• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan Burn Out pada buruh pabrik PT.VIP Cengkareng Jakarta Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan Burn Out pada buruh pabrik PT.VIP Cengkareng Jakarta Barat"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA BARAT

Oleh:

JAMALULLAIL

NIM : 102070026004

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULLAH

JAKARTA

(2)

JAKARTA BARAT

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk mernenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikolo!;ii

Pembimbing I

セ\TB^@

Oleh:

JAMALULLAIL

NIM : 102070026004

Di Bawah Bimblngan

Ors. Sofiandy Zakaria, M. Psi. T S. Evangeline Suaidy, M.Si, Psi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HllJAYATULLAH

JAKARTA

(3)

VIP CENGKARENG JAKRT A BARAT" telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PsikologL

Jakarta, 14 Juni 2007

Sidang Munaqasyah

kap Anggota,

Ora. H".

NIP. 150

Abdul Rahman S NIP. 150 292 224

Pembimbing I

セ@

M.Si

Ors. Sofiandy Zakaria, M. Psi. T NIP. 150 238 773

Ora. Zahrotun NIP. 150 238

Anggota

Penguji II

セセ@

Ors. Sofiandlf Zakaria, M. Psi. T NIP. 150 238 773

セoャョ「ゥョァQQ@

セセイM

(4)

9tx-diU Cln,rJ,

セ@

Cln,k

·/.::1WIAPPl/t::f,

Cln,dcr,

B[HQLセ@

セセ@

114U'<rdi

セ@

Cln,dcr,

セゥ@

QQTセ@

Lセォ@

iゥLセ@

eMJk

K,;;t(/(,

セセ@

M[H・ZHセ@

セHOHL@

iセ@

エN・セHOHL@

(5)

biii

Dlil

If\,

teg

Iii\'.

sertlil

l,{lf\,tl,{R Ol'lil VLg Ol'lil lf\,g

tJ

Iii

lf\,g

(6)

(C) Jamalullail

(D) Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik PT.VIP Cengkareng Jakarta Barat.

(E) xi + 72 halaman

(F) Produktivitas para pekerja pada perusahaan harus diikuti dengan kualitas sarana dan prasarana yang diberikan oleh para pemilik perusahaan. Kepadatan lingkungan kerja memberikan pengalaman yang merugikan jikalau dirasakan tidak menyenangkan jika menghambat tingkah laku

individu tidak merasa bebas untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan penggunaan ruang, bisa terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan. Perasaan tertekan akhirnya dapat menyebabkan kel<9lahan fisik, kelelahan emosi dan kelelahan mental atau burn out

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sample dalam penelitian ini mengambil 61 responden dari jumlah keseluruhan populasi pekerja yaitu 332 orang pekerja, yang bekerja minimal 1 tahun, bekrja sebagai karyawan tetap, dan bekerja pada PT VIP Cengkareng Jakarta Barat. Pengambilan sample menggunakan teknik random. Instrument yan9 digunakan uji korelasi dari pearson. Ada hubungan yang signifikan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik (0,562) dengan taraf signifikansi 0,001 (sig< 0,05).

(7)

Sholawat serta salam juga terhatur kepada Nabi Muhammad SAW, nabi besar panutan seluruh manusia di dunia. Skiripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana psikologi.

Pembuatan skripsi ini ingin mengetahui persepsi buruh pabrik mengenai lingkungan kerjanya. Penulis ingin mengetahui ィオ「オョセゥ。ョ@ persepsi kepadatan lingkungan kerja (fisik) buruh pabrik dengan burn out, proses pembuatan skripsi yang tergolong cukup lama ini sangatlah penulis nikmati. Jadwal yang sisusun haruslah diikuti sehingga efektif dalam pemanfaatan waktu dan efisien dalam pengerjaannya.

Pembuatan skripsi ini menyertakan beberapa orang yang membantu sehingga penyelesaiannya sesuai dengan jadual. Llntuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

·t. Ora.Netty Hartati, M.Psi, Oekan Fakultas Psikologi dan Ora. Zahratun Nihayah, M.Si, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan memberikan pelajaran kepada penulis.

2. Ors. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T, dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan serta pengalaman yang berharga bagi penulis. S.Evangeline Suaidy M.Si.Psi, dosen pernbimbing yang telah memberikan pelajaran sertra bimbingan dengan sabar.

3. Orang tuaku serta kakak dan adik-adikku yang telah banyak memberikan semangat, harapan serta fasilita:s yang berguna dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Teruntuk "adik-adikku" yang telah banyak rnemberikan dorongan, masukan serta semangat dan tidak jera ュ・ョセQゥョァ。エォ。ョ@ penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Teman-teman seperjuangan, Ade, Ey Eka, Bambang, Firman, Aka, syamsul Refi, Jamali, andi Yudi, Gunawan serta teman-teman angkatan 2002 fakultas psikologi yang tidak disebutkan you're the best, tetap semangat, semangat.

6. Keluarga besar IKPO yang telah memberikan inspirasi untuk 「・イォ。イケセN@

(8)
(9)

Halaman Persetujuan ii

Halaman Pengesahan iii

Motto iv

Dedikasi v

Abstraksi vi

Kata Pengantar ix

Daftar isi x

Daftar tabel XIII

Daftar Lampiran xiv

BAB1 PENDAHULUAN 1-10

1.1 Latar Belakang Masalah . . .. . .. . . .. . . . .. . .. . .. .. . .. . .. ... .. . .. . .. . . . 1

1.2 ldentifikasi Masalah ... ... ... .. . .. ... ... .... .... .. .... .. .. .... .. ... ... .. .. . 7

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

1.3.1. Pembatasan Masalah ... 7

1.3.2. Perumusan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Sistematika Penulisan... 9

BAB 2 KAJIAN PUST AKA

11 -

42 2.1. Burn Out 2.1.1 Definisi Burn out... 11

2.1.2. Sindrom Burn out... 13

2.1.3. Proses Terjadinya Burn out... 18

(10)

2.2.3. Proses Terjadinya Persepsi ... 33

2.2.4 Pengertian Dan Teori Kepadatan ... ... 36

2.3. Kerangkan Berfikir .. . .. . .. .. .... .. .. ... .... .. .. .... .. . .. .. .... .. ... ... 40

2.4. Hipotesis ... ... 42

BAB 3 METODE PENELITIAN 43 -57 3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan Penelitian ... .. .. .. .. .. ... .. .... .. .. .... .. . .. .. .. 43

3.1.2. Metode Penelitian ... .. ... ... ... .. ... .. .. .... .. .... .. ... 44

3.2 Variable Penelitian 3.2.1. Definisi Variable... 44

3.2.2. Definisi Operasional Variable... 45

3.3 Populasi dan Sarnpel 3.3.1. Populasi. ... .. . .. .. .... .. .. .. .. .. ... .. . .. ... .. .. .. .. .. .. .. . . ... ... .. ... . 46

3.2.2. Teknik Pengarnbilan Sarnpel ... 46

3.4 Pengurnpulan Data... 47

3.5 lnstrurnen Penelitian 3.5.1. Skala Burn out... 49

3.5.2. Skala Persepsi Kepadatan... 50

3.6 Tehnik Uji lnstrurnen 3.6.1. Uji Validitas Skala... 51

36.2. Uji Reliabilitas Skala ... 54

3. 7 Prosedur Penelitian... 56

(11)

4.4. Uji Hornogenitas ... 63 4.5. Pengujian Hipotesis ... 64 4.6. Hasil Tarnbahan

4.6.1. Hubungan antara Usia dengan Burn out... 66 4.6.2. Hubungan antara Masa Kerja Dengan Burn out... 66 4.6.3. Hubungan antara Jenis Kelarnin dengan Burn out 66

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 68 -72

5.1. Kesirnpulan. .. . . . .. . .. .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. ... . . . .. . . . .. . .. . . .. . .. ... .. . .. . . 68 5.2. Diskusi .. ... .. .. . .. . .. .. ... .. . .. . .. .. . .. . . . .. ... ... . . . .. . .. .. . .. . .. ... .. . .. ... .. . . . 68

5.3. Saran... 71

DAFT AR PUST AKA

(12)

Tabel 3.2 Blue print skala Burn out

Tabel 3.3 Blue print skala persepsi kepadatan lingkungan kerja Tabel 3. 4 Tingkat reliabilitas berdasrkan nilai Alpha

Tabel 4.1 Gambaran umum subjek berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.2 Gambaran umum subjek berdasarkan usia

Tabel 4.3 Gambaran umum subjek berdasarkan masa l<erja

Tabel 4.4 Nilai uji homogenitas

[image:12.595.45.432.122.487.2]
(13)

Lampiran 2. Surat keterangan telah melakukan penelitian

Lampiran 3. Profil PT. Victor lndah Prima

Lampiran 4. Kuesioner try out

Lampi ran 5. Skor hasil try out skala burn out

Lampiran 6. Skor hasil try out skala persepsi kepadatan lingkungan kerja

Lampiran 7. Reliabilitas dan validitas skala burn out

Lampiran 8. Reliabilitas dan validitas skala persepsi kepadatan lingkungan

kerja

Lampiran 9. Kuesioner penelitian

Lampiran 10. Skor hasil penelitian skala burn out

Lampiran 11. Skor hasil penelitian skala persepsi kepadatan lingkungan kerja

Lampiran 12. Uji normalitas

Lampiran 13. Uji homogenitas

Lampiran 14. Uji korelasi antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan

burn out

Lampiran 12. Hubungan antara usia buruh pabrik dengan burn out

Lampiran 13. Hubungan antara masa kerja buruh pabrik dengan burn out

(14)

1.1. LAT AR BELAKANG

Jakarta merupakan kota besar yang menjadi daya tarik bagi perekomonian

banyak masyarakat indonesia, sehingga pertambahan penduduk tak dapat

dihindari dan berdampak pada lahan yang ada di Jakarta menjadi lebih

sempit karena dijadikan tempat berbagai kegiatan sedangkan permintaan

akan lahan terus meningkat. Akhirnya pengaturan kota dan pemanfaatan

lahan menjadi sangat penting karena keadaan perkotaan semakin padat dan

pengaturan keruangan menjadi semakin sempit dan rumit.

Fenomena tersebut berdampak pada industri-industri di Jakarta. Banyaknya

kebutuhan akan tenaga kerja yang digunakan untuk menjalankan suatu

perusahaan tidak disertai olej luasnya lahan, sehingga para pekerja

ditempatkan pada ruang kerja terbatas, antara satu dengan yang lain

jaraknya dekat sehingga menyebabkan kepadatan.

Begitu juga pada pabrik VIB, yaitu salah satu pabrik yang memproduksi

(15)

diprusahaan tersebut terdapat bahwa, para pekerja di pabrik tersebut bekerja

dalam satu ruangan bersama dengan sekitar 100 pekerja lainnya, pada

tempat tersebut juga dipenuhi dengan bahan mentah seperti kayu, papan,

serta alat-alat pemotong yang digunakan sehingga para pekerja merasakan

kebisingan ketika bekerja, seiring dengan itu tempat tersebut kadang dipadati

dengan kendaraan yang mengangkut bahan mentah yang digunakan

sehingga ruang gerak terbatas, selain itu atap dan dinding bangunan yang

terbuat dari seng membuat suasana lingkungan kerja menjadi panas apalagi

pada siang hari.

Menurut Munandar bekerja dalam ruang kerja yang sempit, panas, yang

cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak menyenangkan

(uncomfortable) akan menimbulkan keengganan untuk: bekerja. Orang akan

mencari alasan untuk sering-sering kelur ruangan kerjanya. Keluhan utama

tentang kantor-kantor seperti ini berkaitan dengan tidal< adanya keleluasaan

pribadi, adanya banyak kebisingan dan kesulitan オョエオセ[@ berkonsentrasi dan

mudah tertekan.

lingkungan kerjanya sebagai ruangan yang kurang memadai

ュ・ョケ・「セ「ォ。イイ@

ketidakseimbangan antara tuntutan yang ditunjukkan pada pekerja dipabrik,

(16)

kondisi yang seperti ini para buruh merasa kemampuan dirinya terganggu

untuk berfugsi secara tepat, tidak dapat mengendalikann situasi dengan baik,

bergerak dengan bebas dan sering menghindari kontak yang tidak diinginkan.

Kondisi seperti ini mempengaruhi dalam hasil pekerjaan. dalam arti

kepadatan memberikan pengalaman yang merugikan jikalau kepadatan

menghambat pencapaian tujuan pekerja. Kesesakan dlirasakan tidak

menyenangkan jika menghambat tingkah laku individu dan membatasi

kebebasan memilih. Jika pada setiap saat tertentu individu tidak merasa

bebas untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan penggunaan ruang,

bisa terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan.

(Proshansky dkk dalam Anastasi)

Tekanan pekerjaan (ketidakseimbangan sumber daya dan tuntutan) tidak

harus menyebabkan kelelahan yang hebat, dan dengan penanganan yang

berkaitan dengan burnout yang bersifat defensif. Artinya, walaupun kelelahan

menghasilkan beberapa perubahan tingkah laku, hal itu belum tentu bahwa ia

burnout. Tetapi secara umum, semakin besar dan semakin kronis stres dan

semakin tidak berdaya seorang pekerja untuk mengubah situasi, besar

(17)

Burnout yang sering dirasakan para buruh adalah gangguan yang berisikan

gejala-gejala kelelahan fisik, emosional dan mental, akibat dari stres yang

berkepanjangan. Gangguan tersebut juga dapat berasal dari stres yang

berkepanjangan, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut

dapat dikenali melalui penyebab stres. Bagaimanapun, kondisi tertekan

muncul bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi organisasi, namun merupakan

hasil interaksi antara kondisi organisasi dengan karakteristik individu

(Rostiana, 1998).

Burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah

danjenus secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang

meningkat (Republika, 5 Aguatus 1993). Timbulnya kelelahan ini karena

mereka bekerja keras,merasa terjebak, kesedihan yang mendalam, merasa

malu, dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan

perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa

kesal dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat menimbulkan perubahan

(Pines dan Aronson, 1989).

Wujud dari perubahan tersebut berupa kelelahan seorang pekerja yang

merupakan kelelahan fisik (physical exhaustion), kelelahan emosional

(18)

bekerja dalam kondisi yang tidak diinginkan. Perubahan yang terjadi pada

buruh tersebut sering disebut dengan Burn out (Maslach, 1982).

Penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari

sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap pekerjaan. Burnout bukan

penyakit (Hess dan Croft, 1981) melainkan merupakan reaksi terhadap (1)

harapan dan tujuan yang tidak realistic konstan dengan orang lain, dan (3)

tujuan janka panjang yang sulit dicapai.

Burnout pada buruh pabrik mempunyai efek psikologis yang buruk dan

merupakan faktor utama moral yang rendah, membolos, telat kerja, dan

keinginan yang kuat untuk pindah pekerjaan. Di samping itu, buruh yang

mengalami burnout mengembangkan konsep diri yang negatif dan sikap kerja

yang negatif. Perhatian dan perasaan mereka terhadap orang-orang yang

bekerja sama dengannya menjadi tumpul dan sering pula menyumpahinya

dengan cara yang kasar, serampangan, dan bahkan tanpa perhatian (Sutjipto

2001).

Tragisnya, burnout menyerang individu yang dulunya idealis dan antusiastis.

Para buruh menganggap bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan yang

sesuai dengan harapan dan dengan upah yang mencukupi bagi kebutuhan

(19)

sikap yang sinis terhadap profesinya, dengan tidak ada kemauan, maka

individu tersebut cenderung tidak akan terkena burnout. Namun sebaliknya,

jika mereka yang memasuki profesi tersebut pada awalnya dengan hasrat

yang kuat untuk memberikan dirinya untuk orang lain, ingin membantu,

bersemangat yang tinggi, idealis, dan sebagainya, maka mereka lebih peka

terhadap burnout (Sutjipto,2001).

Sekalipun burnout merupakan hasil dari kegagalan menjawab pertanyaan

eksistensial tentang kebermaknaan, yang dialami oleh sebagaian besar

orang sebagai suatu proses yang lebih bersifat duniawi. Orang mengalami

burnout sebagian suatu erosi gradual spirit dan semangat mereka sebagai

akibat dari perjuangan keseharian dan stres yang kronis dan merupakan

tipikal kehidupan dan pekerjaan setiap hari, yang di dalamnya terlalu banyak

tekanan, konflik, tuntutan, dan terlalu kecil penghargaan emosional,

pengakuan, kesuksesan, dan kepuasan kerja (Sutipto, 2001).

Dari permasalahan yang tersebut diatas, dengan segala dinamikanya, maka

peneiti tertarik untuk melakukan peneitian yang berjudu "HUBUNGAN

ANTARA PERSEPSI KEPADATAN LINGKUNGAN KERJA DENGAN

(20)

1.2. ldentifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikernukakan di atas, maka

beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah persepsi kepadatan mempengaruhi kinerja para buruh

pabrik?

2. Apakah terdapat burn out pada buruh pabrik?

3. bagaimana persepsi pekerja terhadap kepadatan lingkungan dapat

menyebabkan burn out?

4. Apakah ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja

dengan burnout pada buruh pabrik?

1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.3.1. Pembatasan Masai ah

1. Dari beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian, maka

permasalahan dibatasi pada hubungan antara persepsi kepadatan

lingkungan kerja buruh pabrik dengan Burn out

1.3.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas yang terdapat pada latar beilakang masalah, maka

(21)

Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja Buruh Pabrik dengan

Bum Out?

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan diatas, peneliti ini bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik.dengan Bum Out

1.5.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis dan manfaat

praktis.

1. Manfaat T eoritis

Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang

psikologi industri dan organisasi , mengenai konsep Bum out dalam

kaitannya dengan kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik melalui sudut

pandang psikologi dan merangsang untuk dilakukan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Y Untuk perusahaan agar dapat mengatur ruang kerja yang kondusif

serta membangun lingkungan kerja yang dapat memotivasi pekerja

Y Untuk kepentingan para buruh pabrik yang bekerja di perusahaan

padat lingkungan kerja agar mereka dapat mengatasi Bum Out,

(22)

セ@ Untuk ilmuwan dan mahasiswa untuk menambah wawasan tentang

Burn out.

1.6.

Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, tehnik yang digunakan peneliti adalah dengan

menggunakan APA style, sedangkan sistematika penulisan yang digunakan

adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab II

Bab Ill

Berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian ,

manfaaat penelitian dan sistematika penulisan

Tinjauan Pustaka

Membahas sejumlah teori yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan diteliti, yaitu pengertian tentang

burnout, dimensi-dimensi burn out, proses terjadinya burn out,

sumber burn out, pengertian persepsi, hakekat persepsi,

proses terjadinya persepsi,faktor-faktor yang mempengaruhi

persepsi, definisi dan teori kepadatan lingkungan kerja,

kerangka berfikir dan hipotesis.

(23)

Mencakup pendekatan dan metode penelitian, variable

penelitian, defenisi operasional variable , populasi dan

sample, tehnik pengambilan sample, tehnik pengumpulan

data, instrument penelitian , tehnik uji instrumen yang terdiri

dari uji validitas dan uji reabilitas instrument, dan prosedur

penelitian meliputi tahap persiapan, pelaksanaan,pengolahan

dan analisa statistik.

Bab IV Laporan Pelaksanaan Penelitian

BabV

Mencakup hasil penelitian, meliputi garnbaran umum subjek

dan hasil penelitian.

Penutup

(24)

2.1. Burnout

2.1.1. Definisi

Cherniss (1980) memberikan definisi burnout sebagai berikut:

"burnout is defined as psychological withdrawal from work in response to

excerssive stress or dissatisfaction." (Cherniss, 1980).

la memandang burnout sebagai tindakan penarikan diri secara psikologis

sebagai respon terhadap stress yang berlebihan atau ketidak puasan dalam

pekerjaan. Menurut Cherniss,pada awalnya individu memandang

pekerjaannya sebagai suatu yang mulia dan berharga, serta memiliki

antusiasme yang tinggi dalam bekerja. Namun, stress yang berlebihan

maupun ketidakpuasan yang diperoleh dari pekerjaan menyebabkan

perubahan motivasi, hilangnya antusiasme dan ketertarikan dalam pekerjaan.

Definisi lain diungkapkan oleh maslach (dalam Cherniss, 1980), yaitu

hilangnya perhatian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan

(25)

Definisi burnout yang lebih luas diungkapkan oleh Pines dan Aronson (1988),

mendefinisikan burnout sebagai:

"a state of physical, emotional dan mental exhaustion caused by long term

involvement in situations that are emotionally demanding. "(Pines dan

Aronson, dalam Wiley,1996)).

Dari definisi ini, burnout dipandang sebagai keadaan lelah, yang meliputi

kelelahan secara fisik, emotional dan mental karena adanya keterlibatan

jangka panjang dalam situasi yang menuntut secara emosional.

Walaupun setiap pengertian burnout merefleksikan keunikan sehingga tampil

beragam namun setiap batasan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut

di atas pada umumnya dapat disimpulkan memiliki kesamaan, yaitu bahwa

burnout terjadi pada tingkat individu dan merupakan pengalaman yang

bersifat psikologis karena melibatkan perasaan, sikap, motif, harapan, dan

dipersepsi individu sebagai pengalaman negatif yang mengacu pad a situasi

yang menimbulkan distress, ketidaknyamanan, atau disfungsi.

Dari definisi yang diungkapkan diatas, pada penelitian ini peneliti

menggunakan definisi yang diungkapkan oleh Pines dan Aronson (1988),

(26)

fisik, kelelahan emosional dan kelelahan mental karena adanya keterlibatan

jangka panjang dalam situasi yang menuntut secara emosional.

2.1.2. Sindrom Burnout

Hampir seluruh penelitian mengenai burnout, mengkarakterisasikan burnout

sebagai suatu sindron dengan 3 (tiga) jenis kelelahan, yaitu kelelahan

emosional, fisik dan mental (Caputo, 1991; Pines, 1996):

1. Kelelahan Emosi

Maslach, 1976 (dalam Caputo 1991) menyebut kelelahan ini sebagai

jantung dari sindrom burnout. Kelelahan ini muncul bila individu

menjadi sangat terlibat secara emosional,melebihi dari orang lain.

Dalam sindrom burnout, kelelahan emosional dapat ditunjukkan oleh

perasaan apatis, tidak berdaya, tidak ada harapan, kekosongan,

ketidak puasan dan sinisme bersamaan dengan perasaan tidak

berdaya atau terperangkap.

Pines (1989) Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan,

mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang

tiada henti, tidak dapat dikontrol (suka marah), 9elisah, tidak peduli

(27)

tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih,

tertekan, dan tidak berdaya.

2. Kelelahan Fisik

Kelelahan emosional seringkali disertai dengan kelelahan fisik.

lndividu yang mengalami burnout biasanya merasa capek, susah

bangun tidur di pagi hari untuk melakukan aktivitas atau susah tidur

dimalam hari. Kelelahan ini muncul sebagai hasil akhir dari kelelahan

emosional dimana individu merasakan habisnya energi untuk

menghadapi walaupun hanya 1 hari atau 1 orang lagi.

Menurut Pines dan Aronson (1988, dalam caputo 1991), kebanyakan

orang mengalami burnout seperti erosi bertahap terhadap energi yang

dimilikinya, dan kelelahan fisik yang dirasakan memang tidak terpisah

dari kelelahan mental dan emosional yang menyertainya. Kelelahan

fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung (rasa ngilu),

rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering

terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan

makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih

(28)

3. Kelelahan Mental

Orang yang mengalami kelelahan emosional biasanya juga

merasakan berkurangnya kemampuan dalam rnemusatkan

perhatiannya, memecahkan masalah, melakukan penilaian ataupun

mengingat sesuatu. Kekurangan ini bukanlah hilangnya kemampuan

kognitif yang sesungguhnya, tetapi secara emosional menimbulkan

gangguan terhadap efektifitas kemampuan individu yang

sesungguhnya.

Pines dan Aronson (1989) menyebutkan bahwa kelelahan mental ini

dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal,

tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai

sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan

dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih,

selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang

ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah,

merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan

(29)

Maslach dan Jackson memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis

yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu emotional exhaustion, depersonalization

dan reduced personal accomplishment (Maslach, 1982).

Dimensi yang pertama, yaitu emotional exhaustion ditandai dengan adanya

perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan yang diajukan pada dirinya, yang

kemudian menguras sumber-sumber emosional yang ada. Dalam hal ini

pemberi pelayanan merasa tidak memiliki energi lagi untuk melakukan

pekerjaannya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan

ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber

emosional.

Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber

emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya,

tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh

tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa ticlak mampu

memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu, mereka mudah

tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas.

Dimensi yang kedua, yaitu depersonalization merupakan sikap kurang

menghargai atau kurang memiliki pandangan yang positif terhadap orang

(30)

menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari

lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta

orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan

idealisme, mengurangi kontak dengan klien/siswa, berhubungan seperlunya

saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap klien/siswa. Secara

konkret seseorang yang sedang depersonalisasi 」・ョ、Qセイオョァ@ meremehkan,

memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap

kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan

adanya perasaan tidal< puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan

kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang

bermanfaat (Pines dan Aronson, 1989). Hal ini mengacu pada penilaian yang

rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam

pekerjaan.

Sedangkan dimensi yang terakhir adalah reduced personal accomplishment

disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara negatif.

Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang

berkualitas buruk terhadap klien, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan

mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki

perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris,

(31)

2.1.3. Proses Terjadinya Burnout

Cherniss (1980 dalam Wiley, 1996) memandang burnout sebagai suatu

proses transaksional meliputi hubungan (transaksi) antara stress pekerjaan,

ketegangan (strain), dan coping. Proses terjadinya burnout meliputi tiga

tahap, yaitu:

Tahap pertama adalah stress yang merupakan persepsi mengenai

ketidakseimbangan atara sumber-sumber individu dan tuntutan yang

ditunjukkan pada individu yang bersangkutan. Tuntutan ini bisa berasal dari

diri sendiri maupun dari lingkungan.

Tahap kedua adalah strain, yang merupakan respon emosional sesaat

terhadap ketidakseimbangan ditandai dengan perasaan cemas, tegang, dan

lelah.

Tahap ketiga adalah coping, meliputi adanya perubahan-perubahan sikap

dan tingkah laku individu seperti kecendrungan menjuahkan diri dari klien

atau memperlakukan klien dengan sinis. Hal ini didukung oleh Cherniss yang

mengacu pada pendangan Lazarus dan Launier (dalarn Cherniss, 1980)

bahwa ketika individu mempersepsi situasi secara lan£1sung, maka individu

(32)

dari coping tersebut antara lain menghindar, menjauhkan diri, menurunnya

usaha pencapaian tujuan dan menyalahkan orang lain (Cherniss, 1980).

Pandangan Cherniss di atas memberi penjelasan terjadinya burnout bermula

dari adanya stress yang kemudian memunculkan kete9angan dan akhirnya

muncul tindakan intrapsikis yang bersosiasi dengan burnout. Namun

Cherniss tidak menjelaskan dinaminka yang terjadi dalam burnout itu sendiri,

seperti bagaimana berkembangnya dimensi-dimensi burnout. (dalam Leiter,

1993).

Maslach (1982) mengemukankan bahwa perkembangan dimensi-dimensi

burnout terjadi secara berurutan mulai dari emotional exhaustion, kemudian

menimbulkan depersonalization dan akhirnya muncul perasaan reduced

personal accomplishment.

Berbeda dengan pendangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model

proses burnout yang baru. Pada model ini, dimensi-dimensi dari burnout

berkembang secara pararel. Leiter (1993) juga mengungkapkan bahwa

stressor yang dihadapai individu )seperti konflik personal, beban kerja, dan

lain-lain) menyebabkan munculnya emotional exhaustion yang kemudian

berkembang menjadi depersonalization. Sedangkan reduced personal

(33)

reaksi terhadap aspek-aspek pekerjaan lainnya seperti kurangnya otonomi

dan peran dalam pengambilan keputusan, dukungan social dari atasan dan

rekan kerja yang tidak adekuat.

2.1.4. Sumber Burnout

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa

penekanan burnout terletak pad a karakteristik individu dan wujud dari

sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Kedua hal

ini secara um urn merupakan sumber burnout (Caputo, 1991; Farber, 1991;

Cherniss, 1980). Namun, pandangan tersebut agak berbeda dengan yang

dikemukakan oleh Maslach. Maslach (1982) berpendapat bahwa sumber

utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang

secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan pen•erima pelayanan dalam

jangka panjang. Namun, Maslach secara tersiratjuga mengakui bahwa

penting mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara

pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk

mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut

(34)

Dengan demikian timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1)

karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional

dengan penerima pelayanan.

1. Karakteristik lndividu

Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya

burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor

kepribadian (Caputo, 1991; Maslach, !982; Farber, 1991).

1. Faktor demografik

Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis

kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria

lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan

wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika

dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau

secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar.

Maslach (1982) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung

mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout

cenderung mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria

cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian sehingga diharapkan

dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya,

(35)

(yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang

diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing,

empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara

dalam membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis

kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya

burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam

secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap

berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat

secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap

kelelahan emosional.

Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (1982)

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup

signifikan antara masyarakat keturunan Afrika (sebut negro) dengan

masyarakat Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial.

Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih

rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa

terjadi karena mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan

masyarakat yang menekankan pada hubungan kekeluargaan dan

persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan

hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik,

(36)

masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa

mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya

diskriminasi dan kemiskinan. Dengan latar belal<ang kehidupan seperti

itu, maka al<an mendorong individu lebih siap mental dalam

menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat

menimbulkan burnout.

Hasil penelitian Maslach (1982), bahwa burnout paling banyak

dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para

pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan

yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan rnereka yang berusia

lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pacla umumnya individu

menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki

pandangan yang lebih realistis.

Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout.

Profesional yang berstatus lajang lebih banyak \tang mengalami

burnout daripada yang telah menikah (Farber, 1991; Maslach, 1982).

Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang

tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung

mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: (1)

(37)

lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis, (2) keterlibatan dengan

keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam

menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, dan (3) kasih

sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu

seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan

(4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih

realistis (Maslach, 1982).

Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan

terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak

berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan

tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika

dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi

dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang

dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang tidak

berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang memiliki harapan

yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara

harapan dan kenyataan.

Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubun£1an antara status

profesional dengan burnout. Profesional yang b13kerja secara penuh

(38)

profesional yang bekerja paruh waktu. Smith dalam Caputo (1991)

dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa

individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada

mereka yang bekerja secara penuh.

2. Faktor Kepribadian

Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout

adalah individu yang idealis dan antusias (Farber, 1991; Caputo, 1991;

Maslach, 1982; Pines dan Aronson, 1989). m・ョセォ。@ adalah

individu-individu yang memiliki sesuatu yang berharga. Pines (1989) mencatat

bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha sebagian

besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka. Bloch dalam

Farber (1991) burnoutterjadi karena lndividu-individu ini memiliki

komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di

pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika irnbalan dari usahanya

tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gaga! dan berdampak pada

menurunnya penilaian terhadap kompetensi dirL

Maslach (1982) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri

rendah rentan terhadap burnout. la menggambarkan bahwa

karakteristik individu yang memiliki konsep diri ョセョ、。ィ@ yaitu tidak

(39)

umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap

pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban

kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri.

Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih

menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga

menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss, 1980).

Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perf'eksionis, yaitu individu

yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna

sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk

tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991)

individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout.

Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga

merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dapat

menimbulkan burnout. Maslach (1982) menyatakan bahwa seseorang

ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif,

misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila

emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, memka akan bersikap

impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri secara berlebihan

atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan

(40)

introvert akan mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat

menghadapi konflik karena mereka cenderung menarik diri dari kerja,

dan hal ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik (Kahn

dalam Cherniss, 1980).

Rotter dalam Cherniss (1980) menjelaskan bahwa individu dengan

locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan

yang dialami disebabkan oleh kekuatan di luar diri. Mereka meyakini

bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah

menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap

pekerjaan. Tuntutan emosional seringkali disebabkan oleh kombinasi

antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang kronis.

2. Lingkurtgan Kerja

Masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan

yang berdampak pada timbulnya burnout (Maslach, 1982; Pines dan

Aronson, 1989; Cherniss, 1980). Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi

jam kerja, jumlah individu yang harus dihadapi (karyawan padat misalnya),

tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, dan

pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan kemampuan

individu. Di samping itu, beban kerja yang berlebihan dapat mencakup segi

(41)

pekerjaan tersebut yang harus ditangani. Dengan beban kerja yang

berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan

emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku

pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri

untuk terlibat dengan klien (Maslach, 1982).

Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan

burnout (Caputo, 1991; Cherniss, 1980; Pines dan Aronson, 1989; Maslach,

1982). Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik

dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan sumber eimosional bagi individu

saat menghadapi masalah dengan klien (Maslach, 1982). lndividu yang

memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan meras.a nyaman,

diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan

kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antar

rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan

antarmereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, dan saling

bermusuhan.

Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap

timbulnya konflik antarrekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai pribadi, (2)

perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan (3) mengutamakan

(42)

rekan kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada clari atasan juga dapat

menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout

(Cherniss, 1980; Pines dan Aronson, 1989; Maslach, 1982). Kondisi atasan

yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan

ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya

dalam bekerja tidak akan bermakna.

Kahn dalam Cherniss (1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran

merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran

ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan.

3. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan

Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus

bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi,

ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991; Maslach,

1982). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan

terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja

dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat

memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau

(43)

Di samping hal tersebut, para pekerja di bidang sosial sering menerima

umpan balik yang negatif (Maslach, 1982; Caputo 1991; Cherniss, 1989). Hal

ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga

individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat.

Demikian halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut,

masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab mereka

menganggap bahwa memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut

menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan

tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka.

Pada sisi lainnya, pemberi pelayanan sering menghadapi karakteristik

penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah berat,

dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Maslach, 1982; Pines dan

Aronson, 1989; Cherniss, 1980). Maslach memberikan contoh situasi kerja

yang menekan secara emosional, yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang

tidal< mampu menolong diri sendiri. lndividu terus dihadapkan pada kondisi

yang menekan secara emosional akan mudah merasa kesal, marah,

tertekan, jengkel, dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah

oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik: yang positif, maka

(44)

2.2. Persepsi Kepadatan Lingkungan Kerja

2.2.1. Teori dan Pengertian Persepsi

Menurut Sarlito (2000) persepsi adalah kemampuan untuk

membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan atau bisa clikatakan kemampuan

untuk mengorganisasikan pengamatan. Senada clengan itu, kamus besar

Bahasa Indonesia (2001) mengartikan bahwa persepsi diterjemahkan

sebagai penglihatan, pengamatan, pemahaman, atau tanggapan.

Harvey and Smith dan juga Wrightnsman dan Deaux (dalam Wibowo, 1988),

menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses membuat penilaian

(judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai

macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang.

Pembuatan penilaian atau pembentukan kesan ini, pada hakekatnya,

merupakan suatu upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut.

Persepsi merupakan suatu proses yang kompleks dan aktif. Persepsi

merupakan proses dimana informasi yang kita dapat rnelalui indra kita

terjemahkan berdasarkan hara pan, pengetahuan, penfJalaman, sehingga .kita

memperoleh persepsi sendiri megenai objek tertentu. Persepsi sangatlah

(45)

2.2.2. Hakekat Persepsi

Persepsi merupakan proses yang rumit dan aktif, perlu penjelasan mendalam

agar dapat dipahami. Persepsi yang terjadi sangatlah berhubungan dengan

manusia itu sendiri. Setiap orang dapat mempersepsikan satu objek yang

sama secara berbeda, sebab persepsi sangatlah subjEiktif. Persepsi bukanlah

cerminan dari realitas. Hal tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan indra

kita memberi semua respon dari lingkungan. Manusia juga sering

mempersepsikan rangsang-rangsang yang sebenarnya tidak ada. Hal

tersebut dibuktikan dengan kemampuan otak kita untuk mengubah

serangkaian gambar diam menjadi bergerak seperti pemutaran film. Persepsi

juga sangat dipengaruhi oleh harapan, keinginan, dan motivasi

(Davidoff:1981). lnilah yang menjadi landasan teori peneliti tentang persepsi.

Sehubungan dengan hal ini, banyak ahli di bidang psikologi sosial yang

condong untuk mendefinisikan persepsi sebagai: suatu proses melekatkan

atau memberikan makna kepada informasi sensori yang diterima seseorang.

Persepsi merupakan kemampuan kognitif yang multifaset (Davidoff:1981).

Persepsi banyak sekali melibatkan kegiatan kognitif. Semakin kita

memusatkan perhatian semakin besar kemungkinan kita menangkap makna

dari yari informasi yang diberikan, lalu dihubungkan deingan pengalaman dan

(46)

kita merasa sangat bahagia apa yang kita lihat akan menjadi indah, dan

sebaliknya pandangan yang sama akan terlihat sangat membososankan.

Kemudiian, ingatan juga berperan dalam persepsi, terutama dalam

pemberian informasi bagi interpretasi. Begitu pula dengan proses informasi,

kita dapat menentukan dan memutuskan data mana yang akan dihadapi

berikutnya, dibandingkan dengan situasi lalu, saat itu, lalu membuat

interpretasi dan evaluasi. Bahasa mempengaruhi kognisi sehingga

memberikan bentuk pada persepsi secara tidak langsung. Pengujian

hipotesis merupakan komponen pusat persepsi yang mengolah informasi.

Artinya semakin banyak bukti yang kita dapat semal<in baik hipotesis yang

kita buat (semakin benar).

2.2.3. Proses terjadinya Persepsi

Goleman (1982) menyebutkan bahwa A "Percept" consist of senstion

elicited by physical stimuli. Langkah awal dalam mengetahui dan

mempertimbangkan segala yang ada disekitar kita adalah dengan menerima

stimulus dengan alat indra. Bila tidak ada indra yang menerima se tiap

rangsangan dari luar, maka otak bagaikan terpenjara dalam kungkungan

tulang dikepala. Dunia akan terasa sepi, gelap, tanpa ada perasaan, emosi,

atau bau. Indra akan memberi pengetahuan mengenai dunia kepada otak,

(47)

Proses pengenalan, penerjemahan, serta pengertian mengenai segala yang

ada disekeliling kita disebut dengan proses informasi. Tahap awal dari proses

informasi disebut sensasi, yaitu proses menerimaan stimulus melalui organ

indra yang dimiliki. Sensasi termasuk didalamnya proses pengindraan,

[image:47.595.39.476.148.568.2]

dimana indra menerima stimulus dari luar, mata menerima stimulus cahaya,

gambar, telinga menerima sensor suara, kulit dapat m13rasakan yang ada

diluar tubuh, dan indra lainnya. Tahap berikutnya dari proses informasi

adalah persepsi, yaitu organisasi sensasi guna menciptakan kesadaran

terhadap objek dan menghubungkannya dengan kejadian-kejadian yang ada

disekitar. Persepsi menentukan suatu bentuk penyajian yang akurat sesuai

dengan pengindraan. (Goleman, 1982).

STIMULUS

- Penglihatan - Suara

- Bau

- Rasa

- Texture

Indra Penerima

Gambar2.1.

Proses persepsi

Perhatian lnterpretasi Tanggapan

PERSEPSI

Stimulus yang kita terima berupa objek bisa berupa hasil penglihatan yang

tentu kita terima lewat indra mata, bau-bauan yang kita terima melalui indra

(48)

pengecap, serta texture kita ketahui lewat indra peraba (kulit).

Stimulus-stimulus tersebut kita terima lewat indra dan diinterpretasikan melalui metode

tertentu dan tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor ke dalam ingatan I

otak, dan kemudian otak menanggapinya. Akhirnya muncullah persepsi

tentang stimulus tadi.

Persepsi merupakan proses bagaimana manusia mernbuat penilaian

mengenai susuatu. Persepsi kerap ditafsirkan sebagai sebuah konsep

dengan dua rnacam pengertian. Pengertian yang pertama menunjuk pada

persepsi sebagai suatu proses dan pengertian, yang kedua mengacu kepada

hasil daripada proses itu sendiri. Penilaian tersebut erat kaitannya dengan

berbagai faktor, pengindraan (sumber informasi), pengetahuan serta

pengalaman individual subjek. Prosesnya disebut aktif karena selalu

berlangsung setiap saat. Dan di sebut rumit karena prosesnya yang

melibatkan otak dengan segala ketentuan mainnya. Stumuli dari indra akan

diproses secara kimiawi di dalam tubuh, diinterpretasikan dan diberikan

tanggapan.

Setiap hal yang dipersepsikan oleh seseorang dengan orang lain dapat

berbeda dalam pemaknaannya. Dengan inderanya, inclividu menangkap

informasi (realitas) yang ada di sekitarnya. Kemudian clengan persepsinya

diolah dan diberi arti. Dengan dasar itulah maka individu tersebut berperilaku

(49)

pentingnya persepsi, apa yang ada di sekitar kita, yan9 ditangkap oleh indera

tidak diartikan sama dengan realitasnya. Pengertian tersebut tergantung

pada orang yang mempersepsikan, obyek yang dipersepsikan serta situasi

sekelilingnya.

2.2.6. Pengertian Dan Teori Kepadatan

Masalah kepadatan atau 'density' yang terdapat pada kota-kota besar telah

menarik minat para ahli dari berbagai disiplin ilmu ー・ョAセ・エ。ィオ。ョ@ untuk

melakukan penelitian mengenai pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

lstilah kepadatan menurut ahli sosiologi, Galle dan Gove (1972) ,mempunyai

beberapa pengertian yaitu: jumlah orang perruang, jumlah ruang per rumah,

jumlah rumah per bangunan dan jumlah tempat tinggal per acre.

Ditinjau dari sudut psikologi, kepadatan diartikan oleh Myers (1971) sebagai

berikut: "Crowding :a subjective feeling of not enough space per person "

Secara garis besar Myres mengatakan bahwa kepadatan adalah ukuran

subjektif dari besar ruang untuk tiap orang. Eric Sundstrom (1978)

mengatakan bahwa kepadatan adalah jumlah orang yang relative besar

(50)

"Population density is the number of people or other types of animals

accupying a given unit of space. "Space" in this case may refer to a room, a

building, a city, or any other definable unit".

Dari definisi diatas menjelaskan bahwa kepadatan mernpakan jumlah orang

atau binatang yang menempati suatu unit ruang tertentu, maksud ruang

merupakan salah satu yang dipersepsi manusia tentang luas-sempit dan

longer-sesak. Oleh karena itu, kepadatan (density) berhubungan dengan

kesesakan pada tingkat tertentu (crowding) (Diana, 2006).

Dari berbagai sumber definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat dilihat

bahwa kepadatan menyangkut :jumlah manusia pada suatu tempat dan

daerah yang ditempatinya. Dalam penelitian ini, kepadatan diartikan menurut

pandangan psikologi yaitu besarnya ruang untuk tiap orang.

Penelitian terhadap pengaruh kepadatan terhadap tingkah laku manusia

menghasilkan beberapa pandangan. Salah satu pandangan yaitu "Density

-Intensity" yang dikemukakan oleh J.Freedman (1975), mengatakan bahwa

kepadatan tanpaknya tidak terlalu membahayakan (harmful) bagi individu.

Berbeda dengan binatang, individu tidak selalu bereaksi buruk terhadap

kepadatan yang tinggi. Menurut Freedman kepadatan yang tinggi akan

(51)

seseorang positif maka bertambahnya kepadatan akan memperbesar respon

positifnya. Sebaliknya bila respons seorang 」・ョ、・イオョセj@ negative maka akan

bertambah respons negatifnya.

Pandangan ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh

Schiffenbauer dan Schiavo (1976);strom dan Thomas (1977), pada saat

orang duduk berdekatan maka orang yang telah saling mengenal akan duduk

lebih dekat, sedangkan orang yang tidak saling mengenal akan tetap

menjaga jarak duduknya.

Pandangan lain, mengatakan bahwa kepadatan merupakan keadaan yang

menekan (as stressful). Menurut Epstein, Woolfolk dan Lehter (1981), adanya

pelanggaran ruang (space invasions), tingkah laku yang terpaksa

(constrained behavior) dan stimulus yang melebihi daya dukung (stimulus

overload) merupakan pengalaman yang tergabung menjadi satu sehingga

menimbulkan akibat yang negative. Hilangnya pengendalian diri (personal

control) menyebabkan frustasi, ketegangan dan akibat lain yang

menyakitkan.

Salah satu faktor yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh negatif

(52)

penyebab stress sehingga menimbulkan bermacam-macam perubahan

tingkah laku dan fisiologis.

Schopler dan Stokols (1976) mengemukakan suatu analisa khusus dari

lignkungan yang sesak. Sesak atau crowding dirumuskan sebagai kebutuhan

untuk memperoleh ruang yang lebih luas, sebagai hasil dari gabungan factor

pribadi (personal) dan factor lingkungan (environmental). jadi sesak

merupakan suatu pengalaman psikologis mengenai kepadatan fisik atau

besarnya ruang yang dibutuhkan oleh setiap orang.

Secara umum sesak dikatakan sebagai "syndrome tekanan" yang merupakan

hasil dari factor pribadi, social, kebudayaan dan ruang. Schopler dan Stokols

mengemukakan beberapa asumsi tetang keadaan sesak yang dialami

manusia. lnilah yang dijadikan peneliti sebagai definisi operasional untuk

mengukur kepadatan:

1. Pengalaman sesak melibatkan tekanan (stress) psikologi.

2. Tekanan ini merupakan akibat dari pengalaman individu mengenai

hilangnya pengendalaian terhadap pangamatan ruang (termasuk

jarak antara pribadi atau interpersonal distance).

3. Bila seseorang mengalami tekanan sesak (crowding stress) maka

(53)

4. Tekanan akan menjadi sangat kuat dan sulit diatasi bila kebutuhan

akan ruang dari individu dihubungkan dengan adanya ancaman

terhadap keamanan seseorang (misalnya keselamatan fisik atau

keadaan emosional).

Asumsi terakhir sangat penting karena berarti bahwa semakin besar

pengaruh dari ketidakmampuan seseorang untuk mernperoleh ruang (fisik

atau psikologis) makan semakin besar tekanan yang dialami.

2.3.

KERANGKA BERPIKIR

Bagaimanakah kaitan Burn out dengan kepadatan lingkungan kerja buruh

pabrik. Burn out merupakan pengalaman yang bersifat psikologis karena

melibatkan perasaan, sikap, motif, harapan, dan dipersepsi individu sebagai

pengalaman negatif yang mengacu pad a situasi yang menimbulkan distres,

ketidaknyamanan, atau disfungsi,

Sedangkan kepadatan lingkungan kerja merupakan persepsi buruh terhadap

ruang pada lingkungan kerjanya.Freedman (1975) mengemukakan bahwa

dibawah kondisi-kondisi yang sama kepadatan yang tinggi cenderung

menambah perasaan apapun yang ada pada individu terhadap situasi atau

(54)

menjadi lebih menyenangkan dan situasi yang intrinsic: tidak menyenangkan

menjadi terasa lebih tidak menyenangkan. Efek ganda serupa ini juga diamati

dalam perasaan-perasaan dan tingkah laku interpersonal, seperti keramahan,

permusuhan, atau agresi.(Freedman dalam Anastasi 1974).

Kepadatan memberikan pengalaman yang merugikan jikalau dirasakan tidak

menyenangkan jika menghambat tingkah laku individu tidak merasa bebas

untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan pen(Jgunaan ruang, bisa

terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan.

Penelitian Paulus (1976, dalam freedman 1975) menyimpulkan bahwa

kepadatan bisa mengganggu pelaksanaan tugas. Kadang-kadang kedua

jenis kelamin dipengruhi secara negatif oleh kepadatan tinggi (Evans, 1979)

tetapi kadang-kadang hanya pria berkerja kurang baik dalam kondisi

kepadatan tinggi, sedangkan wanita bekerja sedikit lebih baik (Paulus Dkk,

1976). Penelitian tersebut menyatakan bahwa bagi beberapa orang,

kepadatan tinggi dapat mengganggu penampilan kerja.

Berdasarkan kerangka berfikir tersebut maka peneliti rnenyimpulkan bahwa

kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik mempengaruhi buruh pabrik

(55)
[image:55.595.51.445.155.470.2]

Gambar2.2

Skema terjadinya burnout pada buruh pabrik

Pekerja mempersepsikan lingkungan kerja (tidakseimbang)

Pemecaban masalah aktif

2.4 HIPOTESIS PENELITIAN

Respon emosional terhadap ketidakseimbangan ditandai dengan cemas,

tegang dan lelah

Pertahanan intrapsik:is

(burnout)

Berdasarkan deskripsi teori di atas, penulis merumuskan hipotesis penelitian

sebagai berikut :

H1

Ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan

Burn out pada buruh pabrik.

Ho

Tidak ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja
(56)

3.1. Jenis Penelitian

3.1.1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah suatu proses

menemukan pengetahuan yang menggunakan data beirupa angka sebagai

alat menemukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui. Pada

umumnya penelitian kuantitatif dapat dilaksanakan juga sebagai penelitian

deskriptif, penelitian korelasi, penelitian quasi ekperimental dan penelitian

eksperimental (S. Margono, 1997).

Menurut Azwar (2005) penelitian dengan pendekatan k:uantitatif menekankan

analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metode

statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian

inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) dan menyadarkan kesimpulan

hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil.

Dengan pendekatan kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan

(57)

3.1.2. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalarn penelitian ini adalah rnetode korelasional.

Penelitian yang dirancang untuk rnenentukan tingkat hubungan

variabel-variabel yang berbeda dalarn suatu populasi yang 、ゥウQセ「オエ@ penelitian

korelasional (dalarn Sevilla, et al, 1993).

3.2

Variabel Penelitian

Variabel adalah suatu karakteristik yang rnernpunyai dua atau lebih nilai atau

sifat yang satu sarna lain terpisah (dalarn Sevilla, et al, 1993).

Menurut Syahri Alhusin (2002) variabel terbagi dua rnacarn, yaitu variabel

bebas (independent variable) dan variabel terikat (dep1mdent variable).

Variabel bebas (independent variable) yakni suatu variabel yang fungsinya

rnenerangkan (rnernpengaruhi) terhadap variabel lainnya. Sedang variabel

terikat (dependent variable) ialah suatu variabel yang dipengaruhi variabel

lain. Dalarn penelitian ini yang rnenjadi kedua variabel tersebut adalah :

1. Variabel bebas : Burn out

2. Variabel terikat : Persepsi Kepadatan Lingl<Lingan Kerja

3.2.1 Definisi Variabel

1. . Burn out rnerupakan tindakan penarikan diri secara psikologis

(58)

pekerjaan yang ditandai dengan kelelahan secara fisik, emotional dan

mental karena adanya keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang

menuntut secara emosional

2. Persepsi Kepadatan Lingkungan Kerja merupakan pengalaman

psikologis mengenai kepadatan fisik atau besarnya ruang yang dibutuhkan

oleh setiap orang

3.2.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional tentang tingkat Burn out (kelelahan mental) diukur

dengan alat ukur Burn out berupa Maslach Burnout lnventary (MB/) yang

telah dimodivikasi sesuai dengan kebutuhan peneliti. JI.lat ukur MBI ini terbagi

atas 3 subskala, yang mengukur ketiga aspek dari sinclrom burn out, yaitu

kelelahan emosional, kelelahan fisik, dan kelelahan mental.

Sedangkan untuk definisi operasional persepsi kepadatan yaitu penghayatan

pekerja terhadap lingkungan tempat kerjanya, pengalaman yang dirasakan

tertekan, usaha untuk mengatasi tekanan, serta ancaman terhadap kemanan

(59)

3.3 Populasi dan sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh individu atau obyek yang akan diteliti. Dalam

penelitian ini yang menjadi populasi adalah buruh pabrik, dengan kriteria :

1. Buruh pabrik .

2. Sudah berkerja 1 tahun Lebih.

3. Usia diatas 20 tahun.

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu

yang memiliki karakteristik yang dianggap bisa mewakili populasi. Menurut

Arikunto (1998) apabila subyeknya kurang dari 100 lebih diambil semua

sehingga penelitiannya merupakan penelitian total sampling, jika jumlah

subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.

Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini maka populasi yang diambil adalah

para buruh pabrik yang bekerja diruang yang sempit ycing berjumlah 332

orang. Sehingga jumlah sampel yang digunakan 10% yaitu berjumkah 33

orang.

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah random sampling

(60)

dimaksud dengan tehnik random sampling adalah semua aggota populasi

mempunyai peluang yang sama untuk di masukan menjadi anggota sampel.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian, peneliti menggunakan skala

bentuk pernyataan. Bentuk skala yang digunakan dalam membuat

pernyataan dalam penelitian ini adalah model Likert, yaitu dengan

menetapkan penskoran

1 -

4 dengan alasan agar tidak menyulitkan subyek.

Sebagaimana yang dikutip dari Azwar (2004) yang menyatakan bahwa tidak

ada manfaatnya untuk memperbanyak pilihan karena akan mengaburkan

perbedaan jawaban yang diinginkan, di samping itu ェオセQ。@ subyek tidak cukup

peka untuk jenjang yang lebih dari lima tingkat.

lrawan Soehartono (1995), menyatakan bahwa untuk rnenjawab pernyataan

-pernyataan penelitian, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data skala

sikap. Skala sikap adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

menyertakan atau mengirimkan daftar pernyataan untuk diisi sendiri oleh

responden, yaitu orang yang memberikan tanggapan atau menjawab

(61)

Skar untuk butir yang terdapat dalam skala dijumlahkan atau dijumlah

rata-rata untuk mendapatkan skor sikap individu (Kerlinger, 1993). Pernyataan

atau item dalam skala model Likert ini terdiri dari pernyataan positif dan

negatif. Beberapa hal harus diperhatikan dalam skala Likert antara lain

adalah bentuk jawaban menggunakan em pat kemungkinan jawaban yaitu

sangat setuju (SS), setuju (S}, tidak setuju (TS), dan sangat tidal< setuju

(STS) sedangkan ragu-ragu (R) tidal< digunakan. Menurut Sevilla, et al.,

(1993) banyak peneliti yang memberikan penekanan pada kecenderungan

resposnden untuk 'mengamankan" dan menempatkan jawaban mereka

ditengah sebagai angka netral.

Hal ini disebut "pengaruh kecenderungan sentral". lndividu yang mempunyai

kecenderungan tersebut selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan

yang ekstrim, dengan demikian tidak digunakannya katagori jawaban yang

bersifat netral atau ragu-ragu dilakukan untuk mendorong responden

memutuskan jawaban yang bersifat positif atau negatif. Berdasarkan respon

subyek pada plot studi, setiap pernyataan favorable dan unfavorable diberi

(62)

Tabel

3.1.

Bobot nilai

Pilihan

SS (Sangat Setuju)

S (Setuju)

TS (Tidak Setuju)

STS (Sangat Tidak Setuju)

3.5

lnstrumen Penelitian

3.5.1 Skala Burn Out

Favorable

4

3

2

1

Pernyataan

Unfavorable

1

2

3

4

Skala Burn out ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat Burn out

subyek yaitu dengan menggunakan penskalaan model Likert. Pembuatan

item-item pernyataan skala tingkat Burn Out disusun berdasarkan alat ukur

Burn out yang dibuat oleh Maslach, yang berupa Mas/ach Burnout Inventory

(MB/). Yang mengukur ketiga aspek dari sindrom burn out. Yaitu kelelahan

[image:62.595.37.466.91.491.2]
(63)

Tabel 3.2.

Blue print skala Burn out

Aspek lndikator Pernyataan

no

Favorable unfavorable

1 Kelelahan

>

Apa tis 16.20.33.40 12.25.45.54

emosional

>

Tidak berdaya 5. 11.55. 14.48.51.

>

Tidak ada harapan 25. 53.56.57 15. 42.43.59

2 Kelelahan

>

Mudah lelah 22. 32.50. 27.39.47.

fisik

>

Susah tidur 4. 17.41 10. 35.38

>

Aktivitas menurun 6. 26.44.58 23. 34.52.60

3 Kelelahan

>

Pusat perhatian 1. 2.37 8.28.36.

mental

>

Pemecahan 3. 29. 2'1. 9. 13. 49.

masalah 18.19.46 7.30.21

>

Kemampuan mengingat

total 30 30

3.5.2 Skala Persepsi Kepadatan

Penulis menggunakan asumsi kepadatan yang diberikan oleh Schopler dan

Stokols. Yaitu 1) Pengalaman sesak terhadap tekanan psikologis; 2)

Penghayatan tekanan terhadap lingkungan fisik; 3) Usaha mengatasi

[image:63.595.37.468.119.499.2]
(64)

Tabel

3.3.

Blue print skala persepsi kepadatan

No. Aspek Pernyataan

Favourable Unfavourable

1. Tekanan pribadi 1,4,9,30*33,35 2, 13, 17,23,34

2. Tekanan lingkungan 5,7,12,20,38 10, 11, 18, 19,29

3. Usaha mengatasi tekanan 3,8,15,26,39 22,25,31,32,40

4 Ancaman kemananan 6, 16,24,36,37 14,21,27,28,41

Total 21 20

3.6 Teknik Uji lnstrumen

3.6.1 Uji Val

Gambar

Tabel 3.1 Bobot nilai setiap item
gambar, telinga menerima sensor suara, kulit dapat m13rasakan yang ada
Skema terjadinya Gambar2.2 burnout pada buruh pabrik
Tabel 3.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 12 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap perencanaan keuangan keluarga dalam pembelian asuransi jiwa adalah motivasi (B=0.233; p-value =0.000)

Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini Universitas Sebelas Maret berhak menyimpan, mengalihmediakan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database),

Bagi siswa, Dalam proses pembelajaran diharapkan penggunaan media mobile learning aplikasi English Leap dalam smartphone berbasis Android bisa digunakan sebagai

Secondly, based on the educational psychological analysis, it is evident that in this movie, Randa Haines expresses the educational phenomena that each person has a different

Penyusunan dan penyelesaian tesis ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi salah satu syarat ujian penyelesaian studi pada Program Studi Pendidikan Kependudukan dan

TEKNIK KONSELING METAFORA UNTUK MENINGKATKAN TANGGUNG JAWAB SISWA USIA 6-7 TAHUN DI KELAS 1 SD MUHAMMADIYAH 1 ALTERNATIF KOTA MAGELANG. Universitas Pendidikan Indonesia

Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa (1) sub sektor unggulan Kabupaten Bulukumba yaitu sub sektor tanaman bahan makanan, perkebunan dan peternakan, (2)

A., 2007, Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO) Secara Enzimatis , www.Liptan BPTP Kaltim.com, Departemen Pertanian Kalimantan Timur, Kalimantan Timur.. Rindengan,