MARLINA DESIDERIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi Dampak Kebijakan
Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula
di Indonesia adalah karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini penulis melimpahkan hak
cipta dari karya tulis penulis kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Marlina Desideria
ABSTRAK
MARLINA DESIDERIA. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia. Dibimbing oleh BONAR M. SINAGA dan HASTUTI.
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Permintaan gula di Indonesia cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan produksi gula. Guna mencukupi permintaan gula maka pemerintah melakukan impor. Saat ini, impor gula Indonesia dibatasi melalui kebijakan tarif. Pada tahun 2015, tarif impor gula Indonesia harus dihapuskan kerena adanya kesepakatan regional ASEAN Economic Community (AEC). Penghapusan tarif impor gula ini akan menyebabkan pasokan gula impor yang besar dan menyebabkan harga gula menjadi rendah. Rendahnya harga gula menyebabkan petani tebu tidak memiliki insentif untuk meningkatkan produksi gula domestik. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen gula. Tujuan penelitian ini adalah : (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga gula ; (2) menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula dalam terhadap penawaran, permintaan, dan harga gula ; (3) menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia. Penelitian ini dianalisis menggunakan model ekonometrika dalam bentuk sistem persamaan simultan. Spesifikasi model Perdagangan Gula Indonesia terdiri dari 20 persamaan (13 persamaan struktural dan tujuh persamaan identitas). Penghapusan tarif impor gula akan menurunkan kesejahteraan produsen gula, sehingga kebijakan ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan harga gula di tingkat petani agar kesejahteraan produsen dan konsumen meningkat.
ABSTRACT
MARLINA DESIDERIA. The Impact of Economic Policies in Sugar Commodity to
Sugar’s Producers and Consumers Welfare in Indonesia. Supervised by BONAR
M. SINAGA and HASTUTI.
Sugar is one of the basic necessities for peoples. Demand of sugar in Indonesia tend to be higher than the production of sugar. In order to fulfill the highly demand of sugar, Indonesian government conduct to import the sugar.
Indonesia’s sugar import are limited by tariff policy. In 2015, Indonesian sugar import tariff should be eliminated due to the regional agreement of ASEAN Economic Community (AEC). The removal of sugar import tariff will cause large supply of imported sugar and causes sugar prices to be low. The low price of sugar causes sugarcane farmers doesn’t have incentive to increase domestic sugar productions. Therefore, it is a requirement to create a policy in order to improve sugar's producers and consumers welfare. The purpose of this research is: (1) to analyze the factors that affect the supply, demand, and price of sugar; (2) to analyze the impact of economic policies in sugar commodity on supply, demand, and price of sugar; (3) to analyze the impact of economic policies in sugar commodity to sugar's producers and consumers welfare in Indonesia. This research is analyzed using econometric model in the form of simultanous equations system. Specification of Indonesian sugar trade model consists of 20 equations (13 structural equations and 7 identity equations). The removal of sugar import tariff will decrease the welfare of sugar producers. The removal of sugar import tariff needs to be combined with increasing sugar prices at the farm level so producers and consumers welfare will be improved.
DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI KOMODITAS GULA
TERHADAP KESEJAHTERAAN PRODUSENDAN
KONSUMEN GULA DI INDONESIA
MARLINA DESIDERIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 sampai Agustus 2014 adalah perdagangan
pertanian dengan judul “Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap
Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada orang tua penulis tercinta, (Alm)
Pujono dan Tati Darwati ; kakak penulis tersayang, (Alm) Apri Sutanto, Mami
Riyanto, dan Ratna Indriati ; ayah asuh penulis, Benno Gaechter ; dan kakak asuh
penulis, Dina Safitri atas bantuan, doa, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga
kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Hastuti SP, MP, MSi selaku dosen
pembimbing. Terima kasih kepada Novindra, SP, MSi dan Nuva SP, MSc sebagai
dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukannya. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada dosen dan staf sekretariat Departemen
ESL yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi,
serta seluruh staf sekretariat sekolah Pascasarjana EPN yang telah membantu
penulis selama penyusunan skripsi.
Terima kasih juga kepada teman sebimbingan yang banyak memberikan
masukan dan bantuan kepada penulis, sahabat penulis atas motivasi, semangat,
dan bantuannya dalam penyusunan skripsi, serta seluruh teman-teman ESL 47
atas kebersamaannya.
Bogor, Agustus 2014
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Masalah Penelitian ... 4
1.3. Tujuan Penelitian... 6
1.4. Manfaat Penelitian... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7
1.6. Keterbatasan Penelitian ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Karakteristik Gula ... 9
2.2. Kesepakatan Regional ASEANEconomic Community (AEC) .... 10
2.3. Kebijakan Perdagangan Gula ... 12
2.4. Penelitian Terdahulu ... 15
2.5. Kebaruan Penelitian ... 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 21
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 21
3.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran ... 21
3.1.2. Fungsi Permintaan ... 22
3.1.3. Harga ... 24
3.1.4. Teori Perdagangan Internasional ... 25
3.1.5. Permintaan Impor ... 26
3.1.6. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen ... 27
3.1.7. Dampak Tarif terhadap Kesejahteraan ... 29
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 30
IV. METODE PENELITIAN ... 33
4.1. Jenis dan Sumber Data ... 33
4.2. Spesifikasi Model ... 33
4.2.2. Produktivitas Gula ... 36
4.2.3. Produksi Gula ... 37
4.2.4. Penawaran Gula ... 39
4.2.5. Permintaan Gula ... 39
4.2.6. Volume Impor Gula ... 41
4.2.7. Harga Riil Gula Impor ... 41
4.2.8. Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen ... 42
4.2.9. Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang Besar... 42
4.2.10.Harga Riil Gula di Tingkat Petani ... 43
4.3. Identifikasi Model ... 43
4.4. Metode Estimasi Model ... 46
4.5.1. Uji Kesesuaian Model (Uji F) ... 46
4.5.2. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) ... 47
4.5.3. Uji Autocorrelation ... 47
4.5.4. Uji Multicollinearity ... 48
4.5.5. Uji Heteroscedasticity ... 49
4.5.6. Konsep Elastisitas ... 50
4.5. Validasi Model... 51
4.6. Simulasi Model Kebijakan ... 52
4.7. Analisis Surplus Produsen dan Konsumen ... 53
V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN GULA DI INDONESIA ... 55
5.1. Perkembangan Produksi Gula di Indonesia ... 55
5.2. Perkembangan Konsumsi Gula di Indonesia ... 58
5.3. Neraca Perdagangan Gula Indonesia ... 59
5.4. Perkembangan Harga Gula di Indonesia ... 62
VI. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN, PERMINTAAN, DAN HARGA GULA DI INDONESIA ... 65
6.1. Keragaan Umum Estimasi Model ... 65
6.1.1. Hasil Uji Autocorrelation ... 65
6.1.2. Hasil Uji Multicollinearity ... 66
6.2. Luas Areal Perkebunan Tebu ... 67
6.2.1. Luas Areal Perkebunan Tebu Rakyat ... 67
6.2.2. Luas Areal Perkebunan Tebu Negara... 69
6.2.3. Luas Areal Perkebunan Tebu Swasta ... 71
6.3. Produktivitas Gula Hablur Indonesia ... 73
6.3.1. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Rakyat ... 73
6.3.2. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Besar Negara .... 75
6.3.3. Produktivitas Gula Hablur Perkebunan Besar Swasta .... 76
6.4. Produksi Gula ... 78
6.5. Penawaran Gula... 79
6.6. Permintaan Gula ... 79
6.6.1. Permintaan Gula Rumahtangga ... 79
6.6.2. Permintaan Gula Industri ... 80
6.6.3. Permintaan Gula Domestik ... 82
6.7. Volume Impor Gula ... 82
6.8. Harga Riil Gula Impor... 83
6.9. Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen ... 85
6.10. Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang Besar ... 86
6.11. Harga Riil Gula di Tingkat Petani ... 87
VII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI KOMODITAS GULA DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY (AEC) ... 89
7.1. Validasi Model ... 89
7.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) terhadap Penawaran, Permintaan, dan Harga Gula ... 90
7.2.1. Kebijakan Tarif Impor Gula sebesar 10 Persen ... 90
7.2.2. Kebijakan Tarif Impor Gula sebesar 5 Persen ... 92
7.2.3. Penghapusan Tarif Impor Gula ... 93
7.2.4. Kebijakan Harga Gula di Tingkat Petani sebesar 30 Persen ... 95
7.2.5. Kebijakan Peningkatan Stok Gula sebesar 20 Persen ... 97
7.2.7. Kombinasi Penghapusan Tarif Impor Gula Menjadi Nol Persen dan Peningkatan Harga Gula di Tingkat Petani
sebesar 30 Persen ... 100
7.2.8. Ringkasan Dampak Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Penawaran, Permintaan, dan Harga Gula ... 101
7.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Komoditas Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia ... 104
VIII.SIMPULAN DAN SARAN ... 111
8.1. Simpulan ... 111
8.2. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA ... 115
LAMPIRAN ... 119
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2013 . 1
2. Volume dan Nilai Ekspor–Impor Gula Indonesia Tahun 2008-2012 2
3. Perkembangan Produksi Tebu Indonesia Tahun 2010-2012 ... 4
4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008-2009 ... 5
5. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu ... 17
6. Perubahan Kesejahteraan sebagai Akibat dari Pemberlakuan Tarif .. 30
7. Hasil Identifikasi Model dari Masing-masing Persamaan ... 45
8. Range Statistik Durbin-Watson ... 48
9. Produksi Gula Hablur di Indonesia Tahun 2010-2012 ... 55
10. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu Tahun 2013 ... 56
11. Kinerja Industri Gula Berbahan Baku Tebu di Indonesia Tahun 2009-2013 ... 57
12. Perkembangan Produksi Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 57
13. Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008-2012... 58
14. Neraca Perdagangan Gula Indonesia Tahun 2008-2012 ... 59
15. Nilai Indeks Spesialisasi Perdagangan Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 60
16. Nilai Import Dependency Ratio dan Self Sufficiency Ratio Gula Tebu di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 61
17. Impor Gula Indonesia Menurut Negara Asal Tahun 2012 ... 62
18. Perkembangan Biaya Pokok Produksi, Harga Pokok Penjualan, dan Harga Gula di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 62
19. Perkembangan Harga Gula Tingkat Konsumen di Indonesia Tahun 2008-2012 ... 63
20. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Rakyat di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 68
21. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Negara di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 70
22. Hasil Estimasi Parameter Luas Areal Perkebunan Tebu Swasta di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 71
24. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Gula Hablur Perkebunan
Besar Negara di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 75
25. Hasil Estimasi Parameter Produktivitas Gula Hablur Perkebunan
Besar Swasta di Indonesia Tahun 1990-2012... 77
26. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Gula Rumahtangga di
Indonesia Tahun 1990-2012 ... 79
27. Hasil Estimasi Parameter Permintaan Gula Industri di Indonesia
Tahun 1990-2012 ... 81
28. Hasil Estimasi Parameter Volume Impor Gula di Indonesia Tahun
1990-2012 ... 82
29. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula Impor di Indonesia
Tahun 1990-2012 ... 84
30. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Konsumen di
Indonesia Tahun 1990-2012 ... 85
31. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Pedagang
Besar di Indonesia Tahun 1990-2012 ... 86
32. Hasil Estimasi Parameter Harga Riil Gula di Tingkat Petani di
Indonesia Tahun 1990-2012 ... 87
33. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun
2003-2012 ... 89
34. Hasil Simulasi Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 10
Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 91
35. Hasil Simulasi Kebijakan Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 5
Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 92
36. Hasil Simulasi Penghapusan Tarif Impor Gula di Indonesia Tahun
2003-2012 ... 94
37. Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Peningkatan Harga Gula di
Tingkat Petani sebesar 30 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 .... 96
38. Hasil Simulasi Penerapan Kebijakan Peningkatan Stok Gula
sebesar 20 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012... 97
39. Hasil Simulasi Kombinasi Penurunan Tarif Impor Gula menjadi 10 Persen dan Peningkatan Stok Gula sebesar 20 Persen di Indonesia
Tahun 2003-2012 ... 99
40. Hasil Simulasi Kombinasi Penghapusan Tarif Impor Gula Menjadi Nol Persen dan Peningkatan Harga Gula di Tingkat Petani sebesar
30 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 100
41. Ringkasan Hasil Simulasi Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Penawaran,
42. Dampak Perubahan Kebijakan Tarif Impor, Harga Gula Tingkat Petani, dan Stok Gula terhadap Kesejahteraan Produsen dan Konsumen Gula di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 105
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional ... 26
2. Surplus Produsen dan Surplus Konsumen pada Kondisi Keseimbangan Pasar ... 28
3. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor... 29
4. Diagram Alur Kerangka Pemikiran Operasional ... 31
5. Diagram Keterkaitan Variabel dalam Model Ekonomi Perdagangan Gula Indonesia ... 34
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data dan Sumber Data Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1990-2012 ... 121
2. Rekapitulasi Persamaan dalam Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1990-2012 ... 129
3. Definisi Operasional Variabel Endogen dan Eksogen dalam Model Perdagangan Gula Indonesia Tahun 1990-2012 ... 130
4. Program Estimasi Parameter Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan
Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 132 5. Hasil Estimasi Parameter Model Perdagangan Gula Indonesia
Menggunakan Metode 2SLS dan Prosedur SYSLIN dengan
Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 136 6. Program Uji Multicollinearity Model Perdagangan Gula Indonesia
Menggunakan Nilai VIF dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 149
7. Hasil Uji Multicollinearity Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Nilai VIF dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 153
9. Hasil Uji Heteroscedasticity Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode Park dengan Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 1990-2012 ... 174
10. Program Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan Metode NEWTON dan Prodesur SIMNLIN dengan
Software SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 2003-2012 ... 187 11. Hasil Validasi Model Perdagangan Gula Indonesia Menggunakan
Metode NEWTON dan Prodesur SIMNLIN dengan Software
SAS/ETS Versi 9.3 Tahun 2003-2012 ... 192
12. Contoh Program Simulasi Penerapan Kebijakan Tarif Impor Gula Sebesar 10 Persen di Indonesia Tahun 2003-2012 ... 196
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi pertanian yang
besar. Peranan sektor pertanian dapat dilihat dari share Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha Tahun 2013
No. Lapangan Usaha
Harga Konstan
(Triliun Rupiah) Distribusi (Persen)
Triwulan II Triwulan III Triwulan II Triwulan III
1. Pertanian, Peternakan,
besar terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Menurut data BPS (2014)
sektor pertanian menyumbang sebesar 15.21 persen terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan III tahun 2013. Kontribusi ini menempatkan
sektor pertanian pada posisi kedua setelah industri pengolahan yang menyumbang
sebesar 23.11 persen tehadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Menurut
Ruslan (2013), meskipun transformasi struktur ekonomi mengantarkan Indonesia
menuju negara yang perekonomiannya lebih didukung oleh sektor industri dan
jasa, sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup subsektor tanaman bahan
makanan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan masih
merupakan leading sector dalam perekonomian.
Sektor pertanian merupakan sektor penyedia kebutuhan hidup masyarakat,
baik pangan maupun non pangan. Kebutuhan pada produk pertanian akan terus
bertambah seiring dengan makin meningkatnya populasi penduduk. Laju
terhadap produk pertanian juga meningkat, terutama pada produk pertanian
sembilan bahan pokok (sembako). Kesembilan bahan pokok tersebut adalah beras
/ sagu / jagung, gula, sayur dan buah, daging (sapi dan ayam), minyak goreng dan
margarin, susu, telur, minyak tanah / gas LPG, serta garam beriodium dan
bernatrium. Salah satu kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
adalah gula (Departemen Industri dan Perdagangan, 1998).
Gula merupakan produk sektor pertanian dalam subsektor perkebunan.
Subsektor perkebunan memiliki kontribusi sebesar 2.34 persen terhadap PDB
Indonesia atau senilai Rp 55 518 miliar (Badan Pusat Statistik, 2013). Tebu
merupakan bahan baku dasar dalam pembuatan gula. Di Indonesia produksi tebu
pada tahun 2008 sebesar 2 668 428 ton dan mengalami penurunan pada tahun
2013 menjadi sebesar 2 267 887 ton (Kementerian Pertanian, 2013). Penurunan
produksi ini mendorong pemerintah mencanangkan program swasembada gula
agar produksi tebu maupun gula dapat meningkat. Kebutuhan gula untuk
konsumsi rumahtangga dan industri di Indonesia sebesar 5.8 juta ton (Susianti,
2013). Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2014 dengan
produksi awal 5.7 juta ton menjadi 3.1 juta ton. Nilai produksi 3.1 juta ton ini
hanya bisa memenuhi kebutuhan rumahtangga, tidak untuk industri. Penurunan
target swasembada ini dikarenakan masih kurangnya lahan perkebunan tebu dan
revitalisasi pabrik gula yang tidak berjalan. Subsektor perkebunan tebu
membutuhkan tambahan lahan seluas 350 000 Ha dan revitalisasi pabrik sebanyak
20 unit (Kementerian Pertanian, 2013).
Indonesia merupakan negara importir dan eksportir gula. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (2013), volume dan nilai impor gula Indonesia lebih besar
dari ekspor gula Indonesia. Volume dan nilai ekspor – impor gula dapat dilihat
dalam Tabel 2.
Tabel 2. Volume dan Nilai Ekspor – Impor Gula Indonesia Tahun 2008-2012
Berdasarkan data pada Tabel 2, Indonesia merupakan negara net importir
gula. Volume dan nilai net impor gula Indonesia terus mengalami peningkatan.
Peningkatan impor dalam setiap tahun berpengaruh besar terhadap kebijakan
terkait gula di Indonesia terutama pada sektor produksi dan harga. Pemerintah
telah melakukan beberapa upaya untuk membatasi masuknya gula impor salah
satunya adalah hambatan tarif impor. Kebijakan tarif impor di Indonesia selalu
mengalami perubahan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional, perdagangan
internasional, ataupun kesepakatan regional. Salah satu kesepakatan regional antar
negara yang mempengaruhi kebijakan tarif impor di Indonesia adalah ASEAN Economic Community (AEC).
ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu kebijakan yang menyepakati ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal
yang didukung dengan aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik,
dan aliran modal. AEC mulai berlaku pada tahun 2015. Seluruh negara ASEAN
harus melakukan liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja
terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas sebagaimana digariskan
dalam AEC Blueprint. AEC merupakan langkah yang lebih maju dan komprehensif dari kesepakatan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA). Komponen arus perdagangan bebas barang tersebut meliputi penurunan dan penghapusan tarif secara signifikan maupun penghapusan
hambatan non tarif sesuai skema AFTA (Kementerian Perdagangan, 2013).
Beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, melakukan
reservasi terhadap produk-produk sensitifnya. Indonesia melakukan reservasi
terhadap produk beras dan gula sebagaimana tercantum dalam Protocol to Provide Special Consideration on Rice and Sugar. Protokol tersebut mengatur pos tarif untuk beras dan gula. Produk beras dan gula akan masuk dalam Inclusion List
pada tahun 2015. Inclusion List merupakan produk-produk intra-ASEAN dimana harus dilakukan penghapusan tarif seluruhnya terhadap produk-produk tersebut
(Kementerian Perdagangan, 2013).
Kondisi perekonomian dan penghapusan tarif impor dari kesepakatan
yang tidak tepat jumlah dan waktu menyebabkan peningkatan penawaran gula di
pasar domestik. Peningkatan penawaran gula ini menyebabkan jatuhnya harga
gula di pasar domestik tanpa diiringi oleh penurunan biaya produksi. Biaya
produksi yang tetap dengan harga yang semakin turun meyebabkan penerimaan
petani tebu mengalami penurunan bahkan terkadang petani menderita kerugian.
Jika pendapatan petani tebu terus mengalami penurunan maka tidak akan ada
insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi tebu yang menyebabkan
swasembada gula gagal dicapai dan kesejahteraan masyarakat menurun. Oleh
sebab itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang dampak kebijakan ekonomi
komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.
1.2. Masalah Penelitian
Perkembangan produksi tebu di Indonesia selama beberapa tahun terakhir
terus mengalami penurunan. Berdasarkan data pada Tabel 3, pada tahun 2010
produksi tebu (setara gula) mencapai 2.29 juta ton dan turun 1.95 persen pada
tahun 2011 menjadi sebesar 2.24 juta ton. Produksi gula pada musim giling 2013
juga mengalami penurunan sebanyak 10-20 persen dibandingkan dengan tahun
2012. Pada musim giling 2013, produksi gula berkisar antara 2.3 juta ton
sedangkan produksi gula pada musim giling 2012 mencapai 2.6 juta ton
(Kemeterian Pertanian, 2013).
Tabel 3. Perkembangan Produksi Tebu Indonesia Tahun 2010-2012
Tahun Jumlah (Ton) Pertumbuhan (%)
2010 2 288 735 -
2011 2 244 154 -1.95
2012 2 600 352 15.87
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)
Penurunan produksi ini disebabkan oleh kondisi anomali cuaca, terutama
musim hujan yang panjang di sejumlah wilayah pabrik gula di Indonesia.
Penurunan produksi gula nasional juga disebabkan oleh penyusutan lahan untuk
perkebunan tebu, pabrik gula yang tidak mampu bekerja maksimal, minimnya
dukungan modal bagi pertanian tebu dan industri gula, kebijakan impor gula, serta
pertanian tebu yang tidak sanggup lagi mengangkat kesejahteraan kaum tani
Produksi gula Indonesia sebagian besar dikonsumsi di dalam negeri dan
hanya sebagian kecil saja yang diekspor ke manca negara. Rendahnya produksi
gula nasional yang terus menurun dalam setiap tahun menyebabkan konsumsi
gula dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Perkembangan produksi dan konsumsi gula di Indonesia disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Gula di Indonesia Tahun 2008-2012
Tahun Produksi Gula (Ton) Konsumsi Gula (Ton)
2008 2 551 513 2 605 220
2009 2 333 885 3 011 971
2010 2 288 735 2 288 025
2011 2 244 154 2 768 831
2012 2 600 352 2 735 655
Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)
Berdasarkan data pada Table 4, konsumsi gula di Indonesia cenderung
lebih tinggi dibanding produksi gula setiap tahunnya. Kekurangan pasokan gula
dalam negeri ini mengharuskan Indonesia melakukan impor gula dari berbagai
negara. Perkembangan impor gula Indonesia selama periode tahun-tahun terakhir
memiliki pola yang cenderung meningkat sedangkan ekspor gula Indonesia
memiliki pola yang cenderung menurun walaupun sempat mengalami peningkatan
pada tahun 2011 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Guna mencukupi
kebutuhan konsumsi gula dalam negeri, Pemerintah telah melakukan berbagai
upaya melalui beberapa kebijakan seperti kebijakan swasembada gula dengan
meningkatkan produksi nasional, namun dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaannya, kebijakan Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kebijakan
internasional yang berpengaruh terhadap impor gula Indonesia.
ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu kesepakatan regional antar negara ASEAN yang mendukung kebijakan penghapusan tarif
impor. Kebijakan penghapusan tarif impor mulai dilakukan pada 1 januari 2015
secara progresif. Penghapusan tarif impor secara progresif tersebut merupakan
penurunan tarif menjadi 10 persen, penurunan tarif menjadi 5 persen, dan
penghapusan tarif impor menjadi sebesar nol persen. Kebijakan penghapusan tarif
impor ini akan menyebabkan peningkatan impor gula sehingga petani tebu dan
industri gula dalam negeri berpotensi mengalami kerugian. Masuknya gula impor
ke Indonesia menyebabkan gula nasional kehilangan sebagian pasarnya.
mengakibatkan turunnya harga. Banyak petani tebu yang meninggalkan
profesinya dikarenakan harga gula yang rendah. Kondisi ini menyebabkan petani
mengalami kerugian yang berdampak pada turunnya kesejahteraan petani
(Toharisman, 2013).
Kebijakan ekonomi pada komoditas gula yang berupa peningkatan harga
gula di tingkat petani sebesar 30 persen dan peningkatan stok gula sebesar 20
persen diharapkan mampu meningkatkan kembali kesejahteraan petani maupun
masyarakat secara keseluruhan akibat penurunan tarif impor yang akan
diberlakukan. Sehubungan dengan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan harga gula.
2. Dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap penawaran, permintaan,
dan harga gula.
3. Dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap kesejahteraan produsen
dan konsumen gula di Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran, permintaan, dan
harga gula.
2. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi terhadap penawaran, permintaan,
dan harga gula.
3. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi komoditas gula terhadap
kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap
perkembangan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi
pada komoditas gula dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen gula di Indonesia.
1. Penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai bahan informasi bagi
pemerintah dalam suatu pengambilan keputusan / kebijakan yang mampu
melindungi kesejahteraan masyarakat, khususnya petani tebu serta
mengurangi ketergantungan impor gula di Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi akademisi dan
peneliti lain untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Gula yang dianalisis adalah gula kristal dengan kode HS 1701.13.00.00.
2. Harga internasional gula menggunakan harga gula rata-rata bursa London
(London Daily Price).
3. Indikator kesejahteraan yang digunakan adalah konsep surplus produsen dan
surplus konsumen.
4. Kebijakan ekonomi komoditas gula yang dimaksud adalah kebijakan
penurunan dan penghapusan hambatan tarif impor sesuai skema ASEAN Economic Community (AEC), peningkatan harga gula di tingkat petani, dan peningkatan stok gula.
5. Jumlah penawaran dan permintaan gula diasumsikan berada pada titik
keseimbangan.
6. Konsumen gula rumahtangga merupakan konsumen yang menggunakan gula
untuk konsumsi akhir.
7. Konsumen gula industri merupakan konsumen yang menggunakan gula
sebagai bahan baku untuk produk yang akan dijual kembali.
8. Gula kristal putih dan gula kristal rafinasi dianggap homogen.
1.6. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data produksi dan produktivitas yang digunakan adalah gula dalam bentuk
2. Gula kristal putih dan gula kristal rafinasi tidak bersubstitusi secara
sempurna, namun data produksi, impor, ekspor, stok, dan permintaan gula
dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis gula.
3. Data yang digunakan merupakan data resmi pemerintah dan tidak mencakup
data gula yang tidak resmi dan tidak tercatat.
4. Data industri yang digunakan dalam penelitian ini adalah industri sedang dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Gula
Gula tebu yang paling banyak diperdagangkan adalah gula yang dikenal
dengan nama lokal sebagai gula mentah, gula kristal putih, dan gula kristal
rafinasi. Jenis-jenis gula tersebut memiliki nama yang tidak selalu sama dalam
perdagangan Internasional. Nama internasional gula mentah adalah raw sugar, gula kristal putih adalah plantation white sugar atau mill white sugar, dan gula kristal rafinasi adalah white sugar. Oleh sebab itu, white sugar sama dengan gula kristal rafinasi dan bukan gula kristal putih (Agrirafinasi, 2013).
Gula mentah atau raw sugar dibuat dari nira tebu yang diproses secara sederhana yaitu dengan menyaring padatan kotoran atau lumpurnya kemudian
dikristalkan. Gula tersebut berwarna coklat tua karena masih mengandung sisa
kotoran dan molases (tetes tebu) sehingga tidak untuk dikonsumsi karena tidak
layak dikonsumsi. Gula kristal putih atau plantation white sugar dibuat dari nira tebu yang diproses dengan tahapan yang lebih panjang daripada proses pembuatan
gula mentah. Setelah disaring padatan kotorannya, nira tebu dibersihkan melalui
proses karbonatasi atau proses sulfitasi. Nira tebu yang lebih bersih tersebut
dikentalkan lalu dikristalkan mejadi gula kristal putih. Warna gulanya menjadi
putih namun agak keruh. Beberapa pabrik menggunakan proses karbonatasi ganda
untuk memperoleh warna gula yang lebih putih. Proses sulfitasi juga sudah tidak
digunakan karena tidak higienis akibat sisa belerang yang tertinggal di gula. Gula
kristal rafinasi atau white sugar adalah gula yang paling putih warnanya karena beberapa hal sebagai berikut : (1) bahan bakunya adalah gula mentah, (2) proses
pembuatannya meliputi karbonatasi juga menggunakan teknologi pertukaran ion
(ion-exchanger). Proses pertukaran ion (ion-exchanger) ini mampu memisahkan molekul non-sukrosa seperti sisa kotoran, sisa mineral, dan molekul warna yang
terluput dalam proses karbonatasi sehingga hasilnya adalah gula kristal yang
sangat putih (Agrirafinasi, 2013).
Gula mentah digunakan oleh pabrik gula rafinasi, pabrik gula berbasis
tebu, dan pabrik MSG (penyedap). Gula kristal putih digunakan untuk konsumsi
minuman, dan farmasi (Nusantara Sugar Club, 2014). Volume dan mutu gula pada
dasarnya tergantung dari dua faktor utama yaitu kandungan gula dalam batang
tebu dan pengolahan nira tebu menjadi gula kristal. Apabila kandungan gulanya
maksimal dan pengolahannya di pabrik efisien maka hasilnya akan maksimal.
Proses produksi gula kristal di pabrik gula adalah memisahkan gula atau sukrosa
dari batang tebu dan mengolahnya menjadi butiran gula kristal. Kerusakan dan
kebocoran sukrosa dalam proses tersebut perlu diminimalisasi sehingga sukrosa
yang dapat dikristalkan menjadi maksimal. Sukrosa murni adalah kristal yang
tidak mengandung air (anhydrous), berbentuk persegi tidak seragam (monoclinic), tidak berbau, dan berwarna putih cemerlang dengan rasa manis dan berat jenis
1,58 pada suhu 150 oC. Tingkat keputihan warna gula dilihat melalui standar
ICUMSA (Internatioal Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dan semakin gelap
warnanya makin tinggi nilai ICUMSA-nya. Satuan nilai ICUMSA adalah skala
internasional unit (IU). Gula kristal mentah serendah-rendahnya memiliki nilai
ICUMSA 1200 IU, gula kristal putih 150-90 IU, dan gula kristal rafinasi
setinggi-tingginya 45 IU (Agrirafinasi, 2013).
2.2. Kesepakatan Regional ASEAN Economic Community (AEC) Pada tahun 1997, para Kepala Negara ASEAN menyetujui kesepakatan
tentang ASEAN Vision 2020 yaitu mewujudkan kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata yang ditandai
dengan penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN
Summit, 1997). Kemudian pada tahun 2003, disepakati 3 (tiga) pilar untuk
mewujudkan ASEAN Vision 2020 yang dipercepat menjadi 2015, yaitu : (1) ASEAN Economic Community, (2) ASEAN Political-Security Community, (3) ASEAN Socio-Cultural Community (ASEAN Summit, 2003).
Pada tahun 2004, ASEAN mulai bekerja sama dengan negara di luar
ASEAN dalam bidang ekonomi. Kerja sama yang pertama dengan China
(ASEAN-China Free Trade Area) dalam sektor barang. Pada tahun 2005, integrasi ekonomi ASEAN semakin ditingkatkan dengan menambah sektor
para Kepala Negara sepakat mempercepat pencapaian AEC dari tahun 2020
menjadi tahun 2015. Pada tahun 2007 ini ditandatangani ASEAN Charter dan AEC Blueprint. Pada tahun 2009 ditandatangani ASEAN Trade in Goods Agreement
(ATIGA). Keputusan untuk mempercepat pembentukan AEC menjadi 2015
ditetapkan dalam rangka memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi
kompetisi global seperti dengan India dan China. Beberapa pertimbangan lain
yang mendasari percepatan AEC adalah : a) potensi penurunan biaya produksi di
AEAN sebesar 10-20 persen untuk barang konsumsi sebagai dampak integrasi
ekonomi ; dan b) meningkatkan kemampuan kawasan dengan implementasi
standar dan praktik internasional serta adanya persaingan (Kementerian
Perdagangan, 2013).
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk
melaksanakan komitmen dalam blueprint tersebut. AEC Blueprint memuat empat kerangka utama yaitu (The ASEAN Secretariat, 2013) :
1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan
elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan aliran
modal yang lebih bebas.
2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
inetelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerse. 3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata
dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa
integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos,
dan Vietnam).
4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan
perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi di luar kawasan dan meningkatkan peran serta dalam
jejaring produksi global.
ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) merupakan modifikasi atas keseluruhan kesepakatan ASEAN dalam liberalisasi dan fasilitasi perdagangan
dalam perdagangan barang secara komprehensif dan integratif yang disesuaikan
dengan kesepakatan ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint terkait dengan pergerakan arus barang (free flow of goods) sebagai salah satu elemen pembentuk pasar tunggal dan basis produksi regional. ATIGA mencakup
prinsip-prinsip umum perdagangan internasional (non-discrimination, Most Favoured Nations-MFN treatment, national treatment), liberalisasi tarif, pengaturan non-tarif, ketentuan asal barang, fasilitasi perdagangan, kepabeanan, standar, regulasi
teknis dan prosedur pemeriksaan penyesuaian, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan kebijakan pemulihan perdagangan (safeguards, anti-dumping, countervailing measures) (Kementerian Perdagangan, 2013).
ATIGA memiliki komitmen utama dalam penurunan dan penghapusan
tarif. Penghapusan tarif seluruh produk intra-ASEAN, kecuali produk yang masuk
dalam kategori Sensitive List (SL) dan Highly Sensitive List (HSL), dilakukan sesuai jadwal dan komitmen yang telah ditetapkan dalam persetujuan
CEPT-AFTA. Produk-produk dalam kategori SL dan HSL harus masuk ke dalam skema
Inclusion List sesuai dengan jadwal yang disepakati. Setelah masuk dalam skema
Inclusion List, maka tarif produk-produk tersebut diturunkan menjadi 0-5 persen. Produk beras dan gula akan masuk dalam inclusion List pada tahun 2015 sesuai dengan ketentuan dalam Protocol to Provide Special Consideration on Rice and Sugar (Government of ASEAN, 2007).
2.3. Kebijakan Perdagangan Gula
Untuk menanggulangi permasalahan perdagangan secara internasional,
telah disepakati liberalisasi perdagangan yang tertuang dalam Putaran Uruguay
(PU) sebagai rangkaian dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tanggal 15 Desember 1993. Upaya mengurangi distorsi perdagangan gula
telah ditempuh berbagai negara dengan mewujudkan komitmen pada empat hal
penting yaitu :
1. Tindakan sanitasi / fitosanitasi (kontaminasi aflatoxin dan standar yang ketat).
3. Akses pasar yaitu tarifikasi, penurunan tarif yang umum diterapkan berbagai
negara (ad valorem tariffs) dimana negara maju diharapkan mewujudkan tahun 2000 dengan penurunan sebesar 21 hingga 23 persen, sedangkan negara
berkembang tahun 2004 sebesar 9 hingga 14 persen dan tarif spesifik yang
proporsi penerapannya sangat terbatas berkisar antara 24 hingga 26 persen.
4. Pengurangan subsidi ekspor berdasarkan penurunan volume ekspor, volume
yang disubsidi sebesar 18 persen dari produk pertanian yang dipasarkan di
dunia dan nilai ekspor.
Namun implementasi kesepakatan GATT tersebut belum banyak menyentuh
distorsi perdagangan gula (Susila dan Sinaga, 2005). Hal ini disebabkan karena
(Wahyuni et al, 2009) :
1. Gula tidak banyak berpengaruh terhadap kesehatan dan lingkungan.
2. Berbagai fakta kebijakan subsidi yang ditempuh berbagai negara masih
menempatkan industri gula menerima subsidi yang besar.
Dalam rangka kesepakatan GATT tersebut, pemerintah Indonesia membuka pasar
impor secara dramatis. Guna peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah
mengeluarkan Kepmenperindag No.25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi
monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk
mengimpor gula (Susila dan Sinaga, 2005).
Keputusan pemerintah Indonesia untuk mencabut monopoli BULOG
dalam pengadaan gula dan menerapkan tarif impor gula sebesar nol persen
mengakibatkan industri gula lokal terancam karena harga gula impor lebih murah
dibanding harga gula domestik. Hal ini menunjukkan ketidakefisienan dari
industri gula di Indonesia sehingga banyak pabrik gula domestik terancam
bangkrut karena tidak dapat bersaing dengan gula impor. Melalui surat Keputusan
Menteri Keuangan No. 568/KMK.01/1999 yang mulai diberlakukan sejak 1
Januari 2000 maka semua importir baik importir umum (IU) maupun importir
produsen (IP) termasuk BULOG diperbolehkan mengimpor gula dengan
ketentuan dikenakan bea masuk sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25
persen untuk gula kristal putih. Pada tahun 2004, dalam rangka mendukung
program akselerasi, pemerintah melakukan perbaikan terhadap kebijakan
Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 dimana pemerintah kembali melibatkan
BUMN seperti BULOG dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia dalam
perdagangan gula di Indonesia. BULOG mempunyai peran sebagai distributor
tunggal untuk memasarkan gula milik PTPN dan PT Rajawali Nusantara
Indonesia (RNI) melalui jaringannya yang tersebar diseluruh Indonesia (Rahman,
2013).
Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai berkurang pada tahun 1999, harga
gula di dalam negeri justru mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan
tersebut disebabkan tiga faktor yaitu harga gula dunia terus menurun, nilai tukar
rupiah yang menguat, serta tidak adanya tarif impor (Wahyuni et al, 2009). Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk melindungi
produsen, maka pemerintah menetapkan harga provenue gula. Kebijakan harga provenue tersebut ternyata merupakan kebijakan yang tidak efektif karena tidak
didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai seperti pendanaan guna
implementasi kebijakan. Penentuan harga provenue yang terlalu rendah dapat mematikan industri gula karena akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan
bahan baku. Sebaliknya, penentuan harga yang terlalu tinggi akan menumbuhkan
industri gula tetapi meningkatkan subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah
(Malian, 2004). Sebelum tahun 2000 harga gula yang diterima petani adalah harga
provenue yang merupakan harga pembelian BULOG kepada petani tebu. Tahun 2000-2003 harga gula yang diterima petani adalah harga gula lelang kesepakatan
antara petani dengan investor gula, sedangkan setelah tahun 2004 hingga saat ini
harga gula yang diterima petani adalah harga lelang berdasarkan harga pokok
penjualan (HPP) sebagai harga dasar pembelian gula oleh investor. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan penetapan harga pokok penjualan (HPP) dalam industri
gula untuk memberikan perlindungan kepada petani. HPP gula ini merupakan
salah satu insentif bagi petani dalam berbudidaya tebu. Harga pokok penjualan ini
besarannya ditetapkan oleh pemerintah dan direvisi angkanya setiap tahun
(Rahman, 2013).
Pemerintah juga mencanangkan program khusus Swasembada Gula
Nasional terkait pengendalian impor gula. Swasembada dianggap penting karena
produksi dan produktivitas melalui program akselerasi dan perbaikan kebijakan
tataniaga serta impor gula. Guna merealisasi Swasembada Gula, mulai
dikembangkan pabrik gula rafinasi yang dimaksudkan untuk membantu
mencukupi kebutuhan gula untuk industri makanan dan minuman. Pabrik gula
rafinasi memperoleh kemudahan dalam impor bahan baku gula mentah yaitu
dengan keringanan bea masuk atau pajak impor. Ketentuan yang sama tentang
keringanan bea masuk ini juga berlaku kepada industri rafinasi yang melakukan
perluasan usahanya. Dalam rangka melindungi harga gula kristal putih domestik,
perdagangan gula rafinasi diatur dengan SK Memperindag
No.527/MPP/Kep/9/2004 bahwa gula rafinasi hanya untuk kebutuhan bahan baku
bagi industri pengguna dan distribusi gula rafinasi langsung ke industri pengguna
tanpa melalui distributor. Dalam surat Menperdag No.111/2009 disebutkan bahwa
dalam memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna atau industri
makanan dan minuman setiap produsen gula rafinasi dapat menunjuk distributor
secara resmi, selanjutnya distributor dapat menunjuk subdistributor secara resmi .
distributor yang tidak memiliki surat penunjukkan atau pengangkatan dari
produsen gula rafinasi dilarang mendistribusikan atau memperdagangkan gula
rafinasi. Hal yang sama juga berlaku bagi subdistributor (Wahyuni et al, 2009).
2.4. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang dapat dijadikan referensi antara lain penelitian
Rahman (2013); Subekti dan Carolina (2011); Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011);
Hadi dan Mardianto (2004); dan Fitriana (2012). Hasil penelitian tersebut dapat
dilihat pada Tabel 4.
2.3.1. Penelitian tentang Gula
Penelitian mengenai gula telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu
seperti penelitian oleh Rahman (2013) serta Subekti dan Carolina (2011).
Penelitian Rahman (2013) menganalisis tentang prospek perdagangan gula
Indonesia dalam implementasi kerangka perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China. Penelitian Subekti dan Carolina (2011) menganalisis tentang pengaruh
kebijakan tarif impor gula terhadap integrasi pasar gula domestik dan dunia
2.3.2. Penelitian tentang Kebijakan Perdagangan Komoditas Pertanian Penelitian terdahulu mengenai perdagangan komoditas pertanian juga telah
banyak dilakukan diantaranya oleh Arsyad, Sinaga, dan Yusuf (2011) serta Hadi
dan Mardianto (2004). Penelitian tersebut melihat dampak adanya suatu kebijakan
perdagangan (ekspor atau impor) terhadap faktor-faktor yang dipengaruhinya
dengan menggunakan dua alat analisis yang berbeda. Penelitian Arsyad, Sinaga,
dan Yusuf (2011) menggunakan model persamaan simultan dengan metode
pendugaan Two-Stages Least Squares sedangkan Hadi dan Mardianto (2004) menggunakan model pendekatan Constant Market Share (Tabel 4).
2.3.3. Penelitian tentang Pengaruh Kebijakan terhadap Kesejahteraan Fitriana (2012) meneliti mengenai pengaruh kebijakan terhadap
kesejahteraan masyarakat. Penelitian tersebut mengkaji dampak adanya perubahan
kebijakan yang akan mempengaruhi besarnnya kesejahteraan masyarakat.
Indikator kesejahteraan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
perubahan surplus produsen dan surplus konsumen (Tabel 4).
2.5. Kebaruan Penelitian
Penelitian ini memiliki persamaan dan kebaruan dibandingkan penelitian
Subekti dan Carolina (2011) serta Rahman (2013). Persamaan penelitian ini
dengan Subekti dan Carolina (2011) yaitu menganalisis pengaruh kebijakan tarif
impor gula terhadap pasar gula domestik. Perbedaannya adalah penelitian yang
dilakukan Subekti dan Carolina (2011) menggunakan model Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction (VEC) sedangkan penelitian ini menggunakan model persamaan simultan dengan metode pendugaan Two-Stages Least Squares.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rahman (2013) adalah
menganalisis dampak adanya kebijakan terhadap kesejahteraan produsen dan
konsumen gula di Indonesia, sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini lebih
fokus membahas tentang dampak penurunan dan penghapusan tarif impor gula
Tabel 5. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1 Rahman (2013) ; Prospek
permintaan gula industri hanya dipengaruhi oleh PDB riil sektor makanan dan minuman serta permintaan gula industri tahun sebelumnya. Peda perilaku impor, impor gula Indonesia dari China lebih responsif dibandingkan impor gula Indonesia dari Thailand terhadap perubahan tarif impor gula tetapi pangsa impor gula Indonesia dari Thailand lebih besar daripada pangsa impor gula dari China sebsar 33 persen berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan penurunan tarif
Tarif impor gula yang diterapkan oleh pemerintah ternyata dipengaruhi oleh integrasi pasar yang terjadi. Tarif impor gula mentah dipengaruhi secara nyata oleh variabel harga gula mentah internasional dan tarif impor gula putih. Sementara itu tarif impor gula putih dipengaruhi oleh harga gula mentah internasional, harga gula putih internasional, dan tarif impor tahun sebelumnya. Respon harga gula dalam negeri terhadap perubahan seluruh variabel lainnya menunjukkan respon yang positif. Perubahan harga
Tabel 5. Lanjutan
No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
gula dalam negeri, perubahan harga gula mentah internasional, dan perubahan harga gula putih internasional memiliki pengaruh yang cukup besar, sedangkan perubahan tarif impor gula mentah dan perubahan tarif impor gula putih mempengaruhi harga gula dalam negeri dengan nilai yang relatif yang secara potensial mempengaruhi ekspor kakao indonesia adala harga ekspor kakao Indonesia, pertumbuhan produksi kakao, nilai tukar rupiah, dan
trend waktu. Rencana pemberlakukan pajak ekspor berdampak negatif terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran Urguay, sementara tencana kebijakan pemberian subsidi harga pupuk berdampak positif terhadap peningkatan produksi dan ekspor kakao Indonesia. Implikasinya adalah bahwa kebijakan subsidi harga pupuk masih dapat diharapkan sebagai strategi kunci untuk memacu produksi dan ekspor kakao Indonesia.
Ekspor produk pertanian Indonesia ke kawasan ASEAN selama 1997-1999 mengalami pertumbuhan positif dan lebih cepat dibanding ekspor dunia ke kawasan yang sama. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya daya saing komoditas pertanian Indonesia terutama karena depresiasi rupiah. Namun
selama 1999-2001, terjadi sebaliknya yaitu
pertumbuhan ekspor Indonesia turun dan lebih lambat dibanding ekspor dunia ke kawasan yang sama yang disebabkan oleh apresiasi rupiah. Komposisi produk dan distribusi pasar ekspor Indonesia masih lemah yang menunjukkan bahwa Indonesia belum memperhatikan pertumbuhan impor komoditas pertanian menurut komposisi komoditas
Tabel 5. Lanjutan
No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
yang tepat dan perkembangan impor di
masing-masing negara anggota ASEAN. Lemahnya
penyelidikan pasar (market intellegence) merupakan fenomena umum para eksportir Indonesia yang menyebabkan dinamika penawaran dan permintaan
Produksi bawang merah dipengaruhi oleh harga riil bawang merah di tingkat produsen, luas areal panen, Impor bawang merah dipengaruhi oleh permintaan bawang merah rumahtangga dan impor bawang merah tahun sebelumnya. Harga riil bawang merah dipengaruhi oleh harga riil bawang merah dunia dan tarif impor bawang merah. Penerapan kebijakan tarif impor bawang merah berdampak pada peningkatan harga impor, penurunan impor bawang merah, Penerapan tarif impor sebesar sembilan persen telah mampu melindungi petani bawang merah dari adanya penurunan harga dunia. Secara nasional penerapan kebijakan tarif berdampak pada peningkatan kesejahteraan bersih. Kebijakan penghapusan tarif impor bawang merah dapat menurunkan harga
impor, meningkatkan impor, meningkatkan
penawaran dan permintaan, serta menurunkan harga
Tabel 5. Lanjutan
No. Peneliti dan Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
7.Kombinasi penerapan tarif
impor bawang merah
sebesar 9 persen dan penurunan harga dunia sebesar 12 persen.
8.Kombinasi penghapusan
tarif impor bawang merah dan penurunan harga dunia sebesar 12 persen.
bawang merah domestik. Kebijakan tersebut menyebabkan penurunan kesejahteraan produsen
bawang merah, berkurangnya penerimaan
pemerintah, dan peningkatan kesejahteraan
konsumen. Secara nasional penghapusan tarif impor
bawang merah berdampak pada penurunan
kesejahteraan bersih.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
Komponen utama perdagangan gula di Indonesia mencakup kegiatan
produksi, konsumsi, dan impor. Berikut dipaparkan teori dari fungsi produksi dan
penawaran, fungsi permintaan, harga, teori perdagangan internasional, permintaan
impor, surplus produsen dan surplus konsumen, serta dampak tarif terhadap
kesejahteraan.
3.1.1. Fungsi Produksi dan Penawaran
Produksi adalah proses mengubah input menjadi output sehingga
menciptakan nilai tambah untuk suatu barang atau komoditas. Fungsi produksi
berkaitan dengan hubungan antara input yang digunakan dalam proses produksi
dengan kuantitas output yang dihasilkan (Lipsey, et al., 1987). Fungsi produksi mengasumsikan bahwa produsen bertindak rasional yaitu selalu memaksimumkan
keuntungan. Fungsi produksi gula dapat dirumuskan sebagai berikut :
QGTT = f (LATT, TKGT, ILGT) ... (3.1)
Dimana :
QGTT = Produksi gula (Ton)
LATT = Luas areal tebu (Ha)
TKGT = Tenaga kerja (HOK)
ILGT = Input produksi lainnya (Unit)
Sehingga persamaan biaya total dapat dirumuskan sebagai berikut :
C = C0 + Pl*LATT + Pt*TKGT + Pi*ILGT ... (3.2)
Dimana C adalah biaya total, C0 adalah biaya tetap, sedangkan Pl, Pt, Pi adalah
harga lahan, upah tenaga kerja, dan harga input lain.
Keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan biaya
produksi. Jika PKGR adalah harga gula maka fungsi keuntungan produsen gula
dapat dirumuskan sebagai berikut :
π = PKGR*QGTT – C
π = PKGR * f (LATT, TKGT, ILGT) – (C0 + Pl * LATT + Pt * TKGT +
Fungsi keuntungan maksimum akan tercapai apabila turunan pertama dari fungsi
tersebut sama dengan nol, maka diperoleh :
δπ/ δLATT = PKGR*MPLATT– Pl = 0 maka PKGR*MPLATT = Pl ... (3.4)
δπ/ δTKGT = PKGR*MPTKGT– Pt = 0 maka PKGR*MPTKGT = Pt .. (3.5)
δπ/ δILGT = PKGR*MPILGT– Pi = 0 maka PKGR*MPILGT = Pi ... (3.6)
Berdasarkan syarat orde pertama, keuntungan produsen akan maksimum
jika pada suatu tingkat produksi tertentu diperoleh nilai produk marjinal
masing-masing input sama dengan harga yang harus dibayarkan untuk memperoleh input
tersebut. Selanjutnya fungsi (3.4), (3.5), dan (3.6) dapat dinyatakan dalam bentuk
sebagai berikut :
VMPLATT = Pl ... (3.7)
VMPTKGT = Pt ... (3.8)
VMPILGT = Pi ... (3.9)
Berdasarkan fungsi (3.7), (3.8), dan (3.9) dapat diperoleh fungsi
permintaan masing-masing inputnya, yaitu LATTd, TKGTd, ILGTd adalah
permintaan terhadap lahan, tenaga kerja, dan input lain.
LATTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.10)
TKGTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.11)
ILGTd = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.12)
Substitusi fungsi permintaan input (3.10), (3.11), dan (3.12) ke dalam fungsi
produksi (3.1) maka didapatkan fungsi penawaran gula sebagai berikut :
QSGT = f (PKGR, Pl, Pt, Pi) ... (3.13)
Persamaan (3.13) menunjukkan bahwa penawaran gula merupakan fungsi
dari harga gula (PKGR) dan harga input seperti lahan, tenaga kerja, dan input
lainnya. Harga lahan tidak tersedia dalam kurun waktu penelitian sehingga harga
lahan tidak diperhitungkan.
3.1.2. Fungsi Permintaan
Permintaan adalah sejumlah barang yang dibeli atau diminta pada suatu
harga dan waktu tertentu. Permintaan berkaitan dengan keinginan konsumen akan
suatu barang dan jasa yang ingin dipenuhi. Fungsi permintaan menyatakan bahwa
kuantitas yang diminta tergantung pada harga, pendapatan, dan preferensi
dari fungsi utilitas konsumen yang dimaksimumkan dengan kendala tingkat
pendapatan tertentu. Fungsi utilitas konsumen dapat dirumuskan sebagai berikut :
U = u (Q, R) ... (3.14)
Dimana :
U = Total utilitas mengkonsumsi gula
Q = Jumlah konsumsi gula (Ton)
R = Jumlah konsumsi komoditas lain (substitusi/komplementer) (Unit)
Konsumen yang rasional akan selalu memaksimumkan kepuasannya
terhadap konsumi suatu komoditas pada tingkat harga yang berlaku dan pada
tingkat pendapatan tertentu. Tingkat pendapatan merupakan kendala dalam
memaksimumkan fungsi utilitas yang dapat dinyatakan dalam persamaan berikut :
Y = PKGR * Q + PR * R ... (3.15)
Dimana :
Y = Tingkat pendapatan konsumen (Rp)
PKGR = Harga gula per unit (Rp/Kg)
PR = Harga komoditas lain per unit (Rp/Unit)
Dari persamaan (3.14) dan (3.15) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang akan
dimaksimumkan dengan kendala pendapatan sebagai berikut :
Z = U (Q, R) + λ (Y – PKGR*Q – PR*R) ... (3.16)
Dimana λ adalah lagrangian multiplier. Guna memaksimumkan fungsi Z, maka turunan dari fungsi tersebut sama dengan nol, maka diperoleh :
δz/ δQ = δU/ δQ –λ PKGR = 0 atau MUQ= λ PKGR ... (3.17)
δz/ δR = δU/ δR –λ PR = 0 atau MUR= λ PR ... (3.18)
δz/ δλ = Y – PKGR*Q – PR*R = 0 ... (3.19) dengan menyelesaikan persamaan (3.17) dan (3.18) maka diperoleh nilai :
λ = MUQ/PKGR = MUR/PR atau MUQ/MUR = PKGR/PR ... (3.20)
dimana MUQ dan MUR masing-masing adalah utilitas marjinal komoditas Q dan
R.
Persamaan (3.17), (3.18), dan (3.19) menunjukkan bahwa PKGR, PR, dan
Y merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi permintaan gula sehingga
fungsi permintaan gula dapat dirumuskan sebagai berikut :
Gula merupakan salah satu komoditas yang berfungsi sebagai bahan utama
yang tidak dapat digantikan sehingga gula tidak memiliki komoditas substitusi.
Oleh karena itu, harga komoditas substitusi tidak termasuk sebagai salah satu
faktor yang menentukan jumlah permintaan gula. Menurut Lipsey, et al. (1987) selain dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut dan pendapatan, permintaan
suatu komoditas dipengaruhi oleh selera, distribusi pendapatan di antara
rumahtangga, dan besarnya populasi.
3.1.3. Harga
Harga merupakan sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk
memperoleh satu unit komoditas. Dalam teori ekonomi disebutkan bahwa harga
suatu barang atau jasa yang pasarnya kompetitif ditentukan oleh permintaan dan
penawaran pasar. Penawaran berhubungan dengan produsen sedangkan
permintaan berhubungan dengan konsumen. Harga yang terbentuk dan telah
disepakati oleh produsen dan konsumen merupakan harga pasar. Pada tingkat
harga tersebut jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang
diminta. Harga pasar disebut juga harga keseimbangan (ekuilibrium).
Harga pasar memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai (Nicholson, 2002) :
1. Pemberi sinyal/informasi bagi produsen mengenai berapa banyak barang yang
seharusnya diproduksi untuk mencapai laba maksimum.
2. Penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan
maksimum.
Kenaikan dalam permintaan menyebabkan keseimbangan harga meningkat
sehingga permintaan mempengaruhi harga secara positif. Penawaran
mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika terjadi peningkatan penawaran
maka harga akan cenderung turun. Penurunan harga ini disebabkan oleh kuantitas
barang yang ditawarkan produsen lebih besar daripada yang dibutuhkan atau yang
diinginkan oleh konsumen (Fitriana, 2012).
Pembentukan harga pada komoditas pangan/pertanian lebih dipengaruhi
oleh penawaran karena permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan
tren. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran komoditas pangan/pertanian
adalah faktor produksi/panen dan perilaku penyimpanan (Tomek, 2000). Variasi
sementara teknologi penyimpanan untuk produk yang mudah busuk akan
mengurangi tekanan fluktuasi harga dari komoditas tersebut.
3.1.4. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas kesepakatan bersama.
Penduduk yang dimaksud dapat perorangan (individu dengan individu), antara
individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara dengan
pemerintah negara lain. Perdagangan internasioal merupakan salah satu faktor
untuk meningkatkan PDB. Perdagangan internasional akan mendorong
industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan
multinasional. Perdagangan internasional memungkinkan suatu negara
mengkonsumsi lebih banyak barang dibandingkan yang tersedia menurut garis
perbatasan kemungkinan produksi pada keadaan swasembada tanpa perdagangan
luar negeri (Lindert dan Kindleberger, 1993).
Menurut Lipsey, et al. (1987) perdagangan internasional memberikan dua sumber manfaat bagi negara-negara yang melakukan perdagangan. Sumber
manfaat tersebut adalah :
1. Perbedaan dalam hal iklim dan kekayaan alam yang dimiliki masing-masing
negara di dunia mengakibatkan adanya keunggulan dalam memproduksi
barang-barang tertentu dan kelemahan dalam memproduksi barang yang lain.
2. Penurunan biaya produksi di masing-masing negara yang disebabkan oleh
meningkatnya skala produksi karena adanya spesialisasi.
Perdagangan internasional memungkinkan setiap negara melakukan
spesifikasi produksi dan barang-barang tertentu sehingga mencapai tingkat
efisiensi yang tinggi dengan skala produksi yang besar. Adanya perbedaan
sumberdaya yang dimiliki oleh setiap negara menyebabkan negara tersebut
berusaha menghasilkan produk dengan biaya yang relatif rendah. Perbedaan
sumberdaya inilah yang menyebabkan perbedaan harga dan menentukan
Negara A
(Eksportir) Pasar Dunia
Negara B (Importir) Sumber : Tweeten, 1992
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Perdagangan Internasional
Gambar 1 menunjukkan bahwa sebelum terjadinya perdagangan
internasional, harga di negara A (eksportir) sebesar PA sedangkan harga di negara
B (importir) sebesar PB. Penawaran di pasar dunia akan terjadi jika harga dunia
lebih besar dari PA sedangkan permintaan di pasar dunia akan terjadi jika harga
dunia lebih rendah dari PB. Ketika harga dunia berada di Pw, maka negara
eksportir terjadi kelebihan penawaran (excess supply) dan di negara importir terjadi kelebihan permintaan (excess demand). Hal ini menyebabkan negara B melakukan impor dari negara A yang harganya relatif lebih murah. Negara A akan
mengekspor gula sebesar x dan negara B akan mengimpor gula sebesar m.
Komunikasi yang terjadi antara negara A dan negara B menyebabkan terjadinya
perdagangan dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara eksportir dan kelebihan
permintaan di negara importir akan menentukan harga yang terjadi di pasar dunia,
yaitu sebesar Pw. Perdagangan menyebabkan besarnya komoditas yang
diperdagangkan di pasar dunia sama dengan besarnya komoditas yang ditawarkan
negara eksportir dan komoditas yang diminta negara importir.
3.1.5. Permintaan Impor
Impor merupakan aktifitas perdagangan dimana suatu negara membeli
barang dari luar negeri. Permintaan impor terjadi karena beberapa faktor antara