IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN
INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR I
(IGF-1) PADA AYAM LOKAL DAN AYAM
BROILER DENGAN METODE PCR-RFLP
DEPARTEMEN PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
SKRIPSI
RINGKASAN
Suningsih. P. 2013. Identifikasi Keragaman Gen Insulin-Like Growth Factor I
(IGF-1) Pada Ayam Lokal Dan Ras Pedaging Dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pembimbing Utama :Dr. Ir. Sri Darwati, M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Harini Nurcahya M. M.Si.
Identifkasi keragaman gen perlu dilakukan pada k egiatan seleksi dengan metode genetika molekuler terkait dengan tingkat produksi ternak. Salah satu gen yang diduga memiliki pengaruh terhadap sifat pertumbuhan, dan produksi telur adalah gen Insulin –Like Growth Factor I (IGF-1). Adanya keragaman gen IGF-1 diharapkan dapat menjadi informasi dasar seleksi berdasarkan penciri DNA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen IGF-I serta untuk mengetahui adanya variasi gen pada beberapa ayam lokal dan ayam ras pedaging. Sampel yang digunakan sebanyak 100 sampel, sampel darah berasal dari ayam lokal dan ayam ras pedaging. Sampel terdiri dari 15 buah sampel ayam kampung, 16 buah sampel ayam kedu, 15 buah sampel ayam sentul, 15 buah sampel ayam pelung, 23 buah sampel ayam arab, dan 16 buah sampel ayam ras pedaging. Amplifikasi gen IGF-I dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction, sedangkan umtuk menentukan genotipe dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction- Restriction Fragment Length Polymorphism menggunakan enzim restriksi Pst-1 memotong situs CTG|CAG. Analisis yang digunakan adalah frekuensi genotipe, frekuensi alel, keseimbangan Hardy-Weinberg, heterozigositas, jarak genetik, dan pohon filogenik.
Amplifikasi gen IGF-I menghasilkan fragmen dengan panjang 621 bp. Terdapat dua tipe alel yang teridentifikasi, yaitu alel A (621 bp atau 600 621 bp), dan alel B (364 bp dan 257 bp), sehingga menghasilkan tiga genotipe yaitu AA (621 bp atau 600 bp), AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp dan 257 bp) dan BB (364 bp dan 257 bp). Frekuensi genotipe AA pada ayam kampung memiliki genotipe AA terbanyak dengan frekuensi gen sebesar 0,67; begitupun dengan ayam kedu, ayam sentul, ayam pelung dan ayam arab memiliki genotipe AA terbanyak dengan frekuensi masing-masing 0,69; 0,67; 0,60; 0,52. Ayam kampung memiliki alel A lebih banyak dibandingkan alel B dengan nilai frekuensi sebesar 0,83 begitupun dengan ayam kedu, sentul, pelung, broiler dan Arab dengan nilai frekuensi masing-masing 0.84, 0,83, 0,80, 0,59 dan 0, 696, dan dapat dikatakan bersifat polimorfik. Ayam kampung, kedu, sentul, pelung dan ras pedaging berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg karena X2 hitung lebih kecil dari X2 tabel. Ayam arab berbeda nyata karena nilai X2 hitung lebih besar dari nilai X2 tabel. Hal ini berarti tidak memenuhi keseimbangan hukum Hardy-Weinberg. Keenam jenis ayam tersebut memiliki keragaman gen yang rendah sehingga kurang beragam karena memiliki nilai heterozigositas dibawah 0,5. Hubungan kekerabatan yang paling dekat terdapat antara populasi ayam kedu dan ayam sentul sebesar 0,395, dan yang terjauh terdapat antara populasi ayam kampung dan ayam broiler yaitu sebesar 0,979.
ABSTRACT
Identification of The Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) Gen Polymorphism in Native Chicken and Broiler Chicken Using PCR-RFLP
Suningsih, P.E., Darwati, S., H. N. Mariandayani
Identification of gene diversity is closely related on production levels. One of the genes that suspected to have an influence on the nature of growth is the insulin-like growth Factor I (IGF-1). Restriction fragment length polymorphisms and polymerase chain reaction allows the identification of genetic diversity directly at the DNA level. This study aims to identify the diversity of IGF-1 and find out the variation of genes at several native chicken and broiler. Total number of samples were 100 heads from are
native chicken and broiler chicken. Native chicken that consists of four types : 15 kampoeng chickens, 16 kedu chickens, 15 sentul chickens and 15 pelung chickens, 23 arab chickens, and 16 broiler chickens. Using PCR-RFLP method by Pst1 restriction enzyme. Genotyping the IGF-1 gene resulted in two alleles, namely A and B, with three genotypes, namely AA, AB dan BB. The average frequency of the A allele followed by native chickens and broiler chickens was higher (0.68) than the B allele (0.32). AA genotype had the highedt average frequency (0.56) than the AB genotype (0.40) and the BB genotype (0.04). Chi-Square analysis showed that kampoeng chickens, kedu chickens, sentul chickens, pelung chickens, and broiler chickens were in Hardy-weinberg (HW) equilibrium (X2 < X2(0.05)), contrast to arab chickens (X2 > X2(0.05)). The
sixth type of chicken has a low heterozygosity values. The closest kinship exists between populations kedu chicken and chicken Sentul at 0.395, and the farthest are the populations of broiler chickens and that is equal to 0.979.
Keyword : native chickens, broiler chicken, IGF-I, genetic polymorphism
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN INSULIN-LIKE GROWTH
FACTOR I (IGF-1) PADA LOKAL DAN AYAM BROILER DENGAN METODE PCR RFLP
PIPIH SUNINGSIH EFFENDI D14086020
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN INSULIN-LIKE GROWTH FACTOR I
(IGF-1) PADA AYAM LOKAL DAN AYAM BROILER DENGAN METODE PCR-RFLP
Oleh :
PIPIH SUNINGSIH EFFENDI D14086020
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan komisi ujian lisan pada tanggal 2012
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Sri Darwati M. Si. NIP.19630928 198803 1 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Juli 1973 dari ayah yang
bernama H. Mahbub Effendi dan ibu bernama Ratna Suminar. Penulis merupakan
anak keempat dari lima bersaudara.
Pendidikan penulis dimulai dari TK Tunas Rimba Bogor dari tahun 1979
hingga tahun 1980. Selanjutnya penulis memulai pendidikan dasar pada SD Rimba
Putra Bogor pada tahun 1980 hingga tahun 1986. Penulis lulus Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama PGRI 3 Bogor pada tahun 1989. Selanjutnya penulis lulus Sekolah
Menengah Atas Negeri 6 Bogor pada tahun 1992.
Penulis melanjutkan pendidikannya pada jenjang perguruan tinggi pada tahun
1992 dengan terdaftar sebagai Mahasiswa Diploma pada Program Studi Teknisi
Usaha Ternak Unggas Jurusan Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Selama
menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dan kuliah
umum. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul ”Identifikasi Keragaman Gen Insulin-Like
Growth Factor I (IGF-1) pada Ayam Lokal dan Ayam Ras Pedaging dengan
KATA PENGANTAR Bismillaahirrohmaanirrohiim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, karuniaNya dan hidayahNya, sehingga penulis memperoleh
kemudahan dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, tiada daya dan upaya
kecuali atas kehendakNya. Sholawat dan salam senantiasa Penulis senandungkan
teruntuk nabi tercinta Rosulullah SAW. Skripsi yang berjudul “Identifikasi
Keragaman Gen Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) pada Ayam Lokal dan Ayam
Ras Pedaging dengan Metode PCR-RFLP” ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Ayam lokal merupakan ternak yang dibudidayakan oleh masyarakat
Indonesia karena pemeliharaannya sangat mudah, namun produktivitas ayam masih
belum banyak berkembang, sehingga belum dapat memenuhi kebutuhan di dalam
negeri sehingga harga jualnya relatif tinggi. Upaya dalam meningkatkan
produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi level DNA, salah satu cara yaitu
melalui teknik PCR-RFLP yang dapat mendeteksi keragaman gen yang terkait
dengan sifat ekonomis seperti sifat pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan menjadi studi awal untuk mengetahui keragaman gen
Insulin-Like Growth Factor I (IGF-1) dengan metode PCR- RFLP pada ayam lokal
dan ras pedaging sebagai informasi untuk seleksi berbasis molekuler pada ternak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi tetesan air dalam gelas
yang mampu melepaskan dahaga para pecinta molekuler dan berkontribusi positif
dalam kemajuan peternakan Indonesia. Amin.
Bogor, Januari 2012
DAFTAR ISI
Identifikasi Keragaman DNA dengan Metode PCR-RFLP ... 9
Elektroforesis ... 10 Restriction Fragment Length Polymorphism ……..……….. 12
Elektroforesis ... 12
Prosedur ... 13
Pengambilan Sampel Darah... 13
Ekstraksi DNA ... 13
Amplifikasi DNA ... 14
Elektroforesis Produk PCR ... 14
Genotiping ... 14
Analisa Data... 15
Frekuensi Genotipe ... 15
Frekuensi Alel………... 15
Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg ... 16
Derajat Bebas (Db) ... 16
Heterozigositas ... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
Amplifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) ... 17
Genotiping ... 20
Frekuensi Alel………. 20
Keseimbangan Hardy- Weinberg ... 22
Heterozigositas ... 23
Jarak Genetik dan Pohon Filogenetik ... 24
KESIMPULAN DAN SARAN ... 26
Kesimpulan ... 26
Saran ... 26
DAFTAR PUSTAKA ... 27
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sampel Darah Ayam yang Digunakan dalam Penelitian ... 11
2. Hasil Identifikasi Genotipe Gen IGF-I pada Ayam ... 20
3. Frekuesi Genotipe dan Frekuensi Alel IGF-1 pada Ayam ... 21
4. Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan Uji Chi Kuadrat
(X2) pada Setiap Jenis Ayam... 22 5. Nilai Heterozigositas Harapan (h) Alel IGF-1 pada Setiap Jenis Ayam .. 23
6. Jarak Genetik pada Ayam Lokal dan Ayam Broiler ... 24
Nomor Halaman
1. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gas Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) Sepanjang 621 bp pada Gel agarose 1,5%. M (Marker)
dan 1-5 (Sampel) Ayam Lokal, (Sampel Ayam Broiler)…………... 18
2. (IGF-1) pada Gel Agarose 2% dengn Genotipe AA (621 bp atau 600 bp) AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp, 257 bp) BB (364 bp, 257 bp), M (Marker) 1 dan 9 (Sampel Ayam Kedu), 2 dan 10 (Sampel Ayam Sentul), 3. 7. 8 dan 11 (Sampel Ayam Broiler), 12-14 (Sampel Ayam Kmpung)... 19
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan Frekuensi Alel………... 31
2. Perhitungan Frekwensi Genotipe……… 31
3. Perhitungan Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg ……….. 32
4. Perhitungan Heterozigositas………... 32
5. Perhitungan Standard Eror………. 33
6. Perhitungan Jarak Genetik... 34
7. Perhitungan Gen IGF-1 pada Ayam... 35
8. Metode Analisis Ekstraksi DNA... 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ayam lokal merupakan salah satu sumberdaya genetik ternak lokal di
Indonesia. Perkembangan ayam lokal di Indonesia merupakan ayam yang diawali
proses domestikasi dimulai sehingga menjadi ayam lokal saat ini dan dikenal sebagai
ayam asli atau native chicken. Penyebaran ayam lokal merata di seluruh pelosok
Indonesia dan kehidupannya telah menyatu dengan masyarakat pedesaan sehingga
ayam lokal mempunyai peranan yang cukup penting bagi masyarakat, seperti untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, sumber protein, dan hobi. Hal ini disebabkan ayam
lokal atau buras memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kemampuan
bertahan hidup dalam kondisi kualitas pakan yang rendah, berkembang biak dengan
baik serta tahan terhadap penyakit. Diantara ayam-ayam lokal ini ada beberapa jenis
yang cukup dikenal masyarakat Indonesia dan memiliki karakteristik yang berbeda
antara lain ayam kampung, ayam kedu, ayam sentul, dan ayam pelung.
Ayam lokal di Indonesia mempunyai keunikan dan keanekaragaman yang
dicirikan oleh fenotipe yang beragam. Informasi dasar meliputi ciri spesifik,
asal-usul, performans, dan produktifitas ayam lokal diperlukan dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan ayam lokal di Indonesia serta menjadikan ayam lokal
Indonesia lebih dikenal, dikembangkan, juga dilestarikan sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan. Upaya untuk meningkatkan produktivitas ayam
lokal agar berkelanjutan adalah dengan melakukan seleksi dan persilangan.
Kemajuan teknologi bidang genetika molekuler memungkinkan seleksi dilakukan
pada tingkat DNA.
Pemanfaatan ayam lokal sebagai penghasil daging dan telur agar lebih efektif
diperlukan penanda genetik. Penanda genetik merupakan suatu teknik yang
digunakan dalam genetika modern sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi genotip
suatu individu atau sample yang diambil dari hewan tersebut. Salah satu penanda
genetik yang berkaitan dengan sifat ekonomis yaitu gen IGF-I. Growth hormone
(GH) dan Insulin-like growth factor-I (IGF-I) adalah hormon yang berperan penting
(gen pertumbuhan) secara langsung maupun melalui IGF-1 menstimulir
proses-proses anabolik, sepertipembelahan sel, pertumbuhan tulang, dan sintesis protein.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen IGF-I serta
untuk mengetahui adanya variasi gen pada beberapa ayam lokal dan ayam ras
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Lokal
Ayam lokal yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia memiliki
beberapa rumpun dengan karakteristik morfologis yang berbeda dan khas
berdasarkan daerah asal. Sampai saat ini telah diidentifikasi sebanyak 31 rumpun
ayam lokal, yaitu ayam kampung, pelung, sentul, wareng, lamba, ciparage, banten,
nagrak, rintit/walik, siem, kedu hitam, kedu putih, cemani, sedayu, Olagan, Nusa
Penida, Merawang/Merawas, Sumatra, Balenggek, Melayu, Nunukan, Tolaki, Maleo,
Jepun, Ayunai, Tukung, Bangkok, Brugo, Bekisar, Cangehgar/Cukir/Alas dan
Kasintu (Nataamijaya, 2000). Ayam Indonesia termasuk dalam Phylum Chordata,
Subphylum Vertebrata, Class Aves, Subclass Neornithes, Ordo Galliformes, Genus
Gallus, Spesies Gallus gallus (Suprijatna et al., 2005).
Ayam di dunia berasal dari daerah Selatan India, pegunungan Himalaya,
Assam, Burma, Ceylon, dan beberapa daerah di pulau Sumatra dan Jawa. Empat
spesies tersebut adalah (1) Gallus gallus atau Gallus bankiva (Ayam Hutan Merah),
(2) Gallus lafayetti (Ayam Hutan Ceylon), (3) Gallus sonneratii atau ayam Hutan
Abu-abu dan (4) Gallus varius (Ayam Hutan Jawa) (Crawford, 1990).
Ayam lokal Indonesia selain dipelihara sebagai ayam pedaging dan petelur
juga merupakan hewan kesayangan yang bermanfaat sebagai penghias halaman,
aduan, keperluan ritual atau sebagai pemberi kepuasan melalui suara kokok yang
merdu. Informasi dasar meliputi ciri spesifik, asal usul, performa dan produktivitas
diperlukan sebagai sumber daya genetik ternak ayam lokal lebih dikenal dan lebih
dikembangkan secara berkelanjutan (Sulandari et al., 2007).
Ayam Kampung
Nataamijaya (2000) menyatakan bahwa ayam kampung merupakan ayam asli
Indonesia yang hampir dapat ditemukan di seluruh daerah di Indonesia. Ayam ini
termasuk dalam 31 galur ayam lokal. Genus dari ayam Kampung adalah Gallus
gallus dan spesies dari ayam ini adalah Gallus domesticus (Brakeyl dan Bone, 1985).
Fenotipe ayam kampung masih bervariasi seperti warna bulu yang masih
(Sulandari et al., 2007). Bentuk jengger ayam kampung juga bervariasi yaitu
tunggal, rose, pea, walnut (Sulandari et al. 2007).
Nataamijaya (2005) menyatakan bahwa rataan bobot badan ayam kampung
2.405,141 ± 151,510 g (jantan) dan 1.650,00 ± 124,31 g (betina). Panjang shank
ayam Kampung jantan adalah 26,30 ± 1,73 cm dan betina adalah 20,04 ± 1,56 cm.
Panjang leher ayam kampung jantan adalah 19,12 ± 1,40 cm dan betina 21,01 ± 0,92
cm. Panjang tulang punggung ayam kampung jantan 22,40 ± 2,16 cm dan betina
adalah 22,34 ± 2,47 cm. Nugraha (2007) menyatakan bahwa tulang femur pada
jantan ayam kampung adalah 102,29 ± 6,45 mm; sedangkan pada betina adalah 83,48
± 3,79 mm. Panjang tibia jantan adalah 152,95 ± 10,24 mm; sedangkan betina
123,14 ± 5,92 mm. Panjang shank pada jantan adalah 110,04 ± 9,11 mm; sedangkan
betina 85,81 ± 4,82 mm. Lingkar shank pada jantan adalah 53,29 ± 7,44 mm;
Ayam kedu terdiri dari tiga jenis yaitu ayam kedu putih, ayam kedu lurik atau
blorok, dan ayam kedu hitam (Santoso, 1989). Namun demikian hanya ayam kedu
hitam yang kini banyak dijumpai. Menurut Sarwono (1989) ayam kedu menjadi
popular untuk pertama kali pada tahun 1926 yakni pada saat diselenggarakan kontes
ayam di pekan raya Semarang. Ayam kedu tersebut diduga merupakan hasil
persilangan liar antara ayam Inggris (Australorp hitam) yang dibawa orang pada
jaman Raffles (1811-1816) dengan ayam kampung sekitar tempat peristirahatan
Dieng. Selanjutnya ditegaskan juga bahwa sekarang yang disebut sebagai ayam
kedu adalah ayam lokal yang terdapat dan berasal dari desa Kedu, Kecamatan Kedu,
Kabupaten Temanggung. Menurut Santoso (1989) penyebaran ayam kedu kini telah
mencakup daerah yang luas, hampir di semua kota besar di Jawa seperti Semarang,
5 Ayam kedu hitam memiliki warna bulu hitam mengkilat bercahaya hijau
seperti kumbang sedangkan kulitnya berwarna kuning dengan balung tunggal. Pial,
balung, dan cupingnya pada masa kecil berwarna hitam dan setelah berumur enam
bulan warna pial, balung dan cupingnya berubah menjadi merah pada yang jantan
dan tetap hitam pada yang betina (Hardjosubroto, 1977; Sarwono, 1989).
Keanekaragaman warna bulu pada ayam kedu pada masa kecil, setelah terjadi rontok
bulu sebagian besar berubah menjadi warna hitam atau terdapat warna hitam. Kaki,
kuku, dan paruh pada ayam kedu berwarna hitam (Sarwono, 1994).
Ayam kedu dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu ayam kedu tipe dwiguna
(pedaging dan petelur), ayam kedu tipe petelur, dan ayam kedu tipe sabung (khusus
untuk ayam kedu jantan) (Sarwono, 1989), Nataamijaya (1994) menyatakan bahwa
rataan bobot badan ayam kedu hitam pada umur 16 minggu adalah 1.060,8 g.
Ayam Sentul
Ayam sentul merupakan ayam lokal di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Ayam
sentul dipelihara secara semi intensif dan dapat dijadikan komoditas untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat Ciamis (Iskandar et al., 2004). Dijelaskan
pula bahwa kepemilikan ayam sentul per kepala keluarga relatif sedikit meskipun
ayam ini tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten Ciamis.
Ciri khas ayam sentul adalah warna yang didominasi oleh warna abu-abu baik
pada jantan maupun betina. Intensitas warna abu-abu pada betina bervariasi dari abu
kehitaman, abu-abu tua, abu-abu muda, dan sedikit warna coklat pada dada tetapi
Menurut Nataamijaya (1993) produksi telur ayam sentul berkisar antara 10-18 butir
per periode bertelur. Widjastuti (1996) menyatakan bahwa fertilitas telur ayam
kandang cage dan 79% pada kandang litter, sedangkan daya tetas telur ayam sentul
sebesar 68,41% pada kandang cage dan 67,13%.
Ayam Pelung
Ayam pelung adalah ayam lokal khas Cianjur, Jawa Barat yang mempunyai
potensi sebagai ayam penyanyi dan pedaging (Sulandari et al., 2007). Ayam pelung
memiliki sosok tubuh yang besar dan tegap, kaki yang panjang, kuat serta paha
kehijauan, serta warna hitam serta bertipe liar banyak ditemukan di daerah pedesaan.
Ayam pelung jantan memiliki suara khas yang panjang dan merdu serta pada ayam
betina merupakan pedaging unggul.
Nilai ekonomis (harga jual) ayam pelung yang tinggi karena kualitas suara
kokok pada jantan. Beberapa kriteria penilaian suara dilakukan berdasarkan durasi,
volume, kejernihan, irama, dan keras suara (Nataamijaya, 2005). Kualitas dan
panjang suara kokok ayam pelung jantan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
genetik, cara pemeliharaan, dan perawatan, kondisi kesehatan serta jenis pakan yang
diberikan. Rusdin (2007) menyatakan bahwa ayam pelung jantan yang mempunyai
suara jelek dijadikan sebagai ayam pedaging. Produksi telur ayam pelung adalah
39-68 butir/tahun atau sekitar 13-17 butir/periode bertelur. Ayam pelung mulai bertelur
antara umur 6-7 bulan. Bobot telur ayam pelung adalah 40-50 g/butir.
Ayam Ras Pedaging (Broiler)
Ayam ras mulai dikembangkan di Indonesia sebagai ayam yang mempunyai arti
ekonomi pada tahun 1968 dengan mengimpor bibit parent stock layer dan parent
stock broiler pada tahun 1974 yang kemudian digandakan untuk mendapat galur
7 bahwa ayam ras pedaging atau petelur yang dipasarkan berupa ayam final stock yang
dihasilkan melalui dua tahapan yaitu proses riset genetik dan proses multifikasi.
Kedua hal tersebut dimasukan dalam program pembibitan ayam yang mempunyai
klasifikasi pelaku usaha yaitu pure line stock, foundation s tock, grand parent stock,
foundation stock, dan final stock. Proses riset genetik biasa dilakukan oleh
perusahaan grandparent stock, parent stock, dan final stock.
Galur-galur baru yang merupakan hasil karya seorang pembibit mempunyai
fungsi yang khas dan membawa nama perdagangan seperti Hyline, Harco, Starco,
Babcock, Cobb, Golden Commet, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai
fungsi sebagai ayam tipe petelur, tipe pedaging atau tipe dwiguna. Ayam-ayam
tersebut dihasilkan dari ayam-ayam murni yang telah diakui oleh American Poultry
Association (APA) seperti Single Rhode Island Red, New Hampshire, dan Australop
(Astuti, 1994).
Ayam Arab
Ayam arab yang berkembang di Indonesia ada dua jenis yaitu ayam Arab
Silver dan Golden Red ( ayam Arab Merah), tetapi yang lebih dikenal di masyarakat
adalah ayam arab Silver (Pambudhi, 2003). Ayam Arab Silver diduga merupakan
hasil persilangan antara pejantan ayam Arab yang asli (Silver Braekels) dengan ayam
betina lokal. Asal usul ayam Golden Red terdiri atas dua versi yang pertama yaitu
ayam ini diduga hasil persilangan antara ayam arab Silver jantan (Silver Braekels)
dengan ayam ras betina petelur merah (Leghorn), versi yang kedua menyatakan
bahwa ayam arab Golden Red diduga merupakan hasil persilangan antara ayam Arab
Silver jantan dengan ayam Merawang betina. Ayam arab Silver mempunyai bulu
berwarna putih di kepala dan lehernya dengan padanan totol-totol hitam. Ayam arab
Golden Red memiliki bulu berwarna kuning keemasan di bagian leher dan terdapat
totol-totol hitam di sekitar sayap dan paha.
Seleksi
Seleksi merupakan suatu proses dalam memilih individu dari suatu populasi
untuk dijadikan tetua (induk) bagi generasi berikutnya. Salah satu upaya yang dapat
dan persilangan. Kemajuan teknologi bidang genetika molekuler memungkinkan
seleksi dilakukan pada tingkat DNA.
Identifikasi keragaman DNA yang terkait dengan sifat kuantitatif dapat
dijadikan dasar untuk menerapkan program Marker Assisted Selection (MAS)
(Montaldo et al., 1988). Upaya seleksi pada tingkat DNA memiliki keakuratan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan seleksi secara konvensional yang melihat dari segi
fenotipik dan melalui ukuran tubuh (morfometrik).
Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
Insulin-like growth factor-1 pada ayam merupakan protein yang tersusun atas
70 asam amino (Ballard, et al., 1990). Hormon IGF-1 pada ayam disandi oleh
sebuah gen yang terletak pada kromosom 1 dekat dengan sentromer (Klein et al.,
1996).
Kajimoto dan Rotwein (1991) menemukan bahwa gen IGF-1 pada ayam
terdiri dari empat exon dan tiga intron dan panjangnya lebih dari 50 kb. Dalam gen
terdapat tujuh daerah yang mengandung elemen berulang (repetitive element).
Ekstrasi DNA
DNA merupakan molekul yang terdapat dalam inti sel dan diwariskan kepada
keturunannya. DNA dapat diisolasi dari berbagai jaringan mahluk hidup yang
memiliki inti dengan tingkat kesulitan yang berbeda (Sambrook et al., 1989).
Ekstrasi DNA yang paling umum dilakukan adalah dengan mengekstranya
dari darah karena dalam darah terdapat sel darah putih yang mengandung inti.
Kemudahan penyediaan sampel serta prosedur isolasi yang menjadi pertimbangan
dalam penggunaannya membuat sampel darah banyak digunakan dalam ekstrasi
DNA (Benyamin, 1999).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan unuk mengetahui dan
melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus.
Pengetahuan akan keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi
keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al.,
9 Hukum Hardy-Weinberg menyatakan frekuensi genotip suatu populasi yang
cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi migrasi,
mutasi dan genetic drift, selain itu juga silang dalam dan silang luar juga dapat
mempengaruhi frekuensi genotip (Noor, 2000).
Nei (1987), menyatakan bahwa derajat heterozigositas merupakan rataan
persentase lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu
heterozigot dalam populasi. Avise (1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi
derajat heterozigositas suatu populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan
semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari
silang dalam dan fragmenasi populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal
semakin meningkat frekuensinya.
Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kuantitatif
biasa diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus
polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap
lokus (Nei, 1987). Polimorfisme genetik dalam suatu populasi dapat digunakan
dalam menemukan hubungan antar subpopulasi yang terfregmentasi dalam suatu
spesies (Hartl dan Carlk, 2000). Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat
diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel diantara
subpopulasi (Li et al., 2000)
Identifikasi Keragaman DNA dengan Metode PCR-RFLP
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu reaksi in-vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut dengan
bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu thermocycler
(Muladno, 2002). Bahan dasar reaksi PCR adalah DNA target yang akan
diamplifikasi, pasangan primer, buffer PCR, MgCl2, dNTP, dan enzim DNA
polymerase. Umumnya, enzim polymerase yang dipakai berasal dari bakteri yang
mampu hidup pada suhu tinggi, diantaranya adalah Thermus aquticus (Taq DNA
poltmerase), pycoccus woese (Pwo DNA polymerase), dan Thermus thermophilus
(Tth DNA polymerase) (Viljoen et al., 2005).
Secara ringkas, PCR terdiri atas tiga tahapan yaitu denaturasi, penempelan
disebut sebagai satu siklus (Muladno, 2002). PCR pada umumnya terdiri atas 25-30
siklus. Pada tahap denaturasi, DNA dipanaskan hingga 94 oC sehingga DNA untai ganda terpisah menjadi DNA untai tunggal. Tahap penempelan primer adalah
tahapan yang paling menentukan, karena tiap pasang primer memiliki suhu
penempelan yang spesifik. Tahap ekstensi/elongasi/pemanjangan primer terjadi pada
suhu 72 oC. Pada tahapan ini, enzim Taq polymerase. Buffer PCR, dNTP, dan Mg2+ memulai aktifitasnya memperpanjang primer (Viljoen et al., 2005).
Restriction Fragment Length Polymorphism atau RFLP merupakan suatu
teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi keragaman DNA dengan
mengaplikasikan enzim restriksi spesifik pada untaian DNA. Teknik ini sangat
akurat untuk mengenali keragaman pada daerah pengenalan dan pemotongan enzim
restriksi (Viljoen et al., 2005). Passarge (2001) menyatakan bahwa pada setiap 100
pasang basa (pb.) sekuen DNA, terdapat perbedaan pada beberapa basa yang dapat
menyebabkan adanya keragaman DNA (DNA polymorpfism). Sebagai akibatnya,
daerah pengenalan dan pemotongan oleh suatu enzim restriksi dari satu individu
dapat berbeda dengan individu lainnya, sehingga panjang pita DNA hasil potongan
enzim restriksi dapat berbeda ukuran (Restriction Fragment Length Polymorphism,
RFLP).
Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul seluler berdasarkan
ukurannya. Elektroforesis menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu
medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat
digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul,
misalnya DNA yang bermuatan negatif (Yuwono, 2008).
Hasil analisis dapat dilihat melalui proses elektroforesis, gel merupakan
komponen bahan kimia terpenting dalam proses elektroforesis (Muladno, 2002)
Keseimbangan Hardy-Weinberg (HW)
Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam
populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak, yang bebas dari faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian proses evolusi seperti mutasi, migrasi dan
11 Suatu populasi dikatakan seimbang jika nilai λ2 yang didapatkan lebih kecil
dari λ2 tabel pada selang kepercayaan 5% dan derajat bebas tertentu. Nilai Chi-Kuadrat (λ2) hitung yang lebih kecil dari nilai Chi-Kuadrat (λ2) table juga
dapat dikatakan bahwa hasil perkawian antar individu dari setiap bangsa tersebut
berada pada keseimbangan (Nei, 1987). Menurut Noor (2008) suatu populasi yang
ccukup besar berada dalam keadaan keseimbangan Hardy-Weinberg jika frekuensi
genotip dominan dan resesif konstan dari generasi ke generasi, tidak ada seleksi,
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium
Molekuler Bagian Genetika dan Pemuliaan Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilakukan selama lima bulan dari bulan Pebruari 2012 sampai bulan Agustus 2012
Materi Sampel
Jumlah sampel darah ayam yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak
100 sampel. Sampel darah berasal dari ayam lokal dan ayam ras pedaging yang
dipelihara di Laboratorium Lapang Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah sampel darah ayam lokal dan ayam ras
pedaging yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Sampel Darah Ayam yang Digunakan dalam Penelitian ini
Primer
Primer adalah molekul pendek utas tunggal DNA yang akan menempel pada
DNA cetakan pada tempat yang spesifik. Sekuen primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I) berdasarkan primer yang
digunakan oleh Mu’in (2008) yaitu : IGF-IF’: 5’
-GAC-TAT-ACA-GAA-AGA-ACC-CAC-3’ dan IGF-IR’: 5’-TAT-CAC-TCA-AGT-GGC-TCA-AGT-3’.
No. Jenis Ayam Jumlah Sampel darah ( ekor)
1. Ayam Ras Pedaging 16
2. Ayam Kampung 15
3. Ayam Kedu 16
4. Ayam Sentul 15
5. Ayam Pelung 15
6. Ayam Arab 23
12
Ekstraksi DNA
Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah DW (Destilation
Water), SDS 10% (Sodium Dodecyl Sulfate), Proteinase-K, STE (Sodium
Tris-EDTA), Phenol, CIAA (Chloroform iso amil alkohol), NaCl (Natrium chloride), dan
Ethanol. Alat yang digunakan tabung ependorf 1,5 ml, Vortex mixer, Rak tabung
ependorf, Refrigerated microcentrifuge, autoclave, pipetor atau pitman untuk (20
µl-1000 µl) dan (20 µl-200 µl), inkubator, sarung tangan, dan kotak penyimpan sample.
Amplifikasi DNA dengan Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
Bahan-bahan yang digunakan dalam PCR-RFLP adalah air bebas ion steril,
sampel DNA, buffer, MgCl2, pasangan primer, enzim taq dan dNTP dan enzim
retriksi PstI. Alat yang digunakan satu set pipet mikro dan tipnya, alat sentrifugasi,
tabung PCR, vortex, dan refrigerator.
Elektroforesis
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan gel agarose adalah agarose,
0,5XTBE, EtBr (Ethidium bromide). Alat yang digunakan horizontal agarose gel
electhrophoresis (MUPID), sisir pembentuk sumur, power supply 100 volt, pipetor
atau pipetman (1 µl-10 µl), tip pipet warna kuning dan putih, alat timbang, dan
plastik.
Genotyping
Bahan-bahan yang digunakan yaitu loading dye (bromthymol blue 0,01%,
xylene cyanol 0,01%, dan gliserol 50%) dan untuk membuat 1 lembar gel agarose
2% adalah sebagai berikut : agarose 0,6 g; 0,5xTBE 30 ml; 2,5 µl EtBr. Alat-alat
yang digunakan adalah microwave, stirrer, magnet stirrer, gelas ukur, tabung
erlenmeyer, gel tray, pencetak untuk sumur (comb), power supply 100 volt, gelas
Prosedur Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil dari ayam secara langsung dengan menggunakan spuit
dari bagian vena pangkal sayap. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung yang
berisi EDTA atau Ethanol 70% untuk mencegah terjadinya penggumpalan sekaligus
mengawetkan sampel darah tersebut. Sampel disimpan pada suhu ruang sampai akan
digunakan lebih lanjut.
Ekstraksi DNA
Ektraksi DNA dilakukan secara konvensional mengikuti metode Sambrook
et al. (1989). Pengambilan sampel darah sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam
ependorf baru. Penambahan DW sebanyak 1.000 µl ke dalam sampel lalu dikocok
menggunakan vortex sampai tersuspensi dengan sempurna dan disentrifugasi dengan
kecepatan 8.000 rpm selama 5 menit. Bagian supernatan dibuang kemudian
ditambahkan DW sebanyak 1.000 µl ke dalam sampel lalu disentrifugasi dengan
kecepatan dan waktu yang sama seperti sebelumnya dan supernatan yang tersisa
dibuang.
Pelisisan Sel. Sampel dilisis dengan menambahkan 40 µ l 10% SDS (sodium dodesil sulfat) , 10 µl proteinase-K dan 1 x STE (sodium tris-EDTA) sampai 400 µl.
Campuran diinkubasi pada suhu 55 oC selama 2 jam sambil dikocok pelan menggunakan alat pemutar (tilting).
Pemisahan DNA. Molekul DNA dimurnikan dengan metode phenol-chloroform yaitu dengan menambahkan 40 µl 5 M NaCl dan 400 µl larutan phenol
dan CIAA (chloroform-isoamil-alkohol), kemudian dikocok pelan (tilting) pada suhu
ruang selama 2 jam.
Pemurnian DNA. Molekul DNA yang larut dalam fase air dipisahkan dari fase phenol dengan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit.
Molekul DNA dipindahkan ke dalam tabung baru sebanyak 400 µl dan ditambahkan
800 µl etanol absolut dan 40 µl 5 M NaCl. Molekul DNA kemudian disimpan
dalam freezer semalam (24 jam) pada suhu -20 oC. Molekul DNA disentrifugasi
dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian supernatan yang diperoleh
14 µl ETOH 70% kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit.
Sisa etanol setelah dibuang kemudian diuapkan dalam ruang terbuka. Endapan DNA
kemudian disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA).
Amplifikasi DNA
Perbanyakan gen IGF-I yang diapit oleh primer forward dan reverse secara in
vitro dilakukan menggunakan mesin Applied Biosystem PCR Thermacycler.
Pereaksi untuk amplifikasi DNA secara umum dilakukan menggunakan campuran
yang terdiri dari 1 µl sampel DNA yang telah diekstraksi dari darah sebelumnya
dengan metode ekstraksi Sambrook et al. (1987), 0,3 µl primer (forward dan
reverse), 0,05 µl taq polimerase, 1,5 µl buffer, 0,5 µl MgCl2 dan 0,3 µl dNTP.
Proses amplifikasi yang terjadi pada mesin Applied Biosystem PCR Thermal Cycler
ini berlangsung dalam empat tahap. Tahap pertama adalah denaturasi awal 95 oC selama lima menit. Tahap kedua merupakan 35 siklus amplifikasi yang terdiri dari
denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik. Penempelan (annealing) primer pada suhu 55 oC selama 45 detik dan pemanjangan (elongasi) molekul DNA pada suhu
72 oC selama satu menit. Tahap ketiga adalah pemanjangan (elongasi) akhir molekul
DNA pada suhu 72 oC selama lima menit.
Elektroresis Produk PCR
Elektroforesis produk PCR dilakukan menggunakan 2 µl produk PCR pada
gel agarose 1,5% dengan tegangan 150 volt selama 60 menit. Gel dibuat dengan
cara mencampurkan agarose 0,45 g, 0,5 TBE 30 ml dan 2,5 µl EtBr. Sebanyak 2 µl
produk PCR dicampur dengan loading dye (bromthymol blue 0,01%, Xylene cyanol
0,01% dan gliserol 50%) . Setelah elektroforesis selesai gel agarose diambil untuk
dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan UV-Transilluminator.
Genotiping
Produk PCR yang telah dielektroforesis sebanyak 2 µl didistribusikan ke
dalam tabung 0,5 ml yang ditambahkan 1 µl DW; 0,3 µl enzim restriksi PstI; 0,7 µl
buffer RE. Campuran tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37 oC selama 16 jam. Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dielektroforesis
pada gel agarose 2% dengan tegangan 100 volt selama 30 menit. Setelah proses
Pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjang
pitanya. Setiap pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan
genotipe pita DNA. Satu posisi migrasi yang sama dianggap sebagai satu tipe atau
satu alel DNA.
Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari migrasi pita-pita
DNA hasil pemotongan enzim restriksi. Masing-masing sampel dibandingkan
berdasarkan ukuran (marker) yang sama dan dihitung frekuensi genotipenya.
Frekuensi genotipe dengan dihitung merujuk pada rumus Nei dan Kumar (2000) :
Xii = nii
Frekuensi alel merupakan rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada
suatu lokus dalam populasi. Alel masing-masing alel setiap lokus dihitung
berdasarkan rumus Nei (1987).
16
Uji Keseimbangan Hardy-Weinberg bertujuan untuk mengetahui apakah
suatu populasi berada dalam keseimbangan. Keseimbangan Hardy-Weinberg
dilakukan dengan pengujian Chi-Kuadrat berdasarkan (Nei dan Kumar, 2000).
Keterangan:
bebas dihitung berdasarkan Allendrof dan Luikart (2007) dengan menggunakan
rumus :
Db = (Genotipe-1) – (Alel-1)
Heterozigositas
Heterozigositas digunakan untuk menentukan keragaman alel pada sampel
DNA jenis ayam ras dan ayam bukan ras. Nilai hetrozigositas dapat dihitung
Keterangan:
H Xi
Q = = =
Nilai heterozigositas
Frekuensi alel ke-i
Jumlah alel
Jarak Genetik dan Pohon Filogenetik
Jarak Genetik dan pohon kekerabatan dibuat dengan metode UPGMA
menurut Nei (1972).
Dn = DXY - ( DX (m) + DY (m) )/2
D = - log I
Keterangan :
Dn = Jumlah frekuensi alel
DXY = Jumlah frekuensi alel Individu x dan y
DX = Frekuensi alel x
DY = Frekuensi alel y
D = Jarak genetik
Ampifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
Hasil amplifikasi gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) sepanjang 621
bp pada gel agarose 1.5% disajikan pada Gambar 1.
M 1 2 3 4 5 6
Gambar 1. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) Sepanjang 621 bp pada Gel Agarose 1,5%. M (Marker) dan 1 - 5 (Sampel Ayam Lokal), 6 (Sampel Ayam Broiler).
Keberhasilan amplifikasi sebanyak 100 sampel dari 120 sampel atau sebesar
83,33%. Ketidakberhasilan ampilifikasi pada penelitian ini disebabkan DNA yang
terambil dari sampel tidak mencukupi keberhasilan amplifikasi, sampel yang sudah
didistribusi terlalu lama disimpan dalam refrigerator, saat mencampur tidak sesuai
dengan prosedur, konsentrasi enzim yang berlebihan, dan melakukan elektroforesis
hasil PCR yang sudah lama disimpan. Menurut Muladno (2002), denaturasi yang
tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai
ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagal pada proses amplifiikasi,
selain itu konsentrasi enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA
pada sekuens yang bukan target. Suhu annealing (penempelan primer) pada
penelitian ini adalah 55 oC. Menurut Muladno (2002), suhu penempelan primer 621 bp
500 bp
300bp
(annealing) berkisar antara 36 oC sampai dengan 72 oC, namun suhu yang biasa digunakan 50-60 oC. Kondisi ini berbeda dengan suhu penempelan primer yang dilakukan oleh Muin (2009) yaitu 60 oC, ini disebabkan perbedaan sampel DNA ayam lokal yang digunakan berbeda letak geografisnya. Suhu annealing
merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer yang digunakan pada titik
pemotongan DNA selama proses amplifikasi berlaku. Konsentrasi pereaksi pada
penelitian ini dilakukan dengan tepat sesuai prosedur yang sudah dilakukan di
laboratorium genetika molekuler. Ini sesuai dengan pernyataan Viljoen et al.
(2005), bahwa keberhasilan amplifikasi gen sangat tergantung pada interaksi
komponen pereaksi PCR dalam konsentrasi yang tepat.
Pemotongan fragmen tersebut dilakukan dengan menggunakan enzim
restriksi Pst-I dan enzim ini memotong situs ctg|cag. Fragmen DNA spesifik yang
mengandung SNP (single nucleotide polymorphism) pada ayam-ayam penelitian
telah berhasil diamplifikasi. Mutasi yang terjadi pada fragmen gen IGF-1|Pst-1
adalah mutasi substitusi tipe tranversi yaitu terjadi perubahan basa pirimidin (T-C)
berubah menjadi basa purin (A-G). Menurut Lie et al. (2008), bahwa mutasi titik
yang terdapat di dalam fragmen DNA spesifik dari gen IGF-I tersebut disebabkan
adanya substitusi (transversi) sebuah nukleotida cytosine (C) dengan thymine (G),
dan dapat dideteksi menggunakan Pst-I. Mutasi titik yang terdapat di dalam
fragmen DNA spesifik dari gen IGF-I tersebut disebabkan adanya substitusi
(transversi) sebuah nukleotida cytosine (C) dengan thymine (G), dan dapat dideteksi
menggunakan Pst-I. Mutasi ini bersifat non-synonimus atau mutasi yang
menyebabkan hasil pemotongan fragmen gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
oleh Pst-I pada gel agarose 2% disajikan seperti pada Gambar 2.
Penelitian ini menghasilkan tiga macam genotip yaitu AA, AB, dan BB.
Pada ayam lokal (ayam kampung, sentul, kedu, dan pelung) dapat diidentifikasi
sebagai genotipe AA pada lokus IGF-1|Pst-I apabila terdapat satu fragmen (pita)
DNA dengan panjang 621 bp atau 600 bp dan genotipe BB ditunjukkan dengan
terdapatnya satu fragmen DNA dengan panjang basa sebesar 257 bp, sedangkan
pada ayam arab dapat diidentifikasi genotipe AB dengan adanya dua fragmen (pita)
DNA yang memiliki panjang basa sebesar 621 bp atau 600 bp dan 364 bp. Ayam
19 dengan terdapatnya dua fragmen (pita) yaitu 621 bp atau 600 bp dan 364 bp.
Individu yang bergenotipe AA dan BB dikenal sebagai individu yang heterozigot.
Ayam lokal dan ayam broiler yang bergenotipe AA dan BB berarti bahwa
kedua tetua masing-masing menyumbangkan gen (alel) yang sama. Ayam lokal dan
ayam broiler dengan genotipe heterozigot (AB) bahwa ternak tersebut memiliki
kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetuanya.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
M AB AB AB AB BB AB AB AB AA AA AA AB AA AB
Gambar 2. Visualisasi Hasil PCR-RFLP pada Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) pada Gel Agarose 2% dengan Genotipe AA (621 bp atau 600 bp), AB (621 bp atau 600 bp, 364 bp, 257 bp), BB (364 bp, 257 bp). M (Marker), 1 dan 9 (Sampel Ayam Kedu), 2 dan 10 (Sampel Ayam Sentul). 3,7,8 dan 11 (Sampel Ayam Broiler), 12-14 (Sampel Ayam Kampung).
400 bp
300 bp
200 bp
100 bp 500 bp
621 bp
600 bp
364 bp
Genotiping
Hasil identifikasi Genotipe gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) pada
ayam lokal dan ayam broiler disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Identifikasi Genotip Gen IGF-1 pada Ayam
No. Jenis Sampel Jumlah Ge Genotipe (n)
Berdasarkah hasil identifikasi genotipe gen Insulin-like Growth Factor-1
(IGF-1) pada ayam lokal (ayam kampung, kedu, sentul dan pelung) ditemukan dua
macam genotipe yaitu AA dan AB, sedangkan pada ayam arab dan ayam broiler
ditemukan tiga macam genotipe yaitu AA, AB, dan BB. Ini sesuai dengan hasil
penelitian Muin (2009) bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen IGF-I| Pst-1 pada ayam
lokal menghasilkan tiga genotipe AA, AB, dan BB. Hasil identifikasi pada
penelitian ini bahwa genotipe AA pada ayam lokal memiliki persentase sebesar
61,90%, hal ini menunjukkan bahwa genotipe AA persentasenya lebih besar
dibanding genotip AB dan BB, sedangkan pada ayam broiler genotip AB memiliki
persentase lebih besar dibanding genotipe AA dan BB sebesar 68,75%.
Frekuensi Alel
Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe AA
memiliki nilai yang paling besar diantara frekuensi genotipe yang lain pada kelima
jenis ayam kecuali pada ayam broiler bahwa frekuensi genotipe AA memiliki nilai
terendah diantara genotipe yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nagaraja et
21 pada bangsa ayam eksotik broiler. Frekuensi genotipe AA pada ayam kampung
genotipe AA terbanyak dengan frekuensi gen sebesar 0,67; begitu juga dengan ayam
kedu, ayam sentul, ayam pelung dan ayam arab memiliki genotipe AA terbanyak
dengan frekuensi masing-masing 0,69; 0,67; 0,60; 0,52. Hal yang sama pada hasil
penelitian Sco et al. (2001) bahwa frekuensi genotip AA ini ditemukan memiliki
frekuensi yang tinggi pada ayam Korea yaitu Korean Native Ogol chicken
(Sco et al., 2001). Penemuan ini memberikan petunjuk bahwa alel A memiliki
frekuensi lebih tinggi pada bangsa ayam lokal dibandingkan ayam eksotik.
Frekuensi alel IGF-1 pada setiap jenis ayam dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Frekuensi Genotip dan Frekuensi Alel Gen IGF-1 Pada Ayam
No. Jenis Sampel Jumlah Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel
Sampel AA BB AB A B
Hasil identifikasi genotipe pada ayam kampung, kedu, sentul, pelung, broiler dan
arab terdiri dari tiga genotipe yaitu AA, AB serta BB, sehingga terdapat dua tipe alel
yang ditemukan yaitu tipe alel A maupun B. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nagara et al. (2000) dan Sco et al. (2001) bahwa dengan menggunakan teknik PCR
RFLP/PstI, dapat dideteksi adanya polimorfisme nukleotida tunggal dalam 5’ region
gen IGF-I pada ayam dan telah ditemukan tiga genotipe IGF-I pada jenis ternak ini
subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel
diantara subpopulasi.
Keragaman gen IGF-I pada keenam jenis ayam bersifat polimorfik karena nilai
frekuensi alelnya berada dibawah 0,99. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nei (1987)
bahwa suatu alel termasuk polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama
dengan atau kurang dari 0,99, jika sebaliknya maka bersifat monomorfik atau
seragam. Hasil ini menunjukkan bahwa baik ayam lokal maupun ayam broiler lebih
tahan hidup dalam jangka waktu yang lama sehingga kelestariannya dapat dijaga dan
untuk mempertahankannya perlu adanya perlakuan seleksi dan persilangan.
Semakin beragam sumber daya genetik, akan semakin tahan populasi tersebut untuk
hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tahan populasi tersebut untuk
hidup dalam jangka waktu yang lama, serta semakin tinggi daya adaptasi populasi
terhadap perubahan lingkungan (Frankham et al., 2002)
Keseimbangan Hardy-Weinberg
Keseimbangan variasi genotipe pada penelitian ini dianalisis menggunakan
Uji Chi-Kuadrat (X2). Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan
Chi-Kuadrat pada setiap jenis ayam dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Keseimbangan Hardy-Weinberg dengan Uji Chi-Kuadrat (X2)
pada Ayam di Setiap Jenis Ayam
23 alel tetap dari generasi ke generasi karena akibat penggabungan gamet yang terjadi
secara acak ke dalam populasi yang besar (Vasconcellos et al., 2003). Selain itu
kelompok dalam kelompok kesetimbangan Hardy-Weinberg menunjukkan tidak ada
seleksi, migrasi, mutasi ataupun genetic drift pada kelima jenis ayam tersebut seperti
dikemukakan Noor (2010).
Analisis Chi-Kuadrat (X2) pada ayam arab berbeda nyata karena nilai X2 hitung lebih besar dari nilai X2 tabel (P<0,05). Hal ini berarti tidak memenuhi keseimbangan hukum Hardy-Weinberg. Diduga perkawinan yang diterapkan adalah
sistem perkawinan buatan (tidak acak) sehingga tidak lagi memenuhi kaidah
keseimbangan Hardy-Weinberg yang mengacu kepada perkawinan secara acak
(random). Selain itu diduga adanya seleksi, dan migrasi, sehingga terjadi perubahan
pada frekuensi gen dominan dan resesif pada suatu populasi dari satu generasi ke
generasi berikutnya dengan demikian populasi menjadi tidak seimbang (tidak
memenuhi kesetimbangan Hardy –Weinberg)
Heterozigositas
Nilai heterozigositas harapan Gen IGF-1 pada stiap jenis ayam dapat dilihat
pada Tabel 5. Heterozigositas mengindikasikan rataan keragaman genetik.
Tabel 5. Nilai Heterozigositas Harapan (h) Alel IGF-1 pada Ayam di Setiap
Nilai heterozigositas tertinggi pada penelitian ini yaitu 0,4583± 0,2794 pada
ayam broiler hal ini menunjukkan bahwa keragaman pada ayam broiler lebih tinggi
dibandingkan jenis ayam yang lain. Semakin tinggi nilai heterozigositas suatu sifat
berarti karakteristik genetik untuk sifat tersebut dalam suatu populasi semakin
tinggi. Nilai heterozigositas ayam broiler pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan hasil penelitian Aryanti (2011) bahwa nilai heterozigositas pada ayam
arab sebesar 0,0664 diduga disebabkan berbeda jenis ayam dan pengamatan suatu
sifatnya.
Nilai heterozigositas terendah adalah ayam kedu sebesar 0,2701 ± 0,0900.
Nilai hetrozigositas pada ayam kampung sama dengan ayam sentul yaitu sebesar
0,2832 ± 0,2515, sedangkan nilai heterozigositas pada ayam pelung sebesar 0,3200
± 0,0954 serta pada ayam arab nilai heterozigositas sebesar 0,4583± 0,2794.
Keenam jenis ayam tersebut memiliki keragaman gen yang rendah sehingga kurang
beragam karena memiliki nilai heterozigositas dibawah 0,5. Hal ini sesuai dengan
Javanmard et al. (2005) yang menyatakan bahwa suatu populasi dikatakan memiliki
keragaman gen yang rendah apabila memiliki nilai heterozigositas kurang dari 0.5.
Jarak Genetik dan Pohon Filogenetik
Hasil analisis jarak genetikpada ayam lokal dan ayam broiler disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Jarak Genetik pada Ayam Lokal dan Ayam Ras
No. Jenis Ayam Kampung Kedu Sentul Pelung Broiler Arab 1 Kampung -
2 Kedu 0,533 -
3 Sentul 0,615 0,395 -
4 Pelung 0,897 0,533 0,615 -
5. Broiler 0,979 0,573 0,620 0,979 -
25 HASIL DAN PEMBAHASAN
Ampifikasi Gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1)
Amplifikasi gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) pada ayam
lokal dan ayam ras berhasil dilakukan dengan metode PCR menggunakan
primer berdasarkan penelitian yang dilakukan Muin, M. A (2009). Hasil
amplifikasi gen Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1) sepanjang 621 bp pada
gel agarose 1.5 % disajikan pada gambar 1.
M 1 2 3 4 5 6
Gambar 1. Visualisasi Hasil Amplifikasi Gen Insulin-like Growth
Factor-1 (IGF-1) Sepanjang 621 bp pada Gel Agarose
1,5%. M (Marker) dan 1 - 5 (Sampel Ayam Lokal), 6 (Sampel Ayam Ras).
Keberhasilan amplifikasi sebesar 83.33 % karena dari total 120 sampel
yang berhasil diamplifikasi sebanyak 100 sampel. Ketidakberhasilan
ampilifikasi dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti suhu annealing
(penempelan primer), jumlah komponen pereaksi yang digunakan, kualitas
dan kuantitas DNA hasil ekstraksi (Muladno, 2002). Suhu annealing sangat
menentukan keberhasilan amplifikasi karena proses`perpanjangan DNA
dimulai dari primer. Suhu annealing (penempelan primer) pada penelitian ini
621 bp
500 bp
300bp
Tabel 6 memperlihatkan hasil analisis jarak genetik pada ayam lokal dan
ayam broiler berdasarkan frekuensi alel yang diperoleh dari masing-masing jenis
ayam lokal dan ayam ras. Hal ini menunjukkan hubungan kekerabatan dari
masing-masing jenis ayam berbeda berdasarkan frekuensi alelnya. Hubungan kekerabatan
yang paling dekat terdapat antara populasi ayam kedu dan ayam sentul sebesar 0,395.
Hubungan kekerabatan terjauh terdapat antara populasi ayam kampung dan ayam
broiler yaitu sebesar 0,979 (Tabel 6). Semakin dekat hubungan kekerabatan
mengindikasikan adanya kesamaan yang tinggi pada frekuensi alel yang diamati, dan
sebaliknya semakin jauh hubungan kekerabatan mengindikasikan adanya
keragamaan atau variasi yang tinggi pada frekuensi alel yang diamati (Nei dan
Kumar, 2000). Gambar 3 memperlihatkan perbedaan atau keragaman pada
masing-masing jenis ayam berdasarkan frekuensi alel yang diamati.
Gambar 3. Dendogram Ayam Lokal dan Ayam Broiler
Berdasarkan pohon filogenetik hubungan kekerabatan ayam kedu dan ayam
sentul sangat dekat yaitu sebesar 0,18 hal ini kemungkinan disebabkan adanya
persamaan topografi dan distribusi geografis diantara kedua jenis ayam tersebut. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Eo et al. (2002) dan Oshawa et al. (2008) bahwa
terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keragaman genetik dalam suatu
populasi diantaranya topografi, ketinggian lokasi, dan distribusi geografis.
Hubungan kekerabatan yang terlihat pada ayam kampung dan ayam broiler
memiliki hubungan yang sangat dekat, hal ini kemungkinan disebabkan adanya
27 dari telur tetas yang sistem pemeliharaan tetuanya adalah sistem pemeliharaan semi
intensif sehingga menyebabkan adanya pencampuran atau persilangan antar ayam
broiler dan ayam kampung.
Pengembangan jenis ayam kedu dapat dilakukan persilangan dengan ayam
pelung ini disebabkan ayam kedu dan ayam pelung berdasarkan pohon filogenetik
yang dihasilkan berkerabat dekat. Pemeliharaan ayam kedu dan ayam kampung
berdasarkan daerah lokasi pemeliharannya terdapat persamaan topografi yang
berbukit-bukit dan sebaran geografisnya secara merata menyebabkan hubungan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Keragaman gen IGF-I pada ayam kampung, ayam kedu, ayam sentul, ayam
pelung, ayam arab, dan ayam broiler bersifat polimorfik. Identifikasi genotip gen
IGF-I pada populasi ayam lokal ditemukan dua macam genotipe, yaitu AA dan AB
kecuali pada ayam arab ditemukan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BB. Pada ayam
broiler ditemukan tiga genotipe yaitu AA, AB dan BB. Proporsi genotipe AA lebih
tinggi pada semua populasi ayam lokal dan ayam ras di Indonesia sehingga alel A
dapat dijadikan sebagai salah satu alel (penciri) pada semua jenis ayam lokal.
Hubungan kekerabatan ayam lokal dengan ayam broiler sangat dekat berdasarkan
hasil analisis jarak genetik.
Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan jumlah populasi yang lebih besar agar
menggambarkan keragaman genetik ayam lokal. Selain itu penelitian tahap lanjut
dapat dilakukan mengenai hubungan polimorfisme gen IGF-I dengan pertumbuhan
DAFTAR PUSTAKA
Allendorf, F. W. & G. Luikart. 2007. Conservation and The Genetics of Populations. Blackwell Publishing, USA.
Aryanti D. 2011. Studi Polimorfisme Protein Darah dan Karakteristik Genetik Eksternal Ayam Arab Periode Produksi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Astuti, M. 1994. Strategi pembinaan dan pengembangan mutu bibit ayam Ras. Lokakarya Kebijakan Perunggasan Fakultas Peternakan UGM. Makalah Lokakarya pada tanggal 21-22 Januari di Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.
Avise, J. C. 1994. Molecular Marker. Natural History Evolution. Chapman and Hall, Inc., Washington.
Ballard, F.J., R.J. Johnson, P.C. Owens, G.L. Francis, F.M. Upton, J.P. Mcmturtry, & J.C. WALLACE. 1990. Chicken insulin-like growth factor-I: Amino acid sequence, radioimmunoassay, and plasma levels between strains and during growth. Gen. Comp. Endocrinol. 79: 459-468.
Curi, R.A., H.N. Oliveira, A.C. Silveira, & C.R. Lopes. 2005. Association between IGF-I, IGF-IR and GHRH gene polymorphism and growth and carcass traits in beef cattle. Livest. Prod. Sci. 94: 159-167.
Eo, S. J. Hyun, W. S. Lee, T. Choi, S.J. Rhim & K. Eguchi. 2002. Effects of topography on dispersal of black-billed magpie Pica pica sericea releaved by population genetic analysis. J. Ethology. 20 (1): 43-47.
Gillespie, J. H. 1998. Population Genetics. A. Concies Guide. The Johns Hopkins University Press, London.
Hadley, M.E. 1992. Endocrinology. 3 rd ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632.
Hardjosubroto, W. & S. P. Atmojo. 1977. Performa dari pada ayam Kampung dan ayam Kedu. Seminar Pertama Tentang Ilmu dari Industri Perunggasan. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Hartl, D.L. & A. G. Clark. 2000. Principle of population Genetics. 3rd Edit. Sinaeur Associatess, Inc. Publisher Sunderland, Massachusetts.
Javanmard, A., N. Asadazadeh., M. h. Banabazi, & J. Tavakolian. 2005. The Allele and genotype frequencies of bovine pituitary-specific transcription factor and leptin genes in Iranian cattle and buffalo population using PCR-RFLP,. Iranian J. of Biotecnol. 3: 104-108
Jull, M. A. 1979. Poultry Husbandry. 3nd Revised Edit. McGraw-Hill Book Co., Inc.,
New York. Teknologi Rekayasa Genetik. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor.
Mu’in, M.A., A. Supriyantono, & H.T. Uhi. 2010. Polimorfisme Gen Insulin-like Growth Factor-I dan Efeknya terhadap Pertumbuhan Ayam Lokal. Anim. Sci.
Montaldo, H.H. & C.A. Herrera. 1998. Use of molecular markers and major genes in the genetic improvement of livestock. J. of. Biotechnol. Vol 1 No 2.
Nagaraja, S.C., S.E. Aggrey, J. Yao, D. Zadworny, R.W. Fairfuul, & U. Kuhnlein. 2000. Traits association of a genetic marker near the IGF-I gene in egg-laying chickens. J. Heredity. 91: 150-156.
Oshawa, T., Y. Saito, H Sawada, & Y. ide. 2008. Impact of altitude and topography on the genetic diversity of Quercus serrata populations iin the Chichibu Mountain central Japan. 203 (3): 187-196.
Nataamijaya, A. G. & K. Diwyanto. 1994. Konservasi ayam buras langka, Koleksi dan Karakterisasi plasma nutpah pertanian. Prosiding Review hasil dan program Penelitian Plasma Nutpah Pertanian, Hal: 273-297.
Nataamijaya, A. G. 2000. The Native Chicken of Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 6 (I): 5-12.
Nataamijaya, A.G., A.R. Setioko, D. Muslih, & E. Wahyu. 2002. Koleksi dan evaluasi karakteristik biologi ayam Pelung, Arab dan Sentul. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal: 353-358.
Nataamijaya, A. G. 2005. Karakteristik penampilan pola warna bulu, kulit, sisik dan paruh ayam Pelung di Garut dan ayam Sentul di Ciamis. Dalam Diwyanto, K. dan S. N. Priyanto. 2007. Keanekaragaman sumber daya ayam lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. LIPPI Press, Jakarta.
30 Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press, New
York.
Nie Q Meixia Fang, Liang Xie,, Min Zhou, Zhangmin Liang, Ziping luo, Guohuang Wang, Wensen Bi, Canjian Liang, Wei Zhang, & Xiquan zhang. 2008. The PIT I gene polymorphism were associated with chicken growth traits. BMC. Genect. 9:20.
Noor, R. R. 2000. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Pambudhi, W. 2003. Mengenal Ayam Arab Merah. Cetakan ke-1. ASgromedia. Pustaka, Jakarta.
Rusdin, M. 2007. Analisis fenotipe, genotipe dan suara ayam Pelung di Kabupaten Cianjur. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Renaville, R. N. Gengler, E. Vrech. A. Prandi, S. Massart, C. Corradini, C. Bertozzi, F. Mortiaux, A. Burny, & D. Portelle. 1997. Pit-1 gene polymorphism, milk yield and conformation traits for Italian Holstein-Friesian bulls. J Dairy Sci. 80:3431-3438
Sambrook, J., E.F. Fritsch, & T, Maniatis. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.
Sarwono, B. 2001. Ayam Arab Petelur Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sco, D.S., J.S. Yun, W.J. Kang, G.J. Jeon, K.C. Hong & Y. Ko. 2001. Association of insulin-like growth factor-I
Sulandari, S., M. S. A. Zein., S. Payanti., T. Sartika., M. Astuti., T. Widyastuti., E. Sujana., S. Darana., I. Setiawan, & D. Garnida. 2007. Keanekaragaman Sumber Daya Hayati Ayam Lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Pengetahuan Ilmu Indonesia, Bogor.
Sunarto, Hesty N., Delly N, & Dwi S. Y. 2004. Petunjuk Pengembangan Ayam association with growth performance. J Apple Genect, 46 (3): 258-289
Vasconcellos, L, P, M, K, D. T. Talhari, A. P. Pereira, L. L. Coutinho, & L. C. A. Regitano. 2003. Genetic characterization of Aberdeen Angus cattlle using molecular markers. Genet and Mol. Biol. 26:133-137
Viljoen, G, J, L. 2005. The Use Marker-assisted`selection in animal breeding and biotechnology. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epitz. 24(1); 379-391
34
Lampiran 3. Perhitungan Hukum Keseimbangan Hardy Weinberg
Lampiran 5. Perhitungan Standard Eror
Ayam Kampung
= 0,2515
Ayam Kedu
Lampiran 7.
EF188877.1
GACTATACAGAAAGAACCCACTGACTATACAGAAAGAACCCACATAATAACAAAATTTACACAAATAA
AAGCTACATTGATTGTTATTGATGTGTGCTTCACTGTAATAAAAAGATAACCGATGTCATTTAAGATCCA GCCTCCATCTATATATCCCTAGGATATAGCAACTATTTCTGCAACTGTAGTCCTAAGAAGTATTGGCTTG TCAGATGACCAAATCACATTTTCTTTTCTTCTTTCCAAATAATTTCTAAAATAAATAGTCCCTTGGACTGT AGCAGAATTAGGCCCTGCATTTAGAATACTAGGTGCAGATCTACCCTAACTCATCCATGGATTCTATAG TTCTGAACAATAACTGTTTATTAAGTGCAATGTATTTTTCACCTTTTATTTTCATCAGCTTTTTTATTTTCAT AGCATATGTTTTTAAGTTTTCCAAACAGTGATGGTAGCTTAGGTCATTAAGACTGTTTTTACAGTTTCAG ATTTTGATGCATCCTGTATTTGAGTGCATTGAAACAAATAAAACGTGTCTTACATTTCTAATAGATACTA AATACATCTGTGCTCAACCGTGCTGCTCATATTATCACTTACTTGAGCCACTTGAGTGATA
GACTATACAGAAAGAACCCAC--- ---
---ACTTGAGCCACTTGAGTGATA
ENZIM Pst1
5-CTGCA|G-3
38 Lampiran 8. Metode Analisis Ekstraksi DNA