• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana di Bidang Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Studi Putusan No.1821/Pid.B/2008/ PN/Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tindak Pidana di Bidang Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Studi Putusan No.1821/Pid.B/2008/ PN/Medan)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

MENURUT UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN KEJAHATAN

(STUDI PUTUSAN No.1821/Pid.B/2008/PN MEDAN)

S k r i p s i

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi

Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

O l e h :

DINA KRISTINA SITEPU

060200095

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tindak Pidana di Bidang Perlindungan Konsumen Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Studi Putusan No.1821/Pid.B/2008/ PN/Medan).

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan ilmiah Penulis, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua Penulis yang selalu menjadi sumber inspirasi dan kekuatan Penulis, Ayahanda J. Sitepu, SH dan Ibunda A. Susanti. Terima kasih atas kasih sayang, doa, perhatian dan dukungan papa dan mama kepada Penulis. Kepada adik-adik Penulis, Dika Kristanti Sitepu, Dila Kristi Sitepu dan Dita Aginta Sitepu atas doa, motivasi, dan kasih sayangnya kepada Penulis. Semoga selalu ada cinta di tengah keluarga kita. Skripsi ini Penulis persembahkan buat kalian semua, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Amin.

(3)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana. 6. Bapak DR. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I

yang telah berkenan berbagi ilmu dengan Penulis.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga serta ilmu kepada Penulis. Penulis sangat terkesan dengan keakraban yang Ibu berikan kepada Penulis.

8. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Bapak Syaiful Azam SH, M.Hum, selaku Dosen Wali Penulis yang telah memberikan arahan kepada Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

(4)

11.Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

12.Sahabat-sahabat seperjuangan Penulis selama kuliah yang sangat Penulis sayangi; Lesly ‘Eci’ Saviera SH, Putri ‘Pupud’ Hafwany SH, Khairuna ‘Uun’ Malik Hasibuan, Rizka ‘Mbin’ Mauliyan Pulungan, Annisa ‘Midori’ Lokita Lubis, Siti Maimana Sari Ketaren, Faradila Yulistari Sitepu SH. Senang mempunyai sahabat seperti kalian. Semoga kita sama-sama sukses dengan pilihan masing-masing.

13.Buat ayang-ayang ku; Ratna Soraya, Andi Yusara, Fyna Qireina, Lidya Natasya, M. Yasir, Icha Cahya, Siti ‘Dedek’ Chairunisa Siregar, Nurhasanah, Wulan ‘Cenel’, Dicky, M. Agy Hapsoro, Rahman Yudha. Semoga keakraban selalu terjalin di antara kita.

14.Buat lelaki cerewet; T. Rizky Alisyahbana SH, Teuku Aditya, Indra Tarigan Silangit, Yoppie Handoko, Jimmy Oscar.

15.Buat teman-teman di BTM periode 2007-2008 (Bang Dudi, Kak Anggrek, Kak Irma, Kak Maya, Bang Reza, dan yang lainnya) dan periode 2008-2009 (Sudirman, M. Firnanda, Rizky Kurnia, Ahmad ‘Solob’ Hasibuan, Dewi Marpaung, Netty Octris Pratiwi, Ayu Nasution, Nina Wanda, Ulfa Hayati, Aztrini Iqbal)

16.Buat anak-anak IMKA Fakultas Hukum USU, HMI dan KOHATI Fakultas Hukum USU.

(5)

18.Berbagai pihak yang telah memberikan doa dan dukungan kepada Penulis selama ini yang juga tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, Penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi kita semua dan semoga Allah Swt melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, Februari 2010

(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 8

D. Keaslian Penulisan... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 11

1. Pengertian Tindak Pidana... 11

2. Pengertian Pidana... 19

3. Pengertian Konsumen... 21

4. Pengertian Perlindungan Konsumen... 24

5. Pengertian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan... 25

F. Metode Penelitian... 30

G. Sistematika Penulisan... 32

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI LUAR UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal... 36

(7)

C. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan...43 D. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat……... 49 E. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.. 55

BAB III PENGATURAN TINDAK PIDANA DI BIDANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT

UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN

PENANGGULANGAN KEJAHATAN

A. Keduduka n Konsumen sebagai Korban Kejahatan yang Perlu Mendapatkan Perlindungan Hukum ………... 60 B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana di bidang

Perlindungan Konsumen Melalui Upaya Penal Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999... 64 1. Kriminalisasi Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak

Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana di bidang Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen... 67 2. Penyidikan, Penuntutan, dan Proses Peradilan Tindak

(8)

C. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Perlindungan Konsumen Melalui Upaya Non Penal Menurut

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999……….77

1. Instrumen Hukum Perdata Serta Upaya Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan………... 80

2. Instrumen Hukum Administratif... 82

BAB IV PENYELESAIAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI No.1821/Pid.B/2008/PN MEDAN A. Kasus 1. Kasus Posisi... 89

2. Dakwaan... 92

3. Fakta Hukum... 92

4. Tuntutan Pidana... 110

5. Pertimbangan Hakim... 110

6. Putusan... 113

B. Analisis Kasus... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 121

B. Saran... 124

(9)

ABSTRAKSI

Manusia sebagai masyarakat yang dalam kesehariannya tidak dapat lepas dari penggunaan barang dan jasa mempunyai hak-hak untuk diberikan jaminan perlindungan hukum. Hal tersebut terjadi seiring dengan banyaknya kasus yang terjadi, yang membuat posisi masyarakat sebagai konsumen semakin terpuruk. Para pelaku usaha yang seharusnya saling menguntungkan, malah ingin menguntungkan diri sendiri dan tidak memperdulikan nasib konsumen. Dalam hal ini lah perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menempatkan posisi masyarat ke kedudukan yang sebenarnya, yaitu berbanding lurus dengan pelaku usaha, karena antara pelaku usaha dan konsumen terdapat satu ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya dibutuhkan keterpaduan yang integral antara upaya penal dan non penal untuk menanggulangi hal tersebut.

Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen di luar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tindak pidana di bidang perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari perspektif kebijakan penanggulangan kejahatan serta penyelesaian tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dalam Putusan Pengadilan Negeri. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan serta berbagai literatur yang berkaitan dengan tulisan ini agar dapat menjawab permasalahan yang ada.

Tindak pidana di bidang perlindungan konsumen di atur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Dalam UU Perlindungan Konsumen telah dipaparkan berbagai bentuk tindakan yang dapat dikenai sanksi pidana. Namun, selain dalam UU Perlindungan Konsumen, bentuk perlindungan yang diberikan terhadap konsumen juga terdapat dan diatur di luar UU Perlidungan Konsumen, misalnya dalam UU Metrologi Legal, UU Usaha Perasuransian, UU Pangan, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat serta dalam UU Kesehatan. Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila melanggar ketentuan UU tersebut bukan hanya orang per orangan, akan tetapi juga badan usaha baik yang badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dalam hal kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan adanya keterpaduan antara upaya penal dan upaya non penal. Upaya penal meliputi tindakan represif dari aparat penegak hukum. Sedangkan upaya non penal meliputi adanya gugatan perdata serta dengan instrumen administratif. Dalam upaya non penal ini terdapat suatu badan khusus yang menangani sengketa di bidang konsumen, yaitu BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).

(10)

ABSTRAKSI

Manusia sebagai masyarakat yang dalam kesehariannya tidak dapat lepas dari penggunaan barang dan jasa mempunyai hak-hak untuk diberikan jaminan perlindungan hukum. Hal tersebut terjadi seiring dengan banyaknya kasus yang terjadi, yang membuat posisi masyarakat sebagai konsumen semakin terpuruk. Para pelaku usaha yang seharusnya saling menguntungkan, malah ingin menguntungkan diri sendiri dan tidak memperdulikan nasib konsumen. Dalam hal ini lah perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk menempatkan posisi masyarat ke kedudukan yang sebenarnya, yaitu berbanding lurus dengan pelaku usaha, karena antara pelaku usaha dan konsumen terdapat satu ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya dibutuhkan keterpaduan yang integral antara upaya penal dan non penal untuk menanggulangi hal tersebut.

Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen di luar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tindak pidana di bidang perlindungan konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari perspektif kebijakan penanggulangan kejahatan serta penyelesaian tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dalam Putusan Pengadilan Negeri. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang mengacu pada berbagai peraturan perundang-undangan serta berbagai literatur yang berkaitan dengan tulisan ini agar dapat menjawab permasalahan yang ada.

Tindak pidana di bidang perlindungan konsumen di atur dalam UU No. 8 Tahun 1999. Dalam UU Perlindungan Konsumen telah dipaparkan berbagai bentuk tindakan yang dapat dikenai sanksi pidana. Namun, selain dalam UU Perlindungan Konsumen, bentuk perlindungan yang diberikan terhadap konsumen juga terdapat dan diatur di luar UU Perlidungan Konsumen, misalnya dalam UU Metrologi Legal, UU Usaha Perasuransian, UU Pangan, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat serta dalam UU Kesehatan. Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya apabila melanggar ketentuan UU tersebut bukan hanya orang per orangan, akan tetapi juga badan usaha baik yang badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dalam hal kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan adanya keterpaduan antara upaya penal dan upaya non penal. Upaya penal meliputi tindakan represif dari aparat penegak hukum. Sedangkan upaya non penal meliputi adanya gugatan perdata serta dengan instrumen administratif. Dalam upaya non penal ini terdapat suatu badan khusus yang menangani sengketa di bidang konsumen, yaitu BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen).

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia yang berdasarkan hukum (recht staat) mempunyai tujuan sebagaimana yang termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah yang merupakan tujuan nasional negara Republik Indonesia dan sekaligus menjadi landasan, dasar berpijak dan derap langkah dalam ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan secara nasional.

Salah satu filosofi pembangunan nasional negara Indonesia yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Pembentukan masyarakat yang adil dan merata secara materil dan spiritual, perlu diadakan pembangunan yang adil dan merata bagi segenap bangsa yang tidak hanya dirasakan oleh sebagian rakyat, tetapi dapat dinikmati pula oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

(12)

tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang juga ikut berkembang. Hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah harus dinamis dan harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran. Masyarakat bisa memanfaatkan keterampilannya untuk mendapatkan penghasilan, dan untuk mengimbangi hal tersebut, harus diseimbangkan dengan pola hidup masyarakat yang konsumtif. Hubungan yang tarik menarik antara pelaku usaha dengan masyarakat menjadi sasaran utama para pelaku usaha inilah yang sering disebut konsumen.

Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Kondisi seperti itu, di satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, di sisi lain kondisi seperti itu dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.

(13)

kesigapan pemerintah dalam membentuk suatu peraturan yang menangani permasalahan tersebut.

Konsumen menjadi korban yang sangat potensial di tengah proses perdagangan bebas karena kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya siap menghadapi perkembangan tersebut. Pelaku usaha dituntut untuk selalu memperbaiki produk mereka dan tetap menjaga tanggungjawabnya atas setiap komoditi yang dihasilkan (product liability).1

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi seluruh masyarakat untuk dapat menikmatinya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai

Pelaku usaha memegang prinsip ekonomi yang tentu saja semakin menyudutkan posisi konsumen. Dengan modal yang sekecil-kecilnya pelaku usaha ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara keadaan ekonomi masyarakat sebagai konsumen tidak memungkinkan untuk mengikutinya.

Pelaku usaha sering tidak memikirkan keadaan mutu barang dan jasa yang dihasilkan demi memperkaya diri sendiri dan membiarkan konsumen terus dalam keterpurukan dengan terus menerima apapun dari pelaku usaha. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

1

(14)

dimensi dimana antara yang satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha dan pemerintah.

Permasalahan di bidang perlindungan konsumen yang pernah terangkat ke permukaan, menambah panjang deretan kasus di bidang perlindungan konsumen itu sendiri. Permasalahan sengketa juga sering ada yang menjurus kepada perbuatan pidana yang disebabkan ulah pelaku usaha yang tidak sportif dan bertanggungjawab dalam menjalankan kegiatan usahanya, misalnya seorang nasabah perusahaan leasing yang bersengketa dengan perusahaan tempat ia mengambil kredit mobil2; adanya aduan dari konsumen dalam bidang perasuransian (PT. Prudential Life Assurance Jakarta. Mediasi Tgl. 14 Maret 2006 dihadiri para pihak - Konsumen tetap menuntut agar bonus yang diterima tetap tiap tahunnya, namun pelaku usaha menolak dengan alasan bonus masih merupakan ilustrasi)3

Aduan dari masyarakat kepada aparat penegak hukum menjadi suatu titik terang bagi kalangan konsumen. Namun ada pula pelaku usaha yang tertangkap basah yang membuka praktek usaha yang memproduksi barang-barang palsu. Malahan ada pula seorang pelayanan jasa yang dengan sengaja ataupun karena kurang menguasai dalam bidangnya yang melakukan tindakan yang merugikan masyarakat sebagai konsumen, misalnya seorang dokter yang melakukan

; serta yang tidak ketinggalan adalah kasus Prita Mulyasari seorang pasien yang mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit yang berujung pada penahanan Prita.

2

diakses Rabu, 27 Januari 2010

3

(15)

malpraktek. Hal tersebut akan sangat berbahaya, mengingat perbuatan dokter yang seperti itu menyangkut kelangsungan hidup pasien hingga ada yang berujung dengan kematian. Jika terus menerus dibiarkan, ini akan menjadi polemik dalam masyarakat yang akan terus berkembang.

Pada saat sekarang, sesuai dengan perkembangan bisnis, permasalahan-permasalahan serta kajian-kajian tentang hukum perlindungan konsumen, mendapat sorotan khusus, terutama karena banyaknya hal-hal yang dapat dan perlu dipertanyakan mengenai promosi dan iklan yang berhubungan dengan upaya perlindungan konsumen. Asas-asas dalam periklanan dan promosi barang dan jasa juga penting dan perlu disosialisasikan dan harus dipahami oleh konsumen. Kejujuran sebagai salah satu asas dalam promosi perikalanan juga perlu pengkajian lebih lanjut untuk mencari tolak ukur, terutama batasan-batasannya dan penerapannya dalam bidang jual-beli.4

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus karena perlindungan konsumen sebenarnya tidak hanya

Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 hadir sebagai upaya antisipasi preventif dan represif dari pemerintah untuk melindungi masyarakat dan memberikan tertib hukum bagi pelaku usaha dalam era perdagangan bebas.

4

(16)

bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha demi mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat.

Perilaku pelaku usaha yang tidak mengindahkan aturan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah, dalam tingkatan tertentu dapat berujung pada tindak pidana atau kejahatan dan harus diselesaikan melalui penerapan hukum pidana. Ancaman hukuman pidana seringkali tidak diindahkan oleh para pelaku usaha yang tetap mencari celah sebagai pembenaran bagi mereka agar tidak dihukum. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku usaha tersebut juga masih belum dapat memberikan efek positif yaitu penjeraan bagi pelaku usaha serta bagi korban, sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku usaha tersebut tidak dapat mengembalikan keadaan mereka yang telah mengalami kerugian akibat ulah pelaku usaha yang tidak patuh tersebut.

(17)

dengan usaha preventif yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang terkait didalamnya, seperti pemerintah, lembaga-lembaga yang bergerak di bidang perlindungan konsumen, pelaku usaha itu sendiri maupun masyarakat sebagai konsumen.5

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka skripsi ini diberi judul “TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN DAN PENERAPAN HUKUMNYA (STUDI PUTUSAN No. 1821/Pid.B/2008/PN Mdn)”. Hal tersebut dipicu karena tindak pidana di bidang perlindungan konsumen ini merupakan suatu perbuatan yang merugikan kegiatan perekonomian negara pada umumnya dan perekonomian masyarakat sebagai

Tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dapat dilaksanakan melalui kebijakan hukum pidana dengan sanksi hukum yang lebih tegas. Pelaku usaha yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dalam bentuk apapun seperti yang tercantum dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen akan dikenakan sanksi pidana seperti pidana penjara dan pidana denda juga pidana tambahan lainnya.

5

Moh. Muhibbin, Dosen Fakultas Unisma, Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebagai Wujud Pelayanan Pencari Keadilan,

di akses

(18)

konsumen pada khususnya untuk menciptakan iklim perekonomian yang kondusif sehingga tidak merugikan aspek lain dalam tatanan kenegaraan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Peraturan perundang-undangan apakah yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen di luar Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimana pengaturan tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan?

3. Bagaimana penyelesaian tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen dalam putusan Pengadilan Negeri No.1821/Pid.B/2008/PN Mdn dan kaitannya dengan upaya penanggulangan kejahatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

(19)

2. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dari Perspektif Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian tindak pidana di bidang Perlindungan Konsumen dalam Putusan Pengadilan Negeri No.1821/Pid.B/2008/PN Mdn dan kaitannya dengan upaya penanggulangan kejahatan.

Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai tindak pidana di bidang perlindungan konsumen serta penerapan hukumnya 2. Manfaat praktis

a. Sebagai masukan bagi pembuat undang-undang, aparat penegak hukum serta masyarakat luas yang merupakan konsumen untuk lebih meningkatan pengawasan terhadap pelaku usaha dan bagi pelaku usaha agar lebih bertanggungjawab dalam menghasilkan produk yang lebih berdaya guna dengan tidak hanya mengaharapkan profit tanpa memikirkan kepentingan konsumen sebagai manusia.

(20)

kepada konsumen sendiri agar lebih berani dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian untuk melindungi diri.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, akan tetapi tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan diangkat yaitu tentang “TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN (STUDI PUTUSAN No. 1821/Pid.B/2008/PN Mdn)”. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan buah karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

(21)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP) yaitu “strafbaar feit”, tapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu, karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, namun sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.6

Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara Anglo Saxon memakai istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Kemudian timbullah masalah untuk menerjemahkan istilah strafbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia.7

Para sarjana Barat merumuskan istilah strafbaar feit ini mempunyai pemikiran yang berbeda-beda, maka didapat pengertian atau batasan yang berbeda pula, seperti :

Oleh karena tidak ada penjelasan resmi yang wajib ditaati mengenai penerjemahan kata strafbaar feit itulah muncul berbagai istilah yang berkembang di kalangan para sarjana, baik sarjana dari Barat maupun sarjana dari Indonesia sendiri.

8

6

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 67

7

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 86

8

(22)

a. Simons

Simons merumuskan bahwa: Een srafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan atau perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.

b. Van Hamel

Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simons, hanya ditambahkannya dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

c. Vos

Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan (gedrading) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana. d. Pompe

(23)

ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum. Pompe juga membedakan pengertian strafbaar feit adalah :9

1) definisi menurut teori memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

2) definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

e. J. E. Jonkers 10

J. E. Jonkers memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua pengertian, yaitu :

1) definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;

2) definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian

strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung

dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Beberapa sarjana Indonesia mengemukakan pengertian strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan yang boleh dihukum, pelanggaran pidana, dan delik. Kesimpangsiuran perumusan istilah

strafbaar feit ini semakin bertambah manakala di dalam perundang-undangan

9

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 91

10

(24)

Indonesia yang telah menggunakan seluruh istilah yang telah disebutkan di atas, dalam berbagai undang-undang. Istilah-istilah tersebut juga digunakan oleh para sarjana Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut :11

a. Perbuatan yang boleh dihukum, digunakan oleh MR. Karni, Susilo, H.J van Schravendijk

b. Peristiwa pidana, digunakan oleh Mr. R. Tresna, E. Utrecht, Wirjono Prodjodikoro.

c. Tindak Pidana, digunakan oleh Satochid Kartanegara, oleh Wirjono Prodjodikoro, Subekti

Kemudian muncul lagi beberapa penafsiran tentang pengertian istilah-istilah yang dijabarkan sebagai strafbaar feit, diantaranya adalah :

a. Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.12 Istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau delict.13

b. Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Jika dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.14

11

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 206

12

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 175

13

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (selanjutnya disebut Buku I) , Pradnya Paramitha, Jakarta, 2007, hal. 37

14

(25)

c. Tindak Pidana adalah sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab).15

Menurut teori dalam hukum pidana, perbuatan yang dapat dihukum ialah kelakuan orang yang bertentangan dengan keinsafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seseorang yang dapat dipersalahkan.16

Istilah tindak pidana erat kaitannya dengan istilah kejahatan yang merupakan suatu tindakan yang menyimpang dari kenyataan yang seharusnya.17 Menurut M. Hamdan, pengertian tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 18

Perumusan tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara garis besar dan secara teoritis dibagi menjadi tiga, yaitu tindak pidana yang hanya mencantumkan klasifikasinya saja (nama tindak pidananya), tindak pidana yang hanya menyebutkan elemennya saja (unsur dari tindak pidana itu) dan tindak pidana yang mencantumkan kedua-duanya (nama dan unsur dari tindak pidana).19

15

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 211

16

C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Pidana (selanjutnya disebut Buku II), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 163

17

Mien Rukmini, Op. Cit., hal. 66

18

M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 59

19

(26)

Agar suatu perbuatan itu tergolong dalam suatu tindak pidana, haruslah memenuhi beberapa unsur-unsur yang melekat pada tindak pidana, diantaranya adalah :

a. Unsur Subjektif

Harus ada subjek hukum dan pada orang itu terdapat kesalahan, dengan perkataan lain, jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, berarti ada orang sebagai subjek nya dan pada orang itu terdapat kesalahan.20 Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan. Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan (schuld/negligence). Pada umumnya para pakar telah menyetujui bahwa kesengajaan terdiri atas tiga bentuk, yakni :21

1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);

2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewutzijn); 3) kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus eventualis) b. Unsur Objektif

Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:22 1) perbuatan manusia berupa act yakni perbuatan aktif atau positif, dan omission

yakni perbuatan pasif yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2) akibat (result) perbuatan manusia meliputi akibat yang membahayakan atau

merusak, bahkan menghilangkan kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.

20

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 213

21

Leden Marpaung, Asas,Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta, 2008, hal. 9

22

(27)

3) keadaan-keadaan (circumstances), dibedakan lagi atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan.

4) sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum, adapun sifat dapat dihukum berkenaan dengan alas an-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman, sedangkan sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

Harus terdapat suatu perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum, yang menjadi titik utama dari unsur objektif ini adalah tindakannya.23 Sedangkan waktu, tempat dan keadaan termasuk juga dalam unsur objektif lainnya.24

C.S.T. Kansil menyebutkan bahwa tindak pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung lima unsur, yakni : 25

a. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);

b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-Undang (wettelijkeomschrijving);

c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

C. S. T. Kansil menyebutkan bahwa diantara beberapa istilah tersebut, yang paling tepat untuk dipakai adalah istilah peristiwa pidana, karena yang

23 R. Abdoel Djamali, Op. Cit., hal. 175

24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op Cit, hal. 211

25

(28)

diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat atau bertindak tetapi juga yang tidak berbuat (melanggar suruhan atau gebod) atau tidak bertindak.26

Moeljatno, lebih banyak menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut beliau, perbuatan pidana adalah:27

Seperti yang dikutip Roeslan Saleh, Beccaria pernah mengatakan bahwa hanya undang-undang yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula dapat dijatuhkan dan bagaimanakah peradilan pidana harus terjadi.

“Perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula.”

28

Suatu perbuatan baru dapat dikatakan tindak pidana, jika perbuatan itu juga bersifat melawan hukum. Namun, bukan berarti tindak pidana yang tidak memuat perkataan “melawan hukum”, tidak dapat bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukumnya akan tersimpul dari unsur tindak pidana yang lain. Dengan demikian, perbuatan melawan hukum itu dibuktikan sepanjang menjadi rumusan tindak pidana. Hal tersebut juga berdampak pada bunyi putusan. Dalam praktik pada umumnya, jika tidak terbukti adanya sifat melawan hukum yang disebutkan dalam rumusan tindak pidana, menyebabkan putusan bebas (vrijspraak). Berbeda

26

Ibid., hal. 37

27

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 54

28

(29)

halnya, jika melawan hukum tidak dirumuskan, karena tidak terbuktinya hal ini menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.29

2. Pengertian Pidana

Istilah pidana sering disamakan dengan pidana sering disamakan dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straf. Namun, ada pula yang menyebutkan bahwa istilah pidana tidak sama dengan hukuman. Menurut Andi Hamzah, hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. 30

a. Sudarto mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Oleh karena tidak ada pengertian pidana secara konkrit dan jelas, maka beberapa ahli hukum di Indonesia, mengemukakan pengertian pidana dengan pandangan mereka sendiri, yaitu :

31

b. Sahetapy mengemukakan bahwa dalam pengertian pidana tersimpul unsur penderitaan. Tetapi penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus

29 Chairul Huda, Op. Cit., hal. 51

30

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1993, hal. 1

31

(30)

dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan memberi kemungkinan bertaubat dengan penuh keyakinan.32

c. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik.33

Menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana terdiri dari : a. Pidana pokok yaitu :

1) pidana mati; 2) pidana penjara; 3) pidana kurungan; 4) pidana denda; b. Pidana tambahan, yaitu :

1) Pencabutan hak yang tertentu 2) Perampasan barang-barang tertentu 3) Pengumuman putusan hakim

Di samping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya :34

a. penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab karena jiwanya cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit (Pasal 44 ayat (2) KUHP);

b. bagi anak yang belum berumur enam belas tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa :

32

Waluyadi, Op Cit, hal. 67

33

Roeslan Saleh dalam Waluyadi, Op. Cit., hal. 3

34

(31)

1) Mengembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya atau; 2) Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah.

Walaupun pemakaiannya sering disamakan, namun sebenarnya antara “tindakan” dan “pidana” memiliki perbedaan. Letak perbedaan antara pidana dan tindakan ialah pidana dimaksudkan sebagai pembalasan atau pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat, sedang tindakan dimaksudkan untuk perlindungan masyarakat terhadap orang yang melakukan perbuatan yang membahayakan masyarakat dan untuk pembinaan dan perawatan si pembuat.

3. Pengertian Konsumen

Konsumen berasal dari kata consumer dalam Bahasa Inggris dan

consument dalam Bahasa Belanda yang secara harfiah diartikan sebagai orang

atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Namun, ada juga yang mengartikan “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa adanya pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya atau untuk tujuan komersial (dijual lagi kepada pihak lain).35

35

(32)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian konsumen adalah pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dsb); kepentingannya pun harus diperhatikan, diantaranya adalah penerima pesan iklan, pemakai jasa pelanggan, dan sebagainya.36

Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen ini tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga yang dirugikan atau menjadi korban akibat pengguna atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa.

Dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara di dalam kepustakaan ekonomi. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang perlindungan konsumen adalah konsumen akhir, dimana masyarakat sebagai penikmat suatu barang menggunakan barang tersebut untuk keperluan sendiri.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

37

36

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal 590

37

(33)

Pengertian konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen lebih luas bila dibandingkan dengan Rancangan UU Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang menentukan bahwa konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.38

Naskah final Rancangan Akademik UU Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia menentukan bahwa konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan untuk diperdagangkan.

39

Selain di Indonesia, beberapa Negara lain juga memberikan pengertian konsumen menurut negara mereka masing-masing, misalnya saja di Amerika Serikat menyebutkan bahwa konsumen meliputi korban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, tapi juga korban yang bukan pembeli tapi pemakai, bahwa korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.

38

Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu sumbangan pemikiran tentang Rancangan Undang-UndangPerlindungan Konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 2 dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hal. 5

39

(34)

4. Pengertian Perlindungan Konsumen

Menurut Undang-Undang tentang Pelindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Pengertian pelaku usaha yang dijabarkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini menyebutkan bahwa pelaku usaha tidak harus suatu badan hukum, tetapi dapat pula orang perorangan (termasuk juga penjual grosir, leveransir sampai pengecer) yang berlaku baik bagi pelaku usaha ekonomi kuat maupun bagi pelaku usaha ekonomi lemah. Pelaku usaha menurut undang-undang ini juga termasuk pelaku usaha perorangan yang berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum Indonesia, pelaku usaha perorangan yang bukan berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum asing sepanjang mereka melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.40

Melalui pengertian perlindungan konsumen di atas, muncul kerangka umum tentang sendi-sendi pokok pengaturan perlindungan konsumen, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:41

a. Kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha; b. Konsumen mempunyai hak;

c. Pelaku usaha mempunyai kewajiban;

d. Pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada pembangunan nasional;

e. Perlindungan konsumen dalam iklim bisnis yang sehat;

40

Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hal. 67

41

(35)

f. Keterbukaan dalam promosi brang atau jasa; g. Pemerintah selalu berperan aktif;

h. Masyarakat juga perlu berperan serta;

i. Perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai bidang;

j. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Perlindungan Konsumen ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:42

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan melindungi kepentingan pelaku usaha pada umumnya;

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan menyesatkan;

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembanagn dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.

5. Pengertian Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Secara gradual dan fundamental, terminologi “kebijakan” berasal dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah

42

(36)

(dalam artian luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).43

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kebijakan sendiri diartikan sebagai:44

Pengertian kejahatan yaitu merupakan tindak pidana yang tergolong berat, lebih berat dari pelanggaran, perbuatan yang sangat anti sosial.

“Kepandaian, kemahiran; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen di usaha mencapai sasaran.”

45

Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut

Criminal Policy.

Kejahatan atau tindakan kriminal merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial dan merupakan ancaman real atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial, dan juga merupakan masalah kemanusiaan.

46

43

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi (Selanjutnya disebut Buku I), Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 26

44

Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit., hal. 149

45

Ilham Gunawan, M. Martius Sahrani, Kamus Hukum, Restu Agung, Jakarta, 2002 dalam Mien Rukmini, Op. Cit., hal. 66

46

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, hal. 50

(37)

penanggulangan kejahatan harus diisyaratkan pada integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat kita bagi menjadi pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititik tekankan pada berbagai kebijakan sosial.47

Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinnya melalui beberapa tahap, yaitu:48

a. formulasi (kebijakan legislatif); b. aplikasi (kebijakan yudikatif);

c. eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal, maka kebijakan hukum pidana khususnya tahap yudikatif/aplikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social, berupa social welfare dan social defence.49

Pada dasarnya, sebagai kebijakan yang berdiri sendiri untuk penanggulangan kejahatan, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari tujuan kriminal. Hamdan menyebutkan bahwa pengertian politik kriminal adalah usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini

47

Ibid., hal. 55

48

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Selanjutmya disebut Buku I), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001. hal.75

49

(38)

meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan.50

Kebijakan penanggulangan kejahatan dimaksudkan sebagai upaya penegakan hukum pidana melalui penerapan norma yang terdapat dalam undang-undang. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan dalam hal-hal :51

a. bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;

b. bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

c. bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

d. bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan lebih besar.

Sudarto, menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan dapat disebut dengan kebijakan kriminal. Menurut beliau, terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :52

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

50

Lilik Mulyadi (Buku I), Op. Cit., hal. 30

51

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana (Selanjutnya disebut Buku II), Alumni, Bandung, 2008, hal. 391

52

(39)

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan upaya penal, yaitu :

a. Perlu ada pendekatan integral antara kebijaksanaan penal dan non penal; b. Perlu pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam penggunaan sanksi

pidana.

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non penal lebih bersifat pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.

(40)

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini sehingga didapatkan hasil tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang Penulis gunakan adalah :

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan secara terperinci, menelaah dan menganalisa peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan Tindak Pidana di bidang perlindungan konsumen dan menggunakan putusan.

2. Data dan Sumber Data

Data yang Penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.53

b. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan dan mendukung bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah berupa berbagai peraturan perundang-undangan.

54

53 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 141

54 Ibid.

(41)

perlindungan konsumen dari perspektif kebijakan penanggulangan kejahatan; dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dari perspektif kebijakan penanggulangan kejahatan; data dan studi yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Medan, yaitu studi putusan No. 1821/Pid.B/2008/PN Mdn serta dari berbagai literature, majalah dan internet yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dari perspektif kebijakan penaggulangan kejajatan.

c. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kamus hukum.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang Penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian ini dirumuskan untuk mencari bahan-bahan atau data-data untuk keperluan penulisan ini melalui kepustakaan dengan cara membaca, menafsirkan buku-buku atau literatur, baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri yang Penulis anggap penting sebagai pendukung dalam penyusunan skripsi.

(42)

juga menganalisis putusan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah diperoleh dan disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk menjawab permasalahan yang ada di dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I : Pendahuluan

Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya perlindungan terhadap konsumen di luar Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

(43)

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tahun tentang Usaha Perasuransian, undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

(44)

perdata dan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan instrumen hukum administratif.

BAB IV : Penyelesaian tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dalam putusan pengadilan Nomor 1821/Pid.B/PN Mdn

Dalam bab ini akan dilakukan analisa terhadap kasus untuk mencari tahu kebenaran hukumnya dan penerapan hukum seperti apa yang seharusnya diberlakukan dalam kasus tersebut.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

(45)

BAB II

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN DI LUAR UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, upaya perlindungan terhadap konsumen juga terdapat dalam berbagai undang-undang lain. Walaupun undang-undang tersebut tidak dikhususkan untuk konsumen, tetapi dapat dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.55

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;

Undang-undang tersebut di antaranya adalah :

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tahun tentang Usaha Perasuransian; 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat;

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Keseluruhan Undang-undang tersebut di atas sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia, maka sangat dibutuhkan pengaturan mengenai jaminan perlindungan atas hak-hak masyarakat. Namun, disamping itu, masyarakat juga harus mengetahui kewajiban-kewajibannya dan dapat melindungi dirinya sendiri agar hak-hak tersebut tidak terganggu dan keseimbangan dalam masyarakat dapat tetap terjaga. Kata ‘konsumen’ tidak secara implisit disebutkan dalam undang-undang tersebut di atas. Ada beberapa undang-undang-undang-undang yang memang

55

(46)

mencantumkan kata ‘konsumen’ di dalamnya, akan tetapi di beberapa undang-undang lain disebutkan pula kata ‘setiap orang, manusia, dan masyarakat’. Namun, pengertiannya tetap saja mengandung makna konsumen, karena seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dalam pengertian konsumen terkandung juga pengertian kata ‘setiap orang, manusia, dan masyarakat’.

Berikut akan dijelaskan ketentuan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak konsumen, masyarakat, manusia yang terkandung dalam undang-undang yang telah disebutkan di atas sebagai berikut :

F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang ini, yang dimaksud dengan metrologi legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran.

(47)

Undang-undang ini menyebutkan adanya perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dilarang tersebut dibedakan antara yang tergolong dengan kejahatan dan pelanggaran. Menurut Pasal 33 ayat (1) termasuk kejahatan adalah: 1. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 25, dilarang mempunyai, menaruh,

memamerkan, memakai atau menyuruh memakai:

a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengakapannya yang bertanda batal;

b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku;

c. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak;

d. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang setelah dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat mempengaruhi panjang, isi, berat atau penunjukkannya, yang sebelum dipakai kembali tidak disahkan oleh pegawai yang berhak;

e. alat-alat ukur, takar, timbang, dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau penunjukkannya menyimpang dari nilai yang diizinkan;

(48)

g. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain di tempat usaha, di tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum, di tempat melakukan penyerahan-penyerahan, di tempat menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau timbangan.

2. Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 26, yaitu menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan, mengadakan persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan secara bagaimanapun juga alat ukur, takar, timbang, dan atau alat perlengkapannya yang bertanda tera batal, yang tidak bertanda tera sah, yang tanda jaminannya rusak.

3. Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 27 yaitu memasang alat ukur, alat penunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat-alat ukur, takar atau timbang yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang serta alat-alat ukur, takar atau timbang yang diubah atau ditambah yang tidak ditera atau tidak ditera ulang.

Sedangkan yang termasuk dalam pelanggaran adalah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini yaitu dilarang:

(49)

2. membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau menawarkan untuk dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih,berat bersih atau jumlah hitungannya kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya, atau yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22 Undang-undang ini.

Ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang ini terdapat dalam pasal 32 sampai dengan Pasal 35, bunyi lengkap pasal-pasal tersebut adalah : Pasal 32

1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

3) Pelanggaran terhadap perbuatan yang tercantum dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 129 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang ini dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 33 Undang-undang ini hanya menyebutkan tentang pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dan mengenai perampasan barang yang menjadi bukti kejahatan atau pelanggaran yang dapat dirampas untuk kepentingan negara.

Pasal 34 Undang-undang ini menyebutkan bahwa adanya pertanggungjawaban korporasi dimana pihak yang dapat dituntut dengan hukuman adalah :

a. Pengurus, apabila berbentuk badan hukum;

(50)

c. Pengurus, apabila berbentuk yayasan;

d. Wakil atau kuasanya di Indonesia, apabila kantor pusatnya berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia.

Undang-undang ini telah menjamin kepentingan konsumen yang dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan pasar yang menuntut untuk terus mengkonsumsi barang di pasaran baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk timbangan (tidak dikemas). Undang-undang ini menuntut untuk adanya sikap jujur kepada pelaku usaha dalam membuat, memasarkan, mengedarkan, mempromosikan suatu barang dan kegiatan lain yang sejalan dengan itu.

G. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

Kegiatan usaha perasuransian, khususnya usaha asuransi, merupakan jenis yang termasuk dalam kategori kegiatan usaha yang sangat diatur oleh pemerintah. Hal ini dilakukan karena usaha asuransi sangat berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Namun, meskipun kegiatan usaha perasuransian telah berlangsung cukup lama, kita baru mempunyai Undang-undang yang khusus mengatur mengenai jenis kegiatan usaha ini sejak tanggal 11 Februari 1992, yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.56

“Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hokum kepada Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan asuransi ataupun pertanggungan adalah

56

(51)

pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang mungkin timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan ata meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.”

Keterikatan hubungan konsumen (tertanggung/pemegang polis) dengan pihak perusahaan asuransi jiwa (penanggung) muncul sejak adanya kata sepakat dari pihak konsumen kepada perusahaan asuransi. Secara umum, inilah yang disebut perjanjian konsensual.terbitnya polis menandakan secara serta merta, konsumen tunduk pada ketentuan/syarat-syarat umum polis yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi.57 Hubungan hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan asuransi adalah antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis.58

a. Pasal 21 menyebutkan bahwa “menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha perasuransian tanpa izin usaha dari Menteri, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial diancam pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;

Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini terdapat dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24. Perbuatan yang dilarang dan dapat dihukum pidana adalah:

b. Pasal 22 menyebutkan bahwa “menggelapkan premi asuransi diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;

c. Pasal 23 menyebutkan bahwa “menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan dan atau menggunakan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransian Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian, atau Perusahaan Reasuransi diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah)”;

57

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 157

58

(52)

d. Pasal 22 menyebutkan bahwa “menerima, menadah, mengagunkan, membeli, atau menjual kembali kekayaan perusahaan yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan reasuransi diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”;

e. Pasal 23 menyebutkan bahwa “melakukan pemalsuan atas dokumen kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan reasuransi diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”;

f. Pasal 24 menyebutkan bahwa perusahaan asuransi yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang perasuransian serta peraturan pelaksananya;

Hal sebagaimana disebutkan dalam point a merupakan jenis kejahatan. Seluruh tindak pidana tersebut di ancam hukuman penjara dan hukuman denda. Jadi, ketentuan sanksi pidananya merupakan pidana kumulatif, dimana pelakunya dikenakan ancaman hukuman pidana serta pidana denda sekaligus. Namun bagi perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan Undang-Undang serta peraturan pelaksananya dikenakan sanksi administratif, ganti rugi atau denda.

Dalam Point a diatas, Pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabanya adalah orang perorangan baik atas nama diri sendiri maupun yang mengatasnamakan badan usaha yang merupakan badan hokum maupun yang bukan badan hukum. Seluruh perbuatan yang dilarang dalam Undang-undang Usaha Perasuransian dan dapat dikenakan sanksi pidana merupakan bentuk perlindungan terhadap nasabah perasuransian. Peta permasalahan yang dialami konsumen asuransi jiwa dapat diringkaskan berikut ini:59

1. Penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas asuransi, yang berakibat dilakukannya ‘pemutihan’ polis asuransi konsumen dengan

59

(53)

kondisi yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelum dilakukan pemutihan.

2. ketidakadilan substansi syarat-syarat/ketentuan umum polis, yaitu: bila tertanggung mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian, diberikan santunan sesuai persentase dalam table polis, sebaliknya bila berakibat cacat total tetap, tidak diberikan santunan apapun;

3. penetapan atau pematokan kurs secara sepihak terhadap klaim bilai tunai (menjual polis) dan klaim jatuh tempo (berakhirnya masa pertanggungan) pada polis asuransi jiwa yang dipertanggungkan dengan mata uang asing, padahal polis dan syarat-syarat ketentuan umum polis menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi diperhitungkan menurut kurs tengah Bank Indonesia.

H. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Menurut Pasal 1 angka 1 UU Pangan, yang dimaksud dengan Pangan adalah :

“Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dala proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.”

(54)

dari perilaku pelasu usaha yang tidak/kurang teliti dalam memproduksi bahan makanan, seperti dalam hal keracunan makanan. Kasus keracunan makanan di Indonesia biasanya diberikan santunan, bukan ganti rugi. Santunan lebih bermotif belas kasihan yang pelaksanaannya tidak bias dipaksakan, artinya pemberian sejumlah uang kepada korban bukan merupakan kewajiban melainkan lebih karena kepedulian atau kebaikan hati. Santunan dalam kasus keracunan makanan semakin memperlemah posisi korban. Korban/konsumen seolah ibarat objek yang lemah, perlu dikasihani, disini terjadi objektifitas terhadap korban. Padahal, antara korban dan produsen, masing-masing melekat hak dan kewajiban.60

a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;

Undang-undang ini sendiri lahir mempunyai tujuan (Pasal 3), yaitu :

b. terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan

c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

UU Pangan tidak menyebutkan kata konsumen secara gamblang, tapi konsumen digantikan dengan kata ‘setiap orang’ yang mana pengertian setiap orang ini terdapat dalam Pasal 1 angka 18, yaitu setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak. Subjek hukum dalam UU ini berbeda dengan subjek dalam KUHP, karena KUHP hanya menyebutkan manusia sebagai subjek hukumnya, sedangkan badan usaha

60

(55)

belum termasuk pihak yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dalam KUHP.

Ketentuan sanksi pidana termuat juga dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 UU Pangan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu:

1. Pasal 55

Pasal ini memuat ketentuan sanksi pidana penjara berupa pidana penjara paling lama 5 (lima tahun) dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) barang siapa yang dengan sengaja:

a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; b. menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan

pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 ayat (1);

c. menggunakan bahan y

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan luasan bukaan turut serta meningkatkan distribusi cahaya alami dalam ruang, semakin banyak bukaan maka semakin banyak area yang mendapatkan pencahayaan

[r]

Pemegang Unit Penyertaan akan mendapatkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang tersedia bagi Pemegang Unit Penyertaan melalui fasilitas yang disediakan oleh penyedia

Hasil simulasi menunjukkan purata masa menunggu dan jumlah kenderaan yang menunggu di setiap lorong di persimpangan tersebut dapat dikurangkan dengan menukar urutan dan fasa pada

Pada penggunaan kontrasepsi pil kurang dari 5 tahun berisiko 0,90 kali lebih kecil untuk meng- alami menopause dini daripada wanita yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi pil

“Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Editor), Islam Negara dan Civil Society.. al-Munawwir, Ahmad

kesediaan untuk menggunakan diberlakukan sebagai variabel intervening, dan variabel dampak organisasi adalah variabel dependennya. Pengujian variabel ini dilakukan dua

(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas seluruh hasil