• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Sifat Fisik Tanah Lintasan Sepeda Gunung Dan Tanah Hutan Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Sifat Fisik Tanah Lintasan Sepeda Gunung Dan Tanah Hutan Di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

Nina Indah Kumalasari. E14063399. PERBANDINGAN SIFAT FISIK

TANAH LINTASAN SEPEDA GUNUNG DAN TANAH HUTAN DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT. Dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr.

Lintasan sepeda gunung sepanjang 7,2 km dibuat di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dalam kerangka strategi pengembangan HPGW sebagai tempat eko-wisata olah raga. Pembuatan dan penggunaan lintasan sepeda gunung secara intensif diduga dapat menyebabkan perubahan sifat fisik tanah akibat pemadatan tanah, dan selanjutnya dapat meningkatkan laju dan jumlah aliran dan erosi permukaan. Aliran permukaan dan erosi permukaan dapat menyebabkan masalah lain seperti sedimentasi di bagian hilir dan banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisik tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan, dan mengetahui laju dan jumlah aliran dan erosi permukaan di lintasan sepeda gunung HPGW.

Pengumpulan dan analisis data dilaksanakan dari Oktober 2010 sampai dengan Maret 2011 di HPGW, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data yang dikumpulkan terdiri dari letak, luas, dan kemiringan lintasan sepeda gunung, jenis penutupan lahan, sifat fisik tanah, curah hujan harian, laju dan jumlah aliran, dan muatan sedimen.

Letak, luas, dan kemiringan lahan dianalisis dari pemetaan lintasan sepeda gunung, dan dianalisis menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis dengan cara overlaying hasil pemetaan dengan peta kontur, jenis penutupan lahan, dan jenis tanah HPGW. Jenis penutupan lahan dianalisis dari peta jenis penutupan lahan. Sifat fisik tanah dianalisis melalui analisis contoh tanah di laboratorium, kecuali kepadatan tanah diukur di lapangan.

Contoh tanah diambil dengan menggunakan ring sample tanah dan kepadatan tanah diukur dengan penetrometer. Sifat fisik tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan dianalisis untuk setiap kelas kemiringan 8-15%, 15-25%, 25-40% dan > 40%. Curah hujan harian diukur dengan pengukur hujan otomatis. Jumlah aliran dan muatan sedimen diukur dengan menggunakan plot erosi berukuran (1 m x 0,6 m). Curah hujan, aliran dan muatan sedimen diukur setiap hari selama 30 hari hujan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisik tanah lintasan sepeda dan tanah hutan tidak berbeda nyata. Kelas bahaya erosi di lintasan sepeda gunung termasuk kelas ”sangat ringan”, masih dalam batas aman. Volume aliran dan erosi permukaan tertinggi terjadi di lintasan sepeda gunung dengan kemiringan 15-25%, yaitu masing-masing sebesar 143.228,88 m³/ha/tahun dan 206,74 ton/ha/tahun. Total aliran dan erosi permukaan di lintasan sepeda gunung sebesar

187.424,42 m³/ha/tahun dan 302,59 ton/ha/tahun.

(2)

ABSTRACT

Nina Indah Kumalasari. E14063399. A Comparison of Physical Properties of Mountain Bike Track and Forest Soils at Gunung Walat University Forest, Sukabumi District, West Java Province. Supervised by Dr. Ir. Hendrayanto. M. Agr.

Mountain bike track as along as 7.2 km was developed in Gunung Walat University Forest (GWUF) It was a part of development stragies of GWUF through sport-eco-tourism. Contruction and intensive utilization of mountain bike track in GWUF possibly cause changes in soil physical properties due to soil compaction, and increase the rate and amount of surface run-off and erosion.

The objectives of this research are to analyze the physical properties of mountain bike track and forest soils, and to know the rate and amount surface run-off and erosion on mountain bike track in GWUF.

Data collection and analysis were conducted from October 2010 until March 2011. The collected data consists of mountain bike tracks location, length, wide, area and slope steepness, types of land cover, soil physical properties, rainfall, surface run-off amount and rate, and sediment load.

The location, length, wide, area, and slope steepness of mountain bike track were analyzed from mountain bike track mapping, overlaying with contour, land cover types, and soil types maps of GWUF using Geographic Information System software. Soil physical properties were analyzed through analysis of soil samples in the laboratory, except for the soil compactness was measured directly in the field using penetrometer.

Soil samples were taken using the ring samples from mountain track bike track as well as forest soil at difference slope steepness, namely 8—15%, 15— 25%, 25—40%, and >40%. Daily rainfall were measured using an automatic rain gauge. Amount of surface run-off and sediment loads were measured using erosion plot size of 1 m x 0.6 m. Rainfall, surface run-off and sediment load data are collected every day, during 30 days of rain events.

The results of this research showed that the physical properties of soils of mountain bike track and forest were not different significantly. Surface run-off and erosion on mountain bike track were in the level of ”very low” hazard class. It means the rate of erosion was in the threshold of safe criteria. The highest surface run-off and erosion occures on the slope of 15-25%, those are 143.228,88 m³/ha/year and 206,74 ton/ha/year, respectively. Surface run-off and erosion are 187.424,42 m³/ha/year and 302,59 302,59 ton/ha/year, respectively.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lintasan sepeda gunung sepanjang 7,2 km dibuat di Hutan Pendidikan

Gunung Walat (HPGW) dalam kerangka Strategi Pengelolaan HPGW

mengembangkan eko-wisata melalui kegiatan olah raga sepeda gunung bertaraf

internasional. Kegiatan ini, dan pemanfaatan hasil hutan non kayu, serta jasa

lingkungan didedikasikan sebagai media tridharma dan alternatif untuk

memperkuat sumber pendanaan dan pengelolaan serta pemantauan dampak

lingkungan sebagai akuntabilitas publik terhadap timbulnya dampak lingkungan

akibat penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan dan penyelenggaraan kegiatan

pengelolaan hutan dan penyelenggaraan tridharma (Fahutan IPB 2009).

Pembuatan lintasan sepeda gunung mengakibatkan terbukanya permukaan

tanah, terutama akibat hilangnya tumbukan bawah dan serasah, dan penggunaan

secara intensif dapat menyebabkan pemadatan tanah. Pengaruh lebih lanjut dapat

meningkatkan jumlah dan laju aliran dan erosi permukaan, sedimentasi, dan banjir

di bagian hilir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengurangan

penutupan lahan oleh vegetasi dan perubahan sifat fisik tanah menyebabkan

peningkatan jumlah dan laju aliran dan erosi permukaan. Hamilton dan King

(1993) mengulas dampak perubahan hutan dan tiindakan koservasi terhadap hasil

air.

Dampak penggunaan lahan termasuk penggunaan hutan sebagai lintasan

sepeda gunung dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti luas penggunaan,

intensitas perubahan, dan penggunaan lahan. Oleh karena itu, penelitian mengenai

tingkat perubahan dan intensitas penggunaan untuk lintasan sepeda gunung

terhadap sifat fisik dan limpasan permukaan serta erosi di HPGW perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sifat fisik tanah lintasan sepeda

gunung dan tanah hutan, dan mengetahui tingkat bahaya erosi lintasan sepeda

(4)

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh Pengelola HPGW

untuk mengelola dampak yang mungkin timbul dari pembuatan dan penggunaan

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan

bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur,

porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan

dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air

maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim et al.

1986).

2.1.1 Tekstur Tanah

Menurut Hardjowigeno (2007), kelas tekstur tanah menunjukkan

perbandingan butir-butir pasir (0,005—2 mm), debu (0,002─0,005 mm), dan liat (< 0,002 mm) di dalam fraksi tanah halus. Tekstur menentukan tata air, tata udara,

kemudahan pengelolaan, dan struktur tanah. Penyusun tekstur tanah berkaitan erat

dengan kemampuan memberikan zat hara untuk tanaman, kelengasan tanah,

perkembangan akar tanaman, dan pengelolaan tanah. Berdasarkan persentase

perbandingan fraksi – fraksi tanah, maka tekstur tanah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu halus, sedang, dan kasar. Makin halus tekstur tanah

mengakibatkan kualitas tanah semakin menurun karena berkurangnya kemampuan

tanah dalam menghisap air.

(6)

Tanah lempung dan debu memiliki ciri-ciri berukuran halus, biasanya

berbentuk seperti mika dan liat bila lembab dan memiliki daya serap (air, gas,

hara, dan garam laut) tinggi. Selain itu, lempung dan debu dalam tanah

menentukan kehalusan teksturnya serta gerakan air dan udara.

Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara

tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar

sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya

tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit

menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam

reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).

2.1.2 Retensi Air Tanah

Retensi air tanah atau kelengasan tanah adalah keadaan yang memberikan

volume air (cairan) yang tertahan di dalam pori-pori sistem tanah sebagai akibat

adanya hubungan antara massa air dengan jarah tanah (adesi) dan sesama massa

tanah (kohesi). Salah satu hal yang mempengaruhi pasokan air pada tanaman

adalah kelengasan tanah dan tetapan lengas tanah yaitu kapasitas lapang.

Kapasitas lapang merupakan kandungan air yang tersekap oleh sistem tanah

setelah laju gerakan air ke bawah banyak berkurang (Purwowidodo 2002).

Istilah yang digunakan dalam menentukan jumlah air tersedia bagi tanaman

menurut Hardjowigeno (2007), yaitu:

1. Kapasitas kandungan air maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat

ditampung oleh tanah setelah hujan besar turun (tanah jenuh air). Jika terjadi

penambahan air lebih lanjut, akan terjadi penurunan air gravitasi yang bergerak

terus ke bawah (pF=0 atau 0,01 Bar),

2. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan

jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik

gravitasi (pF 2,7 atau 1/3 Bar),

3. Air tersedia merupakan banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih

antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi kadar air pada titik layu

(7)

4. Titik layu permanen merupakan kandungan air tanah dimana akar-akar

tanaman mulai tidak mampu menyerap air dari tanah, sehingga tanaman

menjadi layu (pF 4,2 atau 15 Bar).

Banyaknya kandungan air dalam tanah berhubungan erat dengan besarnya

tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Besarnya tegangan air menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air tersebut di

dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, atmosfir, cm air, dan pF. Berikut

beberapa satuan yang digunakan untuk menyatakan tingkat energi air tanah

disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Satuan tingkat energi air tanah

Tinggi unit kolom air (cm) Nilai pF Tekanan atmosfir Bar

10 1 0,001 0,010

Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi oleh tekstur dan struktur

tanah. Tanah bertekstur halus menahan air lebih banyak dibandingkan dengan

tanah bertekstur kasar. Oleh karena itu tanah pasir umumnya lebih mudah

kekeringan daripada tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi kekurangan air

ataupun kelebihan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno

2007). Selain itu, ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah

hujan atau irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotransiprasi (penguapan

langsung dari tanah maupun vegetasi), dan tingginya muka air tanah. Air terdapat

dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap

air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan ataupun

kekurangan kandungan air dalam tanah dapat mengganggu pertumbuhan tanaman

(Purwowidodo 2002).

2.1.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah

(8)

dinyatakan dalam gr/cc. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah dimana semakin padat suatu tanah, maka makin tinggi bulk densitynya, artinya semakin sulit meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Tanah yang lebih

padat mempunyai bulk density yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi kurang padat. Pada umumnya tanah lapisan atas (top soil) pada tanah mineral mempunyai nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1—1,6 gr/cc, sedangkan tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Bulk density dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan kandungan bahan organik. Selain itu, bulk density dapat cepat berubah karena pengolahan tanah dan praktek budidaya (Hardjowigeno 2007).

Menurut Hakim et al. (1986), bulk density pada pertumbuhan sedang dan pertumbuhan kecil (1,05—1,32) relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan baik (1,04—1,18). Hal ini menunjukkan semakin tinggi bulk density menyebabkan kepadatan tanah meningkat, aerasi dan drainase terganggu, sehingga

perkembangan akar menjadi tidak normal. Nilai bulk density dapat menggambarkan adanya lapisan tanah, pengolahan tanah, kandungan bahan

organik dan mineral, porositas, daya memegang air, sifat drainase, dan

kemudahan tanah ditembus akar.

Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan

partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam

menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di

dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah

memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah 2005).

2.1.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah

Kerapatan partikel atau Particle density didefinisikan sebagai berat tanah kering persatuan volume partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori

(9)

tidak termasuk volume ruang pori yang terdapat diantara ruang pori

(Hardjowigeno 2007).

Tanah permukaan (top soil) biasanya mempunyai kerapatan yang lebih kecil dari sub-soil, karena berat bahan organik pada tanah permukaan lebih kecil daripada berat benda padat tanah mineral dari sub soil dengan volume yang sama, dan top soil banyak mengandung bahan organik sehingga particle densitynya

rendah. Oleh karena itu partikel density setiap tanah merupakan suatu tetapan dan tidak bervariasi menurut jumlah partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral

partikel densitynya rata-rata sekitar 2,6 g/cc (Foth 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kadar air mempengaruhi

volume kepadatan tanah, dimana untuk mengetahui volume kepadatan tanah

dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, sebab tanpa adanya pengaruh kadar

air maka proses particle density tidak berlangsung, karena air sangat mempengaruhi volume kepadatan tanah. Selanjutnya volume padatan tanah

tersusun oleh fraksi pasir, liar, dan debu sehingga untuk mengetahui volume

padatan tanah tertentu dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Kandungan

bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah.

Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka

makin kecil nilai particle densitynya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang

lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir.

Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Top soil banyak mengandung bahan organik dan kerapatan butirnya sampai 2,4 gr/cc atau bahkan lebih rendah dari nilai itu. Dengan adanya bahan organik,

menyebabkan nilai particle densitynya semakin kecil (Hanafiah 2005).

2.1.5 Ruang Pori Total

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat

ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan

aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan

pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang

(10)

atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada

tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air

sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah

pori-pori makro + mikro), lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno 2007).

Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan

tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah

dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada

tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro),

sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno 2007). Hal ini dikarenakan ruang pori

total yang mungkin rendah tetapi mempunyai proporsi yang besar dimana disusun

oleh komposisi pori-pori yang besar dan efisien dalam pergerakan udara dan air.

Selanjutnya proporsi volume yang terisi pada tanah menyebabkan kapasitas

menahan air menjadi rendah, dimana kandungan tekstur halus memiliki ruang pori

lebih banyak dan disusun oleh pori-pori kecil karena proporsinya relatif besar

(Hanafiah 2005).

Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meneruskan air atau

udara. Permeabilitas tanah biasanya diukur dengan istilah kecepatan air yang

mengalir dalam waktu tertentu yang ditetapkan dalam satuan cm/jam (Hakim et al. 1986). Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas. Struktur tanah dan bahan organik menunjukkan hubungan utama terhadap

permeabilitas adalah distribusi ruang pori, sedangkan faktor lainnya merupakan

faktor yang menentukan porositas dan distribusi ukuran pori (Sutanto 2005).

Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat

permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah karena

(11)

permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2)

adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan

4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah

terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief 1989).

Tabel 3 Klasifikasi permebilitas tanah

Permeabilitas (cm/jam) Kelas

Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar

tanaman menembus tanah. Masuknya akar tanaman ke dalam tanah tergantung

dari: 1) kemampuan akar tanaman itu sendiri, 2) sifat-sifat fisik tanah seperti

struktur, tekstur dan kepadatan tanah, retakan-retakan yang ada di dalam tanah,

dan kandungan bahan organik tanah, dan 3) kondisi kelembapan tanah (Balai

Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).

Penggunaan penetrometer dalam pengujian penetrasi tanah dapat

mempengaruhi sifat-sifat tanah, diantaranya kandungan air tanah, berat isi,

struktur, dan tekstur tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kandungan

air tanah, berat isi, ukuran pori, tekstur, dan struktur tanah dapat mempengaruhi

ketahanan tanah. Nilai ketahanan tanah meningkat dengan menurunnya

kelembapan tanah dan tekstur tanah. Pada kelembapan tanah rendah, ketahanan

tanah meningkat, demikian juga dengan meningkatnya kandungan pasir. Hasil

penelitian Vepraskas (1984) dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperlihatkan, ketika kandungan air tanah

meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Sedangkan Lowery dan Schuler

(1994) dalam Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperoleh bahwa ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan mengikatnya

kepadatan tanah.

Pada kondisi lapang, penetrasi tanah penting untuk: 1) menduga tingkat

(12)

pemadatan tanah (soil compaction), baik proses alami maupun oleh adanya aktifitas mekanisasi alat-alat pertanian, dan 3) tingkat kemantapan atau

kekompakan struktur tubuh tanah (Hillel 1980 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).

2.2 Ciri dan Jenis Tanah

Klasifikasi tanah adalah usaha untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan

atas sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat

yang sama dimasukkan ke dalam kelas yang sama. Hal ini sangat penting karena

tanah-tanah dengan sifat yang berbeda memerlukan perlakuan (pengelolaan) yang

berbeda.

Dalam klasifikasi tanah dikenal berbagai tingkat (kategori) klasifikasi. Pada

kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besar, kemudian pada kategori

berikutnya dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan

untuk membedakan tanah pada kategori yang lebih rendah, sehingga jumlah faktor

pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.

Salah satu sistem klasifikasi tanah (Hardjowigeno 2007) telah

dikembangkan Amerika Serikat (USDA 1975) dikenal dengan nama soil taxonomy menggunakan enam kategori dengan ciri-pembeda setiap kategori yaitu: 1. Ordo : dibedakan berdasarkan ada tidaknya horizon penciri serta

jenis (sifat) dari horizon penciri tersebut.

2. Sub-ordo : dibedakan berdasarkan perbedaan genetik tanah.

3. Great group : dibedakan berdasarkan perbedaan: jenis, tingkat, susunan

horizon, kejenuhan basa, regim suhu, dan kelembaban.

4. Sub group : sifat inti dari great group dan diberi nama Typic, sifat tanah

peralihan ke: a) great group lain, b) sub ordo lain, c) ordo

lain, dan d) ke bukan tanah.

5. Famili : dibedakan berdasarkan sifat-sifat tanah yang penting untuk

pertanian dan atau engineering, meliputi sifat tanah, yaitu sebaran besar butir, susunan mineral liat, dan regim

(13)

6. Seri : dibedakan berdasarkan: jenis dan susunan horizon, warna,

tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari

masing-masing horizon, sifat kimia tanah lainnya, dan

sifat-sifat mineral dari masing-masing horizon.

Sistem klasifikasi tanah ini memiliki keistimewaan terutama dalam hal: 1)

penamaan atau tata nama, 2) definisi-definisi horizon penciri, dan 3) beberapa

sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis tanah.

Selanjutnya berdasarkan atas horizon-horizon penciri dan sifat-sifat penciri

lain, maka tanah di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua belas ordo seperti

yang tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Ordo tanah dan penciri utama menurut sistem taksonomi

Ordo Penciri Utama

Mempunyai sifat gelik (membeku sepanjang tahun). menjerut, pecah-pecah dan musim hujan tanah mengembang dan sangat lekat), lebih 30 % liat. Sumber: Hadjowigeno 2007

Persebaran jenis tanah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Tanah organosol

Tanah organosol memiliki ciri-ciri: 1) lapisan gambut (bahan organik) yang

ketebalannya lebih dari 50 cm, 2) jenuh air sepanjang tahun, dan 3) reaksi tanah

(14)

2. Tanah latosol

Tanah latosol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat tanah lebih dari 60%, 2)

struktur remah sampai gumpal, 3) warna tanah seragam dengan batas-batas

horizon yang kabur, 4) memiliki profil tanah yang dalam (lebih dari 150 cm) dan

5) umumnya memiliki epipedon umbrik dan horizon kambik (Hadjowigeno 2007).

3. Tanah regosol

Tanah regosol memiliki ciri-ciri bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih

dari 60% dan hanya mempunyai horizon penciri ochrik, histik, dan surfurik

(Hadjowigeno 2007).

4. Tanah aluvial

Tanah aluvial memiliki ciri-ciri: 1) endapan baru berlapis-lapis, 2) bahan

organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman, 3) hanya terdapat

epipedon ochrik, histik atau sulfurik, dan 4) kandungan pasir kurang dari 60%

(Hardjowigeno 2007).

5. Tanah litosol

Tanah litosol memiliki ciri-ciri: 1) tanah mineral yang ketebalannya 20 cm

atau kurang, 2) terdapat batuan keras yang padu, dan 3) belum ada perkembangan

profil (Hardjowigeno 2007).

6. Tanah grumusol

Tanah grumusol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat lebih dari 30%, 2) berwarna

kelabu hingga hitam, dan 3) pH netral hingga alkalis dan saat musim kering tanah

menjadi keras dan retak-retak (mengkerut), sebaliknya saat musim basah menjadi

lengket (mengembang) (Hardjowigeno 2007).

7. Tanah andosol

Tanah andosol memiliki ciri-ciri: 1) berwarna cokelat kehitaman (epipedon

mollik atau umbrik dan mempunyai horizon kambik, 2) bulk density kurang dari 0,85 gr/cc, dan 3) banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60% terdiri

dari endapan abu vulkanik (Hardjowigeno 2007).

8. Tanah podsolik

Tanah podsolik memiliki ciri-ciri tanah dengan horizon penimbunan besi

(horizon spodik) dan horizon berwarna cokelat tua sampai kemerahan (horizon

(15)

9. Tanah planosol

Ciri-ciri tanah planosol yaitu: 1) tanah dengan horizon albik yang terletak di

atas horizon dengan permeabilitas lambat (misalnya horizon argilik atau natrik)

yang memperlihatkan perubahan tekstur yang nyata, 2) adanya liat berat, dan 3)

memperlihatkan ciri-ciri hidromorfolik pada sebagian horizon albik

(Hardjowigeno 2007).

2.3 Aliran Permukaan

Aliran permukaan atau limpasan permukaan merupakan sebagian dari air

hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan.

Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air persatuan

waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah,

dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (Asdak 1995).

Proses terjadinya aliran permukaan yaitu curah hujan yang jatuh diatas

permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk ke tanah sebagai

aliran infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk vegetasi sebagai air intersepsi. Infiltrasi

akan berlangsung terus selama kapasitas lapang belum terpenuhi atau tanah masih

di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung dan kapasitas lapang

telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang

selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk mengisi

cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depression storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambahan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan, kelebihan air hujan di atas sebagian menguap

atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses

hidrologi di atas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih

berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi (Haridjaja 2000

dalam Devianto 2008).

Rahim (2003) menyatakan jumlah air yang menjadi limpasan sangat

bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu (intensitas), keadaan

penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau

tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadi hujan).

(16)

diintersepsi oleh tajuk pohon kemudian mengalir ke permukaan tanah memalui

aliran batang dan curahan tajuk. Aliran permukaan selanjutnya akan mengangkut

partikel-partikel tanah sehingga jumlah, laju, kecepatan, dan tingkat turbulensi

aliran permukaan akan menentukan besarnya erosi (Arsyad 2010).

2.4 Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau

bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa

erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah

tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2010).

Proses terjadinya erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu,

pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan

(sedimentation). Mekanisme erosi dimulai dengan turunnya air hujan yang mengenai permukaan tanah. Air yang memukul permukaan tanah secara langsung

dapat menghancurkan agregat tanah sekaligus melepaskan partikel-partikel tanah.

Penghancuran agregat tanah dan terlepasnya partikel tanah merupakan pertanda

awal terjadinya erosi. Selanjutnya, partikel-partikel yang terlepas akan menutupi

pori-pori tanah yang ada sehingga bisa menurunkan kemampuan tanah untuk

menyerap air. Tertutupnya pori-pori tanah menyebabkan air tidak bisa masuk ke

dalam tanah sehingga terjadilah aliran air. Aliran air ini akan membawa lapisan

tanah atas ke tempat yang lebih rendah, kemudian diendapkan.

Sedangkan menurut Arsyad (2010), membagi proses erosi oleh air ke dalam

dua sub proses, yaitu:

1) Penghancuran struktur tanah menjadi butiran-butiran primer oleh energi

tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan pemindahan butir-butir

primer tersebut oleh percikan air hujan,

2) Perendaman oleh air yang tergenang di permukaan tanah yang mengakibatkan

tanah terdispersi yang diikuti pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang

mengalir di permukaan tanah.

(17)

mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alamiah

umumnya masih memberikan media yang memadai untuk berlangsungnya

pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sedangkan erosi yang dipercepat adalah erosi

yang proses terjadinya dipercepat akibat kegiatan manusia yang bersifat negatif

ataupun melakukan kesalahan dalam pelaksanaan pertanian, terkelupasnya lapisan

tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan

kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak

keadaan fisik tanah, antara lain pembuatan jalan di daerah kemiringan yang besar

(Kartasapoetra 1989).

Arsyad (2010) menguraikan bahwa bentuk-bentuk erosi yang disebabkan

oleh air yang umum djumpai di daerah tropis terdiri dari erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai, longsor (landslide), dan erosi internal.

2.5 Metode Pengukuran Aliran dan Erosi Permukaan

Pengukuran laju erosi tanah yang terjadi dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode pengukuran yang bersifat kualitatif

antara lain metode potret udara dan metode citra satelit. Sedangkan metode

pengukuran kuantitatif meliputi metode pengukuran permukaan tanah, metode

ukur cepat, metode tongkat ukur, dan metode petak kecil (Effendi 1996).

2.5.1 Pengukuran Secara Langsung

1. Metode Penurunan Permukaan Tanah

Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya masa tanah yang

telah tererosi dari jalur-jalur aliran permukaan tanah di suatu lahan. Penetapan

tebal lapisan tanah di jalur aliran permukaan tanah yang telah tererosi dilakukan

berdasarkan perbesaan ketinggian antara titik pengamatan di dasar alur erosi.

Penetapan tebal lapisan tanah disekitar pohon yang telah tererosi dilakukan

berdasarkan perbedaan ketinggian antar titik pengamatan di lokasi yang searah

dengan pangkal akar pohon dengan beberapa titik pengamatan di permukaan

tanah yang terpampang saat ini (Effendi 1996).

2. Metode Ukur Cepat

Metode ukur cepat efektif untuk menetapkan masa tanah yang telah tererosi

(18)

telah tererosi dari alur-alur adalah dengan mengukur panjang lokasi kajian yang

memperlihatkan adanya erosi alur, menghitung banyaknya alur-alur erosi di lokasi

kajian, menghitung rata-rata tebal alur, menghitung luas total penampang alur,

menghitung rata-rata luas penampung alur, dan menghitung volume total alur

(Effendi 1996).

3. Metode Tongkat Ukur

Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur perubahan kedalaman

tanah akibat erosi atau tertimbun yang berwujud tongkat bertanda ukur dengan

bahan tahan lapuk selama pemakaian, ringan, mudah diperoleh, dan murah.

Tongkat ukur dibenamkan ke dalam tanah sampai tanda nol berada di permukaan

tanah. Pemantauan laju erosi tanah di suatu lahan memerlukan lebih dari satu titik

pengamatan, untuk itu perlu penempatan tongkat ukur yang dapat mewakili

penampilan lahan. Setelah terjadi kejadian hujan tertentu akan terjadi perubahan

tinggi permukaan tanah di titik-titik perngamatan. Besarnya laju erosi tanah yang

terjadi didapat dengan mengalikannya dengan bobot isi tanah di lokasi kajian

(Effendi 1996).

4. Metode Petak Ukur Erosi

Pembuatan petak ukur erosi tanah sesuai dengan aturan USLE kadang tidak

mungkin dilakukan karena alasan waktu dan biaya. Ada suatu petak ukur tetap

yang berukuran 200 m2 supaya memungkinkan pengukuran laju erosi tanah untuk

jangka waktu yang cukup lama, yang diletakkan di lokasi-lokasi dengan keadaan

tumbuhan beraneka ragam (Effendi 1996).

2.5.2 Pendugaan Erosi 1. Metode USLE

Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu

area dengan sistem pertanaman dan pengelolaan. Bentuk erosi yang dapat

diprediksi adalah erosi alur, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan

tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai, dan dasar

(19)

Model prediksi erosi USLE dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)

yang diacu dalam Arsyad 2010) dengan persamaan sebagai berikut:

A = R × K × L × S × C × P ... (1)

Dimana :

A = Banyaknya tanah terterosi (ton/ha/tahun)

R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang

merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan

maksimum 30 menit (I30)

K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk

suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan

panjang 72,6 kaki (22 meter) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman

L = Faktor panjang lereng 9%, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan lereng

tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kali

(22 meter) di bawah keadaan yang identik

S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu

tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah

dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik

C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah

besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan

tanaman vegetasi tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang

identik tanpa tanaman

P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan

penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, dan teras

menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang

memberikan perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap

besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang

identik

Metode USLE adalah metode yang dianggap sebagai rumus yang paling

mendekati kenyataan dibandingkan dengan rumus yang lain, karena

variabel-variabel yang berpengaruh terhadap besarnya kehilangan tanah dapat

(20)

2. Metode SLEMSA

SLEMSA merupakan kependekan dari Soil Loss Estimation Model for South Afrika sebagai upaya menyederhanakan model USLE berdasarkan perbedaan batasan kuantitatif erodibilitas tanah. Model ini dirancang untuk mengurangi

kebutuhan biaya dan waktu kerja kajian petak ukur lapangan dalam menetapkan

nilai-nilai mandiri masing-masing faktor pengendali erosi tanah. Menurut

Poerwowidodo 1999 dalam Aleksander 2010, penetapan parameter pengendalian erosi tanah dengan model ini tetap berdasarkan pada kajian satuan petak ukur

yaitu:

Z = K x C x X ... (2)

Dimana :

Z = nilai tengah prakiraan laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun)

K = nilai tengah laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) dari petak contoh

baku berukuran 30 m x 10 m pada kemiringan 4,5%, terbuka dan

diketahui nilai erodibilitasnya

C = Nilai perbandingan laju erosi tanah antara petak ukur bertanaman dan

petak ukur yang dibiarkan dalam keadaan tanpa penutup

X = Perbandingan laju erosi yang memiliki panjang lereng dan kemiringan

tertentu dengan laju erosi dari petak ukur

3. Metode RUSLE

Menurut Poerwowidodo (1999) dalam Aleksander (2010) metode ini dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada

metode USLE dengan memperbaharui data dan pendekatan baru, koreksi

kelemahan-kelemahan USLE, dan penggunaan teknologi baru yaitu teknologi

berdasarkan komputer. Metode RUSLE ini dipublikasikan program RUSLE telah

mengalami perubahan pada perangkat lunaknya.

4. Metode SDR

Pada kasus tertentu, terutama untuk daerah tangkapan air yang belum

diketahui besarnya komponen-komponen penyusun rumus USLE perlu

diupayakan cara prakiraan yang lebih sederhana tetapi masih dapat

dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara prakiraan erosi yang dimaksud adalah

(21)

kajian, dan besarnya nisbah pelepasan sedimen (sediment delivery ratio, SDR). Untuk selanjutnya prakiraan erosi dengan cara ini disebut prakiraan erosi metode

SDR.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data debit dan

muatan sedimen di titik pengamatan (outlet) suatu DAS yang akan diperkirakan tingkat erosinya. Data ini diusahakan dalam periode waktu yang cukup panjang

(tahunan). Umumnya, untuk mendapatkan data muatan sedimen dalam jangka

panjang dapat dibuat persamaan debit-sedimen (sediment-discharge rating curve) dari data debit dan muatan sedimen yang tersedia di lokasi pengamatan tersebut,

dan muatan sedimen untuk tahun-tahun berikutnya dapat dihitung hanya dengan

menggunakan debit (Asdak 1995).

2.6 Erosi Diperbolehkan

Erosi yang diperbolehkan dinyatakan sebagai suatu laju yang tidak boleh

melebihi laju pembentukan tanah. Pengikisan di bagian atas selalu diikuti oleh

pembentukan lapisan tanah baru pada bagian bawah profil tanah, tetapi laju

pembentukan ini pada umumnya tidak mampu mengimbangi kehilangan tanah

karena erosi dipercepat. Secara alami laju kehilangan tanah yang diperbolehkan

tergantung dengan kondisi tanah dan secara umum laju erosi yang diperbolehkan

(Edp) untuk kebanyakan tanah di Indonesia pada lahan miring adalah sebesar 25

mm/thn atau setara dengan 25 ton/ha/tahun sedangkan untuk di daerah yang

bertopografi datar Edp yang disarankan adalah 10/ton/ha/thn (Rahim 2003).

2.7 Indeks Bahaya Erosi (IBE)

Indeks bahaya erosi (IBE) merupakan petunjuk besarnya erosi pada suatu

lahan. Tujuan menentukan indeks bahaya erosi yaitu untuk mengetahui sejauh

mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang

bersangkutan (Hardjowigeno 2007).

Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu

ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari nilai indeks bahaya erosi

dari lahan tersebut. Indeks bahaya erosi diartikan sebagai suatu nilai rasio antara

(22)

suatu lahan. Indeks bahaya erosi ditentukan berdasarkan persamaan berikut

(Hammer 1981 dalam Hardjowigeno 2007):

... (3)

Dari nilai indeks bahaya erosi yang diperbolehkan dapat diketahui tingkat

bahaya atau ancaman erosi tersebut di suatu lahan dengan pedoman pada

klasifikasi indeks bahaya erosi sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi

No Nilai Indeks Bahaya Erosi Harkat

1 < 1,00 Rendah

2 1,00 – 4,00 Sedang

3 4,01 – 10,00 Tinggi

4 >10,00 Sangat tinggi

Sumber: Hammer (1981) dalam Hardjowigeno (2007)

2.7 Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, Departemen Kehutanan (1986)

dalam Hardjowigeno (2007) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti

makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga bahaya erosinya sudah cukup

besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar.

Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)

Tebal solum Erosi maksimum (ton/ha/thn)

< 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 > 480

>90 SR R S B SB

60 – 90 R S B SB SB

30 – 60 S B SB SB SB

< 30 B SB SB SB SB

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengumpulan dan analisis data dilaksanakan pada bulan Oktober 2010

hingga Maret 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW). HPGW secara

administratif pemerintahan terletak di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi,

Propinsi Jawa Barat. Lintasan sepeda gunung terletak di dalam area HPGW

sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi lintasan sepeda gunung di HPGW.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu:

1. GPS (Global Positioning System) Garmin 60 CSX, 2. Ring contoh tanah (100 cc),

3. Penetrometer Kerucut Dinamis (DCP), water pass, kunci pas,

4. Mini weather stationdavis instrument vantage pro 2 (stasiun pengamat cuaca otomatis),

5. Plot erosi,

6. Bak penampung,

(24)

8. Botol ukuran (600 ml),

16. Komputer dengan sistem operasi Windows XP yang dilengkapi

Microsoft office Excel 2007 dan Software Arc View 3.2, 17. Data spasial meliputi:

a. Peta digital topografi HPGW skala 1:25000. Sumber: Manajemen

Hutan Pendidikan Gunung Walat,

1. Letak dan ciri-ciri lintasan sepeda gunung,

2. Sifat fisik tanah,

3. Curah hujan harian dan curah hujan tahunan,

4. Aliran dan erosi permukaan.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data

1. Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung

Letak lintasan sepeda gunung didapat dengan cara pemetaan menggunakan

GPS. Hasil pemetaan lintasan sepeda gunung kemudian ditumpang tindihkan

(overlayed) dengan peta jenis tanah, peta penutupan lahan, dan peta topografi (kelas kemiringan lahan) menggunakan software Arc View 3.2. Analisis menggunakan Arc View 3.2 menghasilkan ciri sepeda gunung berupa kelas

(25)

2. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah dianalisis melalui anaisis contoh tanah di laboratorium

kecuali sifat fisik kepadatan tanah di ukur langsung di lapangan menggunakan

penetrometer. Sifat fisik tanah yang di analisis di laboratorium yaitu: tekstur,

kadar air retensi air tanah (pF 1, pF 2, pF 2,54, pF 4,2), bulk density (BD), partikel density (PD), ruang pori total, dan permeabilitas tanah. Contoh tanah diambil dari lintasan sepeda gunung dan tanah hutan yang berdekatan dengan lokasi

pengambilan contoh tanah di lintasan sepeda gunung. contoh tanah diambil dari

tanah dengan kemiringan berbeda, yaitu masing-masing satu contoh tanah dari

kelas kemiringan 8—15%, 15—25%, 25—40%, dan >40% menggunakan ring contoh tanah berukuran 100 cc. Pengambilan contoh tanah dilakikan dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Permukaan bagian tubuh tanah yang akan diambil dibersihkan dari

penutupan tumbuhan, serasah dan batu,

2. Ring contoh tanah diletakkan tegak lurus terhadap permukaan tubuh tanah

yang akan diambil, dengan bagian tajam merapat ke tanah,

3. Ring contoh tanah ditekan secara perlahan-lahan menggunakan palu hingga

seluruh bagian ring masuk ke dalam tanah,

4. Tanah di sekeliling ring digali sehingga ring tersebut dapat diambil,

5. Tanah lebihan di sisi atas dan bawah ring dikerat menggunakan cutter, kemudian kedua mulut ring ditutup dengan penutup ring.

Analisis sifat fisik tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai

Penelitian Tanah, Bogor.

Penetrasi tanah diukur menggunakan dynamic cone penetrometer (DCP), seperti disajikan dalam Gambar 3. Cara kerja DCP adalah sebagai berikut:

1. Seluruh bagian peralatan disambungkan dan sambungan batang atas dan

batang bawah dipastikan tersambung dengan kokoh, kemudian DCP

diletakkan di pengujian atas permukaan tanah yang akan diuji,

2. Alat yang sudah terpasang dipegang pada posisi tegak lurus dan dipastikan

dengan menggunakan water pass, kemudian pembacaan awal pada mistar pengukur kedalaman dicatat,

(26)

a) Penumbuk diangkat pada tangkai bagian atas sampai batas pegangan

(60 cm),

b) Penumbuk dilepaskan, sehingga jatuh bebas dan tertahan pada landasan,

c) Langkah 3.a) dan 3.b) di atas diulangi, kemudian jumah dan kedalaman

setiap tumbukan dicatat (dalam satuan mm),

d) Apabila kecepatan penetrasi kurang dari 10 mm/1, 3, 5, 7, dan 10

tumbukan, pengujian dihentikan.

4. Setelah pengujian selesai, alat dicabut dengan hati-hati dan bagian-bagian

yang tersambung dilepaskan menggunakan kunci pas. Alat dibersihkan dari

kotoran dan lubang uji ditutup kembali setelah pengujian,

5. Kecepatan rata-rata penetrasi (mm/tumbukan) dihitung untuk lapisan yang

seragam. Nilai DCP diperoleh dari selisih penetrasi dibagi dengan selisih

tumbukan.

Gambar 3 Dynamic cone penetrometer (DCP) (Vanags et al. 2006).

3. Curah Hujan

Curah hujan diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan stasiun

pengamat cuaca otomatis (mini weather station davis instrument vantage pro 2,

Gambar 4) yang dipasang di wilayah terbuka di dekat base camp HPGW dan menggunakan data curah hujan harian selama setahun (tahun 2010-2011) yang

diperoleh dari hasil pengukuran stasiun curah hujan 12A yang berlokasi di

(27)

Gambar 4 Mini weather station. 4. Aliran Permukaan dan Erosi

Aliran dan erosi permukaan diukur secara langsung di lapangan

menggunakan petak ukur erosi yang terbuat dari seng berukuran 1 m x 0,6 m.

Petak ukur erosi diletakkan kemudian dibenamkan di lintasan sepeda gunung

searah lereng. Tinggi petak ukur erosi di atas permukaan tanah ± 0,15 m.

Permukaan tanah di bagian dalam petak ukur erosi dibersihkan dari serasah dan

vegetasi tumbuhan bawah. Petak ukur erosi dipasang sebanyak 4 petak

masing-masing diletakkan di lintasan sepeda gunung dengan kemiringan 8—15%, 15— 25%, 25—40%, dan >40%. Bagian ujung bawah masing-masing petak ukur erosi dihubungkan dengan penampung yang terbuat dari plastik berukuran

(0,4x0,4x0,4) m3. Penampung digunakan untuk menampung aliran permukaan dan

muatan sedimen yang tertampung oleh penampung diukur setiap hari pukul 07.00

WIB selama 30 hari kejadian hujan.

Langkah-langkah pengukuran jumlah aliran dan muatan sedimen dalam

penampung adalah sebagai berikut:

1) Volume air yang terdapat dalam penampung menggunakan gelas ukur 500 ml,

2) Mengaduk air dan tanah yang berada dalam bak penampung secara merata,

3) Contoh air yang telah diaduk diambil sebanyak ±600 ml dan dilakukan

sebanyak 3 kali. Ketiga contoh air tersebut dicampur di dalam ember, dan

diambil kembali contoh air sebanyak ±600 ml,

4) Contoh air tersebut diendapkan selama 24 jam,

5) Setelah 24 jam, contoh air tersebut disaring menggunakan kertas saring yang

sebelumnya telah diketahui berat oven kertas saring tersebut. Hasil penyarigan

(28)

6) Setelah dioven, kertas saring dan tanah yang disaring didiamkan sesaat,

kemudian ditimbang dan dicatat beratnya (berat akhir). Berat akhir yang

digunakan adalah berat ketika sudah konstan.

3.4 Pengolahan Data

3.4.1 Perhitungan Aliran dan Erosi Permukaan Setiap Kejadian Hujan di Setiap Plot

1. Jumlah aliran permukaan yang tertampung oleh setiap penampung di setiap

petak ukur adalah:

...……….... (4)

Keterangan :

Vapij = Aliran permukaan (m³/ha) dari petak erosi ke-i dari kejadian hujan ke-j

Vpij = Volume air dalam penampung dari petak erosi di kelas kemiringan lereng ke-i, kejadian hujan ke-j (m³)

i = 1,2,...4, dimana 1 = kemiringan (8-15%), 2 = (15-25%), 3 =

(25-40%), dan 4 = (>40%)

2. Erosi permukaan dihitung menggunakan rumus berikut:

... (5)

Keterangan :

Epij = Tanah tererosi (ton/ha) dari petak ukur erosi ke-i, kejadian hujan

ke-j

Capij = Konsentrasi muatan sedimen dalam penampung ke-i (kg/ m³),

kejadian hujan ke-j

Vapij = Volume aliran dalam penampung ke-i (m³), hujan ke-j

I = 1, 2,...4, dimana 1= kemiringan lereng (8-15%), 2 = (15-25%), 3 =

(29)

3.4.2 Pendugaan Laju Aliran Permukaan dan Erosi di Lintasan Sepeda

Ai = Luas lintasan sepeda gunung dengan kelas kemiringan lereng

ke-i

3.4.3 Pendugaan Aliran Permukaan dan Erosi Selama Setahun

Aliran dan erosi permukaan dalam penelitian ini hanya diukur selama 30

hari kejadian hujan pada periode Pebruari—Maret 2011. Tingkat bahaya erosi (TBE) memerlukan data lebih dari satu tahun, sehingga untuk mengetahui TBE

diperlukan data erosi paling sedikit setahun. Dalam studi ini, aliran dan erosi

permukaan setahun diduga dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan regresi dan

pendekatan jumlah hari hujan dalam setahun.

Data hujan setahun atau lebih hasil pengukuran di stasiun hujan otomatis di

base camp HPGW belum tersedia, sehingga data hujan setahun digunakan data hujan No 12A Sekarwangi yang terletak 2,5 km dari HPGW. Untuk menguji

kesamaan hujan di Stasiun No 12A Sekarwangi dengan hujan di HPGW

(30)

hujan di satisun No 12A Sekarwangi dengan hujan di HPGW selama periode

pengamatan (Pebruari-Maret 2011).

1. Pendugaan dengan Regresi

Analisis regresi dilakukan untuk mencari hubungan aliran permukaan

dengan curah hujan dan erosi permukaan dengan curah hujan yang memberikan

nilai koefisien determinasi tertinggi.

2. Pendugaan dengan Pendekatan Jumlah Hari Hujan

Aliran permukaan selama setahun diduga dengan persamaan berikut:

... (8)

... (9)

Keterangan :

Vapyi = Volume aliran permukaan setahun (m³/ha/tahun)

Epyi = Erosi tahunan (ton/ha/tahun)

HHt = Jumlah hari hujan selama 1 tahun (hari)

HHp = Jumlah hari hujan selama pengamatan (hari)

Vapti = Volume aliran permukaan selama pengamatan (m³/ha) Epi

Ai

=

=

Erosi selama pengamatan (ton/ha)

Luas (ha) lintasan sepeda gunung dengan kemiringan lereng ke-i

I = 1,2,...4, dimana 1 = lintasan sepeda gunung kemiringan lereng

(8-15%), 2 = (15-25%), 3 = (25-40%), dan 4 = (>40%)

3.5 Analisis Data

3.5.1 Sifat Fisik Tanah Lintasan Sepeda Gunung dan Tanah Hutan

Sifat fisik tanah di lintasan sepeda dan tanah hutan dianalisis secara

deskriptif yaitu dengan cara membandingkan sifat fisik tanah di lintasan sepeda

dan tanah hutan.

3.5.2 Analisis Tingkat Bahaya Erosi

Analisis TBE dilakukan dengan membandingkan erosi setahun tang terjadi di

setiap kelas kemiringan lahan, solum tanah dengan Tabel Klasifikasi Tingkat

(31)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Luas

HPGW secara geografis terletak diantara -6°54'23'' LS sampai -6°55'35'' LS

dan 106°48'27'' BT sampai 106°50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan

HPGW terletak di Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi, sedangkan secara

administrasi kehutanan, HPGW terletak di wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten

Sukabumi. HPGW terletak di km 46 dari Simpang Ciawi, atau di km 12 dari Kota

Sukabumi (Fahutan IPB 2009).

Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, yang dibagi

ke dalam tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomang) seluas 120 Ha, Blok Barat

(Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Fahutan

IPB 2009).

4.2 Iklim

Curah hujan tahunan selama lima tahun di HPGW berkisar antara 1500— 4400 m. Iklim HPGW menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe

B dengan nilai Q = 14,3%-33% dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar

antara 1600-4400 mm/tahun. Suhu udara maksimum adalah 29°C terjadi pada

siang hari dan suhu minimum adalah 19°C terjadi pada malam hari (Fahutan IPB

2009).

4.3 Topografi

HPGW terletak di ketinggian 460-715 mdpl. Topografi bervariasi dari

landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian

utara mempunyai topografi yang semakin curam. Kemiringan lereng di HPGW

dibagi menjadi lima kelas yang disajikan dalam Gambar 6 dan Tabel 7.

Tabel 7 Luas kemiringan lereng di HPGW

(32)

Ha %

0—8 44,44 12,38

8—15 16,33 4,55

15—25 61,64 17,17

25—40 133,98 37,32

>40 102,60 28,58

Total 359,00 100,00

Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)

Gambar 5 Peta kelas kemiringan lahan HPGW.

4.4 Tanah

Tanah HPGW adalah kompleks podsolik, latosol, dan litosol dari batu

endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian barat daya terdapat area

peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk

beberapa gua alam karst (gamping). Kelas tanah di HPGW menurut tingkat

kepekaanya terdiri dari kelas tanah agak peka, peka dan sangat peka. Distribusi

luas jenis dan kelas kepekaan tanah disajikan dalam Tabel 8.

(33)

Jenis tanah Kelas tanah Luas

Ha %

Latosol coklat Agak peka 104,97 29,24

Latosol merah kuning Agak peka 189,52 52,79

Litosol Sangat peka 53,85 15,00

Podsolik merah kuning Peka 10,63 2,96

Total 359,00 100,00

Sumber: Hasil analisis peta digital topografi HPGW (1983)

Gambar 6 Peta jenis tanah di HPGW.

4.5 Hidrologi

HPGW merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat

sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir

sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas,

dan Legok Pusar, dan Cimenyan. Kawasan HPGW masuk ke dalam pengelolaan

DAS Cimandiri yang bermuara di Laut Selatan (Fahutan IPB 2009).

4.6 Vegetasi

Tegakan Hutan di HPGW didominasi oleh enam jenis pohon yaitu jenis

(34)

rotan dan 13 jenis bambu, selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68

jenis.

Potensi tegakan hutan ±10,855 m3 kayu Damar, 9,471 m3 kayu Pinus, 464

m3 Puspa, 132 m3 Sengon, dan 88 m3 kayu Mahoni. Pohon Damar dan Pinus juga

menghasilkan produk non kayu yaitu getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga

ditemukan lebih dari 100 pohon plus Damar, Pinus, Maesopsis/kayu Afrika

sebagai sumber benih dan bibit unggul (Fahutan IPB 2009).

Gambar 7 Peta potensi tegakan di HPGW.

4.5 Satwa

Di HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis

mamalia, reptilia, burung, dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat

monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), bajing, babi hutan (Sus scrofa), kelinci liar (Callociurus sp.J), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, diantaranya elang jawa, emprit, kutilang, dll. Dan untuk

jenis reptilia antara lain biawak, ular, kadal dan bunglon. Terdapat jenis ikan

sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis

lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (odeng,

(35)

4.6 Mata Pencaharian Penduduk Sekitar

Penduduk kampung di sekitar kawasan HPGW umumnya memiliki mata

pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian, dan

bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah

dan kering. Jumlah ternak kambing/domba di HPGW sebanyak 1875 ekor.

Kecamatan Cicantayan, khususnya daerah Hegarmanah juga merupakan

desa penghasil manggis dengan mutu ekspor. Jumlah pohon manggis di desa

Hegarmanah sebanyak 12.800 batang terus bertambah. Untuk menjadi sentra

produksi diperlukan 40.000 pohon manggis (Fahutan IPB 2009).

4.7 Panorama dan Fasilitas

Panorama alam dan iklim mikro yang sejuk merupakan objek rekreasi yang

dominan di HPGW, terutama karena bentang alam perbukitan yang memanjang

dari ujung barat ke timur.

Fasilitas dan kapasitas untuk pendidikan dan pelatihan yang telah dibangun

adalah gedung serbaguna/aula (280-300 orang), asrama (190-200 orang), ruang

kuliah (120-160 orang), wisma tamu (40 orang), mushola (250 orang), ruang

kerja, kantor, ruang informasi, tempat parkir, ruang makan, dan MCK. fasilitas

rekreasi yang telah ada adalah jalan setapak, gardu panjang, gardu istirahat, area

(36)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung

Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5.

Ciri-Tabel 9 menunjukkan lintasan sepeda gunung didominasi kelas kemiringan

lereng 15-25%, yaitu panjang 3389,07 m dengan luasan 1016,72 m². Jenis

tanahnya menurut peta jenis tanah sama di semua lintasan sepeda gunung, yaitu

latosol merah kuning. Pohon yang berada disekitar lintasan sepeda umumnya jenis

Agathis, namun terdapat pula campuran Agathis dengan puspa, dan dengan puspa

dan pinus.

5.2 Sifat Fisik Tanah

Sifat contoh tanah hasil analsis di laboratorium disajikan dalam Tabel 8 dan

data selengkapnya disajikan dalam Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Tabel 10 Hasil analisis sifat fisik contoh tanah di laboratorium

(37)

No Sifat Fisik

hutan umumnya bertekstur liat dan liat berdebu. Tanah bertekstur liat didominasi

pori-pori mikro sehingga kurang poros. Tanah yang kurang poros akan makin sulit

ditembus oleh akar dan udara juga akan sulit bersirkulasi (drainase dan aerasi

buruk karena air dan udara sedikit tersedia). Selain itu, liat mempunyai luas

permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan

unsur hara tinggi yang menyebabkan tanah sulit untuk tererosi (Hardjowigeno

2007). Perbandingan tekstur tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di berbagai

kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 8.

(38)

(c) (d)

Gambar 8 Tekstur tanah lintasan sepeda gunung dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng area (a) 8-15%, (b) 15-25%, (c) 25-40%, dan (d) >40%.

5.2.2 Retensi Air Tanah

Tabel 10 menunjukkan bahwa kadar air tanah pada pada kapasitas lapang

(pF 2,54) di lintasan sepeda dan tanah hutan di kemiringan 25-40% memiliki perbedaan yang sangat jelas, lintasan sepeda sebesar 25% dan tanah hutan 39,8%.

Perbedaan kedua nilai ini diduga telah terjadi penurunan kualitas sifat fisik tanah

yang ditandai dengan porositas tanah. Porositas tanah merupakan parameter

penting untuk menduga kapasitas tanah dalam menyimpan air. Porositas tanah

yang rendah di lintasan sepeda gunung disebabkan lintasan sepeda gunung

menerima langsung tetesan air hujan. Proses tumbukan langsung tetesan air hujan

dengan butiran tanah menyebabkan butiran-butiran itu pecah (spash erosion) menjadi partikel yang lebih kecil yang kemudian mengisi rongga antar butir yang

menyebabkan sulitnya air masuk ke dalam tanah.

Sedangkan untuk tanah hutan berpengaruh langsung terhadap proses erosi.

Erosivitas hujan ke tanah akan berkurang karena sebagian besar butiran hujan

diintersepsi oleh tajuk vegetasi yang umumnya lebih rapat. Butiran hujan yang

jatuh ke tanah akan lebih kecil. Keadaan itu akan memberikan kesempatan butiran

masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan perkolasi, sedangkan aliran

permukaan berkurang. Perbandingan retensi air tanah lintasan sepeda gunung dan

(39)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 9 Retensi air tanah berdasarkan kelas kemiringan lereng (a) 815%, (b) 15-25%, (c) 25-40%, dan (d) >40%.

5.2.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah

Tabel 10 menunjukkan nilai bulk density di lintasan sepeda lebih besar dari tanah hutan walaupun perbedaannya tidak terlalu besar di setiap kelas kemiringan

lerengnya. Hardjowigeno (2007) menyatakan bahwa tanah mineral mempunyai

nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1,0—1,6 gr/cc, sedangkan tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Nilai bulk density di lintasan sepeda berkisar 0,93—1,12 g/cc, yang berarti tanah tersebut mengadung

bulk density mineral tanahnya lebih tinggi, sedangkan tanah hutan berkisar antara 0,88—1,14 g/cc, yang berarti tanah tersebut banyak mengandung bulk density

tanah organik.

Besarnya nilai bulk density di lintasan sepeda dipengaruhi oleh terbentuknya struktur tanah yang padat sehingga mengakibatkan nilai bulk density lebih tinggi. Semakin tinggi kepadatan tanah, maka infiltrasi akan semakin kecil. Kepadatan

(40)

permukaan tanah. Tanah yang tertutupi tanaman biasanya mempunyai laju

infiltrasi yang lebih besar daripada permukaan tanah yang terbuka. Hal ini

disebabkan karena adanya perakaran tanaman yang menyebabkan porositas tanah

lebih tinggi sehingga air lebih banyak dan meningkat pada permukaan yang

tertutup oleh vegetasi, selanjutnya dapat menyerap energi tumbuk hujan sehingga

mampu mempertahankan laju infiltrasi yang tinggi (Syarief 1989). Perbandingan

kerapatan limbak (bulk density) tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di berbagai kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 10.

Gambar 10 Kerapatan limbak (bulk density) tanah di lintasan sepeda gunung dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng.

5.2.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah

Tabel 10 menunjukkan nilai particle density di lintasan sepeda lebih besar dari tanah hutan walaupun perbedaannya tidak tertalu besar di setiap kelas

kemiringan lerengnya. Lintasan sepeda memperoleh bahan organik dari serasah

tegakan pohon yang terdapat di sekitar lintasan yang sebagian besar adalah

tegakan Agatis, Puspa, dan Pinus. Lintasan sepeda memiliki kerapatan butir

berkisar 2,01—2,34 g/cc, dimana untuk lapisan top soil di lintasan sepeda masih terdapat kandungan bahan organik dan kerapatan butir sampai 2,4 g/cc atau

bahkan lebih rendah dari nilai itu.

Rendahnya nilai particle density di tanah hutan dikarenakan lokasi tersebut banyak terdapat vegetasi dan serasah di permukaan tanah (top soil), yang berarti banyak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan lintasan sepeda, tanah

hutan banyak mengandung bahan organik terutama pada lapisan top soil. Sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (2007), jika suatu tanah banyak mengandung

(41)

banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka semakin

kecil nilai particle densitynya.

Selain itu, tekstur tanah liat di lintasan sepeda dan tanah hutan juga

mempengaruhi particle density. Tekstur liat akan lebih mudah menyerap air karena liat dipengaruhi oleh luas permukaan tersebut, selain itu tanah liat

merupakan salah satu parameter ketersediaan bahan organik tanah. Semakin tinggi

bahan organik maka kandungan liatnya semakin banyak dan mempunyai

kemampuan menahan air yang tinggi sehingga tanah sulit untuk tererosi.

Perbandingan kerapatan partikel tanah lintasan sepeda gunung dan hutan di

berbagai kelas kemiringan secara grafis disajikan dalam Gambar 11.

Gambar 11 Kerapatan partikel (particle density) tanah lintasan sepeda dan tanah hutan berdasarkan kelas kemiringan lereng.

5.2.5 Ruang Pori Total

Tabel 10 menunjukkan nilai porositas tanah di lintasan sepeda dan tanah

hutan sama (petak 1, 2, dan 4 dengan kriteria porositas tanah baik), sedangkan

petak 3 di lintasan sepeda memiliki kriteria porositas tanah kurang baik. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh pori mikro yang berkaitan dengan tingginya kandungan

liat tanah. Tanah dengan kadar liat tinggi memiliki porositas yang lebih kecil

dibandingkan tanah dengan kadar pasir yang tinggi. Kemungkinan hal ini

disebabkan oleh ukuran dari masing - masing pori tanah dan bukan jumlah ruang

pori. Granulasi tanah bertesktur halus memperlancar aerasi bukan karena jumlah

ruang pori bertambah, tetapi karena perbandingan ruang pori makro terhadap

ruang pori mikro bertambah (Soerpadi 1983).

Kriteria porositas baik adalah memiliki kandungan bahan organik yang

Gambar

Gambar 5  Peta kelas kemiringan lahan HPGW.
Gambar 6  Peta jenis tanah di HPGW.
Gambar 7  Peta potensi tegakan di HPGW.
Tabel 10  Hasil analisis sifat fisik contoh tanah di laboratorium
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biomassa pohon agathis berdiameter kecil ( ≤ 10 cm) dapat diduga dengan menggunakan Biomass Expansion Factor (BEF) dan model alometrik biomassa, baik untuk

Dalam melakukan penyadapan kopal, pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) sebaiknya menggunakan stimulansia organik dan ZPT dari bahan Etrat 1240 karena dapat digunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui transformasi hujan menjadi limpasan, laju erosi permukaan, dan muatan sedimen aliran sungai di Sub DAS berhutan (Sub DAS

Hendrayanto (1999) menganalisis distribusi spasial sifat hidrolika tanah hutan menggunakan model LN Kosugi, di bagian atas lereng porositas efektif besar dan kecil di bagian

Hasil pene- litian kami menunjukkan bahwa marga Streptomyces terdistribusi di lingkungan yang asam tetapi lebih melimpah pada tanah dengan pH yang cenderung netral.Tanah puncak

Tingginya kelimpahan pada tegakan agathis ini diduga oleh ketebalan serasah yang terdapat pada tegakan tersebut, dan diduga karena kondisi cuaca sehari sebelum

Ini berarti jika persamaan alometrik biomassa yang menggunakan peubah dbh digunakan untuk mengukur biomassa pohon agathis berdiameter kecil maka hasil dari

Analyses of variances and semivariogram showed that two parameters of soil hydraulic properties of LN model, those are soil effective porosity (ߠݏ െ ߠݎ) and standard deviation of