JAKARTA BARAT
Oleh:
JAMALULLAIL
NIM : 102070026004
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSIT AS ISLAM NEGERI SY ARIF HIDAY ATULLAH
JAKARTA
JAKARTA BARAT
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk mernenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikolo!;ii
Pembimbing I
セ\TB^@
Oleh:
JAMALULLAIL
NIM : 102070026004
Di Bawah Bimblngan
Ors. Sofiandy Zakaria, M. Psi. T S. Evangeline Suaidy, M.Si, Psi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HllJAYATULLAH
JAKARTA
VIP CENGKARENG JAKRT A BARAT" telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana PsikologL
Jakarta, 14 Juni 2007
Sidang Munaqasyah
kap Anggota,
Ora. H".
NIP. 150
Abdul Rahman S NIP. 150 292 224
Pembimbing I
セ@
M.Si
Ors. Sofiandy Zakaria, M. Psi. T NIP. 150 238 773
Ora. Zahrotun NIP. 150 238
Anggota
Penguji II
セセ@
Ors. Sofiandlf Zakaria, M. Psi. T NIP. 150 238 773
セoャョ「ゥョァQQ@
セセイM
9tx-diU Cln,rJ,
セ@
Cln,k
·/.::1WIAPPl/t::f,
Cln,dcr,
B[HQLセ@
セセ@
114U'<rdi
セ@
Cln,dcr,
セゥ@
QQTセ@
Lセォ@
iゥLセ@
eMJk
K,;;t(/(,
セセ@
M[H・ZHセ@
セHOHL@
iセ@
エN・セHOHL@
biii
Dlil
If\,teg
Iii\'.sertlil
l,{lf\,tl,{R Ol'lil VLg Ol'lil lf\,g
tJ
Iiilf\,g
(C) Jamalullail
(D) Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik PT.VIP Cengkareng Jakarta Barat.
(E) xi + 72 halaman
(F) Produktivitas para pekerja pada perusahaan harus diikuti dengan kualitas sarana dan prasarana yang diberikan oleh para pemilik perusahaan. Kepadatan lingkungan kerja memberikan pengalaman yang merugikan jikalau dirasakan tidak menyenangkan jika menghambat tingkah laku
individu tidak merasa bebas untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan penggunaan ruang, bisa terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan. Perasaan tertekan akhirnya dapat menyebabkan kel<9lahan fisik, kelelahan emosi dan kelelahan mental atau burn out
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sample dalam penelitian ini mengambil 61 responden dari jumlah keseluruhan populasi pekerja yaitu 332 orang pekerja, yang bekerja minimal 1 tahun, bekrja sebagai karyawan tetap, dan bekerja pada PT VIP Cengkareng Jakarta Barat. Pengambilan sample menggunakan teknik random. Instrument yan9 digunakan uji korelasi dari pearson. Ada hubungan yang signifikan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan burn out pada buruh pabrik (0,562) dengan taraf signifikansi 0,001 (sig< 0,05).
Sholawat serta salam juga terhatur kepada Nabi Muhammad SAW, nabi besar panutan seluruh manusia di dunia. Skiripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana psikologi.
Pembuatan skripsi ini ingin mengetahui persepsi buruh pabrik mengenai lingkungan kerjanya. Penulis ingin mengetahui ィオ「オョセゥ。ョ@ persepsi kepadatan lingkungan kerja (fisik) buruh pabrik dengan burn out, proses pembuatan skripsi yang tergolong cukup lama ini sangatlah penulis nikmati. Jadwal yang sisusun haruslah diikuti sehingga efektif dalam pemanfaatan waktu dan efisien dalam pengerjaannya.
Pembuatan skripsi ini menyertakan beberapa orang yang membantu sehingga penyelesaiannya sesuai dengan jadual. Llntuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
·t. Ora.Netty Hartati, M.Psi, Oekan Fakultas Psikologi dan Ora. Zahratun Nihayah, M.Si, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan memberikan pelajaran kepada penulis.
2. Ors. Sofiandy Zakaria, M.Psi.T, dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan serta pengalaman yang berharga bagi penulis. S.Evangeline Suaidy M.Si.Psi, dosen pernbimbing yang telah memberikan pelajaran sertra bimbingan dengan sabar.
3. Orang tuaku serta kakak dan adik-adikku yang telah banyak memberikan semangat, harapan serta fasilita:s yang berguna dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Teruntuk "adik-adikku" yang telah banyak rnemberikan dorongan, masukan serta semangat dan tidak jera ュ・ョセQゥョァ。エォ。ョ@ penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Teman-teman seperjuangan, Ade, Ey Eka, Bambang, Firman, Aka, syamsul Refi, Jamali, andi Yudi, Gunawan serta teman-teman angkatan 2002 fakultas psikologi yang tidak disebutkan you're the best, tetap semangat, semangat.
6. Keluarga besar IKPO yang telah memberikan inspirasi untuk 「・イォ。イケセN@
Halaman Persetujuan ii
Halaman Pengesahan iii
Motto iv
Dedikasi v
Abstraksi vi
Kata Pengantar ix
Daftar isi x
Daftar tabel XIII
Daftar Lampiran xiv
BAB1 PENDAHULUAN 1-10
1.1 Latar Belakang Masalah . . .. . .. . . .. . . . .. . .. . .. .. . .. . .. ... .. . .. . .. . . . 1
1.2 ldentifikasi Masalah ... ... ... .. . .. ... ... .... .... .. .... .. .. .... .. ... ... .. .. . 7
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7
1.3.1. Pembatasan Masalah ... 7
1.3.2. Perumusan Masalah ... 7
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1.5 Sistematika Penulisan... 9
BAB 2 KAJIAN PUST AKA
11 -
42 2.1. Burn Out 2.1.1 Definisi Burn out... 112.1.2. Sindrom Burn out... 13
2.1.3. Proses Terjadinya Burn out... 18
2.2.3. Proses Terjadinya Persepsi ... 33
2.2.4 Pengertian Dan Teori Kepadatan ... ... 36
2.3. Kerangkan Berfikir .. . .. . .. .. .... .. .. ... .... .. .. .... .. . .. .. .... .. ... ... 40
2.4. Hipotesis ... ... 42
BAB 3 METODE PENELITIAN 43 -57 3.1 Jenis Penelitian 3.1.1. Pendekatan Penelitian ... .. .. .. .. .. ... .. .... .. .. .... .. . .. .. .. 43
3.1.2. Metode Penelitian ... .. ... ... ... .. ... .. .. .... .. .... .. ... 44
3.2 Variable Penelitian 3.2.1. Definisi Variable... 44
3.2.2. Definisi Operasional Variable... 45
3.3 Populasi dan Sarnpel 3.3.1. Populasi. ... .. . .. .. .... .. .. .. .. .. ... .. . .. ... .. .. .. .. .. .. .. . . ... ... .. ... . 46
3.2.2. Teknik Pengarnbilan Sarnpel ... 46
3.4 Pengurnpulan Data... 47
3.5 lnstrurnen Penelitian 3.5.1. Skala Burn out... 49
3.5.2. Skala Persepsi Kepadatan... 50
3.6 Tehnik Uji lnstrurnen 3.6.1. Uji Validitas Skala... 51
36.2. Uji Reliabilitas Skala ... 54
3. 7 Prosedur Penelitian... 56
4.4. Uji Hornogenitas ... 63 4.5. Pengujian Hipotesis ... 64 4.6. Hasil Tarnbahan
4.6.1. Hubungan antara Usia dengan Burn out... 66 4.6.2. Hubungan antara Masa Kerja Dengan Burn out... 66 4.6.3. Hubungan antara Jenis Kelarnin dengan Burn out 66
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 68 -72
5.1. Kesirnpulan. .. . . . .. . .. .. . .. . .. .. . .. . . .. . .. ... . . . .. . . . .. . .. . . .. . .. ... .. . .. . . 68 5.2. Diskusi .. ... .. .. . .. . .. .. ... .. . .. . .. .. . .. . . . .. ... ... . . . .. . .. .. . .. . .. ... .. . .. ... .. . . . 68
5.3. Saran... 71
DAFT AR PUST AKA
Tabel 3.2 Blue print skala Burn out
Tabel 3.3 Blue print skala persepsi kepadatan lingkungan kerja Tabel 3. 4 Tingkat reliabilitas berdasrkan nilai Alpha
Tabel 4.1 Gambaran umum subjek berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.2 Gambaran umum subjek berdasarkan usia
Tabel 4.3 Gambaran umum subjek berdasarkan masa l<erja
Tabel 4.4 Nilai uji homogenitas
[image:12.595.45.432.122.487.2]Lampiran 2. Surat keterangan telah melakukan penelitian
Lampiran 3. Profil PT. Victor lndah Prima
Lampiran 4. Kuesioner try out
Lampi ran 5. Skor hasil try out skala burn out
Lampiran 6. Skor hasil try out skala persepsi kepadatan lingkungan kerja
Lampiran 7. Reliabilitas dan validitas skala burn out
Lampiran 8. Reliabilitas dan validitas skala persepsi kepadatan lingkungan
kerja
Lampiran 9. Kuesioner penelitian
Lampiran 10. Skor hasil penelitian skala burn out
Lampiran 11. Skor hasil penelitian skala persepsi kepadatan lingkungan kerja
Lampiran 12. Uji normalitas
Lampiran 13. Uji homogenitas
Lampiran 14. Uji korelasi antara persepsi kepadatan lingkungan kerja dengan
burn out
Lampiran 12. Hubungan antara usia buruh pabrik dengan burn out
Lampiran 13. Hubungan antara masa kerja buruh pabrik dengan burn out
1.1. LAT AR BELAKANG
Jakarta merupakan kota besar yang menjadi daya tarik bagi perekomonian
banyak masyarakat indonesia, sehingga pertambahan penduduk tak dapat
dihindari dan berdampak pada lahan yang ada di Jakarta menjadi lebih
sempit karena dijadikan tempat berbagai kegiatan sedangkan permintaan
akan lahan terus meningkat. Akhirnya pengaturan kota dan pemanfaatan
lahan menjadi sangat penting karena keadaan perkotaan semakin padat dan
pengaturan keruangan menjadi semakin sempit dan rumit.
Fenomena tersebut berdampak pada industri-industri di Jakarta. Banyaknya
kebutuhan akan tenaga kerja yang digunakan untuk menjalankan suatu
perusahaan tidak disertai olej luasnya lahan, sehingga para pekerja
ditempatkan pada ruang kerja terbatas, antara satu dengan yang lain
jaraknya dekat sehingga menyebabkan kepadatan.
Begitu juga pada pabrik VIB, yaitu salah satu pabrik yang memproduksi
diprusahaan tersebut terdapat bahwa, para pekerja di pabrik tersebut bekerja
dalam satu ruangan bersama dengan sekitar 100 pekerja lainnya, pada
tempat tersebut juga dipenuhi dengan bahan mentah seperti kayu, papan,
serta alat-alat pemotong yang digunakan sehingga para pekerja merasakan
kebisingan ketika bekerja, seiring dengan itu tempat tersebut kadang dipadati
dengan kendaraan yang mengangkut bahan mentah yang digunakan
sehingga ruang gerak terbatas, selain itu atap dan dinding bangunan yang
terbuat dari seng membuat suasana lingkungan kerja menjadi panas apalagi
pada siang hari.
Menurut Munandar bekerja dalam ruang kerja yang sempit, panas, yang
cahaya lampunya menyilaukan mata, kondisi kerja yang tidak menyenangkan
(uncomfortable) akan menimbulkan keengganan untuk: bekerja. Orang akan
mencari alasan untuk sering-sering kelur ruangan kerjanya. Keluhan utama
tentang kantor-kantor seperti ini berkaitan dengan tidal< adanya keleluasaan
pribadi, adanya banyak kebisingan dan kesulitan オョエオセ[@ berkonsentrasi dan
mudah tertekan.
lingkungan kerjanya sebagai ruangan yang kurang memadai
ュ・ョケ・「セ「ォ。イイ@
ketidakseimbangan antara tuntutan yang ditunjukkan pada pekerja dipabrik,
kondisi yang seperti ini para buruh merasa kemampuan dirinya terganggu
untuk berfugsi secara tepat, tidak dapat mengendalikann situasi dengan baik,
bergerak dengan bebas dan sering menghindari kontak yang tidak diinginkan.
Kondisi seperti ini mempengaruhi dalam hasil pekerjaan. dalam arti
kepadatan memberikan pengalaman yang merugikan jikalau kepadatan
menghambat pencapaian tujuan pekerja. Kesesakan dlirasakan tidak
menyenangkan jika menghambat tingkah laku individu dan membatasi
kebebasan memilih. Jika pada setiap saat tertentu individu tidak merasa
bebas untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan penggunaan ruang,
bisa terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan.
(Proshansky dkk dalam Anastasi)
Tekanan pekerjaan (ketidakseimbangan sumber daya dan tuntutan) tidak
harus menyebabkan kelelahan yang hebat, dan dengan penanganan yang
berkaitan dengan burnout yang bersifat defensif. Artinya, walaupun kelelahan
menghasilkan beberapa perubahan tingkah laku, hal itu belum tentu bahwa ia
burnout. Tetapi secara umum, semakin besar dan semakin kronis stres dan
semakin tidak berdaya seorang pekerja untuk mengubah situasi, besar
Burnout yang sering dirasakan para buruh adalah gangguan yang berisikan
gejala-gejala kelelahan fisik, emosional dan mental, akibat dari stres yang
berkepanjangan. Gangguan tersebut juga dapat berasal dari stres yang
berkepanjangan, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut
dapat dikenali melalui penyebab stres. Bagaimanapun, kondisi tertekan
muncul bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi organisasi, namun merupakan
hasil interaksi antara kondisi organisasi dengan karakteristik individu
(Rostiana, 1998).
Burnout merupakan kondisi emosional dimana seseorang merasa lelah
danjenus secara mental ataupun fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang
meningkat (Republika, 5 Aguatus 1993). Timbulnya kelelahan ini karena
mereka bekerja keras,merasa terjebak, kesedihan yang mendalam, merasa
malu, dan secara terus menerus membentuk lingkaran dan menghasilkan
perasaan lelah dan tidak nyaman, yang pada gilirannya meningkatkan rasa
kesal dan lingkaran terus berlanjut sehingga dapat menimbulkan perubahan
(Pines dan Aronson, 1989).
Wujud dari perubahan tersebut berupa kelelahan seorang pekerja yang
merupakan kelelahan fisik (physical exhaustion), kelelahan emosional
bekerja dalam kondisi yang tidak diinginkan. Perubahan yang terjadi pada
buruh tersebut sering disebut dengan Burn out (Maslach, 1982).
Penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari
sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap pekerjaan. Burnout bukan
penyakit (Hess dan Croft, 1981) melainkan merupakan reaksi terhadap (1)
harapan dan tujuan yang tidak realistic konstan dengan orang lain, dan (3)
tujuan janka panjang yang sulit dicapai.
Burnout pada buruh pabrik mempunyai efek psikologis yang buruk dan
merupakan faktor utama moral yang rendah, membolos, telat kerja, dan
keinginan yang kuat untuk pindah pekerjaan. Di samping itu, buruh yang
mengalami burnout mengembangkan konsep diri yang negatif dan sikap kerja
yang negatif. Perhatian dan perasaan mereka terhadap orang-orang yang
bekerja sama dengannya menjadi tumpul dan sering pula menyumpahinya
dengan cara yang kasar, serampangan, dan bahkan tanpa perhatian (Sutjipto
2001).
Tragisnya, burnout menyerang individu yang dulunya idealis dan antusiastis.
Para buruh menganggap bahwa pekerjaannya merupakan pekerjaan yang
sesuai dengan harapan dan dengan upah yang mencukupi bagi kebutuhan
sikap yang sinis terhadap profesinya, dengan tidak ada kemauan, maka
individu tersebut cenderung tidak akan terkena burnout. Namun sebaliknya,
jika mereka yang memasuki profesi tersebut pada awalnya dengan hasrat
yang kuat untuk memberikan dirinya untuk orang lain, ingin membantu,
bersemangat yang tinggi, idealis, dan sebagainya, maka mereka lebih peka
terhadap burnout (Sutjipto,2001).
Sekalipun burnout merupakan hasil dari kegagalan menjawab pertanyaan
eksistensial tentang kebermaknaan, yang dialami oleh sebagaian besar
orang sebagai suatu proses yang lebih bersifat duniawi. Orang mengalami
burnout sebagian suatu erosi gradual spirit dan semangat mereka sebagai
akibat dari perjuangan keseharian dan stres yang kronis dan merupakan
tipikal kehidupan dan pekerjaan setiap hari, yang di dalamnya terlalu banyak
tekanan, konflik, tuntutan, dan terlalu kecil penghargaan emosional,
pengakuan, kesuksesan, dan kepuasan kerja (Sutipto, 2001).
Dari permasalahan yang tersebut diatas, dengan segala dinamikanya, maka
peneiti tertarik untuk melakukan peneitian yang berjudu "HUBUNGAN
ANTARA PERSEPSI KEPADATAN LINGKUNGAN KERJA DENGAN
1.2. ldentifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikernukakan di atas, maka
beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah persepsi kepadatan mempengaruhi kinerja para buruh
pabrik?
2. Apakah terdapat burn out pada buruh pabrik?
3. bagaimana persepsi pekerja terhadap kepadatan lingkungan dapat
menyebabkan burn out?
4. Apakah ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja
dengan burnout pada buruh pabrik?
1.3. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1. Pembatasan Masai ah
1. Dari beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian, maka
permasalahan dibatasi pada hubungan antara persepsi kepadatan
lingkungan kerja buruh pabrik dengan Burn out
1.3.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas yang terdapat pada latar beilakang masalah, maka
Hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja Buruh Pabrik dengan
Bum Out?
1.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan diatas, peneliti ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik.dengan Bum Out
1.5.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis dan manfaat
praktis.
1. Manfaat T eoritis
Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang
psikologi industri dan organisasi , mengenai konsep Bum out dalam
kaitannya dengan kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik melalui sudut
pandang psikologi dan merangsang untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Y Untuk perusahaan agar dapat mengatur ruang kerja yang kondusif
serta membangun lingkungan kerja yang dapat memotivasi pekerja
Y Untuk kepentingan para buruh pabrik yang bekerja di perusahaan
padat lingkungan kerja agar mereka dapat mengatasi Bum Out,
セ@ Untuk ilmuwan dan mahasiswa untuk menambah wawasan tentang
Burn out.
1.6.
Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, tehnik yang digunakan peneliti adalah dengan
menggunakan APA style, sedangkan sistematika penulisan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab II
Bab Ill
Berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian ,
manfaaat penelitian dan sistematika penulisan
Tinjauan Pustaka
Membahas sejumlah teori yang berhubungan dengan
permasalahan yang akan diteliti, yaitu pengertian tentang
burnout, dimensi-dimensi burn out, proses terjadinya burn out,
sumber burn out, pengertian persepsi, hakekat persepsi,
proses terjadinya persepsi,faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi, definisi dan teori kepadatan lingkungan kerja,
kerangka berfikir dan hipotesis.
Mencakup pendekatan dan metode penelitian, variable
penelitian, defenisi operasional variable , populasi dan
sample, tehnik pengambilan sample, tehnik pengumpulan
data, instrument penelitian , tehnik uji instrumen yang terdiri
dari uji validitas dan uji reabilitas instrument, dan prosedur
penelitian meliputi tahap persiapan, pelaksanaan,pengolahan
dan analisa statistik.
Bab IV Laporan Pelaksanaan Penelitian
BabV
Mencakup hasil penelitian, meliputi garnbaran umum subjek
dan hasil penelitian.
Penutup
2.1. Burnout
2.1.1. Definisi
Cherniss (1980) memberikan definisi burnout sebagai berikut:
"burnout is defined as psychological withdrawal from work in response to
excerssive stress or dissatisfaction." (Cherniss, 1980).
la memandang burnout sebagai tindakan penarikan diri secara psikologis
sebagai respon terhadap stress yang berlebihan atau ketidak puasan dalam
pekerjaan. Menurut Cherniss,pada awalnya individu memandang
pekerjaannya sebagai suatu yang mulia dan berharga, serta memiliki
antusiasme yang tinggi dalam bekerja. Namun, stress yang berlebihan
maupun ketidakpuasan yang diperoleh dari pekerjaan menyebabkan
perubahan motivasi, hilangnya antusiasme dan ketertarikan dalam pekerjaan.
Definisi lain diungkapkan oleh maslach (dalam Cherniss, 1980), yaitu
hilangnya perhatian terhadap orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan
Definisi burnout yang lebih luas diungkapkan oleh Pines dan Aronson (1988),
mendefinisikan burnout sebagai:
"a state of physical, emotional dan mental exhaustion caused by long term
involvement in situations that are emotionally demanding. "(Pines dan
Aronson, dalam Wiley,1996)).
Dari definisi ini, burnout dipandang sebagai keadaan lelah, yang meliputi
kelelahan secara fisik, emotional dan mental karena adanya keterlibatan
jangka panjang dalam situasi yang menuntut secara emosional.
Walaupun setiap pengertian burnout merefleksikan keunikan sehingga tampil
beragam namun setiap batasan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut
di atas pada umumnya dapat disimpulkan memiliki kesamaan, yaitu bahwa
burnout terjadi pada tingkat individu dan merupakan pengalaman yang
bersifat psikologis karena melibatkan perasaan, sikap, motif, harapan, dan
dipersepsi individu sebagai pengalaman negatif yang mengacu pad a situasi
yang menimbulkan distress, ketidaknyamanan, atau disfungsi.
Dari definisi yang diungkapkan diatas, pada penelitian ini peneliti
menggunakan definisi yang diungkapkan oleh Pines dan Aronson (1988),
fisik, kelelahan emosional dan kelelahan mental karena adanya keterlibatan
jangka panjang dalam situasi yang menuntut secara emosional.
2.1.2. Sindrom Burnout
Hampir seluruh penelitian mengenai burnout, mengkarakterisasikan burnout
sebagai suatu sindron dengan 3 (tiga) jenis kelelahan, yaitu kelelahan
emosional, fisik dan mental (Caputo, 1991; Pines, 1996):
1. Kelelahan Emosi
Maslach, 1976 (dalam Caputo 1991) menyebut kelelahan ini sebagai
jantung dari sindrom burnout. Kelelahan ini muncul bila individu
menjadi sangat terlibat secara emosional,melebihi dari orang lain.
Dalam sindrom burnout, kelelahan emosional dapat ditunjukkan oleh
perasaan apatis, tidak berdaya, tidak ada harapan, kekosongan,
ketidak puasan dan sinisme bersamaan dengan perasaan tidak
berdaya atau terperangkap.
Pines (1989) Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan,
mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang
tiada henti, tidak dapat dikontrol (suka marah), 9elisah, tidak peduli
tidak memilki apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih,
tertekan, dan tidak berdaya.
2. Kelelahan Fisik
Kelelahan emosional seringkali disertai dengan kelelahan fisik.
lndividu yang mengalami burnout biasanya merasa capek, susah
bangun tidur di pagi hari untuk melakukan aktivitas atau susah tidur
dimalam hari. Kelelahan ini muncul sebagai hasil akhir dari kelelahan
emosional dimana individu merasakan habisnya energi untuk
menghadapi walaupun hanya 1 hari atau 1 orang lagi.
Menurut Pines dan Aronson (1988, dalam caputo 1991), kebanyakan
orang mengalami burnout seperti erosi bertahap terhadap energi yang
dimilikinya, dan kelelahan fisik yang dirasakan memang tidak terpisah
dari kelelahan mental dan emosional yang menyertainya. Kelelahan
fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung (rasa ngilu),
rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, sering
terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan
makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa letih
3. Kelelahan Mental
Orang yang mengalami kelelahan emosional biasanya juga
merasakan berkurangnya kemampuan dalam rnemusatkan
perhatiannya, memecahkan masalah, melakukan penilaian ataupun
mengingat sesuatu. Kekurangan ini bukanlah hilangnya kemampuan
kognitif yang sesungguhnya, tetapi secara emosional menimbulkan
gangguan terhadap efektifitas kemampuan individu yang
sesungguhnya.
Pines dan Aronson (1989) menyebutkan bahwa kelelahan mental ini
dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa benci, rasa gagal,
tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai
sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan
dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih kasih,
selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang
ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah,
merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan
Maslach dan Jackson memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis
yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu emotional exhaustion, depersonalization
dan reduced personal accomplishment (Maslach, 1982).
Dimensi yang pertama, yaitu emotional exhaustion ditandai dengan adanya
perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan yang diajukan pada dirinya, yang
kemudian menguras sumber-sumber emosional yang ada. Dalam hal ini
pemberi pelayanan merasa tidak memiliki energi lagi untuk melakukan
pekerjaannya. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan
ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber
emosional.
Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber
emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya,
tertekan, apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh
tugas-tugas dalam pekerjaan sehingga seseorang merasa ticlak mampu
memberikan pelayanan secara psikologis. Selain itu, mereka mudah
tersinggung dan mudah marah tanpa alasan yang jelas.
Dimensi yang kedua, yaitu depersonalization merupakan sikap kurang
menghargai atau kurang memiliki pandangan yang positif terhadap orang
menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari
lingkungan sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta
orang-orang di sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan
idealisme, mengurangi kontak dengan klien/siswa, berhubungan seperlunya
saja, berpendapat negatif dan bersikap sinis terhadap klien/siswa. Secara
konkret seseorang yang sedang depersonalisasi 」・ョ、Qセイオョァ@ meremehkan,
memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan bersikap
kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan
adanya perasaan tidal< puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan
kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang
bermanfaat (Pines dan Aronson, 1989). Hal ini mengacu pada penilaian yang
rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam
pekerjaan.
Sedangkan dimensi yang terakhir adalah reduced personal accomplishment
disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan klien secara negatif.
Seseorang merasa bahwa dirinya telah berubah menjadi orang yang
berkualitas buruk terhadap klien, misalnya tidak memperhatikan kebutuhan
mereka. Padahal seorang pemberi layanan dituntut untuk selalu memiliki
perilaku yang positif, misalnya penyabar, penuh perhatian, hangat, humoris,
2.1.3. Proses Terjadinya Burnout
Cherniss (1980 dalam Wiley, 1996) memandang burnout sebagai suatu
proses transaksional meliputi hubungan (transaksi) antara stress pekerjaan,
ketegangan (strain), dan coping. Proses terjadinya burnout meliputi tiga
tahap, yaitu:
Tahap pertama adalah stress yang merupakan persepsi mengenai
ketidakseimbangan atara sumber-sumber individu dan tuntutan yang
ditunjukkan pada individu yang bersangkutan. Tuntutan ini bisa berasal dari
diri sendiri maupun dari lingkungan.
Tahap kedua adalah strain, yang merupakan respon emosional sesaat
terhadap ketidakseimbangan ditandai dengan perasaan cemas, tegang, dan
lelah.
Tahap ketiga adalah coping, meliputi adanya perubahan-perubahan sikap
dan tingkah laku individu seperti kecendrungan menjuahkan diri dari klien
atau memperlakukan klien dengan sinis. Hal ini didukung oleh Cherniss yang
mengacu pada pendangan Lazarus dan Launier (dalarn Cherniss, 1980)
bahwa ketika individu mempersepsi situasi secara lan£1sung, maka individu
dari coping tersebut antara lain menghindar, menjauhkan diri, menurunnya
usaha pencapaian tujuan dan menyalahkan orang lain (Cherniss, 1980).
Pandangan Cherniss di atas memberi penjelasan terjadinya burnout bermula
dari adanya stress yang kemudian memunculkan kete9angan dan akhirnya
muncul tindakan intrapsikis yang bersosiasi dengan burnout. Namun
Cherniss tidak menjelaskan dinaminka yang terjadi dalam burnout itu sendiri,
seperti bagaimana berkembangnya dimensi-dimensi burnout. (dalam Leiter,
1993).
Maslach (1982) mengemukankan bahwa perkembangan dimensi-dimensi
burnout terjadi secara berurutan mulai dari emotional exhaustion, kemudian
menimbulkan depersonalization dan akhirnya muncul perasaan reduced
personal accomplishment.
Berbeda dengan pendangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model
proses burnout yang baru. Pada model ini, dimensi-dimensi dari burnout
berkembang secara pararel. Leiter (1993) juga mengungkapkan bahwa
stressor yang dihadapai individu )seperti konflik personal, beban kerja, dan
lain-lain) menyebabkan munculnya emotional exhaustion yang kemudian
berkembang menjadi depersonalization. Sedangkan reduced personal
reaksi terhadap aspek-aspek pekerjaan lainnya seperti kurangnya otonomi
dan peran dalam pengambilan keputusan, dukungan social dari atasan dan
rekan kerja yang tidak adekuat.
2.1.4. Sumber Burnout
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa
penekanan burnout terletak pad a karakteristik individu dan wujud dari
sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Kedua hal
ini secara um urn merupakan sumber burnout (Caputo, 1991; Farber, 1991;
Cherniss, 1980). Namun, pandangan tersebut agak berbeda dengan yang
dikemukakan oleh Maslach. Maslach (1982) berpendapat bahwa sumber
utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang
secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan pen•erima pelayanan dalam
jangka panjang. Namun, Maslach secara tersiratjuga mengakui bahwa
penting mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara
pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk
mengkaji faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut
Dengan demikian timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1)
karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional
dengan penerima pelayanan.
1. Karakteristik lndividu
Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan timbulnya
burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor
kepribadian (Caputo, 1991; Maslach, !982; Farber, 1991).
1. Faktor demografik
Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis
kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria
lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan
wanita. Orang berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika
dibandingkan dengan pria, karena dipersiapkan dengan lebih baik atau
secara emosional lebih mampu menangani tekanan yang besar.
Maslach (1982) menemukan bahwa pria yang burnout cenderung
mengalami depersonalisasi sedangkan wanita yang burnout
cenderung mengalami kelelahan emosional. Proses sosialisasi pria
cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian sehingga diharapkan
dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya,
(yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang
diharapkan berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing,
empati, kasih sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara
dalam membesarkan pria dan wanita berdampak bahwa setiap jenis
kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya
burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam
secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap
berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat
secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap
kelelahan emosional.
Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (1982)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang cukup
signifikan antara masyarakat keturunan Afrika (sebut negro) dengan
masyarakat Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial.
Masyarakat keturunan Afrika cederung memiliki burnout yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan masyarakat Caucasian. Hal ini bisa
terjadi karena mayarakat keturunan Afrika berasal dari ligkungan
masyarakat yang menekankan pada hubungan kekeluargaan dan
persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa dengan
hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik,
masyarakat keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa
mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan karena adanya
diskriminasi dan kemiskinan. Dengan latar belal<ang kehidupan seperti
itu, maka al<an mendorong individu lebih siap mental dalam
menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang dapat
menimbulkan burnout.
Hasil penelitian Maslach (1982), bahwa burnout paling banyak
dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para
pekerja pemberi pelayanan di usia muda dipenuhi dengan harapan
yang tidak realistik, jika dibandingkan dengan rnereka yang berusia
lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pacla umumnya individu
menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga memiliki
pandangan yang lebih realistis.
Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout.
Profesional yang berstatus lajang lebih banyak \tang mengalami
burnout daripada yang telah menikah (Farber, 1991; Maslach, 1982).
Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang
tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung
mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: (1)
lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis, (2) keterlibatan dengan
keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam
menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, dan (3) kasih
sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu
seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan
(4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih
realistis (Maslach, 1982).
Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan
terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak
berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan
tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika
dihadapkan pada realitas, bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi
dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang
dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang tidak
berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang memiliki harapan
yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara
harapan dan kenyataan.
Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubun£1an antara status
profesional dengan burnout. Profesional yang b13kerja secara penuh
profesional yang bekerja paruh waktu. Smith dalam Caputo (1991)
dalam penelitiannya pada pegawai perpustakaan menemukan bahwa
individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada
mereka yang bekerja secara penuh.
2. Faktor Kepribadian
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout
adalah individu yang idealis dan antusias (Farber, 1991; Caputo, 1991;
Maslach, 1982; Pines dan Aronson, 1989). m・ョセォ。@ adalah
individu-individu yang memiliki sesuatu yang berharga. Pines (1989) mencatat
bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha sebagian
besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka. Bloch dalam
Farber (1991) burnoutterjadi karena lndividu-individu ini memiliki
komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di
pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika irnbalan dari usahanya
tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gaga! dan berdampak pada
menurunnya penilaian terhadap kompetensi dirL
Maslach (1982) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri
rendah rentan terhadap burnout. la menggambarkan bahwa
karakteristik individu yang memiliki konsep diri ョセョ、。ィ@ yaitu tidak
umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap
pasrah. Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban
kerja berlebihan yang berdampak pada terkurasnya sumber diri.
Penilaian diri yang negatif ini menyebabkan individu lebih
menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam setiap hal sehingga
menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss, 1980).
Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perf'eksionis, yaitu individu
yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna
sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk
tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991)
individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout.
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga
merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dapat
menimbulkan burnout. Maslach (1982) menyatakan bahwa seseorang
ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif,
misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila
emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, memka akan bersikap
impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri secara berlebihan
atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan
introvert akan mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat
menghadapi konflik karena mereka cenderung menarik diri dari kerja,
dan hal ini akan menghambat efektivitas penyelesaian konflik (Kahn
dalam Cherniss, 1980).
Rotter dalam Cherniss (1980) menjelaskan bahwa individu dengan
locus of control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan
yang dialami disebabkan oleh kekuatan di luar diri. Mereka meyakini
bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi sehingga mudah
menyerah dan bila berlanjut mereka bersikap apatis terhadap
pekerjaan. Tuntutan emosional seringkali disebabkan oleh kombinasi
antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang kronis.
2. Lingkurtgan Kerja
Masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan
yang berdampak pada timbulnya burnout (Maslach, 1982; Pines dan
Aronson, 1989; Cherniss, 1980). Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi
jam kerja, jumlah individu yang harus dihadapi (karyawan padat misalnya),
tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang bukan rutin, dan
pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan kemampuan
individu. Di samping itu, beban kerja yang berlebihan dapat mencakup segi
pekerjaan tersebut yang harus ditangani. Dengan beban kerja yang
berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan
emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku
pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri
untuk terlibat dengan klien (Maslach, 1982).
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan
burnout (Caputo, 1991; Cherniss, 1980; Pines dan Aronson, 1989; Maslach,
1982). Sisi positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik
dengan rekan kerja yaitu mereka merupakan sumber eimosional bagi individu
saat menghadapi masalah dengan klien (Maslach, 1982). lndividu yang
memiliki persepsi adanya dukungan sosial akan meras.a nyaman,
diperhatikan, dihargai atau terbantu oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan
kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah terjadinya hubungan antar
rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi apabila hubungan
antarmereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, dan saling
bermusuhan.
Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap
timbulnya konflik antarrekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai pribadi, (2)
perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan (3) mengutamakan
rekan kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada clari atasan juga dapat
menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout
(Cherniss, 1980; Pines dan Aronson, 1989; Maslach, 1982). Kondisi atasan
yang tidak responsif akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan
ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya
dalam bekerja tidak akan bermakna.
Kahn dalam Cherniss (1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran
merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran
ini muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan.
3. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan
Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus
bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi,
ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991; Maslach,
1982). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan
terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja
dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antarmereka dapat
memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau
Di samping hal tersebut, para pekerja di bidang sosial sering menerima
umpan balik yang negatif (Maslach, 1982; Caputo 1991; Cherniss, 1989). Hal
ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga
individu kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat.
Demikian halnya jika pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut,
masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab mereka
menganggap bahwa memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut
menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan
tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka.
Pada sisi lainnya, pemberi pelayanan sering menghadapi karakteristik
penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah berat,
dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Maslach, 1982; Pines dan
Aronson, 1989; Cherniss, 1980). Maslach memberikan contoh situasi kerja
yang menekan secara emosional, yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang
tidal< mampu menolong diri sendiri. lndividu terus dihadapkan pada kondisi
yang menekan secara emosional akan mudah merasa kesal, marah,
tertekan, jengkel, dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah
oleh perilaku klien yang tidak memberikan umpan balik: yang positif, maka
2.2. Persepsi Kepadatan Lingkungan Kerja
2.2.1. Teori dan Pengertian Persepsi
Menurut Sarlito (2000) persepsi adalah kemampuan untuk
membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan atau bisa clikatakan kemampuan
untuk mengorganisasikan pengamatan. Senada clengan itu, kamus besar
Bahasa Indonesia (2001) mengartikan bahwa persepsi diterjemahkan
sebagai penglihatan, pengamatan, pemahaman, atau tanggapan.
Harvey and Smith dan juga Wrightnsman dan Deaux (dalam Wibowo, 1988),
menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses membuat penilaian
(judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai
macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang.
Pembuatan penilaian atau pembentukan kesan ini, pada hakekatnya,
merupakan suatu upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut.
Persepsi merupakan suatu proses yang kompleks dan aktif. Persepsi
merupakan proses dimana informasi yang kita dapat rnelalui indra kita
terjemahkan berdasarkan hara pan, pengetahuan, penfJalaman, sehingga .kita
memperoleh persepsi sendiri megenai objek tertentu. Persepsi sangatlah
2.2.2. Hakekat Persepsi
Persepsi merupakan proses yang rumit dan aktif, perlu penjelasan mendalam
agar dapat dipahami. Persepsi yang terjadi sangatlah berhubungan dengan
manusia itu sendiri. Setiap orang dapat mempersepsikan satu objek yang
sama secara berbeda, sebab persepsi sangatlah subjEiktif. Persepsi bukanlah
cerminan dari realitas. Hal tersebut dapat dilihat dari ketidakmampuan indra
kita memberi semua respon dari lingkungan. Manusia juga sering
mempersepsikan rangsang-rangsang yang sebenarnya tidak ada. Hal
tersebut dibuktikan dengan kemampuan otak kita untuk mengubah
serangkaian gambar diam menjadi bergerak seperti pemutaran film. Persepsi
juga sangat dipengaruhi oleh harapan, keinginan, dan motivasi
(Davidoff:1981). lnilah yang menjadi landasan teori peneliti tentang persepsi.
Sehubungan dengan hal ini, banyak ahli di bidang psikologi sosial yang
condong untuk mendefinisikan persepsi sebagai: suatu proses melekatkan
atau memberikan makna kepada informasi sensori yang diterima seseorang.
Persepsi merupakan kemampuan kognitif yang multifaset (Davidoff:1981).
Persepsi banyak sekali melibatkan kegiatan kognitif. Semakin kita
memusatkan perhatian semakin besar kemungkinan kita menangkap makna
dari yari informasi yang diberikan, lalu dihubungkan deingan pengalaman dan
kita merasa sangat bahagia apa yang kita lihat akan menjadi indah, dan
sebaliknya pandangan yang sama akan terlihat sangat membososankan.
Kemudiian, ingatan juga berperan dalam persepsi, terutama dalam
pemberian informasi bagi interpretasi. Begitu pula dengan proses informasi,
kita dapat menentukan dan memutuskan data mana yang akan dihadapi
berikutnya, dibandingkan dengan situasi lalu, saat itu, lalu membuat
interpretasi dan evaluasi. Bahasa mempengaruhi kognisi sehingga
memberikan bentuk pada persepsi secara tidak langsung. Pengujian
hipotesis merupakan komponen pusat persepsi yang mengolah informasi.
Artinya semakin banyak bukti yang kita dapat semal<in baik hipotesis yang
kita buat (semakin benar).
2.2.3. Proses terjadinya Persepsi
Goleman (1982) menyebutkan bahwa A "Percept" consist of senstion
elicited by physical stimuli. Langkah awal dalam mengetahui dan
mempertimbangkan segala yang ada disekitar kita adalah dengan menerima
stimulus dengan alat indra. Bila tidak ada indra yang menerima se tiap
rangsangan dari luar, maka otak bagaikan terpenjara dalam kungkungan
tulang dikepala. Dunia akan terasa sepi, gelap, tanpa ada perasaan, emosi,
atau bau. Indra akan memberi pengetahuan mengenai dunia kepada otak,
Proses pengenalan, penerjemahan, serta pengertian mengenai segala yang
ada disekeliling kita disebut dengan proses informasi. Tahap awal dari proses
informasi disebut sensasi, yaitu proses menerimaan stimulus melalui organ
indra yang dimiliki. Sensasi termasuk didalamnya proses pengindraan,
[image:47.595.39.476.148.568.2]dimana indra menerima stimulus dari luar, mata menerima stimulus cahaya,
gambar, telinga menerima sensor suara, kulit dapat m13rasakan yang ada
diluar tubuh, dan indra lainnya. Tahap berikutnya dari proses informasi
adalah persepsi, yaitu organisasi sensasi guna menciptakan kesadaran
terhadap objek dan menghubungkannya dengan kejadian-kejadian yang ada
disekitar. Persepsi menentukan suatu bentuk penyajian yang akurat sesuai
dengan pengindraan. (Goleman, 1982).
STIMULUS
- Penglihatan - Suara
- Bau
- Rasa
- Texture
Indra Penerima
Gambar2.1.
Proses persepsi
Perhatian lnterpretasi Tanggapan
PERSEPSI
Stimulus yang kita terima berupa objek bisa berupa hasil penglihatan yang
tentu kita terima lewat indra mata, bau-bauan yang kita terima melalui indra
pengecap, serta texture kita ketahui lewat indra peraba (kulit).
Stimulus-stimulus tersebut kita terima lewat indra dan diinterpretasikan melalui metode
tertentu dan tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor ke dalam ingatan I
otak, dan kemudian otak menanggapinya. Akhirnya muncullah persepsi
tentang stimulus tadi.
Persepsi merupakan proses bagaimana manusia mernbuat penilaian
mengenai susuatu. Persepsi kerap ditafsirkan sebagai sebuah konsep
dengan dua rnacam pengertian. Pengertian yang pertama menunjuk pada
persepsi sebagai suatu proses dan pengertian, yang kedua mengacu kepada
hasil daripada proses itu sendiri. Penilaian tersebut erat kaitannya dengan
berbagai faktor, pengindraan (sumber informasi), pengetahuan serta
pengalaman individual subjek. Prosesnya disebut aktif karena selalu
berlangsung setiap saat. Dan di sebut rumit karena prosesnya yang
melibatkan otak dengan segala ketentuan mainnya. Stumuli dari indra akan
diproses secara kimiawi di dalam tubuh, diinterpretasikan dan diberikan
tanggapan.
Setiap hal yang dipersepsikan oleh seseorang dengan orang lain dapat
berbeda dalam pemaknaannya. Dengan inderanya, inclividu menangkap
informasi (realitas) yang ada di sekitarnya. Kemudian clengan persepsinya
diolah dan diberi arti. Dengan dasar itulah maka individu tersebut berperilaku
pentingnya persepsi, apa yang ada di sekitar kita, yan9 ditangkap oleh indera
tidak diartikan sama dengan realitasnya. Pengertian tersebut tergantung
pada orang yang mempersepsikan, obyek yang dipersepsikan serta situasi
sekelilingnya.
2.2.6. Pengertian Dan Teori Kepadatan
Masalah kepadatan atau 'density' yang terdapat pada kota-kota besar telah
menarik minat para ahli dari berbagai disiplin ilmu ー・ョAセ・エ。ィオ。ョ@ untuk
melakukan penelitian mengenai pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
lstilah kepadatan menurut ahli sosiologi, Galle dan Gove (1972) ,mempunyai
beberapa pengertian yaitu: jumlah orang perruang, jumlah ruang per rumah,
jumlah rumah per bangunan dan jumlah tempat tinggal per acre.
Ditinjau dari sudut psikologi, kepadatan diartikan oleh Myers (1971) sebagai
berikut: "Crowding :a subjective feeling of not enough space per person "
Secara garis besar Myres mengatakan bahwa kepadatan adalah ukuran
subjektif dari besar ruang untuk tiap orang. Eric Sundstrom (1978)
mengatakan bahwa kepadatan adalah jumlah orang yang relative besar
"Population density is the number of people or other types of animals
accupying a given unit of space. "Space" in this case may refer to a room, a
building, a city, or any other definable unit".
Dari definisi diatas menjelaskan bahwa kepadatan mernpakan jumlah orang
atau binatang yang menempati suatu unit ruang tertentu, maksud ruang
merupakan salah satu yang dipersepsi manusia tentang luas-sempit dan
longer-sesak. Oleh karena itu, kepadatan (density) berhubungan dengan
kesesakan pada tingkat tertentu (crowding) (Diana, 2006).
Dari berbagai sumber definisi yang telah disebutkan diatas maka dapat dilihat
bahwa kepadatan menyangkut :jumlah manusia pada suatu tempat dan
daerah yang ditempatinya. Dalam penelitian ini, kepadatan diartikan menurut
pandangan psikologi yaitu besarnya ruang untuk tiap orang.
Penelitian terhadap pengaruh kepadatan terhadap tingkah laku manusia
menghasilkan beberapa pandangan. Salah satu pandangan yaitu "Density
-Intensity" yang dikemukakan oleh J.Freedman (1975), mengatakan bahwa
kepadatan tanpaknya tidak terlalu membahayakan (harmful) bagi individu.
Berbeda dengan binatang, individu tidak selalu bereaksi buruk terhadap
kepadatan yang tinggi. Menurut Freedman kepadatan yang tinggi akan
seseorang positif maka bertambahnya kepadatan akan memperbesar respon
positifnya. Sebaliknya bila respons seorang 」・ョ、・イオョセj@ negative maka akan
bertambah respons negatifnya.
Pandangan ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh
Schiffenbauer dan Schiavo (1976);strom dan Thomas (1977), pada saat
orang duduk berdekatan maka orang yang telah saling mengenal akan duduk
lebih dekat, sedangkan orang yang tidak saling mengenal akan tetap
menjaga jarak duduknya.
Pandangan lain, mengatakan bahwa kepadatan merupakan keadaan yang
menekan (as stressful). Menurut Epstein, Woolfolk dan Lehter (1981), adanya
pelanggaran ruang (space invasions), tingkah laku yang terpaksa
(constrained behavior) dan stimulus yang melebihi daya dukung (stimulus
overload) merupakan pengalaman yang tergabung menjadi satu sehingga
menimbulkan akibat yang negative. Hilangnya pengendalian diri (personal
control) menyebabkan frustasi, ketegangan dan akibat lain yang
menyakitkan.
Salah satu faktor yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh negatif
penyebab stress sehingga menimbulkan bermacam-macam perubahan
tingkah laku dan fisiologis.
Schopler dan Stokols (1976) mengemukakan suatu analisa khusus dari
lignkungan yang sesak. Sesak atau crowding dirumuskan sebagai kebutuhan
untuk memperoleh ruang yang lebih luas, sebagai hasil dari gabungan factor
pribadi (personal) dan factor lingkungan (environmental). jadi sesak
merupakan suatu pengalaman psikologis mengenai kepadatan fisik atau
besarnya ruang yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Secara umum sesak dikatakan sebagai "syndrome tekanan" yang merupakan
hasil dari factor pribadi, social, kebudayaan dan ruang. Schopler dan Stokols
mengemukakan beberapa asumsi tetang keadaan sesak yang dialami
manusia. lnilah yang dijadikan peneliti sebagai definisi operasional untuk
mengukur kepadatan:
1. Pengalaman sesak melibatkan tekanan (stress) psikologi.
2. Tekanan ini merupakan akibat dari pengalaman individu mengenai
hilangnya pengendalaian terhadap pangamatan ruang (termasuk
jarak antara pribadi atau interpersonal distance).
3. Bila seseorang mengalami tekanan sesak (crowding stress) maka
4. Tekanan akan menjadi sangat kuat dan sulit diatasi bila kebutuhan
akan ruang dari individu dihubungkan dengan adanya ancaman
terhadap keamanan seseorang (misalnya keselamatan fisik atau
keadaan emosional).
Asumsi terakhir sangat penting karena berarti bahwa semakin besar
pengaruh dari ketidakmampuan seseorang untuk mernperoleh ruang (fisik
atau psikologis) makan semakin besar tekanan yang dialami.
2.3.
KERANGKA BERPIKIR
Bagaimanakah kaitan Burn out dengan kepadatan lingkungan kerja buruh
pabrik. Burn out merupakan pengalaman yang bersifat psikologis karena
melibatkan perasaan, sikap, motif, harapan, dan dipersepsi individu sebagai
pengalaman negatif yang mengacu pad a situasi yang menimbulkan distres,
ketidaknyamanan, atau disfungsi,
Sedangkan kepadatan lingkungan kerja merupakan persepsi buruh terhadap
ruang pada lingkungan kerjanya.Freedman (1975) mengemukakan bahwa
dibawah kondisi-kondisi yang sama kepadatan yang tinggi cenderung
menambah perasaan apapun yang ada pada individu terhadap situasi atau
menjadi lebih menyenangkan dan situasi yang intrinsic: tidak menyenangkan
menjadi terasa lebih tidak menyenangkan. Efek ganda serupa ini juga diamati
dalam perasaan-perasaan dan tingkah laku interpersonal, seperti keramahan,
permusuhan, atau agresi.(Freedman dalam Anastasi 1974).
Kepadatan memberikan pengalaman yang merugikan jikalau dirasakan tidak
menyenangkan jika menghambat tingkah laku individu tidak merasa bebas
untuk mengendalikan ruang personal, privasi dan pen(Jgunaan ruang, bisa
terjadi kepadatan menimbulkan pengalaman yang sangat menekan.
Penelitian Paulus (1976, dalam freedman 1975) menyimpulkan bahwa
kepadatan bisa mengganggu pelaksanaan tugas. Kadang-kadang kedua
jenis kelamin dipengruhi secara negatif oleh kepadatan tinggi (Evans, 1979)
tetapi kadang-kadang hanya pria berkerja kurang baik dalam kondisi
kepadatan tinggi, sedangkan wanita bekerja sedikit lebih baik (Paulus Dkk,
1976). Penelitian tersebut menyatakan bahwa bagi beberapa orang,
kepadatan tinggi dapat mengganggu penampilan kerja.
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut maka peneliti rnenyimpulkan bahwa
kepadatan lingkungan kerja buruh pabrik mempengaruhi buruh pabrik
Gambar2.2
Skema terjadinya burnout pada buruh pabrik
Pekerja mempersepsikan lingkungan kerja (tidakseimbang)
Pemecaban masalah aktif
2.4 HIPOTESIS PENELITIAN
Respon emosional terhadap ketidakseimbangan ditandai dengan cemas,
tegang dan lelah
Pertahanan intrapsik:is
(burnout)
Berdasarkan deskripsi teori di atas, penulis merumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut :
H1
Ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja denganBurn out pada buruh pabrik.
Ho
Tidak ada hubungan antara persepsi kepadatan lingkungan kerja3.1. Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah suatu proses
menemukan pengetahuan yang menggunakan data beirupa angka sebagai
alat menemukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui. Pada
umumnya penelitian kuantitatif dapat dilaksanakan juga sebagai penelitian
deskriptif, penelitian korelasi, penelitian quasi ekperimental dan penelitian
eksperimental (S. Margono, 1997).
Menurut Azwar (2005) penelitian dengan pendekatan k:uantitatif menekankan
analisisnya pada data-data numerikal atau angka yang diolah dengan metode
statistika. Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian
inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) dan menyadarkan kesimpulan
hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil.
Dengan pendekatan kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan
3.1.2. Metode penelitian
Metode yang digunakan dalarn penelitian ini adalah rnetode korelasional.
Penelitian yang dirancang untuk rnenentukan tingkat hubungan
variabel-variabel yang berbeda dalarn suatu populasi yang 、ゥウQセ「オエ@ penelitian
korelasional (dalarn Sevilla, et al, 1993).
3.2
Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu karakteristik yang rnernpunyai dua atau lebih nilai atau
sifat yang satu sarna lain terpisah (dalarn Sevilla, et al, 1993).
Menurut Syahri Alhusin (2002) variabel terbagi dua rnacarn, yaitu variabel
bebas (independent variable) dan variabel terikat (dep1mdent variable).
Variabel bebas (independent variable) yakni suatu variabel yang fungsinya
rnenerangkan (rnernpengaruhi) terhadap variabel lainnya. Sedang variabel
terikat (dependent variable) ialah suatu variabel yang dipengaruhi variabel
lain. Dalarn penelitian ini yang rnenjadi kedua variabel tersebut adalah :
1. Variabel bebas : Burn out
2. Variabel terikat : Persepsi Kepadatan Lingl<Lingan Kerja
3.2.1 Definisi Variabel
1. . Burn out rnerupakan tindakan penarikan diri secara psikologis
pekerjaan yang ditandai dengan kelelahan secara fisik, emotional dan
mental karena adanya keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang
menuntut secara emosional
2. Persepsi Kepadatan Lingkungan Kerja merupakan pengalaman
psikologis mengenai kepadatan fisik atau besarnya ruang yang dibutuhkan
oleh setiap orang
3.2.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional tentang tingkat Burn out (kelelahan mental) diukur
dengan alat ukur Burn out berupa Maslach Burnout lnventary (MB/) yang
telah dimodivikasi sesuai dengan kebutuhan peneliti. JI.lat ukur MBI ini terbagi
atas 3 subskala, yang mengukur ketiga aspek dari sinclrom burn out, yaitu
kelelahan emosional, kelelahan fisik, dan kelelahan mental.
Sedangkan untuk definisi operasional persepsi kepadatan yaitu penghayatan
pekerja terhadap lingkungan tempat kerjanya, pengalaman yang dirasakan
tertekan, usaha untuk mengatasi tekanan, serta ancaman terhadap kemanan
3.3 Populasi dan sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh individu atau obyek yang akan diteliti. Dalam
penelitian ini yang menjadi populasi adalah buruh pabrik, dengan kriteria :
1. Buruh pabrik .
2. Sudah berkerja 1 tahun Lebih.
3. Usia diatas 20 tahun.
Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu
yang memiliki karakteristik yang dianggap bisa mewakili populasi. Menurut
Arikunto (1998) apabila subyeknya kurang dari 100 lebih diambil semua
sehingga penelitiannya merupakan penelitian total sampling, jika jumlah
subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih.
Berdasarkan tujuan dalam penelitian ini maka populasi yang diambil adalah
para buruh pabrik yang bekerja diruang yang sempit ycing berjumlah 332
orang. Sehingga jumlah sampel yang digunakan 10% yaitu berjumkah 33
orang.
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah random sampling
dimaksud dengan tehnik random sampling adalah semua aggota populasi
mempunyai peluang yang sama untuk di masukan menjadi anggota sampel.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian, peneliti menggunakan skala
bentuk pernyataan. Bentuk skala yang digunakan dalam membuat
pernyataan dalam penelitian ini adalah model Likert, yaitu dengan
menetapkan penskoran
1 -
4 dengan alasan agar tidak menyulitkan subyek.Sebagaimana yang dikutip dari Azwar (2004) yang menyatakan bahwa tidak
ada manfaatnya untuk memperbanyak pilihan karena akan mengaburkan
perbedaan jawaban yang diinginkan, di samping itu ェオセQ。@ subyek tidak cukup
peka untuk jenjang yang lebih dari lima tingkat.
lrawan Soehartono (1995), menyatakan bahwa untuk rnenjawab pernyataan
-pernyataan penelitian, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data skala
sikap. Skala sikap adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
menyertakan atau mengirimkan daftar pernyataan untuk diisi sendiri oleh
responden, yaitu orang yang memberikan tanggapan atau menjawab
Skar untuk butir yang terdapat dalam skala dijumlahkan atau dijumlah
rata-rata untuk mendapatkan skor sikap individu (Kerlinger, 1993). Pernyataan
atau item dalam skala model Likert ini terdiri dari pernyataan positif dan
negatif. Beberapa hal harus diperhatikan dalam skala Likert antara lain
adalah bentuk jawaban menggunakan em pat kemungkinan jawaban yaitu
sangat setuju (SS), setuju (S}, tidak setuju (TS), dan sangat tidal< setuju
(STS) sedangkan ragu-ragu (R) tidal< digunakan. Menurut Sevilla, et al.,
(1993) banyak peneliti yang memberikan penekanan pada kecenderungan
resposnden untuk 'mengamankan" dan menempatkan jawaban mereka
ditengah sebagai angka netral.
Hal ini disebut "pengaruh kecenderungan sentral". lndividu yang mempunyai
kecenderungan tersebut selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan
yang ekstrim, dengan demikian tidak digunakannya katagori jawaban yang
bersifat netral atau ragu-ragu dilakukan untuk mendorong responden
memutuskan jawaban yang bersifat positif atau negatif. Berdasarkan respon
subyek pada plot studi, setiap pernyataan favorable dan unfavorable diberi
Tabel
3.1.
Bobot nilai
Pilihan
SS (Sangat Setuju)
S (Setuju)
TS (Tidak Setuju)
STS (Sangat Tidak Setuju)
3.5
lnstrumen Penelitian
3.5.1 Skala Burn Out
Favorable
4
3
2
1
Pernyataan
Unfavorable
1
2
3
4
Skala Burn out ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat Burn out
subyek yaitu dengan menggunakan penskalaan model Likert. Pembuatan
item-item pernyataan skala tingkat Burn Out disusun berdasarkan alat ukur
Burn out yang dibuat oleh Maslach, yang berupa Mas/ach Burnout Inventory
(MB/). Yang mengukur ketiga aspek dari sindrom burn out. Yaitu kelelahan
[image:62.595.37.466.91.491.2]Tabel 3.2.
Blue print skala Burn out
Aspek lndikator Pernyataan
no
Favorable unfavorable
1 Kelelahan
>
Apa tis 16.20.33.40 12.25.45.54emosional
>
Tidak berdaya 5. 11.55. 14.48.51.>
Tidak ada harapan 25. 53.56.57 15. 42.43.592 Kelelahan
>
Mudah lelah 22. 32.50. 27.39.47.fisik
>
Susah tidur 4. 17.41 10. 35.38>
Aktivitas menurun 6. 26.44.58 23. 34.52.603 Kelelahan
>
Pusat perhatian 1. 2.37 8.28.36.mental
>
Pemecahan 3. 29. 2'1. 9. 13. 49.masalah 18.19.46 7.30.21
>
Kemampuan mengingattotal 30 30
3.5.2 Skala Persepsi Kepadatan
Penulis menggunakan asumsi kepadatan yang diberikan oleh Schopler dan
Stokols. Yaitu 1) Pengalaman sesak terhadap tekanan psikologis; 2)
Penghayatan tekanan terhadap lingkungan fisik; 3) Usaha mengatasi
[image:63.595.37.468.119.499.2]Tabel
3.3.
Blue print skala persepsi kepadatan
No. Aspek Pernyataan
Favourable Unfavourable
1. Tekanan pribadi 1,4,9,30*33,35 2, 13, 17,23,34
2. Tekanan lingkungan 5,7,12,20,38 10, 11, 18, 19,29
3. Usaha mengatasi tekanan 3,8,15,26,39 22,25,31,32,40
4 Ancaman kemananan 6, 16,24,36,37 14,21,27,28,41
Total 21 20
3.6 Teknik Uji lnstrumen
3.6.1 Uji Val