. - . . ' i.. -'
'r- ,,
;.
I. PENDAHULUAN
1.
-
Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 tahun 1978 di Jakarta merumuskan salah satu deklarasinya yang berbunyi
"...
the world'sforest must,
...,
be
usedfor
all people
.
.
."
(Anon, 1978). Di dalam deklarasi ini tersirat himbauan agar orientasi manajemen sumberdrnya hutan memberikan penekanan yang lebih besar kepaba kepentingan masyarakat umum, yang pada waktu-waktu se- belumnya dinilai tersisihkan oleh dominasi kepentingan- kepentingan dari sekelompok rasyarakat tertentu saja. Jauh sebelum deklarasi ini, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (WD'45, pasal 33:3) telah meletakkan azas-azas manajemen sumberdaya hutan yang sejiwa dengannya, yang menetapkan bahwa s-dayaalam nasional dikelola untuk kepentingan kemakmuran rakyat
.
Hasil peninjauan hasil Kongres fehutanan SeduniaRe-8
menyfmpulkan bahwa deklarasi-deklarasiyam
Idimuskan, secarau u m ,
sejalan dangan kebijskan-*
Perum Perhutani, sebagai pengelola hutan di Jawa,
telah menyadari pentingnya meningkatkan program-program
pembangunan perhutanan yang mengintegrasikan di dalam
manajemen hutan kepentingan-kepentingan fungsi hutan,
lingkungan, dan kesejahteraan penduduk pedesaan di
sekitar hutan. Beberapa program yang merupakan
penjabaran dari gagasan ini telah dijalankan sejak
tahun 1976, di antaranya dikenal dengan nama MALU,
sebagai suatu bentuk implementasi dari program Pem-
binaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH; Perhutani, 1990b;
Darmosoehard jo, 1985) l. Sampai dengan awal 1980-an,
kalangan tertentu menilai bahwa tujuan-tujuan manajemen
sumberdaya hutan di Jawa, khususnya yang mengenai
kepentingan masyarakat pedesaan di sekitar hutan belum
terwujud seperti yang diharapkan dalam semangat W D 8 4 5
maupun deklarasi kongres ke-8 tahun 1978. Pada
tahun 1984, dalam rangka kerja sama antara Perum
Perhutani, beberapa universitas di Indonesia, dan Ford
Foundation (sebagai penyandang dana bantuan), dilaksa-
nakan penelitian mengenai interaksi antara penduduk
di sekitar dengan sumberdaya hutan, Hasil-hasil
penelitian ini mengungkapkan betapa tingginya
ketergantungan dari kelompok masyarakat tersebut pada
sumberdaya hutan. Taraf hidup penduduk pedesaan ini
pada umumnya sangat rendah, sementara peranan
sumberdaya hutan dalam kehidupannya sehari-hari masih
tergolong sangat penting. Bertolak dari kenyataan ini
dirumuskan suatu gagasan mengenai bentuk kerja sama
antara penduduk di sekitar hutan dan Perhutani yang
dapat menguntungkan kedua belah pihak. Gagasan
tersebut tertuang dalam konsep Perhutanan Sosial, yang
penerapannya dirintis pada tahun 1986 (Seymour dan
Fisher, 1987).
Perhutanan Sosial merupakan pengembangan dari
bentuk kontrakl yang telah seabad lamanya diterapkan,
yaitu Tumpang Sari, dan dapat dipandang sebagai suatu
bentuk adaptasi yang menampung perobahan-perobahan
dalam kondisi yang relevan, terutama dalam hubungannya
dengan kepentingan penduduk di sekitar hutan.
Dibandingkan dengan kontrak Tumpang Sari, Perhutanan
Sosial dinilai lebih akomodatif, karena memberikan
kepada penduduk akses yang lebih besar dalam manajemen
hutan (Bratamihardja, 1987).
Ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk
menjelaskan perbedaan struktur dari kontrak-kontrak
tersebut antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana
digambarkan pada Tabel 1.1 (halaman 5). Dengan
diadopsinya kontrak Perhutanan Sosial, terjadi pero-
bahan yang berarti dalam struktur kontrak yang condong
pada kepentingan ~ e s a n g g e m ~ , melalui peningkatan
derajat akses terhadap arus manfaat dari sumberdaya
lahan hutan, yaitu peningkatan dalam luas lahan, jangka
waktu, dan alternatif pilihan jenis komoditi yang boleh
diusahakan. Pengembangan ini menciptakan potensi
kenaikan pendapatan yang berarti bagi fihak Pesanggem.
Tabel 1.1. Perbedaan Struktur Kontrak menurut Tiga Kriteria Utama
Kriteria Tumpang Perhutanan Sari Sosial
1. Derajat akses Pesanggem terhadap sumberdaya
lahan hutan rendah tinggi
2. Jangka waktu kontrak pendek pan jang
3. Derajat akses Pesanggem
dalam manajemen hutan rendah tinggi
Dalam perspektif strategi manajemen hutan, khusus-
nya di Jawa, implementasi kontrak-kontrak tersebut
merupakan bagian dari misi Perhutani, yaitu untuk:
(i) Menyukseskan reboisasi, (ii) Meningkatkan produk-
tivitas lahan, (iii) Meningkatkan pendapatan Perhutani
dan masyarakat, (iv) Meningkatkan mutu lingkungan hidup
dan kesejahteraan masyarakat, (v) Mendorong terjalin-
nya hubungan harmonis antara masyarakat dan aparat
Perhutani, dan (vi) Menjamin keamanan dan kelestarian
[image:21.557.45.510.57.736.2]masyarakat melalui perobahan persepsi dan perilaku
sebagai hasil penyuluhan (Bratamihardja, dalam
Perhutani, 1990b).
2. Pernvataan Masalah dan H i ~ o t e s b
Dua tahun setelah implementasi proyek perintis
Perhutanan Sosial, serangkaian penelitian evaluasi
dilaksanakan dengan tujuan untuk memperlengkapi para
pembuat keputusan dengan informasi-informasi yang akan
dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk perlu-
asan proyek. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa
Perhutanan ~ o s i a l mampu meningkatkan pendapatan
Pesanggem, dan memperlihatkan indikasi mengenai manfaat
positif yang cenderung dihasilkannya bagi Perhutani.
Namun di lain pihak, peneliti-peneliti pada umumnya
.
menilai bahwa akses Pesanggem dalam kontrak inipun
masih rendah. Itulah sebabnya, diserukan agar dilaku-
kan peningkatan lebih lanjut akses penduduk di dalam
manajemen dan terhadap sumberdaya lahan hutan, agar
pendapatan yang dapat diraihnya dari lahan hutan men-
jadi lebih besar (Lihat ~ a r z a l i , 1990; Sunderlin, 1990;
Sinaga, 1990; Manurung, 1989; Ratnawati, 1989; Palupi,
1989; dan lain-lain). Masalahnya: Sejauh manakah ha1
diandalkan sebagai suatu alternatif pendekatan masalah
peningkatan taraf hidup penduduk di sekitar hutan?
Dengan memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial, yaitu mengenai cara bekerja-
nya faktor-faktor yang berperan sebagai pendorong dan
kendala, pertanyaan ini diharapkan dapat dipecahkan.
Ada tiga alternatif cara pendekatan yang dapat
diterapkan untuk menganalisa sifat dari perkembangan
kontrak (Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial). Pertama,
pendekatan kesejahteraan, yang menggunakan konsep
peningkatan Pareto (Pareto improvement) sebagai dasar
untuk mendorong suatu perobahan ekonomik (Just, lef;
d,
1982). Kedua, pendekatan ekonomi ortodoks yang
mengandalkan mekanisme harga sebagai pengendali suatu
proses perobahan ekonomik (antara lain Barzel, 1989).
Ketiga, pendekatan institusional, yang memperhitungkan
juga peranan dari mekanisme institusional dalam proses
perobahan ekonomik (Schmid, 1987).
Esensi dari pendekatan Pareto (pendekatan yang
disebut pertama) ialah dipisahkannya aspek distribusi
pendapatan dari suatu proses alokasi sumberdaya.
Persoalan distribusi pemilikan faktor produksi
ditempatkan sebagai urusan politik. Setelah urusan
menegakkan institusi yang menjamin kemerdekaan bagi
setiap pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdaya
menurut keinginannya. Bentuk institusi yang dimaksud-
kan ialah pasar kompetitif, yang merupakan persyaratan
untuk mencapai efisiensi Pareto (Schmid, 1987; Just &
d,
1982). Gambar 1.1 (halaman 10) menampilkan diagram kotak Edgeworth-Bowley, yang digunakan untukmenjelaskan beberapa kemungkinan pola transaksi yang
memenuhi kriteria efisiensi Pareto dengan konsekuensi-
konsekuensi distribusi.
Anggap bahwa posisi awal di titik W. Situasi di
titik W mengandung kesempatan yang dapat menaikkan
taraf kesejahteraan (individu) A dan/atau B dengan
jalan melangsungkan pertukaran antara mereka.
Andaikan, proses pertukaran berlangsung sampai keduanya
mencapai posisi baru di C1, atau C2, atau pun di C.
Ketiga titik ini, dan sembarang titik di sepanjang
kurva kontrak CZCCl memenuhi kriteria Pareto, karena
taraf kesejahteraan dari salah satu atau kedua pihak
meningkat tanpa mengakibatkan penurunan kesejahteraan
pihak yang lainnya. Perbedaannya terletak pada faktor
yang menentukan letak dari titik "keseimbanganW di
sepanjang kurva kontrak. Apakah posisi keseimbangan
ditentukan oleh kemampuan A dan B dalam mempengaruhi
harga-harga barang X dan Y. Titik C menunjuk pada
situasi di mana baik A maupun B tidak dapat mem-
pengaruhi harga, yakni dalam pasar kompetitif.
Ilustrasi ini memberikan dua kesimpulan penting.
Pertama, kemungkinan posisi efisiensi menurut kriteria
Pareto bisa terjadi di salah satu titik di sepanjang
kurva kontrak, dan titik mana yang dicapai tergantung
pada kekuatan tawar-menawar relatif yang dimiliki oleh
individu-individu yang melakukan transaksi. Kedua
,
gugus titik-titik kurva kontrak berbeda-beda menurut
situasi distribusi pendapatan awal. Jika titik awal di
W1 bukan W, maka kemungkinan-kemungkinan posisi
efisiensi Pareto terbatas hanya sepanjang C3C4.
Pendekatan kedua menghipotesakan bahwa struktur
kontrak condong pada pemilik sumberdaya yang nilainya
meningkat relatif lebih tinggi daripada sumberdaya
lainnya (Barzel, 1989). Fakta yang dikemukakan berikut
ini, dalam hubungannya dengan pengembangan kontrak
Perhutanan Sosial, memberikan petunjuk mengenai ha1
yang berlawanan dengan hipotesis itu. Data mengenai
perkembangan pangsa relatif faktor-faktor produksi
tenaga kerja dan lahan di sub-sektor pertanian pangan,
Barang Y
Si A Barang X
[image:26.557.51.472.34.745.2]Keterangan: IA, IB berturut-turut kurva indiferen dari A dan B.
pertumbuhan yang pincang, yaitu faktor produksi lahan
mengungguli tenaga kerja. Dalam periode ini,
produktivitas marjinal tenaga kerja ber'obah dengan
pertumbuhan negatif, sebaliknya produktivitas marjinal
lahan mengalami pertumbuhan positif (Tabel 1.2, halaman
12). Dalam keadaan seperti ini, model Barzel
(1989) akan memprediksi bahwa struktur kontrak akan
bergeser dari Pesanggem dan condong pada Perhutani.
Hal ini berlawanan dengan kenyataan yang dijumpai,
yaitu bahwa struktur kontrak Perhutanan Sosial,
yang diadopsi belakangan, lebih condong pada fihak
Pesanggem, dibandingkan dengan kontrak Tumpang Sari.
Cara pendekatan pertama dan kedua (kesejahteraan
dan ortodoks) tidak dapat menjamin bahwa pola
distribusi pendapatan yang dihasilkan dari suatu
kebijakan (atau proses perobahan) akan sesuai dengan
tujuan-tujuan yang ditetapkan secara normatif. Dalam
situasi di mana kecenderungan perkembangan pangsa
faktor-faktor tenaga kerja dan lahan yang makin
pincang, seperti yang tergambar dalam Tabel 1.2
(halaman 12), peningkatan pendapatan penduduk di
sekitar hutan dengan mengandalkan mekanisme harga sukar
dicapai
.
Keterbatasan dari kedua cara pendekatanTabel 1.2. Pertumbuhan Produktivitas Marjinal Faktor Produksi Tenaga Kerja dan Lahan di sub-Sektor Pertanian Pangan
Pertumbuhan per Tahun ( % )
Tenaga Kerja Lahan
1964-74 dan 1975-85a (Tanaman Pangan)
Kuant i tas 40.8
Saham faktor -97.5
Produktivitas marjinal negatif
14.6 90.0 positif
1961/71 dan 1 9 8 0 / 8 ; ~ ~ (Padi Sawah)
Kuantitas -10.7 16.3
. Saham faktor -27.8 18.9
Produktivitas marjinal negatif positif
a ~ i o l a h dari Saragih, et al, 1988.
bDiolah dari Kasryno, et a , 1982.
harga (dan struktur pasar) yang berperan sebagai
mekanisme pengendali proses-proses perobahan ekonomik,
dan mengabaikan penilaian menurut kriteria-kriteria
institusional mengenai konsekuensi-konsekuensi distri-
diatasi dengan pendekatan institusional, antara lain
dengan model Impak Institusional (Schmid, 1987), yang
memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan bekerjanya
mekanisme lain selain mekanisme harga.
Sama halnya dengan model Impak Institusional,
model Barzel (1989) juga memperhitungkan perobahan
dalam keefektifan dari struktur hak-hak properti
(property rights) sebagai sumber ketakseimbangan dalam
sistem, Dengan mekanisme harga, proses pencapaian
keseimbangan lebih bersifat tertentu. Berbeda dengan
model Schmid (1987), yang memprediksi bahwa arah dari
proses perobahan mengandung beberapa kemungkinan
alternatif, ditentukan oleh struktur kekuatan yang
bersumber dari f aktor-f aktor selain harga dan struktur
pasar
.
Performa dari suatu aktivitas ekonomik, baik
distribusi maupun efisiensi, secara langsung
ditentukan oleh pola alokasi sumberdaya. Keputusan
yang dibuat dalam alokasi sumberdaya ditentukan oleh
gugus oportunitas (opportunity set) yang dimiliki
seseorang, Gugus oportunitas yang menentukan ekspektasi
mengenai sejauh mana keputusan yang dibuat akan efektif
dan dianggap wajar. Gugus oportunitas merupakan fungsi
interdependensi, dan dengan sendirinya, performa
ditentukan oleh interaksi antara struktur hak-hak dan
karakter interdependensi yang berlaku. Model Barzel
(1989) hanya memperhitungkan interdependensi yang
bersumber dari harga dan pasar kompetitif. Sebaliknya,
model Schmid (1987) juga melihat faktor-faktor lain
sebagai penciri interdependensi antar pelaku ekonomi,
sehingga cakupan fenomena yang dapat dijelaskannya
lebih luas. Bertolak dari uraian di atas maka
penelitian ini menerapkan model Impak Institusional
dalam memahami sifat dari perkembangan kontrak Tumpang
Sari ke Perhutanan Sosial.
Dalam bentuk hubungan biaya-manfaat, struktur hak-
hak menentukan ha1 apa saja yang seharusnya dicakup
dalam kalkulasi biaya dan ha1 apa saja yang boleh
diperhitungkan sebagai manfaat. Struktur hubungan
biaya-manfaat inilah yang menjadi acuan dalam alokasi
sumberdaya. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa
institusilah yang mendifinisikan mana pola alokasi
sumberdaya yang efisien, dan dengan sendirinya
menentukan pola distribusi pendapatan; dan bukanlah
sebaliknya, efisiensi dan distribusi yang mendifinisi-
kan institusi (Schmid, 1987; Runge, 1985; Bromley,
Kontrak adalah suatu bentuk institusi di taraf
operasional, yang berfungsi untuk menata struktur hak-
hak berdasarkan transaksi yang berlangsung antar
(kelompok) individu. Perobahan dalam keefektifan dari
hak-hak properti dapat mengakibatkan perobahan dalam
gugus oportunitas relatif, dan penataan struktur
kontrak dimaksudkan untuk memanfaatkan potensi oportu-
nitas yang ada. Perobahan dalam struktur kontrak akan
merobah gugus oportunitas dari setiap individu,
sehingga ekspektasinya mengenai keefektifan dari
keputusan alokasi sumberdaya juga berobah, dan pada
akhirnya merobah pula performa yang dicapai.
Pertanyaan yang timbul: bagairnanakah kontrak Perhutanan
Sosial menata struktur hak-hak antara Perhutani dan
Pesanggem sehingga di satu fihak dapat meningkatkan
pendapatan Pesanggem, namun di lain fihak menciptakan
pola distribusi pendapatan yang masih sangat condong
pada pihak Perhutani? Hipotesis yang dapat diturun-
kan ialah: Perobahan dalam keefektifan dari hak-hak
properti, yang merupakan sumber dorongan bagi perkem-
bangan kontrak Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial,
secara langsung tidak disebabkan oleh faktor harga, dan
karena itu penataan kontrak (Perhutanan Sosial) juga
dalam keefektifan hak-hak properti disebabkan oleh
perkembangan dari situasi interdependensi, dan pengaruh
dari persepsi publik mengenai kewajaran dari struktur
hak-hak yang terbentuk. Karena itu, perkembangan
situasi interdependensi juga berperan dalam menentukan
sejauh mana perkembangan dalam struktur kontrak akan
berlangsung.
3. Tuiuan Penelitian
Dari berbagai laporan yang ada diperoleh petunjuk
bahwa jumlah penduduk merupakan faktor penting yang
perlu diperhitungkan di dalam analisis. Faktor ini
membedakan karakteristik dari kondisi manajemen hutan
negara di Jawa dengan di luar Jawa, dalam kaitannya
dengan ketersediaan tenaga kerja dan lapangan
pekerjaan, situasi interdependensi, dan pola penjabaran
program-program peningkatan taraf hidup penduduk di
sekitar hutan. Dalam perspektif inilah masalah
penelitian dianalisa, dengan tujuan untuk mendapatkan
gambaran mengenai pertalian antara: tekanan jumlah
penduduk terhadap lahan hutan dan masalah yang
ditimbulkannya, pengembangan struktur kontrak sebagai
suatu cara pendekatan masalah, dan peranan mekanisme
Berdasarkan pengetahuan mengenai ha1 itu, dicoba untuk
menemukan implikasinya bagi pemecahan masalah manajemen
hutan di Jawa,
Tujuan penelitian dicapai melalui sintesis hasil-
hasil analisis yang diperoleh dari serangkaian
kegiatan, sebagai berikut. Pertama, pengidentifikasian
masalah manajemen yang bersumber dari situasi tingginya
populasi penduduk dan karakteristik interdependensi
yang ada, kondisi yang mendorong diterapkannya kontrak
Perhutanan Sosial, dan mekanisme penataan struktur
kontrak Perhutanan Sosial. Kedua, menganalisa performa
yang dihasilkan dari penerapan kontrak Perhutanan
Sosial. Ketiga, menganalisa prospek dari kontrak
Perhutanan Sosial dalam upaya peningkatan taraf hidup
penduduk di sekitar hutan,
4. L i n q k u ~ ~enelitian
Aplikasi model Impak Institusional dalam analisis
pemecahan masalah-masalah mengenai hubungan institusi
dan performa yang dihasilkan dapat memenuhi dua
keperluan. Pertama, untuk keperluan prediksi performa
yang cenderung akan dihasilkan dari suatu kebijakan
penataan institusional. Kedua, untuk menjelaskan
ditata dengan sumber-sumber interdependensi dalam
menentukan performa tertentu. Penelitian ini bermaksud
memenuhi kedua keperluan, sehingga dikatagorikan
sebagai analisis perkembangan institusional. Secara
spesifik, fenomena yang dianalisa ialah penataan
kontrak Perhutanan Sosial sebagai suatu bentuk
institusi dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi.
Dalam kegiatan analisis, struktur kontrak ini
diperbandingkan dengan kontrak Tumpang Sari untuk
mendapatkan penjelasan mengenai proses perkembangan dan
performa yang dihasilkan.
Bangunan institusi di dalam suatu masyarakat
tersusun berjenjang dan bertalian secara fungsional
dari taraf atas ke bawah (Bromley, 1988; Schmid,
1987). Di taraf teratas, pembentukan institusi ber-
langsung menurut aturan-aturan konstitusional.
Struktur institusional di taraf ini'menentukan gugus
oportunitas pada taraf di bawahnya, yang selanjutnya
menentukan pola transaksi di taraf operasional. Pola
transaksi menentukan alokasi sumberdaya, yang pada
gilirannya menentukan performa ekonomik. ~enelitian
ini memusatkan diri hanya pada taraf operasional,
dengan asumsi bahwa pemecahan masalah mengenai
berkaitan langsung dengan proses penjabaran gagasan-
gagasan di taraf implementasi. Informasi mengenai ha1
ini belum tersedia secara memadai, padahal sangat
dibutuhkan baik dalam upaya peningkatan performa maupun
untuk kepentingan analisis di taraf atas. Dengan
sendirinya pula, implikasi-implikasi kebijakan yang
akan diturunkan dari hasil analisis, secara langsung
hanya mengenai implementasi di taraf operasional.
Kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial secara
langsung bertalian dengan kegiatan peremajaan hutan,
yang merupakan tahap awal dari suatu siklus produksi
tanaman kayu. Hanya karena jangka waktu kontrak Per-
hutanan Sosial lebih panjang sehingga rangkaian tahapan
yang dicakup bisa lebih dari satu tahap. Sekalipun
begitu, pada dasarnya, hubungan kerja antara Perhutani
dan Pesanggem pada setiap tahapan kegiatan manajemen
hutan tidaklah berbeda. Perbedaan yang berarti
dijumpai dalam hak Pesanggem Perhutanan Sosial untuk
memetik hasil tanaman tahunan, yang di dalam kontrak
Tumpang Sari tidak dimungkinkan karena berlaku hanya
untuk dua tahun pertama dari suatu siklus produksi.
Analisis didasarkan pada survei lapangan di dua
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), yang mencakup 50 dan
Sosial dari semua usial, berturut-turut, di Unit I Jawa
Tengah dan di semua unit di Jawa. Beberapa laporan
hasil penelitian memberikan petunjuk adanya variasi
antar lokasi yang cukup nyata dalam beberapa aspek
sosial-ekonomi dan agroklimat. Karena itu, generali-
sasi hasil-hasil analisis mengenai aspek-aspek yang
berciri spesifik menurut lokasi, berdasarkan hanya pada
dua KPH (lokasi) contoh mengandung resiko penyimpangan
yang besar. Sebaliknya, untuk aspek-aspek yang inheren
dalam sistem, generalisasi hasil-hasil analisis dapat
saja dilakukan tanpa resiko penyimpangan yang berarti.
Studi mengenai fenomena kontrak dalam kegiatan-
kegiatan produksi pertanian relatif telah banyak
kontrak dalam kasus lain. Hal ini disebabkan oleh
dilakukan. Namun pengetahuan ini tidak dapat
diterapkan begitu saja untuk menjelaskan fenomena sifat
kontrak yang sangat dipengaruhi oleh kondisi relevan
yang spesifik, yang bervariasi baik menurut waktu dan
tempat. Demikian juga halnya dengan pengetahuan yang
diperoleh melalui penelitian ini, tidak begitu saja
dapat diterapkan untuk menjelaskan, sebagai contoh,
fenomena kontrak HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dalam
hubungannya dengan pemanfaatan hutan negara non-
Perhutani, Kondisi manajemen hutan di Jawa turut
dicirikan oleh padatnya populasi penduduk di sekitar
hutan yang umumnya bertaraf hidup rendah, dan secara
fisik mudah sekali menjangkau hutan. Kontrak di sini
melibatkan Perhutani dan penduduk di sekitar hutan.
Kondisi-kondisi seperti ini berbeda dengan yang
dijumpai dalam kasus HPH, yang melibatkan pemerintah
dan pengusaha yang dikuasakan untuk mengeksploitasikan
sumberdaya hutan. Latar belakang permasalahan pun
berbeda, antara kedua tipe manajemen hutan negara.
Permasalahan manajemen hutan Perhutani terkait dengan
pelibatan secara langsung kepentingan penduduk di
dalamnya. Kontrak yang mengenai pemanfaatan hutan non-
Perhutani lebih didominasi oleh masalah kelangkaan dana
dari pemerintah untuk merealisasikan hak-hak properti
yang dimilikinya. Transaksi antara Perhutani dan
penduduk di sekitar hutan terutama melibatkan
sumberdaya tenaga kerja dan lahan hutan, sedangkan
dalam kontrak HPH melibatkan sumberdaya kapital dan
5. Oraanisasi Laporan
Penyajian laporan hasil penelitian disusun menurut
sistematika yang diangkat dari pola hubungan peubah-
peubah dari kerangka analitik, dan tahapan analisis.
Kerangka analitik mencakup tiga peubah utama, yaitu
kondisi dan permasalahan dalam mana jemen hutan di Jawa
(bab ketiga), penataan struktur kontrak (bab keempat),
dan performa (bab kelima). Proses analisis meliputi
dua tahap, yaitu tahap deskripsi (bab ketiga hingga
lima), dan tahap prediksi (bab keenam). Rangkuman
seluruh hasil analisis dicantumkan dalam bab terakhir,
yaitu bab ketujuh.
Bab kedua memuat deskripsi mengenai model
analisis, hipotesis pengujian, dan pendekatan empirik.
Sub-bab pertama memuat deskripsi mengenai model Impak
Institusional, sub-bab kedua dan tiga memuat kerangka
analitik dan hipotesis tentang model Perhutanan Sosial.
Metode' dan teknik analisis serta metode penelitian
dimuat dalam sub-bab tentang pendekatan empirik.
Bab ketiga memuat gambaran mengenai situasi
perkembangan kontrak dalam manajemen hutan di Jawa.
Analisis dalam perspektif historik ini bertujuan untuk
menemukan petunjuk-petunjuk mengenai kondisi yang
Hasil analisis tentang penataan struktur kontrak
Perhutanan Sosial, dalam perbandingannya dengan
kontrak Tumpang Sari, untuk mengidentifikasikan
, bagaimana strategi yang ditempuh oleh Perhutani dalam
mengendalikan sumber-sumber interdependensi yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya hutan yang
melibatkan penduduk di sekitar hutan, dicantumkan dalam
bab keempat. Hasil analisis ditampilkan dalam bentuk
konfigurasi struktur kontrak, sebagai hasil dari proses
restrukturisasi hak-hak.
Berdasarkan hasil analisis dalam bab keempat,
dilakukan identifikasi komponen-komponen performa, dan
analisis mengenai performa yang dihasilkan. Hasil
analisis ini dicantumkan dalam bab kelima.
Bab keenam mencantumkan hasil analisis mengenai
prospek pengembangan dari pendekatan masalah manajemen
hutan di Jawa, di mana kontrak Perhutanan Sosial
berkedudukan sebagai instrumen strateginya. Analisis
ini didasarkan pada sintesis: (i) Hasil-hasil analisis
deskriptif dalam bab-bab sebelumnya, yang dkmuat dalam
sub-bab pertama; dan (ii) Hasil aplikasi fungsi Logit,
untuk analisis kelanggengan kontrak Perhutanan Sosial,
Bab terakhir, tujuh, memuat ringkasan dari penemu-
an penelitian, kesimpulan umum, dan implikasi-imlikasi.
Bahan-bahan ini merupakan rangkuman dari seluruh hasil
analisis dalam bab-bab sebelumnya. Kesimpulan-
kesimpulan dari analisis topik-topik spesifik tidak
dicantumkan di sini melainkan dalam setiap bab yang
bersangkutan.
Beberapa penjelasan yang merupakan suplemen bagi
bagian-bagian tertentu dalam isi utama laporan ini,
11. KERANGKA TEORITIK DAN PENDEKATAN EMPIRIK
1.
1
Model Impak Institusional yang dikembangkan oleh
Allan Schmid (1987) dibangun dengan tiga komponen
utama, yaitu (i) Karakteristik sumberdaya, (ii)
Struktur hak-hak (rights atau property rights), dan
(iii) Performa. Berdasarkan asumsi interdependensi
antara pelaku-pelaku ekonomi, model ini menjelaskan
proses determinasi performa sebagai resultan dari
interaksi antara karakteristik sumberdaya dengan struk-
tur hak-hak. Untuk sumberdaya dengan karakteristik
yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda jika
struktur hak-hak berbeda. Demikian juga halnya, untuk
struktur hak-hak yang sama akan menghasilkan performa
Yang berbeda-beda jika sumberdaya memiliki
karakteristik yang berbeda. (Lihat Gambar 2.1, halaman
26, yang menampilkan diagram dari model tersebut).
Karakteristik sumberdaya (la) menentukan karak-
teristik dari interdependensi (lb) antar pelaku-pelaku
ekonomi, yakni yang menentukan arah dan derajat dari
efek yang ditimbulkan oleh tindakan dari satu fihak
terhadap fihak lain. Struktur hak-hak (2) menentukan
distribusi biaya-manfaat, atau secara umum distribusi
Karakteristik sumberdaya
(la)
<- Tipe
Transaksi
Pola distribusi dan alokasi sumberdaya
v
vPerf orma ekonomik Karakteristik
[image:42.557.48.475.61.715.2]interdependensi (lb)
Gambar 2.1. Model Analisis Impak Institusional (Schmid, 1987)
Struktur hak-hak
( 2 )
dal.am hubungan interdependensi. Pola distribusi hak-
kewajiban ini ditanggapi oleh setiap individu menurut
perilakunya, yang menentukan pola distribusi dan
alokasi sumberdaya, dan pada gilirannya menentukan
performa (3). Struktur hak-hak (2) dikendalikan oleh
pilihan publik, sebagai suatu bentuk implementasi
kekuasaan, melalui mekanisme transaksi.
Karakteristik Interde~endensi
Allan Schmid (1987) membahas lima sumber inter-
dependensi, tiga di antaranya yang dianggap relevan
dengan kasus yang diamati dalam penelitian ini ialah
biaya transaksi, pemanfaatan tak kompatibel
(incompatible-use)
,
dan JIG ( joint-impact goods) l.Biava transaksi. Biaya transaksi terdiri dari
biaya kontrak, biaya (pengadaan) informasi, dan biaya
penyidikan (policing). Biaya kontrak berhubungan
dengan proses pencapaian kesepakatan dengan mitra
kontrak. Biaya informasi merupakan konsekuensi dari
kegiatan mengukur atau mengidentifikasikan kuantitas
'DU~ yang lainnya: skala ekonomis, dan surplus
maupun kualitas produk pada saat sekarang ataupun saat
yang akan datang. Biaya penyidikan berhubungan dengan
kegiatan eksklusi. Interdependensi timbul karena
kegiatan-kegiatan dengan konsekuensi biaya transaksi,
secara ekonomik tidak layak untuk diterapkan sampai
tuntas. Baik proses pendifinisian maupun klaim hak-hak
terkendala oleh sumberdaya yang dikorbankan relatif
terhadap hasil yang dapat dicapai- Ketidaktuntasan
dalam proses ini mengakibatkan sebagian dari atribut
sumberdaya jatuh ke dalam domein publik, dan situasi
ini mendorong pengurangan curahan sumberdaya di bawah
taraf optimal (shirking; Barzel, 1989) atau perilaku
penunggangan gratis (free riding; Schmid, 1987)~.
Perobahan dalam struktur hak-hak dapat mengendalikan
interdependensi yang bersumber dari karakteristik biaya
transaksi.
Pemanfaatan tak kom~atibel. Situasi di mana
pemanfaatan suatu sumberdaya oleh salah satu fihak
rneniadakan atau mengurangi pemanfaatan oleh fihak lain
dikatagorikan sebagai interdependensi yang berciri
pemanfaatan yang tidak kompatibel. Variasi dalam
derajat interdependensi tipe ini dipengaruhi oleh
tingkat biaya eksklusi. Situasi menjadi lebih rumit
dalam kasus pemanfaatan tidak kompatibel yang disertai
dengan biaya eksklusi tinggi, karena keadaan ini
mendorong berkembangnya perilaku penunggangan gratis.
Dalam situasi tanpa penunggangan gratis, isu distribusi
pendapatan bertalian hanya dengan masalah distribusi
hak dalam kaitan dengan kepemilikan. Dengan adanya
penunggangan gratis, masalah meluas hingga menyangkut
aspek moral-yuridis. Jika ha1 ini berkaitan dengan
manajemen sumberdaya yang mengenai hajat hidup orang
banyak, isu distribusi tidak terlepas dari masalah
politik.
JIG-
~nterdependensi yang bersumber dari JIGdicirikan oleh situasi di mana ketersediaan suatu
'sumberdaya mempunyai efek terhadap utilitas dari dua
atau lebih orang, dalam waktu yang bersamaan.
Pemanfaatan oleh satu individu tidak mengurangi
persediaan sumberdaya bersangkutan untuk dimanfaatkan
oleh individu yang lain, yang juga tidak akan
menghabiskannya. Dalam konteks biaya, situasi ini
dengan unit pemakai sebagai acuannya bukan dengan unit
komoditi
.
Di samping kondisi preferensi dari individu-
individu, derajat interdependensi dari katagori JIG
ditentukan oleh tingkat biaya pengelakan (cost of
avoidance) dan derajat penyisihan (pre-emption). Makin
sulit (mudah) seseorang mengelakkan dirinya dari
pemanfaatan bersama suatu sumberdaya, makin leluasa
(terkendala) ia dalam upaya melakukan penyesuaian
antara preferensi dan taraf pemanfaatan. Makin tinggi
(rendah) derajat penyisihan yang dimiliki oleh
seseorang makin sulit (mudah) bagi orang lain untuk
menyalurkan preferensinya melalui upaya untuk
mempengaruhi kuantitas ataupun kualitas (dalam
produksi) suatu sumberdaya.
Dalam situasi di mana kehadiran sumberdaya memberi
efek negatif terhadap utilitas seseorang, sementara itu
ia tidak dapat mengelak dan tidak berkemampuan untuk
menentukan taraf kuantitas ataupun kualitas sumberdaya,
situasi interdependensi menjadi identik dengan
pemanfaatan yang tidak kompatibel. Interdependensi
dengan ciri ini akan hilang jika pengelakan sangat
Struktur Hak. T i ~ e Transaksi. Kekuasaan. dan Perilaku
Hak merupakan instrumen yang digunakan oleh
masyarakat untuk mengendalikan dan menata interdepen-
densi antar sesama anggotanya untuk memecahkan
persoalan mengenai distribusi (Schmid, 1987). Di taraf
operasional, struktur hak-hak terjabarkan dalam
perjanjian kontrak, yang mendefinisikan (distribusi)
hak dan kewajiban.
Perobahan dalam struktur kontrak berlangsung
melalui mekanisme transaksi tertentu. Schmid (1987)
mencatat tiga tipe transaksi, yaitu tawar-menawar,
administratif, dan status serta pemberian (grant).
Tipe transaksi tawar-menawar meliputi transfer hak-hak
dua arah, yakni berlangsung menurut kesepakatan timbal-
balik. Dalam transaksi administratif dan status serta
pemberian, transfer hak berlangsung satu arah. Tipe
administratif memiliki unsur perintah atau paksaan,
sedangkan pada tipe status dan pemberian tidak ada
unsur tawar-menawar maupun perintah. Pada kedua tipe,
arah dari transfer hak-hak diatur oleh institusi yang
berlaku, yang bersumber dari konstitusi atau hukum
negara (tipe administratif) dan aturan sosial-budaya
Dalam kasus di mana penunggangan gratis menggejala
penerapan transaksi tawar-menawar relatif tidak efektif
karena individu cenderung menyembunyikan permintaannya
akan sumberdaya bersangkutan. Transaksi administratif
relatif lebih efektif, terutama dalam menentukan
insentif (ataupun disinsentif) untuk menarik penunggang
gratis masuk kedalam sistem kontribusi dalam penyediaan
sumberdaya. Namun, karena didalamnya ada unsur
paksaan, cara ini cenderung mengakibatkan penunggangan
secara terpaksa (unwilling riding) dari individu
tertentu (Schmid, 1987).
Kekuasaaq. Kekuasaan adalah kemampuan untuk meng-
implementasikan kepentingan dari satu fihak yang
konflik dengan kepentingan fihak lain. Hal ini merupa-
kan fungsi dari hak, pilihan fihak lain, dan karakter
individu bersangkutan. Oleh karena itu, keefektifannya
dipengaruhi oleh pengakuan dari fihak lain, dan
kemampuan dari individu pemilik hak ini dalam mempe-
ngaruhi (atau membatasi) pilihan yang dilakukan oleh
fihak lain. Adanya peranan faktor hak sebagai salah
satu dimensi dari kekuasaan menunjukkan bahwa kekuasaan
merupakan produk dari institusi, baik yang bersumber
dari konstitusi negara maupun aturan-aturan sosial-
Perilaku. Perilaku merupakan respons terhadap
struktur hak-hak yang terbentuk, yang terwujud dalam
pola alokasi sumberdaya, yang dimotivasi oleh
kepentingan maksimasi (atau minimasi). Hal ini
diterima shbagai suatu fenomena umum, karena mengasum-
sikan bahwa di dalam kalkulasi maksimasi (minimasi)
juga termasuk unsur-unsur non-material (Lihat Becker,
1976)'.
Beberapa catatan yang ada relevansinya dengan
keperluan penelitian ini, ialah sebagai berikut
(Schmid, 1987). Pertama, kebajikan (benevolence) dapat
mencegah perilaku penunggangan gratis, sehingga apabila
perilaku ini menggejala, dapat dipandang sebagai
indikasi bahwa kebajikan bukan merupakan perilaku yang
dominan
.
Kedua, kebajikan dan kasih berperan pentingdalam tipe transaksi pemberian, dalam kasus utilitas
dari seseorang dipengaruhi pula oleh pengetahuan (atau
perkiraan) tentang utilitas dari fihak lain. Ketiga,
perilaku "pilihan tanpa perhitungan" (noncalculating
choice) mempunyai relevansi khusus dengan situasi
interdependensi karena biaya eksklusi tinggi. Apabila
penunggangan gratis menggejala, ha1 itu dapat dijadikan
indikasi bahwa Pesanggem didominasi oleh perilaku
pilihan tanpa perhitungan.
2. Peranaka Analitik
Sumber Interde~endensi
Penduduk di sekitar hutan sangat bergantung pada
hutan sebagai sumber pendapatan keluarga. Perhutani
juga tergantung pada hutan sebagai sumber pendapatan
negara
.
Berdasarkan kenyataan ini, dalam kontekspermasalahan yang telah diuraikan di muka, dapat diduga
bahwa lahan hutan1 merupakan faktor utama yang
bertalian dengan situasi interdependensi dengan ciri
pemanfaatan yang tidak kompatibel. Secara analitik
ha1 ini dapat dijelaskan, dengan acuan kegiatan
produksi dalam kontrak kerja sama, sebagai berikut.
Di dalam kontrak, Perhutani dan Pesanggem
menangkap manfaat produksi dari hasil perpaduan faktor-
faktor produksi lahan hutan (T)
,
tenaga kerja (L;diasumsikan seluruhnya dari dalam keluarga Pesanggem)
dan kapital (K). Di taraf unit Andil1, keduanya
berperan sebagai pengklaim residual, akan tetapi di
taraf manajemen sumberdaya hutan hanya Perhutani yang
berkedudukan sebagai pengklaim residual. Fungsi
produksi bagi Perhutani mengacu pada produksi komoditi
kayu, sedangkan bagi Pesanggem mengacu pada produksi
komoditi tanaman tumpang sari (pertanian). Persamaan
residu net0 untuk Perhutani (R1), untuk satu siklus
produksi dinyatakan sebagai:
di mana F(.), r, w, i f B1, dan k, berturut-turut adalah fungsi (nilai) produksi, proporsi bidang lahan hutan
untuk tanaman tumpang sari ( 0 1 ) tingkat upah,
tingkat harga kapitall, biaya supervisi dan
pengawasan2, dan uang kontrak yang diberikan kepada
Pesanggem. Untuk r=O, seluruh bidang lahan digarap
hanya untuk tanaman kayu maka uang kontrak k=O, dan
pendapatan bagi Pesanggem setara dengan wL. Untuk
O<r<l, pendapatan Pesanggem yang berasal dari residu
neto hasil produksi tanaman tumpang sari mensubstitusi
pendapatan tenaga kerja dalam bentuk upah langsung wL.
Persamaan residu net0 bagi Pesanggem dapat dinyatakan
sebagai :
di mana RZhtr menyatakan jumlah residu neto dari semua
siklus produksi tumpang sari selama masa kontrak, G(.)
fungsi (nilai) produksi tanaman tumpang sari dari satu
l ~ n t u k penyederhanaan
,
dalam penulisan model-model selanjutnya faktor kapital (K), yang tidak merupakan obyek kontrak, tidak dicantumkan tetapi dianggap implisit di dalamnya.siklus, dan B2 biaya yang dikeluarkan dalam urusan
untuk memperoleh hak garapan Andil. ( Asumsi :
komponen-komponen B1, B2, dan k dibelanjakan hanya
sekali selama satu siklus produksi tanaman kayu, atau
satu masa kontrak)
.
Persamaan (2.1) dapat dituliskembali menjadi:
Komponen-komponen penerimaan yang bersumber dari
lahan hutan adalah F(.) untuk Perhutani (di mana
sebagian dari F(.) ditransfer kepada Pesanggem dalam
bentuk uang kontrak, k), dan G(.) untuk Pesanggem.
Komponen-komponen B adalah biaya yang dipikul oleh
Perhutani maupun oleh Pesanggem sebagai bagian dari
biaya transaksi karena melakukan kontrak kerja sama.
Secara spesifik, kontrak Perhutanan Sosial
mengatur distribusi lahan hutan antara penggunaan untuk
tanaman kayu dan untuk tanaman tumpang sari, yaitu
dengan menentukan besaran r . Penentuan ini berlaku
selama jangka waktu kontrak, yang mencakup satu siklus
produksi tanaman kayu, dan beberapa siklus produksi
tanaman tumpang sari. Dengan demikian, lahan tergolong
asumsi bahwa peubah-peubah k dan B berkorelasi erat
dengan peubah r, persamaan-persamaan (2.2) dan (2.3),
sebagai fungsi dari struktur kontrak, dapat dinyatakan
pula sebagai fungsi dari r:
di mana
@,r<o
dan ncr>o, sehingga 6Rl/6RZht<0, yaknibahwa redistribusi hak-hak atas lahan hutan, antara
Perhutani dan penduduk di sekitar hutan, secara
potensial mengandung efek penurunan pendapatan bagi
salah satu fihak. Berdasarkan ha1 ini disimpulkan
bahwa karakteristik interdependensi yang inheren dalam
pemanfaatan sumberdaya lahan hutan tergolong dalam
katagori pemanfaatan yang tidak kompatibel.
Kuantitas tenaga kerja dalam kedua fungsi produksi
adalah identik, karena penggarapan Andil dengan tanaman
tumpang sari juga merupakan bagian dari kegiatan
silvikultur. Berdasarkan ha1 ini dapat diduga bahwa
Perhutani akan memperbesar luas bidang lahan untuk
tanaman tumpang sari sepanjang kenaikan residu neto R1
dari peningkatan kuantitas tenaga kerja (6L/6r>0) dapat
luas lahan untuk tanaman kayu (1-r). Dengan kata lain,
peningkatan proporsi lahan untuk tanaman tumpang sari
sangat sulit diharapkan apabila kontribusi tenaga kerja
terhadap peningkatan residu net0 R1 sangat marjinal.
Diduga bahwa biaya eksklusi yang ditanggung oleh
Perhutani cukup tinggi, sehingga mengakibatkan
tingginya derajat interdependensi dalam pemanfaatan
lahan hutan. Beberapa faktor yang diperkirakan
mempengaruhi tingginya biaya eksklusi adalah sebagai
berikut. Pertama, intensitas pemanfaatan (sumberdaya
lahan hutan) yang tinggi, di satu fihak disebabkan oleh
tingginya permintaan akan lahan oleh penduduk sekitar
hutan, dan di lain fihak oleh tingginya permintaan akan
produk hutan (kayu) dari masyarakat konsumen. Ada dua
faktor penting yang diduga sangat besar pengaruhnya
terhadap tingginya permintaan akan lahan (hutan) dari
penduduk sekitar hutan, yaitu besarnya populasi
penduduk dan tingginya permintaan per individu. Kedua,
sulitnya upaya eksklusi, dalam hubungannya dengan luas
lahan yang dikuasai dan besarnya populasi penduduk di
sekitar hutan. Diperkirakan bahwa upaya eksklusi
relatif lebih mudah ditempuh pada unit Andil daripada
pada unit hutan di Jawa secara agregat, karena luas
mungkin berakibat pengorbanan efisiensi dari skala
ekonomis, namun di lain fihak ha1 ini justru
memperbesar daya serap populasi penduduk ke dalam
pemanfaatan bersama (secara legal9 sumberdaya lahan
hutan. Ketiga, daya serap sektor ekonomi non-hutan,
diduga masih rendah. Rendahnya daya serap dari sektor
ini berarti substitusi sumberdaya lahan hutan sangat
terbatas, sehingga intensitas permintaan tetap tinggi.
Dalam situasi di mana pemanfaatan bersifat tidak
kompatibel disertai biaya eksklusi yang tinggi,
perilaku penunggangan gratis merupakan fenomena yang
mudah berkembang. Sejauh mana ha1 ini menggejala turut
pula dipengaruhi oleh mekanisme pengendalian sosial
yang bersumber dari interaksi antara sistem nilai yang
dianut dan situasi yang dihadapi oleh anggota
masyarakatl.
Penaendalian Sumber Interdependensi
Perilaku penunggangan gratis dapat dijumpai dalam
kasus dengan populasi (penduduk) berukuran kecil maupun
besar , Untuk kasus dengan ukuran populasi kecil, perilaku permainan (game-theoretic) cenderung dominan
dalam fenomena penunggangan gratis, sedangkan untuk
ukuran populasi besar, perilaku pilihan tanpa
perhitungan cenderung dominan di dalamnya. Dalam
situasi yang disebut terakhir ini, (Schmid, 1987)
mengemukakan hipotesis sebagai berikut:
W h e r e large group of people are involved, high-exclusion-cost goods are maintained and produced only under certain conditions that can unhorse the free ridern
Secara intuitif dapat disebutkan dua cara
pendekatan yang dapat ditempuh untuk menekan perilaku
penunggangan gratis, yaitu upaya eksklusi, atau
melibatkan pelaku dalam ikatan perjanjian. Jauh
sebelum penerapan Perhutanan Sosial, pendekatan pertama
mendominasi sistem pengamanan hutan di Jawa, yang
belakangan dinilai kurang sesuai, dari segi keefektifan
pengamanan hutan maupun dari segi sosial. Prinsip
pengamanan hutan dirobah dengan lebih menekankan unsur
partisipasi masyarakat dalam manajemen hutan, dan ha1
ini dijabarkan melalui restrukturisasi hak-hak antara
Perhutani dan Pesanggem, sebagaimana dijumpai dalam
kontrak Perhutgnan Sosial.
Dalam argumen yang mendukung penerapan Perhutanan
Sosial ditekankan bahwa peningkatan akses Pesanggem di
dalam manajemen sumberdaya lahan hutan dimaksudkan
untuk memperbesar drus manfaat aktual baginya. Hal ini
diduga merupakan bagian dari strategi Perhutani untuk
melibatkan penduduk di sekitar hutan ke dalam sistem
kontribusi, antara lain berdasarkan perhitungan bahwa
dengan jalan ini Perhutani akan lebih mudah melakukan
pengendalian terhadap perilaku penunggangan gratis.
3.
M
ode1 Penerapan Perhutanan SosialSecara grafik, hipotesis mengenai model penerapan
Perhutanan Sosial dapat digambarkan sebagai berikut.
Difinisi dan asumsi: (i) Pendapatan bagi Perhutani dan
bagi Pesanggem (diukur dalam bentuk residu neto)
mengacu pada jangka waktu satu siklus tanaman kayu, dan
perhitungan pendapatan bersifat ekspektasi; (ii)
pemanfaatan sumberdaya lahan hutan, sedangkan bagi
penduduk di sekitar hutan berasal dari pemanfaatan
lahan hutan melalui kontrak kerja sama (R2ht) dan dari
sektor non-(lahan) hutan (R2nht ) di mana RZt=RZht+RZnht; (iii) RZt* adalah taraf pendapatan
minimum untuk penduduk di sekitar hutan bertahan hidup.
(Rat dinyatakan dalam satuan residu neto per jumlah
penduduk di sekitar hutan), dan R l O 0 ialah taraf
pendapatan maksimum terjangkaukan yang dapat
dipertahankan selama pendapatan bagi penduduk di
sekitar hutan tidak lebih rendah daripada RZt*: dan
(iv) taraf teknologi produksi dan tingkat harga-harga
produk tetap.
Situasi mula-mula (Lihat Gambar 2.2a, halaman 44)
ialah: kerja sama dalam kontrak Tumpang Sari;
pendapatan bagi penduduk sekitar hutan setara dengan
RZtOO, di mana RZht dan RZnht>O; dan pendapatan bagi
Perhutani setara dengan R l m O . Situasi mula-mula ini
ditunjukkan oleh kedudukan k w r d i n a t di titik A.
Anggap sekarang bahwa pendapatan bagi penduduk di
sekitar hutan menurun menjadi setara dengan RZmlt,
misalkan karena RZnht=O. situasi ini mendorong
penduduk sekitar hutan untuk menambah pendapatan-
I . . . " .
hasil hutan di luar aturan dalam kontrak. Akibatnya,
taraf pendapatan Perhutani (R1) berkurang dari R l e O
menjadi R l e l , dan titik koordinat di C. Untuk
menanggapi situasi ini, andaikan bahwa Perhutani
melakukan pengendalian dengan jalan meningkatkan upaya
eksklusi. Upaya ini hanya sampai pada taraf tertentu,
karena penekanan "kerugianI1 secara tuntas tidak layak
secara ekonomik. Hasil yang diperoleh ialah kenaikan
pendapatan dari R l m l ke R l e 2
,
di mana R1.2<R1.0karena dua sebab: (i) pemungutan hasil hutan oleh
penduduk sekitar hutan tidak dapat ditekan sama sekali,
dan (ii) adanya tambahan biaya eksklusi positif. Titik
koordinat adalah D, dan taraf pendapatan penduduk di
sekitar hutan berada di bawah batas minimum (R2t<R2t*).
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, taraf
pendapatan R2t semakin menurun, misalkan sampai setara
dengan R2.2t, dan pengaruh yang ditimbulkan ialah makin
intensifnya pemungutan hasil hutan, dengan akibat
penurunan lebih lanjut taraf pendapatan bagi Perhutani
(misalnya) sampai pada taraf R1,3. Andaikan Perhutani
melakukan peningkatan lebih lanjut dalam upaya
eksklusi, dan hasilnya ditunjukkan oleh kedudukan
koordinat di titik E. Taraf pendapatan bagi Perhutani
sekitar hutan terletak di antara R2.2t dan R2.1t
( R2t<R2t*
-
Sekarang, andaikan bahwa kontrak Perhutanan Sosial
diadopsi, karena dilihat bahwa di satu fihak langkah
ini akan menaikkan pendapatan bagi penduduk di sekitar
hutan, dan di lain fihak dapat menghemat biaya eksklusi
serta meraih manfaat-manfaat tambahan lainnya, Anggap
bahwa titik koordinat baru yang dicapai ialah F, di
mana pendapatan kedua belah fihak dapat beranjak dari
taraf nterendahw (titik E atau E') ke taraf yang lebih
tinggi. Di titik (F) ini, pendapatan Perhutani lebih
rendah daripada taraf maksimum terjangkaukan (R1.O),
karena bagian dari pendapatan ini yang disalurkan untuk
penduduk di sekitar hutan, secara agregat mengalami
kenaikan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk.
Beberapa catatan dan implikasi yang dapat
diturunkan dari gambaran di atas ini adalah sebagai
berikut. Pertama, model ini menghipotesakan bahwa
faktor utama yang mendorong terjadinya perobahan dalam
struktur kontrak ialah pertambahan penduduk di sekitar
hutan dengan pendapatan yang semakin menurun, antara
lain karena menurunnya kontribusi pendapatan dari
sektor non-hutan, (Sekalipun begitu, proses penerapan
bawah kendali mekanisme harga, sebagaimana telah
ditunjukkan dalam bab pertama). Dengan mendifinisikan
A dan F sebagai titik-titik "stasionern, yaitu titik-
titik di mana struktur hak-hak yang berlaku dipatuhi
oleh kedua belah fihak, proses perobahan yang melewati
jalur ABCDEF dianggap sebagai satu siklus penyesuaian.
Untuk proses perobahan dalam jangka panjang, yang
mencakup beberapa siklus dan bermuara pada
kesepakatan akan struktur hak-hak alternatif, titik-
titik stasioner akan membentuk kurva A A O (Gambar 2.2b,
halaman 44)- Titik A O mengacu pada taraf pendapatan
R1=Rl* dan RZt=Rztt, yaitu berturut-turut batas minimum
bagi Perhutani untuk bertahan dengan pola bisnis saat
ini, dan batas minimum bagi penduduk di sekitar hutan
untuk bertahan dalam institusi yang berlaku. (Salah
satu kemungkinan yang bisa terjadi jika R1 menurun
lebih rendah daripada R1, ialah diadopsinya bentuk
kontrak alternatif yang merobah struktur pengklaim
residual, misalnya kontrak bagi hasil).
Kedua, peningkatan pendapatan bagi Perhutani dari
titik A O ke F (dengan diadopsinya kontrak Perhutanan
Sosial) dapat disebabkan oleh dua hal: (i) Penghematan
dalam biaya eksklusi; dan (ii) Efek positif dari
Perhutanan Sosial, misalnya dalam bentuk kenaikan dalam
performa produksi tanaman kayu; dan (iii) Lain-lain-
Peningkatan ini bisa positif, nol, ataupun negatif,
tergantung pada besaran komponen-komponen (i), (ii),
dan (iii),
Sub-bab di bawah ini memuat hipotesis penguji yang
diturunkan dari kerangka analitik dan model penerapan
kontrak Perhutanan Sosial.
4 . g
-B
.
.
etode Analisi BAda dua hipotesis (penguji)l utama yang dapat
diturunkan dari kerangka analitik yang dirumuskan di
atas digolongkan menjadi dua, yaitu: Pertama, kontrak
Perhutanan Sosial diterapkan sebagai salah satu
alternatif pengendalian fenomena penunggangan gratis.
Dengan kata lain, kontrak Perhutanan Sosial merupakan
suatu sistem kontribusi yang melibatkan kerja sama
antara Perhutani dan penduduk di sekitar hutan dengan
maksud untuk mengendalikan perilaku penunggangan
gratis- Bentuk-bentuk spesifik dari hipotesis pokok
ini, dan metode pengujian adalah sebagai berikut:
(i) Residu net0 bagi Pesanggem Perhutanan Sosial
lebih tinggi daripada pada Tumpang Sari. Metode
(pengujian): mengevaluasi nisbah residu net0 bagi
Pesanggem antara Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial.
(ii) Struktur hak-hak ditata dengan jalan mengen-
dalikan unsur-unsur produktif. Metode: mengevaluasi
proporsi butir-butir hak Perhutani yang berhubungan
dengan unsur-unsur produktif (lahan dan tanaman)
terhadap jumlah hak bagi Perhutani.
(iii) Struktur kontrak condong kepada Perhutani.
Metode : mengevaluasi proporsi butir-butir hak
~erhutani terhadap jumlah butir hak yang ditata dalam
kontrak
.
(iv) Pendistribusian hak-kewajiban dalam kontrak
Perhutanan Sosial berlangsung satu arah. Metode :
mengevaluasi proporsi butir hak-kewajiban yang
ditetapkan sefihak oleh Perhutani terhadap jumlah butir
seluruhnya.
(v) Dengan diadopsinya kontrak Perhutanan Sosial,
manfaat langsung yang diraih oleh Perhutani setinggi-
kontrak Tumpang Sari. Metode: mengevaluasi nisbah
residu net0 (bagi Perhutani) antara Tumpang Sari dan
Perhutanan Sosial. '
Kedua, kelanggengan kontrak Perhutanan Sosial
tergantung pada efek insentif yang aiterima oleh
Pesanggem. Metode: analisis pengaruh taraf-taraf
residu net0 di dalam dan di luar sistem terhadap
kecenderungan Pesanggem bertahan di dalam kontrak.
RonseD Penaukuran
Konsep pengukuran dari peubah-peubah yang diperlu-
kan dalam mendukung pengujian hipotesis diuraikan
sebagai berikut.
w.
Dua kriteria yangdigunakan untuk mengidentifikasikan adanya fenomena
penunggangan gratis dalam pemanfaatan hutan di Jawa,
ialah: (i) Pemanfaatan produk-produk hutan, oleh
penduduk di sekitar hutan, di luar kesepakatan dalam
semua tipe kontrak yang ada; dan (ii) Dominasi dari
mekanisme transaksi administratif dalam penataan
struktur kontrak. Identifikasi tipe transaksi
dilakukan bersamaan dengan analisis struktur kontrak.
ponfiaurasi kontrak. Konfigurasi struktur kontrak
dan Pesanggem, diidentifikasikan menurut tiga unsur
pokok, yaitu (i) Pembatasan atau pelonggaran dalam
aspek teknik produksi (menyangkut lahan dan tanaman),
(ii) Distribusi biaya dan manfaat dalam kontrak
kerjasama, dan (iii) Ketentuan-ketentuan yang mengenai
kepemilikan (lahan dan tanaman).
performa. Kriteria performa ialah: (i) Taraf
residu neto, dan (ii) Kontribusi dari peningkatan akses
Pesanggem terhadap lahan hutan. (Residu neto ialah
bagian dari nilai produksi total setelah dikurangi
dengan semua pengeluaran yang menjadi hak fihak lain,
yakni bukan pengklaim residual). Oleh karena kalkulasi
residu net0 bagi Perhutani sulit dilakukan, sebagai
alternatif digunakan proksi, yaitu persentase tumbuh
tanaman kayu yang dikaitkan dengan kenaikan biaya
lapangan sebagai konsekuensi dari penerapan kontrak
Perhutanan Sosial, dengan asumsi bahwa komponen-
komponen lain dari biaya dan taraf produksi tanaman
kayu sampai pada akhir siklus tidak terkena pengaruh
berarti oleh penerapan kontrak. Biaya lapangan terdiri
dari biaya produksi serta biaya supervisi dan
pengawasan. Biaya produksi yang dievaluasi hanya
meliputi tahap kegiatan peremajaan, dengan asumsi bahwa
K
s
.
Analisis mengenai kelanggengan dari kontrak Perhutanan Sosial,sebagai suatu sistem pengendalian fenomena penunggangan
gratis, didasarkan pada konsepsi berikut. Sistem
kontribusi berfungsi efektif hanya selama faktor-faktor
produksi yang.dikuasai oleh individu-individu yang bet-
beda dipadukan dalarm proses produksi. Kontrak adalah
instrumen yang mengatur bagaimana pola distribusi
imbalan diterapkan, berdasarkan kesepakatan yang
dicapai melalui proses transaksi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sistem kontribusi efektif hanya
selama fihak-fihak yang bertransaksi terikat oleh hak
dan kewajiban yang diatur di dalam kontrak. Berdasar-
kan ha1 ini maka evaluasi mengenai kelanggengan kontrak
Perhutanan Sosial didekati melalui analisis tentang
kecenderungan Pesanggem bertahan di dalam kontrak.
. .
Teknik Analisis
Dua teknik analisis yang diterapkan dalam peneli-
tian ini ialah analisis deskriptif, dengan dukungan
pengujian secara statistik pada bagian-bagian tertentu,
dan analisis kuantitatif. Teknik kuantitatif diterap-
kan untuk analisis kelanggengan kontrak Perhutanan
Data dan Penarikan Contoh
Penaum~ulan Data. Jenis-jenis data utama yang
diperlukan dalam penelitian ini ialah: (i) Data input-
output kegiatan produksi komoditi pertanian di lahan
Andil; dan (ii) Data biaya pendirian dan pemeliharaan
unit-unit Perhutanan Sosial dan Tunpang Sari, dari
tahun ke tahun, relevan dengan kelas usia contoh; dan
(iii) Penerimaan Pesanggem