SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGELAPAN
PAJAK DI INDONESIA
OLEH
ANGGITA GLORIA DAMANIK
100501079
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
PERSETUJUAN PERCETAKAN
Nama : ANGGITA GLORIA DAMANIK
NIM : 100501079
Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia
Tanggal, Ketua Program Studi
Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Se, Ph.D NIP : 19710503 200312 1 003
Tanggal, Ketua Departemen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
PERSETUJUAN PERCETAKAN
Nama : ANGGITA GLORIA DAMANIK
NIM : 100501079
Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan
Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia
Tanggal, Dosen Pembimbing
Paidi Hidayat, SE, M.Si NIP : 19750920 200501 1 002
Tanggal, Pembaca Penilai
Drs. Rujiman, M.A
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan
Pajak Di Indonesia” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai
tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Sumatera Utara.
Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari lembaga, sumber tertentu,
dan hasil karya orang lain telah mendapat izin dan/atau dituliskan sumbernya secara
jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila kemudian hari ditemukannya ada kecurangan dan plagiat dalam
skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 2015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia tahun 1999-2013. Dengan menggunakan pendekatan currency demand dan diestimasi dengan metode OLS maka diperoleh estimasi dari ekonomi bayangan dan penggelapan pajak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggelapan pajak, pendapatan riil perkapita, tarif pajak rata-rata, dan inflasi.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pendapatan riil perkapita dan tarif pajak rata-rata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak di Indonesia, sedangkan variabel inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2013.
ABSTRACT
This paper investigates the factors that determine tax evasion in Indonesia using time series data covering the period 1999-2013. Employing the currency demand approach and being estimated using the ordinary least square can be obtained the estimates of the shadow economy and the level of tax evasion for the entire period. Variables used in this study is tax evasion, the real income per capita, average tax rate, and inflation.
Estimation results indicates that per capita income and the average tax rate were negatively and significantly associated with tax evasion while inflation was negative and no significantly with tax evasion in Indonesia during the period of 1999-2013.
KATA PENGANTAR
Segala puji Syukur penulis panjatkan karena pertolongan Tuhan yang telah memberikan hikmat dan kemurahan-Nya sehingga panulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak Di Indonesia”. Oleh berkat karunia-Nya juga lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir yang harus di tempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik berupa dukungan materil, sumbangan pemikiran dan doa dalam penyusunan skripsi ini, yaitu kepada: 1. Orang tua penulis, Ayahanda Korpen Damanik dan Ibunda Rachel Anggunita
Mowisu yang senantiasa memberikan saya kasih sayang, doa, dukungan semangat dan materil selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk Abang saya Andrey Geardy Damanik, yang telah memberikan beberapa bantuan kepada saya selama penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Azhar Maksum, SE, M.Ec, Ac, Ak. Selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D selaku Ketua Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unversitas Sumatera Utara.
masukan yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini. Bapak Dr. Rujiman, MA selaku dosen pembanding I dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku dosen pembanding II yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Dosen dan pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan ilmu dan perhatiannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membacanya.
Medan, Mei 2015 Penulis
DAFTAR ISI 2.1 Tinjauan Umum Tentang Penggelapan Pajak ... 8
2.1.1 Teori-Teori Penentu Penggelapan Pajak ... 9
2.1.2 Faktor-Faktor Penentu Yang Mempengaruhi Pajak Di Indonesia ... 11
2.1.2.1.Hubungan Tarif Pajak Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 11
2.1.2.2.Hubungan Tingkat Pendapatan Riil Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 12
2.1.2.3.Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 13
2.2 Penelitian Terdahulu... 14
2.3 Kerangka Konseptual ... 17
3.6.2. Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, Dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia ...
4.1.5. Pendapatan Riil Perkapita ... 34
4.1.6. Inflasi ... 35
4.2. Uji Akar Unit ... 37
4.3. Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 39
4.4. Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, Dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia ... 40 4.5. Pengujian Statistik ... 41
4.5.1. Koefisien Determinasi (R2) ... 41
4.5.2. Uji F ... 42
4.5.3. Uji T ... 43
4.6. Analisis Ekonomi Hasil Estimasi Model ... 44
4.6.1. Hubungan Tarif Pajak Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 44
4.6.2. Hubungan Tingkat Pendapan Riil Perkapita Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 45
4.6.3. Hubungan Tingkat Inflasi Dengan Penggelapan Pajak Di Indonesia ... ... 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.2. Saran… ... 48
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
1.1 Ringkasan APBN 2010-2014……… ... 2
4.1. Tax Ratio Menurut Sektor Tahun 2008-2012 ... 32
4.2. Hasil Pengujian Akar Unit……… ... . 38
4.3. Hasil Regresi Model 1……… . . 39
4.4. Hasil Estimasi LM, IM,V, UE, Dan TE………... 40
4.5. Hasil Regresi Model 2………. 41
4.6. Nilai F-Tabel……… 42
4.7. Nilai T-Tabel……… 43
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.1 Kerangka Konseptual……….. .... 17
3.1. Bagan Prosedur Analisis Metode OLS... 27 4.1 Realisasi Penerimaan Pajak Menurut Jenis Pajak Di
Indonesia Tahun 2011-2013 (Dalam Triliun) ... 29 4.2 Illegal Money Indonesia Tahun 2001-2011 ... 31 4.3 Average Tax Rate Indonesia ... 33 4.4 Pendapatan Riil Perkapita Indonesia Tahun 1980-2013
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia tahun 1999-2013. Dengan menggunakan pendekatan currency demand dan diestimasi dengan metode OLS maka diperoleh estimasi dari ekonomi bayangan dan penggelapan pajak. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggelapan pajak, pendapatan riil perkapita, tarif pajak rata-rata, dan inflasi.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pendapatan riil perkapita dan tarif pajak rata-rata berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak di Indonesia, sedangkan variabel inflasi berpengaruh positif dan tidak signifikan dalam mempengaruhi penggelapan pajak di Indonesia dalam kurun waktu 1999-2013.
ABSTRACT
This paper investigates the factors that determine tax evasion in Indonesia using time series data covering the period 1999-2013. Employing the currency demand approach and being estimated using the ordinary least square can be obtained the estimates of the shadow economy and the level of tax evasion for the entire period. Variables used in this study is tax evasion, the real income per capita, average tax rate, and inflation.
Estimation results indicates that per capita income and the average tax rate were negatively and significantly associated with tax evasion while inflation was negative and no significantly with tax evasion in Indonesia during the period of 1999-2013.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan di negara sedang berkembang seperti Indonesia merupakan hal
yang sangat penting agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan. Namun, apabila
pemerintah dan masyarakat tidak dapat bekerjasama maka akan sulit untuk mencapai
pembangunan tersebut. Pembangunan tersebut tentunya memerlukan dana, dan pajak
merupakan sumber dana terbesar bagi suatu negara. Pajak memainkan peranan
penting dalam pembangunan ekonomi, dimana kebutuhan negara seperti program
sosial ataupun pengadaan infrastruktur untuk memperlancar jalannya perekonomian
dapat dibiayai oleh pajak. Selain itu juga pajak dapat membantu dalam pengalokasian
sumber daya alam, redistribusi pendapatan, dan dapat melindungi industri dalam
negeri dengan membatasi impor. Penyediaan pelayanan publik dan infrastruktur
dibiayai oleh pendapatan pajak yang merupakan faktor kunci untuk pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi. Namun sepertinya hal ini gagal dilakukan oleh kebanyakan
negara sedang berkembang dalam menggunakan pendapatan pajak untuk membiayai
pengeluaran publik mereka (Adamopoulus, 2010). Di Indonesia, target penerimaan
pajak setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan, hal itu dapat dilihat dalam
Tabel 1.1
Negri 992,2 1.205,3 1.332,3 1.497,5 1.661,1
1. Penerimaan dari
perpajakan 723,3 873,9 980,5 1.148,4 1.310,2
2. Penerimaan
Pusat 697,4 883,7 1.010,6 1.196,8 1.230,3
1. K/L 332,9 417,6 489,4 622,0 612,7
2. Non K/L 364,5 466,1 521,1 574,8 617,7
II.Transfer ke Daerah 344,7 411,3 480,6 529,4 586,4
1. Dana
Perimbangan 316,7 347,2 411,3 445,5 481,8
2. Dana Otonomi
Negri 96,1 148,7 198,6 241,1 173,2
II.Pembiayaan Luar
Negri (Netto) (4,6) (17,8) (23,5) (16,9) (19,0)
Kelebihan/(kekurangan)
Pembiayaan 44,7 46,5 21,9 0,0 0,0
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penerimaan negara melalui pajak
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap APBN. Oleh karena itu untuk
membiayai pengeluaran negara, maka dibutuhkan dukungan dari masyarakat dalam
meningkatkan kepatuhan untuk memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak yang
jujur dan bertanggung jawab. Namun dalam kenyataannya, kepatuhan masyarakat
dalam membayar pajak masih tergolong rendah. Pengamat perpajakan Universitas
Indonesia, Darussalam, yang dikutip dari media massa (m.detik.com/finance) pada
jumat 31 oktober 2014 menyebutkan bahwa:
“……kepatuhan pajak semakin tahun semakin berkurang. Terlihat dari
penyerahan SPT yang terus menurun. Hal ini terlihat pada tahun 2010 wajib
pajak yang menyampaikan SPT adalah 58%. Lalu pada 2011 turun menjadi
53%, 2012 sebesar 41%, dan 2013 sebesar 37%. Hal ini membuktikan
partisipasi masyarakat terhadap pajak semakin rendah. Ini kondisi yang cukup
buruk bila terus terjadi”.
Masalah kepatuhan membayar pajak disetiap negara berbeda. Seperti Amerika
Serikat sebagai negara maju kepatuhan pajaknya sudah tinggi, masalahnya adalah
adanya tindakan manipulasi pajak. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang
seperti Indonesia selain masalah kepatuhan pembayaran pajak yang rendah ada juga
masalah manipulasi pajak yang cukup tinggi, selain itu juga sistem perpajakan di
Indonesia yang telah mengalami perubahan menjadi self assessment system, hal ini
juga sangat memungkinkan wajib pajak untuk melakukan manipulasi pajak seperti
Reskino, et al. (2013) menyatakan bahwa yang melatarbelakangi tindakan
penggelapan pajak biasanya dikarenakan pajak dipandang sebagai suatu beban yang
akan mengurangi kemampuan ekonomis seseorang. Mereka harus menyisihkan
sebagian penghasilannya untuk membayar pajak. Padahal apabila tidak ada kewajiban
pajak tersebut, uang yang dibayarkan untuk pajak bisa dipergunakan untuk
menambah pemenuhan keperluan hidupnya.
Menurut Feige (1990), pendapatan yang tidak dilaporkan kepada khususnya
otoritas pajak, tentunya dengan maksud untuk menggelapkan/ menghindari tanggung
jawab untuk membayar pajak termasuk dalam golongan kegiatan ekonomi bawah
tanah (underground economy).
Keberadaaan ekonomi bawah tanah yang lepas dalam perhitungan pendapatan
nasional, makin membuat keberadaaan angka-angka makro ekonomi Indonesia
mengalami penyimpangan. Model pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan
meluasnya kegiatan ekonomi bawah tanah tak bisa dibiarkan. Membesarnya ekonomi
bawah tanah juga makin membuat kesalahan angka statistik, dan tentunya
mengakibatkan salah memprediksi atau mengeluarkan kebijakan.
Upaya untuk mengukur besarnya ekonomi bawah tanah telah dilakukan oleh
banyak peneliti dengan berbagai metode. Salah satu metode yang cukup banyak
digunakan dalam mengukur ekonomi bawah tanah adalah melalui pendekatan
moneter, yaitu dengan menganalisis permintaan uang kartal (Currency Demand).
Metode ini dikembangkan oleh Tanzi (1980) yang mendefinisikan ekonomi bawah
atau tidak tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak.
Menurut Tanzi, beban pajak merupakan faktor penyebab terjadinya kegiatan ekonomi
bawah tanah. Uang kartal atau currency adalah mata uang yang terdiri dari uang
kertas dan logam yang beredar di masyarakat, biasanya digunakan untuk transaksi
secara tunai sehingga sering disebut juga sebagai uang tunai. Alasan para pelaku
ekonomi bawah tanah lebih menyukai menggunakan uang tunai dalam melakukan
transaksi dengan tujuan untuk menyembunyikan jejak kegiatan mereka sehingga tidak
mudah ditelusuri oleh pemerintah, khususnya otoritas pajak. Transaksi yang
melibatkan pihak perbankan maupun lembaga keuangan lainnya akan relatif lebih
mudah menjadi data bagi pihak otoritas pajak. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal
Pajak memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak sehingga para aparatur pajak
mengetahui bagaimana tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.
Meskipun pemerintah telah melakukan pengawasan terhadap wajib pajak
untuk meminimalkan beban pajak dan mencegah kegiatan ekonomi bawah tanah,
penggelapan pajak merupakan kegiatan yang selalu menjadi masalah di Indonesia.
Kegiatan penggelapan pajak dapat mengurangi pendapatan negara yang menyebabkan
pelayanan publik berkurang sehingga akan berdampak pada masyarakat sebagai wajib
pajak.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyajikan penelitian dengan judul
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka pokok permasalahan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh tarif pajak terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.
2. Bagaimana pengaruh pendapatan riil perkapita terhadap tingkat penggelapan
pajak di Indonesia.
3. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah disimpulkan diatas, maka tujuan dari
penilitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh tarif pajak terhadap tingkat penggelapan
pajak di Indonesia.
2. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh pendapatan riil perkapita terhadap
tingkat penggelapan pajak di Indonesia.
3. Untuk menganalisis bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat penggelapan
pajak di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi bagi pengambil kebijakan. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan atau sumbangan saran sehingga dapat dirumuskan
kebijakan yang sesuai untuk mengatasi masalah yang timbul dalam penggelapan
2. Memberikan informasi bagi para akademis, diharapkan dapat memperluas
wawasan berpikir, mengembangkan kemampuan analisis, mengaplikasikan teori
ke dalam fakta yang terjadi dalam perekonomian, dan upaya pemecahan masalah
penggelapan pajak di Indonesia.
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya untuk menganalisis hal-hal yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan umum tentang Penggelapan Pajak
Aktivitas ekonomi yang berlangsung di suatu negara dapat di kelompokkan
menjadi dua, yaitu Recorded Economy dan Unrecorded Hidden Economy. Apabila
kita tinjau dari pencatatan aktivitas ekonomi tersebut ke GDP, Unrecorded Economy
inilah yang lebih sering kita dengar sebagai Underground/ Black/ Underground
Economy.
Menurut Silitonga dalam artikelnya yang berjudul Ekonomi Bawah Tanah dan
Pengampunan Pajak mengatakan bahwa ekonomi bawah tanah adalah bagian dari
kegiatan ekonomi yang sengaja disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran
pajak.
Menurut Feige (1990), pendapatan yang tidak dilaporkan kepada khususnya
otoritas pajak, tentunya dengan maksud untuk menggelapkan/ menghindari tanggung
jawab untuk membayar pajak (tax evasion) termasuk dalam golongan kegiatan
ekonomi bawah tanah (underground economy).
Penggelapan pajak mengacu pada tindakan yang tidak benar yang dilakukan
oleh wajib pajak mengenai kewajibannya dalam perpajakan.
Menurut Xynas (2011), penggelapan pajak merupakan usaha meringankan
beban pajak dengan cara melanggar ketentuan perundang-undangan yang dapat
Menurut Reskino, at al. (2013), Penggelapan pajak sebagai usaha yang
dilakukan oleh wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang. Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan pajak ini
dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal.
Menurut Sugiharti (2013), penggelapan pajak dapat berupa penggelapan oleh
wajib pajak terdaftar yang melaporkan pendapatan lebih rendah dari seharusnya
maupun kegiatan yang tidak terdaftar resmi atau perekonomian tersembunyi.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak
merupakan cara ilegal untuk tidak membayar pajak dengan melakukan tindakan
menyimpang (irregular acts) dalam berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan
dengan sengaja dan dalam keadaan sadar.
Mughal (2012)melakukan penelitian di 72 kota di Pakistan untuk mengetahui
alasan wajib pajak menghindari atau menggelapkan pajak. Menurut Mughal ada 10
alasan orang melakukan penghindaran dan penggelapan pajak, diantaranya tidak
adanya moralitas pajak, tarif pajak yang tinggi, buta penghitungan pajak, kurangnya
penegak hukum, kurangnya insentif pajak, sistem pajak yang kurang adil dan efisien,
tidak adanya sosialisasi, kurangnya hubungan antara wajib pajak dan pemerintah,
kemiskinan, dan proliferasi pajak.
2.1.1 Teori-Teori Penentu Terjadinya Penggelapan Pajak
Kajian dan analisis mengenai pengaruh faktor ekonomi terhadap penggelapan
pajak telah banyak dilakukan, yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968)
dimana individu diasumsikan akan memaksimalkan utilitas ekspektasinya melalui
suatu permainan penghindaran pajak dengan melakukan underreporting. Jumlah
penghasilan yang digelapkan tergantung pada probabilitas audit dan besarnya denda.
Selanjutnya teori tersebut dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972)
yang dikenal dengan model A-S atau teori utilitas ekspektasi, dimana pembayar pajak
diasumsikan sebagai pihak yang benar-benar tidak bermoral yang menyamakan
keputusan apakah melakukan penggelapan pajak atau tidak, dan berapa banyak,
dengan pendekatan keputusan beresiko yaitu sebagai suatu pilihan memaksimalkan
utilitas yang diekspektasi. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal
sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya
peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Keputusan melaporkan pajak
merupakan suatu keputusan dalam ketidakpastian sebab tidak melaporkan pendapatan
secara penuh tidak secara otomatis mendapat penalti. Wajib pajak dapat memilih
untuk melaporkan semua pendapatan aktualnya atau melaporkan dengan jumlah lebih
sedikit. Keputusan mengenai jumlah pendapatan yang dilaporkan tergantung pada
utilitas ekspektasi wajib pajak. Utilitas ekspektasi dianggap dapat dihitung yang
merupakan utilitas tertimbang dari kegiatan melaporkan seluruh pendapatan dan
melaporkan sebagian pendapatan dengan risiko terkena penalti. Keputusan kepatuhan
pajak dalam model A-S adalah menentukan jumlah pendapatan yang akan dilaporkan
agar dapat memaksimalkan utilitas ekspektasinya pada tataran perilaku penghindar
2.1.2 Faktor-Faktor Penentu yang Mempengaruhi Penggelapan Pajak di Indonesia
2.1.2.1Hubungan Tarif Pajak dengan Penggelapan Pajak di Indonesia
Tarif pajak menentukan tingkat penerimaan pajak dan berhubungan dengan
kecenderungan wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Misalnya tarif
progresif (tarif pajak yang akan semakin naik sebanding dengan naiknya dasar
pengenaan pajak pada level terakhir menjadi tinggi) pada penghasilan kena pajak
tertentu maka wajib pajak akan mencari altematif untuk menghindari tarif progresif
yang terakhir. Misalnya, dengan cara meningkatkan biaya merger, atau pemecahan
badan usaha (langkah mengurangi keuntungan kena pajak). Langkah tersebut
dilakukan oleh wajib pajak bila memperoleh benefit yang lebih tinggi.
Tarif pajak merupakan bagian penghasilan yang dilaporkan yang harus
dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan tertentu yang
dilaporkan, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin
rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan
insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya kepada administrasi
pajak.
Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi yaitu
penghasilan sebelum pajak, tarif pajak dan penalti. Berdasarkan konsep expected
utility sebagaimana model A-S, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya
sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya
mendorong wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya pada administrasi pajak
namun apabila tarif pajak dan penghasilannya tinggi, wajib pajak akan cenderung
untuk tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini didukung
oleh beberapa temuan empirik yang memperlihatkan penurunan kepatuhan pajak
seiring meningkatnya tarif pajak (Clotfelter,1983).
2.1.2.2Hubungan Tingkat Pendapatan Riil Perkapita dengan Penggelapan Pajak di Indonesia
Pendapatan riil perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di
suatu negara. Pendapatan riil perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan
nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per
kapita juga merefleksikan PDB per kapita.
Pendapatan riil perkapita sering digunakan sebagai tolok ukur kemakmuran
dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan riil perkapitanya,
semakin makmur negara tersebut. Apabila pendapatan riil perkapita turun maka daya
beli masyarakat lebih lemah, masalah-masalah sosial dan perilaku wajib pajak
berubah yaitu cenderung untuk mengurangi atau menghilangkan sama sekali
kewajiban perpajakannya. Dengan melemahnya daya beli, kemungkinan uang untuk
melunasi kewajiban pajak dialihkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Pada
keadaan seperti ini maka dimungkinkan terjadinya tingkat penggelapan pajak yang
tinggi oleh wajib pajak.
Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi
menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model (ARDL
ECM) dan uji kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang
menunjukkan bahwa tingkat pendapatan riil perkapita di Ghana berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap tingkat penggelapan pajak. Dimana semakin rendah tingkat
pendapatan perkapita maka tingkat penggelapan pajak akan semakin tinggi.
2.1.2.3Hubungan Tingkat Inflasi dengan Penggelapan Pajak di Indonesia
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat,
berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai
termasuk juga akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain,
inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara terus-menerus.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi
adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses
kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling memengaruhi.
Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang
kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.
Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian
menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak
bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga
Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta
serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga
sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Hal ini akan berpengaruh terhadap kewajiban mereka dalam membayar pajak, dimana
mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan pokoknya terlebih dahulu daripada
melaksanakan kewajiban mereka dalam membayar pajak. Dalam situasi seperti ini
maka dimungkinkan akan terjadi tingkat penggelapan pajak yang tinggi oleh wajib
pajak.
Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang berkontribusi
terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010. Dengan
menggunakan metode Auto Regressive Distributed Error Correction Model dan uji
kointegrasi bound testing, berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan
bahwa tingkat inflasi di Ghana berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat
penggelapan pajak. Dimana semakin tinggi tingkat inflasi maka tingkat penggelapan
pajak pun meningkat.
2.2 Penilitian Terdahulu
Kajian dan analisis mengenai pengaruh faktor ekonomi terhadap kepatuhan
pajak ataupun penggelapan pajak yang pertama kali dilakukan oleh Becker (1968)
dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi kriminal, dimana individu
diasumsikan akan memaksimalkan utilitas ekspektasinya melalui suatu permainan
penghindaran pajak dengan melakukan underreporting. Jumlah penghasilan yang
penelitian tersebut dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972) yang dikenal
dengan model pendekatan penggelapan pajak yang menggunakan konsep expected
utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan
variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum
pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Keputusan
melaporkan pajak merupakan suatu keputusan dalam ketidakpastian sebab tidak
melaporkan pendapatan secara penuh tidak secara otomatis mendapat penalti. Wajib
pajak dapat memilih untuk melaporkan semua pendapatan aktualnya atau melaporkan
dengan jumlah lebih sedikit. Keputusan mengenai jumlah pendapatan yang
dilaporkan tergantung pada utilitas ekspektasi wajib pajak. Utilitas ekspektasi
dianggap dapat dihitung yang merupakan utilitas tertimbang dari kegiatan
melaporkan seluruh pendapatan dan melaporkan sebagian pendapatan dengan risiko
terkena penalti. Keputusan kepatuhan pajak dalam model A-S adalah menentukan
jumlah pendapatan yang akan dilaporkan agar dapat memaksimalkan utilitas
ekspektasinya pada tataran perilaku penghindar risiko. Bagaimanapun jumlah
pendapatan yang dilaporkan dengan jumlah pendapatan yang sebenarnya adalah
ambigu.
Yitzhaki (1974) membuat model penggelapan pajak yang berbeda dengan
memfokuskan pada dampak substitusi (subsitution effect) dari penalti. Argumen yang
digunakan, yaitu jika tarif penalti berhubungan secara proporsional dengan tarif
pajak, maka dampak subtitusi dapat dihilangkan, yang ada hanya lah dampak
Pada tataran teori sebagaimana model A-S yang dimodifikasi oleh Yitzhaki
(1974), tarif pajak dianggap mempengaruhi secara negatif terhadap kepatuhan pajak,
yaitu semakin besar tarif pajak, kepatuhan pajak akan semakin menurun yang
menyebabkan penggelapan pajak meningkat. Hal ini didukung oleh beberapa temuan
empirik yang memperlihatkan penurunan kepatuhan pajak seiring meningkatnya tarif
pajak (Clotfelter,1983). Hasil penelitian empiris lain menemukan hasil yang berbeda
hubungan antara tarif pajak dengan kepatuhan pajak, menemukan hubungan positif
antara tarif pajak dengan kepatuhan pajak (Andreoni et al.,1998).
Sejumlah penelitian empiris juga sudah dilakukan untuk mengetahui dengan
pasti faktor-faktor yang mempengaruhi penggelapan pajak.
Tanzi (1983) melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan moneter
yaitu dengan menganalisis permintaan uang kartal (Currency Demand). Dia
mengestimasi ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah dan penggelapan pajak
di Amerika Serikat pada periode 1929-1980. Pendekatannya menunjukkan bahwa
dalam ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah, transaksi yang selalu digunakan
adalah dengan pembayaran tunai, hal ini dilakukan agar tidak meninggalkan jejak
yang akan dapat dilacak oleh otoritas moneter. Peningkatan tingkat ekonomi
bayangan atau ekonomi bawah tanah menunjukkan peningkatan permintaan terhadap
mata uang.
Selain itu, Annan et al. (2010) menganalisis faktor-faktor penentu yang
berkontribusi terhadap tingkat penggelapan pajak di Ghana periode 1970-2010.
bawah tanah dan tingkat dari penggelapan pajak. Dengan menggunakan metode Auto
Regressive Distributed Error Correction Model dan uji kointegrasi bound testing,
berdasarkan hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa rata-rata tarif pajak,
umur, dan inflasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap
penggelapan pajak sementara pendapatan riil perkapita dan jenis kelamin memiliki
hubungan negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.
Schneider et al. (2008) menganalisis karakteristik dari tarif pajak dan
penggelapan pajak dalam jangka panjang diItali periode 1980-2004. Mereka
menggunakan teknik kointegrasi, ditemukan bahwa tarif pajak yang sebenarnya dan
penggelapan pajak saling mempengaruhi satu sama lain. Mereka menyimpulkan
bahwa dalam jangka panjang tarif pajak merupakan salah satu penentu dari
penggelapan pajak.
2.3 Kerangka Konseptual
Tarif Pajak
Pendapatan Riil Penggelapan
Perkapita Pajak
Inflasi
2.4 Hipotesis Penelitian
Bertitik tolak dari identifikassi masalah serta kerangka konseptual yang telah
digambarkan diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Tarif Pajak mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat
penggelapan pajak di Indonesia.
2. Tingkat Pendapatan Riil mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia.
3. Inflasi mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat dua permasalahan yang akan dibahas, sehingga
memerlukan dua langkah perhitungan. Masing-masing perhitungan berdiri sendiri.
Estimasi yang pertama dilakukan untuk memperoleh model estimasi dari tingkat
penggelapan pajak di Indonesia. Kemudian estimasi yang kedua untuk menganalisis
bagaimana pengaruh tarif pajak, pendapatan riil perkapita, dan tingkat inflasi terhadap
tingkat penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dalam bentuk kurun waktu
(time series) yang bersifat kuantitatif yaitu berbentuk angka-angka yang tercatat dari
World Bank, Bank Indonesia, dan BPS pada kurun waktu 1999-2013, adapun data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data pendapatan riil perkapita, tarif pajak,
dan inflasi. Dan untuk menghitung besarnya nilai penggelapan pajak diperlukan data
currency, M1 ratio, M2 ratio, PDB, total pajak, tarif pajak, tingkat suku bunga, dan
pendapatan riil perkapita.
3.3. Batasan Operasional
Dalam penelitian ini variabel terikat adalah tax evasion, dimana nilai dari tax
approach), sedangkan untuk variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah tingkat rata-rata tarif pajak, pendapatan riil perkapita dan tingkat inflasi.
3.4 Definisi Operasional
1. Penggelapan pajak menggambarkan tingkat penggelapan pajak yang terjadi di
Indonesia pada periode 1999-2013.
2. Pendapatan riil perkapita menggambarkan besarnya pendapatan perkapita yang
sudah memperhitungkan harga-harga barang dan inflasi di Indonesia pada periode
1999-2013.
3. Tarif pajak menggambarkan rasio jumlah pajak yang dibayarkan terhadap jumlah
penghasilan kena pajak yang terjadi di Indonesia pada periode 1999-2013.
4. Inflasi menggambarkan tingkat kenaikan harga-harga secara umum yang terjadi di
Indonesia pada periode 1999-2013.
3.5 Pengolahan Data
Dalam pengolahan data penulis menggunakan software e-views 7.0, dan excel
sebagai software pembantu dalam mengkonversi data kedalam bentuk baku yang
disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif untuk digunakan
pada software e-views nantinya.
3.6 Model Analisis
3.6.1 Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia
Pendekatan moneter untuk mengukur besar dari ekonomi bayangan dan
penggelapan pajak telah menjadi pendekatan yang paling popular digunakan.
Approach) yang dikenalkan oleh Cagan (1958) dan kemudian dikembangkan oleh
Tanzi (1980). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa transaksi bayangan dilakukan
melalui pembayaran tunai, hal ini dilakukan agar jejak transaksi bayangannya tidak
dapat diketahui oleh pemerintah. Dalam rangka menyembunyikan sumber
pendapatannya dari fiskus pajak, pelaku ekonomi yang melakukan ekonomi bayangan
lebih menyukai menggunakan uang tunai. Dalam hal ini, kenaikan currency ratio
(cateris paribus), dapat menunjukkan peningkatan ekonomi bawah tanah. Tanzi
(1983) mengasumsikan bahwa pendekatan currency demand didasari pada korelasi
antara permintaan currency dan tekanan pajak, sehingga ekonomi bawah tanah tidak
terjadi ketika pajak sama dengan nol. Dia kemudian mengatakan bahwa selisih antara
estimasi currency dengan pajak dan estimasi currency tanpa pajak dapat
menghasilkan estimasi currency dalam ekonomi bawah tanah.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tanzi (1983), Faal
(2003), dan Bekoe (2010) yang telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang
berpengaruh terhadap tingkat currency yang dimiliki oleh masyarakat dalam beberapa
periode, maka berdasarkan penelitian tersebut dapat dilakukan estimasi persamaan
currency demand untuk menentukan besarnya tingkat ekonomi bawah tanah dan
penggelapan pajak. Berdasarkan teknik OLS, dapat dilakukan estimasi persamaan
(
�⁄�)
t = � + � n��� + � �� + � ���� + �rPCY = Pendapatan Riil Perkapita
� = Error Term Ln = Natural Logarithm
Dengan menggunakan hasil dari estimasi model currency-M2 tersebut,
kemudian dapat diestimasi seberapa besar tingkat underground economy dan
penggelapan pajak melalui cara yang dipakai oleh Tanzi (1980, 1983), Schneider
(2007), yaitu pertama dengan menghitung seberapa besar tingkat illegal money, legal
money, velocity of money (perputaran uang), underground economy, dan terakhir
M1 = currency + permintaan deposit (Uang sempit) IM = Illegal Money
Velocity (V) = � �
Dimana:
Underground Economy (UE) = IM * V
3.6.2 Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model yang
merupakan dasar bagi sebagian besar model penggelapan pajak yang pertama kali
dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi
criminal (economics of crime), dan kemudian dikembangkan oleh Allingham dan
Sandmo (1972) yang dikenal dengan model pendekatan penggelapan pajak yang
menggunakan konsep expected utility yang selanjutnya dimodifikasi oleh Yitzhaki
(1974), Clotfelter (1983) dan Tanzi (1993). Dimana estimasinya adalah sebagai
berikut:
1nTEt= α0+ α1 1n ATRt+ α2 1n rPCYt+ α3 INFt + µt
Dimana:
TE = Tax Evasion (Penggelapan Pajak) ATR = Average Tax Rate (Tarif Pajak Rata-rata)
rPCY = real Per Capita Income (Pendapatan Riil Perkapita) INF = Inflasi
3.7 Metode Analisis
3.7.1 Uji Stationer ( Unit Root Test )
Tahap pertama yang dilakukan dalam perhitungan data yang bersifat time
series adalah uji unit root yaitu dengan melakukan pengujian stasioneritas pada
tiap-tiap variabel yang akan digunakan dalam model sehingga dapat diketahui apakah
variabel yang diuji bersifat stasioner pada tingkat level atau stasioner pada difference.
Jika data time series tidak stasioner pada level nol I(0), maka stasioneritas data dapat
dicari melalui berbagai difference sehingga diperoleh tingkat stasioneritas pada order
ke-n (first difference I(1), atau second difference atau I(2), dan seterusnya).
Persamaan regresi yang digunakan pada pengujian ini adalah sebagai berikut:
1) ∆Yt= δYt-1 + ut (tanpa intercept)
2) ∆Yt= β+ δYt-1 + ut (dengan intercept)
3) ∆Yt= β1+ β2t + δYt-1 (intercept dengan trend waktu)
Keterangan:
∆ = first difference dari variabel yang digunakan t = variabel trend
δ = ρ-1, jika ρ = 1, terdapat unit root, tidak stasioner.
Variabel bersifat stasioner apabila nilai rata-rata, varians dan kovariansnya
konstan pada setiap titik waktu, namun apabila tidak stasioner akan berakibat series
tersebut memiliki time-varying mean atau time-varying variance. Variabel yang tidak
stasioner bila digunakan dalam regresi dapat menghasilkan spurious regression, yaitu
regresi dengan hasil yang bagus namun data yang digunakan tidak stasioner sehingga
Salah satu bentuk paling sederhana dari series yang tidak stasioner adalah
bentuk random walk adalah yt = yt-1 + ɛt dimana ɛt merupakan gangguan random yang
bersifat stasioner. Series y memiliki konstanta yang nilainya cenderung berubah
sesuai dengan perubahan waktu, sehingga tidak stasioner. Akan tetapi random walk
disebut difference stasionary series, karena turunan pertamanya berbentu stasioner yt
- yt-1 = ɛt.
Sebuah difference stasionary series dikatakan terintegrasi dan dilambangkan
sebagai I(d), dimana d merupakan tingkat integrasinya. Tingkat integrasi adalah
banyaknya unit root yang dikandung di dalam sebuah series, atau berapa kali operasi
diferensiasi harus dilakukan untuk membuat series menjadi stasioner. Pada kasus
random walk diatas, unit rootnya 1, maka y merupakan series I(1).
Dalam penelitian ini untuk melakukan pengujian stasioner pada
masing-masing variabel digunakan metode Philips-Perron, yaitu dengan menggunakan
pendekatan nonparametrik untuk menjaga kemungkinan terjadinya serial correlation
dalam error terms tanpa menambahkan lagged difference terms pada regresi.
Kelebihan Phillips-Perron (PP) test adalah ketiadaan masalah dalam memilih
panjang lag. PP juga mengadopsi adanya perubahan yang signifikan dalam data time
series seperti misalnya structural break (kenaikan inflasi yang tiba-tiba, kenaikan
indeks harga perdagangan dan lain-lain).
Prosedur pengujian stasioner adalah sebagai berikut :
1. Langkah pertama dalam uji unit root adalah melakukan uji terhadap level series.
adalah stasioner pada tingkat level atau dengan kata lain series terintegrasi pada
I(0).
2. Jika semua variabel adalah stasioner, maka estimasi terhadap model yang
digunakan adalah dengan regresi OLS.
3. Jika dalam uji terhadap level series hipotesis ada unit root untuk seluruh series
diterima, maka pada tingkat level seluruh series adalah tidak stasioner.
4. Langkah selanjutnya adalah melakukan uji unit root terhadap first difference dari
series.
5. Jika hasilnya menolak hipotesis adanya unit root, berarti pada tingkat first
difference, series sudah stasioner atau dengan kata lain semua series terintegrasi
pada orde I(1), sehingga estimasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode
kointegrasi.
6. Jika uji unit root pada level series menunjukkan bahwa tidak semua series adalah
stasioner, maka dilakukan first difference terhadap seluruh series.
7. Jika hasil uji unit root pada tingkat first difference menolak hipotesis adanya unit
root untuk seluruh series, berarti seluruh series pada tingkat first difference
terintegrasi pada ordo I(0), sehingga estimasi dilakukan dengan metode regresi
OLS pada tingkat first difference-nya.
8. Jika hasil uji unit root menerima hipotesis adanya unit root, maka langkah
berikutnya adalah melakukan diferensiasi lagi terhadap series sampai series
9. Jika semua variabel adalah tidak stasioner, estimasi terhadap model dapat
dilakukan dengan teknik kointegrasi.
Prosedur langkah-langkah penggunaan model analisis OLS dapat dilihat
dalam bagan di bawah ini:
Bagan Prosedur analisis metode Ordinary Least Square (OLS)
3.7.1.1Uji Kointegrasi
Keberadaan variabel yang tidak stasioner menyebabkan kemungkinan besar
adanya hubungan jangka panjang antara variabel di dalam sistem ECM. Berkaitan
dengan hal ini, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi ECM adalah uji
kointegrasi untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Konsep
kointegrasi adalah hubungan linier antar variabel yang tidak stasioner. Salah satu
orde yang sama. Jika ada dua variabel yang terintegrasi pada orde yang berbeda,
maka kedua variabel ini tidak mungkin berkointegrasi (Enders, 1995: 358-360). Jadi
sebelum melakukan uji kointegrasi, seluruh variabel harus terintegrasi pada orde yang
sama. Uji kointegrasi dilakukan dengan menggunakan metode Engle dan Granger.
Dari hasil estimasi regresi akan diperoleh residual. Kemudian residual tersebut diuji
stationernya, jika stationer pada orde level maka data dikatakan terkointegrasi.
3.7.1.2Uji Error Correction Model (ECM)
Setelah melakukan uji regresi kointegrasi dan hasil pada model kointegrasi
atau dengan kata lain mempunyai hubungan atau keseimbangan jangka panjang.
Bagaimana dengan jangka pendeknya, sangat mungkin terjadi ketidakseimbangan
atau keduanya tidak mencapai keseimbangan. Teknik untuk mengoreksi
ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang disebut
dengan ECM, yang dikenalkan oleh Sargan dan dipopulerkan oleh Engle-Granger.
Model ECM mempunyai beberapa kegunaan namun yang paling utama bagi
pekerjaan ekonometrika adalah mengatasi masalah data time series yang tidak
0
Pada bagian ini akan dipaparkan hasil perhitungan dan analisis bagaimana
hubungan yang terjadi antara tarif pajak, pendapatan riil perkapita, dan inflasi
terhadap tingkat penggelapan pajak di Indonesia pada tahun 1999-2013 berdasarkan
metodologi penelitian yang telah dikemukakan pada Bab III.
4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Penerimaan Pajak
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling besar untuk
membiayai pengeluaran negara. Bila Pemungutan pajak ditingkatkan, maka secara
otomatis penerimaan negara akan bertambah besar, dengan demikian pemerintah akan
lebih leluasa dalam membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan.
Sumber: Kementrian Keuangan (diolah)
Gambar 4.1
Penerimaan pajak tahun 2013 diprediksi jauh dari target pencapaian yang
tertuang dalam Anggaran Pendapatan Negara Perubahan (APBN-P) 2013. Dari target
Rp. 1.139,32 triliun yang ditetapkan, diprediksi capaian realisasi total penerimaan
pajak sampai akhir tahun hanya mencapai Rp. 1.040,32 triliun atau sebesar 91.31%
dari target. Ini merupakan titik terendah realisasi pencapaian target penerimaan pajak
dalam tiga tahun terakhir ini.
Hampir semua jenis penerimaan pajak tidak akan mencapai target yang sudah
ditetapkan kecuali untuk pajak penghasilan (PPh) Migas yang diprediksi akan
melampaui target yang ditetapkan. Realisasi penerimaan pajak yang mendapat
sorotan adalah penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan
Nilai Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Perdagangan Internasional.
Dari target Rp. 423,70 triliun yang ditetapkan untuk penerimaan PPn dan
PPnBM, diperkirakan hanya akan tercapai sebesar Rp. 369,70 triliun atau sebesar
87,26%. Dan untuk Pajak Perdagangan Internasional capaian realisasi penerimaan
diperkirakan hanya sebesar Rp. 41,71 triliun atau sebesar 86,14% dari target yang
ditetapkan.
4.1.2 Penggelapan Pajak
Permasalahan perpajakan terutama rendahnya target dan realisasi pada tiap
tahun belum beranjak dari permasalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun. Bahkan
nyaris tidak ada permasalahan baru terutama permasalahan internal di otoritas
perpajakan Indonesia. Rendahnya target pencapaian penerimaan pajak ditahun 2013
penghindaran pajak dan penggelapan pajak oleh wajib pajak badan dan pribadi.
Global financial integrity (2011) merilis dari 2001-2010, total uang illegal yang
keluar dari Indonesia sebesar US$ 103 miliar (rata-rata tiap tahunnya kira-kira US$
9.6 miliar atau Rp 100-110 triliun).
Sumber: Global financial integrity (diolah)
Gambar 4.2
Illegal Money Indonesia Tahun 2001-2011
4.1.3. Tax Ratio
Indonesia termasuk lower middle income country. Negara-negara dalam
kelompok ini biasanya memiliki rata-rata tax ratio sebesar 19%-26% dari PDB. Tax
ratio yang merupakan persentase penerimaan perpajakan terhadap PDB menjadi
ukuran penilaian kemampuan pemerintah dalam memungut pajak dan
mengumpulkannya.
0 20 40 60 80 100 120 140 160
Table 4.1
Tax Ratio Menurut Sektor Tahun 2008-2012
Klasifikasi Lapangan Usaha Tahun
Sumber: Kementerian Keuangan, Republik Indonesia (diolah)
Tingginya praktek penghindaran pajak dan penggelapan pajak disektor
industri ekstraktif/ pertambangan, penggalian dan sektor industri pengolahan sudah
sangat memprihatinkan. Sektor pertambangan dan penggalian, pada tahun 2012
memberikan sumbangan terhadap tax ratio hanya sebesar 6,3%. Dimana total
penerimaan pajak disektor pertambangan dan penggalian tahun 2012 hanya sebesar
60,73 triliun, padahal PDB untuk sektor ini sudah sebesar Rp. 970,6 triliun. Dalam
praktiknya, sektor ini sangat rawan teradinya praktik-praktik penghindaran pajak dan
penggelapan pajak terutama untuk sub sektor migas dan sub sektor pertambangan
batu bara. Penerimaan pajak dari sub sektor migas jauh dibawah potensi ekonomi
yang dimiliki oleh sektor ini. Lemahnya regulasi dan sistem pengawasan disektor
migas dan transparansi yang kurang serta praktik-praktik penghindaran pajak dan
penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan migas merupakan tindakan yang
4.1.4 Tarif Pajak Rata-Rata
Tarif pajak merupakan variabel yang sering menjadi objek kebijakan, namun
pemahaman terhadap permasalahan bagaimana perubahan tarif pajak mempengaruhi
kepatuhan pajak masih terbatas.
Berikut adalah tarif pajak rata-rata Indonesia tahun1999-2013:
Sumber: World Bank (diolah)
Gambar 4.3
Average Tax Rate Indonesia
Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat dilihat bahwa tarif pajak rata-rata
Indonesia dari tahun 1999-2004 berada pada nilai 30%, kemudian meningkat pada
tahun 2005-2008 sebesar 31.4%. Pada tahun 2009-2011 tarif pajak rata-rata turun
menjadi 28.7%, kemudian pada tahun 2012-2013 mengalami peningkatan sebesar
31.4%. Dengan tinggi nya tarif pajak rata-rata Indonesia membuat Indonesia kalah
dalam perebutan FDI, selain itu juga memicu terjadinya
penyimpangan-penyimpangan pajak melalui skema transfer pricing, royalty, dan rekayasa tax
shifting lainnya, yang dapat menggerus penerimaan pajak negara ini. Fenomena ini
0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
menjadikan hambatan dalam iklim investasi dan daya saing negara. Karena pihak
wajib pajak luar negri (FDI) selalu berusaha menggeser beban, akibatnya beban pajak
menjadi tanggung jawab wajib pajak dalam negri sendiri.
4.1.5 Pendapatan Riil Perkapita
Sejak akhir 1970-an, Pemerintah Indonesia mulai memperlihatkan
kesungguhan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejak itu aspek
pemerataan dalam trilogi pembangunan semakin ditekankan dan ini diidentifikasikan
dalam delapan jalur pemerataan. Sudah banyak program-program dari pemerintah
pusat hingga saat ini yang mencerminkan upaya tersebut, seperti program serta
kebijkan yang mendukung pembangunan industri kecil, rumah tangga dan koperasi,
Program Keluarga Sejahtera, Program KB, UMR, UMP, dan lain sebagainya. Dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut, pendapatan rata-rata perkapita di
Indonesia mengalami suatu peningkatan yang pesat.
Sumber: world bank (diolah)
Gambar 4.4
Dari Gambar 4.4 diatas, dapat dilihat bahwa dibandingkan pada tahun
1980-1998, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup
signifikan, terutama dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (2008, 2009, 2010, 2011,
2012, dan 2013). Indonesia mengalami pergerakan pendapatan perkapita sebagai
berikut:
1. Sebelum tahun 1990, Indonesia masuk ke negara berpendapatan rendah (low
income countries), yaitu negara-negara yang pendapatan perkapita penduduknya
<US$ 785.
2. Pada tahun 1990-2013, pendapatan perkapita penduduk Indonesia meningkat
antara US$ 785–3.125. Dimana tahun 2011-2013, income per capita Indonesia
mencapai lebih dari US$2500.
Tahun 2010 Perekonomian Indonesia memang sedang naik daun. Ketika dunia
dilanda krisis, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh positif, bahkan hingga
4,5 persen pada 2009. Padahal, tahun itu banyak negara mengalami kemerosotan
dalam perekonomian.
4.1.6 Inflasi
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi Indonesia lebih tinggi dibanding
negara-negara berkembang lain. Sementara negara-negara berkembang lain tingkat
inflasinya mencapai sekitar tiga sampai lima persen per tahun dalam periode 2005
sampai 2013, tingkat inflasi di Indonesia mencapai rata-rata 8.5 persen per tahun
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sumber: Bank Indonesia (diolah)
Gambar 4.5
Inflasi Indonesia Tahun 1999-2013
Puncak volatilitas inflasi Indonesia berhubungan dengan kebijakan
penyesuaian harga oleh pemerintah. Harga-harga energi (bahan bakar minyak dan
listrik) ditetapkan oleh pemerintah dan oleh karena itu tidak mengikut kondisi pasar,
yang berarti defisit yang muncul harus diserap oleh subsidi. Hal ini mengakibatkan
tekanan besar pada defisit anggaran tahunan pemerintah dan juga membatasi
pengeluaran publik dalam hal-hal produktif jangka panjang, seperti infrastruktur dan
pengeluaran untuk soal sosial. Selain itu, mengatur ulang subsidi energi (menaikkan
harga energi) dapat mengakibatkan timbulnya risiko politik karena keresahan sosial
akan timbul bilamana ada tekanan inflasi. Salah satu ciri khas Indonesia adalah
berarti bilamana kejutan inflasi yang relatif kecil terjadi, mereka akan jatuh ke bawah
garis kemiskinan itu.
Inflasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh keputusan pengurangan tidaknya
subsidi tersebut. Bank Dunia memperkirakan kenaikan harga BBM sebanyak Rp
2,000 dapat menambahkan sekitar tiga poin persentase pada tingkat inflasi umum dan
dapat menambahkan sekitar satu poin persentase pada inflasi inti. Kenaikan harga
listrik diperkirakan akan menyebabkan efek yang lebih kecil (< 1 persen) terhadap
laju inflasi. Sebagai gambaran, Bank Indonesia menargetkan tingkat inflasi sebanyak
4.5 persen pada tahun 2013. Namun setelah kenaikan harga BBM dan listrik, inflasi
naik menjadi 8.37 persen di akhir tahun (yoy).
4.2 Uji Akar Unit
Stasioneritas merupakan salah satu prasyarat penting dalam model
ekonometrika untuk data runtut waktu (time series). Data stasioner adalah data yang
menunjukkan mean, varians dan autovarians (pada variasi lag) tetap sama pada
waktu kapan saja data itu dibentuk atau dipakai, artinya dengan data yang stasioner
model time series dapat dikatakan lebih stabil. Apabila data yang digunakan dalam
model ada yang tidak stasioner, maka data tersebut dipertimbangkan kembali
validitas dan kestabilannya, karena hasil regresi yang berasal dari data yang tidak
stasioner akan menyebabkan spurious regression. Spurious regression adalah regresi
yang memiliki R2 yang tinggi, namun tidak ada hubungan yang berarti dari keduanya.
Salah satu konsep formal yang dipakai untuk mengetahui stasioneritas data adalah
masing-masing variabel dengan menggunakan Uji Phillips-Perron (PP) yaitu dengan
menggunakan pendekatan nonparametrik untuk mengatasi autokorelasi tanpa
menambahkan bentuk lag pada model
t-stat Keterangan t-stat Keterangan
INF -2.395231 Tidak Stasioner -4.133979** Stasioner Ln C_M2_ -1.7908 Tidak Stasioner -5.591850* Stasioner
Ln ATR -6.0454* Stasioner -10.10642* Stasioner
Ln IR -6.160287* Stasioner -10.34891* Stasioner
Ln PCY -3.025679 Tidak Stasioner -3.729380*** Stasioner
Ln TE -16.87297* Stasioner -32.24531* Stasioner
Sumber: Output eviews (Diolah)
Keterangan :
* > nilai kritis McKinnon pada α =1% ** > nilai kritis McKinnon pada α = 5% *** > nilai kritis McKinnon pada α =10%
Dari tabel 4.2 tersebut dapat dilihat bahwa variabel ATR, IR, dan TE stasioner
pada tingkat level, sedangkan variabel INF, �⁄� , dan PCY tidak stasioner pada
tingkat level. Oleh karena itu, untuk melanjutkan pengujian selanjutnya semua
variabel tersebut harus sama-sama stasioner. Sehingga dilakukan uji akar unit pada
tingkat first difference.
Dari hasil uji akar unit dapat dilihat bahwa seluruh variabel telah stasioner.
4.3. Estimasi Penggelapan Pajak Di Indonesia
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Tanzi (1983), Faal
(2003), dan Bekoe (2010) yang telah mengidentifikasi beberapa faktor kunci yang
berpengaruh terhadap tingkat currency yang dimiliki oleh masyarakat dalam beberapa
periode, maka berdasarkan penelitian tersebut dapat dilakukan estimasi persamaan
currency demand untuk menentukan besarnya tingkat ekonomi bawah tanah dan
penggelapan pajak. Berdasarkan teknik OLS, diperoleh masing-masing estimasi
persamaan currency demand sbb:
Tabel 4.3 Hasil Regresi Model 1 Variabel Dependen : Ln_�⁄� Metode : Ordinary Least Square (OLS)
Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Prob
LnATR -0.031018 0.135496 -0.228925 0.8231
LnPCY 0.033065 0.025322 1.305745 0.2183
LnIR -0.097421 0.036600 -2.661807 0.0221
C -2.491903 0.682772 -3.649687 0.0038
R-squared 0.768300
Adjusted R-squared 0.705109
F-statistic 12.15840
Prob (F-statistic) 0.000813
Sumber: Output eviews (Diolah)
Bentuk persamaan Model 1:
(�⁄� )t = − . − . n��� - 0.09 �� + 0.03 ����
Dengan menggunakan hasil dari estimasi model currency-M2 tersebut,
penggelapan pajak melalui cara yang dipakai oleh Tanzi (1980, 1983), Schneider
(2007), yaitu pertama dengan menghitung seberapa besar tingkat illegal money, legal
money, velocity of money (perputaran uang), underground economy, dan terakhir
adalah penggelapan pajak.
Tabel 4.4
Hasil Estimasi Illegal Money, Legal Money, Velocity of Money, Underground Economy, dan Tax Evasion
1999 -120.342 132.805 0.000097389 129.33 22345
2000 -68.003 84.222 0.000178477 150.317 111064
2001 -94.919 112.692 0.000127260 143.41 185541
2002 -99.823 119.017 0.000144834 172.37 210088
2003 -73.845 96.225 0.000234601 225.74 242048
2004 -49.048 736.433 0.000332754 245.05 280559
2005 -71.270 98.384 0.000276423 271.95 347031
2006 -115.052 149.754 0.000233074 349.03 409203
2007 -96.525 141.531 0.000292826 414.44 490989
2008 -117.976 163.655 0.000300701 492.11 658701
2009 -145.157 196.740 0.000264661 520.69 619922
2010 -127.312 187.853 0.000366926 689.28 723307
2011 -146.453 218.752 0.000375403 821.20 873874
2012 -145.265 229.430 0.000370836 850.81 980518
2013 -172.349 261.057 0.000322334 841.47 1077307
Sumber: Output Excel (Diolah)
4.4 Estimasi Tarif Pajak, Pendapatan Riil Perkapita, dan Inflasi Mempengaruhi Tingkat Penggelapan Pajak Di Indonesia
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model yang
merupakan dasar bagi sebagian besar model penggelapan pajak yang pertama kali
dilakukan oleh Becker (1968) dengan memperkenalkan pendekatan teori ekonomi
Sandmo (1972) yang dikenal dengan model pendekatan penggelapan pajak yang
menggunakan konsep expected utility yang selanjutnya dimodifikasi oleh Yitzhaki
(1974), Clotfelter (1983) dan Tanzi (1993). Dimana estimasinya adalah sebagai
berikut:
1nTEt= α0+ α1 1n ATRt+ α2 1n rPCYt+ α3 INFt + µt
Tabel 4.5 Hasil Regresi Model 2 Variabel Dependen : Ln_TE Metode : Ordinary Least Square (OLS)
Variabel Nilai Koefisien Std. Error t-statistic Prob
LnATR -1.470265 3.939106 -0.373248 0.7161
LnrPCY 1.606628 0.211318 7.602912 0.0000
INF 0.073292 0.034271 2.138575 0.0557
Sumber: Output Eviews (Diolah)
Bentuk persamaan Model 2:
1nTEt = . − . n ��� + 1.606628 1n rPCYt + 0.073292 INFt
4.5 Pengujian Statistik
4.5.1 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) mencerminkan besarnya pengaruh perubahan
variabel-variabel bebas (independent variables) dalam menjelaskan perubahan pada
variabel tidak bebas (dependent variables) secara bersama-sama, dengan tujuan untuk
mengukur kebenaran dan kebaikan hubungan antar variabel dalam model yang
dimana nilai koefisien mendekati 1, maka model tersebut dikatakan baik karena
semakin dekat hubungan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebasnya.
Hasil estimasi model dengan metode OLS menunjukkan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.841789, artinya sekitar 84.17% perubahan penggelapan
pajak dipengaruhi oleh variabel-variabel penentu dalam model ini sedangkan sisanya
15.83% diterangkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model ini.
4.5.2 Uji F
Uji F-stat digunakan untuk menguji tingkat signifikansi dari pengaruh secara
bersama-sama dalam menjelaskan variasi variabel terikatnya. Uji ini dilakukan
dengan membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel.
Dengan tingkat signifikansi dan derajat kebebasan tertentu : Fα (k, n-k-1),
dimana α adalah tingkat signifikansi, n menunjukkan jumlah observasi, k
menunjukkan jumlah variabel bebas dan merupakan derajat kebebasan untuk
pembilang (N1), serta n-k-1 menunjukkan derajat kebebasan untuk penyebut (N2).
Apabila ternyata setelah dihitung nilai F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak
atau dengan kata lain bahwa paling tidak ada satu slope regresi yang signifikan secara
42statistik. Dimana k adalah jumlah variabel bebas (koefisien slope), dan n jumlah
observasi (sampel).
Tabel 4.6 Nilai F-Tabel
N1 N2 α
1% 5%