• Tidak ada hasil yang ditemukan

Extension of Farmers in Marginal Land The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Extension of Farmers in Marginal Land The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS

ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING

DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT

PROVINSI JAWA BARAT

KURNIA SUCI INDRANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat “ adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2010

Kurnia Suci Indraningsih

(3)

ABSTRACT

KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Extension of Farmers in Marginal Land: The Innovation Adoption Case Study on Integrated Dry-Land Farming in Cianjur and Garut Regencies, West Java Province. Under supervision of BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, and HARI WIJAYANTO

Marginal land in Indonesia is potential for agribusiness development. At present, 17.1 million hectares or 22.8 percent of dry-land areas is cultivated for agriculture. Objectives of this research were to analyze the factors affecting: (1) perceptions of farmers towards extension, (2) farmers' perceptions on innovation characteristics, (3) the decision of farmers in adopting the technology, (4) farmers’ performance, and (5) strategies for planned changes on farmers in marginal lands. The research used an explanatory survey method. Units of analysis were individuals, and the sample farmers were the respondents. The population in this study was all farmers in the villages of the districts of Talaga (Cianjur Regency) and Jatiwangi (Garut Regency). Number of samples was determined using Slovin’s formula with total samples of 302 respondents. Sampling method of this research employed that of stratified random. Data were collected from December 2008 to March 2009. Analyses of the data consisted of: (1) descriptive data analysis: frequency distribution, Odds ratio, and (2) inferential data analysis: Pearson correlation, multiple regression, and path analysis. Results of the study showed that (1) Factors influencing the perception of adopting-farmers toward extension were mobility, intelligence, and risk-taking levels, and cooperation, while those for non-adopting farmers were purchasing power, cooperation, exposure to the media, and availability of financial facilities; (2) Factors influencing the perception of adopting farmers’ on innovation characteristics were income level, land use, attitude toward change, competence and role of extension agents, while those for non-adopting farmers were intelligence, risk-taking, and cosmopolite levels, inputs availability, and marketing facilities; (3) Factors affecting farmers’ decisions to adopt technology for adopting farmers were relative advantage, compatibility of technology, and farmers' perceptions on media influence/ interpersonal information, while those for non-adopting farmers were conformity and complexity of technology, and the farmers’ perceptions on media influence/ interpersonal information; (4) Factors affecting the performance of both adopting and non-adopting farmers were the farmers' decisions in using production facilities; and (5) Formulation of sustainable agricultural extension strategies in marginal land areas should take into account the characteristics and communication behavior of targeted audiences (farmers), supporting business climate, and both central and local governments’ policies.

(4)

RINGKASAN

KURNIA SUCI INDRANINGSIH. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN, PRABOWO TJITROPRANOTO, PANG S. ASNGARI, dan HARI WIJAYANTO

Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang luas, namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha. Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan. Pada tahun 2008, penggunaan lahan untuk tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha, lahan ladang/huma adalah 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah 14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha, sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada. Lahan kering dapat dikelola untuk usaha produktif yang dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam pengelolaan lahan kering, melalui kegiatan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi. Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh petani yang tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat petani yang menolak inovasi teknologi tersebut.

Untuk mengadopsi teknologi, petani memerlukan modal yang lebih besar dan mengubah kebiasaan bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko besar. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut; (3) Menganalisis faktor-faktor yang mempenga-ruhi keputusan petani dalam mengadopsi teknologi; (4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani; dan (5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi yang adaptif sesuai dengan preferensi petani.

(5)

responden, masing-masing 93 petani di Cianjur dan 209 petani di Garut (petani adopter sebanyak 137 dan petani non adopter sebanyak 165). Pengambilan sampel petani menggunakan teknik sampel acak stratifikasi (stratified random sampling), dengan stratifikasi petani adopter dan petani non adopter. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Data primer dikumpulkan langsung dari petani responden melalui wawancara, dengan menggunakan kuesioner yang telah memenuhi persyaratan kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas) dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dari sumber lain (informan kunci) adalah penyuluh, ketua kelompok tani dan pamong desa atau tokoh masyarakat lain diperoleh melalui wawancara mendalam, yang bersifat sebagai data pendukung untuk verifikasi. Analisis data dalam penelitian ini mencakup: (1) analisis deskriptif: distribusi frekuensi dan rasio Odds, serta (2) analisis inferensial: korelasi Pearson, regresi ganda, dan analisis jalur.

Hasil penelitian menunjukkan: (1) Melalui kegiatan penyuluhan yang intensif, persepsi petani terhadap manfaat penyuluhan dapat ditingkatkan, yang semula tergolong baik (kategori sedang) menjadi lebih baik (kategori tinggi). Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani terhadap penyuluhan adalah karakteristik petani (mobilitas, luas lahan, intelegensi, dan sikap terhadap perubahan), serta perilaku komunikasi (kerjasama, kekosmopolitan dan keterdedahan terhadap media); (2) Persepsi petani terhadap inovasi teknologi menunjukkan peningkatan yang berarti jika pada inovasi teknologi tersebut terkait langsung dengan aspek kebutuhan dan preferensi petani terhadap teknologi lokal ataupun usahatani terpadu. Peningkatan persepsi petani terhadap inovasi akan semakin tajam jika pada diri petani terdapat sifat berani mengambil resiko dan lebih berorientasi ke luar sistem sosialnya (kosmopolit). Faktor penting yang menunjang peningkatan persepsi petani terhadap inovasi adalah ketersediaan

input (sarana produksi), sarana pemasaran (termasuk sistem pemasaran yang baik); (3) Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi adalah manfaat langsung dari teknologi yang berupa keuntungan relatif (termasuk keuntungan ekonomi yang lebih tinggi), kesesuaian teknologi terhadap nilai-nilai sosial budaya, cara dan kebiasaan berusahatani, kerumitan penerapan teknologi, serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani; (4) Keputusan petani dalam berusahatani ditentukan oleh keunggulan ekonomi komoditas, penggunaan sumberdaya lahan dan tenaga kerja. Keunggulan komoditas yang didukung dengan ketersediaan input (sarana produksi) dan keterjangkauan daya beli petani terhadap input mempengaruhi kinerja usahatani yang dikelola petani; (5) Strategi penyuluhan pertanian berkelanjutan merupakan alternatif untuk mengatasi masalah kelambatanadopsi inovasi teknologi di tingkat petani. Rumusan strategi ini perlu didasarkan pada karakteristik dan perilaku komunikasi khalayak sasaran (petani), dukungan iklim usaha dan dukungan kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Aspek ketenagaan, kelembagaan, dan penyelenggaraan penyuluhan perlu menjadi fokus kegiatan penyuluhan pertanian yang berorientasi pada kebutuhan petani.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENYULUHAN PADA PETANI LAHAN MARJINAL: KASUS

ADOPSI INOVASI USAHATANI TERPADU LAHAN KERING

DI KABUPATEN CIANJUR DAN KABUPATEN GARUT

PROVINSI JAWA BARAT

KURNIA SUCI INDRANINGSIH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi: Ujian Tertutup:

1. Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. (Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc.

(Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian) Ujian Terbuka:

1. Prof. Dr. H. R. Margono Slamet (Guru Besar Institut Pertanian Bogor) 2. Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi Suradisastra

(Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan

(9)

Judul Disertasi :Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat

Nama : Kurnia Suci Indraningsih

NIM : I362060121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A. Ketua

Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc. Anggota

Prof. Dr. Pang S. Asngari Anggota

Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S. Anggota

Diketahui Koordinator Program Mayor

Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulisan disertasi dengan judul “ Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat” ini dapat diselesaikan.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setulusnya kepada Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A., Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari, dan Bapak Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.S. sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

(1) Bapak Prof. (Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto, S.K.M. dan Bapak Dr. Ir. Bambang Sayaka, M.Sc. yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Tertutup, serta memberikan saran-saran perbaikan. (2) Bapak Prof. Dr. H. R. Margono Slamet dan Bapak Prof. (Ris) Dr. Ir. Kedi

Suradisastra yang telah bersedia menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing dalam Ujian Terbuka, serta memberikan saran-saran perbaikan.

(3) Koordinator Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. dan jajarannya yang telah memberikan pelayanan akademik kepada penulis.

(4) Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

(5) Kepala Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Bapak Prof. (Ris) Dr. Tahlim Sudaryanto yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program S3 di IPB.

(11)

(7) Para petani responden di Desa Talaga-Cianjur, Desa Jatiwangi-Garut, para penyuluh BPP Kecamatan Cugenang, BPP Kecamatan Pakenjeng, tenaga detasir Prima Tani Cianjur (Ir. Aup Pahruddin) dan Garut (Atik Kurniadi), manajer Prima Tani Cianjur (Ir. Euis Rokayah, M.P) dan Garut (Ir. Endjang Sudjitno, M.P) yang telah memberikan data dan informasi pada penelitian ini. (8) Fhebi Irliyandi, S.Pi, Putriana, S.Pi., Lalu Nova, Cecep Alinurdin, Putut Purwanto, dan Titania Aulia yang telah membantu enumerasi dalam kegiatan penelitian ini.

(9) Bapak Sjafi’i Kartosoebroto (alm), Ibu Sutji Sulastri (alm) dan kakak-kakak, serta keluarga besar Bapak Darmosuwito (alm) yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril kepada penulis.

(10)Suami (Dr. Tatag Budiardi) dan anak-anak (Titania Aulia dan Diardian Febiani) yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

(11)Rekan-rekan peneliti PSE-KP dan rekan-rekan mahasiswa PPN-IPB yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dan memberikan sumbangan pemikiran kepada penulis.

Penulis berharap disertasi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 7 Oktober 1963 sebagai anak keenam dari enam bersaudara pasangan Bapak Sjafii Kartosoebroto dengan Ibu Sutji Sulastri. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan studi pada Program Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada tahun 2002 dengan beasiswa on going dari Agriculture Research Management-Project (ARM-P) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2006, penulis dengan sumber beasiswa dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian memperoleh kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1987-1991 penulis bekerja sebagai staf pada Sub Direktorat Pengembangan Pelabuhan, Direktorat Bina Prasarana, Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta. Sejak tahun 1991 penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian di Bogor.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Kegunaan Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu ... 7

Karakteristik Petani ... 12

Tingkat Rasionalitas ... 13

Tingkat Intelegensi ... 15

Sikap terhadap Perubahan ... 16

Perilaku Komunikasi Petani... 17

Kerjasama ... 17

Tingkat Kekosmopolitan ... 18

Keterdedahan terhadap Media ... 19

Dukungan Iklim Usaha ... 19

Penyuluhan ... 22

Kompetensi Penyuluh ... 26

Peran Penyuluh ... 29

Materi/Program Penyuluhan ... 31

Metode Penyuluhan ... 33

Persepsi ... 35

Inovasi ... 37

Ciri-ciri Inovasi dan Kecepatan Adopsi... 39

Ciri-ciri Inovasi ... 40

Kecepatan Adopsi Inovasi... 42

Saluran Komunikasi ... 46

Keputusan Petani ... 48

Kinerja Usahatani ... 49

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ... 51

Kerangka Berpikir... 51

(14)

METODE PENELITIAN ... 55

Rancangan Penelitian... 55

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 55

Populasi dan Sampel ... 57

Data dan Instrumentasi ... 58

Data ... 58

Instrumentasi ... 59

Kesahihan dan Keterandalan ... 59

Kesahihan ... 59

Keterandalan ... 60

Peubah Penelitian ... 61

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah ... 62

Analisis Data ... 73

Analisis Korelasi Pearson ... 74

Analisis Regresi Ganda ... 75

Analisis Jalur (Path Analysis) ... 75

Pengolahan Data ... 77

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78

Keragaan Wilayah Penelitian... 78

Kabupaten Cianjur ... 78

Kabupaten Garut ... 81

Karakteristik Petani ... 84

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ... 84

Karakteristik Pribadi Petani ... 95

Perilaku Komunikasi Petani ... 101

Kerjasama ... 101

Tingkat Kekosmopolitan ... 103

Keterdedahan terhadap Media ... 104

Dukungan Iklim Usaha ... 106

Ketersediaan Sarana Produksi (Input) ... 107

Ketersediaan Fasilitas Keuangan ... 109

Ketersediaan Sarana Pemasaran ... 114

Persepsi Petani terhadap Penyuluhan ... 117

Persepsi Petani terhadap Kompetensi Penyuluh ... 119

Persepsi Petani terhadap Peran Penyuluh ... 124

Persepsi Petani terhadap Materi Penyuluhan ... 131

Persepsi Petani terhadap Metode Penyuluhan ... 134

Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, dan Dukungan Iklim Usaha dengan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan ... 136

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Penyuluhan ... 142

(15)

Persepsi Petani terhadap Inovasi Teknologi Lokal dan Teknologi

Usahatani Terpadu ... 152

Persepsi Petani di Desa Talaga Cianjur ... 153

Persepsi Petani di Desa Jatiwangi Garut ... 153

Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif ... 155

Persepsi Petani terhadap Kesesuaian Inovasi... 158

Persepsi Petani terhadap Kerumitan Inovasi ... 160

Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diujicoba ... 162

Persepsi Petani terhadap Inovasi yang Dapat Diamati ... 163

Persepsi Petani terhadap Pengaruh Media/Informasi ... 164

Persepsi Petani terhadap Media Massa ... 164

Persepsi Petani terhadap Informasi Interpersonal ... 165

Hubungan antara Karakteristik Petani, Perilaku Komunikasi Petani, Dukungan Iklim Usaha, dan Persepsi Petani terhadap Penyuluhan dengan Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi ... 166

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani terhadap Ciri-ciri Inovasi ... 170

Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi ... 184

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Mengadopsi Inovasi ... 186

Kinerja Usahatani ... 191

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usahatani ... 200

Manfaat Usahatani Terpadu ... 205

Pengetahuan Petani Non Adopter terhadap Usahatani Terpadu .. 207

Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan pada Lahan Kering Marjinal untuk Peningkatan Kinerja Usahatani ... 210

Justifikasi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan ... 210

Strategi Penyuluhan Pertanian Berkelanjutan ... 213

Masukan ... 213

Proses ... 215

Keluaran ... 223

Dampak ... 225

KESIMPULAN DAN SARAN ... 227

Kesimpulan ... 227

Saran ... 228

DAFTAR PUSTAKA ... 230

LAMPIRAN ... 242

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja ... 13

2 Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan ... 34

3 Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar ... 35

4 Faktor pribadi dan lingkungan dalam setiap tahapan adopsi ... 44

5 Karakteristik saluran komunikasi ... 47

6 Jumlah populasi petani dan sampel penelitian di lokasi penelitian ... 58

7 Hasil uji keterandalan instrumen penelitian dengan tenik belah dua... 61

8 Sub peubah, indikator dan pengukuran karakteristik petani ... 63

9 Sub peubah, indikator dan pengukuran perilaku komunikasi petani ... 66

10 Sub peubah, indikator dan pengukuran dukungan iklim usaha ... 67

11 Sub peubah, indikator dan pengukuran penyuluhan ... 69

12 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi ... 70

13 Sub peubah, indikator dan pengukuran persepsi petani terhadap pengaruh informasi/media ... 72

14 Sub peubah, indikator dan pengukuran keputusan ... 72

15 Sub peubah, indikator dan pengukuran kinerja usahatani ... 73

16 Penduduk Desa Talaga berdasarkan mata pencaharian ... 80

17 Penduduk Desa Jatiwangi berdasarkan mata pencaharian ... 83

18 Karakteristik sosial ekonomi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ... 85

19 Rata-rata pendapatan petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ... 88

20 Rata-rata biaya produksi usahatani per hektar ... 94

21 Karakteristik pribadi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ... 95

22 Perilaku komunikasi petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ... 102

23 Dukungan iklim usaha di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ... 107

(17)

25 Jumlah penyuluh pertanian berdasarkan jenis kelamin, tingkat

pendidikan dan jenjang jabatan tahun 2008 ... 118 26 Persepsi petani terhadap penyuluhan di Kabupaten Cianjur dan Garut,

Provinsi Jawa Barat... 120 27 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi

petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 141 28 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang mempengaruhi persepsi

petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 143 29 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi

persepsi petani terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 146 30 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani

terhadap penyuluhan di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 150 31 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga,

Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ... 154 32 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa

Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ... 155 33 Persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kabupaten Cianjur dan

Garut, Provinsi Jawa Barat ... 156 34 Persepsi petani terhadap pengaruh media informasi di Kabupaten

Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa Barat ... 165 35 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan

persepsi petani terhadap ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 168 36 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung

mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 171 37 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung

mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 173 38 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung

mempengaruhi persepsi petani adopter dan petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 175 39 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (peubah) yang langsung dan tidak

langsung mempengaruhi persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 175 40 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang langsung dan tidak

(18)

41 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung mempengaruhi persepsi petani adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 180 42 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang langsung dan tidak langsung

mempengaruhi persepsi petani non adopter terhadap ciri-ciri inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 182 43 Keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kabupaten Cianjur dan Garut,

Provinsi Jawa Barat ... 186 44 Nilai koefisien jalur faktor-faktor (sub peubah) yang mempengaruhi

keputusan petani dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 187 45 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani

dalam adopsi inovasi di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat 189 46 Kinerja usahatani petani di Kabupaten Cianjur dan Garut, Provinsi Jawa

Barat ... 193 47 Rata-rata pengeluaran rumah tangga petani di Kabupaten Cianjur dan

Garut, Provinsi Jawa Barat selama tahun 2008 ... 199 48 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani

di Kab. Cianjur dan Kab. Garut, Prov. Jawa Barat ... 201 49 Nilai koefisien jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja petani

adopter dan petani non adopter di Kab. Cianjur dan Kab. Garut,

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984) ... 36 2 Proses adopsi inovasi dalam penyuluhan (Mardikanto, 1993)... 43 3 Kerangka berpikir adopsi inovasi usahatani terpadu pada lahan marginal 54 4 Model spesifik dari path analysis (Bryman dan Gramer, 1990) ... 76 5 Model pengaruh antar peubah dalam penelitian ... 77 6 Sub peubah - sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap

penyuluhan ... 147 7 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter

dan non adopter terhadap penyuluhan ... 151 8 Peubah-peubah yang mempengaruhi petani terhadap ciri-ciri inovasi .... 177 9 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani terhadap

ciri-ciri inovasi ... 179 10 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani adopter

terhadap ciri-ciri inovasi ... 181 11 Sub peubah-sub peubah yang mempengaruhi persepsi petani non

adopter terhadap ciri-ciri inovasi ... 183 12 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani dalam adopsi

inovasi ... 188 13 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani adopter dalam

adopsi inovasi ... 190 14 Peubah-peubah yang mempengaruhi keputusan petani non adopter

dalam adopsi inovasi ... 191 15 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani ... 201 16 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani

adopter ... 203 17 Peubah-peubah yang berpengaruh terhadap kinerja usahatani petani non

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Cianjur ... 243

2 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Garut ... 244

3 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Talaga Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur ... 245

4 Inovasi teknologi Prima Tani di Desa Jatiwangi, Kecamatan Pakenjeng, Kabupaten Garut ... 246

5 Tata guna lahan di Kabupaten Cianjur ... 248

6 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Cianjur ... 248

7 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Cianjur ... 249

8 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Cianjur ... 249

9 Tata guna lahan di Kabupaten Garut ... 250

10 Produksi dan luas areal pertanian tanaman pangan di Kabupaten Garut 250

11 Produksi dan luas areal sayuran di Kabupaten Garut ... 251

12 Produksi dan luas areal buah-buahan di Kabupaten Garut ... 251

13 Distribusi rumah tangga pertanian menurut golongan luas lahan yang dikuasai ... 252

14 Teknologi lokal dan inovasi teknologi usahatani terpadu di Desa Talaga, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur ... 253

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi lahan pertanian marjinal yang relatif luas, namun belum dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Lahan pertanian marjinal telah diidentifikasi sebagai areal yang digunakan untuk pertanian, penggembalaan ternak dan atau agroforestry. Di Indonesia lahan pertanian marjinal diantaranya lahan kering, dibedakan berdasarkan ketinggian tempat (dataran rendah dan dataran tinggi). Luas lahan kering yang memungkinkan untuk pengembangan pertanian mencapai 75,1 juta ha (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2001). Penggunaan lahan kering untuk usahatani tanaman pangan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi baru mencapai luasan 12,9 juta ha. Bila dibandingkan dengan potensi yang ada, maka masih terbuka peluang untuk pengembangan tanaman pangan (Hidayat dan Mulyani, 2002). Pada tahun 2008, penggunaan lahan di Indonesia untuk lahan tegalan/kebun mencapai 11,8 juta ha, lahan ladang/huma 5,3 juta ha dan lahan yang sementara tidak diusahakan adalah 14,9 juta ha. Total luasan penggunaan lahan untuk pertanian adalah 17,1 juta ha atau sekitar 22,8 persen dibandingkan total potensi yang ada (Badan Pusat Statistik, 2009).

Karakteristik lahan pertanian marjinal dicirikan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah (defisiensi nutrisi, keasaman, salinitas, dan kapasitas kelembaban rendah). Masyarakatnya tidak mempunyai aksesibilitas terhadap komunikasi, tidak mempunyai mobilitas terhadap aspek sosial dan ekonomi, rapuh (kapasitas penyerapan input yang rendah, rasio input-output yang tinggi, kapasitas bertahan terhadap gangguan terbatas. Kondisi lahan mudah rusak sampai kerusakan yang tidak dapat diubah) dan heterogen, keragaman fisik dan budaya dengan kendala yang spesifik dan peluang penerapan teknologi secara umum terbatas atau adanya kelembagaan untuk meniadakan kendala atau memanfaatkan peluang (World Bank, 1999).

Lahan kering yang merupakan lahan pertanian marjinal, dapat dikelola untuk usaha produktif, sebagaimana diungkap oleh hasil penelitian Swastika et al.

(22)

2

marjinal dapat berperan bagi pengembangan usaha pertanian. Masyarakat di lahan ini mengandalkan sumber pendapatan rumah tangga tertinggi berasal dari sektor pertanian dan kesempatan kerja non-pertanian adalah relatif kecil. Pola tanam yang umum dilakukan pada petani lahan kering di Bali adalah padi-palawija atau padi-sayuran ditambah usaha ternak babi, ataupun sapi dan ayam buras.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan lahan kering, melalui kegiatan penelitian telah dihasilkan beberapa inovasi teknologi, antara lain teknologi pengendalian erosi lahan berlereng, teknologi rehabilitasi dan reklamasi lahan kering, teknologi pengelolaan bahan organik tanah, serta teknologi hemat air dan irigasi suplemen. Namun, hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian cenderung lambat, bahkan menurun. Teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diperlukan waktu sekitar dua tahun untuk diketahui oleh 50 persen Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS). Tenggang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut di tingkat petani tentu diperlukan waktu lebih lama lagi. Kesenjangan antara subsistem penyampaian dan subsistem penerimaan inovasi merupakan penyebab lambannya penyampaian informasi dan rendahnya tingkat adopsi inovasi (Badan Litbang Pertanian, 2004).

Fenomena ini terlihat jelas di tingkat petani, inovasi teknologi yang telah diperkenalkan belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh masyarakat petani yang tinggal di lahan pertanian marjinal. Meskipun inovasi teknologi merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang telah ada di tingkat petani dan telah disosialisasikan kepada petani, tetapi sejauh ini masih terdapat sikap masyarakat petani yang menolak inovasi teknologi tersebut. Ketidakpastian dukungan input

(23)

3

keterbatasan aset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi, sehingga tidak mampu berkembang secara mandiri dan dinamis.

Mencermati fakta empiris dari kehidupan petani lahan kering marjinal yang tergolong miskin, timbul pertanyaan mengapa petani tetap bertahan menetap di wilayah tersebut? Apakah faktor internal seperti fatalistik, motivasi yang rendah dan kurang berorientasi pada masa depan demikian melekat pada diri petani atau faktor eksternal di luar diri petani yang dominan? Seperti gambaran masyarakat pedesaan pada umumnya, petani lahan kering menjunjung tinggi solidaritas masyarakat, penghargaan terhadap tata nilai yang berkembang di masyarakat, budaya gotong royong, dan guyub dengan sesama petani. Keseluruhan hal tersebut merupakan faktor yang membuat petani nyaman dalam mengelola lahan kering yang marjinal. Meskipun beberapa inovasi teknologi telah diperkenalkan, namun tampak petani masih menghadapi berbagai kendala dalam penerapannya. Untuk mendapatkan jawaban ataupun solusi permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian sebagai upaya mengidentifikasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan petani. Langkah ini akan efektif bila disertai dengan upaya penyuluh yang berperan aktif dalam melakukan diseminasi. Pertanyaan mendasar yang juga perlu digali jawabannya adalah transformasi perilaku petani dalam mengelola lahan kering marjinal, sehingga kehidupan petani menjadi lebih baik.

Masalah Penelitian

(24)

4

Meskipun beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa hasil analisis ekonomi dengan menerapkan inovasi teknologi diperoleh peningkatan pendapatan melebihi 30 persen, namun fakta menunjukkan masih ada petani yang tidak menerapkan teknologi tersebut. Mengikuti pendapat Rogers (2003), dalam komponen keuntungan relatif selain keuntungan ekonomis, juga mencakup biaya awal yang rendah, resiko yang rendah, berkurangnya ketidaknyamanan, hemat tenaga dan waktu, serta imbalan yang dapat segera diperoleh. Aspek non ekonomis yang perlu diperhatikan adalah prestise sosial dan penerimaan sosial. Seberapa jauh ciri-ciri inovasi teknologi yang diperkenalkan telah dipertimbangkan, apakah terdapat kesenjangan antara teori (sebagaimana yang dikemukakan Rogers, 2003 tentang difusi inovasi) dengan fakta empiris? Mengingat fakta di lapangan, masih terdapat kesenjangan antara teknologi yang dianjurkan dengan teknologi yang dibutuhkan petani. Keterkaitan dengan proses penyuluhan yang telah berlangsung apakah sudah benar, peran penyuluh dalam menyampaikan inovasi apakah telah memahami prinsip-prinsip penyuluhan? Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mengubah teknologi, petani memerlukan modal yang lebih besar. Di samping itu, mengubah kebiasaan bukan merupakan pekerjaan yang mudah, apalagi jika beresiko terlalu besar. Hal ini terkait dengan masalah sosial budaya. Semakin kecil skala usaha petani, maka petani semakin takut dengan resiko karena kegagalan panen akan berpengaruh pada masalah ketahanan pangan.

Hasil penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian antara 1990-1993 menunjukkan bahwa intensitas dan besaran kemiskinan di kawasan pedesaan beragroekosistem lahan kering perbukitan secara umum lebih tinggi dan lebih besar dibanding kawasan pedesaan beragroekosistem persawahan atau dataran rendah. Berbagai permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan spesifik yang diidentifikasi sebagai berikut:

(1) Bagaimana persepsi petani terhadap penyuluhan dan faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap pembentukan persepsi tersebut?

(25)

5

(3) Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengadopsi teknologi?

(4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja usahatani petani?

(5) Bagaimana merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan berencana terhadap petani pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi teknologi usahatani terpadu yang adaptif sesuai dengan preferensi petani?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan:

(1) Mengkaji persepsi petani terhadap penyuluhan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut.

(2) Mengkaji persepsi petani terhadap ciri-ciri inovasi teknologi usahatani terpadu yang diperkenalkan, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi tersebut.

(3) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengadopsi teknologi.

(4) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja usahatani petani. (5) Merumuskan strategi penyuluhan untuk perubahan terencana terhadap petani

pada lahan kering marjinal dengan menerapkan inovasi usahatani terpadu yang adaptif sesuai dengan preferensi petani.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik berupa sumbangan pemikiran bagi pengembangan:

(1) Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam upaya membuktikan bahwa petani pada lahan kering marjinal mempunyai karakteristik yang khusus yang berbeda dengan yang lainnya, sehingga memerlukan pendekatan penyuluhan yang berbeda. Selanjutnya diusahakan membangun strategi penyuluhan untuk perubahan terencana bagi petani lahan kering marjinal.

(2) Inovasi teknologi spesifik lokasi dengan mempertimbangkan teknologi sebelumnya yang telah digunakan, sehingga sesuai dengan preferensi petani.

(26)

6

(1) Masukan untuk bahan pertimbangan kepada instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam merancang inovasi teknologi bagi masyarakat petani lahan kering marjinal, dan instansi pemerintah yang memiliki mandat dalam melaksanakan penyuluhan.

(27)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan Pengelolaan Sistem Usahatani Terpadu

Suatu teknologi dapat dikatakan tepatguna apabila memenuhi kriteria: (1) secara teknis mudah dilakukan, (2) secara finansial (bahkan ekonomi) menguntungkan, (3) secara sosial budaya diterima masyarakat, dan (4) tidak merusak lingkungan (Swastika, 2004). Untuk itu perlu diupayakan mengidentifikasi teknologi dan sistem usahatani yang sesuai dengan kondisi agroekosistem dan mampu memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Beragamnya sumber pendapatan rumah tangga petani perlu dipandang sebagai suatu kekuatan yang harus dikembangkan, terutama usaha non-pertanian, ke arah yang bersifat usaha mandiri. Selain itu, sumberdaya pertanian yang dikuasai petani (terutama di lahan kering dan sawah tadah hujan) perlu dikelola secara optimal, sehingga menjadi sumberdaya yang produktif dan mampu meningkatkan pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumah tangga tani. Sistem usahatani terpadu (integrated farming system) sebagai salah satu upaya penganekaragaman sumber pendapatan dari sektor pertanian, sekaligus pemanfaatan sumberdaya secara optimal.

(28)

8

Usahatani terpadu dapat diartikan sebagai suatu sistem usahatani yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berinteraksi dan terintegrasi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Usahatani terpadu terdiri dari cabang-cabang usahatani padi, palawija, ternak dan ikan yang dilakukan secara terpadu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Sistem usahatani tanaman-ternak (SUTT) telah lama dilaksanakan oleh sebagian petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ciri utama SUTT adalah keterkaitan antara tanaman dengan ternak, limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak dan kotoran ternak digunakan sebagai pupuk organik untuk tanaman. Oleh sebab itu, SUTT umumnya diterapkan di daerah di tempat terdapatnya perbedaan yang nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) dengan bulan kering lebih dari tiga bulan berturut-turut. Jerami padi, jerami jagung, dan limbah tanaman kacang-kacangan, bahkan daun pisang, jerami bambu, dan sebagainya merupakan pakan alternatif saat rumput alami kurang tersedia pada MK. Tidak jarang petani menjual ternaknya hanya untuk membeli jerami padi dari luar desa, luar kecamatan, bahkan dari luar kabupaten. Di Kediri, Jawa Timur, petani-peternak bekerja sebagai pemanen jagung hibrida pada MK dengan upah limbah tanaman jagung (Fagi et al., 2004).

(29)

9

Pengelolaan atau pemilikan sumberdaya lahan yang terbatas merupakan masalah utama yang dihadapi petani dalam meningkatkan produktivitas usahataninya. Pengembangan model sistem usahatani tanaman-ternak introduksi perlu memperhatikan kearifan tradisi yang tercermin dalam sistem pengetahuan dan teknologi lokal serta lingkungan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Mengutip pendapat Getz dan Warner (2006), dengan meningkatnya teknologi untuk pengaturan lingkungan pertanian menstimulir peningkatan perhatian terhadap sistem usahatani terpadu dan bentuk partisipasi penyuluhan. Kemitraan pertanian-lingkungan menjadi strategi utama sebagai strategi pencegahan polusi pertanian di California, menunjukkan strategi alternatif yang potensial mengendalikan hama. Struktur organisasi kemitraan ini dengan strategi belajar bersama dan partisipasi yang lebih besar merupakan kunci sukses mereka. Perubahan bentuk dari suatu model ”transfer teknologi” pada partisipasi belajar bersama dan pengambilan keputusan, mendukung perbaikan layanan penyampaian penyuluhan dan sebagai suatu strategi penting untuk kegiatan penyuluhan dengan cakupan klien dalam wilayah yang luas.

Pada tahun 1993, Lembaga Penelitian Nasional Tanah dan Kualitas Air (National Research Council’s Soil and Water Quality) merekomendasikan sistem usahatani terpadu untuk kegiatan pertanian yang menjadi dasar program tanah lokal dan kualitas air. Hal ini didasari atas pendekatan sistem tingkatan untuk menganalisis sistem produksi pertanian terkait dengan kualitas konservasi tanah, memperbaiki penggunaan input secara efisien, peningkatan resistensi erosi dan limpasan serta penggunaan zona penyangga. Alternatif strategi pengelolaan tanah, air dan ”farmscape” merupakan potensi untuk mengurangi penggunaan insektisida dan dampak lingkungan, tetapi pendekatan sistem usahatani terpadu membutuhkan praktek penyuluhan dan menumbuhkan pembelajaran (Getz dan Warner, 2006).

(30)

10

3,68 ton/ha. Produktivitas jagung pada tahun ke-9 tanpa rehabilitasi mencapai 1,48 ton/ha, dengan pupuk kandang 3,38 ton/ha, dengan mulsa jerami padi 3,59 ton/ha, serta dengan mulsa Mucuna sp. 3,59 ton/ha (Kurnia et al., 2002).

Pengkajian yang dilaksanakan di Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dari bulan Januari sampai dengan April 1998 ”dengan penerapan sistem pertanaman lorong” dan ”tanpa penerapan sistem pertanaman lorong (tumpangsari biasa)” menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan petani non-kooperator. Pendapatan masing-masing mencapai Rp 2,27 juta dan Rp 1,24 juta per hektar per tahun. Dari hasil kajian kelayakan dan efisiensi penggunaan masukan (benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja) dan hasil penerimaan berdasarkan kriteria kemiringan lahan diketahui bahwa, teknologi pertanaman lorong yang diterapkan pada kriteria kemiringan lahan 15-30 persen lebih efisien dalam penggunaan masukan dan layak secara finansial dibandingkan pada kriteria kemiringan kurang dari 15 persen. Berdasarkan basis tanaman buah-buahan, maka pertanaman lorong dengan basis tanaman pisang lebih layak secara finansial dibandingkan basis tanaman mangga terhadap efisiensi penggunaan masukan dan tingkat pendapatan (keuntungan) yang diperoleh petani. Model pertanaman (Pisang + Rumput gajah +

Gliricidia sp./ Flemingia congesta)/(Padi gogo/Kacang tanah + Jagung + Ubikayu) – (Kacang tanah) – (Bera) merupakan model pertanaman yang paling sesuai diterapkan di wilayah setempat (Ishaq et al., 2002).

(31)

11

komoditas pertanian dapat menjadi perhatian utama, sedangkan beberapa komoditas lain sebagai pendukung, terutama dalam kaitannya dengan resiko ekonomi (harga). Pendekatan kelembagaan berarti memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input

dan output, termasuk modal sosial, norma dan aturan.

Bila dicermati, inovasi Prima Tani sesungguhnya menggunakan pendekatan sistem usahatani terpadu. Menurut Adiningsih et al. (1994), sistem usahatani terpadu dengan pemilihan komoditas yang sesuai disertai pengelolaan tanah dan air yang tepat berasaskan konservasi, merupakan pendekatan terbaik untuk melestarikan bahkan meningkatkan produktivitas lahan marjinal. Faktor-faktor sosial ekonomi, budaya, penyediaan sarana/prasarana dan penanganan pasca panen yang kondusif sangat menentukan keberhasilan pendekatan tersebut. Sebagai contoh, inovasi teknologi yang diintroduksikan mencakup konservasi lahan, kesepadanan teknologi yang diusahakan (komoditas kedelai, kacang tanah dan padi gogo) dan pengelolaan ternak domba didukung dengan kelembagaan. Kesepadanan teknologi yang diusahakan merupakan modifikasi dari teknologi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi sawah yang meliputi penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik berdasarkan status kesuburan tanah serta perbaikan jarak tanam.

(32)

12

3.500 m2 (0,35 ha), usahatani jambu biji dinilai layak secara ekonomis. Hal ini terbukti dari beberapa petani yang mengikuti menanam komoditas jambu biji.

Karakteristik wilayah miskin, yang berada pada zona agroekosistem lahan kering marjinal dicirikan oleh: (1) penguasaan teknologi budidaya pertanian umumnya rendah, bahkan masih bersifat tradisional; (2) kurang berfungsinya lembaga-lembaga penyedia sarana produksi; (3) ketiadaan atau kurang berfungsinya lembaga pemasaran sehingga orientasinya bersifat subsisten; serta (4) rendahnya kualitas prasarana transportasi dan komunikasi yang berkaitan erat dengan rendahnya kepadatan penduduk, produktivitas kerja serta rendahnya

marketable surplus hasil usahatani (Taryoto, 1995). Lebih lanjut Tjitropranoto (2005) mengungkapkan bahwa secara umum petani di lahan kering marjinal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (1) kapasitas diri petani yang rendah, (2) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah, (3) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (4) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (5) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (6) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (7) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan.

Karakteristik Petani

Sejumlah literatur yang telah mengakumulasikan hasil-hasil penelitian tentang peubah yang berhubungan dengan keinovatifan, telah disarikan Rogers (2003) menjadi tiga bagian, yang melekat pada individu:

(1) Karakteristik sosial ekonomi: umur (tidak ada perbedaan antara

(33)

13

(2) Pribadi (personalitas): pelopor memiliki tingkat empati, kemampuan abstraksi, rasionalitas, tingkat intelegensi, sikap terhadap perubahan, keberanian menanggung resiko dan ketidakpastian, serta tingkat aspirasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir; dengan tingkat dogmatis dan fatalistik yang lebih rendah.

(3) Perilaku komunikasi: pelopor memiliki partisipasi sosial, jaringan interper-sonal, tingkat kekosmopolitan, kontak dengan agen pembaruan, keterdedahan terhadap media, keterdedahan terhadap komunikasi interpersonal, pencarian informasi tentang inovasi, dan tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikut akhir.

Tingkat Rasionalitas

Jung (Sujanto et al., 2004) mendefinisikan fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teoritis tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Lebih lanjut Jung membedakan fungsi jiwa dalam empat hal yaitu pikiran, perasaan, pendirian dan intuisi, sebagaimana tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja

Fungsi Jiwa Sifat Mekanisme Kerja

(1) Pikiran rasional dengan penilaian: benar-salah

(2) Perasaan rasional dengan penilaian: senang-tidak senang (3) Pendirian irrasional tanpa penilaian: sadar indriah

(4) Intuisi irrasional tanpa penilaian: sadar naluriah Sumber: Jung (Sujanto et al., 2004)

(34)

14

sadar. Fungsi yang berpasang-pasangan, berhubungan secara kompensatoris. Semakin berkembang fungsi superior, maka makin besar kebutuhan fungsi inferior akan kompensasi, yang mengganggu keseimbangan jiwa (terefleksikan dalam tindakan yang tidak terkendali). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat rasionalitas dapat didekati melalui pikiran (berpikir) dan perasaan.

Mengutip pendapat Plato (Suryabrata, 2005), berpikir adalah berbicara dalam hati. Tujuan berpikir adalah meletakkan hubungan antara bagian-bagian pengetahuan (segala sesuatu yang telah dimiliki), berupa pengertian-pengertian dan dalam batas tertentu juga tanggapan. Berpikir merupakan proses yang dina-mis dan dapat digambarkan menurut proses atau jalannya. Terdapat tiga langkah dalam proses atau jalannya berpikir (Suryabrata, 2005; Sujanto, 2004):

(1) Pembentukan pengertian: menganalisis ciri-ciri dari sejumlah obyek sejenis, membandingkan ciri-ciri tersebut untuk diketemukan ciri-ciri yang sama dan tidak sama, serta mengabstraksikan (menyisihkan, membuang ciri-ciri yang tidak hakiki dan menangkap ciri-ciri yang hakiki).

(2) Pembentukan pendapat: meletakkan hubungan antara dua pengertian atau lebih. Pendapat dapat dibedakan menjadi tiga macam: pendapat afirmatif (positif), pendapat negatif, dan pendapat modalitas (kemungkinan-kemungkinan).

(3) Penarikan kesimpulan atau pembentukan keputusan: berdasarkan pendapat-pendapat yang telah ada.

Selain berpikir, tingkat rasionalitas juga memasukkan unsur perasaan, yang merupakan gejala psikis yang bersifat subyektif dan umumnya berhubungan dengan gejala mengenal. Perasaan dapat timbul karena mengamati, menanggapi, mengingat, atau memikirkan sesuatu. Perasaan dibedakan atas:

(1) Perasaan jasmaniah: perasaan indriah (berhubungan dengan perangsangan pancaindera: manis, asin, pahit) dan perasaan vital (berhubungan dengan keadaan jasmani: segar, letih, sehat).

(35)

15

hidup bermasyarakat, bergaul, saling tolong-menolong, memberi dan menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan), perasaan harga diri (positif: puas, senang, gembira, bahagia; dan negatif: kecewa, tidak senang, tidak berdaya), perasaan keagamaan (terkait dengan kepercayaan seseorang terhadap Tuhan: rasa kagum, rasa syukur).

Tingkat Intelegensi

Binet (Suryabrata, 2005) menyatakan bahwa sifat hakikat intelegensi ada tiga macam, yaitu:

(1) Kecenderungan untuk menetapkan dan mempertahankan (memperjuangkan) tujuan tertentu. Makin cerdas seseorang, akan makin cakap membuat tujuan sendiri, punya inisiatif sendiri, tidak menunggu perintah saja. Semakin cerdas seseorang, makin tetap pada tujuan itu, tidak mudah dibelokkan oleh orang lain dan suasana lain.

(2) Kemampuan untuk mengadakan penyesuaian dengan maksud untuk mencapai tujuan itu. Jadi semakin cerdas seseorang akan makin dapat menyesuaikan cara-cara menghadapi sesuatu dengan semestinya, makin dapat bersikap kritis. (3) Kemampuan untuk oto-kritik, yaitu kemampuan untuk mengkritik diri sendiri, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya. Makin cerdas seseorang makin dapat belajar dari kesalahannya.

Menurut Stern (Sujanto, 2004), intelegensi merupakan kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri cepat dan tepat dalam suatu situasi yang baru. Berdasarkan arah atau hasilnya intelegensi dibedakan atas dua jenis:

(1) Intelegensi praktis: untuk mengatasi suatu situasi yang sulit dalam pekerjaan, yang berlangsung secara cepat dan tepat.

(2) Intelegensi teoritis: untuk mendapatkan suatu pikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat.

(36)

16

Howard Gardner (Wikipedia, 2010) berpendapat bahwa tingkat intelegensi merupakan kemampuan dasar yang terkait dengan kemampuan abstraksi, logika dan daya tangkap. Intelegansi dibedakan atas:

(1) Intelegensi linguistik, intelegensi yang menggunakan dan mengolah kata-kata, baik lisan maupun tulisan, secara efektif.

(2) Intelegensi matematis-logis, kemampuan yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan pada kepekaan pola logika dan perhitungan.

(3) Intelegensi ruang, kemampuan yang berkenaan dengan kepekaan mengenal bentuk dan benda secara tepat serta kemampuan menangkap dunia visual secara cepat.

(4) Intelegensi kinestetik-badani, kemampuan menggunakan gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan.

(5) Intelegensi musikal, kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara.

(6) Intelegensi interpersonal, kemampuan seseorang untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, motivasi, dan watak temperamen orang lain seperti yang dimiliki oleh seorang motivator dan fasilitator.

(7) Intelegensi intrapersonal, kemampuan seseorang dalam mengenali dirinya sendiri. Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan berefleksi (merenung) dan keseimbangan diri.

(8) Intelegensi naturalis, kemampuan seseorang untuk mengenal alam, flora dan fauna dengan baik.

(9) Intelegensi eksistensial, kemampuan seseorang menyangkut kepekaan menjawab persoalan-persoalan terdalam keberadaan manusia, seperti apa makna hidup, mengapa manusia harus diciptakan dan mengapa kita hidup dan akhirnya mati.

Sikap terhadap Perubahan

(37)

17

informasi. Salah satu cara untuk menumbuhkan sikap atau orientasi pada perubahan ini adalah dengan memilih inovasi-inovasi yang layak untuk diperkenalkan secara berurutan. Cara lain yaitu dengan mengekspos sejumlah pesan modernisasi walaupun pesan tersebut mungkin tidak berkaitan dengan inovasi tertentu. Contoh pendekatan ini dijumpai di kalangan petani di negara-negara berkembang. Media massa seperti radio, televisi, film, dan surat kabar dapat menciptakan iklim modernisasi dengan jalan mengekspos pesan-pesan pembangunan yang mendukung perubahan. Salah satu hasil penyajian pesan-pesan (informasi) seperti itu adalah timbulnya sikap positif terhadap perubahan, yang memudahkan pengadopsian ide-ide baru (Rogers dan Shoemaker, 1971).

Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan bahwa ada dua tingkatan sikap, yaitu: (1) sikap khusus terhadap inovasi, dan (2) sikap umum terhadap perubahan. Sikap khusus terhadap inovasi adalah berkenan atau tidaknya seseorang, percaya atau tidaknya seseorang terhadap kegunaan suatu inovasi bagi dirinya sendiri. Sikap khusus ini menjembatani antara suatu inovasi dengan inovasi lainnya. Pengalaman positif dengan pengadopsian inovasi yang terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap yang positif pula terhadap inovasi yang diperkenalkan berikutnya. Sebaliknya pengalaman pahit dari pengadopsian suatu inovasi, yang dianggap sebagai suatu kegagalan, akan menjadi perintang bagi masuknya ide-ide baru pada masa mendatang. Oleh karena itu agen pembaruan harus memulai kegiatannya terhadap klien tertentu dengan inovasi yang memiliki taraf keuntungan yang relatif tinggi, yang sesuai dengan kepercayaan yang ada dan mempunyai peluang besar untuk berhasil. Hal ini akan membantu menciptakan sikap positif terhadap perubahan dan melancarkan jalan untuk ide-ide yang akan diperkenalkan selanjutnya.

Perilaku Komunikasi Petani Kerjasama

(38)

18

Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom) dan keadaban (civility). Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelom-pok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (lineage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences) dan kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (religious beliefs) cenderung memiliki kohesivitas tinggi, tetapi rentang jaringan maupun kepercayaan (trust) yang terbangun adalah sangat sempit. Sebaliknya pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan serta dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern, akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Pada tipologi kelompok ini akan lebih banyak menghadirkan dampak positif baik bagi kemajuan kelompok maupun kontribusinya pada pembangunan masyarakat secara luas (Hasbullah, 2006).

Tingkat Kekosmopolitan

Rogers (2003) mendefinisikan tingkat kekosmopolitan adalah sebagai berikut:

Cosmopoliteness is the degree to which an individual is oriented outside a social system.”

(39)

19

Keterdedahan terhadap Media

Media massa memiliki ciri sangat efektif dalam menyampaikan pengetahuan dan relatif cepat menjangkau sasaran yang luas dalam waktu yang singkat. Hal ini memungkinkan media massa dapat berperan penting pada tahap pengenalan suatu inovasi ke masyarakat (Rogers dan Shoemaker, 1971). Media massa dapat digunakan untuk penyebaran inovasi-inovasi yang tidak rumit. Menurut teori 'psikodinamik model DeFleur's' (McQuail dan Windahl, 1981), media massa tidak hanya berpengaruh secara langsung pada individu, tetapi juga mempengaruhi budaya, memberikan andil terhadap pengetahuan, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat. Media massa menyajikan serangkaian gambar, ide, dan evaluasi, sehingga dapat menarik khalayak dalam memilih perilaku yang sesuai. Kecenderungan media massa untuk menyampaikan ideologi (secara implisit); pembentukan pendapat; distribusi diferensial pengetahuan dalam masyarakat; perubahan jangka panjang dalam budaya, institusi dan bahkan struktur sosial.

Dukungan Iklim Usaha

Mosher (1966) menyatakan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian, setiap petani semakin lama semakin bergantung pada sumber-sumber dari luar lingkungannya. Bila pertanian hendak dimajukan, maka petani harus didukung dengan fasilitas dan jasa, yang dikenal dengan lima syarat-syarat pokok pembangunan pertanian. Kelima syarat-syarat pokok tersebut terdiri atas: (1) pasar untuk hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berubah, (3) tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, (4) perangsang produksi bagi petani, dan (5) pengangkutan/transportasi.

(40)

20

Kedua: teknologi yang senantiasa berubah. Dalam konteks ini, agar pembangunan pertanian dapat berlangsung terus menuntut adanya suatu perubahan berkelanjutan dalam hal teknologi pertanian. Selalu muncul tuntutan adanya penelitian dan pengembangan pertanian yang menghasilkan inovasi teknologi pertanian. Inovasi ini mutlak diperlukan untuk menyesuaikan dengan tuntutan perubahan dalam sistem pertanian/agribisnis. Sejak proses budidaya sampai pascapanen komoditas pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu dan efisiensi pertanian secara berkelanjutan. Inovasi teknologi tersebut sangat relatif. Bisa merupakan hasil modifikasi dari teknologi yang dikembangkan petani, ditemukan petani dan peneliti lain, dari beragam kelembagaan pemerintah dan atau swasta di dalam dan luar negeri.

Syarat pokok ketiga: tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal. Hal ini diperlukan sebagai konsekuensi dari temuan inovasi teknologi pertanian atau sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, pakan ternak, alat mesin pertanian, dan sebagainya. Sarana produksi dan peralatan yang ditawarkan kepada petani hendaknya harus memiliki 5 (lima) sifat berikut, sehingga petani akan cenderung terus membeli: (1) keefektifan dari segi teknis, (2) mutu produk dapat dipercaya, (3) harga tidak mahal, (4) harus tersedia di lokasi petani berdomisili atau setidaknya di tempat yang terjangkau oleh petani, serta (5) dijual dalam ukuran atau takaran yang sesuai dengan kebutuhan petani.

Syarat pokok keempat adalah perangsang produksi bagi petani. Menurut Mosher (1966), petani sangat rasional dalam mengambil keputusan tentang usahataninya. Petani menghendaki perbandingan harga yang menguntungkan, bagi hasil yang wajar, dan tersedianya barang serta jasa yang ingin dibeli oleh petani untuk keluarganya. Petani akan termotivasi untuk meningkatkan produksi bila: (1) harga komoditas yang dianjurkan mempunyai harga pasar yang tinggi, (2) barang-barang input yang diperlukan tersedia secara lokal, (3) mengetahui bagaimana menggunakan input secara efektif, (4) harga input tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan harga yang diharapkan dari hasil produksinya, dan (5) tataniaganya lebih efisien.

(41)

21

syarat pokok tersebut diatas tidak dapat diadakan secara efektif. Jaringan pengangkutan yang luas diperlukan mengingat lokasi pertanian dan masyarakat pertanian tersebar luas. Dengan sarana transportasi dan prasarana infrastruktur yang baik, tidak hanya memudahkan dalam penyediaan saprodi secara lokal tetapi juga untuk memudahkan pemasaran hasil produksi pertanian. Pengangkutan secara langsung mempengaruhi efisien tidaknya sistem tataniaga suatu komoditas pertanian. Berarti secara langsung menentukan terhadap ketersediaan dan harga sarana produksi dan alat pertanian di tempat di mana petani bertempat tinggal, serta menentukan terhadap tingkat harga dan stabilitas harga komoditas yang akan dipasarkan.

Mosher (1978) menambahkan bahwa untuk membangun pertanian yang modern di pedesaan, perlu tambahan dukungan (selain yang telah dikemukakan sebelumnya), yaitu: (1) kredit produksi dan (2) pendidikan penyuluhan yang bertujuan membantu petani mendapatkan informasi baru dan mengembangkan keterampilan baru. Setiap penyuluh membutuhkan pemahaman tentang: (1) produksi tanaman dan ternak, (2) pertanian sebagai suatu usaha, (3) pembangunan pertanian, (4) petani dan bagaimana mereka belajar, dan (5) masyarakat pedesaan.

Syahyuti (2003) membedakan pengelompokan kelembagaan yang berkaitan dengan pertanian atau pedesaan atas sistem agribisnis, dibagi menjadi lima kelompok kelembagaan. Pertama, kelembagaan pengadaan sarana input produksi. Dalam kelompok ini misalnya termasuk kelembagaan kredit atau kelembagaan permodalan usahatani, kelembagaan pupuk yang mencakup mulai dari pengadaan sampai distribusinya, kelembagaan benih yang juga begitu kompleksnya yang salah satu bagiannya dikenal dengan struktur JABAL (Jaringan Benih Antar Lapang), serta kelembagaan penyediaan dan distribusi pestisida.

(42)

22

yang cukup kompleks. Dalam pengertian Purcell (Syahyuti, 2003), analisis kelembagaan pada tataniaga pertanian merupakan proses penyampaian suatu barang dari produsen ke konsumen, dan efisiensi merupakan indikator kelembagaan yang penting. Kelima, kelembagaan pendukung yang meliputi kelembagaan koperasi, kelembagaan penyuluhan pertanian, dan kelembagaan penelitian mulai dari penciptaan sampai dengan delivery system-nya membutuhkan suatu organisasi khusus.

Penyuluhan

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan penyuluhan adalah:

”proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.”

Selanjutnya pada Pasal 26 ayat (3), ”penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha.”

Pada Pasal 2 UU RI Nomor 16 Tahun 2006, “penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat.” Penjelasan lebih lanjut dalam UU tersebut, sebagai berikut:

(1) Penyuluhan berasaskan demokrasi, yaitu penyuluhan yang diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat antara pemerintah, pemerintah daerah dan pelaku utama serta pelaku usaha.

(43)

23

(3) Penyuluhan berasaskan kesetaraan, yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang harus merupakan mitra sejajar.

(4) Penyuluhan berasaskan keterpaduan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan secara terpadu antar kepentingan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

(5) Penyuluhan berasaskan keseimbangan, yaitu setiap penyelenggaraan penyuluhan harus memperhatikan keseimbangan antara kebijakan, inovasi teknologi dengan kearifan masyarakat setempat, pengarusutamaan gender, keseimbangan pemanfaatan sumberdaya dan kelestarian lingkungan, serta keseimbangan antara kawasan yang maju dengan kawasan yang relatif masih tertinggal.

(6) Penyuluhan berasaskan keterbukaan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara penyuluh dan pelaku utama serta pelaku usaha.

(7) Penyuluhan berasaskan kerjasama, yaitu penyelenggaraan penyuluhan harus dilaksanakan secara sinergis dalam kegiatan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan serta sektor lain yang merupakan tujuan bersama antara pemerintah dan masyarakat.

(8) Penyuluhan berasaskan partisipatif, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama dan pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

(9) Penyuluhan berasaskan kemitraan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling menghargai, saling menguntung-kan, saling memperkuat, dan saling membutuhkan antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh.

(10) Penyuluhan berasaskan berkelanjutan, yaitu penyelenggaraan penyuluhan dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik sesuai dengan perkembangan sehingga dapat terwujud kemandirian.

Gambar

Tabel 1  Fungsi jiwa berdasarkan sifat dan mekanisme kerja
Tabel 2  Fungsi, kelebihan dan kekurangan berbagai metode penyuluhan
Tabel 3  Beberapa strategi dan metode untuk mencapai tujuan belajar
Gambar 1  Pembentukan persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis senyawa derivat khalkon melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt antara 4-metoksiasetofenon dengan benzaldehid dan

Untuk memberikan kepastian hukum dalam berusaha bagi pedagang kaki lima dan terpeliharanya sarana prasarana, estetika, kebersihan dan kenyamanan ruang milik

1) Sebagai bahan informasi tentang peran perpustakaan dalam meningkatkan minta baca siswa di SD Negeri 6 Batu Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. 2) Sebagai sumbangan

Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi yang lebih besar, akan tetapi menurut Davis dan Newstrom (1989 : 469), sejalan dengan meningkatnya stres, prestasi cenderung naik karena

Dalam penelitian ini, Peneliti lebih menitikberatkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam di sini untuk siswa kelas IV Sekolah Dasar (SD) dengan standar kompetensi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan program City Tour Kota Denpasar, potensi yang dimiliki Kota Denpasar untuk mengaplikasikan program City Tour ,

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana perubahan fungsi dan makna simbolik kain tapis?, (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan fungsi dan

Tidak ada kebaikan bagi sedekah kecuali niat yang ikhlas.. (Al-Ahnaf