• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Danau Lido merupakan salah satu danau yang menjadi tempat pengembangan budidaya perikanan dalam keramba jaring apung (KJA) di Indonesia. Konsentrasi bahan organik di lapisan hipolimnion Danau Lido cukup tinggi karena menumpuknya sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh ikan dan feses sebagai hasil metabolisme ikan di KJA tersebut.

Oksigen terlarut (DO; Dissolved oxygen) merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena dibutuhkan oleh semua organisme untuk menunjang kehidupannya serta proses dekomposisi bahan-bahan organik dan anorganik secara aerob. Sumber oksigen di perairan, yaitu hasil difusi antara air dengan udara dan proses fotosintesis organisme autotrof (Salmin 2005). Konsentrasi DO di lapisan hipolimnion sangat rendah karena tidak ada difusi oksigen dari atmosfer dan tidak ada fotosintesis. Pada lapisan hipolimnion, oksigen digunakan untuk respirasi dan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme secara aerob. Pada malam hari, konsentrasi DO di lapisan hipolimnion semakin rendah atau bahkan tidak ada karena tidak terjadi fotosintesis dan hanya terjadi respirasi yang memanfaatkan oksigen. Kondisi tersebut dapat menyebabkan dekomposisi berlangsung secara anaerob. Proses ini dapat menghasilkan gas-gas beracun seperti CO2, CH4, dan H2S yang dapat membahayakan kelangsungan hidup organisme akuatik.

(2)

2

1.2. Perumusan Masalah

Kegiatan budidaya perikanan di keramba jaring apung dapat meningkatkan konsentrasi bahan organik di lapisan hipolimnion karena adanya sisa pakan dan feses ikan yang menumpuk di lapisan tersebut. Bahan organik akan didekomposisi oleh mikroorganisme secara aerob jika terdapat oksigen. Konsentrasi DO di lapisan hipolimnion sangat rendah bahkan bisa tidak ada pada malam hari karena tidak ada fotosintesis dan hanya terjadi respirasi. Kondisi anoksik dapat menyebabkan dekomposisi bahan-bahan organik berlangsung secara anaerob yang menghasilkan gas-gas beracun seperti CO2, CH4, dan H2S.

Penelitian yang berjudul distribusi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion setelah dilakukan aerasi di lapisan tersebut. Aerasi dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi DO yang sangat rendah di lapisan hipolimnion. Selanjutnya, oksigen yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan oksigen di lapisan tersebut dan mencegah terjadinya dekomposisi bahan-bahan organik secara anaerob. Berikut adalah bagan alir perumusan masalah (Gambar 1):

Gambar 1. Bagan alir perumusan masalah

1.3. Tujuan

(3)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin 2000). Sumber DO di perairan adalah difusi langsung dari atmosfer dan hasil fotosintesis organisme autotrof (Welch 1952). Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), sumber utama oksigen terlarut di perairan adalah difusi dari udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin.

Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnan) atau adanya pergolakan massa air akibat arus atau angin. Pada kondisi air diam, difusi terjadi apabila tekanan parsial udara lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial permukaan perairan. Pada kondisi pergolakan massa air, terjadi peningkatan peluang bagi molekul air untuk bersentuhan dengan atmosfer (Wetzel 2001). Penyerapan oksigen dari atmosfer ke dalam air terjadi dalam dua cara: (a) difusi langsung di permukaan perairan dan (b) melalui berbagai bentuk agitasi pada permukaan air, seperti gelombang, air terjun, dan turbulensi. Namun, difusi langsung dari udara melalui lapisan permukaan ke dalam perairan terjadi sangat lambat dan relatif tidak efektif dalam menyediakan oksigen ke perairan walaupun dapat berlangsung selama 24 jam (Welch 1952).

Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), fotosintesis terjadi di zona fotik, sedangkan respirasi terjadi di seluruh kolom perairan bahkan sampai ke dasar perairan. Oleh karena itu, lapisan permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Umumnya pada pagi hari, konsentrasi DO cukup rendah. Pada siang hari, konsentrasi DO akan meningkat dan pada sore hingga malam hari secara kontinyu konsentrasi DO semakin berkurang karena dipakai untuk respirasi organisme yang ada di danau.

(4)

4

yang memiliki densitas yang hampir sama dengan densitasnya. Perbedaan densitas air di waduk lebih banyak disebabkan oleh suhu. Jika densitas inflow lebih kecil daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di atas (overflow). Jika densitas inflow lebih besar daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di bawah (underflow). Jika densitas inflow lebih besar dari densitas lapisan epilimnion tetapi lebih kecil dari lapisan hipolimnion, inflow akan berada di lapisan tengah (interflow) (Wetzel 2001).

Konsentrasi DO berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Penurunan konsentrasi DO dengan bertambahnya kedalaman suatu perairan terkait dengan faktor cahaya yang mempengaruhi aktivitas fitoplankton di perairan. Jika semakin dalam suatu perairan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin rendah dan bahkan tidak akan ada lagi cahaya yang masuk ke perairan. Pada perairan oligotrofik, konsentrasi DO masih tersedia sampai dekat dasar perairan. Pada perairan eutrofik, konsentrasi DO terbesar terdapat di kedalaman permukaan karena melimpahnya fitoplankton. Konsentrasi DO menurun dengan bertambahnya kedalaman, bahkan dapat mencapai nol karena adanya dekomposisi biomassa alga yang telah mati dan mengalami pembusukan di dasar perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987).

Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi dalam waktu 24 jam. Pada siang hari, terjadi fotosintesis dan respirasi, sedangkan pada malam hari, hanya terjadi respirasi yang dilakukan oleh produser primer dan konsumer, sehingga terjadi penurunan DO. Pada danau eutrofik, hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerob di perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Penyebab utama terjadinya penurunan konsentrasi DO di perairan adalah (Welch 1952): (a) respirasi organisme yang berlangsung sepanjang hari; (b) dekomposisi bahan organik yang terlarut dan terakumulasi di dasar perairan; dan (c) reduksi oleh gas lain.

2.1.2. Distribusi DO di perairan

(5)

5

fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman, maka akan terjadi penurunan konsentrasi DO. Hal ini karena proses fotosintesis semakin berkurang, oksigen semakin banyak digunakan untuk respirasi organisme, dan oksidasi bahan-bahan organik (Salmin 2000). Menurut Goldman & Horne (1983); Wetzel (2001), tipe distribusi oksigen terlarut di danau secara vertikal adalah sebagai berikut.

a. Tipe orthograde

Distribusi oksigen tipe ini terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Distribusi oksigen lebih bertambahnya kedalaman. Distribusi oksigen terstratifikasi seperti pada danau atau waduk eutrofik. Penurunan oksigen terjadi di lapisan hipolimnion pada saat musim panas. Konsentrasi oksigen di permukaan lebih tinggi dengan adanya proses fotosintesis.

c. Tipe heterograde positif dan negatif

Tipe heterograde negatif terjadi jika respirasi (konsumsi oksigen) dominan terjadi di bagian bawah lapisan metalimnion sehingga konsentrasi oksigen lebih rendah. Tipe heterograde positif terjadi jika fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin sehingga akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

d. Tipe anomali

Tipe anomali terjadi pada aliran air yang deras, dingin, dan kaya oksigen. Tipe ini membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.

2.2. Lapisan Hipolimnion

(6)

6

tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil (Goldman & Horne 1983).

2.3. Aerasi Hipolimnion

Aerasi hipolimnion digunakan pertama kali di Danau Bret, Swiss (Mercier & Perret 1949 in Cooke et al. 2005). Aerasi tersebut merupakan teknik manajemen danau yang dirancang untuk mengurangi kondisi anoksia di lapisan hipolimnion dan masalah-masalah yang terkait. Tujuan utama dari aerasi hipolimnion adalah untuk meningkatkan konsentrasi oksigen hipolimnion tanpa merusak stratifikasi kolom air dan pemanasan air di lapisan hipolimnion tersebut. Menurut McQueen & Lean (1986) in Burris (1998) adanya aerasi hipolimnion berpengaruh terhadap kualitas air dan ekosistem danau. Beberapa pengaruh tersebut adalah (1) sistem aerasi yang dirancang dengan baik tidak akan merusak stratifikasi dan tidak meningkatkan suhu air secara signifikan di lapisan hipolimnion; (2) konsentrasi oksigen hipolimnion meningkat; (3) konsentrasi besi, mangan, H2S, dan metana menurun; (4) tingkat klorofil biasanya tidak berubah. Aerasi juga dapat menurunkan konsentrasi fosfor.

Ada beberapa desain alat aerasi hipolimnion. Fast & Lorenzen (1976) in

Cooke et al. (2005) memeriksa ada 21 desain dan mengelompokkannya ke dalam tiga kategori: (1) agitasi mekanik; (2) injeksi oksigen murni; dan (3) injeksi udara. Pada sistem aerasi agitasi mekanik, air dipompa dari lapisan hipolimnion ke dalam sebuah wadah yang terletak di permukaan danau kemudian air diberikan aerasi untuk meningkatkan transfer oksigen dari fase gas ke fase cair. Air yang telah diaerasi tersebut kemudian dikembalikan lagi ke lapisan semula. Sistem aerasi ini bukan sistem yang popular dan pertukaran gas relatif tidak efisien, tetapi terbukti berhasil dalam sejumlah kasus (Pastorak et al. 1982 in Cooke et al. 2005). Metode aerasi dengan injeksi oksigen dilakukan dengan menaikkan air dari lapisan hipolimnion, kemudian diberikan oksigen murni dengan tekanan tinggi. Setelah itu, air dikembalikan lagi ke lapisan hipolimnion. Metode ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi pertukaran gas (Fast & Lorenzen 1976 in Cooke et al. 2005).

(7)

7

udara (compressed air) sehingga terjadi peningkatan oksigen. Air beroksigen tersebut kemudian dikembalikan lagi ke kedalaman hipolimnion. Fast et al. (1976), Lorenzen & Fast (1977), Pastorak et al. (1982) in Cooke et al. (2005) menemukan bahwa desain alat aerasi hipolimnion dengan sistem pengangkatan penuh (full lift systems) paling mahal dan lebih efisien dalam meningkatkan oksigen dibandingkan dengan sistem lainnya. Beberapa desain alat aerasi hipolimnion yang termasuk dalam kategori injeksi udara dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.4. Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan Secchi disk (Goldman & Horne 1983). Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi (Wetzel & Likens 1991).

Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan kekeruhan yang berasal dari bahan organik dan anorganik. Kecerahan perairan akan semakin rendah dengan semakin tingginya nilai kekeruhan. Hal ini karena cahaya yang masuk ke perairan semakin rendah (Boyd 1982). Kecerahan perairan juga berkaitan dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke suatu perairan.

Kecerahan merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk mengetahui status kesuburan suatu danau. Perairan yang memiliki status kesuburan oligotrofik memiliki kedalaman Secchi sebesar lebih dari 6 m, sedangkan perairan mesotrofik dan eutrofik masing-masing berkisar antara 3-6 m dan kurang dari 3 m (Henderson-Sellers & Markland 1987).

2.5. Suhu

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Suhu mempunyari peran penting dalam mengendalikan suatu ekosistem perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses-proses fisika, kimia, dan biologi suatu perairan (Goldman & Horne 1983).

(8)

8

kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Goldman & Horne 1983). Menurut Wetzel (2001), Goldman & Horne (1983), serta Welch (1952), intensitas cahaya matahari mempunyai korelasi positif dengan suhu di perairan. Intensitas cahaya matahari yang tinggi akan menyebabkan suhu di perairan menjadi tinggi. Suhu akan mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman perairan karena berkurangnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan.

Suhu danau di daerah tropis berkisar antara 20-30 oC, dan menunjukkan sedikit penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Air mempunyai sifat penyimpan panas yang baik dan memerlukan panas yang tinggi untuk dapat menguap. Hal tersebut menyebabkan variasi suhu air lebih rendah jika dibandingkan dengan variasi suhu udara (Cole 1983). Berdasarkan perbedaan suhu secara vertikal, danau dibagi menjadi beberapa lapisan, di antaranya (1) epilimnion, yaitu lapisan yang hangat dengan kerapatan air yang tinggi; (2) hipolimnion, yaitu lapisan yang lebih dingin; dan (3) metalimnion, yaitu lapisan yang berada di antara lapisan epilimnion dan hipolimnion (Goldman & Horne 1989).

2.6. pH

pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen. pH menggambarkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu danau dengan nilai 1-14. Keasaman ditandai dengan pH 1-7, sedangkan kebasaan 7-14. Menurut Goldman & Horne (1983), nilai pH normal suatu danau adalah 6-9.

pH berhubungan dengan konsentrasi karbondioksida di perairan. Perairan yang memiliki karbondioksida tinggi akan menyebabkan pH perairan menjadi rendah karena akan membentuk asam karbonat (Wetzel 2001). Secara umum, perubahan pH harian dipengaruhi oleh suhu, oksigen terlarut, fotosintesis, respirasi organisme, dan keberadaan ion dalam perairan (Welch 1952).

2.7. Fosfat Total

(9)

9 dengan ion logam (FePO4) yang menyebabkan fosfat mengendap di sedimen. Fosfat total akan terhidrolisis menjadi ortofosfat yang akan dimanfaatkan oleh fitoplankton. Ortofosfat merupakan bagian kecil dari fosfat total, yaitu sekitar 5% (Wetzel 2001).

2.8. Klorofil-a

Klorofil-a (C55H72O5N4Mg) merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi fitoplankton. Klorofil-a di suatu perairan dapat digunakan sebagai ukuran produktivitas primer fitoplankton, karena pada umumnya dapat dijumpai pada semua jenis fitoplankton (Goldman & Horne 1983). Henderson-Sellers & Markland (1987) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a untuk perairan tipe oligotrofik sebesar 0-4 mg/m3, tipe mesotrofik sebesar 4-10 mg/m3, dan tipe eutrofik sebesar 10-100 mg/m3.

Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987) konsentrasi klorofil-a di perairan dapat mewakili biomassa dari alga atau fitoplankton. Konsentrasi klorofil-a dalam fitoplankton sekitar 0,5-2% berat tubuh. Konsentrasi klorofil-a dari tiap jenis fitoplankton berbeda-beda. Konsentrasi klorofil-a berbanding lurus dengan biomassa fitoplankton (Wetzel 2001).

2.9. Indeks Status Trofik (TSI; Trophic State Index)

(10)

10

Penggandaan biomassa alga ditunjukkan dengan pengurangan nilai kedalaman Secchi. Fosfat total juga akan mengurangi nilai kedalaman Secchi. Peningkatan fosfat total akan mempengaruhi pertumbuhan biomassa alga. Pendugaan biomassa alga dapat dilihat dari kandungan klorofil-a (Carlson 1977).

Tabel 1. Kategori status kesuburan berdasarkan TSI (Carlson 1977)

Kategori status kesuburan TSI

Oligotrofik 0-40

Mesotrofik 40-50

Eutrofik 50-70

Hipereutrofik 70-100

2.10. Laju Penurunan Oksigen Hipolimnion (AHOD; Areal Hypolimnetic Oxygen Depletion Rate)

Laju penurunan oksigen hipolimnion (areal hypolimnetic oxygen depletion rate/ AHOD) dapat digunakan sebagai indikator produktivitas primer di danau. Nilai AHOD untuk danau oligotrofik adalah kurang dari 0,25 g O2/m2 hari; sedangkan untuk danau eutrofik umumnya lebih besar dari 0,55 g O2/m2 hari (Mortimer 1941 in Walker 1979). Cornett & Rigler (1979, 1980) in Heiskary & Wilson (2005) menemukan bahwa AHOD berhubungan dengan jumlah fosfor epilimnetik dan produksi primer tahunan serta berhubungan terbalik dengan kedalaman Secchi rata-rata.

(11)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat (Lampiran 1). Lokasi penelitian berada pada koordinat 6o44’30,3” LS dan 106o48’42,4” BT (Gambar 2). Kegiatan pengamatan dan pengambilan contoh air dilakukan di lapang, sedangkan analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian aerasi hipolimnion di Danau Lido

3.2. Pelaksanaan Penelitian 3.2.1. Penelitian pendahuluan

(12)

12

interval 1 meter yang bertujuan untuk mengetahui distribusi suhu secara vertikal dan menentukan kedalaman hipolimnion.

3.2.2. Penentuan lokasi pengamatan dan titik pengambilan contoh air

Lokasi pengamatan dilakukan di kawasan KJA. Hal ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan lokasi yang memiliki konsentrasi DO sangat rendah. Di lokasi tersebut diletakkan alat aerasi hipolimnion untuk meningkatkan konsentrasi DO di perairan (Lampiran 1). Lubang outlet alat aerasi hipolimnion diletakkan di kedalaman 4 meter, karena di kedalaman tersebut memiliki konsentrasi DO yang sangat rendah dan merupakan kedalaman hipolimnion. Skema alat aerasi hipolimnion yang digunakan dan titik-titik pengambilan contoh air disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema alat aerasi hipolimnion dan titik-titik pengambilan contoh air Alat aerasi hipolimnion yang digunakan merupakan modifikasi dari model aerator hipolimnion Jorgenson (1980) (Nursandi 2011). Prinsip kerja alat aerasi ini

Permukaan Perairan

Kedalaman Outlet Alat Aerasi (4 m)

Dasar Perairan Titik pengambilan contoh air

0 m 1,5 m 3 m 4,5 m

Kedalaman Secchi (2 m) Kedalaman Permukaan (0 m)

Pipa inlet

Kran bawah

(13)

13

adalah memindahkan massa air dari kedalaman tertentu ke atas permukaan perairan, kemudian memaparkannya di ruang terbuka sehingga terjadi penambahan oksigen, melalui proses difusi dan agitasi udara dari atmosfer. Air yang telah mendapatkan penambahan oksigen dikembalikan lagi ke kedalaman semula (Nursandi 2011). Spesifikasi alat aerasi hipolimnion dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 3.

Titik-titik kedalaman pengambilan contoh air ditentukan berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Titik-titik tersebut secara vertikal, yaitu kedalaman permukaan (0 meter), kedalaman Secchi (2 meter), dan kedalaman outlet alat aerasi (4 meter); sedangkan secara horizontal, yaitu jarak 0; 1,5; 3; dan 4,5 meter dari outlet alat aerasi. Pengamatan secara vertikal bertujuan untuk melihat pengaruh aerasi hipolimnion terhadap laju penurunan oksigen hipolimnion (AHOD), sedangkan pengamatan secara horizontal untuk mengetahui besarnya peningkatan DO setelah dilakukan aerasi dan batas penyebarannya dari outlet alat aerasi.

3.2.3. Penelitian utama

Penelitian utama berlangsung selama 15 jam mulai pukul 06.00-22.00 WIB. Alat aerasi hipolimnion dioperasikan selama 10 jam mulai pukul 07.00-17.00 WIB. Pengambilan contoh atau sampling dilakukan sebanyak 4 kali dan dilakukan setiap lima jam selama 15 jam. Berikut ini merupakan waktu sampling selama penelitian (Tabel 2).

Tabel 2. Waktu sampling selama penelitian

Sampling ke- Waktu pengamatan (WIB) Keterangan

1 06.00 Sebelum aerasi

2 12.00 Aerasi 5 jam

3 17.00 Aerasi 10 jam

4 22.00 Pascaaerasi

(14)

14

DO, suhu, dan pH. Selain itu, dilakukan pengukuran kecerahan pada pagi hari (pukul 06.00 WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB), dan sore hari (pukul 17.00 WIB). Tabel 3. Parameter serta alat dan metode yang digunakan dalam analisis contoh air

selama penelitian (Eaton et al. 2005)

Parameter Unit Alat dan Metode Penanganan Lokasi

DO mg/l DO meter/Elektrometrik in situ

Suhu oC DO meter/Elektrometrik in situ

pH - pH meter/Potensiometrik in situ

Kecerahan cm Secchidisk/Visual in situ

Fosfat total mg/l Spektrofotometer/Digestion Pendinginan Laboratorium Klorofil-a mg/m3 Spektrofotometer/Aseton Pendinginan Laboratorium DO merupakan parameter utama dalam penelitian ini. DO diukur langsung dengan menggunakan DO meter pada kedalaman yang telah ditentukan. Hasil analisis contoh air terhadap beberapa parameter kualitas air merupakan sumber data yang akan dikumpulkan selama pengamatan. Analisis contoh air terhadap beberapa parameter tersebut dilakukan berdasarkan Eaton et al. (2005). Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian disajikan pada Lampiran 4.

3.3. Pengumpulan dan Pengolahan Data 3.3.1. Penentuan TSI

(15)

15

Keterangan:

TSI : Indeks status trofik SD : Kedalaman Secchi (m) Chl : Klorofil-a (mg/m3) TP : Fosfat total (mg/m3)

TSISD : Indeks status trofik untuk kedalaman Secchi TSIChl : Indeks status trofik untuk klorofil-a

TSITP : Indeks status trofik untuk fosfat total

3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis deskriptif

Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data tersebut juga dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kelas III (Lampiran 6).

3.4.2. Penentuan persen saturasi DO

Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi DO di air sama dengan konsentrasi DO saturasi. Tingkat kejenuhan DO di perairan dinyatakan sebagai persen saturasi (Boyd 1998, Wetzel & Likens 1991). Persamaan untuk memperkirakan persen saturasi adalah:

(16)

16

Keterangan:

DOc : Koreksi konsentrasi DO saturasi (mg/l)

DOt : Konsentrasi DO saturasi pada tekanan atmosfer 760 mmHg (Lampiran 8) BP : Tekanan atmosfer suatu tempat

h : Ketinggian suatu tempat (meter)

Jika tekanan atmosfer suatu tempat (BP) tidak diketahui, maka perkiraan tekanan atmosfer pada suatu tempat dengan ketinggian (h) dapat ditentukan dengan persamaan di atas (Boyd 1990). Contoh perhitungan tekanan atmosfer Danau Lido, koreksi konsentrasi DO saturasi, dan persen saturasi DO disajikan pada Lampiran 9.

3.4.3. Analisis laju penurunan oksigen hipolimnion

Laju penurunan oksigen hipolimnion (AHOD) dapat digunakan sebagai indikator produktivitas danau. Model dugaan AHOD ditentukan berdasarkan pada nilai indeks status trofik (TSI) dan kedalaman hipolimnion (Zh). Model dugaan laju penurunan oksigen hipolimnion menurut Borowiak (2010) adalah sebagai berikut.

AHOD (g O2/m2 hari) = 0,121TSI + 0,041 h– 5,34 (r2 = 0,98, p < 0,001) Keterangan:

AHOD : Laju penurunan oksigen hipolimnion (g O2/m2 hari) TSI : Indeks status trofik

(17)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Lapisan hipolimnion

Lapisan hipolimnion ditentukan berdasarkan distribusi suhu secara vertikal. Lapisan hipolimnion adalah lapisan yang memiliki suhu lebih dingin dibandingkan lapisan epilimnion dan metalimnion serta memiliki perbedaan suhu yang relatif kecil (Goldman dan Horne 1983). Distribusi vertikal suhu di Danau Lido disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 5.

Gambar 4. Distribusi vertikal suhu di sekitar KJA Danau Lido

Berdasarkan Gambar 4, Lapisan hipolimnion di sekitar KJA Danau Lido dimulai dari kedalaman 4 meter. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu di lapisan tersebut relatif sama dan perbedaan suhu yang sangat kecil. Suhu pada pagi hari berkisar antara 25,3-25,4 oC; pada siang hari berkisar antara 25,5-25,9 oC; dan pada sore hari berkisar antara 25,2-25,4 oC..

4.1.2. Oksigen terlarut (DO) 4.1.2.1. Distribusi horizontal DO

(18)

18

dilakukan sebelum aerasi, saat aerasi (5 dan 10 jam), dan pascaaerasi. Data konsentrasi DO dapat dilihat pada Lampiran 5. Distribusi horizontal DO di kedalaman 4 meter disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Distribusi horizontal DO di kedalaman 4 meter

Konsentrasi DO selama pengamatan berkisar antara 0,1-1,0 mg/l. Konsentrasi DO sebelum aerasi sangat rendah sebesar 0,1 mg/l; sedangkan konsentrasi DO pada saat aerasi selama 5 dan 10 jam mengalami peningkatan berkisar antara 0,1-0,7 mg/l dan 0,1-1,0 mg/l. Konsentrasi DO pascaaerasi berkisar antara 0,1-0,8 mg/l (Gambar 5). Konsentrasi DO di jarak 0; 1,5; 3; dan 4,5 meter berturut-turut berkisar antara 0,1-1,0 mg/l; 0,1-0,8 mg/l; 0,1-0,4 mg/l; dan 0,1-0,2 mg/l. Konsentrasi DO terbesar (1,0 mg/l) terjadi pada saat aerasi 10 jam di jarak 0 meter, sedangkan konsentrasi DO terkecil (0,1 mg/l) terjadi sebelum aerasi di jarak 0-4,5 meter; saat aerasi 5 jam di jarak 3 dan 4,5 meter; saat aerasi 10 jam di jarak 4,5 meter; dan pascaaerasi di jarak 3 meter.

4.1.2.2. Peningkatan konsentrasi DO di sekitar outlet alat aerasi hipolimnion

(19)

19

Gambar 6. Peningkatan konsentrasi DO akibat aerasi hipolimnion

Gambar 6 menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi DO akibat aerasi hipolimnion berkisar antara 0-0,9 mg/l. Peningkatan konsentrasi DO pada saat aerasi 5 dan 10 jam berkisar antara 0-0,6 mg/l dan 0-0,9 mg/l; sedangkan pascaaerasi berkisar antara 0-0,7 mg/l. Peningkatan konsentrasi DO terbesar (0,9 mg/l) terjadi pada saat aerasi 10 jam di jarak 0 meter, sedangkan pada saat aerasi 5 jam dan pascaaerasi di jarak 3 dan 4,5 meter serta saat aerasi 10 jam di jarak 4,5 meter tidak ada lagi peningkatan konsentrasi DO. Data peningkatan konsentrasi DO dapat dilihat pada Lampiran 5.

4.1.2.3. Persen saturasi DO

Persen saturasi DO diperoleh dengan membandingkan konsentrasi DO di perairan dengan konsentrasi DO saturasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa persen saturasi sebelum aerasi sebesar 1,30% dan pada saat aerasi 5 dan 10 jam berkisar antara 1,29-9,05% dan 1,30-13,01%; sedangkan pascaaerasi berkisar antara 1,30-10,37%. Hasil perhitungan persen saturasi DO di sekitar alat aerasi hipolimnion disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Data persen saturasi DO di sekitar alat aerasi hipolimnion

Waktu pengamatan Konsentrasi DO saturasi Persen saturasi DO

Sebelum aerasi 7,70-7,71 1,30%

Aerasi 5 jam 7,72-7,74 1,29-9,05%

Aerasi 10 jam 7,67-7,68 1,30-13,01%

(20)

20

Tabel 4. (lanjutan)

Jarak dari outlet alat aerasi (m) Konsentrasi DO saturasi Persen saturasi DO

0 7,68-7,74 1,30-13,01%

1,5 7,68-7,72 1,30-10,41%

3 7,68-7,74 1,29-5,21%

4,5 7,67-7,74 1,29-2,59%

Tabel 4 menunjukkan bahwa persen saturasi DO di jarak 0; 1,5; 3; dan 4,5 meter berturut-turut berkisar antara 1,30-13,01%; 1,30-10,41%; 1,29-5,21%; dan 1,29-2,59%. Persen saturasi DO terbesar terjadi pada saat aerasi 10 jam di jarak 0 meter sebesar 13,01%.

4.1.2.4. Laju penurunan oksigen hipolimnion

Laju penurunan oksigen hipolimnion (areal hypolimnetic oxygen depletion rate/AHOD) dihitung berdasarkan pada nilai indeks status trofik dan kedalaman hipolimnion (Borowiak 2010). Nilai laju penurunan oksigen hipolimnion (AHOD) di sekitar outlet alat aerasi hipolimnion disajikan pada Lampiran 5.

Gambar 7. Grafik AHOD di sekitar KJA Danau Lido

Berdasarkan Gambar 7, nilai AHOD berkisar antara 1,617-1,879 g/m2 hari. Sebelum aerasi nilai AHOD sangat tinggi sebesar 1,879 g/m2 hari. Pada saat aerasi selama 5 dan 10 jam nilai AHOD mengalami penurunan menjadi sebesar 1,705 dan

1.50

Sebelum aerasi Aerasi 5 jam Aerasi 10 jam Pascaaerasi

A

HOD

(g/m

2 hari)

(21)

21

1,617 g/m2 hari. Nilai AHOD pascaaerasi kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,675 g/m2 hari.

4.1.3. Suhu

Selama pengamatan suhu Danau Lido berkisar antara 25,5-26 oC. Distribusi suhu perairan Danau Lido secara horizontal selama penelitian di kedalaman 4 meter disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Distribusi horizontal suhu di kedalaman 4 meter

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu perairan berkisar antara 25,5-26,0 oC. Suhu perairan sebelum aerasi berkisar antara 25,7-25,8 oC. Suhu pada saat aerasi 5 dan 10 jam berturut-turut berkisar antara 25,5-25,6 oC dan 25,9-26,0 oC. Pascaaerasi suhu berkisar antara 25,7-25,9 oC. Suhu terbesar terjadi pada saat aerasi 10 jam di jarak 4,5 meter sebesar 26,0 oC, sedangkan suhu terkecil terjadi pada saat aerasi 5 jam di jarak 0; 3; dan 4,5 meter dengan nilai sebesar 25,5 oC. Data suhu perairan secara horizontal disajikan pada Lampiran 5.

4.1.4. pH

(22)

22

Gambar 9. Distribusi horizontal pH di kedalaman 4 meter

Selama pengamatan pH Danau Lido cenderung stabil yang berkisar antara 6,81-7,03. Nilai pH sebelum aerasi berkisar antara 6,89-6,93. Pada saat aerasi 5 dan 10 jam nilai pH berkisar antara 6,81-6,96 dan 6,95-7,01, sedangkan pascaaerasi nilai pH berkisar antara 6,99-7,03. Nilai pH terbesar terjadi pascaaerasi sebesar 7,03, sedangkan nilai pH terkecil terjadi pada saat aerasi 5 jam sebesar 6,81. Nilai pH terbesar dan terkecil terdapat di jarak 0 meter.

4.2. Pembahasan

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO merupakan salah satu parameter kualitas air terpenting yang ada di perairan karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme akuatik dan perubahan proses-proses kimia di perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin 2000).

(23)

23

dikarenakan suhu perairan di kedalaman tersebut sangat rendah dan memiliki perbedaan suhu yang relatif kecil.

Konsentrasi DO sebelum dilakukan aerasi di kedalaman 4 meter (lapisan hipolimnion) termasuk rendah, hanya sebesar 0,1 mg/l. Konsentrasi DO tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu untuk kegiatan perikanan PP RI No. 82 Tahun 2001. Boyd (1998) menyatakan bahwa konsentrasi DO kurang dari 1 atau 2 mg/l dapat mematikan organisme perairan jika terjadi selama beberapa jam.

Konsentrasi DO yang rendah di kedalaman 4 meter dapat disebabkan oleh proses respirasi dan dekomposisi bahan organik yang lebih dominan dibandingkan fotosintesis serta tidak adanya difusi langsung dari atmosfer. Menurut Salmin (2000) penurunan konsentrasi DO dikarenakan proses fotosintesis yang semakin berkurang, DO semakin banyak digunakan untuk respirasi dan oksidasi bahan-bahan organik. Welch (1952) juga menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya penurunan konsentrasi DO di perairan adalah respirasi yang berlangsung sepanjang hari dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dan terakumulasi di dasar perairan.

Salah satu cara untuk meningkatkan DO yang rendah di kedalaman 4 meter adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion di kedalaman tersebut. Aerasi hipolimnion merupakan teknik manajemen danau yang dirancang untuk meningkatkan konsentrasi DO dan mengurangi kondisi anoksia di lapisan hipolimnion dan masalah-masalah yang terkait. Aerasi hipolimnion dapat meningkatkan konsentrasi oksigen hipolimnion tanpa merusak stratifikasi kolom air dan tidak meningkatkan suhu air secara signifikan di lapisan hipolimnion (McQueen & Lean 1986 in Burris 1998).

Aerasi hipolimnion dilakukan di kedalaman 4 meter untuk meningkatkan konsentrasi DO di kedalaman tersebut. Aerasi tersebut dioperasikan selama 10 jam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi DO akibat aerasi hipolimnion. Peningkatan konsentrasi DO menyebar secara horizontal di sekitar outlet alat aerasi.

(24)

24

tidak akan merusak stratifikasi dan tidak meningkatkan suhu air secara signifikan di lapisan hipolimnion. Hal ini sangat baik bagi perairan karena jika aerasi hipolimnion meningkatkan suhu air, maka stratifikasi kolom air akan rusak dan selanjutnya berpotensi untuk menimbulkan pengadukan massa air yang akan mengangkat gas-gas beracun dari dasar perairan.

Aerasi hipolimnion dapat meningkatkan konsentrasi DO di kedalaman 4 meter. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin lama aerasi, maka konsentrasi DO akan semakin tinggi. Selain itu, konsentrasi DO juga akan semakin tinggi dengan semakin dekatnya jarak dari outlet alat aerasi. Konsentrasi DO pada saat aerasi 10 jam dapat mencapai 1 mg/l. Peningkatan konsentrasi DO berkisar antara 0-0,9 mg/l. Hasil tersebut relatif sama dengan hasil penelitian Nursandi (2011) yang menyatakan bahwa aerasi yang dilakukan di kedalaman 4,25 meter meningkatkan konsentrasi DO sebesar 0-0,7 mg/l.

Adanya aerasi dapat meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di kedalaman 4 meter terutama pada saat dilakukan aerasi selama 5-10 jam. Peningkatan konsentrasi DO pada saat aerasi 10 jam lebih besar dibandingkan dengan pada saat aerasi 5 jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama aerasi, maka peningkatan konsentrasi DO akan semakin besar. Pada waktu tersebut terjadi peningkatan konsentrasi DO masing-masing sebesar 0-0,6 mg/l dan 0-0,9 mg/l. Konsentrasi DO tidak lagi meningkat setelah aerasi dimatikan bahkan konsentrasi DO cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada sumber oksigen yang dapat meningkatkan konsentrasi DO setelah aerasi dimatikan.

(25)

25

Selama dilakukan aerasi hipolimnion, peningkatan konsentrasi DO di jarak 0 meter (dekat dengan outlet alat aerasi) cenderung lebih besar dibandingkan dengan jarak yang lebih jauh dari 0 meter. Peningkatan konsentrasi DO di jarak 0 meter berkisar antara 0,6-0,9 mg/l; sedangkan di jarak 1,5 dan 3 meter peningkatan konsentrasi DO berkurang dari sebelumnya berkisar antara 0,3-0,7 mg/l dan 0-0,3 mg/l. Bahkan di jarak 4,5 meter tidak ada lagi peningkatan konsentrasi DO. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh jarak dari outlet alat aerasi, maka peningkatan konsentrasi DO akan semakin kecil bahkan mencapai nol (tidak ada peningkatan). Peningkatan konsentrasi DO yang semakin kecil dapat disebabkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik dan respirasi organisme perairan yang terjadi pada saat air dikembalikan ke kedalaman 4 meter setelah dilakukan aerasi signifikan (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi DO sangat dipengaruhi oleh jarak dari outlet alat aerasi. Semakin jauh jarak dari outlet alat aerasi, maka peningkatan konsentrasi DO akan semakin kecil.

Penerapan alat aerasi hipolimnion di beberapa perairan umum dapat meningkatkan konsentrasi DO. Peningkatan konsentrasi DO di beberapa perairan umum setelah dilakukan aerasi hipolimnion disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 tersebut, diketahui bahwa penerapan alat aerasi hipolimnion di Danau Lido dapat meningkatkan konsentrasi DO hingga sebesar 1 mg/l. Konsentrasi DO tersebut merupakan konsentrasi DO terendah dibandingkan dengan perairan umum lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh pengoperasian alat aerasi hipolimnion yang terlalu singkat.

(26)

26

terhadap konsentrasi DO di lapisan hipolimnion. Semakin lama aerasi, maka peningkatan konsentrasi DO akan semakin besar.

Tabel 5. Perbandingan konsentrasi DO di beberapa perairan setelah dilakukan aerasi hipolimnion

* aerasi selama 17 jam/hari (22.00-06.00 WIB dan 09.00-18.00 WIB)

Alat aerasi hipolimnion yang beroperasi selama 42 hari dapat meningkatkan konsentrasi DO hingga menjadi 2,19-7,73 mg/l (Hartoto 1993b). Faktor lain yang menyebabkan konsentrasi DO setelah dilakukan aerasi hipolimnion di Danau Lido sangat rendah adalah alat aerasi hipolimnion yang digunakan dalam penelitian ini hanya mengandalkan aerasi secara alami (difusi oksigen dari atmosfer) pada saat air berada di talang air.

Berdasarkan data persen saturasi yang diperoleh, tidak terjadi kondisi saturasi, baik sebelum adanya aerasi, saat aerasi, maupun pascaaerasi. Hal ini diduga karena pengoperasian alat aerasi hipolimnion yang masih terlalu singkat yang menyebabkan masih rendahnya peningkatan konsentrasi DO di sekitar alat aerasi hipolimnion. Namun, adanya aerasi dapat meningkatkan persen saturasi di sekitar alat aerasi hipolimnion. Persen saturasi tertinggi dicapai pada saat aerasi selama 10 jam di jarak 0 meter, yaitu sebesar 13,01%, sedangkan persen saturasi terendah diperoleh pada saat aerasi 5 jam di jarak 3 dan 4,5 meter sebesar 1,29%. Hal tersebut menunjukkan bahwa persen saturasi akan semakin tinggi jika aerasi dilakukan secara terus-menerus selama lebih dari 10 jam dan dapat mencapai kondisi saturasi.

(27)

27

outlet alat aerasi. Besarnya peningkatan DO juga tergantung pada keadaan cuaca (cerah atau hujan), suhu air, dan pola arus di sekitar outlet alat aerasi. Berikut ini adalah gambaran konsentrasi DO setelah dilakukan aerasi di kedalaman 4 meter (Gambar 10).

Gambar 10. Gambaran konsentrasi DO setelah dilakukan aerasi berdasarkan jarak dari outlet alat aerasi dan waktu pengamatan

Konsentrasi DO di kedalaman 4 meter, baik sebelum maupun setelah dilakukan aerasi, berkisar antara 0,1-1,0 mg/l. Konsentrasi DO tersebut masih rendah walaupun terjadi peningkatan konsentrasi DO setelah dilakukan aerasi hipolimnion. Konsentrasi DO juga masih berada di bawah nilai baku mutu untuk kegiatan perikanan sebesar 3 mg/l sehingga sudah tidak layak untuk kegiatan perikanan. Boyd (1998) menyatakan bahwa kosentrasi DO sebesar 5 mg/l merupakan kondisi terbaik agar ikan dapat tumbuh dengan baik. Konsentrasi DO yang rendah dalam penelitian ini tentu saja tidak dapat menunjang kebutuhan DO yang tinggi untuk proses respirasi dan dekomposisi bahan organik di kedalaman tersebut. Hal tersebut juga menandakan bahwa kondisi perairan di kedalaman 4 meter cenderung mendekati anoksik. Kondisi anoksik dapat membahayakan kehidupan ikan di dalam KJA dan organisme lainnya yang ada di luar KJA terutama di lapisan hipolimnion.

(28)

28

menunjukkan bahwa Danau Lido merupakan danau eutrofik dengan nilai TSI 54,01-61,43 (Amalia 2010). Salah satu permasalahan yang sering terjadi di danau eutrofik adalah penurunan konsentrasi DO terutama di lapisan hipolimnion. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya atau bahkan sudah tidak ada lagi sumber oksigen dan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik semakin meningkat di lapisan hipolimnion (Welch 1952, Salmin 2000). Untuk mengetahui laju penurunan oksigen terutama di lapisan hipolimnion, maka dapat dilakukan perhitungan laju penurunan oksigen hipolimnion (areal hypolimnetic oxygen depletion rate/AHOD) (Borowiak 2010). AHOD dapat digunakan sebagai indikator produktivitas danau (Mortimer 1941 in Walker 1979). Nilai AHOD Danau Lido berkisar antara 1,617-1,879 (g/m2 hari). Hal ini menunjukkan bahwa Danau Lido termasuk danau dengan status kesuburan eutrofik karena AHOD bernilai lebih dari 0,55 g/m2 hari (Mortimer 1941 in Walker 1979).

Adanya aerasi hipolimnion dapat menurunkan nilai AHOD. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aerasi selama 5 jam dapat menurunkan AHOD sebesar 9,29%, sedangkan aerasi selama 10 jam menurunkan AHOD sebesar 13,96% menjadi sebesar 1,617 g/m2 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama aerasi, maka AHOD akan semakin berkurang. Hal ini tentu saja sangat baik bagi perairan karena dapat mengurangi permasalahan penurunan oksigen di lapisan hipolimnion yang sering terjadi di danau yang memiliki status kesuburan eutrofik.

Konsentrasi DO di perairan Danau Lido, terutama di lokasi pengamatan memiliki nilai yang sangat rendah. Rendahnya konsentrasi DO dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen untuk menunjang kehidupan organisme perairan dan proses dekomposisi bahan organik di dalam perairan yang sangat membutuhkan oksigen. Salah satu pengelolaan yang dapat dilakukan adalah penggunaan alat aerasi hipolimnion.

(29)

29

dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi DO di jarak 1,5 dan 3 meter hingga mencapai baku mutu kegiatan perikanan (3,0 mg/l).

Tabel 6. Pendugaan lama aerasi hipolimnion untuk mencapai konsentrasi DO 3 mg/l di jarak 0; 1,5; dan 3 meter dari outlet alat aerasi

Pendugaan Jarak 1,5 m Jarak 3 m

Lama aerasi hipolimnion (jam) 42,63 98,33

Volume air yang diaerasi (liter) 61387,2 141595,2

Tabel 6 menunjukkan bahwa lama aerasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi DO sebesar 3 mg/l adalah 42,63 jam di jarak 1,5 meter dan 98,33 jam di jarak 3 meter dengan flow rate air di alat aerasi sebesar 24 liter/menit. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi DO akan kembali mengalami penurunan setelah aerasi dihentikan. Oleh karena itu, alat aerasi ini harus dioperasikan secara terus menerus. Jika alat aerasi ini harus dioperasikan selama sehari (24 jam), maka

flow rate harus ditingkatkan menjadi 98,33 liter/menit agar volume air yang dapat diaerasi adalah 141595,2 liter sehingga konsentrasi DO dapat mencapai 3 mg/l. Volume air tersebut sama dengan pada saat dilakukan aerasi selama 98,33 jam dengan flow rate sebesar 24 liter/menit. Peningkatan flow rate tersebut diduga dapat meningkatkan konsentrasi DO hingga jarak lebih dari 3 meter.

Luas perairan yang dapat diaerasi dengan alat aerasi ini adalah 36 m2 dengan jarak penyebaran hingga 3 meter dari outlet alat aerasi. Jika luas perairan yang digunakan untuk budidaya ikan di KJA adalah 5% dari luas permukaan Danau Lido (198750 m2) sebesar 9937,5 m2 (Tambunan 2010), maka dibutuhkan alat aerasi hipolimnion sebanyak 276 alat untuk mengaerasi luas perairan tersebut.

Biaya pembuatan alat aerasi hipolimnion yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rp. 1.130.000,00 (Lampiran 12). Jika dibutuhkan alat aerasi hipolimnion sebanyak 276 alat, maka biaya untuk pembuatan alat tersebut adalah Rp. 311.880.000,00. Selain itu, biaya operasional alat aerasi hipolimnion (276 alat) selama 98,33 jam adalah Rp. 54.278.160,00. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, total biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan dan operasional alat aerasi hipolimnion adalah Rp. 366.158.160,00.

(30)

30

nilai peningkatan konsentrasi DO masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan perairan umum yang bersifat penyelesaian masalah (perbaikan kualitas air) tidaklah sederhana. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan lain yang lebih ke arah perencanaan pemanfaatan suatu perairan umum.

(31)

5.

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Aerasi hipolimnion mampu meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan mengurangi laju penurunan oksigen hipolimnion (AHOD). Konsentrasi DO mengalami peningkatan hingga jarak 3 meter dan tidak lagi mengalami peningkatan di jarak 4,5 meter dari outlet alat aerasi.

5.2. Saran

(32)

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT

PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI

DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

ARIF RAHMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(33)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

(34)

RINGKASAN

Arif Rahman. C24070072. Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh Niken Tunjung Murti Pratiwi dan Sigid Hariyadi.

Oksigen terlarut (DO; Dissolved oxygen) merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena dibutuhkan oleh semua organisme untuk menunjang kehidupannya serta proses dekomposisi bahan-bahan organik secara aerob. Oksigen di perairan dapat berasal dari difusi oksigen dan hasil proses fotosintesis. Konsentrasi DO di lapisan hipolimnion sangat rendah karena tidak ada difusi oksigen dari atmosfer dan fotosintesis. Salah satu cara untuk meningkatkan konsentrasi DO di lapisan tersebut adalah dengan melakukan aerasi hipolimnion. Peningkatan konsentrasi DO diharapkan dapat mengurangi laju penurunan oksigen dan mencukupi kebutuhan oksigen di lapisan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari distribusi dan laju penurunan oksigen terlarut di lapisan hipolimnion Danau Lido setelah dilakukan aerasi hipolimnion.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2011 di kawasan KJA Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen MSP, FPIK. Alat aerasi hipolimnion dioperasikan selama 10 jam pada pukul 07.00-17.00 WIB. Pengaruh aerasi hipolimnion terhadap peningkatan konsentrasi DO dapat diketahui dengan melakukan pengamatan pada saat sebelum aerasi, aerasi (5 dan 10 jam), dan pascaaerasi hipolimnion (5 jam).

Pengambilan contoh air dilakukan secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal dilakukan di kedalaman permukaan (0 meter), kedalaman Secchi (2 meter), dan kedalaman outlet alat aerasi (4 meter); sedangkan secara horizontal dilakukan di jarak 0; 1,5; 3; dan 4,5 meter dari outlet alat aerasi. Pengamatan secara vertikal dilakukan untuk mengetahui pengaruh aerasi hipolimnion terhadap laju penurunan oksigen hipolimnion (AHOD), sedangkan pengamatan secara horizontal untuk mengetahui besarnya peningkatan konsentrasi DO dan batas penyebarannya dari outlet alat aerasi hipolimnion.

(35)

DISTRIBUSI OKSIGEN TERLARUT

PADA LAPISAN HIPOLIMNION PASCAAERASI

DI DANAU LIDO, BOGOR, JAWA BARAT

ARIF RAHMAN C24070072

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(36)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Arif Rahman Nomor Pokok : C24070072

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si. Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc.

NIP 19680111 199203 2 002 NIP 19591118 198503 1 005

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002

(37)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “Distribusi Oksigen Terlarut pada Lapisan Hipolimnion Pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat” dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Mei-Agustus 2011.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Namun, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2011

(38)

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si. dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing dan memberikan banyak motivasi, dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil. selaku Komisi Pendidikan S1 dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil. selaku dosen penguji tamu atas saran yang diberikan untuk perbaikan skripsi.

3. Dr. Ir. Sutrisno Sukimin (Alm.) selaku Pembimbing Akademik, atas motivasi dan nasehat yang diberikan.

4. BRKP (Balai Riset Kelautan dan Perikanan), Pak Pandi, dan Yudi yang telah memberikan izin dan bantuan selama penelitian di lokasi KJA Danau Lido. 5. Keluarga tercinta, Bapak (Alm. Taryo Susanto), Ibu (Anirah), dan Adik (Dewi

Yuningsih) atas doa, kasih sayang, dan motivasinya.

6. Seluruh staf pengajar, tata usaha, dan karyawan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

7. Bapak Juli Nursandi yang telah meminjamkan alat aerasi hipolimnion dan memberikan banyak saran dalam penelitian ini.

8. Tim Aerasi Hipolimnion (Ekie S. Firdausi, Marthin A. Politon, Ayu Ervinia, dan Siti Nur Amanah) dan Tim Chironomid (Hendry, Ade, Desnita, dan Dita) atas doa, suka duka, kerjasama, semangat, dan kebersamaan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

(39)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 Desember 1988 di Cirebon dari pasangan Bapak Taryo Susanto dan Ibu Anirah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal pertama diawali dari TK Nurussa’adah Panembahan (1994/1995), SDN 1 Panembahan (1995/2001), SMPN 2 Cirebon (2001/2004), dan SMAN 2 Cirebon (2004/2007). Pada tahun 2007 Penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Selama mengikuti perkuliahan Penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Iktiologi (2009/2010), Limnologi (2009/2010 & 2010/2011), Dinamika Populasi Ikan (2010/2011), Planktonologi (2010/2011), dan Produktivitas Perairan (2010/2011). Penulis juga aktif sebagai anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (DPM FPIK) periode 2008/2009 dan sekretaris Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) periode 2009/2010.

(40)

vi 2.10. Laju Penurunan Oksigen Hipolimnion (AHOD; Areal

Hypolimnetic Oxygen Depletion Rate) ... 10

3. METODE PENELITIAN ... 11 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 11 3.2. Pelaksanaan Penelitian ... 11 3.2.1. Penelitian pendahuluan ... 11 3.2.2. Penentuan lokasi pengamatan dan titik pengambilan

contoh air ... 12 3.4.3. Analisis laju penurunan oksigen hipolimnion ... 16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 4.1. Hasil ... 17

(41)

vii

4.1.2.1. Distribusi horizontal DO ... 17 4.1.2.2. Peningkatan konsentrasi DO di sekitar outlet

alat aerasi hipolimnion ... 18 4.1.2.3. Persen saturasi DO ... 19 4.1.2.4. Laju penurunan oksigen hipolimnion ... 20 4.1.3. Suhu ... 21 4.1.4. pH ... 21 4.2. Pembahasan ... 22

5. KESIMPULAN ... 31 5.1. Kesimpulan ... 31 5.2. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(42)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kategori status kesuburan berdasarkan TSI (Carlson 1977) ... 10 2. Waktu sampling selama penelitian ... 13 3. Parameter serta alat dan metode yang digunakan dalam analisis

contoh air selama penelitian (Eaton et al. 2005) ... 14 4. Data persen saturasi DO di sekitar alat aerasi hipolimnion ... 19 5. Perbandingan konsentrasi DO di beberapa perairan setelah

dilakukan aerasi hipolimnion ... 26 6. Pendugaan lama aerasi hipolimnion untuk mencapai konsentrasi

(43)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan alir perumusan masalah ... 2 2. Peta lokasi penelitian aerasi hipolimnion di Danau Lido ... 11 3. Skema alat aerasi hipolimnion dan titik-titik pengambilan

contoh air ... 12 4. Distribusi vertikal suhu di sekitar KJA Danau Lido ... 17 5. Distribusi horizontal DO di kedalaman 4 meter ... 18 6. Peningkatan konsentrasi DO akibat aerasi hipolimnion ... 19 7. Grafik AHOD di sekitar KJA Danau Lido ... 20 8. Distribusi horizontal suhu di kedalaman 4 meter ... 21 9. Distribusi horizontal pH di kedalaman 4 meter ... 22 10. Gambaran konsentrasi DO setelah dilakukan aerasi berdasarkan

(44)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Foto lokasi dan pelaksanaan penelitian di Danau Lido ... 36 2. Beberapa desain alat aerasi hipolimnion ... 38 3. Spesifikasi alat aerasi hipolimnion ... 40 4. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ... 41 5. Data hasil pengukuran parameter kualitas air Danau Lido ... 43 6. Baku mutu kualitas air berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001 ... 45 7. Contoh perhitungan TSI ... 46 8. Konsentrasi DO saturasi pada suhu yang berbeda dan tekanan

atmosfer standar (760 mmHg) (Benson & Krause 1980) ... 47 9. Contoh perhitungan tekanan atmosfer Danau Lido, koreksi

(45)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Danau Lido merupakan salah satu danau yang menjadi tempat pengembangan budidaya perikanan dalam keramba jaring apung (KJA) di Indonesia. Konsentrasi bahan organik di lapisan hipolimnion Danau Lido cukup tinggi karena menumpuknya sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh ikan dan feses sebagai hasil metabolisme ikan di KJA tersebut.

Oksigen terlarut (DO; Dissolved oxygen) merupakan parameter kualitas air yang sangat penting karena dibutuhkan oleh semua organisme untuk menunjang kehidupannya serta proses dekomposisi bahan-bahan organik dan anorganik secara aerob. Sumber oksigen di perairan, yaitu hasil difusi antara air dengan udara dan proses fotosintesis organisme autotrof (Salmin 2005). Konsentrasi DO di lapisan hipolimnion sangat rendah karena tidak ada difusi oksigen dari atmosfer dan tidak ada fotosintesis. Pada lapisan hipolimnion, oksigen digunakan untuk respirasi dan dekomposisi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme secara aerob. Pada malam hari, konsentrasi DO di lapisan hipolimnion semakin rendah atau bahkan tidak ada karena tidak terjadi fotosintesis dan hanya terjadi respirasi yang memanfaatkan oksigen. Kondisi tersebut dapat menyebabkan dekomposisi berlangsung secara anaerob. Proses ini dapat menghasilkan gas-gas beracun seperti CO2, CH4, dan H2S yang dapat membahayakan kelangsungan hidup organisme akuatik.

(46)

2

1.2. Perumusan Masalah

Kegiatan budidaya perikanan di keramba jaring apung dapat meningkatkan konsentrasi bahan organik di lapisan hipolimnion karena adanya sisa pakan dan feses ikan yang menumpuk di lapisan tersebut. Bahan organik akan didekomposisi oleh mikroorganisme secara aerob jika terdapat oksigen. Konsentrasi DO di lapisan hipolimnion sangat rendah bahkan bisa tidak ada pada malam hari karena tidak ada fotosintesis dan hanya terjadi respirasi. Kondisi anoksik dapat menyebabkan dekomposisi bahan-bahan organik berlangsung secara anaerob yang menghasilkan gas-gas beracun seperti CO2, CH4, dan H2S.

Penelitian yang berjudul distribusi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion pascaaerasi di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion setelah dilakukan aerasi di lapisan tersebut. Aerasi dilakukan untuk meningkatkan konsentrasi DO yang sangat rendah di lapisan hipolimnion. Selanjutnya, oksigen yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan oksigen di lapisan tersebut dan mencegah terjadinya dekomposisi bahan-bahan organik secara anaerob. Berikut adalah bagan alir perumusan masalah (Gambar 1):

Gambar 1. Bagan alir perumusan masalah

1.3. Tujuan

(47)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen) 2.1.1. Sumber DO di perairan

Oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut di dalam air (Wetzel 2001). DO dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin 2000). Sumber DO di perairan adalah difusi langsung dari atmosfer dan hasil fotosintesis organisme autotrof (Welch 1952). Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), sumber utama oksigen terlarut di perairan adalah difusi dari udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin.

Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnan) atau adanya pergolakan massa air akibat arus atau angin. Pada kondisi air diam, difusi terjadi apabila tekanan parsial udara lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan parsial permukaan perairan. Pada kondisi pergolakan massa air, terjadi peningkatan peluang bagi molekul air untuk bersentuhan dengan atmosfer (Wetzel 2001). Penyerapan oksigen dari atmosfer ke dalam air terjadi dalam dua cara: (a) difusi langsung di permukaan perairan dan (b) melalui berbagai bentuk agitasi pada permukaan air, seperti gelombang, air terjun, dan turbulensi. Namun, difusi langsung dari udara melalui lapisan permukaan ke dalam perairan terjadi sangat lambat dan relatif tidak efektif dalam menyediakan oksigen ke perairan walaupun dapat berlangsung selama 24 jam (Welch 1952).

Menurut Henderson-Sellers & Markland (1987), fotosintesis terjadi di zona fotik, sedangkan respirasi terjadi di seluruh kolom perairan bahkan sampai ke dasar perairan. Oleh karena itu, lapisan permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Umumnya pada pagi hari, konsentrasi DO cukup rendah. Pada siang hari, konsentrasi DO akan meningkat dan pada sore hingga malam hari secara kontinyu konsentrasi DO semakin berkurang karena dipakai untuk respirasi organisme yang ada di danau.

(48)

4

yang memiliki densitas yang hampir sama dengan densitasnya. Perbedaan densitas air di waduk lebih banyak disebabkan oleh suhu. Jika densitas inflow lebih kecil daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di atas (overflow). Jika densitas inflow lebih besar daripada densitas air permukaan waduk, inflow akan berada di bawah (underflow). Jika densitas inflow lebih besar dari densitas lapisan epilimnion tetapi lebih kecil dari lapisan hipolimnion, inflow akan berada di lapisan tengah (interflow) (Wetzel 2001).

Konsentrasi DO berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, bertambahnya kedalaman, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Penurunan konsentrasi DO dengan bertambahnya kedalaman suatu perairan terkait dengan faktor cahaya yang mempengaruhi aktivitas fitoplankton di perairan. Jika semakin dalam suatu perairan, maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan akan semakin rendah dan bahkan tidak akan ada lagi cahaya yang masuk ke perairan. Pada perairan oligotrofik, konsentrasi DO masih tersedia sampai dekat dasar perairan. Pada perairan eutrofik, konsentrasi DO terbesar terdapat di kedalaman permukaan karena melimpahnya fitoplankton. Konsentrasi DO menurun dengan bertambahnya kedalaman, bahkan dapat mencapai nol karena adanya dekomposisi biomassa alga yang telah mati dan mengalami pembusukan di dasar perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987).

Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi dalam waktu 24 jam. Pada siang hari, terjadi fotosintesis dan respirasi, sedangkan pada malam hari, hanya terjadi respirasi yang dilakukan oleh produser primer dan konsumer, sehingga terjadi penurunan DO. Pada danau eutrofik, hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerob di perairan (Henderson-Sellers & Markland 1987). Penyebab utama terjadinya penurunan konsentrasi DO di perairan adalah (Welch 1952): (a) respirasi organisme yang berlangsung sepanjang hari; (b) dekomposisi bahan organik yang terlarut dan terakumulasi di dasar perairan; dan (c) reduksi oleh gas lain.

2.1.2. Distribusi DO di perairan

(49)

5

fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman, maka akan terjadi penurunan konsentrasi DO. Hal ini karena proses fotosintesis semakin berkurang, oksigen semakin banyak digunakan untuk respirasi organisme, dan oksidasi bahan-bahan organik (Salmin 2000). Menurut Goldman & Horne (1983); Wetzel (2001), tipe distribusi oksigen terlarut di danau secara vertikal adalah sebagai berikut.

a. Tipe orthograde

Distribusi oksigen tipe ini terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Distribusi oksigen lebih bertambahnya kedalaman. Distribusi oksigen terstratifikasi seperti pada danau atau waduk eutrofik. Penurunan oksigen terjadi di lapisan hipolimnion pada saat musim panas. Konsentrasi oksigen di permukaan lebih tinggi dengan adanya proses fotosintesis.

c. Tipe heterograde positif dan negatif

Tipe heterograde negatif terjadi jika respirasi (konsumsi oksigen) dominan terjadi di bagian bawah lapisan metalimnion sehingga konsentrasi oksigen lebih rendah. Tipe heterograde positif terjadi jika fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin sehingga akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.

d. Tipe anomali

Tipe anomali terjadi pada aliran air yang deras, dingin, dan kaya oksigen. Tipe ini membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.

2.2. Lapisan Hipolimnion

(50)

6

tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil (Goldman & Horne 1983).

2.3. Aerasi Hipolimnion

Aerasi hipolimnion digunakan pertama kali di Danau Bret, Swiss (Mercier & Perret 1949 in Cooke et al. 2005). Aerasi tersebut merupakan teknik manajemen danau yang dirancang untuk mengurangi kondisi anoksia di lapisan hipolimnion dan masalah-masalah yang terkait. Tujuan utama dari aerasi hipolimnion adalah untuk meningkatkan konsentrasi oksigen hipolimnion tanpa merusak stratifikasi kolom air dan pemanasan air di lapisan hipolimnion tersebut. Menurut McQueen & Lean (1986) in Burris (1998) adanya aerasi hipolimnion berpengaruh terhadap kualitas air dan ekosistem danau. Beberapa pengaruh tersebut adalah (1) sistem aerasi yang dirancang dengan baik tidak akan merusak stratifikasi dan tidak meningkatkan suhu air secara signifikan di lapisan hipolimnion; (2) konsentrasi oksigen hipolimnion meningkat; (3) konsentrasi besi, mangan, H2S, dan metana menurun; (4) tingkat klorofil biasanya tidak berubah. Aerasi juga dapat menurunkan konsentrasi fosfor.

Ada beberapa desain alat aerasi hipolimnion. Fast & Lorenzen (1976) in

Cooke et al. (2005) memeriksa ada 21 desain dan mengelompokkannya ke dalam tiga kategori: (1) agitasi mekanik; (2) injeksi oksigen murni; dan (3) injeksi udara. Pada sistem aerasi agitasi mekanik, air dipompa dari lapisan hipolimnion ke dalam sebuah wadah yang terletak di permukaan danau kemudian air diberikan aerasi untuk meningkatkan transfer oksigen dari fase gas ke fase cair. Air yang telah diaerasi tersebut kemudian dikembalikan lagi ke lapisan semula. Sistem aerasi ini bukan sistem yang popular dan pertukaran gas relatif tidak efisien, tetapi terbukti berhasil dalam sejumlah kasus (Pastorak et al. 1982 in Cooke et al. 2005). Metode aerasi dengan injeksi oksigen dilakukan dengan menaikkan air dari lapisan hipolimnion, kemudian diberikan oksigen murni dengan tekanan tinggi. Setelah itu, air dikembalikan lagi ke lapisan hipolimnion. Metode ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi pertukaran gas (Fast & Lorenzen 1976 in Cooke et al. 2005).

(51)

7

udara (compressed air) sehingga terjadi peningkatan oksigen. Air beroksigen tersebut kemudian dikembalikan lagi ke kedalaman hipolimnion. Fast et al. (1976), Lorenzen & Fast (1977), Pastorak et al. (1982) in Cooke et al. (2005) menemukan bahwa desain alat aerasi hipolimnion dengan sistem pengangkatan penuh (full lift systems) paling mahal dan lebih efisien dalam meningkatkan oksigen dibandingkan dengan sistem lainnya. Beberapa desain alat aerasi hipolimnion yang termasuk dalam kategori injeksi udara dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.4. Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan Secchi disk (Goldman & Horne 1983). Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi (Wetzel & Likens 1991).

Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan kekeruhan yang berasal dari bahan organik dan anorganik. Kecerahan perairan akan semakin rendah dengan semakin tingginya nilai kekeruhan. Hal ini karena cahaya yang masuk ke perairan semakin rendah (Boyd 1982). Kecerahan perairan juga berkaitan dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang masuk ke suatu perairan.

Kecerahan merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk mengetahui status kesuburan suatu danau. Perairan yang memiliki status kesuburan oligotrofik memiliki kedalaman Secchi sebesar lebih dari 6 m, sedangkan perairan mesotrofik dan eutrofik masing-masing berkisar antara 3-6 m dan kurang dari 3 m (Henderson-Sellers & Markland 1987).

2.5. Suhu

Suhu suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), lama penyinaran matahari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Suhu mempunyari peran penting dalam mengendalikan suatu ekosistem perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses-proses fisika, kimia, dan biologi suatu perairan (Goldman & Horne 1983).

Gambar

Gambar 2.  Peta lokasi penelitian aerasi hipolimnion di Danau Lido
Gambar 3. Kran atas
Gambar 4 dan Lampiran 5.
Gambar 5.  Distribusi horizontal DO di kedalaman 4 meter
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan ikan hias umumnya lembut dan dipadukan dengan tanaman hias ataupun alat pendukung lainnya ( aerasi ) didalam akuarium akan selalu menarik untuk

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran spesies ikan asing berdampak buruk terhadap fauna ikan lokal dan keseimbangan ekologis, seperti kasus introduksi ikan

[r]

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui penyebaran oksigen terlarut yang berasal dari Sungai Cicendo sampai di Waduk Cirata dengan pendekatan perubahan nilai

Tingginya kadar TN dan TP ini tidak terlepas dari aktivitas KJA yang sangat intensif di Danau Maninjau, yang membutuhkan pasokan pakan yang cukup besar untuk

Tingginya aktivitas dekomposisi bahan organik dan aktivitas metabolisme ikan di kolom perairan inilah yang menyebabkan ketersediaan oksigen terlarut menjadi semakin

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui penyebaran oksigen terlarut yang berasal dari Sungai Cicendo sampai di Waduk Cirata dengan pendekatan perubahan nilai

Tingginya kadar TN dan TP ini tidak terlepas dari aktivitas KJA yang sangat intensif di Danau Maninjau, yang membutuhkan pasokan pakan yang cukup besar untuk