2007). Selain itu, ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah
hujan atau irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotransiprasi (penguapan
langsung dari tanah maupun vegetasi), dan tingginya muka air tanah. Air terdapat
dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap
air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan ataupun
kekurangan kandungan air dalam tanah dapat mengganggu pertumbuhan tanaman
(Purwowidodo 2002).
2.1.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah
dinyatakan dalam gr/cc. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah dimana semakin padat suatu tanah, maka makin tinggi bulk densitynya, artinya semakin sulit meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Tanah yang lebih
padat mempunyai bulk density yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi kurang padat. Pada umumnya tanah lapisan atas (top soil) pada tanah mineral mempunyai nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1—1,6 gr/cc, sedangkan tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Bulk density dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan kandungan bahan organik. Selain itu, bulk density dapat cepat berubah karena pengolahan tanah dan praktek budidaya (Hardjowigeno 2007).
Menurut Hakim et al. (1986), bulk density pada pertumbuhan sedang dan pertumbuhan kecil (1,05—1,32) relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan baik (1,04—1,18). Hal ini menunjukkan semakin tinggi bulk density menyebabkan kepadatan tanah meningkat, aerasi dan drainase terganggu, sehingga
perkembangan akar menjadi tidak normal. Nilai bulk density dapat menggambarkan adanya lapisan tanah, pengolahan tanah, kandungan bahan
organik dan mineral, porositas, daya memegang air, sifat drainase, dan
kemudahan tanah ditembus akar.
Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan
partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam
menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di
dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah
memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah 2005).
2.1.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah
Kerapatan partikel atau Particle density didefinisikan sebagai berat tanah kering persatuan volume partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori
tidak termasuk volume ruang pori yang terdapat diantara ruang pori
(Hardjowigeno 2007).
Tanah permukaan (top soil) biasanya mempunyai kerapatan yang lebih kecil dari sub-soil, karena berat bahan organik pada tanah permukaan lebih kecil daripada berat benda padat tanah mineral dari sub soil dengan volume yang sama, dan top soil banyak mengandung bahan organik sehingga particle densitynya
rendah. Oleh karena itu partikel density setiap tanah merupakan suatu tetapan dan tidak bervariasi menurut jumlah partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral
partikel densitynya rata-rata sekitar 2,6 g/cc (Foth 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kadar air mempengaruhi
volume kepadatan tanah, dimana untuk mengetahui volume kepadatan tanah
dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, sebab tanpa adanya pengaruh kadar
air maka proses particle density tidak berlangsung, karena air sangat mempengaruhi volume kepadatan tanah. Selanjutnya volume padatan tanah
tersusun oleh fraksi pasir, liar, dan debu sehingga untuk mengetahui volume
padatan tanah tertentu dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Kandungan
bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah.
Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka
makin kecil nilai particle densitynya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang
lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir.
Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Top soil banyak mengandung bahan organik dan kerapatan butirnya sampai 2,4 gr/cc atau bahkan lebih rendah dari nilai itu. Dengan adanya bahan organik,
menyebabkan nilai particle densitynya semakin kecil (Hanafiah 2005).
2.1.5 Ruang Pori Total
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat
ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan
aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan
pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang
atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada
tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air
sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah
pori-pori makro + mikro), lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno 2007).
Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan
tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah
dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada
tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro),
sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno 2007). Hal ini dikarenakan ruang pori
total yang mungkin rendah tetapi mempunyai proporsi yang besar dimana disusun
oleh komposisi pori-pori yang besar dan efisien dalam pergerakan udara dan air.
Selanjutnya proporsi volume yang terisi pada tanah menyebabkan kapasitas
menahan air menjadi rendah, dimana kandungan tekstur halus memiliki ruang pori
lebih banyak dan disusun oleh pori-pori kecil karena proporsinya relatif besar
(Hanafiah 2005).
Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meneruskan air atau
udara. Permeabilitas tanah biasanya diukur dengan istilah kecepatan air yang
mengalir dalam waktu tertentu yang ditetapkan dalam satuan cm/jam (Hakim et al. 1986). Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas. Struktur tanah dan bahan organik menunjukkan hubungan utama terhadap
permeabilitas adalah distribusi ruang pori, sedangkan faktor lainnya merupakan
faktor yang menentukan porositas dan distribusi ukuran pori (Sutanto 2005).
Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat
permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah karena
permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2)
adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan
4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah
terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief 1989).
Tabel 3 Klasifikasi permebilitas tanah
Permeabilitas (cm/jam) Kelas
Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar
tanaman menembus tanah. Masuknya akar tanaman ke dalam tanah tergantung
dari: 1) kemampuan akar tanaman itu sendiri, 2) sifat-sifat fisik tanah seperti
struktur, tekstur dan kepadatan tanah, retakan-retakan yang ada di dalam tanah,
dan kandungan bahan organik tanah, dan 3) kondisi kelembapan tanah (Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).
Penggunaan penetrometer dalam pengujian penetrasi tanah dapat
mempengaruhi sifat-sifat tanah, diantaranya kandungan air tanah, berat isi,
struktur, dan tekstur tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kandungan
air tanah, berat isi, ukuran pori, tekstur, dan struktur tanah dapat mempengaruhi
ketahanan tanah. Nilai ketahanan tanah meningkat dengan menurunnya
kelembapan tanah dan tekstur tanah. Pada kelembapan tanah rendah, ketahanan
tanah meningkat, demikian juga dengan meningkatnya kandungan pasir. Hasil
penelitian Vepraskas (1984) dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperlihatkan, ketika kandungan air tanah
meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Sedangkan Lowery dan Schuler
(1994) dalam Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperoleh bahwa ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan mengikatnya
kepadatan tanah.
Pada kondisi lapang, penetrasi tanah penting untuk: 1) menduga tingkat
pemadatan tanah (soil compaction), baik proses alami maupun oleh adanya aktifitas mekanisasi alat-alat pertanian, dan 3) tingkat kemantapan atau
kekompakan struktur tubuh tanah (Hillel 1980 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).
2.2 Ciri dan Jenis Tanah
Klasifikasi tanah adalah usaha untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan
atas sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat
yang sama dimasukkan ke dalam kelas yang sama. Hal ini sangat penting karena
tanah-tanah dengan sifat yang berbeda memerlukan perlakuan (pengelolaan) yang
berbeda.
Dalam klasifikasi tanah dikenal berbagai tingkat (kategori) klasifikasi. Pada
kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besar, kemudian pada kategori
berikutnya dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan
untuk membedakan tanah pada kategori yang lebih rendah, sehingga jumlah faktor
pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.
Salah satu sistem klasifikasi tanah (Hardjowigeno 2007) telah
dikembangkan Amerika Serikat (USDA 1975) dikenal dengan nama soil taxonomy menggunakan enam kategori dengan ciri-pembeda setiap kategori yaitu: 1. Ordo : dibedakan berdasarkan ada tidaknya horizon penciri serta
jenis (sifat) dari horizon penciri tersebut.
2. Sub-ordo : dibedakan berdasarkan perbedaan genetik tanah.
3. Great group : dibedakan berdasarkan perbedaan: jenis, tingkat, susunan
horizon, kejenuhan basa, regim suhu, dan kelembaban.
4. Sub group : sifat inti dari great group dan diberi nama Typic, sifat tanah
peralihan ke: a) great group lain, b) sub ordo lain, c) ordo
lain, dan d) ke bukan tanah.
5. Famili : dibedakan berdasarkan sifat-sifat tanah yang penting untuk
pertanian dan atau engineering, meliputi sifat tanah, yaitu sebaran besar butir, susunan mineral liat, dan regim
6. Seri : dibedakan berdasarkan: jenis dan susunan horizon, warna,
tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari
masing-masing horizon, sifat kimia tanah lainnya, dan
sifat-sifat mineral dari masing-masing horizon.
Sistem klasifikasi tanah ini memiliki keistimewaan terutama dalam hal: 1)
penamaan atau tata nama, 2) definisi-definisi horizon penciri, dan 3) beberapa
sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis tanah.
Selanjutnya berdasarkan atas horizon-horizon penciri dan sifat-sifat penciri
lain, maka tanah di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua belas ordo seperti
yang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Ordo tanah dan penciri utama menurut sistem taksonomi
Ordo Penciri Utama
Mempunyai sifat gelik (membeku sepanjang tahun). menjerut, pecah-pecah dan musim hujan tanah mengembang dan sangat lekat), lebih 30 % liat. Sumber: Hadjowigeno 2007
Persebaran jenis tanah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Tanah organosol
Tanah organosol memiliki ciri-ciri: 1) lapisan gambut (bahan organik) yang
ketebalannya lebih dari 50 cm, 2) jenuh air sepanjang tahun, dan 3) reaksi tanah
2. Tanah latosol
Tanah latosol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat tanah lebih dari 60%, 2)
struktur remah sampai gumpal, 3) warna tanah seragam dengan batas-batas
horizon yang kabur, 4) memiliki profil tanah yang dalam (lebih dari 150 cm) dan
5) umumnya memiliki epipedon umbrik dan horizon kambik (Hadjowigeno 2007).
3. Tanah regosol
Tanah regosol memiliki ciri-ciri bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih
dari 60% dan hanya mempunyai horizon penciri ochrik, histik, dan surfurik
(Hadjowigeno 2007).
4. Tanah aluvial
Tanah aluvial memiliki ciri-ciri: 1) endapan baru berlapis-lapis, 2) bahan
organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman, 3) hanya terdapat
epipedon ochrik, histik atau sulfurik, dan 4) kandungan pasir kurang dari 60%
(Hardjowigeno 2007).
5. Tanah litosol
Tanah litosol memiliki ciri-ciri: 1) tanah mineral yang ketebalannya 20 cm
atau kurang, 2) terdapat batuan keras yang padu, dan 3) belum ada perkembangan
profil (Hardjowigeno 2007).
6. Tanah grumusol
Tanah grumusol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat lebih dari 30%, 2) berwarna
kelabu hingga hitam, dan 3) pH netral hingga alkalis dan saat musim kering tanah
menjadi keras dan retak-retak (mengkerut), sebaliknya saat musim basah menjadi
lengket (mengembang) (Hardjowigeno 2007).
7. Tanah andosol
Tanah andosol memiliki ciri-ciri: 1) berwarna cokelat kehitaman (epipedon
mollik atau umbrik dan mempunyai horizon kambik, 2) bulk density kurang dari 0,85 gr/cc, dan 3) banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60% terdiri
dari endapan abu vulkanik (Hardjowigeno 2007).
8. Tanah podsolik
Tanah podsolik memiliki ciri-ciri tanah dengan horizon penimbunan besi
(horizon spodik) dan horizon berwarna cokelat tua sampai kemerahan (horizon
9. Tanah planosol
Ciri-ciri tanah planosol yaitu: 1) tanah dengan horizon albik yang terletak di
atas horizon dengan permeabilitas lambat (misalnya horizon argilik atau natrik)
yang memperlihatkan perubahan tekstur yang nyata, 2) adanya liat berat, dan 3)
memperlihatkan ciri-ciri hidromorfolik pada sebagian horizon albik
(Hardjowigeno 2007).
2.3 Aliran Permukaan
Aliran permukaan atau limpasan permukaan merupakan sebagian dari air
hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan.
Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air persatuan
waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah,
dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (Asdak 1995).
Proses terjadinya aliran permukaan yaitu curah hujan yang jatuh diatas
permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk ke tanah sebagai
aliran infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk vegetasi sebagai air intersepsi. Infiltrasi
akan berlangsung terus selama kapasitas lapang belum terpenuhi atau tanah masih
di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung dan kapasitas lapang
telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang
selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk mengisi
cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depression storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambahan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan, kelebihan air hujan di atas sebagian menguap
atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses
hidrologi di atas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih
berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi (Haridjaja 2000
dalam Devianto 2008).
Rahim (2003) menyatakan jumlah air yang menjadi limpasan sangat
bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu (intensitas), keadaan
penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau
tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadi hujan).
diintersepsi oleh tajuk pohon kemudian mengalir ke permukaan tanah memalui
aliran batang dan curahan tajuk. Aliran permukaan selanjutnya akan mengangkut
partikel-partikel tanah sehingga jumlah, laju, kecepatan, dan tingkat turbulensi
aliran permukaan akan menentukan besarnya erosi (Arsyad 2010).
2.4 Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau
bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut
yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah
tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2010).
Proses terjadinya erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu,
pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan
(sedimentation). Mekanisme erosi dimulai dengan turunnya air hujan yang mengenai permukaan tanah. Air yang memukul permukaan tanah secara langsung
dapat menghancurkan agregat tanah sekaligus melepaskan partikel-partikel tanah.
Penghancuran agregat tanah dan terlepasnya partikel tanah merupakan pertanda
awal terjadinya erosi. Selanjutnya, partikel-partikel yang terlepas akan menutupi
pori-pori tanah yang ada sehingga bisa menurunkan kemampuan tanah untuk
menyerap air. Tertutupnya pori-pori tanah menyebabkan air tidak bisa masuk ke
dalam tanah sehingga terjadilah aliran air. Aliran air ini akan membawa lapisan
tanah atas ke tempat yang lebih rendah, kemudian diendapkan.
Sedangkan menurut Arsyad (2010), membagi proses erosi oleh air ke dalam
dua sub proses, yaitu:
1) Penghancuran struktur tanah menjadi butiran-butiran primer oleh energi
tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan pemindahan butir-butir
primer tersebut oleh percikan air hujan,
2) Perendaman oleh air yang tergenang di permukaan tanah yang mengakibatkan
tanah terdispersi yang diikuti pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang
mengalir di permukaan tanah.
mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alamiah
umumnya masih memberikan media yang memadai untuk berlangsungnya
pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sedangkan erosi yang dipercepat adalah erosi
yang proses terjadinya dipercepat akibat kegiatan manusia yang bersifat negatif
ataupun melakukan kesalahan dalam pelaksanaan pertanian, terkelupasnya lapisan
tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan
kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak
keadaan fisik tanah, antara lain pembuatan jalan di daerah kemiringan yang besar
(Kartasapoetra 1989).
Arsyad (2010) menguraikan bahwa bentuk-bentuk erosi yang disebabkan
oleh air yang umum djumpai di daerah tropis terdiri dari erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai, longsor (landslide), dan erosi internal.
2.5 Metode Pengukuran Aliran dan Erosi Permukaan
Pengukuran laju erosi tanah yang terjadi dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode pengukuran yang bersifat kualitatif
antara lain metode potret udara dan metode citra satelit. Sedangkan metode
pengukuran kuantitatif meliputi metode pengukuran permukaan tanah, metode
ukur cepat, metode tongkat ukur, dan metode petak kecil (Effendi 1996).
2.5.1 Pengukuran Secara Langsung
1. Metode Penurunan Permukaan Tanah
Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya masa tanah yang
telah tererosi dari jalur-jalur aliran permukaan tanah di suatu lahan. Penetapan
tebal lapisan tanah di jalur aliran permukaan tanah yang telah tererosi dilakukan
berdasarkan perbesaan ketinggian antara titik pengamatan di dasar alur erosi.
Penetapan tebal lapisan tanah disekitar pohon yang telah tererosi dilakukan
berdasarkan perbedaan ketinggian antar titik pengamatan di lokasi yang searah
dengan pangkal akar pohon dengan beberapa titik pengamatan di permukaan
tanah yang terpampang saat ini (Effendi 1996).
2. Metode Ukur Cepat
Metode ukur cepat efektif untuk menetapkan masa tanah yang telah tererosi
telah tererosi dari alur-alur adalah dengan mengukur panjang lokasi kajian yang
memperlihatkan adanya erosi alur, menghitung banyaknya alur-alur erosi di lokasi
kajian, menghitung rata-rata tebal alur, menghitung luas total penampang alur,
menghitung rata-rata luas penampung alur, dan menghitung volume total alur
(Effendi 1996).
3. Metode Tongkat Ukur
Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur perubahan kedalaman
tanah akibat erosi atau tertimbun yang berwujud tongkat bertanda ukur dengan
bahan tahan lapuk selama pemakaian, ringan, mudah diperoleh, dan murah.
Tongkat ukur dibenamkan ke dalam tanah sampai tanda nol berada di permukaan
tanah. Pemantauan laju erosi tanah di suatu lahan memerlukan lebih dari satu titik
pengamatan, untuk itu perlu penempatan tongkat ukur yang dapat mewakili
penampilan lahan. Setelah terjadi kejadian hujan tertentu akan terjadi perubahan
tinggi permukaan tanah di titik-titik perngamatan. Besarnya laju erosi tanah yang
terjadi didapat dengan mengalikannya dengan bobot isi tanah di lokasi kajian
(Effendi 1996).
4. Metode Petak Ukur Erosi
Pembuatan petak ukur erosi tanah sesuai dengan aturan USLE kadang tidak
mungkin dilakukan karena alasan waktu dan biaya. Ada suatu petak ukur tetap
yang berukuran 200 m2 supaya memungkinkan pengukuran laju erosi tanah untuk
jangka waktu yang cukup lama, yang diletakkan di lokasi-lokasi dengan keadaan
tumbuhan beraneka ragam (Effendi 1996).
2.5.2 Pendugaan Erosi 1. Metode USLE
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu
area dengan sistem pertanaman dan pengelolaan. Bentuk erosi yang dapat
diprediksi adalah erosi alur, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan
tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai, dan dasar
Model prediksi erosi USLE dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)
yang diacu dalam Arsyad 2010) dengan persamaan sebagai berikut:
A = R × K × L × S × C × P ... (1)
Dimana :
A = Banyaknya tanah terterosi (ton/ha/tahun)
R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang
merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit (I30)
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan
panjang 72,6 kaki (22 meter) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman
L = Faktor panjang lereng 9%, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan lereng
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kali
(22 meter) di bawah keadaan yang identik
S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu
tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah
dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman vegetasi tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang
identik tanpa tanaman
P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan
penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, dan teras
menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang
memberikan perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap
besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang
identik
Metode USLE adalah metode yang dianggap sebagai rumus yang paling
mendekati kenyataan dibandingkan dengan rumus yang lain, karena
variabel-variabel yang berpengaruh terhadap besarnya kehilangan tanah dapat
2. Metode SLEMSA
SLEMSA merupakan kependekan dari Soil Loss Estimation Model for South Afrika sebagai upaya menyederhanakan model USLE berdasarkan perbedaan batasan kuantitatif erodibilitas tanah. Model ini dirancang untuk mengurangi
kebutuhan biaya dan waktu kerja kajian petak ukur lapangan dalam menetapkan
nilai-nilai mandiri masing-masing faktor pengendali erosi tanah. Menurut
Poerwowidodo 1999 dalam Aleksander 2010, penetapan parameter pengendalian erosi tanah dengan model ini tetap berdasarkan pada kajian satuan petak ukur
yaitu:
Z = K x C x X ... (2)
Dimana :
Z = nilai tengah prakiraan laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun)
K = nilai tengah laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) dari petak contoh
baku berukuran 30 m x 10 m pada kemiringan 4,5%, terbuka dan
diketahui nilai erodibilitasnya
C = Nilai perbandingan laju erosi tanah antara petak ukur bertanaman dan
petak ukur yang dibiarkan dalam keadaan tanpa penutup
X = Perbandingan laju erosi yang memiliki panjang lereng dan kemiringan
tertentu dengan laju erosi dari petak ukur
3. Metode RUSLE
Menurut Poerwowidodo (1999) dalam Aleksander (2010) metode ini dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
metode USLE dengan memperbaharui data dan pendekatan baru, koreksi
kelemahan-kelemahan USLE, dan penggunaan teknologi baru yaitu teknologi
berdasarkan komputer. Metode RUSLE ini dipublikasikan program RUSLE telah
mengalami perubahan pada perangkat lunaknya.
4. Metode SDR
Pada kasus tertentu, terutama untuk daerah tangkapan air yang belum
diketahui besarnya komponen-komponen penyusun rumus USLE perlu
diupayakan cara prakiraan yang lebih sederhana tetapi masih dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara prakiraan erosi yang dimaksud adalah
kajian, dan besarnya nisbah pelepasan sedimen (sediment delivery ratio, SDR). Untuk selanjutnya prakiraan erosi dengan cara ini disebut prakiraan erosi metode
SDR.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data debit dan
muatan sedimen di titik pengamatan (outlet) suatu DAS yang akan diperkirakan tingkat erosinya. Data ini diusahakan dalam periode waktu yang cukup panjang
(tahunan). Umumnya, untuk mendapatkan data muatan sedimen dalam jangka
panjang dapat dibuat persamaan debit-sedimen (sediment-discharge rating curve) dari data debit dan muatan sedimen yang tersedia di lokasi pengamatan tersebut,
dan muatan sedimen untuk tahun-tahun berikutnya dapat dihitung hanya dengan
menggunakan debit (Asdak 1995).
2.6 Erosi Diperbolehkan
Erosi yang diperbolehkan dinyatakan sebagai suatu laju yang tidak boleh
melebihi laju pembentukan tanah. Pengikisan di bagian atas selalu diikuti oleh
pembentukan lapisan tanah baru pada bagian bawah profil tanah, tetapi laju
pembentukan ini pada umumnya tidak mampu mengimbangi kehilangan tanah
karena erosi dipercepat. Secara alami laju kehilangan tanah yang diperbolehkan
tergantung dengan kondisi tanah dan secara umum laju erosi yang diperbolehkan
(Edp) untuk kebanyakan tanah di Indonesia pada lahan miring adalah sebesar 25
mm/thn atau setara dengan 25 ton/ha/tahun sedangkan untuk di daerah yang
bertopografi datar Edp yang disarankan adalah 10/ton/ha/thn (Rahim 2003).
2.7 Indeks Bahaya Erosi (IBE)
Indeks bahaya erosi (IBE) merupakan petunjuk besarnya erosi pada suatu
lahan. Tujuan menentukan indeks bahaya erosi yaitu untuk mengetahui sejauh
mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang
bersangkutan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu
ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari nilai indeks bahaya erosi
dari lahan tersebut. Indeks bahaya erosi diartikan sebagai suatu nilai rasio antara
suatu lahan. Indeks bahaya erosi ditentukan berdasarkan persamaan berikut
(Hammer 1981 dalam Hardjowigeno 2007):
... (3)
Dari nilai indeks bahaya erosi yang diperbolehkan dapat diketahui tingkat
bahaya atau ancaman erosi tersebut di suatu lahan dengan pedoman pada
klasifikasi indeks bahaya erosi sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi
No Nilai Indeks Bahaya Erosi Harkat
1 < 1,00 Rendah
2 1,00 – 4,00 Sedang
3 4,01 – 10,00 Tinggi
4 >10,00 Sangat tinggi
Sumber: Hammer (1981) dalam Hardjowigeno (2007)
2.7 Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, Departemen Kehutanan (1986)
dalam Hardjowigeno (2007) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti
makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga bahaya erosinya sudah cukup
besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar.
Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tebal solum Erosi maksimum (ton/ha/thn)
< 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 > 480
>90 SR R S B SB
60 – 90 R S B SB SB
30 – 60 S B SB SB SB
< 30 B SB SB SB SB
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan dan analisis data dilaksanakan pada bulan Oktober 2010
hingga Maret 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). HPGW secara
administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi,
Propinsi Jawa Barat. Lintasan sepeda gunung terletak di dalam area HPGW
sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Peta lokasi lintasan sepeda gunung di HPGW.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu:
1. GPS (Global Positioning System) Garmin 60 CSX, 2. Ring contoh tanah (100 cc),
3. Penetrometer Kerucut Dinamis (DCP), water pass, kunci pas,
4. Mini weather stationdavis instrument vantage pro 2 (stasiun pengamat cuaca otomatis),
5. Plot erosi,
6. Bak penampung,
8. Botol ukuran (600 ml),
16. Komputer dengan sistem operasi Windows XP yang dilengkapi
Microsoft office Excel 2007 dan Software Arc View 3.2, 17. Data spasial meliputi:
a. Peta digital topografi HPGW skala 1:25000. Sumber: Manajemen
Hutan Pendidikan Gunung Walat,
1. Letak dan ciri-ciri lintasan sepeda gunung,
2. Sifat fisik tanah,
3. Curah hujan harian dan curah hujan tahunan,
4. Aliran dan erosi permukaan.
3.3.2 Metode Pengumpulan Data
1. Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung
Letak lintasan sepeda gunung didapat dengan cara pemetaan menggunakan
GPS. Hasil pemetaan lintasan sepeda gunung kemudian ditumpang tindihkan
(overlayed) dengan peta jenis tanah, peta penutupan lahan, dan peta topografi (kelas kemiringan lahan) menggunakan software Arc View 3.2. Analisis menggunakan Arc View 3.2 menghasilkan ciri sepeda gunung berupa kelas
2. Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah dianalisis melalui anaisis contoh tanah di laboratorium
kecuali sifat fisik kepadatan tanah di ukur langsung di lapangan menggunakan
penetrometer. Sifat fisik tanah yang di analisis di laboratorium yaitu: tekstur,
kadar air retensi air tanah (pF 1, pF 2, pF 2,54, pF 4,2), bulk density (BD), partikel density (PD), ruang pori total, dan permeabilitas tanah. Contoh tanah diambil dari lintasan sepeda gunung dan tanah hutan yang berdekatan dengan lokasi
pengambilan contoh tanah di lintasan sepeda gunung. contoh tanah diambil dari
tanah dengan kemiringan berbeda, yaitu masing-masing satu contoh tanah dari
kelas kemiringan 8—15%, 15—25%, 25—40%, dan >40% menggunakan ring contoh tanah berukuran 100 cc. Pengambilan contoh tanah dilakikan dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Permukaan bagian tubuh tanah yang akan diambil dibersihkan dari
penutupan tumbuhan, serasah dan batu,
2. Ring contoh tanah diletakkan tegak lurus terhadap permukaan tubuh tanah
yang akan diambil, dengan bagian tajam merapat ke tanah,
3. Ring contoh tanah ditekan secara perlahan-lahan menggunakan palu hingga
seluruh bagian ring masuk ke dalam tanah,
4. Tanah di sekeliling ring digali sehingga ring tersebut dapat diambil,
5. Tanah lebihan di sisi atas dan bawah ring dikerat menggunakan cutter, kemudian kedua mulut ring ditutup dengan penutup ring.
Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai
Penelitian Tanah, Bogor.
Penetrasi tanah diukur menggunakan dynamic cone penetrometer (DCP), seperti disajikan dalam Gambar 3. Cara kerja DCP adalah sebagai berikut:
1. Seluruh bagian peralatan disambungkan dan sambungan batang atas dan
batang bawah dipastikan tersambung dengan kokoh, kemudian DCP
diletakkan di pengujian atas permukaan tanah yang akan diuji,
2. Alat yang sudah terpasang dipegang pada posisi tegak lurus dan dipastikan
dengan menggunakan water pass, kemudian pembacaan awal pada mistar pengukur kedalaman dicatat,
a) Penumbuk diangkat pada tangkai bagian atas sampai batas pegangan
(60 cm),
b) Penumbuk dilepaskan, sehingga jatuh bebas dan tertahan pada landasan,
c) Langkah 3.a) dan 3.b) di atas diulangi, kemudian jumah dan kedalaman
setiap tumbukan dicatat (dalam satuan mm),
d) Apabila kecepatan penetrasi kurang dari 10 mm/1, 3, 5, 7, dan 10
tumbukan, pengujian dihentikan.
4. Setelah pengujian selesai, alat dicabut dengan hati-hati dan bagian-bagian
yang tersambung dilepaskan menggunakan kunci pas. Alat dibersihkan dari
kotoran dan lubang uji ditutup kembali setelah pengujian,
5. Kecepatan rata-rata penetrasi (mm/tumbukan) dihitung untuk lapisan yang
seragam. Nilai DCP diperoleh dari selisih penetrasi dibagi dengan selisih
tumbukan.
Gambar 3 Dynamic cone penetrometer (DCP) (Vanags et al. 2006).
3. Curah Hujan
Curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan stasiun
pengamat cuaca otomatis (mini weather station davis instrument vantage pro 2,
Gambar 4) yang dipasang di wilayah terbuka di dekat base camp HPGW dan menggunakan data curah hujan harian selama setahun (tahun 2010-2011) yang
diperoleh dari hasil pengukuran stasiun curah hujan 12A yang berlokasi di
Gambar 4 Mini weather station. 4. Aliran Permukaan dan Erosi
Aliran dan erosi permukaan diukur secara langsung di lapangan
menggunakan petak ukur erosi yang terbuat dari seng berukuran 1 m x 0,6 m.
Petak ukur erosi diletakkan kemudian dibenamkan di lintasan sepeda gunung
searah lereng. Tinggi petak ukur erosi di atas permukaan tanah ± 0,15 m.
Permukaan tanah di bagian dalam petak ukur erosi dibersihkan dari serasah dan
vegetasi tumbuhan bawah. Petak ukur erosi dipasang sebanyak 4 petak
masing-masing diletakkan di lintasan sepeda gunung dengan kemiringan 8—15%, 15— 25%, 25—40%, dan >40%. Bagian ujung bawah masing-masing petak ukur erosi dihubungkan dengan penampung yang terbuat dari plastik berukuran
(0,4x0,4x0,4) m3. Penampung digunakan untuk menampung aliran permukaan dan
muatan sedimen yang tertampung oleh penampung diukur setiap hari pukul 07.00
WIB selama 30 hari kejadian hujan.
Langkah-langkah pengukuran jumlah aliran dan muatan sedimen dalam
penampung adalah sebagai berikut:
1) Volume air yang terdapat dalam penampung menggunakan gelas ukur 500 ml,
2) Mengaduk air dan tanah yang berada dalam bak penampung secara merata,
3) Contoh air yang telah diaduk diambil sebanyak ±600 ml dan dilakukan
sebanyak 3 kali. Ketiga contoh air tersebut dicampur di dalam ember, dan
diambil kembali contoh air sebanyak ±600 ml,
4) Contoh air tersebut diendapkan selama 24 jam,
5) Setelah 24 jam, contoh air tersebut disaring menggunakan kertas saring yang
sebelumnya telah diketahui berat oven kertas saring tersebut. Hasil penyarigan
6) Setelah dioven, kertas saring dan tanah yang disaring didiamkan sesaat,
kemudian ditimbang dan dicatat beratnya (berat akhir). Berat akhir yang
digunakan adalah berat ketika sudah konstan.
3.4 Pengolahan Data
3.4.1 Perhitungan Aliran dan Erosi Permukaan Setiap Kejadian Hujan di Setiap Plot
1. Jumlah aliran permukaan yang tertampung oleh setiap penampung di setiap
petak ukur adalah:
...……….... (4)
Keterangan :
Vapij = Aliran permukaan (m³/ha) dari petak erosi ke-i dari kejadian hujan ke-j
Vpij = Volume air dalam penampung dari petak erosi di kelas kemiringan lereng ke-i, kejadian hujan ke-j (m³)
i = 1,2,...4, dimana 1 = kemiringan (8-15%), 2 = (15-25%), 3 =
(25-40%), dan 4 = (>40%)
2. Erosi permukaan dihitung menggunakan rumus berikut:
... (5)
Keterangan :
Epij = Tanah tererosi (ton/ha) dari petak ukur erosi ke-i, kejadian hujan
ke-j
Capij = Konsentrasi muatan sedimen dalam penampung ke-i (kg/ m³),
kejadian hujan ke-j
Vapij = Volume aliran dalam penampung ke-i (m³), hujan ke-j
I = 1, 2,...4, dimana 1= kemiringan lereng (8-15%), 2 = (15-25%), 3 =
3.4.2 Pendugaan Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Lintasan Sepeda
Ai = Luas lintasan sepeda gunung dengan kelas kemiringan lereng
ke-i
3.4.3 Pendugaan Aliran Permukaan dan Erosi Selama Setahun
Aliran dan erosi permukaan dalam penelitian ini hanya diukur selama 30
hari kejadian hujan pada periode Pebruari—Maret 2011. Tingkat bahaya erosi (TBE) memerlukan data lebih dari satu tahun, sehingga untuk mengetahui TBE
diperlukan data erosi paling sedikit setahun. Dalam studi ini, aliran dan erosi
permukaan setahun diduga dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan regresi dan
pendekatan jumlah hari hujan dalam setahun.
Data hujan setahun atau lebih hasil pengukuran di stasiun hujan otomatis di
base camp HPGW belum tersedia, sehingga data hujan setahun digunakan data hujan No 12A Sekarwangi yang terletak 2,5 km dari HPGW. Untuk menguji
kesamaan hujan di Stasiun No 12A Sekarwangi dengan hujan di HPGW
hujan di satisun No 12A Sekarwangi dengan hujan di HPGW selama periode
pengamatan (Pebruari-Maret 2011).
1. Pendugaan dengan Regresi
Analisis regresi dilakukan untuk mencari hubungan aliran permukaan
dengan curah hujan dan erosi permukaan dengan curah hujan yang memberikan
nilai koefisien determinasi tertinggi.
2. Pendugaan dengan Pendekatan Jumlah Hari Hujan
Aliran permukaan selama setahun diduga dengan persamaan berikut:
... (8)
... (9)
Keterangan :
Vapyi = Volume aliran permukaan setahun (m³/ha/tahun)
Epyi = Erosi tahunan (ton/ha/tahun)
HHt = Jumlah hari hujan selama 1 tahun (hari)
HHp = Jumlah hari hujan selama pengamatan (hari)
Vapti = Volume aliran permukaan selama pengamatan (m³/ha) Epi
Ai
=
=
Erosi selama pengamatan (ton/ha)
Luas (ha) lintasan sepeda gunung dengan kemiringan lereng ke-i
I = 1,2,...4, dimana 1 = lintasan sepeda gunung kemiringan lereng
(8-15%), 2 = (15-25%), 3 = (25-40%), dan 4 = (>40%)
3.5 Analisis Data
3.5.1 Sifat Fisik Tanah Lintasan Sepeda Gunung dan Tanah Hutan
Sifat fisik tanah di lintasan sepeda dan tanah hutan dianalisis secara
deskriptif yaitu dengan cara membandingkan sifat fisik tanah di lintasan sepeda
dan tanah hutan.
3.5.2 Analisis Tingkat Bahaya Erosi
Analisis TBE dilakukan dengan membandingkan erosi setahun tang terjadi di
setiap kelas kemiringan lahan, solum tanah dengan Tabel Klasifikasi Tingkat
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Luas
HPGW secara geografis terletak diantara -6°54'23'' LS sampai -6°55'35'' LS
dan 106°48'27'' BT sampai 106°50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan
HPGW terletak di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara
administrasi kehutanan, HPGW terletak di wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten
Sukabumi. HPGW terletak di km 46 dari Simpang Ciawi, atau di km 12 dari Kota
Sukabumi (Fahutan IPB 2009).
Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, yang dibagi
ke dalam tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat
(Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Fahutan
IPB 2009).
4.2 Iklim
Curah hujan tahunan selama lima tahun di HPGW berkisar antara 1500— 4400 m. Iklim HPGW menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe
B dengan nilai Q = 14,3%-33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar
antara 1600-4400 mm/tahun. Suhu udara maksimum adalah 29°C terjadi pada
siang hari dan suhu minimum adalah 19°C terjadi pada malam hari (Fahutan IPB
2009).
4.3 Topografi
HPGW terletak di ketinggian 460-715 mdpl. Topografi bervariasi dari
landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian
utara mempunyai topografi yang semakin curam. Kemiringan lereng di HPGW
dibagi menjadi lima kelas yang disajikan dalam Gambar 6 dan Tabel 7.
Tabel 7 Luas kemiringan lereng di HPGW
Ha %
0—8 44,44 12,38
8—15 16,33 4,55
15—25 61,64 17,17
25—40 133,98 37,32
>40 102,60 28,58
Total 359,00 100,00
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
Gambar 5 Peta kelas kemiringan lahan HPGW.
4.4 Tanah
Tanah HPGW adalah kompleks podsolik, latosol, dan litosol dari batu
endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian barat daya terdapat area
peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk
beberapa gua alam karst (gamping). Kelas tanah di HPGW menurut tingkat
kepekaanya terdiri dari kelas tanah agak peka, peka dan sangat peka. Distribusi
luas jenis dan kelas kepekaan tanah disajikan dalam Tabel 8.
Jenis tanah Kelas tanah Luas
Ha %
Latosol coklat Agak peka 104,97 29,24
Latosol merah kuning Agak peka 189,52 52,79
Litosol Sangat peka 53,85 15,00
Podsolik merah kuning Peka 10,63 2,96
Total 359,00 100,00
Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)
Gambar 6 Peta jenis tanah di HPGW.
4.5 Hidrologi
HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat
sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir
sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas,
dan Legok Pusar, dan Cimenyan. Kawasan HPGW masuk ke dalam pengelolaan
DAS Cimandiri yang bermuara di Laut Selatan (Fahutan IPB 2009).
4.6 Vegetasi
Tegakan Hutan di HPGW didominasi oleh enam jenis pohon yaitu jenis
rotan dan 13 jenis bambu, selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68
jenis.
Potensi tegakan hutan ±10,855 m3 kayu Damar, 9,471 m3 kayu Pinus, 464
m3 Puspa, 132 m3 Sengon, dan 88 m3 kayu Mahoni. Pohon Damar dan Pinus juga
menghasilkan produk non kayu yaitu getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga
ditemukan lebih dari 100 pohon plus Damar, Pinus, Maesopsis/kayu Afrika
sebagai sumber benih dan bibit unggul (Fahutan IPB 2009).
Gambar 7 Peta potensi tegakan di HPGW.
4.5 Satwa
Di HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis
mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing, babi hutan (Sus scrofa), kelinci liar (Callociurus sp.J), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, diantaranya elang jawa, emprit, kutilang, dll. Dan untuk
jenis reptilia antara lain biawak, ular, kadal dan bunglon. Terdapat jenis ikan
sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis
lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (odeng,
4.6 Mata Pencaharian Penduduk Sekitar
Penduduk kampung di sekitar kawasan HPGW umumnya memiliki mata
pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian, dan
bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah
dan kering. Jumlah ternak kambing/domba di HPGW sebanyak 1875 ekor.
Kecamatan Cicantayan, khususnya daerah Hegarmanah juga merupakan
desa penghasil manggis dengan mutu ekspor. Jumlah pohon manggis di desa
Hegarmanah sebanyak 12.800 batang terus bertambah. Untuk menjadi sentra
produksi diperlukan 40.000 pohon manggis (Fahutan IPB 2009).
4.7 Panorama dan Fasilitas
Panorama alam dan iklim mikro yang sejuk merupakan objek rekreasi yang
dominan di HPGW, terutama karena bentang alam perbukitan yang memanjang
dari ujung barat ke timur.
Fasilitas dan kapasitas untuk pendidikan dan pelatihan yang telah dibangun
adalah gedung serbaguna/aula (280-300 orang), asrama (190-200 orang), ruang
kuliah (120-160 orang), wisma tamu (40 orang), mushola (250 orang), ruang
kerja, kantor, ruang informasi, tempat parkir, ruang makan, dan MCK. fasilitas
rekreasi yang telah ada adalah jalan setapak, gardu panjang, gardu istirahat, area
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung
Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5.
Ciri-Tabel 9 menunjukkan lintasan sepeda gunung didominasi kelas kemiringan
lereng 15-25%, yaitu panjang 3389,07 m dengan luasan 1016,72 m². Jenis
tanahnya menurut peta jenis tanah sama di semua lintasan sepeda gunung, yaitu
latosol merah kuning. Pohon yang berada disekitar lintasan sepeda umumnya jenis
Agathis, namun terdapat pula campuran Agathis dengan puspa, dan dengan puspa
dan pinus.
5.2 Sifat Fisik Tanah
Sifat contoh tanah hasil analsis di laboratorium disajikan dalam Tabel 8 dan
data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2.
Tabel 10 Hasil analisis sifat fisik contoh tanah di laboratorium
No Sifat Fisik
hutan umumnya bertekstur liat dan liat berdebu. Tanah bertekstur liat didominasi
pori-pori mikro sehingga kurang poros. Tanah yang kurang poros akan makin sulit
ditembus oleh akar dan udara juga akan sulit bersirkulasi (drainase dan aerasi
buruk karena air dan udara sedikit tersedia). Selain itu, liat mempunyai luas
permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan
unsur hara tinggi yang menyebabkan tanah sulit untuk tererosi (Hardjowigeno
2007). Perbandingan tekstur tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di berbagai
kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 8.
(c) (d)
Gambar 8 Tekstur tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng area (a) 8-15%, (b) 15-25%, (c) 25-40%, dan (d) >40%.
5.2.2 Retensi Air Tanah
Tabel 10 menunjukkan bahwa kadar air tanah pada pada kapasitas lapang
(pF 2,54) di lintasan sepeda dan tanah hutan di kemiringan 25-40% memiliki perbedaan yang sangat jelas, lintasan sepeda sebesar 25% dan tanah hutan 39,8%.
Perbedaan kedua nilai ini diduga telah terjadi penurunan kualitas sifat fisik tanah
yang ditandai dengan porositas tanah. Porositas tanah merupakan parameter
penting untuk menduga kapasitas tanah dalam menyimpan air. Porositas tanah
yang rendah di lintasan sepeda gunung disebabkan lintasan sepeda gunung
menerima langsung tetesan air hujan. Proses tumbukan langsung tetesan air hujan
dengan butiran tanah menyebabkan butiran-butiran itu pecah (spash erosion) menjadi partikel yang lebih kecil yang kemudian mengisi rongga antar butir yang
menyebabkan sulitnya air masuk ke dalam tanah.
Sedangkan untuk tanah hutan berpengaruh langsung terhadap proses erosi.
Erosivitas hujan ke tanah akan berkurang karena sebagian besar butiran hujan
diintersepsi oleh tajuk vegetasi yang umumnya lebih rapat. Butiran hujan yang
jatuh ke tanah akan lebih kecil. Keadaan itu akan memberikan kesempatan butiran
masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan perkolasi, sedangkan aliran
permukaan berkurang. Perbandingan retensi air tanah lintasan sepeda gunung dan
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 9 Retensi air tanah berdasarkan kelas kemiringan lereng (a) 815%, (b) 15-25%, (c) 25-40%, dan (d) >40%.
5.2.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah
Tabel 10 menunjukkan nilai bulk density di lintasan sepeda lebih besar dari tanah hutan walaupun perbedaannya tidak terlalu besar di setiap kelas kemiringan
lerengnya. Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa tanah mineral mempunyai
nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1,0—1,6 gr/cc, sedangkan tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Nilai bulk density di lintasan sepeda berkisar 0,93—1,12 g/cc, yang berarti tanah tersebut mengadung
bulk density mineral tanahnya lebih tinggi, sedangkan tanah hutan berkisar antara 0,88—1,14 g/cc, yang berarti tanah tersebut banyak mengandung bulk density
tanah organik.
Besarnya nilai bulk density di lintasan sepeda dipengaruhi oleh terbentuknya struktur tanah yang padat sehingga mengakibatkan nilai bulk density lebih tinggi. Semakin tinggi kepadatan tanah, maka infiltrasi akan semakin kecil. Kepadatan
permukaan tanah. Tanah yang tertutupi tanaman biasanya mempunyai laju
infiltrasi yang lebih besar daripada permukaan tanah yang terbuka. Hal ini
disebabkan karena adanya perakaran tanaman yang menyebabkan porositas tanah
lebih tinggi sehingga air lebih banyak dan meningkat pada permukaan yang
tertutup oleh vegetasi, selanjutnya dapat menyerap energi tumbuk hujan sehingga
mampu mempertahankan laju infiltrasi yang tinggi (Syarief 1989). Perbandingan
kerapatan limbak (bulk density) tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di berbagai kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 10.
Gambar 10 Kerapatan limbak (bulk density) tanah di lintasan sepeda gunung dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng.
5.2.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah
Tabel 10 menunjukkan nilai particle density di lintasan sepeda lebih besar dari tanah hutan walaupun perbedaannya tidak tertalu besar di setiap kelas
kemiringan lerengnya. Lintasan sepeda memperoleh bahan organik dari serasah
tegakan pohon yang terdapat di sekitar lintasan yang sebagian besar adalah
tegakan Agatis, Puspa, dan Pinus. Lintasan sepeda memiliki kerapatan butir
berkisar 2,01—2,34 g/cc, dimana untuk lapisan top soil di lintasan sepeda masih terdapat kandungan bahan organik dan kerapatan butir sampai 2,4 g/cc atau
bahkan lebih rendah dari nilai itu.
Rendahnya nilai particle density di tanah hutan dikarenakan lokasi tersebut banyak terdapat vegetasi dan serasah di permukaan tanah (top soil), yang berarti banyak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan lintasan sepeda, tanah
hutan banyak mengandung bahan organik terutama pada lapisan top soil. Sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (2007), jika suatu tanah banyak mengandung
banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka semakin
kecil nilai particle densitynya.
Selain itu, tekstur tanah liat di lintasan sepeda dan tanah hutan juga
mempengaruhi particle density. Tekstur liat akan lebih mudah menyerap air karena liat dipengaruhi oleh luas permukaan tersebut, selain itu tanah liat
merupakan salah satu parameter ketersediaan bahan organik tanah. Semakin tinggi
bahan organik maka kandungan liatnya semakin banyak dan mempunyai
kemampuan menahan air yang tinggi sehingga tanah sulit untuk tererosi.
Perbandingan kerapatan partikel tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di
berbagai kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 11.
Gambar 11 Kerapatan partikel (particle density) tanah lintasan sepeda dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng.
5.2.5 Ruang Pori Total
Tabel 10 menunjukkan nilai porositas tanah di lintasan sepeda dan tanah
hutan sama (petak 1, 2, dan 4 dengan kriteria porositas tanah baik), sedangkan
petak 3 di lintasan sepeda memiliki kriteria porositas tanah kurang baik. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh pori mikro yang berkaitan dengan tingginya kandungan
liat tanah. Tanah dengan kadar liat tinggi memiliki porositas yang lebih kecil
dibandingkan tanah dengan kadar pasir yang tinggi. Kemungkinan hal ini
disebabkan oleh ukuran dari masing - masing pori tanah dan bukan jumlah ruang
pori. Granulasi tanah bertesktur halus memperlancar aerasi bukan karena jumlah
ruang pori bertambah, tetapi karena perbandingan ruang pori makro terhadap
ruang pori mikro bertambah (Soerpadi 1983).
Kriteria porositas baik adalah memiliki kandungan bahan organik yang